Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kondrosarkoma ialah tumor ganas dengan ciri khas pembentukan jaringan tulang rawan oleh sel-sel tumor dan merupakan tumor ganas tulang primer terbanyak kedua setelah osteosarkoma. Kondrosarkoma merupakan tumor tulang yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) anaplastik yang berkembang menjadi ganas. Kondrosarkoma biasanya ditemukan pada daerah tulang femur, humerus, kosta dan bagian permukaan pelvis. Tumor ini memiliki banyak ciri dan bentuk perkembangan. Dari pertumbuhan yang lambat hingga pertumbuhan metastasis yang agresif. Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder. Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri disebut kondrosarkoma primer. Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas dibandingkan kondrosarkoma primer. Kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi tumor sentral atau perifer berdasarkan lokasinya di tulang.

1.2 Manfaat Manfaat dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari kasus kondrosarkoma, guna memahami bagaimana cara mengenali, mengobati dan mencegah penyakit ini.

1.3 Tujuan Tujuan dari laporan kasus ini adalah agar mahasiswa lebih mengerti tentang kasus kondrosarkoma dan mengerti tentang perjalanan penyakit serta prognosis dari penyakit ini.

BAB II LAPORAN KASUS

IDENTITAS PRIBADI Nama Jenis Kelamin Usia Suku Bangsa Agama Alamat Status Pekerjaan Tanggal Masuk : Ramlah amin : perempuan : 48 tahun : Aceh : Islam : Louksemawe : Janda : Ibu rumah tangga : 9 Maret 2011

ANAMNESA Keluhan Utama Telaah : lemah kedua tungkai : hal ini dialami OS 2 bulan lalu, secara perlahan-lahan diawali dengan rasa kebas pada tungkai kanan terlebih dahulu lalu 1 minggu kemudian tungkai kiri menjadi kebas. Rasa kebas dirasakan dari arah tungkai bawah ke tungkai atas. Didapati riwayat BAK tertahan dan BAB tertahan, hal ini dialami OS kurang lebih 2 minggu ini. Riwayat demam berulang (+) sejak 2 bulan ini, subfebris, dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat trauma ataupun jatuh terduduk (-). Riwayat batuk (+) dalam seminggu ini, batuk bersifat kering.

Riwayat penyakit terdahulu Riwayat penggunaan obat terdahulu

::-

ANAMNESA TRAKTUS Traktus sirkulatorius Traktus respiratorius Traktus digestivus Traktus urogenitalis Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : (-) : batuk : BAB (-) : BAK (-) : (-)

Intoksikasi dan Obat-obatan ANAMNESA KELUARGA Faktor herediter Faktor familier Lain-lain ANAMNESA SOSIAL Kelahiran dan Pertumbuhan Imunisasi Pendidikan Pekerjaan Perkawinan dan Anak : (-) : (-) : (-)

: (-)

: OS tidak ingat : OS tidak ingat : SD : ibu rumah tangga : 4 anak laki-laki dan 2 anak perempuan

PEMERIKSAAN JASMANI

PEMERIKSAAN UMUM Tekanan darah Nadi Frekuensi Nafas Temperatur Kulit dan Selaput Lendir Kelenjar dan Getah Bening Persendian : 120/80 mmHg : 72 x/ menit : 24 x/menit : 38,3 C : Normal : Normal : sendi panggul dan lutut serta pergelangan kaki kiri dan kanan tidak dapat digerakkan.

KEPALA DAN LEHER Bentuk dan Posisi Pergerakan Kelainan Panca Indera Rongga Mulut dan Gigi Kelenjar Parotis Desah Dan lain-lain : Bulat, medial : Normal : Normal : Dalam batas normal : Dalam batas normal : (-) : (-)

RONGGA DADA DAN ABDOMEN Rongga Dada Inspeksi Perkusi Palpasi Simetris fusiformis Sonor Stem Fremitus Kanan = kiri Auskultasi GENITALIA Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan Vesikuler Peristaltik (+) normal Rongga Abdomen Normal Timpani Soepel

STATUS NEUROLOGI

SENSORIUM KRANIUM Bentuk Fontanella Palpasi Perkusi Auskultasi Transiluminasi

: compos mentis

: Bulat : Tertutup : Teraba pulsasi arteri Temporalis dan arteri Karotis : Dalam batas normal : Tidak ada desah arteri : Tidak dilakukan pemeriksaan

PERANGSANGAN MENINGEAL Kaku kuduk Tanda Kernig Laseque Brudzinski I Brudzinski II : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL Muntah Sakit Kepala Kejang : (-) : (-) : (-)

SARAF OTAK/ NERVUS KRANIALIS

NERVUS I Normosmia Anosmia Parosmia Hiposmia NERVUS II Visus Lapangan Pandang - Normal - Menyempit - Hemianopsia - Scotoma Refleks Ancaman Fundus Okuli - Warna - Batas - Ekskavasio - Arteri - Vena

