Anda di halaman 1dari 117

PERANAN KADER POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KELURAHAN JATIJAJAR KECAMATAN

AYAH KABUPATEN KEBUMEN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, sebagian besar Pos Pelayanan Terpadu (Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)) di daerah Jawa Tengah terutama di pedesaan tidak berfungsi secara optimal karena minimnya dana operasional. Bahkan, karena kebutuhan ekonomi yang mendesak sejumlah kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terpaksa meninggalkan tugasnya untuk bekerja mencari nafkah. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, program revitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di daerah, terutama di pedesaan, sudah mendesak dalam upaya pembangunan kesehatan di tanah air. Karena pada dasarnya kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama sebagai ukuran kualitas hidup yang mendasar sekali dan yang harus dipenuhi oleh setiap orang, karena dengan kesehatan akan memungkinkan setiap orang untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup yang lain. Sejalan dengan hal tersebut maka kesehatan harus selalu diusahakan oleh setiap pribadi, keluarga dan masyarakat sehingga pada saatnya mereka dapat hidup layak dari sisi kesehatan. Untuk mencapai tujuantujuan pembagunan khususnya dibidang kesehatan dalam kenyataansering dihadapkan pada sejumlah kendala seperti pengetahuan, sikap, kesadaran, dan kebiasaan serta kemampuan keuangan dari masyarakat. Hal ini berarti menimbulkan terjadinya kesenjangan antara apa yang menjadi harapan dan kenyataan. Kesemuanya itu akan membawa pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Sekarang ini kualitas sumber daya manusia Indonesia masih berada pada tingkat yang masih tergolong rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa sisi, misalnya pendidikan dan kesehatan (Dirjen PUD, 1996:75). Dari produktivitas individu yang rendah akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas masyarakat dan akibat yang lebih luas adalah rendahnya produktivitas bangsa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan adanya upaya-upaya yang nyata dan realistis. Salah satunya adalah melalui pembangunan di bidang kesehatan masyarakat dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada. Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari program pembangunan secara keseluruhan. Jika dilihat dari kepentingan masyarakat, pembangunan kesehatan masyarakat desa merupakan kegiatan swadaya masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui perbaikan status kesehatan. Jika dilihat dari kepentingan pemerintah, maka pembangunan kesehatan masyarakat desa merupakan usaha memperluas jangkauan layanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun swasta dengan peran aktif dari masyarakat sendiri. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam bidang kesehatan sangat tergantung pada peran aktif masyarakat yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam GBHN yaitu bahwa keberhasilan pembagunan nasional tergantung pada partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekat dan semangat ketaatan disiplin seluruh rakyat Indonesia serta para penyelenggara negara (GBHN, 1993:122) Menyadari akan arti pentingnya peran aktif masyarakat dalam menunjang keberhasilan

pembangunan dalam bidang kesehatan diperlukan adanya agen-agen pembangunan yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembagunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan yang mempunyai peran besar salah satunya adalah peran Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pembagunan kesehatan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun pemerintah bersama dengan masyarakat di Kelurahan Jatijajar Kecamatan Ayah telah menunjukkan keberhasilan yang cukup berarti. Keberhasilan pembangunan kesehatan masyarakat Kelurahan Jatijajar yang telah dicapai antara lain dapat dilihat dari status kesehatan masyarakat yang semakin baik dan pola hidup yang sehat, misalnya pembuatan jamban keluarga, tempat pembuangan sampah penerangan jalan dan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Keberhasilan akan pelaksanaan pembangunan kesehatan masyarakat di Kelurahan Jatijajar tidak bisa lepas dari berbagai dukungan dan peran aktif yang dilakukan oleh seluruh masyarakat. Dalam hal ini peran yang besar adalah peran kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang secara langsung berhadapan dengan berbagai permasalahan kemasyarakatan termasuk masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat. Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Peranan Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Dalam Pembagunan Kesehatan Masyarakat (Studi Kasus Di Desa Jatijajar kabupaten Kebumen). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peran apakah yang dilakukan oleh kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam pembangunan kesehatan masyarakat pada program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen? 2. Apa hambatan-hambatan yang dialami para kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam melaksanakan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kelurahan Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen? C. Tujuan Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan peran yang telah dilakukan oleh kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam pembangunan kesehatan masyarakat pada program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa Jatijajar Kabupaten Kebumen. 2. Mendiskripsikan hambatan-hambatan yang dialami para Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam melaksanakan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa Jatijajar Kabupaten Kebumen. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan tersebut diatas maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Untuk kajian ilmiah tentang peran kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam meningkatkan pembangunan kesehatan masyarakat desa. 2. Manfaat praktis a. Dapat memberikan masukan kepada kelurahan dalam merencanakan penyempurnaan program pembangunan kesehatan masyarakat desa di kelurahan jatijajar.

b. Dapat memberikan masukan kepada kader kesehatan dalam upaya meningkatkan perannya dalam pembangunan kesehatan masyarakat di Kelurahan Jatijajar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peran tidak lepas hubungannya dengan tugas yang diemban seseorang. Seorang ayah adalah orang yang mempunyai tugas mencari nafkah dan melindungi anggota keluarga. Seorang ulama adalah orang yang mengajak dan menyerukan berbuat baik atau kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Camat adalah orang yang memimpin pemerintah, pembangunan dan kemayarakatan di tingkat kecamatan. Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah orang yang mempunyai tugas untuk melaksanakan program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dengan demikian peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dijalankan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998; 667). Pengertian lain dari peran adalah sebagaimana dikemukakan oleh J.R da Allen. V.L yang dikutip oleh Miftah Thoha dalam bukunya kepemimpinan manajemen bahwa peran adalah suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok tadi akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Tumbuhnya interaksi diantara mereka ada saling ketergantungan. Dalam kehidupan bermasyarakat itu munculah apa yang dinamakan peran (role). Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas ada baiknya terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian peran. Menurut Yasyin (1995:176) peranan adalah sesuatu yang diperbuat, sesuatu tugas, sesuatu hal yang pengaruhnya pada suatu peristiwa. Sedangkan menurut Soekanto (1987:221) peran adalah segala sesuatuoleh seseorang atau kelompok orang dalam melakukan suatu kegiatan karena kedudukan yang dimilikinya. Berdasarkan pengertian diatas maka melihat bahwa dalam peran terdapat unsur individu sebagai subyek yang melakukan peranan tertentu. selain itu, dalam pera terdapat pula adanya status atau kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat, artinya jika seseorang memiliki kedudukan (status) maka yang bersangkutan menjalankan peran tertentu pula. Dengan demikian antara peran dan kedudukan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lain halnya dengan Soejono Soekanto (1986:200) menyebutkan bahwa suatu peranan paling sedikit mencakup tiga hal yaitu: 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi tau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Berdasarkan ketiga hal diatas, maka dalam peran perlu adanya fasilitas- fasilitas bagi seseorang atau kelompok untuk dapat menjalankan peranannya. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada merupakan bagian dari masyarakat yang dapat memberikan peluang untuk pelaksanaan peranan seseorang atau kelompok. Peranan yang melekat pada setiap individu dan suatu

masyarakat memiliki kepentingan dalam hal-hal: 1. Bahwa peran-peran tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak mempertahankan kelangsungannya. 2. Peran hendaknya dilekatkan pada individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. 3. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu yang tidak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan. Oleh karena mungkin pelaksanaanya memerlukan pengorbanan yang terlalu banyak artinya kepentingan-kepentingan pribadinya. 4. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat dapat memberikan peluang-peluang yang seimbang bahkan sering kali terlihat masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut (Soejono Soekanto, 1986:223). Selain peranan yang melekat pada diri individu seperti yang telah dijelaskan diatas, individu juga secara langsung akan melakukan beberapa peranan dalam lingkungan tempat mereka melakukan aktivitas keseharian. Pernanan yang dilakukan oleh individu dalam lingkungannya antara lain: 1. Peranan dalam keluarga Dalam lingkungan keluarga individu akan bertindak sesuai dengan status yang melekat pada dirinya. Misalnya orang tua akan mengemban tugas untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Kewajiban ini didasari oleh rasa kasih sayang yang berarti ada tanggungjawab moral. Orang tua secara sadar wajib membimbing anaknya hingga mencapai kedewasaan dan kemudian mampu mandiri. Beberapa hal yang mendasar seseorang untuk melakukan sesuatu terhadap keluarganya adalah: a. Dorongan kasih sayang yang menumbuhkan sikap rela mengabdi atau berkorban untuk keluarganya. b. Dorongan kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunanya, meliputi nilai-nilai religius serta menjaga martabat dan kehormatan keluarga. c. Tanggung jawab sosial berdasarkan kesarawan bahwa keluarga sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara, bukan kemanusiaan 2. Peranan dalam tempat kerja Dunia kerja menerima tanggung jawab seseorang berdasarkan kemampuan atau kapasistas seseorang tersebut. Manusia menghadapi lingkungan sosial melalui banyak cara. Pada hakekatnya manusia adalah produk dari lingkungan sosial dan budayanya, dan sebaliknya lingkungan tersebut adalah hasil ciptaan mereka sendiri. Ada beberapa tanggungjawab yang melekat dalam diri seseorang di lingkungan kerjanya antara lain: a. Ketentuan-katentuan yang bersifat formal sesuai dengan peraturan yang berlaku. b. Ruang lingkup kerja berdasarkan kapasistas dan kemampuan yangdipercayakan oleh perusahaan/ instansi. c. Tingkat fungsional dan profesional. 3. Peranan di masyarakat Sebenarnya manusia hidup dalam lingkungan yang komplek. Lingkungan tersebut menjadi lebih komplek karena adanya perkembangan dan perubahan jaman. Dalam lingkungan masyarakat peranan seseorang sangat dibatasi dengan aturan atau norma-norma yang ada dan berlaku dalam masyarakat tersebut. Seseorang dituntut untuk dapat melakukan penyesuaian atau adaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar yang telah memiliki kebudayaan atau aturan adat sendiri. Ciri ciri khusus pada setiap masyarakat antara lain tercermin dalam: a. Nilai sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan

b. Pandangan hidup/ falsafah masyarakat yang bersangkutan khususnya cita-cita dan tanggung jawabnya. c. Pengaruh / keadaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Peran serta atau keikutsertaan kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui berbagai organisasi kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam upaya mewujudkan dan meningkatkan pembangunan kesehatan masyarakat desa harus dapat terorganisir dan terencana dengan tepat dan jelas. Beberapa hal yang dapat atau perlu dipersiapkan oleh kader seharusnya sudah dimengerti dan dipahami sejak awal oleh kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Karena disadari atau tidak keberadaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah sebuah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang telah ada dan telah berjalan selama ini mampu lebih ditingkatkan dan dilestarikan. Adapun tugas atau peran kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) antara lain : 1. Penyuluhan kesehatan 2. Imunisasi 3. Kesehatan Ibu dan anak 4. Peningkatan produksi pangan dan status gizi 5. Keluarga Berencana (KB) 6. Air Bersih dan kesehatan lingkungan 7. Pencegahan dan pemberantasan penyakit endemik setempat 8. Pengobatan terhadap penyakit umum dan kecelakaan (Depkes RI; 1990; 2) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada umumnya dan kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada khususnya mempunyai peran penting dalam meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan juga melanjutkan pemberian ASI sampai usia 24 bulan diserta pemantauan pertumbuhan mulai bayi lahir sampai usia 60 bulan. Sampai saat ini Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) masih berperan aktif dalam meningkatkan pemberian ASI. Semua kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sangat tergantung pada Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dengan adanya masalah tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita yang berhubungan dengan tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah. Pevalensi BBLR ini masih berkisar antara 2 sampai 17% pada periode 1990-2000. Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan Tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Kemudian patahun tahun 2004 mengalami penurunan lagi. (Mahasiswa PPS-702 Darmaga, IPB, 2004 : 2). Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR, disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya, seperti kurang yodium, selenium, kalsium, dan seng. Hal ini menyebabkan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) bertambah lagi, yaitu yang semula hanya memantau pertumbuhan (Growth Monitoring and Promotion = GMP) bayi sejak lahir hingga lima tahun, menjadi Pusat Pelayanan Terpadu Kesehatan Ibu dan Anak Balita. Untuk itu revitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) harus mendapat perhatian yang cukup dalam pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan umum tentang berapa persen masyarakat yang ikut berpartisipasi

aktif di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan melakukan pemantauan pertumbuhan anak balita dan pemberian ASI pada bayi diperlukan data dan pembahasan yang cukup rumit dan tidak ringan. Oleh karena itu pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat tidak bisa mengabaikan pentingnya revitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pembagunan adalah suatu rangkaian usaha pertumbuhan yang berencana yang dilaksanakan secara sadar oleh suatu negara atau pemerintah menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1978:2). Sedangkan pembagunan kesehatan masyarakat desa menurut Tallog (1980:24) adalah bagian integral dari pembagunan desa secara keseluruhan Jika dilihat darikepentingan masyarakat pembagunan kesehatan masyarakat desa merupakan bagian swadaya masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesehatan rakyat melalui perbaikan setatus kesehatan. Dan jika dilihat dari kepentingan pemerintah, maka pembagunan kesehatan masyarakat merupakan usaha untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun swasta dengan peran aktif masyarakat sendiri. Pengertian kesehatan masyarakat menunjukkan pada dua batasan, yaitu: masyarakat itu sendiri dan kesehatan. Istilah masyarakat berasal dari kata Community yang dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Dalam masyarakat setempat terdapat beberapa ciri yang selalu melekat, yaitu: seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan. Individu yang tergabung dalam community merasakan dirinya tergantung kelompoknya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologisnya (Soeryana Soekanto, 1986:130). Berbicara tentang kesehatan, berarti kita berbicara tentang jiwa raga dan lingkungan dimana manusia itu hidup. Beberapa pengertian tentang kesehatan dapat dipaparkan seperti yang tertera dibawah ini : Dalam UU No. 9 Tahun 1992 tentang pokok-pokok kesehatan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, rohani dan sosial, bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Maka dapatlah dipahami bahwa kesehatan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia secara lahiriah dan batiniah. Berdasarkan tentang kesehatan dan masyarakat maka dapatlah dipahami bahwa kesehatan masyarakat adalah setiap usaha yang mengarah pada kesehatan masyarakat. Dalam arti sempit kesehatan masyarakat adalah upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang menganggu kesehatan masyarakat (Soekidjo Notoatmojo, 1997:9). Menurut Winslow dalam soekidjo Notoatmojo (1997:10) berpendapat bahwa, kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular, pendidikan untuk kebersihan perorangan. Kesehatan masyarakat merupakan suatu hal yang multi dimensi. Artinya bahwa kesehatan masyarakat menyangkut banyak persoalan. Menurut WHO, sebagaimana dikutip oleh Indah Entjang (1997:31) kesehatan masyarakat dapat dilihat dari 7 usaha kesehatan pokok, yaitu: 1. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular 2. Kesejahteraan ibu dan anak 3. Sanitasi lingkungan 4. Pendidikan kesehatan bagi masyarakat 5. pengumpulan data-data untuk perencanaan dan penilaian 6. perawatan kesehatan masyarakat 7. pemeriksaan, pengobatan dan perawatan Secara perseorangan ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan, yaitu; penyebab

penyakit, manusia sebagai tuan rumah, dan lingkungan hidup (Indah Entjang 1997:29) usaha kesehatan masyarakat ditujukan untuk mengendalikan keseimbangan dari ketiganya sehingga setiap warga masyarakat dapat mencapai drajat kesehatan yang setinggitingginya. Kesehatan masyarakat selain dipengaruhi oleh faktor kesehatan pribadi sebagaimana disebutkan diatas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yaitu: 1. Pendidikan, tingkat pendidikan seseorang pada dasarnya sangat mempengaruhi kesadaran masyarakat mengenai bagaimana pola hidup yang sehat. Apabila pemerintah menyadari kurangnya kesadaran masyarakat dalam bidang kesehatan maka perlu segera diambil tindakan yang bersifat nyata, misalnya diadakannya penyuluhan masalah kesehatan, pelaksanaan program kesehatan yang berkelanjutan dan upaya-upaya lain yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam bidang kesehatan. 2. Kondisi sosial ekonomi, pada negara yang sedang berkembang keadaan ekonomi dapat digambarkan dalam keadaan yang belumstabil. Tingginya tingkat angkatan kerja, terbatasnya sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat terutama yang menyangkut penyediaan pangan yang berkaitan dengan kondisi gizi masyarakat. 3. Budaya masyarakat, lingkungan sosial budaya pada masyarakat terutama yang menyangkut tingkat kecerdasan rakyat secara mayoritas yang masih rendah, kesadaran hukum yang masih rendah dan kondisi sosial budaya lainnya akan sangat berpengaruh terhadap pola perilaku hidup sehat masyarakatnya. 4. Kondisi letak geografis, pada kondisi ini masalah kesehatan akan dikaitkan dengan masalah kependudukan yang ditandai dengan jumlah penduduk yang besar, pertumbuhannya yang cepat, penyebaran yang tidak merata, komposisi umur yang menunjukkan angka ketergantungan yang tinggi, angka kematian umur dini (bayi dan balita) yang masih tinggi akan membuat masyarakat mengabaikan kondisi atau keadaan kesehatan meraka. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah Pos Pelayanan Terpadu. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1987:1) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan pusat pelayanan kesehatan masyarakat dimana masyarakat dapat melakukan konsultasi kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan. Keterpaduan diartikan sebagai penyatuan secara dinamis kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) paling sedikit tiga macam program untuk saling mendukung pencapaian tujuan dan sasaran yang disepakati oleh pemerintah berdasarkan intruksi bersama Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN Nomor: 06/Menkes/Ist/1981-22/HK.0110/1991 dan ditingkat desa kegiatan keterpaduan ini mewujudkan dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu. Wujud keterpaduan dapat berupa keterpaduan dalam aspek sasaran, aspek lokasi kegiatan, aspek petugas penyelenggaraan. Misalnya berdasarkan sasaran Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dibidang kesehatan dapat dilakukan secara bersamaan imunisasi untuk balita, serta konsultasi mengenai gizi ditempat dan waktu yang sama. Menurut Departemen Kesehatan RI (1993 : 80) ada tiga jenis Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yaitu petugas kesehatan, kader, dan masyarakat belum dapat membedakan status gizi dan status pertumbuhan. PMT hanya merupakan alat penarik agar ibu membawa anak ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan laporan yang ada tidak digunakan untuk analisis guna menentukan tindakan yang akan diambil, tapi sekedar laporan untuk atasan. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dasar, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) lengkap, dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pengembangan. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu wujud peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan dengan menciptakan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk dalam mewujudkan drajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pos Pelayanan Terpadu

