Anda di halaman 1dari 0

24 Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

D
i Indonesia pertanaman kelapa
mencapai luas 3.759.397 ha. Sekitar
92,40% di antaranya berupa kelapa
dalam yang diusahakan sebagai per-
kebunan rakyat, sedangkan kelapa
hibrida baru sekitar 4% (Direktorat
Jenderal Perkebunan 1997). Umumnya
perkebunan rakyat masih memerlukan
berbagai perbaikan, baik segi teknis, mutu
hasil, pemasaran maupun manajemen
kebun (Direktorat Bina Rehabilitasi dan
Perluasan Tanaman dan Direktorat Bina
Program 1998).
Negara pengekspor minyak kelapa
terbesar Asia adalah Filipina dengan
pangsa ekspor sekitar 75%. Di pasar dunia
pangsa ekspor minyak kelapa Indonesia
sebesar 8% pada tahun 1995, menurun
sebesar 25% dibandingkan ekspor tahun
1991. Penurunan produksi kelapa antara
lain disebabkan oleh umur tanaman yang
terlalu tua, kondisi pertanaman yang
rusak, intensitas pemeliharaan rendah, dan
usaha tani monokultur. Oleh karena itu,
PEMANFAATAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK
PENGEMBANGAN PRODUKSI KELAPA
A. Abdurachman dan Anny Mulyani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Pertanaman kelapa di Indonesia mencapai luasan 3,76 juta ha, dan 92,40% di antaranya merupakan perkebunan
rakyat yang masih memerlukan banyak perbaikan, baik ditinjau dari segi teknis, mutu hasil, tata cara pemasaran
maupun manajemen kebun. Dengan semakin berkembangnya diversifikasi produk kelapa, baik yang dihasilkan
oleh industri kecil (rumah tangga) maupun industri besar, maka permintaan terhadap bahan baku kelapa akan
makin meningkat. Oleh karena itu, perlu dicari peluang pengembangan untuk meningkatkan produksi kelapa
terutama dengan meningkatkan produktivitas melalui pemanfaatan varietas unggul, pengendalian hama/penyakit/
gulma, dan pemupukan, merehabilitasi dan meningkatkan kesehatan tanaman, serta memperluas areal tanaman ke
areal baru yang potensial. Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa terdapat sekitar
10,70 juta ha lahan yang cocok untuk tanaman kelapa, terluas di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Riau. Perluasan areal baru terutama di lahan kering akan menghadapi persaingan dengan komoditas perkebunan
penghasil devisa lain seperti karet dan kelapa sawit. Alternatif pengembangan kelapa di lahan gambut pasang surut
cukup memberikan peluang, dengan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan di lahan kering, namun memerlukan
investasi yang cukup besar. Penanaman kelapa secara monokultur kurang dianjurkan dari segi pemanfaatan lahan.
Penanaman tanaman sela (palawija, pakan ternak, tanaman industri) di antara kelapa akan meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan. Selain itu, pemupukan yang diberikan pada tanaman sela sebagian akan mengalir ke kelapa.
Kata kunci: Kelapa, lahan potensial, peluang pengembangan, kesesuaian lahan, karakteristik lahan, produksi
ABSTRACT
Optimalization of suitable land for the improvement of coconut production
Coconut plantation in Indonesia covers a total area of about 3.76 million ha, 92.40% of which belong to
smallholders, and they require a lot of improvement in terms of cultivation, quality of products, marketing and
farm management. With the increasingly diversified coconut products both manufactured by small-scale (home)
and large-scale industries, the demand for coconut as the raw material will in turn increase. Therefore it deems
necessary to increase coconut production, especially by optimizing the plantation through variety improvement,
control of pest/diseases/weeds, and fertilization, rehabilitation and improvement of plant vigor, and extensification
of planting area to suitable lands. Based on the evaluation of land suitability for coconut, 10.70 million ha land is
considered suitable for coconut, mainly distributed in Papua, West Kalimantan, East Kalimantan, and Riau.
However, the extensification of coconut areas will compete with other exportable commodities such as rubber and
oil palm. Extensification on tidal peat soils is promising, and potentially give higher yield than that in upland. This
latter option, however, will require high investment. Monoculture is not advisable because of lower land use
efficiency. Intercropping with secondary crops (corn, peanuts, or soybean), integration with animal husbandry, or
intercropping with other estate crops will improve land use efficiency. Furthermore, fertilization of the diversifying
crops will give spill-over benefits to the coconuts.
Keywords: Coconut, suitable land, development opportunity
Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003 25
pengembangan kelapa perlu memperoleh
perhatian yang lebih cermat, mengingat
luas pertanaman kelapa diprediksi akan
mengalami penurunan sampai tahun 2005
(Suryana et al. 1998).
Keberhasilan Filipina dalam indus-
trialisasi kelapa dapat tercapai dengan
cara meningkatkan produk tradisional dan
nontradisional. Produk kelapa tradisional
yang dihasilkan adalah kelapa segar,
kopra, minyak kelapa, bungkil kopra,
kelapa parut kering, arang tempurung,
karbon aktif, roasted coconut, fatty
alcohol, coconut acid oil, sedangkan
produk nontradisional meliputi coconut
cream powder, hydrogenated coco oil,
paring oil, crude glycerine, coco
chemical, alkanolamide, dan coco shell
flour. Diversifikasi produk kelapa dalam
skala industri ini belum sepenuhnya
diterapkan di Indonesia. Adanya potensi
bahan baku yang cukup besar dan
teknologi pengelolaan produk kelapa
yang makin dikuasai memberi peluang
bagi diversifikasi produk melalui proses
agroindustri (Wirakartakusumah et al.
