Anda di halaman 1dari 4

BAB 1 Kamu siapa?

Apa mungkin ku hindari waktu? Tepatnya ku rusak mesin yang membawa masa dimana saat-saat gambaran kalian berdua di tangkap pasang mataku. Kamu yang sedari dulu tak pernah ku lihat, kini justru terlalu dekat, bahkan begitu melekat. Bukankah Tuhan menyebarkan cinta secara rata? Lalu kenapa hanya aku yang menderita karenanya. Aku yakin, bagianku sama rata dengannya, hanya saja belum tepat waktu untuk ku terima. Belum ada alasan untukku memintamu, darinya. "Jangan cemberut dong, nih" katanya sambil menyodorkan lollipop kesukaanku. "Thanks ya, tau aja gue lagi bete" ku tarik sedikit bibirku agar nampak senyum yang selama ini ku simpan untuknya. Ini bukan kali pertama aku menerima permen darinya. Entah sejak kapan ini bermula tapi jujur aku tak ingin masa-masa ini berakhir. Terlebih hanya dia yang mampu aku melupakan masa laluku, Adi. =o= "Suka sama kalungnya?" "Suka kok kak, nih ada di leher adik" kataku sambil cengengesan. "Bagus deh, di leher kakak juga ada. Hahaha" tampangnya yang tadi tegang kini kembali ke asalnya, mata sipitnya tertarik tawa geli kami berdua. Setiap pagi, bahkan sebelum penjaga sekolah datang kami sudah stand by di depan kelas, berdua.

Ada yang lain dari pagi-pagi sebelumnya. Biasanya banyak celotehan yang terhambur saat kami bersama, tapi pagi ini, hening. Aku lebih memilih memainkan bandul setengah hati dari kalung yang dia beri kemarin saat mampir ke rumah. Seperti biasa, bahunya selalu menggoda untuk ku jatuhi. Tak ada respon darinya, dia asyik menghitung tetes-tetes hujan yang mulai jatuh. Kepalaku yang baru saja mendarat sempurna di bahunya tiba-tiba harus take off mendadak. Baru saja dia mencium pipiku. Aku yang terlalu kaget langsung pergi meninggalnya. # "Dik?" "Iya, kenapa kak? Makan yuk, sini tak suapin" "Nggak kok, adik lanjut aja makannya"

"Ahh tumben lu ga nyerobot makanannya Acha, Di?" celetuk Putri. "Asyana, aku mau ngomong sesuatu sama kamu" "Ada apa sih? Kayaknya serius amat" kataku kebingungan. "Ciyeee ciyee" sorak Wita dan Dini. "Ehh kalian ini malah gangguin orang lagi serius" kata Tresya sok bijak.

Tiba-tiba diambilnya kedua tanganku, ditatapnya aku dalam-dalam. "Walaupun kita janji nggak akan pernah pacaran dan tetap jadi kakak adik, tapi aku cuma pengen kamu tau, cha.." aku dan dia memang hanya teman sekelas yang terbungkus modus kakak adik-an saja. Naif, kami yang saling tahu perasaan satu sama lain hanya bisa seperti ini selama hampir 3 tahun, kami takut akan ada kata mantan nantinya. Bukankah tak ada mantan saudara? Kami lebih nyaman dalam hubungan yang tak pernah memiliki status jelas. "Aku benar-benar mencintaimu. Udah 3 tahun kita saling sayang kan? Kakak cuma mau itu sebelum ke luar kota buat ngelanjutin SMA disana. Maaf" Aku hanya diam, tertunduk menahan air mata. Aku tahu harapan kita untuk terus bersama sampai kuliah nanti telah pupus, terhapus hujan yang seketika menjadi deras. Aku tak mau menatapnya, tepatnya belum mampu. Dia yang selalu membawaku tertawa dengan humornya, kini dia juga membawaku dalam pilunya, yang saat ini milik kami berdua. Diam tanpa kata, tanpa suara, tanpa ada niat melanjutkan kata yang artinya akan mempercepat perpisahan. Ku dengar isak tangis sahabat-sahabatku. Mereka penonton setia yang selalu mengikuti drama kami, bahkan terkadang ikut menentukan jalan ceritanya. "Hey, kok kalian yang nangis sih? Gue aja.." Belum sempat ku lanjutkan kalimatku, tubuhku kini telah ada dalam dekapannya. Air mata yang sejak tadi ku tahan, telah berhasil menghancurkan dinding pertahananku. "Kak.." aku tak kuasa melanjutkan, tangisku pecah dipelukannya. "Iya, kakak tahu sayang. Maafin kakak ya?" Kini ia melepasku, tangannya bergiliran mengusap air mataku. "Udah ahh, kayak kakak mau kemana aja loo, jangan nangis lagi ya, senyuuum."

"Besok kita jalan dulu ya kak?" "Sore ini kakak pergi, urusan yang belum kelar disini nanti udah ada yang beresin" Aku memeluknya erat, dan membiarkan penonton berebut tissue di meja. "Kakak harus pergi sekarang, 3 tahun lagi kita ketemuan di sini ya sayang" Magnet yang ada pada kalung kami melekat kuat, mereka yang baru beberapa hari berdekatan saja tak rela berpisah, apalagi kita. "Kalungnya nempel kak" kataku sambil tersenyum. "Oh iya, ini, buat kakak" ku berikan gantungan kunci berbentuk panah yang sedari dulu tak pernah ku beri padanya walaupun beberapa kali dia meminta. Bukan sekedar gantungan kunci biasa, selain sulit ku dapat, aku juga telah berikrar akan memberikannya ke orang yang ku cinta. Gantungan kunci panah itu bisa mengait

dengan gantungan kunci hati milikku. "Makasih ya dik. Jangan lupa makan ya" katanya sambil mengusap-usap kepalaku. Tak bisakah mengikuti masa-masa terakhir SMP kita yang tinggal seminggu lagi? Dia pergi begitu saja, setelah melewati perjalanan yang bahkan terlalu panjang untuk ku tulis di buku harianku. # Kami masih sering berkomunikasi bahkan tak ada yang berubah dari kami. Masih saling berkirim pesan dari pagi hingga pagi lagi dan rela tak tidur hanya sekedar untuk bertukar cerita. Aku mencoba memiliki pasangan saat itu. Tapi tetap dia yang ada di hatiku. Hingga ku putuskan untuk tak menyakiti. Sampai akhirnya ku dengar darinya, dia memiliki pasangan yang sudah ia pacari sejak sebulan sekolahnya disana. Aku terima perpisahan ini, berbeda sekolah bahkan pulau. Tapi apa harus hati yang berbeda pula bagi kita? Aku tahu kita bukan siapa-siapa. Tapi pada siapa nanti ku kirimkan pesan-pesan ini? Aku, tak akan mau mengikuti katamu, tetap bersamaku, tapi juga tetap bersama dia juga. Kakak, kamu tetap kakakku yang ku sayang, tapi hanya sekedar sayang. Maaf. =o=

kamu pikir kamu ini siapa? datang dengan cinta yang tinggal segenggam menyodorkan hati yang hanya sisanya memeluk tubuhku dengan penuh luka padamu berdiploma aku ini milikmu padahal masih mereka ingat dia juga masih milikmu kamu pikir aku ini siapa? tempat pembuangan? panti sosial? penerima hati yang rongsok perawat seorang pesakitan atau mungkin aku ini pengemis bagimu? yang slalu akan mengiba cintamu.

Anda mungkin juga menyukai