Meatus Nasi Dextra + Okuli Dextra (OD) 6/6

Meatus Nasi Sinistra + Okuli Sinistra (OS) 6/6

+ +

+ +

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

NERVUS III, IV, VI Gerakan Bola Mata Nistagmus Pupil - Lebar - Bentuk - Refleks Cahaya Langsung - Refleks Cahaya Tidak Langsung - Rima Palpebra - Deviasi conjugate

Okuli Dextra (OD) + -

Okuli Sinistra (OS) + -

3mm bulat (+) (+)

3mm bulat (+) (+)

7 mm (-)

7 mm (-)

- Fenomena Dolls Eyes - Strabismus

Tidak dilakukan (-)

Tidak dilakukan (-)

NERVUS V Motorik - Membuka dan Menutup Mulut - Palpasi Otot dan Masseter & Temporalis - Kekuatan gigitan Sensorik - Kulit - Selaput Lendir Refleks Kornea - Langsung - Tidak Langsung Refleks Masseter Refleks Bersin

Kanan

Kiri

normal normal

+ + + +

+ + + +

NERVUS VII Motorik - Mimik - Kerut Kening - Menutup Mata - Meniup Sekuatnya - Memperlihatkan Gigi - Tertawa Sensorik - Pengecapan 2/3 Depan Lidah - Produksi Kelenjar Ludah - Hiperakusis - Refleks Stapedial

Kanan

Kiri

+ + + + + +

+ + + + + +

+ + Tidak dilakukan

+ + Tidak dilakukan

NERVUS VIII Auditorius - Pendengaran - Tes Rinne - Tes Weber - Tes Schwabach Vestibularis - Nistagmus - Reaksi Kalori - Vertigo - Tinnitus

Kanan

Kiri

+ Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

+ Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan -

Tidak dilakukan -

NERVUS IX, X Pallatum Mole Uvula Disfagia Disartria Disfonia Refleks Muntah Pengecapan 1/3 Belakang Lidah Arcus pharynx terangkat simetris medial Gag Refleks (+) +

NERVUS XI Mengangkat Bahu Fungsi Otot Sternokleidomastoideus

Kanan + +

Kiri + +

NERVUS XII Lidah - Tremor - Atrofi - Fasikulasi Ujung Lidah Sewaktu Istirahat Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan Medial Medial

SISTEM MOTORIK Trofi Tonus Otot : Eutrofi : ekstremitas superior normotonus, ekstremitas inferior hipotonus. Kekuatan Otot : ESD: 55555 55555 EID: 11111 11111 ESS: 55555 55555 EIS: 11111 11111

Sikap (Duduk- Berdiri- Berbaring) Gerakan Spontan Abnormal Tremor Khorea Ballismus Mioklonus Atetosis Distonia Spasme Tic Dan lain-lain

: mampu-tidak-tidak

: (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

TES SENSIBILITAS Eksteroseptif Proprioseptif Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas Stereognosis Pengenalan 2 Titik Grafestesia : normal : normal : normal : hipestesi setentang Th II-III : sdn

REFLEKS Refleks Fisiologis - Biceps - Triceps Kanan (+) (+) Kiri (+) (+)

- Radioperiost - APR - KPR - Strumple Refleks Patologis - Babinski - Oppenheim - Chaddock - Gordon - Schaefer - Hoffman-Tromner - Klonus Lutut - Klonus Kaki Refleks Primitif KOORDINASI Lenggang Bicara Menulis Percobaan Apraksia Mimik Tes Telunjuk- Telunjuk Tes Telunjuk- Hidung Diadokhokinesia Tes Tumit- Lutut Tes Romberg

(+) (+) (+) (+)

(+) (+) (+) (+)

(+) (+) (-) (+) (+) (-) (-) (+) (-)

(+) (+) (-) (+) (+) (-) (-) (+)

: Sulit dinilai : normal : normal : normal : normal : normal : normal : normal : Sulit dinilai : Sulit dinilai

VEGETATIF Vasomotorik Sudomotorik Pilo-Erektor Miksi Defekasi Potensi dan Libido :+ :+ :+ ::: tidak dilakukan

VERTEBRA Bentuk Normal Skoliosis Hiperlordosis : (+) : (-) : (-)

Pergerakan Leher Pinggang : (+) : sulit digerakkan

TANDA PERANGSANGAN RADIKULER Laseque Cross Laseque Tes Lhermitte Tes Naffziger : (-) : (-) : (-) : (-)

GEJALA-GEJALA SEREBELLAR Ataksia Disartria Tremor Nistagmus Fenomena Rebound Vertigo Dan Lain-lain : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

GEJALA-GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL Tremor Rigiditas Bradikinesia Dan Lain-lain : (-) : (-) : (-) : (-)

FUNGSI LUHUR

Kesadaran Kualitatif Ingatan Baru Ingatan Lama Orientasi Diri Tempat Waktu Situasi

: compos mentis : normal : normal

: baik : baik : baik : baik : baik : baik : baik

Intelegensia Daya Pertimbangan Reaksi Emosi Afasia Ekspresif Represif

:::-

Apraksia Agnosia Agnosia Visual Agnosia Jari-jari Akalkulia Disorientasi Kanan-kiri

::::-

MRI: soft tissue tumor didaerah posterior elemen dan corpus Th-3 dengan epidural extension yang menekan spinal cord ke anterior. Chondrosarcoma?