1993).
Kelapa dapat tumbuh pada berbagai
kondisi lahan, tanah, dan iklim, sehingga
penyebarannya cukup luas. Kelapa dapat
tumbuh pada ketinggian di bawah 500 m
di atas permukaan laut (dpl), dan pada
lokasi tertentu terutama di daerah
pegunungan Sumatera, Jawa, dan Sulawesi
Utara, kelapa masih dijumpai pada
ketinggian 900 m dpl (Darwis 1986). Salah
satu masalah dalam peningkatan produksi
kelapa saat ini adalah umur produktif
optimal sebagian kelapa rakyat sudah
dilampaui, sehingga perlu dilakukan
peremajaan dan rehabilitasi. Pemanfaatan
varietas hibrida merupakan komponen
teknologi yang strategis dalam meng-
optimalkan sumber pertumbuhan produksi
kelapa pada masa yang akan datang (Tim
Peneliti Badan Litbang Pertanian 1998).
Puslitbang Tanah dan Agroklimat
telah melaksanakan evaluasi kesesuaian
lahan untuk kelapa di 11 propinsi (Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997).
Hasil evaluasi disajikan dalam bentuk peta
skala 1:250.000, yang menggambarkan
luas dan penyebaran masing-masing kelas
kesesuaian lahan.
Makalah ini menyajikan informasi
mengenai penggunaan lahan untuk
tanaman kelapa, karakteristik dan ke-
sesuaian lahan, serta peluang dan
kendala pemanfaatan lahan untuk
pengembangan kelapa di Indonesia.
KERAGAAN PERTANAMAN
KELAPA DI INDONESIA
Pertanaman Kelapa
Areal pertanaman kelapa dalam tercatat
seluas 3.550.380 ha, sedangkan kelapa
hibrida 164.509 ha (Tabel 1). Kelapa
dalam umumnya diusahakan sebagai
perkebunan rakyat, sedangkan kelapa
hibrida selain sebagai perkebunan rakyat
juga banyak diusahakan sebagai per-
kebunan swasta dan hanya sebagian
kecil saja sebagai perkebunan negara.
Kelapa dalam terbanyak diusahakan di
Riau dan Sulawesi Utara, masing-masing
465.388 dan 289.792 ha, dengan produk-
tivitas tertinggi terdapat di Sulawesi
Utara yaitu 1,04 t/ha setara kopra. Pada
tahun 1997, dari total luas pertanaman
kelapa 3.550.380 ha, areal yang produktif
dan menghasilkan sekitar 2.502.724 ha,
yang belum menghasilkan 824.596 ha,
dan yang tidak menghasilkan atau
rusak 190.965 ha (Direktorat Jenderal
Perkebunan 1997). Wilayah kelapa
hibrida produktif yang terluas terdapat
di Lampung, Sulawesi Selatan, dan
Jawa Barat, dengan produksi berturut-
turut 15.626 ton, 18.956 ton, dan 8.155
ton, sedangkan hasil tertinggi terdapat
di Sulawesi Selatan sekitar 1,37 t kopra/
ha.
Pusat produksi kelapa telah bergeser
dari Jawa dan Bali ke Sumatera, antara lain
karena penggunaan jenis kelapa hibrida
yang produktivitasnya tinggi dan cepat
berproduksi serta perluasan areal yang
pesat terutama ke lahan pasang surut/
gambut (Mahmud dan Allolerung 1998).
Produktivitas pertanaman kelapa di daerah
pasang surut Riau dan Jambi (1.199 kg/
ha/tahun) umumnya lebih tinggi di-
banding daerah lahan kering (735,50 kg/
ha/tahun) (Direktorat Jenderal Perkebunan
1998). Pola pertanaman umumnya mono-
kultur baik untuk perkebunan rakyat,
negara maupun swasta, namun di
beberapa daerah dijumpai pula tumpang
sari kelapa dengan tanaman pangan,
tanaman tahunan lainnya, atau berupa
kebun campuran.
Agroindustri Kelapa
Kelapa sebagian besar diolah menjadi
kopra yang selanjutnya diproses menjadi
minyak goreng. Namun, usaha ini semakin
lemah baik dalam perdagangan domestik
maupun luar negeri, karena tersaingi oleh
minyak sawit. Namun, permintaan kelapa
segar untuk dikonsumsi langsung (kelapa
muda dan santan) terus meningkat
sehingga mempengaruhi penyediaan
bahan baku minyak goreng asal kelapa.
Selain diolah menjadi minyak, kini telah
berkembang diversifikasi produk kelapa
seperti desiccated coconut, gula kelapa,
nata de coco, berbagai produk daging
kelapa, kelapa parut kering, arang
tempurung, serat sabut kelapa, mebel kayu
kelapa, dan akhir-akhir ini berkembang
santan siap saji dengan berbagai ke-
masan.
Pengolahan kelapa yang dapat
dilaksanakan oleh industri kecil/rumah
tangga adalah pengolahan santan, nata
de coco, gula kelapa, arang tempurung,
dan perabotan rumah tangga, sedangkan
teknologi minyak kelapa kualitas tinggi,
coco chemical/oleochemical (asam lemak/
fatty alcohol, glyserin) dan minuman
ringan, belum dapat dikuasai oleh industri
kecil (Suyata dan Yaman 1998). Dengan
berkembangnya agroindustri kelapa, baik
industri besar maupun kecil, maka
permintaan terhadap bahan baku kelapa
semakin meningkat. Oleh karena itu,
peningkatan produksi kelapa mutlak
diperlukan dengan mencari sumber
pertumbuhan produksi.
