Anda di halaman 1dari 27

Laporan Pop Research dan

Rancangan Media Practice

IDENTITAS
ARTIKULASI IDENTITAS
POPULER
PADA PELAKU BUDAYA POPULER
(STUDI PADA COSPLAYER
COSPLAYER HIJAB)
HIJAB)
Oleh
Tim Bumi Wiyata Universitas Indonesia
Andri (1306460173)
Dara Adinda Kesuma (1306460154)
Erlangga Saputra (1306385665)
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Di tahun 2014, muncul artikel di Kaorinusantara.com yang membahas fenomena hijab
cosplay. Para perempuan cosplayer melakukan cosplay dengan mengenakan jilbab dan busana
tertutup. Bagian rambut karakter anime1 yang biasanya ditiru menggunakan wig, oleh mereka
diganti dengan kerudung berbagai warna. Para perempuan ini kemudian disebut sebagai hijab
cosplayer (Ramzielah, 2014). Uniknya, mereka tak hanya memilih karakter-karakter yang
memang berbusana tertutup untuk diperankan, melainkan juga melakukan modifikasi pada
karakter yang berbusana terbuka agar cocok dipadankan dengan hijab. Misalnya, karakter IA
Vocaloid yang berpakaian seksi dimodifikasi menjadi berbusana tertutup oleh seorang hijab
cosplayer asal Malaysia bernama Ain Ainiru (Gambar 1). Namun, tak jarang pula para hijab
cosplayer memilih karakter yang memang aslinya berbusana tertutup.

(Gambar 1. Cosplay Karakter IA (kiri) dan Karakter IA (kanan) Sumber: Akun Facebook Hijab Cosplay
Gallery dan Google)

Seiring perkembangan waktu, kemunculan hijab cosplay ini ternyata memunculkan


perdebatan, terutama di media sosial dan forum-forum cosplayer. Dalam sebuah artikel yang
ditulis oleh Rafly Nugroho di situs Kaorinusantara.com berjudul “Ekspos: Apa Salah dan Dosa
Cosplay Hijab”, dinyatakan bahwa perdebatan memuncak sekitar pertengahan tahun 2014.

1
Anime merupakan istilah bagi film kartun animasi yang diproduksi di Jepang

1
Isu yang mencuat dari perdebatan saat itu adalah isu Out Of Character (OOC). Cosplay
Hijab dianggap merupakan salah satu tindakan OOC karena tidak menggunakan kostum dan
properti yang semestinya digunakan oleh sang karakter yang diperankan. Dengan memodifikasi
karakter berbusana terbuka menjadi berbusana tertutup dan mengganti rambut dengan kerudung,
para hijab cosplayer ini dianggap gagal menyajikan cosplay yang semestinya.
Selain karena tidak menggunakan aksesoris dari sebuah karakter yang lengkap, cosplay
hijab juga dikatakan OOC karena dianggap tidak ada totalitas di dalamnya. Sebab, menurut definisi
yang dikemukakan oleh Jiwon Ahn (dalam Nugroho, 2014), cosplay bukan sebatas hanya
mengenakan kostum dan tata rias semata, namun juga meliputi gerak-gerik, tingkah laku, dan gaya
berbicara dari karakter yang sedang diperankan.
Perdebatan yang awalnya hanya fokus pada permasalahan totalitas dalam memerankan
karakter secara fisik kemudian melebar dan dikaitkan dengan persoalan-persoalan agama. Seorang
cosplayer bernama Adrian Vidano, misalnya, menuliskan di blognya
(https://andrianvidano.wordpress.com/2015/06/03/cosplay-hijab-anime-muslim-dan-culture-di-
sekelilingnya/) bahwa para hijab cosplayer ini seolah-olah berusaha menarik karakter yang mereka
perankan ke dalam kepercayaan tertentu, dalam hal ini agama Islam. Padahal, menurutnya anime
dan cosplay adalah tempat untuk melepas semua atribut-atribut kepercayaan itu. Hal ini
ditunjukkan dengan sebagian besar karakter anime yang tidak digambarkan latar belakang
agamanya.
Sementara itu, sebagian orang melihat cosplay hijab sebagai tindakan yang bertentangan
dengan tujuan perempuan berhijab. Dalam ajaran agama Islam, pemakaian hijab dianggap sebagai
sebuah tindakan untuk menutup tubuh perempuan dari pandangan lawan jenisnya. Makna hijab
dalam Al Qur’an, yang berasal dari kata hajaban yang berarti menutupi, atau “al-hijab” dapat
berupa tirai pembatas, kelambu, atau pembatas lainnya, yaitu pakaian penutup yang menutupi
seluruh tubuh perempuan (Manshur dalam Kartikawati, 2014). Pengertiannya terdapat dalam Al
Qur’an Surat Al Ahzab ayat 53. Sementara itu, cosplay pada dasarnya merupakan ajang
memamerkan kemampuan menjiwai karakter dan keindahan tubuh. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh akun bernama alifaishol di bagian komentar blog milik Adrian, cosplay pada
dasarnya “merusak fungsi hijab”. Komentar lain soal hijab datang dari pemilik akun bernama
Adrianto R yang menganggap bahwa atribut agama tidak boleh dipakai sembarangan, termasuk
untuk keperluan cosplay.

2
(Gambar 2. Komentar “Adrianto R” terhadap cosplay hijab di blog. Sumber:
https://andrianvidano.wordpress.com/2015/06/03/cosplay-hijab-anime-muslim-dan-culture-di-sekelilingnya/)

Perdebatan demi perdebatan yang tak jarang mengarah ke arah bullying di terhadap hijab
cosplayer di dunia maya ini ternyata tak lantas mematikan hijab cosplay ini. Para hijab cosplayer
membuat komunitas virtual bernama Hijab Cosplay Gallery di Facebook pada awal 2014. Hingga
kini, 12.363 orang telah menyukai fanpage yang rutin menerbitkan foto-foto hijab cosplayer dari
seluruh dunia, terutama Indonesia dan Malaysia. Kebanyakan yang menyukai halaman komunitas
ini adalah orang-orang muslim yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tetapi
beberapa anggota juga berasal dari salah satu negara di benua Afrika (Ramzielah, 2014).
Dengan segala kontroversinya, cosplay hijab masih bertahan sampai sekarang. Foto-foto
di Facebook Hijab Cosplay Gallery masih rutin dimunculkan. Bahkan, diskursusnya mulai muncul
di forum-forum offline. Salah satunya dalam diskusi Forum Anime Indonesia (FAI) yang keempat
pada Februari 2016. Diskusi yang diikuti oleh berbagai komunitas cosplay ini membahas tema
"Geliat Cosplay di Indonesia" dengan Hijab Cosplay sebagai salah satu topiknya.
Kemunculan perdebatan mengenai cosplay hijab dalam pandangan penulis menjadi sebuah
refleksi terhadap betapa cairnya perkembangan identitas dalam sebuah budaya populer khususnya
yang terjadi lewat media sosial dan internet. Terlihat dari apa yang dilakukan oleh cosplayer hijab,
hijab sebagai pakaian bagi muslimah tidak dipandang sebagai sebuah kebiasaan berpakaian yang
kaku oleh masyarakat, namun dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Mengingat adanya
perbedaan diskursus terhadap dua identitas tersebut di masyarakat, maka pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagaimana para cosplayer hijab menyesuaikan identitas sebagai hijaber
dan cosplayer sehingga dapat berjalan beriringan. Tentu terdapat usaha dari para cosplayer hijab

3
dalam mempertemukan dua diskursus yang berbeda dan hal itulah yang penulis akan coba angkat
dalam tulisan ini.
Fenomena cosplay hijab ini menarik perhatian penulis untuk dibahas karena fenomena ini
sebenarnya sudah lama muncul. Salah satu cosplayer hijab yang pertama kali muncul bernama
Shireishou, yang lewat foto-fotonya di bayukristanti.com, telah melakukan cosplay hijab sejak
tahun 2004. Namun berdasarkan pengamatan penulis, artikel dari Rafly Nugroho adalah artikel
yang pertama kali membahas tentang perdebatan mengenai hijab cosplay ini di tahun 2014.
Artinya, ada keterputusan selama 10 tahun dari pertama kali fenomena muncul hingga menjadi
kontroversi. Apa yang terjadi hingga kontroversi ini muncul belum pernah dibahas secara ilmiah.
Begitu pula dengan kemunculan hijab cosplay itu sendiri, belum pernah dibahas secara eksplanatif.