(Posyandu) adalah pusat kesehatan masyarakat dimana masyarakat dapat sekaligus memperoleh pelayanan KB dan kesehatan. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan jenis Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang pernah paling memasyarakat di Indonesia. Namun belakangan ini kepopulerannya mulai pudar seiring dengan menurunnya semangat para kader yang telah berusia lanjut, dan kurangnya kaderisasi di tiap Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam pelaksanaannya meliputi 5 program prioritas (KB, KIA, Gizi, Imunisasi, dan Penaggulangan Diare), sehingga mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi (AKB). Untuk meningkatkan kualitas dan kemadirian Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) diperlukan intervensi. Adapun Intervensinya adalah sebagai berikut: 1. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Pratama (Warna merah) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) tingkat pratama adalah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas. keadaan ini dinilai gawat, sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang. Artinya kader yang ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi. 2. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Madya (Warna kuning) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada tingkat madya sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih. Akan tetapi cakupan utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sudah baik tetapi masih rendah cakupannya. Untuk ini perlu dilakukan penggerakkan masyarakat secara intensif, serta penambahan program yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Intervensi untuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) madya ada 2 yaitu: a. Pelatihan Toma dengan modul eskalasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang sekarang sudah dilengkapi dengan metode stimulasi. b. Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan masalah dan mencari penyelesaiannya, termasuk menentukan program tambahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Untuk melaksanakan hal ini dengan baik, dapat digunakan acuan bulu pedoman Pendekatan Kemasyarakatan yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran serta Masyarakat Depkes. 3. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Purnama (Warna hijau) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada tingkat purnama adalah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, can cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) lebih dari 50%. Sudah ada program tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang masih sederhana. Intervensi pada Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di tingkat ini adalah: a. Penggarapan dengan pendekatan PKMD, untuk mengarahkan masyarakat menentukan sendiri pengembangan program di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). b. Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat, dengan cakupan anggota minimal 50% KK atau lebih. Untuk kegiatan ini dapat mengacu pada buku Pedoman Penyelenggaraan Dana Sehat dan Pedoman Pembinaan Dana Sehat yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran Serta Masyarakat Depkes. 4. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Mandiri (Warna biru) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ini berarti sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK. Untuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) tingkat ini,

intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat tersebut menggunakan prinsip JPKM (Depkes, 1999: 26). Adapun tahapan pelayanan yang dilakukan dalam kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) oleh para kadernya antara lain: a. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dasar adalah pos pelayanan terpadu yang tenaga pelayanannya hanya dilakukan oleh kader kesehatan tanpa bantuan pihak puskesmas. b. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) lengkap adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat oleh petugaskesehatan bersama kadernya, dalam memberikan pelayanan KB, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, perbaikan gizi dan penaggulangan diare. c. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pengembangan adalah pelayanan terpadu yang tugas sepenuhnya ditangani oleh kader yang telah diberikan pendidikan dalam bidang tertentu, misalnya tentang gizi anak balita. Tujuan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah: 1. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran. 2. Untuk mempercepat terbentuknya Norma Keluarga Bahagia dan Sejahtera. 3. Agar masyarakat dapat mengembangkan kegiatan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan dan seleranya. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan program pemerintah dibidang kesehatan, sehingga semua anggota masyarakat dapat memanfaatkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terutama: 1. Bayi (dibawah satu tahun) 2. Balita (dibawah lima tahun) 3. Ibu hamil 4. Masyarakat kurang gizi Menurut Departemen Kesehatan RI (1993:104) program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) untuk anak bayi dan balita meliputi perbaikan gizi, imunisasi dan penaggulangan diare. Kemudian pada tahun 2000 program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) diperluas lagi untuk kesehatan Ibu dan anak. BAB III METODE PENELITIAN

B. Jenis Penelitian Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Moleong (dalam Rachman, 1999:118) adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. Pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini dengan alasan penelitian ini mengutamakan syarat kualitas, dalam penelitian ini akan diperoleh pengetahuan sehingga mengerti dan memahami masalah bukan mengutamakan jumlahnya. C. Subjek Penelitian Jumlah Kader Posyandu sebagai kader Posyandu di Kelurahan Jatijajar berjumlah 30 orang yang berdomisili di 7 RW. Masing-masing RW ada satu kelompok kader Posyandu yang beranggotakan 8 9 orang dan memiliki satu kegiatan program Posyandu. Informan kunci ditetapkan dengan memperhatikan tingkat partisipasi kader dalam kegiatan Posyandu pada masing-masing RW. Setiap RW ditetapkan 1 orang kader yang partisipasinya tinggi dan 1 orang yang berpartisipasi rendah. Dengan demikian jumlah informan seluruhnya 14 orang kader. D. Lokasi Penelitian Dengan menentukan lokasi penelitian dimaksudkan untuk mempermudah dan memperlancar obyek yang menjadi sasaran dalam penelitian, sehingga permasalahannya tidak terlalu luas dan umum. Adapun yang menjadi lokasi dalam penelitian ini adalah di Kelurahan Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. E. Sumber Data Menurut Ifflen dalam buku Moleong (1991:112) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya ialah data tambahan seperti dokumen dan lainlain. Dalam penelitian ini ada dua sumber data yang digunakan yaitu: 1. Sumber data primer, yaitu data yang bersumber dari responden dengan cara langsung melalui wawancara dan observasi lapangan dimana penelitian itu dilakukan. Dalam penelitian ini sumber data penelitian diperoleh dari kader Posyandu sebagai kader kesehatan. 2. Sumber data skunder, yaitu data yang bersumber pada catatan-catatan, buku-buku, brosurbrosur yang ada hubungannya dengan judul atau permasalahan yang diteliti. F. Cara Pengumpulan Data Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah: 1. Wawancara Yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Suharsimi Arikunto, 1999 : 144). Wawancara ini dilakukan oleh peneliti terhadap para informan dan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini dalam bentuk tanya jawab dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dipergunakan untuk memperoleh data tentang kegiatan kader Posyandu di Kelurahan Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. 2. Observasi / Pengamatan Yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada obyek peneliti. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan terhadap kegiatan kader Posyandu di Kelurahan Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. 3. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang variabelnya berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, notulen rapat, leger dan agenda. Pelaksanaan dari metode

dokumentasi ini dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sasaran Posyandu di Kelurahan Jatijajar, tingkat kesehatan sasaran Posyandu, jumlah kader Posyandu. G. Metode Analisis Metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualtatif. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian sehingga dapat ditemukan dan dapat dirumuskan hepotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 1999 : 103) untuk sampai pada analisis data, sebelumnya dilakukan beberapa pentahapan sebagai berikut : 1. Pengumpulan data, yaitu pencarian data yang diperlukan, yang dilakukan terhadap berbagai jenis data dan berbagai bentuk data yang ada pada lapangan penelitian serta melalukan pencatatan dilapangan. 2. Reduksi data, yaitu proses pemilihan pemutusan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpuan finalnya dapat ditarik dan diverivikasi. (Miles, 1992 : 15). 3. Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Menurut Miles (1992 : 17-18) penyajian data merupakan analisis merancang deretan dan kolom-kolom dalam sebuah matrik untuk data 38 kualitatif dan menentukan jenis dan bentuk data yang dimasukkan dalam kotakkotak matrik. 4. Menarik kesimpulan, yaitu suatu tinjauan ulang pada catatan dilapangan atau kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yaitu merupakan validitasnya (Miles, 1992 :19). H. Validitas Data Validitas data sangat mendukung hasil akhir penelitian, oleh karena itu diperlukan tehnik untuk memeriksa keabsahan data. Keabsahan data dalam penelitian ini diperiksa dengan menggunakan teknik trianggulasi. Menurut Patton dalam bukunya Moleong, trianggulasi dengan sumber berarti menbandingkan dan mengecek balik drajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif. Trianggulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagai berikut : 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang sewaktu diteliti dengan sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat pandangan orang seperti rakyat biasa, pejabat pemerintah, orang yang berpendidikan, orang yang berbeda. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen. (Moleong, 2007:178)

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. (1986). Posyandu, Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (1998). Posyandu Penyuluhan Kesehatan Masyarakat RI. Jakarta. Depkes RI, (2000) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Hasil- hasil Penelitian Kesehatan Dan Kedokteran, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, (1999) Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat 2010, Jakarta. Indah Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Miftah Toha, 1993. Kepemimpinan dalam Manajemen. PT Raja Grafindo. Jakarta. Miles, Malcolm, et.al. (1992) The city cultures reader. Routledge, London. Moleong, Lexy. J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya. Bandung. Notoatmojo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.

Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) pada Anak. Apa ini ? Pernah dengar istilah ini ? Simak pemaparan singkat tentang istilah tersebut di blog ini. Kita sebagai orang tua mendambakan mempunyai anak yang sehat, baik sehat secara jasmani maupun sehat secara rohani. Selain sehat jasmani dan rohani, diharapkan anak kita pun bisa hidup sukses dan mampu bersaing ditengah persaingan global di masa mendatang serta bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama. Memang tidak ada anak yang sempurna, namun kita bisa mengupayakannya. Salah satu upaya untuk mendapatkan anak yang seperti diinginkan tersebut adalah dengan melakukan upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak atau yang dikenal dengan nama Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak umur 0 6 tahun agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Sitimulasi ini dapat dilakukan oleh ibu, ayah, pengganti orang tua (pengasuh), anggota keluarga lain, atau jika si anak telah masuk PAUD maka menjadi tanggung jawab lembaga untuk membantu pendeteksiannya. Deteksi adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak pra sekolah. Intervensi adalah suatu tindakan tertentu pada anak yang mempunyai perkembangan dan kemampuan menyimpang karena tidak sesuai dengan umurnya. Penyimpangan perkembangan bisa terjadi pada salah satu atau lebih kemampuan anak yaitu kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian anak. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik si anak dari waktu ke waktu. Dilihat dari tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala. Perkembangan adalah bertambahnya fungsi tubuh si anak. Meliputi sensorik (dengar, lihat, raba, rasa, cium), motorik (gerak kasar, halus), kognitif (pengetahuan, kecerdasan), komunikasi / berbahasa, emosi - sosial serta kemandirian.

Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) dilakukan di PAUD


Seperti halnya telah di jelaskan diatas bahwa tugas kita sebagi suatu lembaga untuk membantu orang tua mendeteksi dan intervensi terhadap tumbuh kembang anak, khususnya anak didik kita. Sebenarnya ini sudah menjadi kewajiban kita memanatu perkembangan anak secara berkala, dan memasukkannya kedalam program sekolah.

Umur anak dalam pendeteksian (SDIDTK)

Tidak semua umur anak bisa dilakukan pendeteksian. Anak bisa dideteksi ketika menginjak umur 0 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 15 bulan, 18 bulan, 21 bulan, 24 bulan, 30 bulan, 36 bulan, 42 bulan, 48 bulan, 54 bulan, 60 bulan, 66 bulan, dan 72 bulan. Usia ini adalah standar usia yang telah ditetapkan. Jadawal atau waktu pendeteksian anak yaitu :

Anak umur 0 - 1 tahun = 1 bulan sekali Anak umur > 1 - 3 tahun = 3 bulan sekali Anak umur > 3 - 6 tahun = 6 bulan sekali

Jika umur si anak belum menginjak usia standar pemeriksaan maka jangan dilakukan pendeteksian, namun tunggu si anak mencapai usia yang ditentukan. Misal jika si anak lahir tanggal 12 Agustus 2009, maka waktu yang tepat untuk pendeteksiannya adalah :

Hitung umur si anak saat ini, dalam contoh anak lahir tanggal 12 Agustus 2009 maka saat ini (12 Juni 2013) usia si anak adalah 46 bulan. Dalam standar usia pendeteksian, 46 bulan tidak termasuk standar usia pendeteksian, sedangkan menurut standar usia adalah 48 bulan. Maka si anak baru bisa di deteksi 2 bulan kedepan atau 60 hari kedepan yaitu pada tanggal 11 atau 12 Agustus 2013. Satu bulan dihitung 30 hari. Toleransi kelebihan usia anak pada saat pendeteksian dari usia standar adalah 29 hari kedepan. Cara menghitung umurnya baca di sini.

Jenis Skrining / Deteksi Dini Penyimpangan Tumbuh Kembang


Jenis kegiatan deteksi atau disebut juga skrining, dalam SDIDTK adalah sebagai berikut : 1. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dengan cara mengukur Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) dan Lingkar Kepala (LK). 2. Deteksi dini penyimpangan perkembangan yaitu meliputi

Pendeteksian menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) Tes Daya Lihat (TDL) Tes Daya Dengar (TDD)

3. Deteksi dini penyimpangan mental emosional yaitu menggunakan :


Kuesioner Masalah Mental Emosional (KMME) Check List for Autism in Toddlers (CHAT) atau Cek lis Deteksi Dini Autis Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

Untuk lebih jelasnya hubungan antara umur anak dan jenis skrining/pendeteksian dini dari penyimpangan tumbuh kembang dapat dilihat pada gambar berikut :

Klik untuk memperjelas gambar Demikian penjelasan singkat tentang Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) pada anak didik PAUD . Untuk lebih jelas dan rinci dari cara dan pendeteksian (SDIDTK) ini akan di tulis di postingan-postingan selanjutnya. Jadi tunggu dan panatau terus blog kurikulumpaud.blogspot.com ini.

INDIKATOR PEMANTAUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BAYI DAN BALITA


By Siti Fadhilah,S.SiT A. PENGERTIAN 1. Pertumbuhan Pertumbuhan adalah bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur ( Whalley dan Wong, 2000) Pertumbuhan adalah adanya perubahan dalam jumlah akibat pertambahan sel dan pembentukan protein baru sehingga meningkatkan jumlah dan ukuran sel diseluruh bagian tubuh (Sutjiningsih, 1998 ) 2. Perkembangan Perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley dan Wong, 2000)

Perkembangan adalah pertumbuhan dan perluasan secara peningkatan sederhana menjadi komplek dan meluasnya kemampuan individu untuk berfungsi dengan baik (Sutjiningsih,1998) B. POLA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Yaitu peristiwa yang terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak. 1. Pola perkembangan fisik yang terarah Terdiri dari dua prinsip yaitu cephalocaudal dan proximal distal (Wong, 1995)

Cephalocaudal adalah pola pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari kepala yang
ditandai dengan perubahan ukuran kepala yang lebih besar, kemudian berkembang kemampuan untuk menggerakkan lebih cepat dengan menggelengkan kepala dan dilanjutkan ke bagian ekstremitas bawah lengan ,tangan dan kaki

Proximaldistal yaitu pola pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dengan


menggerakkan anggota gerak yang paling dekat dengan pusat/sumbu tengah, seperti menggerakkan bahu dahulu baru kemudian jari-jari. 2. Pola perkembangan dari umum ke khusus Yaitu pola pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dengan menggerakkan daerah yang lebih umum (sederhana) dahulu baru kemudian daerah yang lebih kompleks. Misalnya melambaikan tangan kemudian memainkan jari. 3. Pola perkembangan berlangsung dalam tahapan perkembangan Pola ini mencerminkan ciri khusus dalam setiap tahapan perkembangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini perkembangan selanjutnya. Pada masa ini dibagi menjadi lima tahap yaitu : a). Masa pra lahir, terjadi pertumbuhan yang sangat cepat padaalatdan jaringan tubuh b). Masa neonatus, terjadi proses penyesuaian dengan kehidupan di luar rahim dan hampir sedikit aspek pertumbuhan fisik dalam perubahan c). Masa bayi , terjadi perkembangan sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya dan mempunyai kemampuan untuk melindungi dan menghindari dari hal yang mengancam dirinya

d). Masa anak, terjadi perkembangan yang cepat dalam aspek sifat, sikap, minat dan cara penyesuaian dengan lingkungan e). Masa remaja, terjadi perubahan kearah dewasa sehingga kematangan pada tandatanda pubertas 4. Pola perkembangan dipengaruhi oleh kematangan dan latihan/belajar

Terdapat saat yang siap untuk menerima sesuatu dari luar untuk mencapai proses kematangan dan kematangan yang dicapainya dapat disempurnakan melalui rnagsangan yang tepat. Masa ini merupakan masa kritis yangharus dirangsang agar mencapai perkembangan selanjutnya melalui proses belajar (Gunarsa dalam Hidayat, 2005) C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TUMBANG ANAK 1. Faktor herediter Merupakan faktor pertumbuhan yang dapat diturunkan yaitu suku, ras, dan jenis kelamin (Marlow, 1988 dalam Supartini, 2004). Jenis kelamin ditentukan sejak dalam kandungan. Anak laki-laki setelah lahir cenderung lebih besar dan tinggi dari pada anak perempuan, hal ini akan nampak saat anak sudah mengalami masa pra-pubertas. Ras dan suku bangsa juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Misalnya suku bangsa Asia memiliki tubuh yang lebih pendek dari pada orang Eropa atau suku Asmat dari Irian berkulit hitam 2. Faktor lingkungan a). Lingkungan pra-natal Kondisi lingkungan yang mempengaruhi fetus dalam uterus yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin antara lain gangguan nutrisi karena ibu kurang mendapat asupan gizi yang baik, gangguan endokrin pada ibu (diabetes mellitus), ibu yang mendapatkan terapi sitostatika atau mengalami infeksi rubela, toxoplasmosis, sifilis dan herpes. Faktor lingkungan yang lain adalah radiasi yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ otak janin. b). Lingkungan pos-natal Lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan setelah bayi lahir adalah : 1). Nutrisi Nutrisi adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan. Terdapat kebutuhan zat gizi yang diperlukan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air.Apabila kebutuhan tersebut tidak atau kurang terpenuhi maka dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan nutrisi yang berlebihan juga berdampak buruk bagi kesehatan anak, yaitu terjadi penumpukan kadar lemak yang berlebihan dalam sel/jaringan bahkan pada pembuluh darah. Penyebab status nutrisi kurang pada anak : Asupan nutrisi yang tidak adekuat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif Hiperaktivitas fisik/ istirahat yang kurang

Adanya penyakit yang menyebabkan peningkatan kebutuhan nutrisi Sters emosi yang dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau absorbsi makanan tidak adekuat 2). Budaya lingkungan Budaya keluarga atau masyarakat akan mempengaruhi bagaimana mereka dalam mempersepsikan dan memahami kesehatan dan perilaku hidup sehat. Pola perilaku ibu hamil dipengaruhi oleh budaya yang dianutnya, misalnya larangan untuk makan makanan tertentu padahal zat gizi tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Keyakinan untuk melahirkan d dukun beranak dari pada di tenaga kesehatan. Setelah anak lahir dibesarkan di lingkungan atau berdasarkan lingkungan budaya masyarakat setempat. 3). Status sosial dan ekonomi keluarga Anak yang dibesarkan di keluarga yang nerekonomi tinggi untuk pemenuhan kebutuhan gizi akan tercukupi dengan baik dibandingkan dengan anak yang dibesarkan di keluarga yang berekonomi sedang atau kurang. Demikian juga dengan status pendidikan orang tua, keluarga dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima arahan terutama tentang peningkatan pertumbuhan dan perkembangan anak, penggunaan fasilitas kesehatan dll dibandingka dengan keluarga dengan latar belakang pendidikan rendah. 4). Iklim/cuaca Iklim tertentu akan mempengaruhi status kesehatan anak misalnya musim penghujan akan dapat menimbulkan banjir sehingga menyebabkan sulitnya transportasi untuk mendapatkan bahan makanan, timbul penyakit menular,dan penyakit kulit yang dapat menyerang bayi dan anak-anak. Anak yang tinggal di daerah endemik misalnya endemik demam berdarah, jika terjadi perubahan cuaca wabah demam berdarah akan meningkat. 5). Olahraga/latihan fisik Manfaat olah raga atau latihan fisikyang teratur akan meningkatkan sirkulasi darah sehingga meningkatkan suplai oksigen ke seluruh tubuh, meningkatkan aktivitas fisik dan menstimulasi perkembangan otot dan jaringan sel 6). Posisi anak dalam keluarga Posisi anak sebagai anak tunggal, anak sulung, anak tengah atau anak bungsu akan mempengaruhi poa perkembangan anak tersebut diasuh dan dididik dalam keluarga. 7). Status kesehatan