KARAKTERISTIK DAN
KESESUAIAN LAHAN
Karakteristik Lahan
Kelapa mempunyai persyaratan tumbuh
dengan selang sifat yang relatif lebar,
sehingga dapat tumbuh baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi, dengan
iklim basah (Sumatera, Jawa, dan Kali-
mantan) maupun iklim kering (Sulawesi
dan Nusa Tenggara). Dalam kriteria
kesesuaian lahan (Djaenudin et al. 2000)
dinyatakan bahwa kelapa dapat tumbuh
pada daerah dengan temperatur tahunan
rata-rata 2035
o
C dengan suhu optimal
2528
o
C, dan curah hujan 1.0005.000
mm/tahun atau paling sesuai 2.0003.000
mm/tahun (Lampiran 1). Meskipun
demikian, pada umumnya tanaman kelapa
(terutama kelapa hibrida) tidak dapat
bertahan apabila bulan kering lebih dari 6
bulan. Hal ini terlihat pada saat terjadi El-
26 Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003
Nino 1997 dengan bulan kering 56 bulan,
sehingga tanaman kelapa banyak yang
rusak dan mati kekeringan (Gambar 1). El-
Nino juga mengakibatkan sekitar 650 ha
tanaman buah-buahan dan ribuan hektar
tanaman perkebunan mengalami kekering-
an, serta 150.000 ha tanaman per-
kebunan dan ratusan ribu hektar hutan
terbakar (Las et al. 2000). Darwis (1986)
mengemukakan bahwa kerusakan pada
kelapa lebih banyak disebabkan oleh
kekeringan daripada kelebihan hujan, dan
penurunan produksi buah terjadi sampai
2 tahun.
Dari segi tanahnya, kelapa dapat
tumbuh dan berproduksi pada berbagai
jenis tanah, baik tanah mineral maupun
tanah organik (gambut). Hampir seluruh
ordo tanah mineral dapat dimanfaatkan
untuk pertanaman kelapa, yaitu Incep-
tisols, Ultisols, Entisols, Alfisols, Oxisols,
Mollisols, dan Vertisols. Produktivitas
Tabel 1. Luas areal tanam kelapa dalam dan hibrida (ha) di Indonesia.
Propinsi
Perkebunan rakyat Perkebunan negara Perkebunan swasta Jumlah
Dalam Hibrida Dalam Hibrida Dalam Hibrida Dalam Hibrida
Aceh 123. 426 0 0 0 0 0 123. 426 0
Sumatera Utara 147. 924 0 245 0 7.540 0 155. 709 0
Sumatera Barat 78. 686 1.513 0 0 34 40 78. 720 1.553
Riau 438. 472 0 214 0 26. 702 0 465. 388 0
Jambi 118. 537 4.275 0 1.570 0 0 118. 537 5.845
Sumatera Selatan 60. 867 2.972 0 210 919 5.598 61. 786 8.780
Bengkulu 20. 798 0 0 0 133 289 20. 931 289
Lampung 146. 861 20. 839 0 1.161 502 25. 681 147. 363 47. 681
Sumat era 1.135.571 29. 599 459 2.941 35. 830 31. 608 1.171.860 64. 148
Jawa Barat 276. 496 12. 813 0 7.035 1.532 3.072 278. 028 22. 920
Jawa Tengah 288. 511 3.366 1.863 0 520 0 290. 894 3.366
DI. Yogyakarta 54. 313 0 0 0 0 0 54. 313 0
Jawa Timur 253. 902 0 1.117 0 2.908 0 257. 927 0
Jawa 873. 222 16. 179 2.980 7.035 4.960 3.072 881. 162 26. 286
Bali 70. 961 927 0 0 824 3 71. 785 930
Nusa Tenggara Barat 63. 527 515 0 0 301 0 63. 828 515
Nusa Tenggara Timur 168. 071 0 0 0 403 0 168. 474 0
Maluku 240. 984 7.249 0 2.900 1.700 150 242. 684 10. 299
Irian Jaya 32. 456 5.037 0 0 498 279 32. 954 5.316
Juml ah 575. 999 13. 728 0 2.900 3.726 432 579. 725 17. 060
Kalimantan Barat 84. 553 8.353 0 180 0 3.551 84. 553 12. 084
Kalimantan Tengah 46. 602 0 0 0 0 0 46. 602 0
Kalimantan Selatan 56. 250 2.454 0 0 10 10. 946 56. 260 13. 400
Kalimantan Timur 55. 020 0 10. 922 0 128 0 66. 070 0
Kal i mantan 242. 425 10. 807 10. 922 180 138 14. 497 253. 485 25. 484
Sulawesi Utara 276. 976 0 1.467 0 11. 349 0 289. 792 0
Sulawesi Tengah 172. 411 0 0 0 2.035 0 174. 446 0
Sulawesi Selatan 143. 796 24. 964 0 0 843 3.106 144. 639 28. 070
Sulawesi Tenggara 53. 803 3.204 0 0 1.468 255 55. 271 3.459
Sul awesi 646. 986 28. 168 1.467 0 15. 695 3.361 664. 148 31. 529
Indonesi a 3.474.203 98. 481 15. 828 13. 056 60. 349 52. 970 3.550.380 164. 507
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (1997).
Gambar 1. Kelapa hibrida yang rusak akibat kekeringan pada El-Nino 1997,
Batulicin, Kalimantan Selatan.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003 27
bervariasi tergantung pada kandungan
hara dalam tanah dan kondisi iklim. Pada
tanah berpasir, tanaman kelapa masih
dapat tumbuh asalkan hara dan air cukup
tersedia. Oleh karena itu, tanaman kelapa
banyak ditemukan pada tanah-tanah
berpasir di sepanjang pantai di beberapa
daerah di Indonesia.