Foto thorax: jantung dan paru dalam batas normal.

Foto vertebra thorakal AP/ lateral: tidak tampak kelainan pada vertebra thorakal.

EKG: normal sinus rhythm.

2.2

KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Status Presens Sensorium Tekanan Darah Nadi Frekuensi Nafas Temperatur : compos mentis : 120/80 mmHg : 72 x/i : 24 x/i : 38,30 C

Peningkatan Tekanan Intrakranial Muntah Sakit Kepala Kejang : (-) : (-) : (-)

Saraf Kranialis NI N II, III N III, IV, VI NV N VII N VIII N IX, X N XI N XII : normosmia : refleks cahaya +/+, isokor diameter 3mm : pergerakan bola mata (+) : membuka dan menutup mulut (+) : Sudut mulut simetris : normal : refleks muntah (+) : angkat bahu (+) normal : ujung lidah medial

Refleks Fisiologis Biceps/Triceps KPR/APR

Kanan : +/+ : +/+

Kiri +/+ +/+

Refleks Patologis H/T Babinski

Kanan : -/: +

Kiri -/+

DIAGNOSA DIAGNOSA FUNGSIONAL : paraparese tipe UMN, hiperstesi, setentang torakal II-III + retensi urin et alvi. DIAGNOSA ETIOLOGIK DIAGNOSA ANATOMIK DIAGNOSA KERJA : SOL medula spinalis trauma medula spinalis : Medula Spinalis setentang Torakalis II-III : paraparese tipe UMN + hiperstesi Th II-III + retensi urin et alvi dengan e.c chondrosarcoma medula spinalis

Penatalaksanaan
-

Tirah baring IVFD R.Sol 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam - Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam - Inj. Ranitidine 1amp/12 jam - Paracetamol 3x1 (K/P) - B.comp 3x1

FOLLOW UP PASIEN
Keluhan Utama Status Presens 10 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 90/60 mmHg HR: 63x/ menit RR: 25x/ menit T: 36 C Kejang :(-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : uvula medial N XI : angkat bahu (+) N XII : lidah dijulurkan medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/Klonus kaki +/+ ESD ESS EID EIS 11 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 125/75 mmHg HR: 65x/ menit RR: 22x/ menit T: 36,7 C Kejang :(-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : uvula medial N XI : angkat bahu (+) N XII : lidah dijulurkan medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/Klonus kaki +/+ ESD ESS EID EIS 12 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 120/80 mmHg HR: 65x/ menit RR: 24x/ menit T: 36,7 C Kejang :(-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : uvula medial N XI : angkat bahu (+) N XII : lidah dijulurkan medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/Klonus kaki +/+ ESD ESS EID EIS

Peningkatan Tekanan Intrakranial Perangsangan meningeal

Nervus Kranialis

Refleks Fisiologis Kanan kiri Refleks Patologis Kanan kiri

Kekuatan Motorik

Diagnosa

Terapi

Paraparese tipe UMN+hipestesia setentang torakal 2-3 +retensio urin et alvi ec.dd: SOL medula spinalis Trauma Medulla Spinalis Myelitis Tirah baring Kateter terpasang IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam Inj. Ranitidine 1amp/12 jam Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 3x500gr (K/P) B comp 3x1

Paraparese tipe UMN+hipestesia setentang torakal 2-3 +retensio urin et alvi ec.dd: SOL medula spinalis Trauma Medulla Spinalis Myelitis Tirah baring Kateter terpasang IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam Inj. Ranitidine 1amp/12 jam Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 3x500gr (K/P) B comp 3x1 KSR 1x1 Antasida syr 3x CII

Paraparese tipe UMN+hipestesia setentang torakal 2-3 +retensio urin et alvi ec.dd: SOL medula spinalis Trauma Medulla Spinalis Myelitis Tirah baring Kateter terpasang IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam Inj. Ranitidine 1amp/12 jam Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 3x500gr (K/P) B comp 3x1 KSR 1x1 Antasida syr 3x CII

Keluhan Utama Status Presens

13 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 120/80 mmHg HR: 70x/ menit RR: 20x/ menit T: 37 C Kejang :(-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm

Peningkatan Tekanan Intrakranial Perangsangan meningeal

Nervus Kranialis

14 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 130/80 mmHg HR: 68x/ menit RR: 20x/ menit T: 36,8 C Kejang :(-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm

N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : uvula medial N XI : angkat bahu (+) N XII : lidah dijulurkan medial

N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : uvula medial N XI : angkat bahu (+) N XII : lidah dijulurkan medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/Klonus kaki +/+ ESD ESS EID EIS Paraparese tipe UMN+hipestesia setentang torakal 2-3 +retensio urin et alvi ec. Chondrosarcoma

Refleks Fisiologis Kanan kiri Refleks Patologis Kanan kiri

Kekuatan Motorik Diagnosa

Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/Klonus kaki +/+ ESD ESS EID EIS Paraparese tipe UMN+hipestesia setentang torakal 2-3 +retensio urin et alvi ec.dd: SOL medula spinalis Trauma Medulla Spinalis Myelitis Tirah baring Kateter terpasang IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 3x500gr (K/P) B comp 3x1

Terapi

Tirah baring Kateter terpasang IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/6 jam Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 3x500gr (K/P) B comp 3x1

KSR 1x1 Antasida syr 3x CII

KSR 1x1 Antasida syr 3x CII

Darah lengkap tanggal 9 Maret 2011 Darah lengkap Hemoglobin (Hb) Eritrosit (RBC) Leukosit (WBC) Hematokrit Trombosit (PLT) MCV MCH MCHC RDW Hitung leukosit Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil 73,60 % 14,80 % 8,40% 0,97 % 0,822 % 37 80 % 20 40 % 28 16 01 Hasil 11,70 g % 4,27 x 106/mm3 8,98 x 103/mm3 36,30 % 302 x 103/mm3 84,90 fl 27,30 pg 32,20 g % 13,90 % Rujukan 11,3 14,1 g% 4.40 4.48 x 106/mm3 4,5 13,5 x 103/mm3 37 41 % 150 450 x 103/mm3 81 95 fl 25 29 pg 29 31 g% 11,6 14,8 %

Kimia Klinik AST/SGOT ALT/SGPT Glukosa darah sewaktu Ureum Kreatinin Natrium (Na) Kalium (K) Klorida (Cl)

Hasil 15U/L 19 U/L 144,10 mg/dL 22,50 mg/dL 0,79 mg/dL 136 meQ/L 3,2 meQ/L 103 meQ/L

Rujukan <32 <31 <200 <50 0,50-0,90 135-155 3,6-5,5 96-106

Hasil laboratorium tanggal 10 Maret 2011

Penanda Tumor AFP (alfa feto protein) CEA CA 125 CA 19-9

Hasil 2,15 ng/mL 1,3 ng/mL 10,81 U/mL 8,5 U/mL

Rujukan 0-15 0-3 0-35 0-37

FOLLOW UP PASIEN 15 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD: 120/80 mmHg HR: 72x/ menit RR: 24x/ menit T: 36,4 C Peningkatan Kejang :(-) Tekanan Muntah : (-) Intrakranial Sakit Kepala : (-) Perangsang Kaku Kuduk : (-) an Kernig : (-) meningeal Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) Nervus N I : Normosmia Kranialis N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial Keluhan Utama Status Presens 16 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 140/90 mmHg HR : 80x/menit RR : 20x/menit T : 36,2 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial 17 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 120/80 mmHg HR : 88x/menit RR : 22x/menit T : 34,9 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial 18 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 130/70 mmHg HR : 80x/menit RR : 24x/menit T : 36,2 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial

Refleks Fisiologis

Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR Kanan kiri +/+ +/+ Refleks Babinski Patologis +/+ H/T Kanan kiri -/Kekuatan ESD = Motorik ESS = EID = Diagnosa EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Terapi

FOLLOW UP PASIEN 19 Maret 2011 Keluhan Lemah kedua Utama tungkai Status Sens : CM Presens TD: 120/80 mmHg HR: 80x/ menit RR: 22x/ menit T: 36,4 C Peningkatan Kejang :(-) Tekanan Muntah : (-) Intrakranial Sakit Kepala : (-) Perangsanga Kaku Kuduk : (-) n meningeal Kernig : (-) Brudzinski I : (-) 20 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 120/70 mmHg HR : 74x/menit RR : 20x/menit T : 36,2 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) 21 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 110/65 mmHg HR : 88x/menit RR : 22x/menit T : 34,9 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) 22 Maret 2011 Lemah kedua tungkai Sens : CM TD : 125/50 mmHg HR : 80x/menit RR : 20x/menit T : 36,2 C Kejang : (-) Muntah : (-) Sakit Kepala : (-) Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-)