Status kesehatan anak dapat berpengaruh pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini dapat terlihat apabila anak dalm kondisi sehat dan sejahtera maka percepatan pertumbuhan dan perkembangan akan lebih mudah dibandingkan dengan anak dalam kondisi sakit. 8). Faktor Hormonal Faktor hormonal yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah somatotropon yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan, hormon tiroid dengan mestimulasi metabolisme tubuh, glukokortiroid yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan sel interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron dan ovarium untuk memproduksi estrogen selanjutnya hormon tersebut akan menstimulasi perkembangan seks baik pada anak laki-laki maupun perempuan sesuai dengan peran hormonnya. D. TAHAP PENCAPAIAN /PERIODE TUMBUH KEMBANG ANAK Perkembangan anak secara umum terdiri atas tahapan prenatal, neonatus, periode bayi, prasekolah, pra remaja dan remaja. 1. Masa pranatal Masa pranatal terdiri dari masa embrio dan fetus. Pada fase embrio pertumbuhan dimulai 8 minggu pertama dengan terjadi defensiasi yang cepat dari ovum menjadi suatu organisme dan terbentuknya manusia. Pada minggu kedua terjadi pembelahan sel dan terjadi pemisahan jaringan antara entoderm dan ekstoderm, pada minggu ketiga terbentuk lapisan mesoderm. Pada masa ini sampai umur tujuh minggu belum tampak terjadi gerakan yang menonjol hanya denyut jantung janin sudah mulai dapat berdenyut sejak 4 minggu. Masa fetus terjadi antara minggu ke12 sampai 40 terjadi peningkatan fungsi organ yaitu bertambah panjang dan berat badan terutama pertumbuhan dan penambahan jaringan subcutan dan jaringan otot. 2. Masa neonatus (0-28 hari) Pada masa neonatus (0-28 hari) adalah awal dari pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir, masa ini merupakan masa terjadi kehidupan yang baru dalam ekstra uteri dengan terjadi proses adaptasi semua sistem organ tubuh. Proses adaptasi dari organ tersebut dimulai dari akrivitas pernapasan yang disertai pertukaran gas dengan frekuensi pernapasan antara 35-50 x/menit, penyesuaian denyut jantung antara 120-160x/menit dengan ukuran jantung lebih besar apabila dibandingkan dengan rongga dada, terjadi aktivitas bayi yang mulai meningkat. Selanjutnya diikuti perkembangan fungsi organ-organ tubuh lainnya. 3. Masa Bayi (28 hari 1tahun) 4. Masa anak (1-3 tahun) 5. Masa pra sekolah (3-5 tahun)

6. Masa sekolah (5 -12 tahun) 7. Masa remaja ( 12-18/20 tahun) E. TEORI-TEORI PERKEMBANGAN 1. Perkembangan kognitif (Piaget) a. Tahap sensori motor (0-2 tahun) Anak mempunyai kemampuan dalam mengasimilasi dan mengakomodasi informasi dengan cara melihat, mendengar, menyentuh dan kativitas motorik. Semua gerakan akan diarahkan ke mulut dengan merasakan keingintahuan sesuatu dari apa yang dilihat, didengar, disentuh dll. b. Tahap praoperasional ( 2-7 tahun) Anak belum mampu mengoperasionalkan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat egosentris. Pada masa ini pikiran bersifat transduktif menganggap semuanya sama. Seperti semua pria dikeluarga adalah ayah maka semua pria adalah ayah. Selain itu ada pikiran animisme, yaitu selalu memperhatikan adanya benda mati. Seperti anak jatuh dan terbentur batu, dia akan menyalahkan batu tersebut dan memukulnya. c. Tahap kongret (7-11 tahun) Anak sudah memandang realistis dari dunianya dan mempunyai anggapan yang sama dengan orang lain, sifat egosentrik sudah hilang, karena anak sudah mengerti tentang keterbatasan diri sendiri. Anak sudah mengenal konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu. Pemahaman belum mendalam dan akan berkembang di akhir usia sekolah (masa remaja). d. Tahap formal operasional ( > 11 tahun) Anak remaja dapat berpikir dengan pola yang abstrak menggunakan tanda atau simbol dan menggambarkan kesimpulan yang logis. Mereka dapat membuat dugaan dan mengujinya dengan pemikirannya yang abstrak, teoritis dan filosofis. Pola berfikir logis membuat mereka mampu berpikir tentang apa yang orang lain juga memikirkannya dan berpikir untuk memecahkan masalah. 2. Perkembangan psikoseksual anak (Freud) a. Tahap oral (0-1 tahun) Pada masa ini kepuasan dan kesenangan, kenikmatan dapat melalui dengan cara menghisap, menggigit, mengunyah atau bersuara, ketergantungan sangat tinggi dan selalu minta dilindungi untuk mendapatkan rasa aman. Masalah yang diperoleh pada tahap ini adalah menyapih dan makanan.

b. Tahap anal (1-3 tahun) Kepuasan pada fase ini adalah pada pengeluaran tinja.Anak akan menunjukkan keakuannya dan sikapnya sangat narsistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri dan sangat egosentrik, mulai mempelajari struktur tubuhnya. Masalah pada saat ini adalah obesitas, introvet, kurang pengendalian diri dan tidak rapi. c. Tahap oedipal/phalik ( 3-5 tahun) Kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotik yaitu meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka pada lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dan anak perempuan cenderung suka pada ayahnya. d. Tahap laten ( 5-12 tahun) Kepuasan anak mulai terintegrasi, anak masuk dalam fase pubertas dan berhadapan langsng pada tuntutan sosial seperti suka hubungan dengan kelompoknya atau sebaya, dorongan libido mulai mereda. e. Tahap Genital ( > 12 tahun) Kepuasan anak pada fase ini kembali bangkit dan mengarah pada perasaan cinta matang terhadap lawan jenis. 3. Perkembangan psikososial (Erikson) a. Tahap percaya tidak percaya (0-1 th) Bayi sudah terbentuk rasa percaya kepada seseorang baik orang tua maupun orang yang mengasuhnya ataupun tenaga kesehatan yang merawatnya. Kegagalan pada tahap ini apabila terjadi kesalahan dalam mengasuh atau merawat maka akan timbul rasa tidak percaya. b. Tahap kemandirian, rasa malu dan ragu (1-3 tahun) Anak sudah mulai mencoba dan mandiri dalam tugas tumbuh kembang seperti kemampuan motorik dan bahasa. Pada tahap ini jika anak tidak diberikan kebebasan anak akanmerasa malu. c. Tahap inisiatif, rasa bersalah (4-6 tahun) anak akan mulai inisiatif dalam belajar mencari pengalaman baru secara aktif dalam aktivitasnya. Apabila pada tahap ini anak dilarang akan timbul rasa bersalah. d. Tahap rajin dan rendah diri (6-12 tahun)

Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau prestasinya sehingga anak pada usia ini adalah rajin dalam melakukan sesuatu. Apabila pada tahap ini gagal anak akan rendah diri. f. Tahap identitas dan kebingungan peran pada masa adolesence.anak mengalami perubahan diri, perubahan hormonal. g. Tahap keintiman dan pemisahan terjadi pada masa dewasa yaitu anak mencoba melakukan hubungan dengan teman sebaya ata kelompok masyarakat dalam kehidupan sosial. h. Tahap generasi dan penghentian terjadi pada dewasa pertengahan yaitu seseorang ingin mencoba memperhatikan generasi berikutnya dalam kegiatan aktivitasnya. i. Tahap integritas dan keutusasaan terjadi pada dewasa lanjut yaitu seseorang memikirkan tugas-tugas dalam mengakhiri kehidupan. F. CARA DETEKSI TUMBUH KEMBANG ANAK 1. Cara penilaian pertumbuhan anak a. Pengukuran antropometrik Pengukuran antropometrik meliputi : Berat badan Untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh (tulang, otot, lemak, cairan tubuh ) sehingga akan diketahui status gizi anak atau tumbuh kembang anak. BB dapat juga sebagai menghitung dosis obat. Penilaian berat badan berdasarkan umur menurut WHO dengan baku NCHS, berdasarkan tinggi badan menurut WHO, dan NCHS yaitu; persentil ke 75 -25 dikatakan normal, persentil 10-5 malnutrisi sedang dan <> Kenaikan berat badan pada bayi cukup bulan kembali pada hari ke-10. Umur 10 hari : BBL Umur 5 balan : 2 x BBL Umur 1 tahun : 3 x BBL Umur 2 tahun : 4 x BBL Pra sekolah : meningkat 2 kg/tahun Adolecent : meningkat 3-3,5 kg/tahun

Kenaikan BB pada tahun pertama kehidupan Trimester I : 700-1000 gram/bulan Trimester II : 500-600 gram/bulan Trimester III : 350-450 gram/bulan Trimester IV : 250-350 gram/bulan Perkiraan BB dalam kilogram Usia 3-12 bulan : umur (bulan) + 9 2 Usia 1-6 tahun : umur (tahun) x 2 + 8 Usia 6-12 tahun : umur (tahun) x 7 5 2 Tinggi Badan Pengukuran tinggi badan untuk menilai status perbaikan gizi disamping faktor genetik. Penilaian TB dapat dilakukan dengan sangat mudah dalam menilai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penilaian TB daat berdasarkan umur menurut WHO dengan baku NCHS yaitu dengan cara presentase dari median dengan penilaian ; 90& adalah normal, <> TB meningkat sampai tinggi maksimaldicapai, meningkat pesat pada usia bayi dan adolecent dan berhenti pada usia 18 20 tahun. TB dapat diperkirakan sebagai berikut : Umur 1 tahun = 1,5 x TB lahir Umur 4 tahn = 2 x TB lahir Umur 6 tahun = 1,5 x TB setahun Umur 13 tahun = 3 x TB lahir Dewasa = 3,5 x TB lahir atau 2 x TB umur 2 tahun) Atau dengan rumus Behrman, Lahir = 50 cm

Mur 1 tahun = 75 cm Umur 2 12 tahun = umur (tahun) x 6 + 77 Atau berdasarkan potensi genetik TB akhir : Wanita = (TB ayah 13 cm) +TB ibu 8,5 cm 2 Pria = (TB ibu + 13 cm) + TB ayah 8,5 cm 2 Lingkar kepala Dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan otak. Penilaian ini dapat dilihat apabila pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) maka menunjukkan adanya retardasi mental, sebaliknya apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) akibat penyumbatan pada aliran cairan cerebrospinalis. Peningkatan volume 6 -9 bulan kehamila = 3 gram/24 jam Lahir-6 bulan = 2 gram/24 jam 6 blan- 3 tahun = 0,35 gram/24 jam 3-6 tahun = 0,15 gram/24 jam Pengukuran lingkar lengan atas Digunakan untuk menilai jaringan lemak dan otot, tetapi penilaian ini banyak berpengaruh pada keadaan jaringan tubuh apabila dibanding dengan BB. Penilaian ini juga dapat dipakai untuk menilai status gizi pada anak usia pra sekolah. b. Pemeriksaan Fisik Untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan dengan cara melakukan pemeriksaan fisik, dengan melihat bentuk tubuh, perbandingan bagian tubuh dan anggota gerak lainnya, menentukan jaringan otot dengan memeriksa lengan atas, pantat dan paha, menentukan jaringan lemak dilakukan pada triseps, rambut dan geligi c. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk menilai keadaan pertumbuhan dan perkembangan dengan status keadaan penyakit, adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan ; pemeriksaan Hb, serum protein (albumun, globulin), hormonal, dll. d. Pemeriksaan radiologi Dilakukan untuk menilai umur pertumbuhan dan perkembangan seperti tulang (apabila dicurigai adanya gangguan pertumbuhan ) 2. Penilaian perkembangan anak a. Tujuan Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang merupakan isiko terjadinya perkembangan tersebut Mengetahui berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan atau konseling genetik Mengetahui anak perlu dirujuk b. Cara deteksi perkembangan DDST (Denver development screnning test) KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan KPAP ( Kuesioner Perilaku Anak Pra Sekolah Tes Daya Lihat dan tes Kesehataan Mata Anak Pra Sekolah Tes Daya Dengar Anak (TDD) KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) KPSP merupakan suatu daftar pertanyaan singkat yang ditujukan pada orang tua dan dipergunakan sebagai alat untuk melakukan skrining pendahuluan untuk perkembangan anak usia 3 bulan sampai 6 tahun. Daftar pertanyaan tersebut berjumlah 10 nomor yang harus dijawab oleh orang tuaatau pengasuh yang mengetahui keadaan perkembangan anak. Pertanyaan dalam KPSP dikelompokan sesuai usia anak saat dilakukan pemeriksaan, mulai kelompok usia 3 bulan, 3-6 bulan,dst sampai kelompok 5-6 tahun. Untuk usia ditetapkan menurut tahun dan bulan dengan kelebihan 16 hri dibulatkan menjadi 1 bulan. Pertanyaan dalam KPSP harus dijawab dengan ya atau tidak oleh orang tua. Setelah semua pertanyaan dijawab, selanjutnya hasil KPSP dinilai.

1. apabila jawaban ya berjumlah 9-10, berarti anak tersebut normal (perkembangan baik) 2. apabila jawaban ya kurang dari 9,maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai; Apakah cara menghitung usia dan kelompok pertanyaannya sudah sesuai Kesesuaian jawaban orang tua dengan maksud pertanyaan. Apabila ada kesalahan, maka pemeriksaan harus diulang apabila setelah diteliti jawaban ya berjumlah 7-8, berarti hasilnya meragukan dan perlu diperiksa ulang1 minggu kemudian apabila jawaban ya berjumlah 6 atau kurang, berarti hasilnya kurang atau positif untuk perlu dirujuk guna pemeriksaan lebih lanjut KUESIONER PERILAKU ANAK PRA SEKOLAH (KPAP) KPAP adalah sekumpulan perilaku yang digunakan sebagai alat untuk mendeteksi secara dini kelainan-kelainan perilaku pada anak prasekolah (usia 3-6) tahun. Kuesioner ini berisi 30 perilaku yang perlu ditanyakan satu per satu pada orang tua. Setiap perilaku perlu ditanyakan apakah sering terdapat, kadang-kadang terdapat, atau tidak terdapat. Apabila jawaban yang diperoleh adalah sering terdapat , maka jawaban tersebut dinilai 2, kadang-kadang terdapat diberi nilai 1 dan tidak terdapat diberi nilai 0. Apabila jumlah nilai keseluruhan kurang dari 11, maka anak perlu di rujuk, sedangkan jika jumlah nilai 11 atau lebih maka anak tidak perlu dirujuk. TES DAYA LIHAT DAN TES KESEHATAN MATA ANAK PRASEKOLAH Tes ini untuk memeriksa ketajaman daya lihat serta kelainan mata pada anak berusia 3- 6 tahun. Tes ini juga digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan daya lihat pada anak usia prasekolah secara dini, sehingga jika ada penyimpangan dapat segera ditangani. Untuk melakukan tes daya lihat diperlukan ruangan dengan penyinaran yang baik dan alat kartu E yang digantungkan setinggi anak duduk. Kartu E berisi 4 baris. Baris pertama huruf E berukuran paling besar kemudian berasngsur-angsur mengecil pada baris keempat. Apabila pada baris ketiga , anak tidak dapat melihat maka perlu di rujuk. Selain tes daya lihat, anak juga perlu diperiksakan kesehatan matanya. Perlu ditanyakan ; 1. keluhan seperti mata gatal, panas, penglihatan kabur atau pusing 2. perilaku seperti sering menggosok mata, membaca terlalu dekat, sering mengkedipkedipkan mata 3. kelainan mata seperti bercak bitot, juling, mata merah dan keluar air apabila ditemukan satu kelainan atau lebih pada mata naka, maka anak tersebut perlu dirujuk TES DAYA DENGAR ANAK (TDD)

Tes daya dengar berupa pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan denga usia anak, yaitu kelompok 0-6 bulan, > 16 bulan, > 9 bulan, > 11 bulan, > 12 bulan, > 24 bulan dan > 36 bulan. Setiap pertanyaan perlu dijawab ya atau tidak. Apabila jawabannya adalah tidak maka pendengaran anak tidak normal sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut. Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia Oleh : Prof.Dr. Soekirman Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. M. Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah the Golden Age for Nutrition atau Abad Emas bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl.27 sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizikurang dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya. Bidang pertanian juga mencatat revolusi hijau dan terakhir teknologi rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang yodium. Dibalik cerita sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam hal masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak, remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen) kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes. Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan. Hanya saja kita di Indonesia masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada makalah lain. Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Salah satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan paradigma dalam kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi suatu hal atau masalah.

Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas. Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17 per 100.000 tahun 1996. Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data nasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi anak sebagai salah satu indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.1 Sedang kita masih lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau makanan. Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand. Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi, Ada perbedaan antara pertumbuhan anak dan status gizi anak. Pertumbuhan anak adalah indikator dinamik yang mengukur pertambahan berat dan tinggi/panjang anak. Dari indikator ini dapat diikuti dari waktu kewaktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan) pertambahan berat tau tinngi badan. Status gizi merupakan indek yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan dalam waktu pendek misalnya bulanan. maka pembahasan akan saya mulai dengan dengan pemahaman masalah gizi sebagai konsep system input-outcome. Masalah gizi dalam konsep system input-outcome. Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab-akibat antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah

input, tetapi juga sebagai outcome. Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat bagan) 13/6/2000FK-UKI SOEKIRMAN Jakarta9Gizi sebagai input-outcomeINPUT PROSES OUTCOMEMakanan di makan(dikonsumsi)Dicerna,Diserap,MetabolismePertumbuhan Sel,Pemeliharaan Sel,Memperlancar FungsiAnatomis& FaaliTubuh,Menghasilkan energiPertumbuhanStatus GiziFisik & Mental/Kecerdasan,ProduktivitasMorbiditasKesehatanMakananGizi sebagai InputGizi sebagai Outcome Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro seperti produksi, persediaan (imporekspor), harga dan konsumsi pangan rata-rata. Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan (orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari sumber lemak dan protein meningkat. Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan. Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif tidak akan menjangkau masalah gizi mikro. Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang. Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya. Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok Posyandu menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya. Menurut hemat saya meletusnya wabah gizi-buruk pada saat krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an. Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan internasional. Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk mempertahankan berat badan. Kesimpulan Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih

mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input. Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang mengukur the real thing. Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi . Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein, titik tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti 7 itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya. Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain. Pelaksanaannya dapat melalui Susenas atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang tidak terjangkau survey gizi nasional. Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama masyarakat desa untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan baik, merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan KMS sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas normal atau growth faltering sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada petugas gizi dan kesehatan serta kader. Keempat, secara bertahap perlu ada perombakan kurikulum di lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi

pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dan tujuan program. 8 Kepustakaan 1. Gabr, M. 2001. IUNS in the Twenty Century on the shoulders of the Twentieth Century giants of Nutrition. VIIth International Congress of Nutrition 27-29 Agustus 2001. 2. WHO.2000.Nutrition for Health and Development.WHO, Geneva; 3. Unicef.2000.The State of the Worlds Children 2000. Unicef, New York. 4. ACC/SCN. 2000. Fourth Report on The World Nutrition Situation. WHO, Geneva 5. Departemen Kesehatan. 2001. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005 6. Carriere, R.C. 2000. Revitalizing and Optimizing Posyandu. Growth Monitoring and promotion. Makalah. Unicef. Jakarta. 7. Griffiths, M., Dickin, K.,Favin, M. 1996. Promoting the Growth of Children : What Works. Rationale and Guidance for Programs. The World Bank. Washington. 8. Andersen. P.P, Pellettier, D., dan Alderman,H. (Edit). 1995. Child Growth and Nutrition Development in Developing Countries. Cornell University Press. Ithaca New York 9. Web : www.gizi.net dan linknya. Diposkan oleh Healthy Life Tidak ada komentar: Reaksi:

SITUASI KESEHATAN, GIZI DAN ISSUE KEBIJAKAN MEMASUKI MILENIUM KETIGA


Label: Penelitian gizi PENDAHULUAN Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005, dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28% (perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi. Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000). Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976 menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak. Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir. Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita (lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang

menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya. Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000, serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.

ANALISA SITUASI KESEHATAN DAN GIZI Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian. Indonesia tidak mempunyai vital statistic yang dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999). Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000). Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi, 2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang. (lihat figure 4). Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7

sampai 14% pada periode 1990-2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000 (Lihat Figure 6 dan 7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang tertinggi. Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut, diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%. Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.

ISSUE STRATEGIS, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan pada pelayanan pada orang sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat memperburuk situasi yang ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari optimal.

Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya pelayanan kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk penduduk miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain: 1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah disepakati bersama. 2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil kurang gizi. 3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan memberdayakan bidan di desa 4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan pada bayi dan balita tetap dilaksanakan. 5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan. 6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan dasar. 7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. 8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan kesehatan dan gizi. Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue strategisnya adalah sebagai berikut : 1. Kerjasama lintas sektor Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan. 2. Sumber daya manusia kesehatan Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang mutakhir. Disadari bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar

bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu peningkatan daya saing sektor lain, antara lain pengamanan komoditi bahan makanan dan makanan jadi. 3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, Rumah sakit, maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata keseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna dilakukan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat. 4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau memprioritaskan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu permasalahan kesehatan yang diderita oleh masyarakat banyak masih belum diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari bahwa keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Diperlukan upaya yang intensif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik yang diutamakan untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri, peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan dengan pangan, keluarga dan anak, maka hal yang berkaitan dengan: 1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga 2. Pengembangan agribisnis 3. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan. 4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 adalah:

1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan 2. Profesionalisme 3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat 4. Desentralisasi Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada: 1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat 2. Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi 3. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 4. Advokasi dan mobilisasi social 5. Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan paradigma sehat Berdasarakan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Dan kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan tujuan tesebut adalah: 1. Pemantapan kerja sama lintas sektoral 2. Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta 3. Peningkatan perilaku hidup sehat 4. Peningkatan lingkungan sehat 5. Peningkatan upaya kesehatan 6. Peningkatan sumber daya kesehatan 7. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan 8. Peningkatan IPTEK 9. Peningkatan derajat kesehatan Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu: 1. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi 2. Pengembangan tenaga pangan dan gizi 3. Peningkatan ketahanan pangan 4. Kewaspadaan pangan dan gizi 5. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih 6. Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro 7. Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi 8. Pelayanan gizi di Institusi 9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan 10. Penelitian dan pengembangan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika

peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi komprehensif dan pelayanan profesional yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara keseluruhan. Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan: 1) paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional; 2) revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi; 3) alokasi kesehatan dan gizi yang optimal; 4) memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi; 5) memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional; 6) mengembangkan JPKM; 7) memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program. Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.

Tabel 1 Proporsi penduduk menurut kelompok umur (Hasil sementara SP 2000) Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total 0-4 9.16 8.59 8.88 5-9 10.56 10.18 10.37 10-14 10.93 10.22 10.58 15-19 10.89 10.17 10.53 20-24 8.71 8.93 8.82 25-29 8.27 9.05 8.66 30-34 7.59 7.96 7.77 35-39 7.39 7.83 7.61 40-44 6.49 6.35 6.42 45-49 5.52 4.99 5.26 50-54 3.97 4.37 4.17 55-59 3.25 3.30 3.28 60-64 2.80 3.09 2.94 65-69 1.92 2.16 2.04

70-74 1.44 1.45 1.45 75+ 1.12 1.35 1.24 0-49 85.51 84.27 84.90 15-49 54.86 55.28 55.07 Sumber: Hasil Sementara SP 2000, BPS Figure 1 Kecenderungan GNP per capita ($US dollars) 1988-2000 Sumber: World Bank Report, 2000 Figure 2 Persen Penduduk Miskin 1976-1999 Sumber: BPS, 2000 Figure 3 Angka Kematian Bayi (IMR) dan Balita (U5MR) SDKI 1991, 1994 dan 1997

Sumber: Sumantri, et.al 2000 Figure 4 Keadaan gizi kurang dan gizi buruk pada Balita, Susenas 1989-2000

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, 2001

Figure 5 Proporsi BBLR dari beberapa sumber: 1990-2000 Sumber: End Decade Goal Report, 2000

Figure 6 Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000 Figure 7 Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000

Sumber: Analisis Susenas 1999 dan 2000 untuk LILA pada Wanita Usia Subur, Direktorat Gizi

Masyarakat, 2001. "penelitian ini dilakukan oleh seorang pakar gizi"

Referat Antropometri
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN 2010

BAB I PENDAHULUAN Setiap tahun, 26 juta bayi dilahirkan dengan ukuran badan yang kecil yang berdampak terhadap kehidupan yang sehat, karena ibu mereka yang sakit atau malnutrisi. Lebih dari 230 juta (43%) dari anak pra sekolah pada negara berkembang menjadi kerdil disebabkan malnutrisi yang disebabkan kurangnya makanan dan penyakit. Saat ini, diduga bahwa malnutrisi ini akan dapat membunuh 7 juta anak-anak dalam 1 tahun, baik disertai dengan penyakit infeksi, maupun diperparah dengan penyakit infeksi. (10) Sedangkan di Indonesia tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka BBLR di Indonesia yang diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya.(2) Sekitar 15% orang dewasa terlalu kurus disebabkan malnutrisi dan penyakit, yang akan menurunkan produktivitas mereka dan menggandakan angka kematian prematurnya. Pada waktu yang sama, 150 juta orang dewasa terlalu gemuk, 15 juta dari mereka akan meninggal secara prematur disebabkan penyakit yang dihasilkan dari obesitas. Pada beberapa komunitas, hampir semua kasus dari penderita diabetes dan 40% kasus dari penyakit jantung koroner diakibatkan oleh berat badan yang melebihi berat badan optimal. (10) Tabel 1.1 Perkiraan prevalensi overweight dan obesitas di Indonesia (Dit BGM DepKes, 1997)(7)

Sedangkan obesitas di Indonesia dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7 juta (17.5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta (4.7%).(7) Data tersebut seperti berat badan lahir rendah, balita kecil, kurus, dan kegemukan didapat dari pengukuran terhadap tinggi badan dan berat badan. Pengukuran antropometrik menilai ukuran tubuh dan komposisinya, dan mencerminkan intake makanan yang kurang atau lebih, olahraga yang kurang, dan penyakit. Antropometri menunjukkan kehilangan atau kelebihan berat badan

dapat muncul bersama-sama tidak hanya terdapat pada, namun juga diantara, negara-negara dan bahkan rumah tangga, namun menunjukkan juga pembangunan dan kebijakan kesehatan yang diambil untuk meningkatkan nutrisi. Pengukuran tubuh yang sederhana juga membolehkan untuk dapat melakukan pemilihan dari individu, keluarga, dan komunitas untuk intervensi yang dibuat untuk memperbaiki tidak hanya nutrisi namun juga kesehatan secara umum.(10) Antropometri merupakan salah satu metode yang dapat dipakai secara universal, tidak mahal, dan metode yang non invasif untuk mengukur ukuran, bagian, dan komposisi dari tubuh manusia. Oleh karena itu, disebabkan pertumbuhan anak-anak dan dimensi tubuh pada segala usia dapat mencerminkan kesehatan dan kesejahteraan dari individu dan populasi, antropometri dapat juga digunakan untuk memprediksi performa, kesehatan, dan daya tahan hidup. Antropometri penting untuk kesehatan masyarakat dan juga secara klinis yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan sosial dari individu dan populasi. Selain itu, aplikasi antropometri mencangkup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, militer, teknik dan lanjut usia. (6),(10)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Antropometri Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuruan dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbgai tingkat umur dan tingkat gizi.(6),(9) Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. (9) 2.2 Ruang Lingkup Antropometri Antropometri bisa sangat luas terapannya, tergantung pada pemahaman teoritis ilmuwan untuk mengaplikasikannya. Pemahaman teoritis ini mencangkup paling tidak ilmu kedokteran, kesehatan, biologi, pertumbuhan, gizi, dan patologi. (6) Antropometri terbagi menjadi antropometri hidup dan antropometri skeletal-subdental. Hal ini karena antropologi biologis mencangkup rentang waktu, masa lalu dan masa kini, maka pengukuran dalam antropologi diaplikasikan ke rangka dan gigi maupun ke badan manusia hidup. Tiga tipe ukuran antropometri adalah ukuran vertikal, horizontal dan lingkaran. Pada ukuran gigi, 3 ukuran penting adalah mesiodisal, bukolinual, dan tinggi mahkota. Aplikasi antropometri mencangkup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, dan lanjut usia. (6)

Antropometri untuk identifikasi, misalnya penentuan laki-laki atau perempuan pada sisa hayat yang hanya berupa tulang. Contohnya, diameter caput humeri dan fosa glenoidea, dan ukuranukuran kepala. Bila panjang fossa glonoidea lebih dari 32 mm, identifikasi rangka cenderung merujuk pada individu laki-laki (Indriati, 2004). (6) Antropometri pada neonatal dan anak-anak menilai status gizi dan pertumbuhan, ukuran-ukuran yang penting adalah lingkar kepala, lingkar lengan atas, berat badan, dan tinggi badan. Hal ini karena ukuran tersebut berkaitan dengan pertumbuhan besar otak, maturitas tulang dan status gizi. Prinsip pertumbuhan anak adalah cepahlocaudal dan proximodistal, contohnya, pertumbuhan otak lebih dahulu optimal dibanding pertumbuhan organ disebelah kaudal otak. Demikian pula truncus lebih optimal pertumbuhannya dibandingkan tungkai. Pengetahuan ini merefleksikan mengapa ukuran lingkar kepala lebih penting daripada lingkar paha, misalnya, dalam menilai status pertumbuhan anak. (6) Antropometri pada remaja menilai pertumbuhan remaja dalam hal maturitas skeletal dan dental, dan badan seiring dengan 5 macam pertumbuhan lainnya meliputi pertumbuhan kognitif, spirutual, hubungan dengan keluarga, hubungan sosial dan emosional. Adanya gangguan karena trauma/jejas/injuri pada satu aspek perkembangan dapat menganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek lainnya. Antropometri pada dewasa acap kali menilai obesitas, yang dilakukan dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul, tebal lipatan kulit (lemak) sentral dan ekstrenitas, serta rasio tinggi dan berat badan dalam indeks massa badan. (6) Antropometri lanjut usia menilai perubahan yang normal pada menua meliputi berkurangnya tinggi badan, tinggi duduk, dan panjang rentang tangan (Indriati, 2005). Sebaliknya lingkar dada dan dalam dada bertambah pada lanjut usia (Hayrflick, 1994; Indriati, 2005). (6) Antropologi teknik/antropometri terapan (Human Engeenering) merupakan pengukuran badan ketika manusia sedang bekerja atau (mengfungsikan badannya). Beberapa ukuran penting dalam ukuran duduk, meliputi : 1. Panjang rentang lengan ke muka dan tangan menggenggam 2. Panjang lengan bawah ke muka siku fleksi tangan lepas 3. panjang dari ujung posterior pantat ke lutut paling anterior diukur horizontal, 4. panjang dari panjang posterior punggung ke ujung paling anterior tangan yang direntangkan ke depan, 5. tinggi dari tepi inferior pantat ke akrmion, 6. tinggi dari tepi inferior pantat ke siku ketika fleksi, 7. tinggi dari tepi inferior siku fleksi ke akronium dan

8. tinggi dari tepi inferior paha ke ujung posterior tumit (pternion) Contoh-contoh ukuran ini pada intinya adalah agar seseorang yang sedang duduk bekrja harus cukup ruang disekitarnya sehingga dapat kerja dengan nyaman. (6) Aplikasi antropometri sebagai metode bioantropologi ke dalam kedokteran menjadi bermakna apabila disertai latar belakang teori yang adekuat dan intregatif dengan cabang ilmu kedokteran, terutama faal, anatomi, dan biokimia. Dalam faal aplikasinya berupa pengukuran kebugaran kardiovaskuler dan respirasi; dalam anatomi berupa kebugaran musculo skeletal, dan dalam biokimia berupa hemodinamaika. Penelitian integratif setidaknya pada keempat bidang ini akan menghasilkan keluaran yang bermakna pada penilaina status gizi, obesitas, pertumbuhan, menua, dan kebugaran jantung dan paru-paru dalam kedokteran olahraga. Antropometri yang mula-mula dikembangkan para ahli antropologi biologis untuk meneliti variasi biologis manusia, kini telah dengan luas diaplikasikan ke bidang-bidang terkait. (6) 2.3 Antopometri Gizi Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam progam gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi. Disamping itu pula dalam kegiatan penapisan status gizi masyarakat selalu menggunakan metode tersebut.(9) Pada dasarnya jenis pertumbuhan dapat dibagi dua yaitu: pertumbuhan yang bersifat linier dan pertumbuhan massa jaringan. Dari sudut pandang antropometri, kedua jenis pertumbuhan ini mempunyai arti yang berbeda. Pertumbuhan linier menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau dabn pertumbuhan massa jaringan mengambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang atau saat pengukuran. (9) a. Pertumbuhan linier Bentuk dari ukuran linier adalah ukuran yang berhubungan dengan panjang. Contohnya panjang badan, lingkar badan, dan lingkar kepala. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita waktu lampau. Ukuran linear yang paling sering digunakan adalah tinggi atau panjang badan. (9) b. Pertumbuhan Massa Jaringan Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh ukuran massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas (LLA), dan tebal lemak bawah kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunjukkan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita pada waktu pengukuran dilakukan. Ukuran massa jaringan yang paling sering digunakan adalah berat badan. Bagan 2.1 di bawah ini memperlihatkan jenis ukuran antropometri gizi dan gambaran yang diberikannya. (9) Bagan 2.1 Jenis Ukuran Antropometri Gizi

Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. (9) Keunggulan antropometri gizi sebagai berikut: a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri. Kader gizi (Posyandu) tidak perlu seorang ahli, tetapi dengan pelatihan singkat ia dapat melaksanakan kegiatannya secara rutin. c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. Memang ada alat antropometri yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti "Skin Fold Caliper" untuk mengukur tebal lemak di bawah kulit. d. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. h. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi. (9) Di samping keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan. a.Tidak sensitif Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Di samping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe. b.Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri. c.Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi.

d.Kesalahan ini terjadi karena: 1.pengukuran 2.perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan 3.analisis dan asumsi yang keliru e.Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan: 1.latihan petugas yang tidak cukup 2.kesalahan alat atau alat tidak ditera 3.kesulitan pengukuran (9) 2.3.1 Jenis Parameter Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Di bawah ini akan diuraikan parameter itu. (9) Tabel 2.2 Parameter yang dianjurkan WHO untuk diukur dalam survei gizi Usia

Pengamatan Di Lapangan

Pengamatan Lebih Rinci 0 1 tahun 1 5 tahun 5 20 tahun > 20 tahun

Berat dan panjang badan Berat dan panjang badan (sampai 3 tahun), tinggj badan (di atas 3 tahun), lipat kulit biseps &

triceps, lingkar tangan lengan. Berat dan tinggi badan, lipat kulit triseps. Berat dan tinggi badan, lipat kulit triseps

Panjang batang badan; lingkar kepala & dada; diameter Krista iliaka, lipat kulit dada, triseps, dan sub-skapula. Panjang batang badan (3 tahun), tinggi duduk (di atas 3 tahun), lingkari kepala & dada (inspirasi setengah), diameter bikristal, lipat kulit dada & sub-skapula, lingkar betis, rontgen posteroanterior tangan dan kaki. Tinggi duduk, diameter bikristal, diameter biakromial, lipat kulit di tempat lain, lingkar lengan & betis, rontgen Postero-anterior tangan dan kaki. Lipat kulit di tempat lain, lingkar lengan dan betis. 1. Umur Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. (9) Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan umur digunakan adalah tahun umur penuh (Completed Year) dan untuk anak umur 0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (Completed Month). (9) Contoh: Tahun usia penuh (Completed Year) Umur: 7 tahun 2 bulan, dihitung 7 tahun 6 tahun 11 bulan, dihitung 6 tahun Contoh: Bulan Usia penuh (Completed Month) Umur: 4 bulan 5 hari, dihitung 4 bulan 3 bulan 27 hari, dihitung 3 bulan 2. Berat Badan Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR.

Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di bawah 2,5 kg. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan. (9) Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi. (9) Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan: 1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. 2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya. 3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg. 4. Skalanya mudah dibaca. 5. Cukup aman untuk menimbang anak balita. (9) Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin. Penggunaan dacin mempunyai beberapa keuntungan antara lain: 1. Dacin sudah dikenal umutn sampai di pelosok pedesaan. 2. Dibuat di Indonesia, bukan impor, dan mudah didapat. 3. Ketelitian dan ketepatan cukup baik. (9) Gambar 2.1 Dacin

Dacin yang digunakan sebaiknya minimum 20 kg dan maksimum 25 kg. Bila digunakan dacin berkapasitas 50 kg dapat juga, tetapi hasilnya agak kasar, karena angka ketelitiannya 0,25 kg. (9) 3. Tinggi Badan Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum ukuran tubuh dan panjang tulang. Namun, tinggi saja belum dapat dijadikan indikator untuk menilai status gizi, kecuali jika digabungkan dengan indikator lain seperti usia dan berat badan. Penggunaan tinggi, atau

panjang, bukan tanpa kelemahan. Pertama, baku acuan yang tersedia umumnya terambil dari penilaian tinggi badan subjek yang berasal dari masyarakat berstatus gizi baik di negara maju. Kedua, defisit pertumbuhan linier baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama yang berarti tidak akan termanifestasi semasa bayi. Jika bayi terukur lebih pendek ketimbang baku acuan, tidak berarti bayi tersebut tengah malnutrisi pascanatal, melainkan dampak dari ukuran lahir rendah. Ketiga, secara genetik setiap orang terlahir menurut ukuran yang tidak serupa: orang yang jika dibandingkan dengan populasi "acuan" berukuran lebih pendek tidak langsung berarti malnutrisi. (1) Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Gambar 2.2 Posisi Tubuh Anak pada Waktu Diukur (Sumber: Depkes Rl, 1999. Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS), Jakarta, hlm.7) (9)

4. Lingkar Lengan Atas (LLA) Lingkar lengan atas (LLA) dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. (9) Pengukuran LLA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein (KEP) wanita usia subur (WUS). Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LLA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan dapat dilakukan siapa saja. (9) Beberapa tujuan pemeriksaan LLA adalah mencakup masalah WUS baik ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum dan peran petugas lintas sektoral. Adapun tujuan tersebut adalah: a. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). b. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. c. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. d. Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. e. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK. (9) Lingkar lengan atas diperiksa pada bagian pertengahan jarak antara olekranon dan tonjolan akromion. Ambang batas LLA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila

ukuran LLA kurang 23,5 cm atau dibagian merah pita LLA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak. (1),(9) 5. Lingkar Kepala Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran anak secara praktis, yang biasanya untuk memeriksa keadaan patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala. Contoh yang sering digunakan adalah kepala besar (Hidrosefalus) dan kepala kecil (Mikrosefalus). (1),(9) Lingkar kepala terutama dihubungkan dengan ukuran otak dan tulang tengkorak. Ukuran otak meningkat secara cepat selama tahun pertama, akan tetapi besar lingkar kepala tidak menggambarkan keadaan kesehatan dan gizi. Bagaimanapun juga ukuran otak dan lapisan tulang kepala dan tengkorak dapat bervariasi sesuai dengan keadaan gizi. (9) Bagan 2.2 Skema tindak lanjut pengukuran LLA (9)

6. Lingkar Dada Biasanya dilakukan pada anak yang berumur 2 sampai 3 tahun, karena rasio lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan. Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5 tahun, rasio lingkar kepala dan dada adalah kurang dari satu, hal ini dikarenakan akibat kegagalan perkembangan dan pertumbuhan, atau kelemahan otot dan lemak pada dinding dada. Ini dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan KEP pada anak balita. (1),(9) 7. Jaringan Lunak Otak, hati, jantung, dan organ dalam lainnya merupakan bagian yang cukup besar dari berat badan, tetapi relatif tidak berubah beratnya pada anak malnutrisi. Otot dan lemak merupakan jaringan lunak yang sangat bervariasi pada penderita KEP. Antropometri jaringan dapat dilakukan pada kedua jaringan tersebut dalam pengukuran status gizi di masyarakat. (9) Lemak subkutan (Sub-Cutaneous Fat) Penelitian komposisi tubuh, termasuk informasi mengenai jumlah dan distribusi lemak subkutan, dapat dilakukan dengan bermacam metode: 1. Analisis Kimia dan Fisik (melalui analisis seluruh tubuh pada autopsi). 2. Ultrasonik. 3. Densitometri (melalui penempatan air pada densitometer)

4. Radiological anthropometry (dengan mengunakan jaringan yang lunak). 5. Physical anthropometry (menggunakan skin-fold calipers) Dari metode tersebut diatas, hanya antropometri fisik yang paling sering atau praktis digunakan di lapangan. Bermacam-macam skin-fold calipers telah ditemukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa alat tersebut mempunyai standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm2), dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan yang konstan 10 gram/mm2). Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers. Alat itu memungkinkan jarum diputar ke titik nol apabila terlihat penyimpangan. (9) 2.3.2 Indeks Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara pakar yang berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda. (9) Gambar 2.3 Harpenden Calipers

Gambar 2.4 Teknik pengukuran lemak subkutan

2.3.3 Indeks Massa Tubuh Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. (9) Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT mempakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. (9) Tabel 2.3 Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri (Sumber: Puslitbang Gizi.

1980. Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi. Bogor) (9) STATUS GIZI

Ambang batas baku untuk keadaan gizi berdasarkan indeks BB/U

TB/U

BB/TB

LLA/U

LLA/TB Gizi Baik

> 80%

> 85%

> 90%

> 85%

> 85% Gizi Kurang

61-80%

71-85%

81-90%

71-90%

76-85% Gizi Buruk 60% 70% 80% 70% 75% Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanva edema, asites dan hepatomegali. (9) Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut : IMT = Berat Badan (kg) Tinggi badan (m) 2 Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter). Tabel 2.4 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT Status Gizi

IMT

KKP I

<> KKP II

16,0-16,9 KKP III

17,0-18,4 Normal 18,5%-<25 Obesitas I

25-29,9 Obesitas II

30-40 Obesitas III

>40 Jika tinggi badan tidak dapat diukur, terutama pada landia yang telah renta atau yang mengalami kelainan tulang belakang (kifosis, skoliosis), maka tinggi lutut dan panjang rentang tangan dapat digunakan sebagai pengganti.(1) 2.3.4 Aplikasi Antropometri Penggunaan antropometri sebagai alat ukur status gizi semakin mendapat perhatian karena dapat digunakan secara luas dalam program-program perbaikan gizi di masyarakat. Di Indonesia, seperti halnya dengan negara-negara lain di dunia, antropometri merupakan salah satu alat ukur status gizi yang telah digunakan dalam berbagai kegiatan dan program gizi. Penggunaan antropometri ini meliputi berbagai aspek antara lain: (9)

a. Kualitas Sumber Daya Manusia Hasil penelitian membuktikan bahwa ibu hamil yang kurang gizi akan cenderung melahirkan bayi yang kurang gizi. Berat bayi yang dilahirkan bisa kurang dari 2500 gr atau BBLR. Bayi yang lahir BBLR mempunyai ukuran proposional kecil seperti kepala, badan, tangan, kaki dan organ-organ lainnya dalam tubuh. Dalam keadaan kekurangan gizi yang lebih berat, retardasi otak dapat mencapai 10-20%.(9) Volume otak yang berukuran kecil menyebabkan kecerdasan anak berkurang secara nyata. Selain itu, bayi BBLR tidak mempunyai cukup cadangan zat gizi dalam tubuhnya sehingga mudah terserang penyakit, terutama penyakit infeksi, hipotermi dan akibatnya mudah meninggal dunia. (9) b. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dengan cara antropometri banyak digunakan dalam berbagai penelitian atau survei, baik survei secara luas dalam skala nasional maupun survey untuk wilayah terbatas. (9) c. Pemantauan Pertumbuhan Anak Program gizi, khususnya UPGK telah meluas ke berbagai pedesaan di Indonesia. Dalam program ini telah dikembangkan program penimbangan berat badan anak balita dan penggunaan kartu menuju sehat (KMS) untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi melalui pertumbuhan atas dasar kenaikan berat badan. (9) KMS adalah alat untuk mencatat dan mengamati perkembangan kesehatan anak yang mudah dilakukan oleh para ibu. Dengan membaca garis perkembangan berat badan anak dari bulan ke bulan pada KMS, seorang ibu dapat menilai dan berbuat sesuatu untuk berusaha memperbaiki dan meningkatkan perkembangan kesehatan anaknya. (9) d. Survei Sosial Ekonomi Nasional Pada survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) tahun 1986 atas kerja sama Biro Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Gizi (Depkes) dilakukan integrasi pengumpulan data status gizi anak balita dengan melakukan pengukuran berat badan. Indeks yang digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U) dan klasifikasi yang digunakan sesuai dengan lokakarya antropometri tahun 1975. (9) Pada tahun 1987 dan kemudian tahun 1989 juga telah dilakukan survei sosial ekonomi nasional. Hasil susenas ini disajikan dalam 4 klasifikasi yaitu gizi baik, gizi sedang, gizi kurang dan gizi buruk. (9) Ada 2 hal yang perlu mendapat perhatian dari penyajian hasil ini yaitu: a) Angka-angka pengelompokan status gizi disajikan dengan memisahkan anak laki-laki dengan

anak perempuan, sedangkan dalam baku yang digunakan, kedua Janis kelamin digabung. Untuk semua provinsi, prevalensi gizi baik pada anak laki-laki selalu lebih tinggi dibanding dengan anak perenpuan. Praevaluasi KEP pada anak perempuan selalu lebih tinggi dibanding dengan anak laki-laki. Hal ini dapat memberikan kesimpulan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. b) Istilah "kurang atau gizi kurang" untuk klasifikasi BB/U 60-69, 99% baku Harvard, dan sedang untuk BB/U 70-79,9 baku Harvard. Hal ini menimbulkan keracuan dalam menghitung besar prevalensi KEP. (9) e. Kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) Dewasa ini (1999), Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI, melakukan pematauan status gizi. Tujuan umum kegiatan ini adalah tersedianya informasi status gizi balita secara berkala dan terus-menerus, guna evaluasi perkembangan status gizi balita, penetapan kerja sama dan perencanaan jangka pendek. (9) Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS dengan lima klasifikasi, yaitu: Gizi Lebih = >120%Median BB/U Gizi Baik = 80%-120%Median BB/U Gizi Sedang = 70%-79,9%Median BB/U Gizi Kurang = 60%-69,9%Median BB/U GiziBuruk = <60%,median> f. Kegiatan di Klinis dalam Hubungan dengan Penyakit dan Pengobatan Dalam hubungan dengan penentuan penyakit, antropometri gizi perlu di pertimbangkan. Penyakit hidrocepalus ditentukan dengan melihat ukuran dari kepala seorang anak. Pertimbangan antropometri seperti berat badan banyak di gunakan dalam ilmu kesehatan anak atau pediatrik. (9) Salah satu faktor yang perlu di perhatikan dalam penentuan dosis obat adalah antropometri. Antropometri yang sering di gunakan adalah berat badan. Dengan mengetahui berat badan di mungkinkan pemberian dosis obat yang tepat, sehingga tidak terjadi over dosis atau kekurangan dosis. (9) g. Swa Uji Risiko Kekurangan Energi Kronis Jenis antropometri yang di gunakan untuk mengukur risiko KEK pada wanita usia subur (WUS) adalah lingkar lengan atas (LLA). Sasaran WUS adalah wanita pada usia 15 sampai 45 tahun yang terdiri dari remaja, ibu hamil.ibu menyusui dan pasangan usia subur (PUS). Ambang batas

LLA WUS dengan risiko KEK adalah 23,5 cm. Apabila LLA kurang dari 23,5 cm artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan BBLR. (9) Untuk mengetahui BBLR, bayi yang baru lahir (0-30 hari) dapat diukur dengan pita LLA dengan ambang batas 9,5 cm. Apabila bayi tersebut LLA-nya di bawah 9,5 cm, maka perlu diambil tindakan agar dapat meningkatkan pertumbuhan dan berat badannya. Salah satu tindakannya adalah dengan pemberian makanan yang tepat sesuai dengan kondisi bayi. (9) h. Kartu Menuju Sehat (KMS) Ibu Hamil KMS ibu hamil untuk meningkatkan motivasi ibu hamil untuk datang ke Posyandu sebagai cakupan ibu hamil meningkat. KMS ibu hamil juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil di Posayandu oleh Kader Gizi dan Kesehatan. Disamping itu pula bermanfaat untuk menurunkan angka BBLR dengan cara meningkatkan kesadaran ibu hamil terhadap pentingnya menjaga kesehatan dan makanan bergizi selama hamil. (9) Sejak awal tahun 1990, KMS ibu hamil telah di tetapkan oleh Depkes untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan antenatal. Dewasa ini, KMS ibu hamil sudah beredar di seluruh Indonesia. (9) Dalam KMS ibu hamil terdapat berbagai informasi, antara lain: Contoh lingkungan sehat, riwayat kehamilan sebelumnya, faktor-faktor risiko ibu hamil dan kurve berat badan ibu hamil. Indeks yang di gunakan dalam KMS ibu hamil adalah berat badan (kg) dan umur kehamilan (dalam minggu). (9) i. Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa Mempertahankan berat badan normal akan memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup (Life expectancy) yang lebih panjang. Berat badan yang kurang dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, sementara berat badan lebih akan meningkatkan risiko terhadap penyakit degeneratif. (9) Salah satu cara untuk memantau status gizi orang dewasa adalah dengan mengukur indeks massa tubuh. Pada tahun 1987, pertemuan pertama IDECG (International Dietary Energi Concultancy Group) di Guatemala City, yang merekomendasikan indeks massa tubuh untuk mengukur status gizi orang dewasa. Cara ini kemudian dapat di terima oleh WHO dan FAO dan sekarang telah dipakai di seluruh dunia. (9) Untuk memantau status gizi orang dewasa, telah dikembangkan grafik IMT orang dewasa (umur diatas 18 tahun) dengan menggunakan indeks berat badan menurut tinggi badan. (9) 2.4 Antropometri Olahraga Kinantropometri adalah studi ukuran dan bentuk badan manusia dan bagaimana karekteristikkarakteristik tersebut berhubungan dengan gerakan manusia dan pencapaian prestasi dalam olahraga.(5)

Olahraga dapat dibagi menjadi setidak-tidaknya 4 upaya : meningkatkan tonus otot, meningkatkan kelenturan, menurunkan berat badan, meningkatkan kesehatan dan kebugaran umum. Namun, olahraga dapat pula dibagi menjadi olahraga professional dan olaharaga untuk menjaga kesehatan dan hobi. Pentingnya olahraga bagi kesehatan tercermin dalam semboyan mens sana incorpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Definisi sehat sangat beragam, tetapi sehat dapat didefinisikan sebagai keadaan yang seimbang dalam jiwa dan raga tempat sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik. Bila kekebalan sistem tubuh baik ketika mikroba, virus, dan polusi linhkungan menganggu tubuh dapat menangkalnya.(3) Peran antropometri dalam olahraga beragam mulai dari penentuan cabang olahraga yang dapat memaksimalkan prestasi atlet, penilaian volume oksigen maksimal (mm/kg/menit) dalam status kebugaran seseorang, pengukuran metabolic equivalent (MNT), penilaian komposisi lemak, tulang, kadar air, dan massa otot. (3) Kategori kebugaran fisik dinilai dari ketahanan kardiorespiratori, tetapi penilaian lain yang terkait tidak perlu dilakukan, misalnya : a. volume oksigen maksimal (paru-paru menampung oksigen), b. human energetic : keseimbangan energi c. Physical activity level (PAL)/tingkat aktivitas fisik, d. Intek Nutrisi, e. Kelenturan badan (fleksibilitas). (3) Selain kebugaran fisik, acap kali biokimiawi darah juga menjadi bagian integratif antropometri terutama untuk menentukan hemogoblin, glukosa, kolestrol, high dencity lipid, low dencity lipid, dan trigliseryde dalam berada pada ambang kisaran normal atau tidak. (3) Penilaian tingkat kebugaran seseorang dapat dilakukan dengan mengevaluasi kapasitas aerobik melalui berjalan satu mil (0,62 km) kemudian menghitung waktu yang diperlukan dan denyut nadi setelah berjalan. (3) Intensitas olahraga dapat pula diukur dengan mengukur detak jantung, denyut nadi. Ideal training untuk target tetap jantung adalah antara 50-85% detak jantung maksimal. Bila kita ketahui detak jantung istirahat 60 dan detak jantung maksimal 170 pada orang berusia 60 tahun, detak jantung olahraga 50% dari kapasitas fungsional maksimal adalah: (3) 170 - 60 = 110 110 x 0,5 (50%) = 55 55 + 60 = 115 detak per menit (target detak jantung saat olahraga)

Gambar 2.5 Program olahraga berdasarkan tujuan dan tipe latihan (diadopsi dari Strength Reebok Training Ankle/Wrist Weight Workout Programme) (3)

2.4.1 Modernisasi Modernisasi membuat manusia semakin sederntari, kurang gerak badannya. Pada era 1970-an, masih banyak sumur timba dan pompa tangan tetapi dalam 4 dekade, pompa listrik untuk mengalirkan listrik bagi keperluan mandi dan mencuci sudah menjadi sangat umum digunakan di kota-kota. Belakangan, laundry dengan mesin bermunculan di perumahan-perumahan. Dahulu, pemandangan orangtua memberikan tugas anakanya setiap pagi menimba air utuk memenuhi bak mandi umum dilihat, dan perlu waktu 1 jam untuk mengisi bak mandi ukuran 1 x 1 m kedalam 120 cm. Aktivitas fisik yang bermanfaat ini menjaga kesehatan dengan kebugaran otot, kebugaran jantung, dan pembakaran kalori yang dapat mencapai 300 kkal per jam; setara dengan anjuran olahraga kardio belakangan ini. Pemandangan anak-anak mengayuh sepeda yang dapat mencapai 3-7 km adalah hal biasa, tetapi kenyamanan menggunakan mesin yang menggerakan roda kendaraan dengan mengambil energi dalam perut bumi (bensin) membuat pembakaran kalori manusia berkurang sangat drastis. Kemajuan teknologi dan perbaikan ekonomi tidak lagi membuat manusia membakar kalori tubuhnya untuk memenuhi hidup pekerjaan rumah, tetapi mengganti dengan energi dari pembangkin tenaga listrik. Sepeda tergantikan sepeda motor dan sumur timba tergantingkan pompa listrik adalah fenomena umum di kota-kota Indonesia. Di kota-kota, manusia tidak lagi berkeringat dan memompa darah menuju dan dari jantung lebih cepat dalam kesehariaannya. Akibatnya, kebuguran menurun dan berbagai penyakit degeneratif menimpa. Diabetes, penyakit jantung koroner, dan osteoporosis merupakan manifestasi dari kurangnya aktivitas fisik badan menggunakan kekuatan otot secara kontinue, intens, dan dengan durasi cukup. Kurangnya aktivitas fisik diperburuk dengan banyaknya makanan yang telah diproses yang beredar di pasaran, yaitu makanan diawetkan dengan gula dan garam yang berlebihan agar tahan lama. Karbohidrat pun diproses sehingga dalam tubuh cepat sekali dipecah menjadi glukosa, oleh tubuh cepat pula diserap dalam darah, dan cepat habis pula sehingga ras lapar muncul lagi tidak begitu lama setelah glukosa terurai semua. Hal ini menyebabkan intake kalori bertambah karena makan lagi. (3) Aktifitas mental (berpikir) memerlukan sedikit sekali kalori dibanding gerakan otot (aktivitas fisik). Dapat dibayangkan betapa kehidupan modern yang pekerjaannya banyak duduk di kantor, misalnya pegawai bank, broker saham, mahasiswa, dokter memeriksa pasien, guru dan dosen mengajar, sangat sedikit sekali pembakaran kalorinya dibandingkan mencangkul di sawah, berkebun, dan berburu hewan yang harus berjalaan jauh atau tukang batu memplester dinding dan pekerjaan fisik lainnya. (3) 2.5 Antropometri Teknik Bila dalam antropologi militer standar antropometri dibuat untuk personel militer, antropologi teknik lebih menekankan ukuran-ukuran badan manusia ketika berfungsi, agar ukuran-ukuran tersebut dipakai untuk membuat produk bagi konsumen dengan memperhatikan keamanan konsumen. Produk bagi konsumen ini dapat berupa mainan anak, meja belajar, mesin jahit,