Selain pada tanah mineral, kelapa
juga tumbuh baik pada tanah organik
seperti di lahan rawa pasang surut
(gambut) dan rawa lebak (sistem surjan).
Berdasarkan fisiografinya, lahan pasang
surut dibagi menjadi grup Aluvio-marin
dan Gambut. Tanah yang dominan pada
grup Aluvio-marin adalah Entisols dan
Inceptisols dan biasanya tanah me-
ngandung lapisan pirit (FeS
2
) yang
terkenal sebagai tanah sulfat masam.
Pada grup Gambut, ordo tanahnya adalah
Histosols. Pertanian di lahan gambut
umumnya dapat dilaksanakan apabila
lahan telah dibuka dan direklamasi. Lahan
pasang surut dengan tipe luapan D dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan
kelapa (Widjaja-Adhi 1992).
Lahan pasang surut antara lain
dibuka melalui proyek pembukaan
persawahan pasang surut (P4S)
Departemen PU selama Pelita IIII seluas
1,39 juta ha, dan sepertiganya merupakan
tanah gambut. Tanaman perkebunan
(kelapa dan kelapa sawit) tumbuh baik
pada gambut dangkal sampai gambut
dalam (13 m). Tanah gambut dengan
ketebalan lebih dari 3 m tidak disarankan
untuk pertanian, dan lebih sesuai untuk
kawasan hutan lindung atau konservasi
(Subagyo et al. 2000). Pengembangan
tanaman kelapa terutama kelapa hibrida
di lahan gambut pasang surut banyak
dilakukan di Propinsi Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Selatan (Mahmud dan
Allolerung 1998).
Meskipun kelapa dapat tumbuh pada
kondisi lingkungan yang bervariasi, baik
iklim, tanah, ketinggian tempat, maupun
letak geografis dan topografi, hambatan
pengembangan kelapa adalah serangan
hama/penyakit. Tingkat serangan hama/
penyakit dan kerugian yang ditimbulkan-
nya sangat bervariasi. Sebagai contoh,
pada tahun 1993 hama Oryctes rhinoceros
L. menyerang pertanaman kelapa hampir
di seluruh propinsi, sehingga menimbul-
kan kerugian Rp 6,110 miliar dan penyakit
busuk pucuk (Phytophthora palmivora)
yang menyerang kelapa hibrida me-
nimbulkan kerugian Rp 4,662 miliar
(Direktorat Bina Perlindungan Tanaman
Perkebunan 1993).
Kesesuaian Lahan untuk
Kelapa
Puslitbang Tanah dan Agroklimat telah
melakukan evaluasi kesesuaian lahan
untuk kelapa di 11 propinsi yaitu
Sumatera Utara, Riau, Bengkulu,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat,
Maluku, dan Papua (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat 1997). Hasil
inventarisasi menunjukkan bahwa 14,30
juta ha lahan berpotensi tinggi untuk
pertanaman kelapa (Tabel 2). Lahan yang
telah dimanfaatkan untuk kelapa baru
sekitar 3,76 juta ha, sehingga pengem-
bangan kelapa mempunyai peluang yang
cukup tinggi.
Hasil penilaian kesesuaian lahan
dibedakan menjadi lahan yang sesuai
untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan
diversifikasi. Apabila wilayah yang
dievaluasi tersebut telah digunakan
untuk tanaman kelapa, maka arahan
pengembangan lebih ditujukan untuk
intensifikasi. Lahan untuk intensifikasi
yang berpotensi tinggi hanya seluas
427.500 ha, sedangkan seluruh wilayah
yang berpotensi (potensi tinggi, sedang,
dan rendah) mencapai 872.900 ha
(Abdurachman et al. 1998), lebih kecil dari
luas total lahan tanaman kelapa saat ini
3.759.397 ha. Hal ini terjadi karena lahan
yang intensif ditanami kelapa belum
seluruhnya terpetakan dalam peta
penggunaan lahan, terutama untuk
perkebunan rakyat yang umumnya
berupa kebun campuran yang sulit untuk
dibatasi/didelineasi di peta. Peta pe-
nyebaran lahan yang sesuai untuk
intensifikasi, ekstensifikasi maupun
diversifikasi di masing-masing propinsi
tersedia di Puslitbangtanak. Sebagai salah
satu contoh disajikan peta arahan
pengembangan tanaman kelapa lembar
Medan (Gambar 2).
Apabila lahan yang dievaluasi
(misalnya berupa tegalan atau per-
kebunan) telah digunakan untuk ko-
moditas selain kelapa, maka arahan
pengembangan ditujukan untuk ko-
moditas alternatif atau diversifikasi.
Pengembangan tanaman kelapa dapat
dilakukan apabila lahan lebih sesuai
untuk tanaman kelapa dan secara
ekonomis lebih menguntungkan di-
bandingkan komoditas lain.
Apabila lahan masih berupa alang-
alang, semak belukar, lahan tidur, atau
areal hutan yang dapat dikonversi, maka
arahan pengembangan ditujukan untuk
ekstensifikasi atau perluasan areal baru
(Hidayat dan Mulyani 2000). Berdasarkan
hasil pengukuran secara planimetris
terhadap peta penggunaan lahan, luas dan
penyebaran lahan alang-alang dalam
satuan fisiografi mencapai 9 juta ha, dan
kemungkinan dapat lebih luas lagi pada
tingkat inventarisasi lebih detail (Sukardi
et al. 1993). Berdasarkan data Biro Pusat
Statistik (1998), terdapat lahan terlantar,
termasuk alang-alang dan semak belukar
sekitar 9,63 juta ha, terutama di Kalimantan
Tabel 2. Luas lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa (ha) di 11
propinsi yang telah dievaluasi.
