Anda di halaman 1dari 24

TERAPI DALAM KONSELING KELOMPOK

MAKALAH

KONSELING KELOMPOK Dosen pengampu : Venty, S.Ag. M.Pd

Disusun oleh : Nama anggota : (10110152) (10110151) (10110153) : 4 D / PPB

Nur Endah Puji Lestari Merlinda Setyani Anteng Budiarti Kelas

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN IKIP PGRI SEMARANG 2012

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................


Terapi dan Konseling Kelompok ....................................................................... A. Pendekatan Psikoanalisis ............................................................................. Konsep dasar ........................................................................................... Tujuan Terapi Psikoanalisis .................................................................. Hubungan Pertolongan .......................................................................... Teknik-Teknik ........................................................................................

i
1 5 6 6 7 8 8 9 9

B. Terapi Berpusat pada Konseli .................................................................... Tujuan Konseling ................................................................................... Proses Konseling ....................................................................................

Teknik Konseling ................................................................................... 10

C. Terapi Gestalt ................................................................................................ 11 Tujuan ...................................................................................................... 11 Landasan Proses Konseling .................................................................. 11 Proses : Perubahan Perilaku Klien ...................................................... 13 Proses Konseling ...................................................................................... 13

D. Terapi Behavioral ........................................................................................ 14 Tujuan ..................................................................................................... 15 Hubungan Klien dengan Konselor ........................................................ 15 Teknik-teknik Behavioral ....................................................................... 16

E. Rational Emotive Therapy (RET)................................................................ 17 Tujuan ..................................................................................................... 18 Proses Terapi ........................................................................................... 18 Teknik Konseling..................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

TERAPI DAN KONSELING KELOMPOK

Pendekatan berbasis kelompok digunakan dalam konseling, psikoterapy, layanan sosial dan pengembangan organisasi. Tiga orientasi teoritis utama dalam konseling psikodinamik, humanistik dan kognifit-behavioral-

merepresentasikan pendekatan yang berbeda sat dengan yang lain dalam teori dan praktik menangani kelompok. Teori psikodinamik kelompok sistematik pertama diformulasikan oleh Bion dan Jacques. Ide kunci dari terapi kelompok adalah fokusnya terhadap kelompok sebagai sebuah kesatuan. Bion (1961) berpendapat bahwa ketika pasien individual dalam psikoanalisis menujukan penolakan terhadap realitas, begitu juga dengan kelompok. Pada inti asumsi dasar tersebut adalah keyakinan yang dimiliki bersama dan bersifat bawah sadar bahwa kelompok tersebut bertindak seakan-akan sebuah kondisi imajiner telah benar-benar terjadi. Contohnya, kelompok tersebut dapat bertindak seolah-olah ketuanya paling terkenal dan paling berkuasa, seolah-olah pilihan yang tersedia dalam kelompok tersebut hanyalah terlibat dalam konflik dengan yang lain (menyeranglari) atau seolah-olah tujuan utama dari kelompok tersebut adalah formasi hubungan persahabatan dua orang atau hubungan seksual (berpasangan). Peran dari ketua kelompok mirip dengan analis pada psikoanalisis individual, dalam hal sedikit berbicara dan bertindak sebagai layar kosong dimana anggota kelompok tersebut dapat memproyeksikan fantasi mereka. Keuntungan dari terapi dalam kelompok jenis ini tergantng pada cara mendapatan wawasan personal dari partisipasinya dalam kelompok ini yaitu belajar untuk memahami berbagai isu yang berkenaan dengan otoritas, batasan, seksualitas dan agresi yang muncul dari kesatuan kelompok. Whitman dan Stock (1958) memperkenalkan konsep group focal conflict sebagai cara untuk memahami hubungan antara proses kelompok dan pembelajaran individual. Proses kelompok psikodinamik membutuhkan waktu dan dimungkinkan untuk melihat fase atau tahapan dalam kehidupan kelompok. Bennis dan Shepard

(1956) telah menyusun sebuah model yang membayangkan dua tahapan umum dalam kehidupan kelompok.