maupun mesin-mesin dan perangkat rumah tangga. (5) Antropologi teknik, yang juga disebut ergonomi. Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu: :Ergon yang artinya Kerja Nomos yang berarti peraturan / hukum Jadi secara harfiah ergonomi diartikan sebagai Ilmu aturan tentang kerja, atau ergonomi merupakan pengukuran manusia ketika sedang bekerja, berguna untuk mendesain ruang kerja, proses, dan produk agar manusia dapat menggunakannya dengan efisien, mudah, dan aman. Misalnya, meja operasi, dan kursi duduk untuk doketr gigi dan pasien gigi. Secara umum tinjauan fisik, psikologis dan mental penting untuk kenyamanan dan keamanan, baik alat, ruang, maupun produk pekerjaan. Jadi, manusia sebagai pusat pertimbangan. (5),(8) The International Ergonomics Association mendefinisikan ergonomi sebagai berikut: Studi aspek-aspek anatomis, fisiologis dan psikologis pada manusia dalam lingkungan kerja. Terutama memperhatikan optimasi efisiensi, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan orang di lingkungan kerja, di rumah, dan tempat bermain. Hal ini umumnya memerlukan studi system-sistem tempat manusia, mesin-mesin, dan ligkungan berinteraksi, dengan tujuan menyesuaikan tugas/ pekerjaan dengan manusia(Kothiyal, 1996:260). (5) Tujuan dari ergonomi itu sendiri adalah bagaimana mengatur kerja agar tenaga kerja dapat melakukan pekerjaannya dengan rasa aman, selamat, efisien, efektif, dan produktif, disamping juga rasa nyaman serta terhindar dari bahaya yang mungkin timbul di tempat kerja.(8) Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh pengguna sarana kerja tersebut. Oleh para ahli rancang bangun, antropometri digunakan untuk mendapatkan suatu bentuk rancang bangun yang disebut sebagai suatu rancang bangun yang ergonomik, karena menggunakan ukuran tubuh pengguna rancang bangun sebagai dasar perancangan sarana kerja. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa manusia merupakan (ukuran tubuhnya) sebagai titik sentral dalam rancang bangun. Para ahli antropometri telah memulai pengukuran terhadap tubuh manusia sejak berates ribu tahun yang lalu, tetapi baru setalah 50 tahun terakhir mempunyai parameter yang tepat untuk digunakan pada suatu pola yang tersusun bagi peningkatan rancangan dan pengukuran peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semua peralatan dan barang yang dipergunakan dalam suatu usaha atau industri serta semua ruangan kerja dimana pabrikasi dilakukan akan berkaitan dengan tubuh manusia. Dalam merancang ruang kerja, terdapat empat prinsip penting menurut Sanders & McCormick (1992) dalam Khotiyal (2004): 1. Prinsip derajat kepentingan: benda-benda yang penting harus di lokasi yang mudah diakses

dan dimanfaatkan. 2. Prinsip sering dipakai: benda-benda yang paling sering dipakai harus di lokasi yang paling mudah diakses dan dimanfaatkan. 3. Prinsip fungsional: benda-benda yang fungsinya atau kegiatan-kegiatannya berhubungan harus dikelompokan bersama, dan 4. Prinsip berurutan: benda-benda yang secara umum digunakan berurutan harus dikelompokan bersama dan diletakkan cocok dengan urutan pemakaian. (5) Pada lingkungan pabrik yang serba otomatis pun, manusia masih harus membuat dan memperbaiki mesin dan produk yang dihasilkan lewat jalur perakitan yang dirancang bagi manusia penggunanya. Seperti diketahui bahwa ukura alat kerja menentukan sikap, gerak dan posisi kerja tenaga kerja, dengan demikian penerapan antropometri mutlak diperlukan untuk menjamin adanya sistem kerja yang baik.(8) Ukuran alat-alat kerja erat kaitannya dengan penggunanya. Bila alat-alat kerja tersebut tidak sesuai ukurannya dengan ukuran tubuh tenaga kerja sebagai pelaku produksi, maka tenaga kerja tersebut akan merasa tidak nyaman dan akan lebih lamban dalam bekerja, yang pada akhirnya akan timbul suatu kelelahan kerja atau gejala penyakit otot yang lain akibat melakukan pekerjaan dengan cara yang tidak alamiah. Pengukuran terhadap jangkauan tangan tenaga kerja pun mutlak diperlukan baik itu untuk pekerjaan berdiri maupun duduk.(8) Gambar 2.6 Dimensi jangkauan tangan pada posisi kerja duduk dan berdiri

2.6 Antropometri Militer Antropometri untuk kemampuan penerimaan personil militer telah lama dilakukan, ukuranukuran seperti berat badan, tinggi badan perhitungan indeks massa badan, lingkar dada, dan tinggi pubis, dipakai sebagai indikator kebugaran untuk membawa beban, berbaris, bahkan beradu fisik (Davenport dan Lofe, 1921; dalam Gordon dan friedl). Mengapa antropometri militer perlu? Karena gerakan-gerakan fisik dalam militer sangat spesifik dibanding dengan jenis pekerjaan lain, dan perlu pakaian seragam khusus pula. Misalnya, tinggi crotch tidak dapat begitu saja bisa makan dengan panjang tungkai fungsional dan tinggi trokanter (Gordon dan friedl, 1994). Selain itu, antropometri militer penting untuk menyeleksi personel militer agar alat-alat standar militer dapat dilakukan oleh personel militer tersebut, dan penilaian presentasi lemak badan penting untuk mendapatkan personel dengan kebugaran fisik yang baik. menurut Gordon dan friedl (tahun 1994), personel di Amerika Serikat dengan berat badan terlalu rendah atau terlalu tinggi cenderung keluar ketika telah masuk militer. Namun, tidak diterangkan penyebab keluarnya personel militer dengan spesifikasi seperti ini. Mariner Amerika Serikat mensyaratkan presentase berat badan 20% untuk penerimaan personel laki-laki dan 26% untuk peremuan (Gordon dan friedl, 1994). Namun demikian, setelah penerimaan perlu mempertahankan presentase lemak badan agar konstan meskipun diizinkan berfluktuasi 4%, baik pada laki-laiki maupun perempuan. Presentase badan laki-laki lebih mudah diprediksi

berdasarkan lemak abdominal, tetapi pada perempuan karena lemak lebih menyebar tidak semudah pada laki-laki untuk memprediksi presentase berat badan. Pengurangan berat badan dikalangan AS biasanya selama 8 minggu, dengan penilaian pengalaman aerobik, kekuatan, dan kesehatan.(4) Rumus persamaan regresi untuk prediksi presentase lemak badan korps marinir AS (Wright, Dotson, & Davis, 1980, 1981; Gordon & Friedl, 1994). (4)

Persentase lemak laki-laki = (0,740 X lingkar abdomen setinggi pusar) - (1,249 X lingkar leher) + 40,985 Persentase lemak perempuan = (1,051 lingkar biceps) - (1,522 X lingkar lengan bawah) - (0,879 X lingkar leher) + (0,326 X lingkar abdomen setinggi pusar) + (0,579 X lingkar paha) + 0,707

Persamaan regresi untuk prediksi lemak badan untuk korps AS diatas berdasarkan penelitian pengukuran 460 marinir AS. Rumus regresi ini perlu dibuat untuk militer Indoesia dengan mengukur status antropometri personil militer Indonesia sehingga ada standar bagi militer Indonesia. Hal ini karena ada perbedaan distribusi lemak badan antar ras dan etnik. Bila komposisi mariner AS adalah Hispanik, kulit putih dan kulit hitam di Indonesia lain lagi. (4) Selain persentase lemak badan, status antropometri penting lainnya untuk penerimaan personel militer adalah tinggi badan, tinggi duduk, tinggi crotch, rentang lengan panjang dari pantat ke tungkai, panjang dari pantat ke lutut, dan rentang fungsional, terutama bagi pilot. Pesawatpesawat tempur biasanya dirancang rendah secara vertikal di ruang kokpit untuk meminimalkan target pandang lawan sehingga seleksi penerimaan fisiknya, sangat penting ukuran pilot sesuai dengan ruang mungil di kokpit pesawat-pesawat tempur. Sebagai gambaran, tabel 2.5 memuat status antropometri yang disyaratkan bagi pilot militer di Amerika Serikat. (4) Ukuran lingkar pundak juga sangat penting bagi personel militer karena pekerjaannya yang acapkali berhubungan dengan menyandang ransel, mengalungkan senapan dan peluru, mengangkat, menjinjing, dan membawa barang. Pundak yang kuat penting agar dapat bergerak dan berfungsi dengan baik ketika membawa beban sembari berjalan, merangkak menghindari ranjau, atau berlari. (4) Tabel 2.5 Pembatasan status antropometri pada tentara di Amerika Serikat (diadaptasi dari Gordon & Friedl (1994) yang bersumber dari Chase (1990); NR 15-34 (1991); dan AFR 160-43 (1987)) (4) Jenis Pekerjaan

Pembatasan Status Antropometri USAF (United States Air Force)/ Angkatan Udara Amerika Serikat Flaying Class II Flying trainees

Tinggi badan: 162-193 cm Tinggi badan: 162-193 cm Tinggi duduk: 86-99 cm USA (United States Army) Angkatan Darat dan Umum Tinggi crotch: 76 cm Rentang lengan/span: 164 cm Inggi duduk 102 cm Berat badan 104 kg OVI Mohawk OH58 Kiowa Berat Badan 100 kg Tinggi duduk 95 cm USN (United States Navy)/ Angkatan Laut Umum

Tinggi badan : Laki-laki 157 cm Perempuan 147 cm

Tinggi duduk: 81-104 cm Panjang pantat ke tungkai: 91-127 cm Panjang pantat ke lutut: 56-71 cm Jangkauan fungsional: 71 cm Pesawat dengan kursi ejected

Berat badan: 60-99 Kg Perangkat pertahanan seperti helm, masker oksigen, goggle untuk melihat di malam hari, binokuler, baju perisai anti peluru, sepatu boot, respirator, tas punggung, kursi-kursi kru dalam pesawat tempur, kapal selam, dan tank semuanya dibuat dengan ukuran tertentu sehingga penerimaan personel angkatan bersenjata harus memiliki standar antropometri tertentu pula. Selain itu, secara berkala, personel angkatan bersenjata harus dinilai status antropometrinya agar dapat mempertahankan status kebugaran, stamina, dan tetap dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan ukuran baju seragam dan berbagai perangkat pertahanan. (4) Menurut Goedon & Friedl (1994), antropmetri militer setidak-tidaknya di Amerika Serikat ke depan lebih berfokus pada pemanfaatan teknologi memindai (scanning), yaitu wajah dan kepala dipindai sehingga pemakaian helm efisien. Hal ini karena di masa depan, helm akan banyak dipasangi alat yang bermanfaat untuk tugas militer. (4) 2.7 Pemeriksaan Antropometri di Puskesmas Karawang Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang Di Puskesmas Karawang Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang, dalam bidang antropometri gizi, petugas Puskesmas mengukur berat badan balita disetiap Posyandu yang diselenggarakan sekitar 1 bulan 1 kali di setiap RW dengan menggunakan timbangan dacin. Untuk panjang atau tinggi badan menggunakan alat ukur panjang bayi atau baby measuring tape untuk balita, dan alat ukur tinggi yang dipasang di dinding. Untuk orang dewasa, dalam mengukur berat badan dan tinggi badan menggunakan alat timbang yang disertai alat ukur tinggi badan atau timbangan tinggi badan. Lingkar lengan atas diukur apabila ada dugaan terjadi ibu kurang energi kronis (KEK) pada ibu. Dari hasil pengukuran status gizi, berdasarkan laporan tahunan UPTD Puskesmas Karawang pada tahun 2009 jumlah kasus gizi buruk di kecamatan Karawang Barat berjumlah 48 orang, namun semuanya telah dilakukan intervensi. Sedangkan pemeriksaan fisik secara antropometri dalam hal mendapatkan surat keterangan sehat yang diperiksakan hanya berat dan tinggi badan. Sedangkan pemeriksaan antropometri lain jarang sekali dilakukan.

BAB III KESIMPULAN Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. aplikasi antropometri mencangkup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, militer, teknik dan lanjut usia. Antropometri penting untuk kesehatan masyarakat dan juga secara klinis yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan sosial dari individu dan populasi. Antropometri sebagai salah satu cara untuk menilai status gizi, memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga pemeriksaannya sangat tergantung dari tujuan pengukuran. Jenis pemeriksaan antropometri yang dilakukan di Puskesmas Karawang yaitu dalam mengukur berat dan panjang /tinggi badan yang berhubungan dengan mengetahui status gizi seseorang. BUTUH DAFTAR PUSTAKANYA ??? (Gambar dan Bagan Sulit di upload, jadi gak muncul) hubungi ajah 02291339839 Jangan berpikiran macam2 dulu Dok,he2.... SMS aja dulu Salam TS
Antropometri bisa sangat luas terapannya, tergantung pada pemahaman teoritis ilmuwan untuk mengaplikasikannya. Pemahaman teoritis ini mencangkup paling tidak ilmu kedokteran, kesehatan, biologi, pertumbuhan, gizi, dan patologi. Antropometri terbagi menjadi antropometri hidup dan antropometri skeletal-subdental. Hal ini karena antropologi biologis mencangkup rentang waktu, masa lalu dan masa kini, maka pengukuran dalam antropologi diaplikasikan ke rangka dan gigi maupun ke badan manusia hidup. Tiga tipe ukuran antropometri adalah ukuran vertikal, horizontal dan lingkaran. Pada ukuran gigi, 3 ukuran penting adalah mesiodisal, bukolinual, dan tinggi mahkota. Aplikasi antropometri mencangkup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, dan lanjut usia. Antropometri untuk identifikasi, misalnya penentuan laki-laki atau perempuan pada sisa hayat yang hanya berupa tulang. Contohnya, diameter caput humeri dan fosa glenoidea, dan ukuran-ukuran kepala. Bila panjang fossa glonoidea lebih dari 32 mm, identifikasi rangka cenderung merujuk pada individu lakilaki Antropometri pada neonatal dan anak-anak menilai status gizi dan pertumbuhan, ukuran-ukuran yang penting adalah lingkar kepala, lingkar lengan atas, berat badan, dan tinggi badan. Hal ini karena ukuran tersebut berkaitan dengan pertumbuhan besar otak, maturitas tulang dan status gizi. Prinsip pertumbuhan anak adalah cepahlocaudal dan proximodistal, contohnya, pertumbuhan otak lebih dahulu optimal dibanding pertumbuhan organ disebelah kaudal otak. Demikian pula truncus lebih optimal pertumbuhannya dibandingkan tungkai. Pengetahuan ini merefleksikan mengapa ukuran lingkar

kepala lebih penting daripada lingkar paha, misalnya, dalam menilai status pertumbuhan anak. Antropometri pada remaja menilai pertumbuhan remaja dalam hal maturitas skeletal dan dental, dan badan seiring dengan 5 macam pertumbuhan lainnya meliputi pertumbuhan kognitif, spirutual, hubungan dengan keluarga, hubungan sosial dan emosional. Adanya gangguan karena trauma/jejas/injuri pada satu aspek perkembangan dapat menganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek lainnya. Antropometri pada dewasa acap kali menilai obesitas, yang dilakukan dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul, tebal lipatan kulit (lemak) sentral dan ekstrenitas, serta rasio tinggi dan berat badan dalam indeks massa badan. Antropometri lanjut usia menilai perubahan yang normal pada menua meliputi berkurangnya tinggi badan, tinggi duduk, dan panjang rentang tangan Sebaliknya lingkar dada dan dalam dada bertambah pada lanjut usia Antropologi teknik/antropometri terapan (Human Engeenering) merupakan pengukuran badan ketika manusia sedang bekerja atau (mengfungsikan badannya). Beberapa ukuran penting dalam ukuran duduk, meliputi : 1. Panjang rentang lengan ke muka dan tangan menggenggam 2. Panjang lengan bawah ke muka siku fleksi tangan lepas 3. panjang dari ujung posterior pantat ke lutut paling anterior diukur horizontal, 4. panjang dari panjang posterior punggung ke ujung paling anterior tangan yang direntangkan ke depan, 5. tinggi dari tepi inferior pantat ke akrmion, 6. tinggi dari tepi inferior pantat ke siku ketika fleksi, 7. tinggi dari tepi inferior siku fleksi ke akronium dan 8. tinggi dari tepi inferior paha ke ujung posterior tumit (pternion) Contoh-contoh ukuran ini pada intinya adalah agar seseorang yang sedang duduk bekrja harus cukup ruang disekitarnya sehingga dapat kerja dengan nyaman. Aplikasi antropometri sebagai metode bioantropologi ke dalam kedokteran menjadi bermakna apabila disertai latar belakang teori yang adekuat dan intregatif dengan cabang ilmu kedokteran, terutama faal, anatomi, dan biokimia. Dalam faal aplikasinya berupa pengukuran kebugaran kardiovaskuler dan respirasi; dalam anatomi berupa kebugaran musculo skeletal, dan dalam biokimia berupa hemodinamaika. Penelitian integratif setidaknya pada keempat bidang ini akan menghasilkan keluaran yang bermakna pada penilaina status gizi, obesitas, pertumbuhan, menua, dan kebugaran jantung dan paru-paru dalam kedokteran olahraga. Antropometri yang mula-mula dikembangkan para ahli antropologi biologis untuk meneliti variasi biologis manusia, kini telah dengan luas diaplikasikan ke bidang-bidang terkait.