Propinsi Intensifikasi Ekstensifikasi Diversifikasi Jumlah
Sumatera Utara 2.300 123. 600 866. 300 992. 200
Riau 17. 300 1.227.300 357. 200 1. 601.800
Bengkulu 3.100 145. 600 226. 600 375. 300
Kalimantan Barat 109. 500 2.707.500 535. 500 3. 352.500
Kalimantan Timur 15. 500 1.729.000 157. 000 1. 901.500
Sulawesi Tengah 139. 000 163. 000 16. 000 318. 000
Sulawesi Selatan 54. 700 88. 800 95. 600 239. 100
Sulawesi Tenggara 3.300 297. 600 167. 500 468. 400
Nusa Tenggara Barat 13. 100 4.700 17. 800
Maluku 69. 700 290. 700 69. 900 430. 300
Papua 3.951.000 641. 400 4. 592.400
Jumlah 427. 500 10.724.100 3.137.700 14.289.300
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997).
28 Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003
(3,30 juta ha) dan Sumatera (3,10 juta ha).
Dengan demikian, peluang pemanfaatan
lahan potensial untuk pengembangan
kelapa masih cukup luas.
POTENSI PENINGKATAN
PRODUKSI
Peningkatan produksi tanaman per-
kebunan, termasuk kelapa dapat dilakukan
melalui pemanfaatan beberapa sumber
pertumbuhan produksi, baik selama
praproduksi, produksi, maupun panen
dan pascapanen. Beberapa cara yang
dapat ditempuh antara lain adalah: 1)
meningkatkan produktivitas tanaman
dengan memanfaatkan varietas unggul,
menerapkan teknologi pengendalian
hama/penyakit/gulma, dan memupuk
dengan tepat dan efisien; 2) merehabilitasi
dan meningkatkan kesehatan tanaman
yang rusak akibat kemarau atau bencana
alam, serangan hama dan penyakit, tua dan
dengan menggunakan varietas unggul
dan mixed farming sebesar 634.525 ton.
Suryana et al. (1998) memproyek-
sikan bahwa luas areal dan produksi
kelapa pada tahun 2005 masing-masing
sebesar 3.347.190 ha dan 3.701.477 ton
(Tabel 4). Luas areal diproyeksikan akan
tetap meningkat sampai tahun 1997 yaitu
mencapai 3.556.944 ha, namun pada tahun
berikutnya mengalami penurunan. Produk-
si diproyeksikan setiap tahun meningkat
dengan laju pertumbuhan 3,27%/tahun.
Berdasarkan proyeksi pertambahan
produksi sebesar 1.495.742 ton (Tabel 3),
maka pada tahun 2003 produksi kelapa
dapat meningkat menjadi 4.150.148 ton
karena produksi kelapa pada tahun 1998
sebesar 2.654.406 ton. Pada tahun yang
sama, apabila kita bandingkan dengan
proyeksi produksi sebagaimana tercantum
pada Tabel 4 sebesar 3.446.869 ton,
ternyata proyeksi produksi dapat dicapai
bahkan berlebih sampai tahun 2005,
meskipun proyeksi luas areal menurun
menjadi 3.347.190 ha.
kurang produktif; 3) memperluas areal
tanam ke areal baru yang potensial; 4)
meningkatkan stabilitas produktivitas;
dan 5) memperkecil kehilangan hasil
dengan mengoptimalkan penerapan
teknologi panen dan pascapanen (Tim
Peneliti Badan Litbang Pertanian 1998).
Dari kelima komponen tersebut,
komponen utama sumber pertumbuhan
adalah peningkatan produktivitas,
perbaikan dan rehabilitasi tanaman yang
rusak, serta perluasan areal. Sumber-
sumber pertumbuhan produksi tersebut
diproyeksikan dapat memberi kontribusi
bagi peningkatan produksi kelapa
nasional. Tabel 3 memperlihatkan bahwa
peningkatan produktivitas melalui pe-
manfaatan varietas unggul, pengendalian
hama/penyakit, dan pemupukan di-
harapkan akan meningkatkan produksi
sebesar 560.421 ton pada tahun 19992003.
Demikian juga rehabilitasi dan peningkat-
an kesehatan tanaman diharapkan dapat
memberikan kontribusi sebesar 300.796
ton, serta dari perluasan areal tanam
Gambar 2. Salah satu contoh peta arahan pengembangan kelapa lembar Medan, Sumatera Utara.
Intensifikasi
Potensi tinggi
Ekstensifikasi
Potensi tinggi
Potensi sedang
Potensi rendah
Diversifikasi
Potensi tinggi
Potensi sedang
Tidak sesuai
Hutan suaka alam
Hutan produksi terbatas
Hutan lindung
Penggunaan lain
Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003 29
3) Menggunakan varietas unggul
spesifik lokasi baik kelapa dalam
maupun hibrida.
4) Pemupukan yang tepat sesuai kondisi
hara tanah.
5) Pengendalian hama/penyakit yang
efektif.
6) Pola tanam dengan mengoptimalkan
pemanfaatan lahan.
7) Pengelolaan pascapanen yang efisien.