Nervus Kranialis

Refleks Fisiologis Kanan kiri Refleks Patologis Kanan kiri Kekuatan Motorik

Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS =

Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII

Brudzinski II : (-) N I : Normosmia N II, III : refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm N III, IV, VI : gerakan bola mata (+) N V : membuka mulut (+) N VII : Sudut mulut simetris N VIII : Pendengaran (+) N IX, X : Ovula medial N XI : mengangkat bahu (+) N XII : lidah istirahat medial Biceps/ triceps +/+ +/+ APR/ KPR +/+ +/+ Babinski +/+ H/T -/ESD = ESS = EID = EIS = Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam Inj. Tramadol 1amp/8 jam B Comp 31 OBH 3CII

Diagnosa

Terapi

Paraparese tipe UMN + hipestesi th2 th3 + retensio urine et alvi ec. Chondrosarcoma Tirah baring IVFD R. Sol 20gtt/i Inj. Dexamethasone 1amp/24 jam B Comp 31 OBH 3CII Laxadin Syr 3CII

Laxadin Syr 3CII

Laxadin Syr 3CII

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi Kondrosarkoma ialah tumor ganas dengan ciri khas pembentukan jaringan tulang rawan oleh sel-sel tumor dan merupakan tumor ganas tulang primer terbanyak kedua setelah osteosarkoma. Kondrosarkoma merupakan tumor tulang yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) anaplastik yang berkembang menjadi ganas. Kondrosarkoma biasanya ditemukan pada daerah tulang femur, humerus, kosta dan bagian permukaan pelvis. Tumor ini memiliki banyak ciri dan bentuk perkembangan. Dari pertumbuhan yang lambat hingga pertumbuhan metastasis yang agresif.

2. Epidemiologi Kondrosarkoma lebih sering ditemukan pada pria daripada wanita. Dari segi ras penyakit ini tidak ada perbedaan. Meskipun tumor ini dapat terjadi pada seluruh lapisan usia, namun terbanyak pada orang dewasa (20-40 tahun). Tujuh puluh enam persen, kondrosarkoma primer berasal dari dalam tulang (sentral) sedangkan kondrosarkoma sekunder banyak ditemukan berasal dari tumor jinak seperti osteokondroma atau enkondroma yang mengalami transformasi. Pasien dengan olliers disease (enkondromatosis multipel) atau maffuccis syndrome (enkondroma multipel + hemangioma) memiliki resiko lebih tinggi untuk menjadi kondrosarkoma daripada orangorang normal dan sering sekali muncul pada dekade ketiga dan keempat. Di Amerika Serikat, kondrosarkoma merupakan tumor terbanyak kedua dari 400 jenis tulang ganas primer dengan jumlah kasus 25% dari seluruh keganasan tulang primer dan sekitar 11% dari seluruh keganasan tulang. Setiap tahun, terdapat 90 kasus baru kondrosarkoma.

3. Anatomi dan Fisiologi Sistem muskuloskeletal tersusun dari tulang, kartilago, sendi, bursa, ligamen dan tendon. Kartilago normal ditemukan pada sendi, tulang rusuk, telinga, hidung, diskus intervertebra dan tenggorokan. Kartilago tersusun dari sel (kondrosit dan kondroblast) dan matriks. Kondroblas dan kondrosit memproduksi dan mempertahankan matriks. Matriks

terdiri dari elemen fibrous dan substansi dasar. Matriks ini kuat dan solid tetapi lentur. Matriks organik terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel semi padat yang kaya mukopolisakarida yang disebut juga substansi dasar. Kartilago memegang peranan penting dalam pertumbuhan panjang tulang dan membagi beban tubuh. Tulang bertambah panjang akibat proliferasi sel kartilago di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan dihasilkan sel-sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas luar lempeng yang berdekatan dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang dibentuk di batas epifisis, sel-sel kartilago lama ke arah batas diafisis membesar. Kombinasi proliferasi sel kartilago baru dan hipertrofi kondrosit matang menyebabkan peningkatan ketebalan (lebar) tulang untuk sementara. Penebalan lempeng tulang ini menyebabkan epifisis terdorong menjauhi diafisis. Matriks yang mengelilingi kartilago tua yang hipertrofi dengan segera mengalami kalsifikasi. Pada orang dewasa, kartilago tidak mendapat aliran darah, limfe atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme dibawa oleh cairan sendi yang membasahi kartilago. Proses ini dihambat dengan adanya endapan garam-garam kalsium. Akibatnya sel-sel kartilago tua yang terletak di batas diafisis mengalami kekurangan nutrien dan mati. Osteoklas kemudian membersihkan kondrosit yang mati dan matriks terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik jaringan kapiler bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar bekas sisa-sisa kartilago yang terpisah-pisah sampai bagian dalam kartilago di sisi diafisis lempeng seluruhnya diganti oleh tulang. Apabila proses osifikasi telah selesai, tulang di sisi diafisis telah bertambah panjang dan lempeng epifisis telah kembali ke ketebalan semula. Kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Ada tiga jenis kartilago yaitu: kartilago hialin, kartilago elastis dan fibrokartilago. Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial Kartilago ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh. Kartilago ini tersusun dari sedikit sel dan sejumlah besar substansi dasar. Substansi dasar terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang dihasilkan oleh sel-sel kartilago. Proteoglikan sangat hidrofilik sehingga memungkinkan menahan kerusakan sewaktu sendi menerima beban berat. Kartilago hialin terletak pada epifisis tulang panjang.