1.2. Rumusan Permasalahan


Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya, terlihat
perdebatan yang begitu sengit terjadi di internet terkait dengan kemunculan cosplay hijab.
Perdebatan yang terjadi tersebut merupakan bentuk reaksi terhadap sebuah hal yang dianggap tidak
biasa oleh masyarakat khususnya di kalangan yang beragama Islam dan pelaku cosplay
(cosplayer). Terlihat adanya identitas yang dianggap masyarakat berbeda sangat jauh yakni
cosplayer dan hijaber yang dipertemukan oleh para cosplayer hijab. Berdasarkan pengamatan
terhadap hal tersebut peneliti akan berfokus untuk menjawab pertanyaan: bagaimana cosplayer
hijab mempertemukan diskursus identitas sebagai cosplayer dan hijaber?
Sebagai akademisi di bidang sosial, penulis menyadari bahwa topik yang diangkat dalam
tulisan ini mungkin sudah pernah dibahas pada oleh akademisi lain di masa lampau. Dari hasil
penelusuran via Google Scholar dan Database Perpustakaan UI terdapat sebuah penelitian yang
bertopik sama. Penelitian sebelumnya terkait cosplayer hijab hanya pernah dilakukan oleh Fidy
Ramzielah F, mahasiswa S2 Kajian Sastra dan Budaya, Fakultasi Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga, Surabaya pada 2014 lalu. Penelitiannya yang berjudul “Komunitas Hijab Cosplay
Gallery: Representasi Komunitas Subkultur Virtual di Indonesia” membahas fenomena hijab
cosplayer ini dari perspektif subkultur virtual dan fokus kajiannya adalah sebuah fanpage Hijab
Cosplay Gallery di Facebook yang berlevel teks. Namun, selain penelitian tersebut belum ada
penelitian ilmiah di level konsumsi teks dan bersifat empiris langsung mewawancarai para hijab
cosplayer.

4
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan pelaku cosplayer
hijab yakni Shireishou (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu cosplayer hijab pada
awal kemunculannya di 2004 yang telah bercosplay hingga 2014 dan Sakura (bukan nama
sebenarnya) yang merupakan cosplayer hijab sejak 2014 hingga saat ini. Sakura juga tergabung
dalam komunitas Islamic Otaku Community (IOC) yang merupakan wadah bagi remaja muslim
yang menggemari budaya populer Jepang dan mencoba mensintesiskan identitas Islam dengan
Jepang. Pemilihan terhadap informan sendiri didasarkan pada penampilan cosplay hijab yang
pernah dilakukan. Dari dua informan tersebut, baik Shireishou dan Sakura sama-sama pernah
melakukan cosplay hijab dalam kurun waktu tertentu, walaupun berasal dari generasi yang berbeda
justru hal tersebut yang memperkaya keberagaman data pada penelitian ini.

1.3. Signifikansi dan Tujuan Penelitian


Dalam pengamatan penulis terhadap perdebatan mengenai fenomena cosplayer hijab,
wacana yang berkembang hanya terfokus pada ketidakcocokan nilai-nilai yang dibawa oleh
fenomena cosplay hijab pada bentuk cosplay dan hijab. Namun, belum ada argumen-argumen yang
mencoba untuk memberikan pemahaman mengenai latar belakang mengenai kenapa cosplayer
hijab bisa sampai terbentuk di masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat menambahkan penjelasan
mengenai sebab-sebab yang memicu kemunculan cosplay hijab sehingga dapat mengupas sebuah
bentuk budaya populer secara lebih mendalam yang pada akhirnya akan memperkaya pemahaman
terhadap mereka. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memperkaya wacana dalam
perdebatan yang muncul sehingga netizen tidak hanya melakukan penghakiman begitu saja
terhadap cosplayer hijab dengan berdasarkan ketidakcocokan cosplay hijab pada pakem ber-hijab
dan pakem ber-cosplay.

1.4. Sistematika Penulisan


Secara umum berikut adalah sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini:
Pada bab 1 yang dibahas adalah terkait pendahuluan penelitian ini. Bab 1 terdiri dari Latar
belakang, Rumusan masalah, Signifikansi dan Tujuan Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Pada bab 2 yang dibahas adalah terkait studi literatur mengenai cosplay hijab lewat
penyampaian Perumusan Definisi Cosplay Hijab, Perkembangan Cosplay di Indonesia, dan
Perkembangan Hijab di Indonesia

5
Pada bab 3 terdapat pembahasan dari data yang telah didapatkan oleh penulis yang
langsung dianalisis dengan menggunakan konsep identitas dan teori artikulasi dari Stuart Hall yang
digunakan untuk meihat fenomena cosplay hijab.
Pada bab 4 merupakan kesimpulan dari penelitian ini
Pada bab 5 yang dibahas adalah rancangan media practice dan media strategy yang akan
peneliti lakukan dalam menyebarkan hasil penelitian.

6
BAB II
Cosplay Hijab di Indonesia
2.1 Merumuskan Cosplay Hijab
Dalam memahami istilah cosplay hijab secara komprehensif perlu didahului dengan
pemahaman terhadap istilah cosplay dan hijab sebagai penyusunnya.
Secara etimologis, term cosplay berasal dari bahasa inggris yakni costume (pakaian yang
khusus dipakai dalam sebuah kondisi tertentu) dan play yang merujuk pada term role-play yang
menggambarkan kegiatan memerankan karakter tertentu dengan menirukan cara berbicara yang
dimiliki oleh karakter tersebut. Cosplay (seperti yang dikutip dalam Winge, 2006) dapat pula
merujuk pada beberapa kegiatan--seperti penyamaran diri, karaoke, dan berpose untuk difoto
bersama dengan otaku lainnya--yang diasosiasikan dengan berpakaian dan berperan seperti
karakter anime, manga2, dan video game. Menurut Widyastuti (2015), Cosplay merupakan
kegiatan mewujudkan karakter baik itu fiksi atau non-fiksi dari bentuk dua dimensi menjadi tiga
dimensi yang mengandung narasi atau cerita tertentu. Cosplay dalam pengertian Widyastuti (2015)
dilihat sebagai sebuah seni pertunjukkan dimana pelakunya (cosplayer) turut melakukan seni
pertunjukkan yang membawa sebuah cerita pada karakter yang diperankan.
Keterhubungan dalam pengertian mengenai cosplay yang telah dipaparkan sebelumnya
terletak pada kesamaan paham bahwa cosplay merupakan kegiatan fans yang berusaha menirukan
sebuah karakter semirip mungkin dengan cara menggunakan kostum dan menirukan tingkah laku
dari karakter tersebut. Aktivitas fans dalam bentuk cosplay ini pun dilihat oleh Jenkins (1992a,
1992b) sebagai kemampuan untuk mencerna teks media yang dikonsumsi secara aktif dengan
menghasilkan karya seni mereka sendiri dan menjadi kreatif dalam perspektif mereka sendiri.
Sementara itu, dalam membahas term hijab dari cosplay hijab, perlu diketahui perbedaan
pada definisi istilah hijab dan jilbab. Secara etimologis, hijab berarti larangan (‘Uwaidah dalam
Kartikawati, 2014). Secara definitif, hijab merupakan penutup seluruh tubuh perempuan tanpa
kecuali, (Manshur, 2012: 256-257). Makna hijab dalam Al Qur’an, yang berasal dari kata hajaban
yang berarti menutupi, atau al-hijab dapat berupa tirai pembatas, kelambu, atau pembatas lainnya,
yaitu pakaian penutup yang menutupi seluruh tubuh perempuan (Manshur, 2005: 254).
Pengertiannya terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 53. Dengan kata lain, hijab adalah
upaya mencegah diri kita dari penglihatan orang lain. Sedangkan apabila menurut istilah syara’,