(1) Tahapan pertama berkenaan dengan isu kontrol dan otoritas (2) Berkenaan dengan isu intimasi dan independen. Sepanjang tahap pertama anggota kelompok berperilaku sesuai dengan cara yang telah ada dalam menghadapi otoritas. Sebagian dari mereka bisa jadi konformis dan yang lainnya pemberontak. Dalam proses kelompok sebagai entitas yang dapat memecahkan bagaimana caranya meredakan ketegangan tersebut, terdapat kesempatan perluasan wawasan individual dan perubahan terapeutik. Implikasi praktik dalam kerangka menjalankan sebuah kelompok konseling dari berbagai ide dinamika kelompok dieksplorasi secara penuh dalam karya Agazarian dan Peters (1981), dan Withaker (1985), serta Robert dan Pines (1991). Pendekatan humanistik dalam konseling kelompok memberikan

perhatian khusus kepada ide pertumbuhan dan pertemuan. Tujuan utama dar pendekatan ini adalah perkembangan pribadi atau aktualisasi diri anggota kelompok dan secara tradisional terdapat dua metodologi saling bertentangan yang digunakan oleh para praktisi. Sebagian fsilitator menggunakan struktur tingkat tinggi dalam kelompok mereka, memberikan latihan dan tugas kepada kelompok agar mereka melakukan eksplorasi dan terus berkembang. Tradisi ini berakar dari gerakan psikodrama dan kelompok-T, atau kelompok atau gerakan pelatihan sensitivitas. Tradisi lain menawarkan sangat sedikit struktur dan fasilitator langsung menciptakan lingkungan yang ditandai dengan rasa hormat, empati dan kongruen. Tradisi ini diasosiasikan kepada Rogers dan pendekatan personcentral. Tujuan inti dari kelompok kerja berbasis pemikiran humanistik adalah penciptaan cultural island (pulau kultural) tempat dimana seseorang dapat bereksperimen dengan berbagai perilaku yang berbeda, membagi pengalaman dan menrima umpan balik dari orang lain dalam setting kehidupan sehari-haridan karena itu memberikan kebebasan yang lebih banyak.

Pendekan konseling kelompok ketiga berevolusi pada tradisi kognitifbehavioral, dan pada dasranya menaruh perhatian pada penggunaan kelompok untuk membantu perubahan perilaku dalam diri klien. Contoh dari tipe kelompok ini adalah kelompok keterampilan sosial (Trower, et al., 1978), pelatihan asertif. Kelompok pelatihan keterampilan sosial menawarkan banyak fitur kunci pendekatan. Terdapat komponen didaktik disana, dimana ketua kelompok memberikan pengajaran dan contoh dari keterampilan yang sesuai. Anggota kelompok akan mempraktikkan keterampilan tersebut melalui latihan, simulasi dan permainan peran dan biasanya diberikan pekerjaan rumah untuk memperlancar penerapan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Penekananya lebih kepada aksi dan perubahan perilaku ketimbang refleksi dan bertindak (encounter). Ketiga pendekatan untuk menangani kelompok ini memiliki tujuan yang berbeda, bergerak dalam kontinum dengan wawasan dan perkembangan pribadi pada salah satu ujungnya dan perubahan tingkah laku di ujung yang lain. Bentuk kelompok yang dibentuk juga akan merefleksikan kebutuhan klien dan agensi atau organisasi tempat berlangsungnya konseling tersebut. Interaksi yang terjadi dalam kelonmpok lebih kompleks ketimbang yang terjadi antara klien tunggal dan konselor. Fasilitator kelompok harus memonitor hubungan antara dirinya sendiri dengan anggota kelompok. Fasilitator juga mampunyai kepekaan terhadap apa yang terjadi pada kelompok pada sebuah sistem yang utuh. Tuntutan emosional atau transformence yang diserap fasilitator dari kelompok bisa jadi jauh lebih intens ketimbang yang diserapnya dari konseling individual. Bennis dan Shepard (1956) misalnya, mengidentifikasikan peristiwa barometrik dalam kehidupan kelompok sebagai momen disaat semua anggota kelompok bersatu untuk menolak otoritas ketua kelompok. Sebagian besar praktisi yang menangani kelompok telah mendapatkan kompetensi kelompok mereka dengan cara menjadi anggota kelompok dan mengambil peran rekan fasilitator, sebagai asisten. Kelompok menyediakan arena dimana klien dapat menyaksikan cakupan perilaku individual yang lebih luas dibandingkan dengan yang dapat diobservasi 6