Penggunaan Varietas Unggul
Rehabilitasi tanaman yang rusak dan
perluasan areal baru, perlu menggunakan
varietas unggul. Pada tahun 1989, Badan
Litbang Pertanian telah melepas 4 varietas
unggul kelapa dalam, yaitu Kelapa Baru 1
(KB1), KB2, KB3, dan KB4, serta 3 varietas
kelapa hibrida Indonesia KHINA1,
KHINA2, dan KHINA3 (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Industri
1989). Pusat Penelitian dan Pengembang-
an Tanaman Perkebunan (2000) telah
merekomendasikan beberapa varietas
kelapa dalam yaitu Mapanget, DMT 3283,
Tenga, Bali, Palu, Suwarna, dan Riau
dengan potensi hasil 34 t/ha. Untuk
kelapa hibrida telah ditemukan empat
hibrida baru yang bisa diterima petani
karena masukannya rendah yaitu GRA x
DMT, GKB x DMT, GKN x DTE, dan GKB
x DTE.
Peluang pengembangan kelapa
(terutama hibrida) di daerah gambut
pasang surut cukup tinggi karena 7,60 juta
ha lahan gambut dapat dimanfaatkan
untuk perkebunan kelapa. Hal ini sejalan
dengan adanya keterbatasan pengem-
bangan dan persaingan dengan komoditas
lain di lahan kering. Selain itu, produk-
tivitas kelapa di lahan pasang surut
umumnya lebih tinggi daripada di lahan
kering. Oleh karena itu, di masa yang akan
datang, pengembangan perkebunan
kelapa di daerah pasang surut dapat
ditingkatkan melalui pola swadaya, pola
perkebunan inti rakyat (PIR), dan pola
perkebunan besar. Kendala yang dihadapi
petani kecil dalam pengembangan kelapa
di lahan pasang surut adalah: 1) ke-
tersediaan modal, karena dibutuhkan
investasi yang relatif besar, serta 2)
keterbatasan benih kelapa hibrida yang
sesuai untuk daerah pasang surut dan
tahan terhadap penyakit (Direktorat
Jenderal Perkebunan 1998).
Pengembangan kelapa hibrida di
lahan pasang surut antara lain telah
Tabel 3. Proyeksi pertambahan produksi kelapa di Indonesia, 1999 2003.
Tahun
Peningkatan

Rehabilitasi
Perluasan
Jumlah
produktivitas areal
(t ) (%) (t ) (%) (t ) (t )
1999 221. 366 8,33 0 0 221. 366
2000 162. 522 6,12 0 79. 072 241. 594
2001 103. 678 3,91 37. 138 1,40 158. 778 299. 594
2002 44. 834 1,69 96. 538 3,64 217. 222 358. 594
2003 28. 021 1,06 167. 120 6,29 179. 453 374. 594
Jumlah pertumbuhan 560. 421 21,11 300. 796 11,33 634. 525 1.495.742
Sumber: Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian (1998).
Tabel 4. Proyeksi luas areal dan produksi kelapa di Indonesia.
Tahun Proyeksi luas areal (ha) Proyeksi produksi (t)
Rata-rata
19691973 1.511.425 1.232.430
19731978 2.313.673 1.489.520
19781983 2.821.877 1.663.863
19831988 3.110.510 1.973.620
19891993 3.430.720 2.370.261
1994 3. 558.764 2.524.795
1995 3. 542.473 2.668.006
1996 3. 553.914 2.756.803
1997 3. 556.944 2.848.554
1998 3. 553.914 2.943.360
1999 3. 544.049 3.041.320
2000 3. 527.407 3.142.541
2001 3. 504.084 3.247.131
2002 3. 474.213 3.355.202
2003 3. 437.964 3.446.869
2004 3. 395.544 3.582.253
2005 3. 347.190 3.701.477
Laju 19952005 (%/tahun) 0,57 3,27
Sumber: Suryana et al. (1998).
PELUANG DAN KENDALA
PENGEMBANGAN KELAPA
Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian
lahan, diperoleh data bahwa lahan yang
berpotensi untuk pengembangan tanaman
kelapa tersedia sekitar 10,70 juta ha,
terutama terdapat di Papua, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, dan Riau (Tabel
2), sehingga peluang pengembangan
kelapa masih cukup luas. Namun, upaya
perluasan areal kelapa akan menghadapi
persaingan dengan komoditas perkebunan
penghasil devisa lainnya, seperti karet,
kelapa sawit, kakao, jambu mete, dan lada
(Hidayat dan Mulyani 2000). Oleh karena
itu, peningkatan produksi kelapa perlu
dilakukan dengan berbagai upaya, antara
lain peningkatan produktivitas tanah,
perbaikan dan rehabilitasi tanaman yang
rusak, serta perluasan areal tanam.
Perluasan Areal Tanam
Apabila perluasan areal tanam akan
ditempuh, maka untuk mengantisipasi
persaingan pemanfaatan lahan perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu:
1) Lahan harus betul-betul sesuai dengan
persyaratan tumbuh kelapa.
2) Pengelolaan lahan terutama lahan
pasang surut/gambut harus sesuai
dengan karakteristik tanahnya.
30 Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003
dilaksanakan oleh PT Sambu Grup di
Kecamatan Kateman, Inderagiri Hilir, Riau
dengan pola PIRTRANS seluas 64.300 ha,
dengan tanaman sela nenas. Dalam 1 ha
terdapat 136 pohon kelapa dan 20.000
rumpun nenas (Faehry 1998).