2 Manga merupakan istilah bagi komik yang berasal dari Jepang

7
al- hijab adalah suatu tabir yang menutupi semua anggota badan wanita, kecuali wajah dan kedua
telapak tangan dari penglihatan orang lain (Firdaus dalam Kartikawati, 2014).
Sedangkan istilah jilbab secara etimologis berasal dari bahasa Arab jalaba yang berarti
menghimpun atau membawa (Firdaus dalam Kartikawati, 2014). Hanya saja terjadi pergeseran
makna menjadi penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 Hijriah. Aurat adalah bagian tubuh
perempuan yang tidak boleh diperlihatkan, yaitu wajah dan telapak tangan. Di beberapa Negara
Islam pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah seperti Chador di Iran, Pardeh di
India dan Pakistan, Milayat di Libya, Abaya di Irak, Charshaf di Turki, Hijab di beberapa Negara
Arab-Afrika seperti Mesir, Sudan dan Yaman (Sofyan, Ahmad Dicky, 2009: 33). Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia tahun 1984 Balai Pustaka cetakan ke-7, dulu belum dikenal nama jilbab,
tetapi dikenal dengan istilah hijab yaitu merupakan penutup aurat perempuan. Arti hijab atau jilbab
adalah sama dalam Kamus Mode Indonesia yaitu penutup kepala sebagai pelengkap busana
muslimah.
Satu penelitian yang dilakukan Fedwa El Guindi (dalam Budiati, 2011), jilbab merupakan
fenomena yang kaya dan penuh makna. Jilbab berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan
pesan-pesan sosial dan budaya. Bagi umat Kristen, jilbab menjadi sebuah simbol fundamental
yang bermakna ideologis, khusus bagi umat Katholik jilbab merupakan bagian pandangan
keperempuanan dan kesalehan, dan dalam pergerakan Islam jilbab itu memiliki posisi penting
sebagai simbol identitas dan resistensi. Lebih lanjut, Fedwa menganalisis jilbab dengan
meletakkan jilbab dalam konteks berpakaian multidimensional-secara material, ruang dan
keagamaan-sebagai sebuah mode komunikasi yang dibangun di atas pengetahuan antarbudaya,
antaragama dan antargender. Pada perkembangannya, jilbab seolah-olah hanya menjadi milik
Islam (khususnya bagi perempuan Muslim).
Dengan demikian jilbab dan hijab berbeda secara spesifik. Menurut Syekh al-Bani
mengatakan bahwa setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang
tampak sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab (Firdaus dalam
Kartikawati, 2014). Namun, di Indonesia terjadi pergeseran makna kata hijab. Pemaknaan kata
hijab ini kemudian bergeser lebih kepada fashion perempuan muslim (Ramzielah, 2014).
Dari uraian ini, hijab cosplay yang kami maksud adalah kegiatan fans yang berusaha
menirukan sebuah karakter semirip mungkin dengan cara menggunakan kostum yang dimodifikasi
dengan elemen jilbab dan menirukan tingkah laku dari karakter tersebut. Untuk dapat mengetahui

8
konteks pada bagaimana cosplay hijab sampai dapat terbentuk di masyarakat, penulis menyajikan
perkembangan antara dua elemen yang membangun cosplay hijab, yakni cosplay dan hijab.

2.2 Perkembangan Cosplay di Indonesia


Dalam memahami perkembangan cosplay di Indonesia selain melihat perjalanan
waktunya, perlu pula untuk melihat faktor yang membantu menginisiasi munculnya cosplay
pertama kali. Perkembangan cosplay di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan budaya
populer Jepang di Indonesia seperti anime, manga, dan video game. Randy Fajrian (2012) dalam
skripsinya yang berjudul “Makna Kostum dalam Komuniti Cosplay: Studi Kasus pada Endiru
Team” menjelaskan bahwa cosplayer yang muncul di Indonesia merupakan khalayak dan fans dari
anime, manga, dan video game yang telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1970-an dan sangat
populer sejak 1990-an dengan tayangnya Doraemon dan Dragon Ball saat itu.
Lewat data yang penulis dapatkan dari tulisan Fajrian (2012) perkembangan cosplay di
Indonesia memiliki beberapa keterbatasan data historis yang dapat diakses. Salah satunya
mengenai waktu pasti kapan cosplay pertama kali dilakukan di Indonesia yang tidak dapat dilacak,
karena pada awal kemunculannya cosplay lebih banyak dilakukan secara pribadi oleh masing-
masing cosplayer. Cosplayer yang mengakui dirinya sendiri sebagai cosplayer pertama adalah
Jessica, dikenal dengan nama samaran Pinky Lu Xun, yang telah memulai aktivitas cosplay pada
tahun 1998. Seperti yang dikutip oleh Fajrian (2012) dari wawancara dengan Jessica, cosplay di
awal kemunculannya sempat mendapatkan anggapan negatif dari masyarakat yang membuat
cosplayer menjadi sangat pemalu dalam menunjukkan hasil karyanya di depan umum. Anggapan
tersebut perlahan hilang seiring berjalannya waktu dan hadirnya acara yang mewadahi cosplay
untuk pertama kalinya.
Acara yang mewadahi cosplay pertama kali di Indonesia adalah Animonster Sound pada
2004 yang diselenggarakan oleh majalah Animonster yang merupakan majalah dengan konten
khusus budaya populer Jepang (Fajrian, 2012; Widyastuti, 2015). Cosplay saat itu belum menjadi
mata acara utama karena masih disatukan dengan berbagai budaya populer asal Jepang lainnya.
Animonster Sound sendiri menjadi sebuah titik awal pada kemunculan berbagai acara serupa
karena dianggap sebagai sebuah acara yang sukses (Fajrian, 2012). Kemunculan event lainnya
tidak lama setelah Animonster Sound adalah Valentine Love Flies, Bina Nusantara Bunkasai,

9
Cosplay Cabaret X'tion Festival, dan Ragnarok Online Cosplay Drama Competition pada rentang
tahun antara 2005-2006 (Fajrian, 2012).
Tidak selamanya cosplay selalu identik dengan budaya populer Jepang. Dalam
perkembangannya saat ini cosplay pun juga mendapat tempat di acara-acara budaya populer non-
Jepang seperti pameran mainan (ToyzMania, Jakarta Toys Fair) dan acara yang mengangkat
budaya populer secara lebih umum (HelloFest, Indonesia Comic Con, Jakarta Comic Con). Pada
acara-acara tersebut cosplayer yang hadir menjadi lebih beragam dengan merujuk pada karakter
komik dan game Amerika ataupun komik dan cerita pewayangan Indonesia. Putri Anggraeni
Widyastuti lewat artikel proceeding-nya yang berjudul "Kajian Transformasi Cosplay sebagai Seni
Pertunjukan Wisata Jakarta" (2015) turut memberikan bukti kehadiran cosplay karakter lokal yang
terinspirasi dari karakter wayang (lihat gambar 3). Selain itu, Widyastuti (2015) juga menyorot
acara Jakarta Cosplay Parade pada 2014 dan 2015 lalu sebagai wadah resmi kegiatan cosplay yang
disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta (gambar 4). Di acara tersebut, cosplayer dari berbagai
genre mendapat kesempatan unjuk kemampuan dan kostumnya yang dilihat oleh masyarakat
umum.
Perkembangan Cosplay di Indonesia sendiri mengalami lompatan yang cukup besar. Jika
pada awalnya cosplayer masih melakukan kegiatan ini secara individual, maka saat ini para
cosplayer cenderung mengembangkan komunitas-komunitas atas dasar kesamaan pandangan
dalam menjalani cosplay (Fajrian, 2012). Selain itu, acara cosplay pun tidak lagi hanya dimiliki
oleh acara-acara budaya populer Jepang namun turut hadir di acara yang mengusung budaya
populer yang lebih umum. Putri Widyastuti (2015) merangkum perubahan pada cosplay di
Indonesia pada tahun 2004 dan 2015 dengan melihat beberapa hal yakni: terlihat adanya
peningkatan kualitas pada kostum yang digunakan, adanya perubahan yang cukup signifikan
dalam unsur tata rias, tata rambut, dan teknik dalam ber-cosplay dimana karakter yang ditampilkan
semakin mirip dengan aslinya, dan adanya pengembangan keberagaman genre dalam ber-cosplay
yang tidak hanya didominasi oleh karakter dari budaya populer Jepang.