dalam hubungan konseling one-to-one dengan konselor. Dalam konseling individual seorang klien dapat menceritakan kepada konselor prianya bagaimana ia mempunyai masalah berkomunikasi dengan wanita, dalam kelompok masalah ini dapat diekspresikan dengan wanita yang ada dianggota kelompok. Outley (1980, 1984) menggambarkan proses ini sebagai tindakan menampilkan tema peran. Dengan demikian konseling kelompok menghadirkan kualitas informasi tentang klien yang berbeda kepada konselor, dan kesempatan yang berbeda untuk kegeseran dan penanganan saat itu. Lebih jauh lagi dalam kelompok terdapat kesempatan bagi klien untuk membantuyang lain melalui klarifikasi, tantangan dan dukungan. Tindakan tersebut mengandung banyak manfaat karena seorang klien yang mampu memberikan bantuan kepada yang lain yang akan mendapatkan manfaat untuk mendorong kepercayaan dirinya. Setting kelompok dapat dikatakan mirip dengan drama dimana interaksi antar anggota kelompok merupakan cara untuk mengeluarkan isu personal maupun bersama (McLeoead, 1984). Salah satu lahan subur riset terhadap konseling dan terapi kelompok pada beberapa tahun terakhir ini berkembang dari karya Yalom (1975) yang mengidentifikasi dan mendefinisikan kuratif atau terapeutik dalam kelompok. Yalom berniat menelaah berbagai literatur dengan tujuan mengumpulkan faktor atau proses dalam kelompok yang dapat membantu orang. Dia mendapatkan 12 faktor : Kepaduan kelompok Terbentuknya harapan Universalitas Katarsis Altruisme Bimbingan Membuka diri Umpan balik Pemahaman diri Identifikasi Famili re-enactment 7

Kesadaran esensial

Masalah dapat muncul dalam kelompok dimana seorang anggota diletakkan dibawah tekanan untuk membuka diri atau mengambil bagian dalam sebuah latihan yang menegsampingkan penolakan mereka untuk melakukan hal tersebut. Reaksi dari anggota lain lebih bersifat desdruktif ketimbang kontruktif, misalnya ketika seorang anggota kelompok membagi rasa takutnya untuk muncul sebagai seorang gay maka ia akan berhadapan dengan respon ketakutan terhadap kaum gay anggota yang lain. Penderitaan yang dihasilkan bisa jadi tersembunyi atau sulit untuk dideteksi. Berbagai hal di atas merupakan faktor yang menggiring ketua kelompok untuk berhati-hati dalam memilih anggotanya, dan sering kali rajin membuat perjanjian untuk memberikan dukungan diluar sesi kelompok bagi anggota kelompok tersebut (dengan kata lain konseling individual). Adapula implikasi supervisi fasilitator kelompok itu sendiri.

A. PENDEKATAN PSIKOANALISIS Aliran psikoanalisis dipelopori oleh Sigmud Freud pada tahun 1896. Ia mengemukakan pandangannya bahwa struktur kejiwaan manusia sebagian besar terdiri dari alam tidak sadar. Sedangkan alam kesadarannya dapat diumpamakan puncak gunung es yang muncul di tengah laut, sebagian besar gunung es yang terbenam itu diibaratkan alam ketidaksadaran manusia. Menurut Willis (2010 : 57) Psikoanalisis memiliki beberapa prinsip, yakni : 1. Prinsip konstansi, artinya bahwa kehidupan psikis manusia cenderung untuk mempertahankan kuantitas konflik psikis pada taraf yang serendah mungkin. Kondisi psikis manusia cenderungdalam keadaan konflik yang permanen (tetap). 2. Prinsip kesenangan, artinya kehidupan psikis manusia cenderung

menghindarkan kesedihan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan (pleasure principle). 3. Prinsip realitas, yaitu prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan keadaan nyata. 8