2.3 Antopometri Gizi Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam progam gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi. Disamping itu pula dalam kegiatan penapisan status gizi masyarakat selalu menggunakan metode tersebut Pada dasarnya jenis pertumbuhan dapat dibagi dua yaitu: pertumbuhan yang bersifat linier dan pertumbuhan massa jaringan. Dari sudut pandang antropometri, kedua jenis pertumbuhan ini mempunyai arti yang berbeda. Pertumbuhan linier menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau dabn pertumbuhan massa jaringan mengambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang atau saat pengukuran. a. Pertumbuhan linier Bentuk dari ukuran linier adalah ukuran yang berhubungan dengan panjang. Contohnya panjang badan, lingkar badan, dan lingkar kepala. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita waktu lampau. Ukuran linear yang paling sering digunakan adalah tinggi atau panjang badan. b. Pertumbuhan Massa Jaringan Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh ukuran massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas (LLA), dan tebal lemak bawah kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunjukkan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita pada waktu pengukuran dilakukan. Ukuran massa jaringan yang paling sering digunakan adalah berat badan. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Keunggulan antropometri gizi sebagai berikut: a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri. Kader gizi (Posyandu) tidak perlu seorang ahli, tetapi dengan pelatihan singkat ia dapat melaksanakan kegiatannya secara rutin. c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. Memang ada alat antropometri yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti "Skin Fold Caliper" untuk mengukur tebal lemak di bawah kulit. d. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang

batas yang jelas. g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. h. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi. Di samping keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan. a.Tidak sensitif Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Di samping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe. b.Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri. c.Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi. d.Kesalahan ini terjadi karena: 1.pengukuran 2.perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan 3.analisis dan asumsi yang keliru e.Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan: 1.latihan petugas yang tidak cukup 2.kesalahan alat atau alat tidak ditera 3.kesulitan pengukuran (9) 2.3.1 Jenis Parameter Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Di bawah ini akan diuraikan parameter itu. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di bawah 2,5 kg. Pada masa bayi-balita, berat

badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi. Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan: 1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. 2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya. 3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg. 4. Skalanya mudah dibaca. 5. Cukup aman untuk menimbang anak balita. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin. Penggunaan dacin mempunyai beberapa keuntungan antara lain: 1. Dacin sudah dikenal umutn sampai di pelosok pedesaan. 2. Dibuat di Indonesia, bukan impor, dan mudah didapat. 3. Ketelitian dan ketepatan cukup baik. Dacin Dacin yang digunakan sebaiknya minimum 20 kg dan maksimum 25 kg. Bila digunakan dacin berkapasitas 50 kg dapat juga, tetapi hasilnya agak kasar, karena angka ketelitiannya 0,25 kg. (9) 3. Tinggi Badan Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum ukuran tubuh dan panjang tulang. Namun, tinggi saja belum dapat dijadikan indikator untuk menilai status gizi, kecuali jika digabungkan dengan indikator lain seperti usia dan berat badan. Penggunaan tinggi, atau panjang, bukan tanpa kelemahan. Pertama, baku acuan yang tersedia umumnya terambil dari penilaian tinggi badan subjek yang berasal dari masyarakat berstatus gizi baik di negara maju. Kedua, defisit pertumbuhan linier baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama yang berarti tidak akan termanifestasi semasa bayi. Jika bayi terukur lebih pendek ketimbang baku acuan, tidak berarti bayi tersebut tengah malnutrisi pascanatal, melainkan dampak dari ukuran lahir rendah. Ketiga, secara genetik setiap orang terlahir menurut ukuran

yang tidak serupa: orang yang jika dibandingkan dengan populasi "acuan" berukuran lebih pendek tidak langsung berarti malnutrisi. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Gambar 2.2 Posisi Tubuh Anak pada Waktu Diukur (Sumber: Depkes Rl, 1999. Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah

4. Lingkar Lengan Atas (LLA) Lingkar lengan atas (LLA) dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Pengukuran LLA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein (KEP) wanita usia subur (WUS). Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LLA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Beberapa tujuan pemeriksaan LLA adalah mencakup masalah WUS baik ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum dan peran petugas lintas sektoral. Adapun tujuan tersebut adalah: a. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). b. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. c. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. d. Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. e. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK. Lingkar lengan atas diperiksa pada bagian pertengahan jarak antara olekranon dan tonjolan akromion. Ambang batas LLA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LLA kurang 23,5 cm atau dibagian merah pita LLA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak. 5. Lingkar Kepala Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran anak secara praktis, yang biasanya untuk memeriksa keadaan patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala. Contoh yang sering digunakan adalah kepala besar (Hidrosefalus) dan kepala kecil (Mikrosefalus). (1),(9)

Lingkar kepala terutama dihubungkan dengan ukuran otak dan tulang tengkorak. Ukuran otak meningkat secara cepat selama tahun pertama, akan tetapi besar lingkar kepala tidak menggambarkan keadaan kesehatan dan gizi. Bagaimanapun juga ukuran otak dan lapisan tulang kepala dan tengkorak dapat bervariasi sesuai dengan keadaan gizi. Bagan 2.2 Skema tindak lanjut pengukuran LLA

6. Lingkar Dada Biasanya dilakukan pada anak yang berumur 2 sampai 3 tahun, karena rasio lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan. Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5 tahun, rasio lingkar kepala dan dada adalah kurang dari satu, hal ini dikarenakan akibat kegagalan perkembangan dan pertumbuhan, atau kelemahan otot dan lemak pada dinding dada. Ini dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan KEP pada anak balita. 7. Jaringan Lunak Otak, hati, jantung, dan organ dalam lainnya merupakan bagian yang cukup besar dari berat badan, tetapi relatif tidak berubah beratnya pada anak malnutrisi. Otot dan lemak merupakan jaringan lunak yang sangat bervariasi pada penderita KEP. Antropometri jaringan dapat dilakukan pada kedua jaringan tersebut dalam pengukuran status gizi di masyarakat Lemak subkutan (Sub-Cutaneous Fat) Penelitian komposisi tubuh, termasuk informasi mengenai jumlah dan distribusi lemak subkutan, dapat dilakukan dengan bermacam metode: 1. Analisis Kimia dan Fisik (melalui analisis seluruh tubuh pada autopsi). 2. Ultrasonik. 3. Densitometri (melalui penempatan air pada densitometer) 4. Radiological anthropometry (dengan mengunakan jaringan yang lunak). 5. Physical anthropometry (menggunakan skin-fold calipers) Dari metode tersebut diatas, hanya antropometri fisik yang paling sering atau praktis digunakan di lapangan. Bermacam-macam skin-fold calipers telah ditemukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa alat tersebut mempunyai standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm2), dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan yang konstan 10 gram/mm2). Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers. Alat itu memungkinkan jarum diputar ke titik nol apabila terlihat penyimpangan. 2.3.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara pakar yang berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda. Gambar 2.3 Harpenden Calipers

Gambar 2.4 Teknik pengukuran lemak subkutan

2.3.3 Indeks Massa Tubuh Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT mempakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang Tabel 2.3 Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri (Sumber: Puslitbang Gizi. 1980. Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi. Bogor) Pada dasarnya masalah gizi timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah yaitu terjadinya ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizi. Konsumsi kurang akan menyebabkan gizi kurang dan konsumsi lebih akan menyebabkan gizi lebih, dimana keadaan ini akan menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Selain hal itu juga, karena adanya pergeseran gaya hidup akibat pengaruh urbanisasi, globalisasi dan industrialisasi mengakibatkan sebagian masyarakat indonesia cenderung menyukai makanan siap santap yang kandungan gizinya tidak seimbang yaitu mengandung lemak dan garam tinggi, tetapi kandungan seratnya rendah. Penanggulangan masalah gizi, yaitu : * Menerapkan pedoman umum gizi seimbang (13 pesan dasra gizi seimbang)

* Gerakan nasional Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) Susunan menu seimbang Hidangan menu seimbang harus mengandung : * Zat tenaga * Zat pembangun * Zat pengatur Yang harus dikonsumsi seseorang dalam sehari sesuai dengan kecukupan tubuhnya. Apabila konsumsi makanan sehari-hari tidak seimbang akan menyebabkan masalah gizi dan akan menyebabkan penyakit. Tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi, sehingga untuk mencapai masukan zat gizi seimbang harus mengkonsumsi aneka ragam bahan makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi susunan hidangan 1) Masyarakat awam, ditentukan oleh : * Kebiasaan turun temurun * Menurut kebutuhan kepuasan psikis 2) Masyarakat berpendidikan dan cukup pengetahuan tentang nilai gizi : * Mempertimbangkan kebutuhan fisiologis * Gabungan keduanya Syarat susunan hidangan * Makanan harus dapat menyediakan zat-zat gizi * Dalam jangkauan keuangan keluarga * Dapat dinikmati oleh seluruh keluarga * Suasana makan menyenangkan * Memenuhi syarat sosial budaya Kriteria keluarga sadar gizi * Senantiasa dan mampu menilai status gizi (memiliki KMS) * Mengkonsumsi 4 golongan pangan atau gizi seimbang * Menggunakan garam beriodium * Menyusui ASI eksklusif * Sarapan pagi Prinsip seimbang * Seimbang dalam kelompok bahan makanan * Sesuai kebutuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan menu seimbang * Ketersediaan bahan makanan * Pengetahuan gizi keluarga * Kondisi anggota keluarga * Keuangan 13 pesan dasar gizi seimbang 1. Makanlah aneka ragam makanan 2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi 3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah (1/2) dari kebutuhan energi 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat (1/4) dari kecukupan energi 5. Gunakan garam beriodium 6. Makanlah makanan sumber zat besi 7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai berumur 6 bulan 8. Biasakan sarapan pagi 9. Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya 10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur 11. Hindari minum-minuman beralkohol 12. Makanlah makanan yang aman bgai kesehatan 13. Bacalah label pada makanan yang dikemas Makanlah aneka ragam makanan Tidak ada satu jenis pun makanan yang mengandung lengkap semua cat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan poduktif. Oleh karena itu, setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan, kecuali bayi umur 0-6 bulan yang cukup sehat hanya dengan memperoleh ASI saja Makan hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi Setiap orang dianjurkan makan cukup hidangan mengandung sumber zat tenaga. Konsumsi yang memenuhi kecukupan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan dan kegemukan yang akan menyebabkan gangguan kesehatan. Sebaliknya apabila konsumsi kurang dan berlangsung lama akan menyebabkan menurunnya BB, keadaan gizi kurang dan terhambatnya proses tumbuh kembang anak dampaknya pada saat berusia dewasa, TB tidak mencapai ukuran normal dan akan mudah terkena penyakit. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi Terdapat dua kelompok karbohidrat yaitu karbohidrat kompleks (padi-padian, umbi-umbian dan bahan makanan lain yang banyak mengandung karbohidrat seperti sagu dan pisang) dan karbohidrat sederhana (yang tidak mengandung zat gizi lain, seperti gula). Sekitar 50-60% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat kompleks. Apabila energi yang diperoleh melebihi 60% berasal dari

karbohidrat kompleks, maka biasanya kebutuhan kalori, vitamin dan mineral sulit dipenuhi. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi Konsumsi lemak dan minyak paling sedikit 10% dari kebutuhan energi. Lemak dan minyak yang terdapat didalam makanan selain berguna untuk emningkatkan jumlah energi, juga dapat membantu penyerapan vitamin A,D,E dan K Lemak dan minyak membuat mudah merasa kenyang, konsumsi yang berlebihan akan mengurangi konsumsi makanan lain, akibatnya kebutuhan zat gizi lain akan terpenuhi. Dianjurkan konsumsi lemak dan minyak dalam makanan sehari-hari tidak lebih dari 25% dar kebutuhan energi. Gunakan garam beriodium Garam beryodium yang dikonsumsi setiap hari bermanfaat untuk mencegah timbulnya Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). GAKY dapat menghambat perkembangan tingkat kecerdasan anak, penyakit gondok, dan kretin. Garam mengandung natrium, konsumsi yang berlebihan dapat memicu timbulnya penyakit darah tinggi. Hindari konsumsi garam berlebihan, dianjurkan mengkonsumsi garam tidak lebih dari 6 gram atau satu sendok teh setiap harinya Makanlah makanan sumber zat besi Kekurangan zat besi dalam makanan sehari-hari secara berkelanjutan dapat menimbulkan pentakit Anemia gizi. Anemia gizi dapat diderita oleh semua golongan umur, terutama ibu hamil, anak balita, anak sekolah dan tenaga kerja wanita. Bahan makanan sumber zat besi antara lain adalah semua sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, hati, telur dan daging. Khusus bagi ibu hamil yang menderita anemia gizi diharuskan untuk mengkonsumsi tablet tambah darah sesuai dengan anjuran Berikan ASI saja kepada bayi smapai umur 6 bulan Asi mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dan menjadi sehat sampai berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan ASI saja tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi, oleh karena itu bayi perlu mendapat makanan pendamping (MP-ASI) secara bertahap dan sesuai pertambahan umur. Pemberian ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur 24 bulan. Biasakan sarapan pagi Makan pagi sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi orang dewasa makan pagi dapat memelihara ketahanan fisik dan daya tahan saat bekerja juga meningkatkan produktivitas kerjanya. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat memudahkan konsentrasi belajar. Jenis hidangan makan pagi dapat dipilih dan disesuaikan dengan keadaan. Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya

Air minum harus bersih dan bebas kuman, oleh karena itu terlebih dahulu harus dididihkan. Cairan yang dikonsumsi sekurang-kurangnya dua liter atau setara dengan 8 gelas setiap harinya. Dengan mengkonsumsi cukup cairan, dapat terhindar dari dehidrasi, serta dapat menurunkan resiko menderita penyakit batu ginjal. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur Kegiatan fisik dan olah raga secara teratur yang cukup takarannya, dapat membantu mempertahankan derajat kesehatan yang optimal. Kegaitan fisik dan olah raga yang tidak seimbang dengan energi yang dikonsumsi, dapat mengakibatkan BB lebih atau kurang. Untuk mempertahankan BB normal upayakan agar kegiatan fisik dan olah raga selalu seimbang dengan asupan energi. Hindari minum-minuman beralkohol Minum-minuman beralkohol dapat menyebabkan ketagihan, mabuk dan tidak mampu mengendalikan diri. selin itu, minum-minuman beralkohol secara berlebihan dapat menimbulkan penyakit seperti penyakit hati dan lain-lain. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan Makanan yang aman adalah makanan yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bekteri, tidak mengandung bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat baik secara agama maupun adat. Bacalah label pada makanan yang dikemas Peraturan perundang-undangan menetapkan, bahwa setiap produk makanan yang dikemas harus mencantumkan keterangan pada label mengenai bahan-bahan yang digunakan, komposisi zat gizinya, tanggal kadaluarsa dan keterangan penting lainnya sebagai informasi. Tips pintar mengkonsumsi makanan * Konsumsi makanan utama 3x sehari, jangan menghindari sarapan pagi * Perbanyak makan buah dan sayur * Kurangi makan daging, ganti dengan ikan atau daging unggas * Konsumsi beberapa kali makanan ringan diantara waktu makan, pilih makanan ringan rendah lemak, misalnya buah atau sayuran. * Jangan makan secara tergesa-gesa, sehingga makanan yang masuk menjadi lebih sedikit dan makanan dapat lebih dinikmati * Minum air putih minimal 6-8 gelas perhari. Segelas air putih sebelum makan dapat membuat merasa kenyang. * Awali makan dengan mengkonsumsi sup bening yang panas atau salad rendah lemak * Kurangi penggunaan margarin, krim dan saus * Jaga porsi makanan, jangan cepat-cepat menambah porsi karena otak membutuhkan waktu untuk mengirimkan sinyal kenyang * Bersihkan meja setelah selesai makan untuk menghindari keinginan mengambil makanan lagi. Tips pintar beraktivitas

* Lakukan olah raga secara teratur * Mulailah dengan yang sederhana dan lakukan perlahan-lahan, kemudian tingkatkan intensitasnya secara bertahap. Misalnya mulai dengan jalan cepat 10-15 menit perhari lalu tingkatkan menjadi 30-40 menit per hari selama 3-5 hari perminggu. * Untuk tetap termotivasi lakukan olah raga bersama teman atau keluarga * Jangan duduk terus menerus, bergerak atau berjalan beberapa menit setiap jam * Perbanyak bergerak dalam beraktivitas sehari-hari seperti dengan menggunakan tangga, parkir kendaraan atau turun dari bis sedikit lebih jauh dari tempat kerja, kurangi penggunaan remote kontrol saat menonton televisi dan lain-lain.

Usia sekolah merupakan 30% dari populasi penduduk di Indonesia. Populasi ini berkisar dari usia 6 sampai dengan 21 tahun dan sebagian besar (70%) berada di bangku sekolah. Sehingga oleh karena jumlah yang besar dan mudah dijangkau serta terorganisasi, maka anak usia sekolah merupakan sasaran yang strategis. Masalah kesehatan yang dialami anak sekolah sangat kompleks dan bervariasi. Pada anak SD biasanya berkaitan dengan prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sedangkan untuk sekolah SLTP dan SLTA umumnya berkaitan dengan perilaku berisiko. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian anak SD mengalami masalah kesehatan berupa Kurang Energi Protein (KEP), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Anemia Defisiensi Zat Gizi, Obesitas, Kecacingan, penyakit periodontal dan kelainan refraksi. Program skrining kesehatan anak usia sekolah diutamakan sebagai upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan upaya pencegahan penyakit (preventif). Salah satu upaya preventif tersebut adalah upaya penjaringan/skrining yang dilakukan terhadap anak yang baru masuk sekolah dasar (siswa kelas I). Kegiatan skrining bertujuan untuk mengetahui secara dini masalah kesehatan anak sekolah sehingga dapat diambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah memburuknya penyakit, mengumpulkan data dan informasi masalah kesehatan anak sekolah untuk dijadikan bahan untuk penyusunan perecanaan, pemantauan dan evaluasi program UKS. Skrining kesehatan anak sekolah merupakan salah satu Standar Pelayanan Minimal (SPM) program Usaha Kesehatan Sekolah) yang harus dilaksanakan Kabupaten/Kota. Jadi setiap Puskesmas harus melaksanakannya. UPT Puskesmas Nusa Penida I sebagai salah satu institusi kesehatan di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung melaksanakan kegiatan Skrining kesehatan anak sekolah tersebut selama periode bulan Juli dan Agustus. Kegiatan ini menyasar Taman Kanak-kanak (TK) dan siswa kelas I Sekolah Dasar di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida. Untuk TK dilaksanakan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak dengan tes KPSP, pemeriksaan antropometri dan pemeriksaan tajam penglihatan. Adapun skrining yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum meliputi hygiene perorangan, indikasi kelainan gizi dengan melihat rambut warna kusam atau mudah dicabut, bibir kering, pecah-pecah, sudut mulut luka dan kulit pucat/keriput, pengukuran tekanan darah, nadi dan deteksi kelainan jantung. Skrining juga meliputi penilaian status gizi melaui pengukuran antropometri berat badan dan tinggi badan untuk menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT), Tanda-tanda fisik kekurangan vitamin A, pemeriksaan gigi dan mulut, pemeriksaan tajam

penglihatan (visus), pemeriksaan telinga, deteksi dini penyimpangan mental dan emosional, serta pemeriksaan kebugaran jasmani. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Juli dan Agustus. Apabila dari skrining ditemukan masalah kesehatan maka segera dirujuk ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit untuk mencegah penyakit menjadi lebih buruk.