10
(Gambar 3. Cosplayer yang didasarkan pada karakter Garudayana karya Is Yuniarto. Sumber: Putri
Anggraeni Widyastuti, 2015)

(Gambar 4. Dokumentasi Cosplayer bersama Gubernur Jakarta Basuki TP saat konferensi pers Jakarta
Cosplay Parade. Sumber: http://cdn0-
a.production.liputan6.static6.com/medias/749820/big/033147100_1413027248-presskon_costplay__foto_5_.jpg)

2.3 Perkembangan Hijab di Indonesia


Perkembangan jilbab (atau yang kini maknanya sering disamakan dengan istilah “hijab”)
di Indonesia sangat dinamis. Di masa awal masuknya Islam ke Indonesia, hijab atau jilbab hanya
dipakai oleh keturunan langsung dari pedagang Arab atau Gujarat. Hijab atau jilbab juga menjadi
sebuah simbol perlawanan kepada penjajah pada saat itu karena orang Islam dilarang memakai
pakaian gaya Belanda (Dawam dalam Kartikawati, 2014). Di masa perjuangan kemerdekaan,
muncul Cut Nyak Dien di Aceh yang mengenakan jilbab sehingga posisi hijab atau jilbab sebagai
bentuk perlawanan terhadap penjajah menguat. Setelah Indonesia merdeka, hijab atau jilbab
menjadi salah satu simbol ideologi, misalnya oleh Masyumi.
Kebangkitan pemeluk agama Islam di dunia internasional pada tahun 1970-an, melahirkan
“revolusi jilbab” di Indonesia. Hijab atau jilbab menjadi semakin populer di tahun 1980-an. Para
muslimah mengutarakan pendapatnya untuk menjulurkan kain hijab atau jilbabnya menutup
auratnya rapat-rapat, hampir tanpa beban, penuh kedamaian sebagaimana juru dakwah di masa

11
nusantara. Pemerintah Orde Baru pada awalnya melihat fenomena ini sebagai fenomena politik,
yaitu sebagai bagian dari korporatisme negara (Kemal dalam Kartikawati, 2014). Kemudian pada
tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH.,
mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya
berujung pada pelarangan hijab atau jilbab di sekolah.
Peristiwa ini membuat ribuan mahasiswi dan pelajar yang pro terhadap hijab atau jilbab
membanjiri jalanan untuk memprotes larangan itu. Sejak terjadinya gelombang revolusi itu,
keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang
pemakaian hijab atau jilbab yang sebelumnya oleh pemerintah pusat. Keputusan ini membuat
pemakai hijab atau jilbab terus bertambah di tahun 1990-an, terutama di kalangan mahasiswa dan
pelajar. Setelah reformasi, perjuangan hijab atau jilbab merembet ke arah otonomi daerah yang
membuatnya dibakukan dengan peraturan daerah, misalnya di Provinsi Sumatera Barat.
Di tahun 1990-an akhir menuju 2000-an, hijab atau jilbab semakin mudah ditemui di
wilayah urban dan heterogen (Kartikawati, 2014). Jilbab dan hijab dimaknai secara beragam. Ia
lebih dari sekadar busana religius. Hijab atau jilbab menjadi simbol ideologis dari komunitas
tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elite sosial, simbol segregasi gender, simbol
komunitas patriarki, menjadi simbol keterbatasan perempuan, dan lain-lain.
Pertemuan antara nilai-nilai modernitas dengan hijab atau jilbab membawa gelombang
baru di kalangan perempuan muslim, terutama di London (Tarlo dalam Kartikawati, 2014). Dalam
tulisan berjudul “Hijab in London: Metamorphosis, Resonance, and Effects” tahun 2007,
diceritakan bahwa perempuan-perempuan ini merasa modern dan ingin dilihat sebagai orang
modern sehingga memakai jilbab justru untuk melawan stigma hijab atau jilbab. Stigma itu adalah
(1) stigma jilbab hanya sebagai tren; (2) Jilbab sebagai alat pemasungan kebebasan perempuan;
serta (3) Stigma-stigma lainnya.
Penggunaan hijab atau jilbab di zaman sekarang cenderung lebih ekspresif, terutama
dengan kemunculan berbagai selebriti yang memakai jilbab, antara lain Neno Warisman, Astri Ivo,
Inneke Koesherawati, Nuri Maulida, Aulia Sarah, Cece Kirani, Nabila Syakieb, Oki Setiana Dewi,
Oky Asokawati, Puput Melati, Ratih Sanggarwati, Zaskia Adya Mecca, Dewi Sandra, dan masih
banyak lagi. Dengan perkembangan hijab atau jilbab yang sekarang ini, hijab atau jilbab terlihat
tidak hanya berdasar tuntunan agama semata, akan tetapi merambah ke arah gaya hidup
(Kartikawati, 2014).

12
Perkembangan hijab atau jilbab tersebut menunjukkan seolah-olah hijab atau jilbab telah
mengalami pergeseran makna yang signifikan. Hijab atau jilbab tidak hanya menjadi simbol
identitas religius semata, tetapi telah memasuki berbagai ranah budaya, sosial, politik, ekonomi
dan tren (Kartikawati, 2014). Di ranah budaya, hijab atau jilbab telah menjadi tradisi masyarakat
tertentu dengan budaya tertentu yang dapat menyampaikan satu pesan budaya tertentu. Di ranah
sosial, hijab atau jilbab telah masuk dalam ranah sosial keagamaan yang dapat dirunut dari
perkembangan sejarah, yang mencerminkan identitas keberagaman seseorang.
Hijab atau jilbab juga telah menjadi alat politik sebagaimana di zaman Orde Baru yang
dapat diterjemahkan bahwa pemakai hijab atau jjilbab dianggap memiliki ideologi tertentu yang
ekstrem yang kemudian merupakan upaya perlawanan terhadap negara. Ranah ekonomi, hijab atau
jilbab ini telah menjadi lahan ekonomi, yang secara luas sebagai mengukuhkan keberhasilan
reproduksi ekonomi sebagaimana komodifikasi. Ranah yang terakhir adalah sebagai tren.
Kecenderungan fenomena wanita muslimah di Indonesia sekarang ini menunjukkan bahwa mode
hijab atau jilbab terus berkembang yang sifatnya menular.
Apalagi hal tersebut diramaikan dengan kemunculan beragam mode hijab atau jilbab
sebagai fashion yang yang unik. Ketika kerudung atau yang kemudian berkembang dengan nama
hijab atau jilbab telah memasuki industri, ia kemudian bersifat simbolis. Pada kenyataannya era
sekarang adalah era di mana muncul banyak nilai-nilai baru baik yang hadir sehingga hijab atau
jilbab pun dimaknai secara bervariasi.