Konsep dasar 1. Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat : a. Anti rasionalisme. b. Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme. c. Secara esensial manusia bersifat biologis, terlahir dengan dorongandorongan instinktif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang bereaksi di dalam ke arah dorongan tadi. d. Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya. e. Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak bisa dan bukan merupakan proses mental. 2. Menurut Pujosuwarno (1993 : 44) teori Freud mengatakan bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur yakni : a. Id, adalah sumber dari pada segala dorongan instinktif. b. Ego, merupakan pengatur atau mediator antara dorongan-dorongan dengan tuntutan kenyataan atau lingkungan. c. Superego, merupakan fungsi moral, ideal dan biasanya merupakan warisan dari orang tua. Freud mengembangkan teori infantile sexuality dimana libido atau energi psike dasar, mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan. Libido mempunyai sifat bawaan seksual, tapi sebenarnya lebih dari itu, ia mencakup seluruh hal yang menopang kesenangan. Mulai masa kanak-kanak sampai dewasa, individu didorong oleh libidonya ke arah kematangan.

Tujuan Terapi Psikoanalisis Tujuan terapi psikoanalisis adalah untuk menolong individu mendapatkan pengertian secara terus menerus dari mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri dan dengan demikian dapat menolong mereka menyelesaikan masalah dasar yang mereka hadapi (Pujosuwarno, 1993 : 45). 9

Hubungan Pertolongan Menurut Pujosuwarno (1993 : 45) Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis. Peranan yang dilakukan : 1. Menolong konseli mendapatkan kesadaran diri, kejujuran dan hubungan personal yang efektif. 2. Menciptakan hubungan kerja dengan konseli serta perbanyak mendengar dan menafsirkan. 3. Mempercepat penampilan bahan-bahan yang tidak disadari. 4. Konselor mendengarkan ketidakkonsistenan cerita konseli, sambil

menyisipkan makna mimpi dan asosiasi bebas konseli dengan teliti. Dengan cara mengorganisasi proses penyembuhan ini dalam konteks struktur kepribadian dan dinamikanya, konselor akan mampu memformulasikan sebab dari problem yang dihadapi konseli. Proses ini bermaksud : 1. Mengajarkan konseli tentang makna proses yang berlangsung sehingga ia dapat memperoleh insight atas permasalahan yang dihadapi. 2. Meningkatkan kesadaran konseli atas cara-cara perubahan, dengan demikian memperoleh kontrol rasional yang lebih banyak lagi.

Teknik-teknik Menurut Willis (2010 : 62) ada lima teknik dasar dari konseling psikoanalisi yaitu: 1. Asosiasi bebas Yaitu klien diupayakan untuk menjernihkan atau mengikis alam pikiranya dari alam pengalama dan pemikiran sehari-hari sekarang ini, sehingga klien mudah mengungkapkan masa lalunya secara bebas. Tujuan teknik ini adalah untuk mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lampau yang disebut juga katarsis. 10

2. Interpretasi Adalah teknik yang digunakan oleh konselor untuk menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasidalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan trasnferensi klien. Tujuannya adalah agar ego klien dapat mencerna materi baru dan mempercepat proses penyadaran. 3. Analisis mimpi Yaitu suatu teknik untuk membuka hal-hal yang tak disadari dan memberi kesempatan klien untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena diwaktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesakpun muncul ke permukaan. Oleh Freud mimpi itu ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari yang diekspresikan. 4. Analisis Resistensi Analisis resistensi di tujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya resistensinya. Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensinya. 5. Analisis Transferensi Konselor mengusahakan klien mengembangkan transferensinya agar

terungkap neurosinya terutama pada usia lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim dan pasif agar terungkap transferensi tersebut

B. TERAPI BERPUSAT PADA KONSELI Menurut Willis (2010 : 63) Client-Centered Theraphy sering juga disebut Psikoterapi Non-Directive adalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya). Cri-ciri terapi ini adalah : 11

1. Ditujukan kepada klien yang snggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu. 2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi intelektualnya. 3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial psikologis masa kini (here and now) dan bukan pengalaman masa lalu. 4. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal-self dengan actual self. 5. Peranan aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diamdan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya.