4. Predileksi

Berdasarkan bentuk tulang, kondrosarkoma dapat mengenai tulang pipih dan bagian epifisis tulang panjang. Kondrosarkoma dapat terkena pada berbagai lokasi namun predileksi terbanyak pada lokasi proksimal seperti femur, pelvis, dan humerus. Selain itu dapat pula mengenai rusuk, tulang kraniofasial, sternum, skapula dan vertebra. Tumor ini jarang mengenai tangan dan biasanya merupakan bentuk keganasan atau komplikasi dari sindrom enkondromatosis multipel.

5. Etiologi Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Namun berdasarkan penelitian yang terus berkembang didapatkan bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier disease dan Maffucci syndrome, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma.

6. Patofisiologi Patofisiologi kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas kemudian dareah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi. Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan tulang seperti

kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue.

7. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Diagnosis Klinis Manifestasi klinis kondrosarkoma ini sangat beragam. Pada umumnya penyakit ini memiliki perkembangan yang lambat, kecuali saat menjadi agresif. Berikut adalah gejala yang bisa ditemukan pada kondrosarkoma: 1. Nyeri Nyeri merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Sekitar 75% pasien kondrosarkoma merasakan nyeri. Gejala nyeri yang ditimbulkan tergantung pada predileksi serta ukuran tumor. Gejala dini biasanya berupa nyeri yang bersifat tumpul akibat pembesaran tumor yang perlahan-lahan. Nyeri berlangsung lama dan memburuk pada malam hari. Saat istirahat nyeri tidak menghilang. Nyeri diperberat oleh adanya fraktur patologis. 2. Pembengkakan lokal biasa ditemukan. 3. Massa yang teraba. Teraba massa yang diakibatkan penonjolan tulang. 4. Frekuensi miksi meningkat Manifestasi klinis ini ditemukan pada kondrosarkoma di pelvis.

Namun semua manifestasi klinis ini tidak selalu ada di setiap kondrosarkoma. Gejala yang ditimbulkan tergantung dari gradenya. Pada grade tinggi, selain pertumbuhan tumor cepat juga disertai nyeri yang hebat. Sedangkan pada grade rendah, pertumbuhan tumor lambat dan biasanya disertai keluhan orang tua seperti nyeri pinggul dan pembengkakan.

Penentuan Grade dan Stage dari Kondrosarkoma Grade(G) dilihat dari agresif tidaknya tumor tersebut. Disebut grade rendah (G1) apabila jinak dan grade tinggi (G2) bila agresif. Penilaian grade kondrosarkoma dapat juga melalui pemeriksaan mikroskopis Pada grade rendah biasanya sel tumor masih mirip dengan sel normal dan pertumbuhannya lambat serta kemungkinan metastase sangat kecil. Pada grade tinggi, sel tumor tampak abnormal dengan pertumbuhan dan kemampuan metastase yang sangat cepat. Kebanyakan kondrosarkoma itu berada pada grade rendah.

Grade tinggi kondrosarkoma lebih sering akibat rekurensi dan metastase ke bagian tubuh yang lain. Yang termasuk grade rendah adalah kondrosarkoma sekunder sedangkan yang termasuk grade tinggi adalah kondrosarkoma primer. Tujuan penentuan stage ialah mendeskripsikan ukuran dan mengetahui apakah sel tumor ini telah bermetastase di luar lokasi aslinya. Untuk lokasi anatomi, dituliskan (T1) jika tumor tersebut berada di dalam tulang dan (T2) jika diluar tulang. Berikut ini adalah penentuan stage kondrosarkoma: Stage 1A merupakan tumor grade rendah di dalam tulang Stage 1B merupakan tumor grade rendah di luar tulang yang meliputi soft tissue spaces, nervus dan pembuluh darah. Stage 2A merupakan tumor grade tinggi di lapisan keras tulang. Stage 2B merupakan tumor grade tinggi di luar tulang yang meliputi soft tissue spaces, nervus dan pembuluh darah. Stage 3 merupakan tumor grade rendah-tinggi, bisa di dalam atau di luar tulang namun telah mengalami metastase.