13
BAB III
Temuan dan Analisis
3.1 Identitas di Media Baru
Dalam hubungannya dengan identitas dan media baru, di bagian pembukaan dalam
bukunya Life on the Screen, Sherry Turkle (1995) menulis:

“Layar komputer adalah lokasi baru untuk fantasi kita, baik yang erotis maupun
yang intelektual. Kita menggunakan hidup kita di layar komputer untuk menjadi
nyaman dengan cara berpikir baru mengenai evolusi, hubungan, seksualitas,
politik, dan identitas”

Di dalam ruang obrolan, di halaman web, dan di permainan online, komputer menawarkan
kita kesempatan untuk bermain dengan identitas kita dalam cara yang dahulu tidaklah mungkin.
Kita dapat berpura-pura menjadi orang lain, berbeda gender, usia, ras, atau kelas; kita dapat
menjabat sebuah pekerjaan yang eksotis, berjalan meski lumpuh, dan melihat meski buta. Ini
tidaklah dengan sederhana bahwa kita dapat berpura-pura menjadi orang lain namun bahwa kita
dapat membawa sesuatu yang lain/others dalam fantasi kita yang tidak mempunyai cara langsung
untuk mengetahui apakah identitas publik yang kita umumkan adalah milik kita atau bukan. Ini
adalah keberanian dan sekaligus bahaya dari dunia baru tentang siapa kita dan siapa yang kita
dapat menjadi, dimana mungkin mengintensifikasi atau mengatasi tensi yang berjalan antara
dimensi personal dan sosial dari “identitas” (Turkle, 1995).
Pembentukan identitas cosplayer hijab dengan segala perdebatannya juga tak terlepas dari
pengaruh media baru, terutama sosial media. Sosial media menyediakan ruang baru bagi para
cosplayer hijab untuk menampilkan dirinya bukan sebagai perempuan berjilbab saja, tetapi juga
sebagai cosplayer. Menurut seorang informan bernama Shireishou (bukan nama sebenarnya),
internet telah menjadi panggung bongkar-pasang identitas cosplayer hijab sejak tahun 2004. Pada
waktu itu, sosial media yang terkenal adalah Multiply dan website Cosplay.com. Di kedua
platform ini, cosplayer hijab mengunggah foto-foto mereka dan menampilkan identitas lain.
Keterbatasan sosial media pada waktu itu membuat Shireishou sebagai hijab cosplayer
tidak memiliki cukup banyak informasi tentang cosplayer hijab lain. Hal tersebut membuat ia
harus mengandalkan kreativitasnya sendiri untuk membuat berbagai kostum cosplay hijab, tanpa
rujukan dari cosplayer hijab lain. Seiring perkembangan waktu, di tahun 2009 ketika Facebook

14
mulai populer, informasi tentang hijab cosplayer pun semakin mudah didapat dan interaksi sesama
mereka pun mulai berjalan. Ketika itu Shireishou yang tinggal di Tangerang Selatan telah
mengetahui keberadaan hijab cosplayer yang tinggal di Semarang karena saling berkomentar lewat
foto-foto yang diunggah ke Facebook.
Jonah Peretti, dalam artikelnya yang berjudul “Capitalism and Schizophrenia:
Contemporary Visual Culture and the Acceleration of Identity Formation/Dissolution”
mengungkapkan bahwa pembentukan identitas dipengaruhi oleh bagaimana kita melihat diri kita
(atau variasi dari diri kita) direfleksikan di budaya populer visual. Munculnya sebuah fanpage
bernama Hijab Cosplay Gallery yang rutin mengunggah foto-foto cosplayer hijab dari berbagai
belahan dunia menjadi insipirasi bagi cosplayer hijab dalam memodifikasi busana-busana cosplay
hijab yang ingin mereka perankan. Selain mengunggah foto cosplayer hijab, laman ini juga
menyediakan gambar fanart (karakter anime buatan fans yang sudah dimodifikasi sedemikian
rupa) dalam versi berhijab sehingga para hijab cosplayer lain mempunyai tokoh rujukan. Tokoh
rujukan ini menjadi penting untuk menghindari isu Out of Character (OOC) yang kerap
dituduhkan pada hijab cosplayer karena dianggap memerankan karakter berhijab yang tidak ada
di anime yang sebenarnya. Dengan adanya fanart, isu OOC ini terpatahkan. Para cosplayer yang
berada di laman ini pun secara aktif mengajukan permintaan agar admin akun ini menerbitkan foto
karakter-karakter tertentu yang ingin mereka perankan.
Hijab Cosplay Gallery hanyalah salah satu sumber rujukan untuk mempermudah cosplayer
hijab melakukan negosiasi identitasnya. Sumber lain yang sejenis tentu mudah ditemukan di
internet lewat blog ataupun situs berbagi video, YouTube. Blog milik seorang cosplayer hijab yang
bernama Sindi Hamano (http://mucosplay.blogspot.co.id/) bahkan menyediakan tutorial cara
memakai hijab agar sesuai dengan bentuk karakter tertentu. Lalu, di platform berbagi video
YouTube pun tinggal mengetik “cosplay hijab tutorial” di bagian pencarian, maka akan muncul
beragam cara mendandani diri hingga mirip tokoh anime yang ditambah dengan hijab. Keadaan
ini tentu berbeda ketika penetrasi internet belum setinggi ini di masyarakat Indonesia. Dari hasil
wawancara kepada Shireishou, ia mengaku sering menjadikan Youtube sebagai referensi untuk
belajar memakai make-up dan inspirasi hijab.
Peran media baru dalam pembentukan identitas cosplayer tidak hanya sebatas memberikan
kesempatan untuk membentuk berbagai macam identitas dengan mengadopsi berbagai identitas
karakter online yang sebenarnya memiliki sedikit hubungan dengan diri kita yang sebenarnya,

15
tetapi sekaligus menyediakan mekanisme pembentukan identitas yang lebih fleksibel, cepat, dan
menguntungkan lewat fenomena belanja online (Peretti, 1996). Berkat internet, kini banyak toko-
toko online yang menyediakan perlengkapan cosplay, baik untuk yang berhijab maupun tidak.
Salah satu toko online ini bernama Light In The Box (http://www.lightinthebox.com/) yang
berskala internasional. Kostum yang disediakan sangat bervariasi, mulai dari karakter berpakaian
terbuka hingga tertutup yang dapat dikenakan oleh cosplayer hijab. Di situs ini, cosplayer tinggal
memilih karakter atau anime apa yang diinginkan disertai dengan pemilihan ukuran baju hingga
rentang harga. Metode pembayarannya pun dapat dilakukan via kartu kredit, PayPal, dan Western
Union.
Keberadaan situs belanja online ini tentu memudahkan para cosplayer hijab dalam
membentuk identitasnya. Sebelum toko-toko online ini muncul, para cosplayer hijab harus
membuat sendiri kostum yang mereka inginkan. Sebagaimana penuturan Shireishou yang ber-
cosplay sejak tahun 2004, “Dulu tidak ada yang jual baju-bajunya. Saya menggambarnya sendiri,
lalu saya bawa ke penjahit karena saya tidak bisa menjahit. Tapi kebanyakan (cosplayer) kalau
bisa jahit, ya jahit sendiri. Kostum (dari karakter) Pili yang tujuh lapis itu, tiap lapis saya gambar
sendiri. Untuk properti lainnya, baru saya yang buat (sendiri)”. Hal senada pun turut diungkapkan
oleh informan lainnya yakni Sakura. Ia menuturkan bahwa dalam pembuatan kostum yang akan
dikenakannya selalu meminta bantuan ke penjahit dengan desain kostum yang ia buat sendiri. “Beli
(dari penjahit atau costume maker) tapi aku yang desain…”
Untuk satu baju, biayanya bervariasi. Kostum karakter Hokuto yang dimiliki oleh
Shireishou hanya menghabiskan biaya Rp 65 ribu di tahun 2004, Rp 40 ribu untuk biaya penjahit
dan Rp 20 ribu untuk biaya bahan, dan Rp 5 ribu untuk biaya sarung tangan. Belakangan, Shireisou
pun pernah membuat kostum karakter Hokuto versi lengkap dengan armor dan tongkatnya dan
menghabiskan biaya Rp 800 ribu. Biaya ini belum termasuk usaha yang dikeluarkan untuk
merancang desain baju, transportasi ke tempat penjualnya, dan tenaga untuk membuat properti
cosplay. Pada informan lainnya, Sakura juga mengatakan bahwa dalam satu pembuatan kostum,
biaya untuk kostum dapat mencapai Rp 400 ribu.

3.2 Identitas Non-Esensialis Para Cosplayer Hijab

Identitas dalam pandangan kajian budaya didasarkan pada dua gagasan yakni identitas
sebagai inti universal dan abadi dari diri yang dimiliki oleh semua orang yang dikenal dengan

16
gagasan esensialisme dan identitas sebagai konsep yang bersifat plastis dan sangat spesifik dan
unik sesuai dengan ruang dan waktu tertentu (Barker, 2015). Identitas non esensialis, lanjut Barker,
merupakan sebuah konstruksi diskursif yang maknanya berubah menurut ruang, waktu, dan
pemakaian.