Tujuan Konseling Terapi berpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl Ransom Rogers pada tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri sebenarnya. Kepribadianya yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain. Sebelum menentukan pilihan tentu individu harus memahami dirinya (kekuatan dan kelemahan diri) dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima (Willis, 2010 : 64). Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa syarat yakni : 1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor 2. Kesiapan klien untuk menerima bimbingan 3. Taraf intelegensi klien yang mamadai

Proses Konseling Tahap-tahap konseling terapi yang terpusat pada klien : 12

1. Klien datang kepada konselor atas kemauannya sendiri, apabila klien datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya. 2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu konselor menyadarkan klien. 3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan

perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat dan menerima klien sebagai mana adanya. 4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya. 5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya. 6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan di ambil. 7. Klien merealisasikan pilihanya itu.

Teknik Konseling Implementasi teknik konseling didasari atas paham filsafat serta sikap konselor. Karena itu penggunaan teknik seperti pertanyaan, dorongan, interpretasi dan sugesti dipakai frekuensi yang rendah. Yang lebih utama adalah pemakaian teknik konseling bervariasi dengan tujuan pelaksanaan filosofi dan sikap tadi. Karena itu teknik konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahami klien. Menurut Willis (2010 : 65) dalam pelaksaannya diutamakan sifat-sifat konselor berikut : 1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagai mana adanya dengan segala masalahnya, jadi sikap konselor adalah menerima secara netral. 2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu sesuai kata dan perbuatan dan konsisten. 3. Understanding artinya konselor harus dapat akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu.

13

4. Nonjudgmental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

C. TERAPI GESTALT Terapi ini dikembangkan oleh Frederick S. Pearl (1894-1970) yang didasari oleh empat aliran yakni psikoanalisis, fenomonologis,eksistensialisme dan psikologi gestalt. Menurut Pearls individu itu selalu aktif sebagai keseluruhan. Individu bukanlah jumlah dari bagian-bagian atau organ-organ semata. Individu yang sehat adalah yang seimbang antara ikatan organisme dengan lingkungan. Oleh karena itu pertentangan antara keberadaan sosial dengan biologis merupakan konsep dasar dari terapi Gestalt. Menurut Pearls banyak sekali manusia yang mencoba menyatakan apa yang seharusnya daripada menyatakan apa yang sebenarnya. Perbedaan aktualisasi gambaran diri dan aktualisasi diri benar-benar kritis pada manusia itu.

Tujuan Konseling Menurut teori Gestalt dalam Willis (2010 : 66) tujuan konseling adalah membantu klien menjadi individu yang merdeka dan berdiri sendiri. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan : 1. Usaha membantu penyadaran klien tentang apa yang dilakukannya. 2. Membantu penyadaran tentang siapa dan hambatan dirinya. 3. Membantu klien untuk menghilangkan hambatannya dalam

pengembangan penyadaran diri.

Landasan Bagi Proses Konseling Menurut Willis (2010 : 67) proses konseling mengikuti lima hal yang penting berikut ini : 1. Pemolaan (patterning)

14

Pemolaan terjadi pada awal konseling yaitu situasi yang tercipta setelah konselor memperoleh fakta atau penjelasan mengenai sesuatu gejala atau sesuatu permohonan bantuan dan konselor sesegera mungkin memberikan pola bantuan atau teknik disesuaikan dengan keadaan masalah klien, jadi tidak ada satu teknik untuk semua masalah klien. 2. Pengawasan (Control) Kontrol adalah tindakan konselor setelah pemolaan. Kontrol merupakan kemampuan konselor untuk meyakinkan atau memaksa klien untuk mengikuti prosedur konseling yang telah disiapkan oleh konselor yang mungkin mencakup variasi kondisi. Ada dua aspek penting dalam kontrol yaitu motivasi dan rapport. 3. Potensi Yaitu usaha konselor untuk mempercepat terjadinya perubahan perilaku dan sikap serta kepribadian. Hal ini bisa terjadi dalam hubungan konseling yang bersifat terapeutik. Salah satu cara adalah