Apabila didapatkan keterlibatan kelenjar limfa regional maka disebut N1 sedangkan N0 apabila tidak didapatkan keterlibatan kelenjar limfe regional. Jika didapatkan metastase disebut sebagai M1 dan jika tidak didapatkan metastase disebut M0. Kondrosarkoma biasa bermetastase pada paru-paru, namun dapat juga bermetastase pada tulang, liver, ginjal, payudara atau otak.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting dalam usaha penegakan diagnosis tumor. Pada kondrosarkoma, pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan meliputi foto konvensional, CT scan, dan MRI. Selain itu, kondrosarkoma juga dapat diperiksa dengan USG dan Nuklear Medicine.

Foto konvensional Foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Baik kondrosarkoma primer atau sentral memberikan gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks. Bentuk destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada formasi tulang baru. Karena ekspansi

tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar tumor yang dapat mengakibatkan fraktur patologis. Scallop erosion pada endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan tumor yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, maka hal ini dapat membedakan kondrosarkoma dengan enkondroma. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan dengan enkondroma.

Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan malignansi. Pada lesi malignan, penetrasi korteks tampak jelas dan tampak massa soft tissue dengan kalsifikasi. Namun derajat bentuk kalsifikasi matriks ini dapat dijadikan patokan grade tumor. Pada tumor yang agresif, dapat dilihat gambaran kalsifikasi matriks iregular. Bahkan sering pula tampak area yang luas tanpa kalsifikasi sama sekali. Destruksi korteks dan soft tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi kondrosarkoma.

CT scan Dari 90% kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi matriks kartilago. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal cortical scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan dibandingkan dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan menyelidiki adanya proses metastase di paru-paru.

Pemeriksaan Patologi Anatomi Gambaran makroskopis pada kebanyakan tumor memperlihatkan sifat kartilaginosa; besar dengan penampilan berkilau dan berwarna kebiru-biruan. Secara mikroskopis, beberapa tumor berdiferensiasi baik dan sulit dibedakan dengan enkondroma bila hanya berdasakan pada gambaran histologis saja. Kecurigaan kearah keganasan apabila sel berinti besar, inti multipel dalam suatu sel tunggal atau adanya beberapa kondroblas dalam satu lakuna. Diantara sel tersebut terdapat matriks kartilaginosa yang mungkin disertai dengan kalsifikasi atau osifikasi. Konfirmasi patologi anatomi diperlukan untuk diagnosis dan optimalisasi manajemen terapi. Biopsi sering dilakukan sebagai langkah awal penanganan. Biopsi perkutaneus dengan tuntunan imaging akan sangat membantu pada beberapa kasus tertentu. USG

dilakukan sebagai penuntun biopsi jarum halus pada soft tissue, sedangkan CT scan digunakan sebagai penuntun untuk biopsi jarum halus pada tulang. Perubahan patologis antara tumor jinak dan tumor ganas grade rendah sangat sulit dinilai. Biopsi jarum halus kurang baik untuk memastikan diagnostik patologis dan biasanya sering dikonfirmasi dengan biopsi bedah terbuka.

Klasifikasi kondrosarkoma berdasarkan patologi anatomi: 1. Clear cell chondrosarcoma: Clear cell chondrosarcoma termasuk grade rendah dengan pertumbuhan yang lambat dan secara khas terdapat di epifisis tulang-tulang tubular terutama pada femur dan humerus. Sesuai dengan namanya, biopsi dari tumor ini akan menunjukkan clear cell dengan banyak vakuola besar. Akan tampak pula lobular cartilaginous di dalam clear cells, multinucleated giant cells, mitosis sedikit, dan susunan matriks menjadi sedikit disertai kalsifikasi fokal. 2. Mesenchymal chondrosarcoma Di bawah mikroskop, selnya berbentuk lingkaran kecil/oval dari spindled neoplastic cells dengan gumpalan ireguler kromatin dan nukleoli. Terjadi peningkatan perubahan mitosis dan penipisan kartilago. 3. Dedifferentiated chondrosarcoma Dediffentiated chondrosarcoma sekitar 10% dari seluruh tipe kondrosarkoma. Sifat khasnya adalah gabungan antara grade rendah kondrosarkoma dan proses keganasan degeneratif, di mana terjadi keganasan soft tissue yang utuh sehingga tidak dapat diidentifikasi lagi sebagai keganasan kartilago. Biasanya pada pasien berusia 60 tahun ke atas. Pada gambaran patologi anatomi tampak ikatan antara sel kartilago dan nonkartilago, stroma kondroid, sel kondrosit mengecil dan nukleus padat dengan disertai beberapa pembesaran. 4. Juxtacortical chondrosarcoma Juxtacortical chondrosarcoma merupakan 2% dari seluruh kondrosarkoma. Lesi umumnya terletak pada bagian metafisis femur, jarang pada diafisis.

8. Diagnosa Banding

Kondrosarkoma biasanya berasal dari tulang normal, atau merupakan perubahan ganas dari kelainan jinak seperti osteokondroma dan enkondroma.