Penggunaan hijab yang erat kaitannya dengan praktik dalam agama Islam untuk perempuan
lantas memberikan sebuah bentuk identitas yang seolah-olah ajeg tanpa adanya ruang bagi
negosiasi terhadap para penggunanya. Seorang pengguna hijab (hijaber) pada akhirnya dilihat
sebagai perempuan alim yang kegiatannya didominasi oleh kegiatan keagamaan. Akan tetapi,
seiring berjalannya waktu, identitas esensial tersebut mulai pudar di masyarakat dan yang
berkembang justru adalah identitas non-esensialis. Penggunaan hijab tidak lagi dianggap
merupakan sebuah bentuk identitas dari keimanan seseorang, namun lebih menjadi sebuah simbol
kewajiban seorang perempuan muslim dan juga melambangkan gaya hidup.

Konsep identitas non-esensialis ini pula yang terlihat dalam perkembangan cosplayer di
Indonesia. Identitas cosplayer yang pada awal kemunculannya dianggap sebagai orang aneh mulai
berganti menjadi seorang fans yang sangat berdedikasi terhadap karakter yang dicintainya.
Disamping itu pun, identitas cosplayer sebagai pecinta anime-manga-game dari Jepang pun mulai
“diganggu” dengan munculnya cosplayer karakter lokal yang memiliki identitas sebagai pecinta
budaya lokal yang dianggap nasionalis. Saat ini cosplayer pun sudah tidak lagi malu untuk
menunjukkan dirinya pada publik seiring dengan pelaksanaan acara-acara cosplay yang semakin
banyak di Jakarta dan setiap acara dapat diikuti oleh cosplayer dalam jumlah banyak. Perubahan
tersebut semakin jelas terlihat pada pelaksanaan Jakarta Cosplay Parade yang diselenggarakan oleh
pemerintah DKI Jakarta dalam membangun pariwisata daerah. Hal tersebut menandai cosplay
yang semakin umum dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu dan turut menjadi
sebuah komoditas pariwisata bagi daerah.

Perubahan identitas pada cosplayer dan hijaber tersebut turut mempengaruhi bagaimana
identitas para cosplayer hijab. Salah satu informan, Sakura menuturkan bahwa ia baru memakai
hijab pada tahun 2012, saat itu ia menganggap seorang hijaber tidak mungkin untuk ber-cosplay
yang kemudian membuatnya menjadi tidak menyukai cosplayer hijab. Akan tetapi, seiring dengan
pengalaman sebagai hijaber yang didapat lewat aktivitas keagamaan dan buku-buku membuat

17
informan lebih memahami bagaimana seharusnya hijab dimaknai oleh penggunanya. Baginya,
hijab bukanlah sebagai lambang keimanan yang sakral, namun sebagai layaknya kain sebagai
pakaian bagi seluruh manusia yang beradab yang dapat digunakan dalam konteks apapun termasuk
dalam hobi yang dimiliki oleh hijaber tersebut.

Sakura yang merupakan perempuan aktif berolahraga turut menyampaikan bahwa dalam
berolahraga pun (renang dan basket) dirinya tetap menggunakan hijab. Sehingga ia tidak merasa
terbebani dengan identitas seorang hijaber saat menggeluti dunia cosplay. Cosplay pun dianggap
lebih kepada sebuah hobi yang pantas untuk digeluti namun perlu mengingat batasan-batasan
agama dan norma yang berlaku. Dapat terlihat dari pemaparan dalam wawancara Sakura, identitas
sebagai seorang hijaber tidak menggunakan acuan universal terhadap bagaimana seharusnya hijab
digunakan, namun lebih dinamis dan mudah dinegosiasi selama tidak melanggar aturan mengenai
bagaimana sebuah hijab yang tidak boleh tipis dan menewarang serta diharuskan menutup hingga
bagian dada.

“Hijab cosplay itu sama aja seperti hijab fashion. Sekarang aja udah banyak acara fashion
hijab. Hijab sama fashion beda emang? Sekarang kalo misalnya semua kegiatan gaboleh
membawa hijab, berarti kerja juga gaboleh pake jilbab. Makanya banyak juga perusahaan
yang tidak menerima wanita berhijab. Itu sama dengan alasan dalam (pelarangan) hijab
cosplay tidak boleh membawa hijab”.

Sementara itu, informan lain bernama Shireisou sedari awal menyadari bahwa cosplay dan
hijab memiliki tujuan yang berbeda. Shireishou menganggap konsep berjilbab sesuai dengan apa
yang dikatakan dalam Al-quran, yaitu melindungi diri, menjaga diri untuk tidak dilihat oleh yang
bukan mahram-nya (bukan yang berhak melihat). Sementara itu, ketika ber-cosplay ia ingin orang
lain melihat karakter apa yang dia sukai. Ada unsur ingin menunjukkan diri di dalamnya.
Konsekuensinya, Shireishou menyadari bahwa ketika ia ber-cosplay, ia belumlah menjadi seorang
muslimah yang kaffah (sempurna). Namun, Shireishou tidak memaknai jilbab sebagai penentu
akhlak seorang perempuan. Perempuan berjilbab belum tentu lebih baik dari perempuan yang tidak
berjilbab dan begitu pula sebaliknya.

18
“Tidak ada hubungan antara pakai jilbab dengan akhlak. Jilbab itu wajib bagi seluruh
perempuan muslim. Orang (Islam yang) jahat juga harus berjilbab. Tapi setidaknya
dengan berjilbab, muslimah jadi lebih berpikir dalam bertindak.”

Oleh karena itu, ia menegosiasikan keinginan untuk ber-cosplay dengan identitasnya


sebagai perempuan berjilbab dengan membuat batasan tersendiri dalam ber-cosplay. Ia selalu
berprinsip bahwa sebagai perempuan yang berjilbab, ia tak boleh melupakan agama yang
merupakan penuntun dalam setiap kegiatannya, termasuk ketika ber-cosplay. Hal ini berdampak
pada pemilihan karakter yang ia perankan. Shireishou pun selalu memilih untuk memerankan
karakter laki-laki yang busananya relatif lebih tertutup.

3.3 Artikulasi Identitas pada Cosplayer Hijab

Salah satu wacana yang berkembang dalam perdebatan terhadap cosplay hijab adalah
ketidakcocokan penggunaan hijab dalam konteks cosplay. Ketidakcocokan tersebut hadir karena
adanya diskursus berbeda terkait hijab dan cosplay. Diskursus hijab yang telah lebih dahulu mapan
di Indonesia sangat erat dengan praktik keagamaan Islam, sedangkan diskursus cosplay lebih
mengarah pada hal-hal duniawi dan materialis. Keduanya memang terlihat memiliki dimensi yang
berbeda dan tidak dapat disatukan. Namun, setelah melakukan wawancara dengan informan yang
merupakan cosplayer hijab, justru pelaku cosplay hijab memiliki pandangan yang berbeda dalam
diskursus hijab dan cosplay yang umum di masyarakat. Dalam tulisan ini, penulis turut
menggunakan teori artikulasi oleh Stuart Hall dalam melihat perbedaan pandangan tersebut yang
akhirnya membuat informan dengan nyaman melakukan cosplay hijab.