mengintegrasikan penyadaran klien secara keseluruhan. 4. Kemanusiaan a) Perhatian dan pengenalan konselor terhadap klien secara pribadi dan emosional. b) Keinginan konselor untuk mendampingi dan mendorong klien pada respon emosional atau menjelaskan pengalamanya. c) Kemampuan konselor untuk memikirkan perkiraan kearah

kepercayaan klien dan membutuhkan dorongan dan pengakuan. d) Keterbukaan konselor yang kontinu sehingga merupakan modal bagi klien untuk perubahan tingkah laku. 5. Kepercayaan a) Perhatian dan pengalaman konselor terhadap diri sendiri dalam hal jabatan. b) Kepercayaan konselor terhadap diri sendiri untuk menangani klien secara individual.

15

c) Kepercayaan diri untuk mengadakan penelitian dan pengembangan. Dalam hal ini kreatifitas konselor dalam usaha membantu klien dengan cara pengembangan teori yang ada.

Proses : Perubahan Perilaku Klien 1. Transisi Yaitu keadaan klien dari selalu ingin dibantu oleh lingkungan kepada keadaan berdiri sendiri. Artinya kepribadiannya tak sempurna, ada bagian yang hilang. Bagian yang hilang ini disebut pusat. Tanpa pusat berati terapi berlangsung pada bagian-bagian yang periferal sehingga tak suatu titik yang baik. 2. Avoidance dan Unfinished Bussines Yang termasuk dalam unfinished bussines adalah emosi-emosi, peristiwa-peristiwa, pemikiran-pemikiran yang terlambat dikemukakan klien. Avoidance adalah segala sesuatu yang digunakan klien utuk lari dari unfinished bussines. Bentuk unfinished bussines antara lain adalah phobia, escape, ingin mengganti konselor. a. Impasse, yaitu individu atau konseling yang bingung, kecewa dan terhambat. b. Here and Now, yaitu penanganan kasus yaitu disini dan masa kini. Konselor tidak menanyakan why karena hal itu akan menyebabkan klien melakukan rasionalisai dan tidak akan menghasilkan pemahaman diri.

Proses Konseling 1. Fase I. Membentuk pola pertemuan terapeutik agar terjadi situasi yang memungkinkan perubahan perilaku klien. 2. Fase II. Pengawasan, yaitu usaha konselor untuk meyakinkan klien untuk mengikuti prosedur konseling.

16

3. Fase II. Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaan-perasaan dan kecemasannya. Di dalam fase ini diusahakan untuk menemukan aspekaspek kepribadian klien yang hilang. 4. Fase IV. (terakhir). Setelah terjadi pemahaman diri maka pada fase ini klien harus sudah memiliki kepribadian yang integral sebagai manusia individu yang unik.

D. TERAPI BEHAVIORAL Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian DARI Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner. Awalnya terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proases belajar. Dengan kata lain perilaku menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan. Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau

perangsangan eksternal atau internal. Karena itu tujuan terapi ini adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah dibidang psikoterapi. Yaitu

bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan tingkah laku. Menurut Willis (2010 : 69) dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi : 1. Belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang serupa 2. Keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap lingkungan. 3. Perbedaaan biologik baik secara genetik atau karena gangguan fisiologis. Dalam hal ini Skinner walaupun dipengaruhi teori S-R, tetapi dia mempunyai pandangan tersendiri mengenai perilaku, yaitu : 1. Respon tidak selalu ditimbulkan oleh stimulus, tetapi lebih kuat dipengaruhi reinforcement (penguatan) 17

2. Lebih menekankan pada study subjek individual ketimbang genralisasi kecenderunga kelompok. 3. Menekankan penciptaan situasi tertentu terhadap terbentuknya perilaku ketimbang motivasi didalam diri. Para konselor behavioral memandang kelainan perilakusebagai

kebiasaan yang dipelajari. Karena itu dapt diubah dengan mengganri situasi positif yang direkayasa sehingga kelainan perilaku berubah menjadi positif.

Tujuan Konseling Tujuannya adalah untuk membantu klien membuang respon-respon yang lama yang merusak diri dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat. Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan ini ditandai oleh : 1. Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik 2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment (perlakuan) 3. Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus. 4. Penilaian objektif mengenai hasil konseling. Tujuan terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku baru mengeleminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta

mempertahankan perilaku yang diinginkan.