1. Osteokondroma Osteokondroma atau eksostosis osteokartilagenus adalah pertumbuhan tulang dan tulang rawan yang membentuk tonjolan di daerah metafisis. Tonjolan ini menimbulkan pembengkakan atau gumpalan. Kelainan ini selalu muncul di daerah metafisis dan tulang yang sering terkena adalah ujung distal femur, ujung proksimal tibia, dan humerus. Osteokondroma ini perlu dibedakan dengan osteokondroma bawaan yang predileksinya di daerah diafisis dan bersifat multipel. Osteokondroma terdiri atas dua tipe, yaitu tipe bertangkai dan tipe sesil yang mempunyai dasar lebar. Perubahan ke arah ganas hanya satu persen. Eksisi dilakukan bila kelainan cukup besar sehingga tampak di bawah kulit atau, bila mengganggu.

2. Enkondroma Enkondroma merupakan tumor jinak pada kartilago displastik yang biasanya berupa lesi soliter pada bagian intramedullar tulang dan metafisis tulang tubular. Hal yang penting pada penyakit ini adalah komplikasi, terutama fraktur patologis atau perubahan bentuk ke arah keganasan yang disertai fraktur patologis. Pada foto konvensional enkondroma memberikan gambaran berupa radiolusen yang berbatas tegas di daerah medulla. Tampak pula kalsifikasi seperti cincin dan pancaran (ring and arcs) yang berbatas tegas, membesar dan menipis, khususnya pada daerah tangan dan kaki. Pada tulang panjang, bentuk kalsifikasinya mungkin sulit dibedakan dengan kalsifikasi distropik pada infar ktulang.

9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan kondrosarkoma merupakan bentuk kerja tim antara dokter dengan profesional kesehatan lainnya. Para radiologist, diperlukan untuk melihat faktor- faktor untuk evaluasi kecepatan perkembangan tumor, diagnosis spesifik, dan pembesaran tumor. Perawat dan ahli gizi, terlibat menjelaskan kepada pasien efek samping dari penanganan kondrosarkoma dan memberikan dorongan kesehatan makanan untuk membantu melawan efek samping tersebut.

Jenis terapi yang diberikan kepada pasien tergantung pada beberapa hal seperti: Ukuran dan lokasi dari kanker Menyebar tidaknya sel kanker tersebut. Grade dari sel kanker tersebut. Keadaan kesehatan umum pasien

Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi pembedahan (surgery), kemoterapi dan radioterapi.

Surgery Langkah utama penatalaksanaan kondrosarkoma pembedahan karena kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi dan kemoterapi. Variasi penatalaksanaan bedah dapat dilakukan dengan kuret intralesi untuk lesi grade rendah, eksisi radikal, bedah beku hingga amputasi radikal untuk lesi agresif grade tinggi. Lesi besar yang rekuren penatalaksanaan paling tepat adalah amputasi.

Kemoterapi Kemoterapi, meskipun bukan yang paling utama, namun ini diperlukan jika kanker telah menyebar ke area tubuh lainnya. Terapi ini menggunakan obat anti kanker (cytotoxic) untuk menghancurkan sel-sel kanker. Namun kemoterapi dapat memberikan efek samping yang tidak menyenangkan bagi tubuh. Efek samping ini dapat dikontrol dengan pemberian obat.

Radioterapi Prinsip radioterapi adalah membunuh sel kanker menggunakan sinar berenergi tinggi. Radioterapi diberikan apabila masih ada residu tumor, baik makro maupun mikroskopik. Radiasi diberikan dengan dosis per fraksi 2,5 Gy per hari dan total 50-55 Gy memberikan hasil bebas tumor sebanyak 25% 15 tahun setelah pengobatan. Pada kasus-kasus yang hanya menjalani operasi saja menunjukkan kekambuhan pada 85%. Efek samping general radioterapi adalah nausea dan malasea. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan mengatur jarak dan dosis radioterapi.

10. Prognosis Prognosis untuk kondrosarkoma ini tergantung pada ukuran, lokasi dan grade dari tumor tersebut. Usia pasien juga sangat menentukan survival rate dan prognosis dari penyakit ini. Pasien anak-anak memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dewasa. Penanganan pada saat pembedahan sangat menentukan prognosis kondrosarkoma karena jika pengangkatan tumor tidak utuh maka rekurensi lokal bisa terjadi. Sebaliknya apabila seluruh tumor diangkat, lebih dari 75% penderita dapat bertahan hidup. Rekurensi kondrosarkoma biasa terjadi 510 tahun setelah operasi dan tumor rekuren bersifat lebih agresif serta bergrade lebih tinggi dibanding tumor awalnya. Walaupun bermetastasis, prognosis kondrosarkoma lebih baik dibandingkan osteosarkoma.

Anda mungkin juga menyukai