Teori artikulasi pertama kali dicetuskan oleh Stuart Hall pada 1985 yang muncul sebagai
penengah pada debat antara kelompok Neo-Marxian dan kaum Post-strukturalis mengenai
“perbedaan” dan “persatuan” dalam formasi sosial. Kaum Neo-marxis memandang bahwa dalam
perbedaan-perbedaan yang hadir di masyarakat dapat dimungkinkan adanya persatuan, sedangkan
kaum post-strukturalis yang cenderung pesimisme dalam melihat adanya kesatuan dari perbedaan
(Taufiqurrohman, 2010). Lebih lanjut dalam tulisan Taufiqurrohman (2010), Hall berpendapat
bahwa persatuan terhadap elemen-elemen yang berbeda di dalam struktur sosial dimungkinkan
untuk dibangun dalam kondisi tertentu yang mendukungnya yang kemudian diistilahkannya

19
sebagai artikulasi. Dalam artikulasi ini pula, Hall menghindari upaya reduksi pada formasi sosial
hanya kepada elemen ekonomi yang telah banyak dilakukan oleh kelompok Marxis, namun
mencoba untuk melihat perpaduan pada elemen-elemen yang berbeda-beda seperti kelompok ras,
seksualitas, dan bahasa. Secara lebih jelas, Hall menjelaskan artikulasi lewat sebuah
wawancaranya yang diedit oleh Grossberg (2005) sebagai berikut:

“An articulation is thus the form of the connection that can make a unity of two different
elements, under certain conditions. It is a linkage which is not necessary, determined,
absolute and essential for all time. You have to ask, under what circumstances can a
connection be forged or made? So the so-called ‘unity’ of a discourse is really the
articulation of different, distinct elements which can be rearticulated in different ways
because they have no necessary ‘belongingness’. The ‘unity’ which matters is a linkage
between that articulated discourse and the social forces with which it can, under certain
historical conditions, but need not necessarily, be connected.” (Hall dalam Morley dan
Chen, 2005: 141)

Artikulasi dalam tulisan Hall di atas merujuk pada keterhubungan yang membentuk sebuah
kesatuan dari dua elemen (dalam formasi sosial) yang berbeda dalam kondisi tertentu. Kondisi
yang mempermudah dalam melakukan artikulasi adalah dinamisnya pemaknaan terhadap
diskursus pada aspek kehidupan sosial. Kesatuan disini pun dipahami sebagai sesuatu yang
temporer karena adanya titik temu dari diskursus terhadap elemen yang berbeda-beda. Teori
artikulasi juga menyatakan bahwa berbagai aspek kehidupan sosial, khususnya identitas, yang
terlihat sebagai sebuah hal yang telah final merupakan stabilisasi temporer secara historis dan
pemaknaan identitas yang arbitrer (Barker, 2005).

3.3.1 Artikulasi Makna Hijab dan Cosplay pada Cosplayer Hijab

Cosplayer hijab mengartikulasikan makna hijab dan cosplay hingga mencapai sebuah titik
temu dalam praktik cosplay hijab yang mereka lakukan. Perlu digarisbawahi disini bahwa praktik
cosplay dan hijab memiliki pemaknaan yang cukup subjektif di tiap pelakunya. Dalam pandangan
umum, seorang cosplayer adalah seorang fans yang menirukan sebuah karakter fiksi ataupun non
fiksi secara total baik dalam segi kostum dan cara berperilaku dan hijaber adalah perempuan yang
menggunakan penutup aurat yang diwajibkan dalam Islam bagi seorang muslimah. Akan tetapi,

20
pemaknaan yang berbeda ditemui dari hasil wawancara yang penulis lakukan pada informan yang
merupakan cosplayer hijab.

Dari hasil wawancara dengan informan Sakura, sebagai seorang cosplayer ia memaknai
praktik cosplay yang dilakukannya sebagai sebuah pengekspresian terhadap karakter kesukaan
yang harusnya dilaksanakan secara menyenangkan dan tidak menekankan kesempuranaan dalam
proses peniruan yang dilakukan. Di sisi lain, sebagai seorang hijaber, Sakura memandang hijab
yang dikenakannya sebagai sebuah kain penutup aurat yang wajib penggunaannya bagi perempuan
beragama Islam. Ia menambahkan, karena sifatnya yang wajib maka hijab tidak dapat ditinggalkan
dalam kondisi apapun, termasuk di dalamnya melakukan hobinya yakni cosplay. Hijab
menurutnya pun bukan sebagai sebuah hal yang sakral dan suci seperti halnya Al-Quran dan
Adzan namun, lebih kepada sebuah pakaian yang wajib digunakan seperti halnya pakaian bagi
sebagian orang. Penggunaan cosplay hijab pun ia rasa bukan sesuatu yang aneh, karena hijab saat
ini pun telah membaur sebagai sebuah cara berpakaian. Senada dengan Sakura, informan lainnya
yang bernama Shireishou juga menganggap bahwa jilbab adalah kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan dalam kondisi apapun.

Sementara itu praktik cosplay dimaknai Shireishou sebagai sebuah ranah yang terbuka bagi
siapa saja. Baginya, “cosplayer bukanlah model”. Orang-orang boleh menjadi tokoh apa saja yang
ia sukai selama ia berani. Jadi, meskipun orang yang bersangkutan sudah keriput tapi ingin
memerankan tokoh Tifa dari Final Fantasy yang masih muda, Shireishou merasa itu adalah hak
masing-masing orang. Perdebatan-perdebatan yang muncul terkait hijab disebabkan oleh standar
ganda yang ditetapkan oleh sekelompok orang. Hal yang paling penting adalah orang itu menyukai
apa yang ia perankan. Entah orang itu berkulit hitam, jelek, gendut, kurus, ia boleh memerankan
siapa saja.

Meskipun menganggap cosplay sebagai ranah yang terbuka bagi siapa saja, Shireishou
selalu memerankan karakter sesuai bentuk aslinya, bukan hasil fanart. Tipe ini ia sebut dengan
canon. Hal ini murni preferensi pribadinya. Namun, ia juga tidak menghakimi orang-orang yang
membuat fanart maupun yang memerankannya dalam cosplay. Baginya, tidak ada larangan
membuat fanart selama kreator aslinya tidak melarang. Shireishou menganggap tokoh anime
hanyalah tokoh fiksi yang bisa dimodifikasi sedemikian rupa.

21
“Kecuali ada orang menjelek-jelekkan Allah, menjelek-jelekkan Rasul, menjelek-jelekkan
Islam, nah itu baru boleh dibela. Kalau tokoh fiksi yang dijelek-jelekkan ya woles (santai)
saja. Toh, author-nya juga gak rempong (ribet). Kenapa kita yang rempong?”

Petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa Shireishou meletakkan agama sebagai


pakem yang berada di atas cosplay. Dampaknya, cosplay yang ia lakukan harus lolos ketika
disaring dengan peraturan agama terlebih dahulu, baru kemudian mengikuti aturan cosplay. Hal
ini membuat cosplay yang ia lakukan harus menyesuaikan dengan nilai-nilai agama yang ia anut,
bukan sebaliknya.

Sebagai bentuk konkret dari artikulasi makna ini, cosplayer hijab melakukan beberapa
modifikasi terhadap kostum karakter-karakter yang sudah ada. Cosplayer hijab tidak begitu saja
mengkonsumsi manga-anime-game Jepang, komik Indonesia, ataupun fanart dan berusaha
menampilkan kostum yang semirip mungkin dengan karakter tersebut. Adanya penggunaan hijab
membuat cosplayer hijab menegosiasikan apa yang mereka konsumsi untuk mereka produksi
ulang dalam bentuk cosplay. Proses konsumsi dan produksi tersebut menentukan bagaimana dua
diskursus dan praktik pada hijab dan cosplay dibentuk dan berubah pemaknaannya.

Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara Sakura, salah satu cosplayer hijab yang
menjelaskan bahwa saat ia akan membuat sebuah kostum dari karakter yang tidak menutup seluruh
auratnya, ia akan membuat desain kostum sendiri dengan memodifikasi kostum bawaan dari
karakter.

“⁠(kostum) beli tapi aku yg design terus kasih ke penjahit...⁠bajunya kaya bajunya Yui SAO
tau ngga? yang (bentuknya) peri gtu. Jadi kita mengubahnya supaya jadi dress panjang…”

Informan lain Shireishou pun melakukan negosiasi dalam memerankan karakternya.


Dalam ber-cosplay hijab, ia selalu memilih karakter pria yang bajunya tertutup sehingga ia tak
perlu terlalu banyak menyesuaikan busana karakter dengan hijabnya. Modifikasi yang ia lakukan
sebatas mengurangi elemen busana karakter jika dirasa tidak pantas untuk dikenakan wanita
berhijab. Misalnya, ia tidak memakai bagian armor karakter Hokuto dari BT’X karena di bagian
itu Hokuto memakai celana dalam di luar.