Hubungan Klien dan Konselor Dalam kegiatan konseling konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah klien sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral amat terdefinisikan, demikian pula peranan yang jelasa dari konselor dan klien. Konselor harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun diluar konseling. 18

Menurut Willis (2010 : 70) dalam hubungan konselor dengan klien beberapa hal dibawah iniharus dilakukan : 1. Konselor memahami dan menerima klien 2. Keduanya bekerjasama 3. Konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan klien.

Teknik-teknik Behavior terapy merumuskan suatu konsep bahwa tingkah laku menyimpang adalah disebabkan oleh proses belajar yang salah, maka konsep itu digunakan dalam terapi. Menurut Pujisuwarno (1993 : 83) behvior terapy menggunakan beberapa teknik berikut : 1. Desensitization : Wolpe menyebut teknik ini Systematic Desensitization. Teknik ini menenangkan konseli dari ketegangannya dengan jalan mengajar konseli untuk santai (relax). Apabila konseli telah mampu melaksanakan rileks, ia dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang mencemaskan. Secara bertahap konseli membayangkan stimulus mulai dari yang paling kurang mencemaskan, hingga yang paling mencemaskan. 2. Assertive training merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan. Konseli yang menunjukkan rasa cemas, diberitahu bahwa dirinya mempunyai hak untuk mempertahankan harga dirinya. 3. Sexual training dipergunakan untuk menghilangkan kecemasan yang timbul akibat pergaulan bebas dengan lawan jenis. Untuk perawatan seperti ini Wolpe menyuruh konselinya untuk bekerja sama dengan lwan jenis untuk menghindari respon cemas. 4. Aversion therapy digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan konseli agar mengganti respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. 5. Cvert sensitization digunakan untuk merawat tingkah laku yang menyenangkan konseli tapi menyimpang, seperti homosex, alcoholism. 19

Caranya denganbelajar rileks dan diminta membayangkan tingkah laku yang disenangi itu. Kemudian disaat itu diminta membayangkan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya. 6. Thought stopping digunakan bagi konseli yang sangat cemas. Caranya konseli disuruh menutup matanya dan membayangkan dirinya sedang mengatakan sesuatu yang mengganggu dirinya, misalnya membayangkan dirinya berkata saya jahat. Jika konseli memberi tanda sedang membayangkan yang dicemaskannya, terapis segera berteriak dengan nyaring berhenti!!. Pikiran yang tidak karuan itu segera diganti oleh teriakan terapis. Konseli diminta berulang kali melakukan latihan ini, hingga dirinya sendiri sanggup menghentikan pikirang yang

mengganggunya itu. 7. Imitation atau modeling, salah satu belajar adalah seolah-olah konseli mengikuti apa yang dilakukan orang lain itu dalam menanggulangi masalah, dan konseli akan menirunya.

E. RATIONAL EMOTIVE TERAPHY(RET) RET dikembangkan oleh Albert Ellis pada tahun 1962. RET menolak pandangan aliran psikoanalisis, menurut Ellis bukanlah pengalaman atau peristiwa eksternal yang menimbulkan emosional, akan tetapi tergantung kepada pengertian yang diberikan terhadap peristiwa atau pengalaman itu. Gangguan emosi terjadi disebabkan oleh pikiran-pikiran seorang yang bersifat irrasional terhadap peristiwa dan prngalaman yang dilaluinya. Menurut Willis (2010 : 75) Konsep dasar yang dikembangkan Albert Ellis adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional. Reaksi emosional yang sehat maupun yang tidak, bersumber dari pemikiran itu. 2. Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irrasional. Dengan pemikiran rasional dan inteleknya manusia dapat terbebas dari gangguan emosional. 20

3. Pemikiran irrasional bersumber pada disposisi biologis lewat pengalaman masa kecil dan pengaruh budaya. 4. Pemikiran dan emosi tak dapat dipisahkan. 5. Berpikir logis dan tidak logis dilakukan dengan simbol-simbol bahasa. 6. Pada diri manusia sering terjadi self-verbalization. Yaitu mengatakan sesuatu terus-menerus kepada dirinya. 7. Pemikiran tak logis-irrasional dapat dikembalikan kepada pemikiran logis dengan reorganisasi persepsi. Pemikiran tak logis itu merusan dan merendahkan diri melalui emosionalnya.