Tumpang Sari Kelapa dengan
Tanaman Semusim
Kelapa umumnya ditanam secara mono-
kultur, sehingga tidak efisien dalam
pemanfaatan lahan. Perakaran efektif rata-
rata tanaman kelapa berada pada radius 2
m dari batang, sehingga 1 pohon kelapa
Gambar 3. Tumpang sari kelapa dengan palawija (jagung dan ubi kayu), lokasi
Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah.
hanya memerlukan 12,50 m
2
. Berdasarkan
populasi tanaman dalam 1 hektar dapat
dihitung lahan yang dapat dimanfaatkan
(Tabel 5). Sebagai contoh, dengan
populasi 100200 pohon/ha maka lahan
yang tidak dimanfaatkan sebesar 74,86
87,43% (Darwis 1986). Oleh karena itu,
penanaman kelapa secara monokultur
kurang dianjurkan dari segi pemanfaatan
lahan. Dari segi ekonomis cukup kuat
alasan untuk menanam tanaman sela
(palawija, tanaman perkebunan, pakan
ternak) di antara tanaman kelapa (Gambar
3), karena dapat meningkatkan pen-
dapatan, diversifikasi pangan, kontinuitas
pendapatan, lapangan kerja, dan pe-
nanggulangan hama. Dengan adanya
tanaman sela, pemupukan yang diberi-
kan pada tanaman sela sebagian akan
mengalir ke kelapa. Demikian juga dengan
pengolahan tanah dapat memperbaiki
aerasi tanah dan mengurangi gulma dan
hama/penyakit, sehingga produksi kelapa
dapat meningkat (Darwis 1988).
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Pertanaman kelapa di Indonesia
mencapai luasan 3,76 juta ha, dan
92,40% di antaranya merupakan
perkebunan rakyat dengan pola
pengusahaan secara monokultur.
Apabila kerapatan tanaman rata-rata
140160 pohon/ha dan perakaran
efektif kelapa radius 2 m, maka lahan
yang belum dimanfaatkan pada
perkebunan kelapa mencapai 8083%
atau sekitar 2,80 juta ha.
2) Semakin berkembangnya diversifikasi
produk kelapa, baik yang dihasilkan
oleh industri kecil (rumah tangga)
maupun industri besar, permintaan
kelapa sebagai bahan baku akan
semakin meningkat sehingga di-
perlukan berbagai upaya untuk
meningkatkan produksi kelapa.
3) Berdasarkan penilaian kesesuaian
lahan untuk tanaman kelapa, lahan
yang berpotensi untuk pengembangan
kelapa mencapai 10,70 juta ha, terluas
terdapat di Papua, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Riau. Perluasan
areal baru di lahan kering akan meng-
hadapi tantangan dan persaingan
dengan komoditas perkebunan
lainnya.
4) Pertanaman kelapa di lahan gambut
pasang surut umumnya mempunyai
produktivitas lebih tinggi dibanding-
kan di lahan kering, sehingga mem-
punyai potensi pengembangan yang
cukup tinggi. Namun, pengem-
bangannya memerlukan investasi
yang cukup besar.
5) Peningkatan produksi kelapa dapat
dilakukan melalui pemanfaatan bebe-
rapa sumber pertumbuhan produksi,
di antaranya meningkatkan produk-
tivitas tanaman dengan pemanfaatan
varietas unggul, pengendalian hama/
penyakit/gulma, pemupukan; mereha-
bilitasi dan meningkatkan kesehatan
tanaman; serta perluasan tanaman ke
areal baru yang potensial.
Tabel 5. Perbandingan lahan yang digunakan untuk tanaman kelapa dan
yang tidak digunakan dalam setiap hektar pada berbagai kerapatan.
Kerapatan
Luas lahan yang Luas lahan yang tidak
tanaman
digunakan digunakan
(m
2
) (%) (m
2
) (%)
100 1.257,14 12,57 8.742,86 87,43
120 1.508,57 15,09 8.491,43 84,91
140 1.760 17,60 8.240 82,49
160 2.011,43 20,11 7.988,57 79,89
180 2.262,89 22,63 7.737,14 77,37
200 2.514,29 25,14 7.485,71 74,86
Sumber: Darwis (1986).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003 31
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Mulyani, dan K.
Gandasasmita. 1998. Kesesuaian lahan untuk
pengembangan beberapa tanaman per-
kebunan di Indonesia Dalam Prosiding
Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian
Bidang Perkebunan. Peremajaan, Rehabili-
tasi, dan Perluasan Tanaman Perkebunan:
Kelapa, Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao,
Teh, Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
dan Perkebunan, Bogor. hlm. 2041.
Biro Pusat Statistik. 1998. Statistik Indonesia.
Biro Pusat Statistik, Jakarta. 594 hlm.
Darwis, S.N. 1986. Tanaman Kelapa dan
Lingkungan Pertumbuhannya. Seri Terbitan
Khusus, Balai Penelitian Kelapa, Manado,
No.10/VII: 129 hlm.
Darwis, S.N. 1988. Tanaman Sela di antara
Kelapa. Seri Pengembangan, Pusat Pe-
nelitian dan Pengembangan Tanaman In-
dustri No. 2: 119 hlm.
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Perluasan
Tanaman dan Direktorat Bina Program.
1998. Program peremajaan, rehabilitasi, dan
perluasan tanaman perkebunan serta per-
masalahan pelaksanaannya Dalam Prosiding
Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian
Bidang Perkebunan. Peremajaan, Reha-
bilitasi, dan Perluasan Tanaman Perkebunan:
Kelapa, Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao,
Teh, Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
dan Perkebunan, Bogor. hlm. 119.
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Per-
kebunan. 1993. Masalah perlindungan
tanaman kelapa di Indonesia. Pusat Pe-
nelitian dan Pengembangan Tanaman In-
dustri, Bogor. Seri Pengembangan No. 25:
89108.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1997. Statistik
Perkebunan Indonesia 19951997. Kelapa.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 106
hlm.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1998. Keragaan
dan kebijaksanaan pengembangan kelapa
pada ekosistem pasang surut Dalam
Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pe-
nelitian dan Pengembangan Kelapa Pasang
Surut. Buku II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
hlm. 116.
Djaenudin, D., M. Henrisman, Subagyo, A.
Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Ko-
moditas Pertanian. Versi 2, 2000. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
264 hlm.
Faehry, H. 1998. Pengembangan Kelapa hibrida
pola PIRTRANS di lahan gambut Dalam
Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV.
Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis
Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri, Bogor. hlm. 1724.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2000. Potensi
sumber daya lahan untuk pengembangan
komoditas penghasil devisa Dalam Prosiding
Seminar Nasional Sumber Daya Tanah,
Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 135
144.
Las, I., G. Irrianto, D. Syarifuddin, dan L.I. Amien.
2000. Pendekatan agroklimat dan mem-
bangun pertanian tangguh: status, potensi,
kendala, dan teknologi analisis iklim untuk
mengurangi risiko pertanian Dalam Prosiding
Seminar Nasional Sumber Daya Tanah,
Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 5594.
Mahmud, Z. dan D. Allolerung. 1998. Teknologi
peremajaan, rehabilitasi, dan perluasan
tanaman kelapa Dalam Prosiding Pertemuan
Komisi Penelitian Pertanian Bidang Per-
kebunan. Peremajaan, Rehabilitasi, dan
Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa,
Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao, Teh,
Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan dan Per-
kebunan, Bogor. hlm. 116130.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. 1989. Deskripsi Varietas Kelapa,
Kapas, dan Lada. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997.
Statistik Sumber Daya Lahan/Tanah Indo-
nesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agro-
klimat, Bogor. 301 hlm.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan. 2000. Highlight Hasil Penelitian
Unggulan Tanaman Perkebunan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000.
Tanah-tanah pertanian di Indonesia Dalam
Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pe-
ngelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 2165.
Sukardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah. 1993.
Inventarisasi dan karakterisasi lahan alang-
alang Dalam Prosiding Seminar Lahan Alang-
alang. Pemanfaatan Lahan Alang-alang
untuk Usaha Tani Berkelanjutan. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 118.
Suryana, A., B. Hutabarat, dan S.H. Susilowati.
1998. Penawaran dan permintaan serta
peluang pasar komoditas tanaman industri
dan perkebunan Dalam Prosiding Pertemuan
Komisi Penelitian Pertanian Bidang Per-
kebunan. Peremajaan, Rehabilitasi, dan
Perluasan Tanaman Perkebunan: Kelapa,
Kelapa Sawit, Karet, Kopi, Kakao, Teh,
Lada, Pala, Jambu Mete. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan dan Per-
kebunan, Bogor. hlm. 4268.
Suyata dan Yaman. 1998. Peluang pasar dan
diversifikasi produk kelapa Dalam Prosiding
Konferensi Nasional Kelapa IV. Modernisasi
Usaha Pertanian Berbasis Kelapa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Bogor. hlm. 4756.
Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998.
Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi
Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Tek-
nologi untuk Pengembangan Sektor Per-
tanian dalam Pelita VII. Kerja Sama antara
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan
Penelitian dan Pengembangan ARM-II,
Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Widjaja-Adhi, IPG. 1992. Tipologi, pemanfaatan
dan pengembangan lahan pasang surut untuk
kelapa Dalam Prosiding Forum Komunikasi
Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Kelapa
Pasang Surut. Buku II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
hlm. 2635.
Wirakartakusumah, M.A., T.R. Muchtadi, A.M.
Syarif, Rokhani, Sugiyono, dan S. Ketaren.
1993. Agroindustri kelapa Dalam Prosiding
Konferensi Nasional Kelapa III, Buku III.
Seri Pengembangan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. No.
25: 205220.
32 Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003
Lampiran 1. Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa.
Persyaratan penggunaan/
Kelas kesesuaian lahan
karakteristik lahan
S1 S2 S3 N
Temperatur
Temperatur rata-rata (
o
C) 2528 2832; 2325 3235; 2023 > 35; < 20
Ketersediaan air
Curah hujan (mm) 2.0003.000 1.3002.000; 1.0001.300 < 1.000
3.0004.000 4.0005.000 > 5.000
Bulan kering (bulan) 02 24 46 > 6
Kelembapan (%) > 60 5060 < 50
Ketersediaan oksigen
Drainase Baik, agak baik Agak terhambat Terhambat, Sangat terhambat,
agak cepat cepat
Media perakaran
Tekstur h, ah, s h, ah, s, ak sh k
Bahan kasar (%) < 35 1535 3560 > 60
Kedalaman tanah (cm) > 100 75100 5075 < 50
Gambut:
Ketebalan (cm) < 60 60140 140200 > 200
+ dg sisipan pengkayaan < 140 140200 200400 > 400
Kematangan Saprik Saprik-hemik Hemik-fibrik Fibrik
Retensi hara
KTK liat (cmol)
Kejenuhan basa (%) > 20 < 20
pH H
2
0 5,207,50 4,805,20; 7,508 < 4,80; > 8
C-organik > 0,8 < 0,80
Toksisitas
Salinitas (dS/m) < 12 12 16 1620 > 20
Alkalinitas/ESP (%)
Bahaya sulfidik
Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100125 60100 < 60
Bahaya erosi
Lereng (%) < 8 816 1630 > 30
Bahaya erosi sr rsd b sb
Bahaya banjir
Genangan F0 F1 F2
Penyiapan lahan
Batuan di permukaan (%) < 5 515 1540 > 40
Singkapan batuan (%) < 5 515 1525 > 25
Tekstur: sh = sangat halus; h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar; k = kasar.
Bahaya erosi: sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat.
Bahaya banjir: F0 = tidak pernah banjir; F1 = jarang banjir; F2 = sering banjir; = tidak pakai kriteria.
Sumber: Djaenudin et al. (2000).

Anda mungkin juga menyukai