22
“Bentar kukasih foto Hokuto. Aku dulu gak pake armor putihnya karena itu kan ada celana
dalem di luarnya, ya hahahaha. Aku gak berani.”

(Gambar 5. Foto karakter Hokuto dari BT’X. Sumber:


http://img10.deviantart.net/ca63/i/2011/038/4/9/hokuto_and_max_by_flyingkirin-d390f44.jpg)

Pemilihan karakter pria dilakukan Shireishou semata-mata karena preferensi pribadi,


selain juga pertimbangan busana. Dalam wawancara, ia mengungkapkan tiga alasannya lebih
memilih karakter pria. Pertama, ia menganggap banyak karakter perempuan yang menyebalkan.
Kedua, sebagai perempuan ia lebih tertarik kepada laki-laki. Ketiga, karakter perempuan biasanya
mengenakan baju yang terbuka. Untuk alasan yang terakhir ini, Shireishou merasa illfeel (mati
rasa) terhadap karakter perempuan yang bajunya terlalu mini. Ia menyebutnya sebagai “kurang
bahan”.

3.3.2 Cosplay dan hijab yang beriringan

Dalam memahami proses artikulasi pun sebenarnya bukanlah merupakan peleburan pada
dua diskursus dan praktik yang berbeda menjadi sebuah diskursus dan praktik yang sepenuhnya
baru. Menurut Hall (1985, lewat kutipan di bawah ini) dalam proses artikulasi tetap
mempertahankan praktik-praktik yang berbeda tersebut namun berjalan beriringan yang disebut
sebagai “distinction within a unity”.

“It is also important that an articulation between different practices does not mean that
they become identical or that the one is dissolved into the other. Each retains its distinct

23
determinations and conditions of existence. However, once an articulation is made, the two
practices can function together, not as an “immediate identity” (in the language of Marx’s
“1857 Introduction”) but as “distinctions within a unity.” (Hall, 1985: 113-4)

Lewat pemahaman terhadap distinction within unity tersebut sebenarnya cosplayer hijab
menjalankan praktik-praktik yang berbeda dalam sebuah kesatuan. Penggunaan hijab secara tidak
langsung membatasi pada bentuk kostum yang mungkin untuk ditampilkan oleh cosplayer.
Walaupun demikian modifikasi terhadap kostum masih mungkin untuk dilakukan agar lebih
“aman” digunakan. Selain itu pun, pemilihan karakter yang akan ditampilkan pun diusahakan
berasal dari anime-manga-game dengan narasi yang tidak berlawanan dengan norma keagamaan
yang berlaku. Hal tersebut ditujukan agar cosplay yang dilakukan tidak terkesan aneh karena
karakter yang berasal dari narasi yang kurang cocok dengan hijab yang mereka gunakan.

Hal ini diamini oleh Shireishou. Menurutnya, meskipun cosplay adalah sebuah ranah yang
terbuka bagi siapa saja, tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi oleh hijab cosplayer. Peraturan
paling penting menurut Shireishou adalah jangan memerankan karakter yang pada dasarnya
berpakaian seksi dan memodifikasinya seolah-olah karakter itu berbusana tertutup. Shireishou
tidak menyoroti permasalahan OOC, tetapi lebih kepada citra (image) yang muncul.

“Pada dasarnya, image karakter seksi itu jauh dari image perempuan berjilbab. Istilahnya,
“tidak senonoh” versi “alim”. Jadi, ketika si “alim” menyamar untuk berubah menjadi
“tidak senonoh” dengan mengeditnya supaya terlihat seronok, orang-orang jadi bingung
dan kesannya memaksakan sekali. Seperti tidak ada karakter lain saja.”

Shireishou pun termasuk orang yang cukup berhati-hati ketika memilih karakter dan “main
aman”. Karena ia menganggap ketika ia ber-cosplay hijab, ia tak hanya membawa identitas
dirinya, tetapi juga identitas agamanya. Ia juga memilih untuk tidak mengunggah ke sosial media
ketika karakter yang ia perankan dirasa “tidak aman” dalam hal busananya kurang tertutup sesuai
syariat Islam. Karakter seperti ini biasanya hanya diperankannya untuk kebutuhan sesi pemotretan
dan kepuasan pribadi.

Alasan pertama Shireishou ber-cosplay hijab cukup sederhana. Ia ingin ber-cosplay tanpa
menggunakan wig karena awalnya ia berpikir memakai wig sama dengan menyambung rambut

24
yang diharamkan dalam agama Islam. Wig yang ada pada saat itu pun masih terbatas dan mahal
sehingga kebanyakan cosplayer memilih untuk mewarnai rambut aslinya. Sebagai seorang
perempuan berhijab, tindakan mengecat rambut untuk mempertontonkannya ini tentu bertentangan
dengan prinsip Shireishou.

Namun, di tahun 2010 Shireishou ber-cosplay dengan memakai wig di atas penutup kepala.
Ia menuturkan bahwa ia akhirnya menggunakan wig dalam ber-cosplay karena ingin terlihat
semirip mungkin dengan karakter yang ia perankan. Untuk tetap menutup auratnya, ia juga
menggunakan penutup kepala dan leher yang biasa disebut ciput di bawah wig yang ia kenakan.
Baginya, yang terpenting adalah tidak memperlihatkan telinga ketika memakai wig.

Terkait praktik penggunaan wig ini, terdapat perbedaan pandangan lainnya antara hijab dan
cosplay. Pada informan Sakura, ia mengatakan bahwa penggunaan wig yang sangat lumrah
ditemukan pada praktik cosplay adalah haram (tidak boleh) untuk dilakukan karena merupakan
peniruan terhadap rambut yang merupakan ciptaan Tuhan, sehingga ia lebih memilih untuk
menggunakan kain hijab dalam merepresentasikan rambut dari karakter yang ia tampilkan.

25
BAB IV
Kesimpulan
Kehadiran cosplay hijab sebagai sebuah derivasi dari kegiatan cosplay yang menjadi
perdebatan di media sosial menandai kecairan identitas yang terjadi. Identitas yang dimiliki bukan
lagi sebuah hal yang kaku, namun telah menjadi sesuatu yang berubah seiring waktu. Menjadi
seorang hijaber bukan berarti menjadi seseorang kaku dan monoton, namun batasan-batasan
tersebut menjadi lebih longgar ditemukan pada hijaber. Cosplayer pun saat ini bukan lagi sebuah
kegiatan yang elitis, namun menjadi sebuah kegiatan untuk mengaktualisasikan diri. Cosplay saat
ini bukan lagi hanya sebagai ajang kesempurnaan dalam menirukan karakter, namun terdapat
upaya negosiasi dengan konsep diri tertentu.
Perdebatan terhadap cosplay hijab memang tidak akan berakhir dengan gagasan yang
penulis sampaikan disini. Namun setidaknya, terdapat sebuah cara pandang baru terhadap para
pelakunya yang dibangun dengan memahami standpoint dan perspektif mereka terhadap cosplay
sebagai sebuah hobi. Lewat penelitian ini didapatkan pula pemahaman mendalam mengenai
bagaimana mekanisme para pelakunya dalam mempertemukan dua diskursus identitas yang
berbeda. Para hijab cosplayer ini adalah orang-orang yang menekuni hobinya sekaligus mencintai
agamanya sehingga secara kreatif menciptakan bentuk baru dari praktik cosplay.
Pada akhirnya, kegiatan hijab cosplay dapat dimaknai sebagai sebuah bagian dari kecairan
identitas yang ada di masyarakat modern. Hijab cosplay adalah hasil dari dinamika yang terjadi
baik di ranah cosplay, maupun pada hijab. Cosplay sebagai budaya populer tidak dapat hanya
dimaknai secara kaku, tetapi terdapat dinamika dalam pemaknaannya di fans seiring dengan
berjalannya waktu. Di sisi lain, praktik berhijab pun tak hanya dimaknai sebagai pemenuhan
kewajiban pada agama, tetapi juga dapat diartikulasikan secara fleksibel.

26

Anda mungkin juga menyukai