Tujuan terapi Menurut Willis (2010 :76) RET bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara pikir, keyakinan serta pandangan konseli yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang opotimal. Menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri seperti benci, takut, rasa bersalah, cemas, was-was, marah, sebagai akibat berpikir yang irrasional, dan melatih serta mendidik konseli agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai, dan kemampuan diri.

Proses terapi 1. Konselor berusaha menunjukkan konseli kesulitan yang dihadapi sangat berhubungan dengan keyakinan irrasional, dan menunjukkan bagaimana konseli harus bersikap rasional dan mampu memisahkan keyakinan irrasional dengan rasional. 2. Setelah konseli menyadari gangguan emosi yang bersumber dari pemikiran irrasional, maka konselor menunjukkan pemikiran konseli yang irrasional, serta konseli berusaha mengubah keyakinan menjadi rasional. 3. Konselor berusaha agar konseli menhindarkan diri dari ide-ide irrasionalnya, dan konselor berusaha menghubungkan antara ide tersebut dengan proses penyalahan dan perusakan diri. 21

4. Proses terakhir konseling adalah konselor berusaha menantang konseli untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang rasional, dan menolak kehidupan yang irrasional dan fiktif.

Teknik konseling Berikut ini beberapa teknik konseling RET, antara lain adalah teknik yang berusaha menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri (berdasarkan emotive experiental) yang terdiri atas : 1. Assertive training, yaitu melatih dan membiasakan konseli terus menerus menyesuaikan diri dengan perilaku tertentu yang diinginkan. 2. Sosiodrama, yaitu semacam sandiwara pendek tentang masalah kehidupan sosial. 3. Self modeling, yaitu teknik yang bertujuan menghilangkan perilaku tertentu, dimana konselor menjadi model dan konseli berjanji akan mengikuti. 4. Socialf modeling, yaitu membentuk perilaku baru melalui model sosial dengan cara imitasi dan observasi. 5. Reinforcemen, yaitu memberi reward terhadap perilaku rasional atau memperkuatnya (reinforce). 6. Desensitisasi sistematik, konselor menciptakan suatu kondisi atau situasi tertentu yang secara potensial merupakan penyebab dari munculnya perasaan negatif konseli. Situasi ini diharuskan memberikan keadaan yang rileks kepada konseli itu sendiri. 7. Relaxation, teknik ini dugunakan bila kondisi konseli sedang berada dalam tahap pertentangan antara keyakinannya yang irasional dan menimbulkan ketegangan. 8. Self-control, teknik ini digunakan untuk memodifikasi perilaku konseli dengan jalan membangkitkan dan mengembangkan self controlnya. Inti utama dari teknik ini adalah bagaimana konseli dapat mengendalikan diri berdasarkan pemikiran-pemikiran yang irasional untuk menghilangkan keinginan-keinginan, nafsu-nafsu ataupun dorongan yang negatif. 22

9. Diskusi, dengan teknik ini konseling dapat mempelajari pengalamanpengalaman orang lain serta dapat menimba berbagai informasi yang dapat mempengaruhi dan mengubah keyakinannya serta cara berfikir yang irasional dan tidak objektif. 10. Homework assigment, dalam teknik ini konseli diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang di harapkan. 11. Bibliotherapy, teknik ini untuk membongkar akar-akar keyakinan yang irasional dan ilogis dalam diri konseli serta melatih konseli dengan cara berfikir rasional dan logis dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang dipilih dan ditentukan oleh konselor.

23

DAFTAR PUSTAKA

McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Prenada Media Group. Pujosuwarno, Sayekti. 1993. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta : Menara Mas Offset. Willis, Sofyan. 2010. Konseling Individual. Bandung : Alfabeta Bandung.

24

Anda mungkin juga menyukai