Skripsi Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 ->Oleh Qosidah Isnani, S.Gz
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya Worlds Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan tekanan lebih besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin dicapai adalah menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi setengahnya paling lambat 2015 (Sukandar, dkk, 2001). Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam potensial, sudah sewajarnya mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan mengatur bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Selanjutnya masyarakat juga berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004 yaitu Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan nutirisi, baik jumlah maupun yang dibutuhkan pada tingkat harga terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004 yaitu penetapan program peningkatan ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002). Menurut Sukandar. (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu, pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi

dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. Menurut Suryana (2001) dalam Hardinsyah (2001)a berdasarkan amanat UU No. 7 (1997) tentang pangan menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Akan tetapi, Hardinsyah, dkk (2001)b menyatakan bahwa sampai pada saat ini masih terdapat sisi-sisi gelap pembangunan dalam rumah tangga, antara lain: sekitar 40% rumah tangga tidak cukup pangan, menurut Badan Pusat Statistik (1999) sekitar 18% miskin, berdasarkan SUSENAS (1998) sebanyak 30% anak sekolah menderita anemi karena kurang gizi dan masalah lainnya. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Mengacu pada Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RAPGN) tahun 2001-2005, sasaran perbaikan gizi makro jangka panjang telah memberikan masa depan yang ingin dicapai. Salah satu sasaran guna pencapaian tujuan/misi tersebut adalah anak usia sekolah yang bebas dari gangguan pertumbuhan tinggi badan, serta diharapkan peningkatannya pada anak laki-laki menjadi 75% dan perempuan 80% (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Hal ini diungkapkan pula oleh Kepala Dinas Kota Banjarmasin (Diah Ratnani Praswasti) bahwa masyarakat/warga Banjarmasin dijamin sehat pada tahun 2014 (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Kemudian tingkat konsumsi energi rata-rata per orang per hari pada masyarakat menurut Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan (2006), ternyata masih berada di bawah target dari konsumsi yang dianjurkan yakni sebesar 2.150 Kkal. Sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Kalimantan Selatan hanya berkisar 1962,25 kalori (84,35%) saja. Sedangkan konsumsi protein masyarakat Kalimantan Selatan sudah mencapai konsumsi protein yang dianjurkan dari rata-rata per orang per hari yaitu 57,90 gr/org/hr (112,71%). Analisis Penilaian Konsumsi Gizi (PKG) secara umum memantau bahwa di tingkat nasional, rata-rata konsumsi kalori dan protein sudah mendekati kecukupan yang dianjurkan. Akan tetapi jika dilihat distribusinya masih terlihat 30 50% rumah tangga mengkonsumsi kurang dari 70 % dari kecukupan. Anak usia sekolah adalah masa anak dalam puncak perkembangan dimana waktu pertumbuhan agak lambat, tapi pasti dan perkembangannya berangsur-angsur mengikuti pertumbuhan tersebut sampai pada suatu masa pertumbuhan yang pesat dan mulai memasuki masa sebelum remaja atau praremaja (Damayanti, 1996). Berdasarkan Direktorat Pembangunan Desa Propinsi

Kalimantan Selatan (1996), di Kalimantan Selatan terdapat 568 Desa tertinggal dimana 730 buah Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah merupakan sasaran pelaksanaan program Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) tahun 1996-1997 serta menjadi sasaran Program Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah dan Monitoring Garam Beryodium setiap tahun. Di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, pada tahun 2007 telah melaksanakan Program Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), yang hasilnya menggambarkan bahwa konsumsi rumah tangga di desa Batulicin Kecamatan Batulicin relatif rendah, yaitu hanya berkisar sekitar 1.974,03 kalori. Selain program tersebut, di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin merupakan salah satu sasaran Pelaksanaan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) setiap tahunnya. Akan tetapi dari hasil pemantauan tersebut, ternyata masih terdapat 22% Anak Sekolah yang memiliki status gizi kurang. Hal ini juga ditambahkan dengan hasil Program KADARZI dimana keluarga tersebut memiliki anak sekolah, diketahui bahwa 67% ibu rumah tangga relatif memiliki pengetahuan yang rendah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai Hubungan Ketahanan Pangan Rumah tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010, sehingga dapat ditemukan permasalahan dan diharapkan menemukan pemecahan masalahnya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah Bagaimana Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan penelitian adalah: Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Tujuan Khusus Mengidentifikasi status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Mengidentifikasi kecukupan konsumsi gizi energi dan protein dalam rumah tangga anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kecukupan konsumsi zat gizi energi/protein dalam rumah tangga (indikator dampak secara langsung) dengan status gizi anak

sekolah usia 7-12 Tahun (indikator dampak secara tidak langsung) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Manfaat Penelitian Bagi instansi kesehatan: Agar dapat meningkatkan intervensinya ke dalam masyarakat seperti; Penyuluhan tentang makanan bergizi, Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah, Pemberian Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), dan kegiatan lainnya guna membantu dalam mencapai status gizi anak sekolah secara optimal. Bagi Masyarakat : Memberikan informasi tentang indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada baik tidaknya pula status gizi anak sekolah, khususnya anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Bagi Peneliti : Menambah wawasan serta pengalaman yang dapat menunjang pekerjaan serta pengabdian kepada bangsa dan negara dalam bidang kesehatan gizi. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengambil tiga referensi penelitian yang dapat menunjang proses penelitian ketahanan pangan rumah tangga, yaitu penelitian dari Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) di Sulawesi Utara, Ginandjar Kartasasmita (2005) di Bandung serta Nailatul Muayyadah (2010) di Jawa Tengah. Menurut Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) dengan judul Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1999), penelitiannya bertujuan untuk melihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman pengambil kebijakkan dalam melaksanakan programprogramnya dalam peningkatan ketahanan pangan di tingkat wilayah maupun tingkat rumah tangga. Kemudian analisis ketahanan pangan rumah dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan sedangkan di tingkat wilayah dilakukan dengan metode perbandingan tingkat ketersediaan pangan di wilayah dengan norma kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Analisis studi kasus ini menghasilkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (Provinsi) berada dalam golongan tahan pangan, akan tetapi masih terdapat rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi apabila dilihat secara proporsi rumah tangga dengan persentase rumah tangga pedesaan relatif lebih rawan pangan dibandingkan perkotaan. Hal ini tentunya memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu dari segi tujuan dan metode ketahanan rumah tangga serta memiliki perbedaan dalam hal rancangan, tempat, variabel (bebas dan terikat) dan tahun penelitian.

Kemudian Ginandjar Kartasasmita (2005) dengan judul Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa (Studi Kasus di Bandung) yang bertujuan menganalisis bagaimana pengaruh ketahanan pangan secara regional. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode pengembangan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Kemudian analisa tersebut mengungkapkan bahwa adanya pengaruh ketahanan pangan dan ketahanan bangsa secara regional. Hal ini memang sangat memiliki perbedaan dengan penelitian, baik dari variabel (independent dan dependent), tempat, tahun, metode serta rancangannya, akan tetapi memiliki persamaan dalam hal latar belakang yang mendasari dan juga teori yang melandasi pemikiran konsep ketahanan pangan secara luas. Sedangkan Nailatul Muayyadah (2010) dengan judul Analisa Hubungan Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode GSCA (Studi Kasus di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) telah melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui hubungan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga; ketersediaan pangan, aksestabilitas, dan konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Penelitian ini menggunakan metode GSCA yaitu Generalized Structured Component Analysis (GSCA) dimana variabel laten didefinisikan sebagai komponen dari indikator. Kemudian analisa tersebut menghasilkan adanya hubungan antara ketersediaan pangan dengan aksestabilitas pangan dan konsumsi pangan, tetapi tidak ada hubungan antara ketersediaan pangan dengan keadaan gizi balita, kemudian ada hubungan antara aksestabilitas pangan dengan konsumsi pangan dan keadaan gizi balita, serta ada hubungan antara konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Referensi penelitian ini tentunya juga memiliki persamaan dengan penelitian yaitu dari segi tujuan, metode ketahanan rumah tangga (walaupun indikatornya berbeda) dan variabel independent serta tentunya memiliki perbedaan penelitian dalam hal rancangan, tempat, variabel dependent dan tahun penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN TEORI Istilah ketahanan pangan (food security) mula terdengar pada tahun l970-an ketika terjadi krisis penyediaan serealia di pasar Intemasional. Sejak saat itu kajian tentang ketahanan pangan mulai diperbincangkan dalam berbagai Forum (Foster, 1992) dalam Hardinsyah,dkk (1998) dan pemikiran terhadap kebijakan pangan diarahkan pada ketahanan pangan dalam arti penyediaan serelia di tingkat nasional dan internasional. Setelah krisis pangan mulai reda, pada tahun 1980an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan dari unit nasional pada penyediaan pangan di tingkat wilayah, tetapi juga pada penyediaan dan konsumsi pangan (jumlah dan mutu) di tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu untuk memenuhi kebutuhan gizi (Braun, Bours, Kumar dan Pandya-Lorch, 1992) dalam Hardinsyah, dkk (2001)a. World Declaration and Plan of Action for Nutrition yang dirumuskan pada Internationol Conference on Nutrition (FAO/WHO, 1992) mendefisinikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga/individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.

Kemudian dalam sidang World Food Summit 1996 definisi ini diperluas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai nilai atau budaya setempat (acceptable within given culture). Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup beberapa dimensi antara lain dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi kebutuhan gizi individu (dimensi gizi), dimensi waktu (setiap waktu). Dimensi keamanan pangan (kesehatan) serta dimensi nilai-nilai budaya (Hardinsyah dan Mardianto, 2001)b. Di Indonesia pemerintah juga telah memberikan perhatian besar terhadap masalah pangan antara lain melalui upaya swasembada beras. Selain itu prioritas pembangunan nasional yang diamanatkan dalam 1999-2004 (Suryana, 2001) dalam Hardinsyah, dkk (2001)a adalah perwujudan ketahanan pangan yang berbunyi : Mengembangkan ketahanan pangan yang berbaris pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau serta memperhatikan peningkatan pendapatan petani nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang. Pembangunan ketahanan pangan dihasilkan suatu sistem dari unsur-unsur yang merupakan subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Pembangunan sub sistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi luar negri, cadangan impor maupun ekspor. Kemudian pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesbilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis. Sedangkan pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu gizi, nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Ketiga pembangunan ini memerlukan harmonisasi guna terwujudnya pembangunan suatu ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Dalam rangka memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004, telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan untuk: meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pada pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya; mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam; mengembangkan usaha bisnis pangan; menjamin ketersediaan gizi dan pangan masyarakat (Departeman Pertanian Republik Indonesia, 2003). Menurut Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan

terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam memproduksi pangan, daya beli dan pemberian. Kemudian sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor ekonomi dalam keragaman tersebut meliputi; tingkat pendapatan, harga pangan dan non pangan dan mekanisme pasar, sedangkan faktor sosial budaya meliputi; tingkat pengetahuan, kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu serta jumlah anggota keluarga (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang (Nuhfill Hanani; 2007). Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan memuat ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Hal ini berarti pengertian tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan yang bisa lebih dipahami yaitu: Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk kebutuhan dalam pemenuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, artinya bebas cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggmggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah Agama.

Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, artinya pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. Terpenuhinya pengan dengan kondisi terjangkau, artinya pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali Khomsan dkk, 2002). Keragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keanekaragaman dalam pola menu konsumsi pangan dimana terdapat keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang serta keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi yang dibutuhkan. Berdasarkan pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. Seperti yang telah diketahui, sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh: Faktor ekonomi, yang meliputi : Pendapatan Menurut Winardi (1992) pendapatan adalah hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai dari pada penggunaan faktor-faktor produksi. Tinggi-rendahnya pendapatan akan berdampak pada konsumsi pangan sebagai sub sistem ketahanan pangan baik tingkat wilayah maupun tingkat rumah Tangga (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002). Pada umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga. Tingkat pendapatan menentukan pola makanan apa saja yang dibeli dengan uang tersebut. Orang miskin biasanya akan membelanjakan pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang yang kaya sudah tentu akan lebih dari itu. Bagian untuk makanan padi akan ditambah dengan menu

untuk makanan yang terbuat dari susu jika pendapatan keluarga beranjak ke tingkat menengah. Semakin tinggi pendapatan, semakin bertambah besar pula presentase pertambahan belanja termasuk unhrk buah-buahan, sayur-sayuran, dan jenis makanan lainnya (Suhardjo, 1989). Harga pangan dan non pangan Kemudian Suhardjo (1989) menyatakan pula bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan selain tergantung pada besar pendapatan keluarga serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan juga tergantung pada harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Hal ini dikarenakan semakin tinggi harga pangan maupun non pangan, maka semakin terbatas pula kemampuan keluarga dalam mengeluarkan uang untuk membeli keperluan pangan dan non pangan untuk kebutuhannya. Setidaknya keaneka-ragaman bahan makanan kurang bisa terjamin, karena dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan. Mekanisme pasar Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya. Faktor Sosial Budaya, meliputi : Tingkat pengetahuan gizi Gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seorang terhadap makanan. Selain itu pengetahuan manusia mempunyai peran untuk dapat membuat manusia hidup sehat, sejahtera dan berkualitas. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat konsumsi tetapi secara tidak langsung mencerminkan tingkat pengetahuan. Kekurangan pengetahuan tentang gizi merupakan suatu penyebab lain gangguan gizi atau informasi gizi. Oleh karena itu, salah satu cara yang baik untuk menanggulangi masalah gizi adalah dengan memberikan pendidikan gizi yang pada prinsipnya mempunyai tujuan akhir mengubah pengetahuan serta siap dan tindakan ke arah perbaikan gizi dan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994). Kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi,

1994). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu adalah memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya. Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al, 1986). Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpe-nuhinya kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi. Menurut Williams (1993) dalam Khumaidi (1989) masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga. Jumlah anggota keluarga Rumah tangga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah, satu atap atau satu dapur, tidak terbatas hanya pada keluarga inti saja melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orangtua dan anak-anaknya, terdapat juga kakek-nenek, paman, bibi, saudara sepupu, menantu dan cucu yang kebutuhannya ditanggung oleh kepala keluarga (Suhardjo, 1989). Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara langsung terutama pada anak sekolah yang tumbuh dalam rumah tangga miskin karena rentan terhadap kekurangan gizi. Kebiasaan orang tua yang kurang menyadari bahwa anak memerlukan pangan yang lebih besar sering menjadi masalah. Di Indonesia survei memperlihatkan ketersediaan protein bagi setiap anak dalam rumah tangga dengan 2 orang anak akan 20 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai 4 atau 5 orang anak (Yustika, 2001). Kemudian definisi anak sekolah dalam kehidupan sehari-hari adalah sekolah dan seluruh warga yang merupakan wadah dan tempat berlangsungnya proses pendidikan secara formal dan potensial. Secara formal memiliki peranan penting dan strategis bagi pembinaan generasi muda (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992). Dan usia sekolah menurut Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat (1999) dikelompokkan menjadi: 1. WHO, usia antara 7 sampai 15 tahun. 2. Jelliffe, usia antara 5 sampai 15 tahun. 3. Indonesia, usia antara 7 sampai l2 tahun. Penilaian status gizi anak sekolah terbaru dapat dilihat dengan penggunaan Baku Antropometri IMT-AS (Jahari, 2000) yaitu tabel hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh Anak Sekolah (IMTAS) dengan menggunakan rumus rasio atau perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter, yang kemudian disajikan dalam kategori normal,

kurus, gemuk dan kegemukan. Indikator ini juga merupakan kombinasi atau gabungan dari dua parameter, yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Keuntungan penggunaan indeks IMT-AS ini yaitu selain merupakan indeks yang independen terhadap umur, juga dapat membedakan proporsi badan berupa kelebihan lemak dan otot (Supariasa, dkk, 2002). LANDASAN TEORI Konsep Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Departemen Pertanian, 1996) dalam Hardinsyah, dkk (1998) ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: (1) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggotanya rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, (2) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dan produksi sendiri atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup, (3) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat. Hal ini juga tercantum dalam pasal I ayat 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Sutrisno (1996) ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norrna gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi tidak dapat digunakan. Status Gizi Anak Sekolah Kemudian Status gizi menurut Jahari (2002) dalam Poedyasmoro, dkk (2002) adalah keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan, status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat kurang dari yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Selain itu status gizi juga berarti sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu seperti; Gondok Endemik yang merupakan keadaan tidak seimbangnya antara pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh Menurut Damayanti (1996), karakteristik anak usia sekolah antara lain: Berusia 7 l2 tahun Pertumbuhan relatif lambat dan anak balita, pertumbuhan berat 1,8 sampai 3,1 kg/tahun. Nafsu makan relatif lebih baik dari anak balita. Aktivitas fisik tinggi sehingga membutuhkan energi untuk bergerak, olah raga

Mulai tidak tergantung dengan orang tua Belajar tentang makanan dan gizi sebagai bagian dari kurikulum Pada masa ini anak mulai bisa memasuki dunia baru kemudian mulai berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, suasana dan lingkungan baru dan dalam hal baru lainnya. Pada usia 7-12 tahun pertumbuhan anak masih berjalan sangat cepat, tetapi pada usia 8-10 tahun laju pertumbuhan mulai menurun. Tetapi dengan adanya aktifitas yang mulai beragam seperti; olah raga, membantu orang tua, maka kebutuhan gizinya lebih besar. Sebagai akibatnya karakteristik anak sebagai berikut; pertumbuhan tubuh masih relatif cepat, kebutuhan. Zat-zat makanan relatif lebih banyak anak mulai memilih/menentukan makanannya sendiri serta kadang-kadang timbul kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu Food Raddism (Mustafa, 1990). Hubungan Ketahanan Pangan dengan Status Gizi Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996) dalam Hardinsyah (1998). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 2.4 HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Adanya hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan terikat bercirikan sampel dari populasi yang diukur sesaat atau pengukuran dilakukan secara bersamaan (satu kali saja). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dalam mengumpulkan data kecukupan konsumsi gizi rumah tangga serta status gizi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Waktu Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada Bulan September Tahun 2010. Subjek Penelitian Populasi Populasi yang memiliki karakteristik penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang memiliki anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Jumlah populasi penelitian tersebut sebanyak 591 rumah tangga, yang terbagi menjadi 6 kelas (strata). Dimana kelas 1 (satu) berjumlah 90 rumah tangga, kelas 2 (dua) berjumlah 147 rumah tangga, kelas 3 (tiga) berjumlah 125 rumah tangga, kelas 4 (empat) berjumlah 89 rumah tangga, kelas 5 (lima) berjumlah 84 rumah tangga serta kelas 6 (enam) berjumlah 56 rumah tangga. Sampel Jumlah Sampel Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi penelitian tersebut, dengan kriteria inklusi : Memiliki setidaknya satu anak sekolah usia 7-12 tahun Bertempat di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Responden, dalam hal ini ayah dan ibu, bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed consent, dan tinggal serumah bersama anak. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah rumah tangga yang memiliki 1 (satu) anak sekolah usia 712 tahun dan tidak tinggal satu atap dengan orang tuanya. Besarnya sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Azrul Azwar, dkk, (1987) : (1, 96) x 50 x 50 n = n1 = 96,04

10 591

1 + 96,04

n = 96, 04

n1 = 82, 793

Jadi, jumlah sampel penelitian ini diperoleh sebanyak 82,793 yang dibulatkan menjadi 83 rumah tangga. Keterangan : n = sampel yang diharapkan n1 = sampel yang sebenarnya p = sifat suatu keadaan dalam % jika tidak diketahui, dianggap 50 % q = 100% p = 50 % L = derajat ketetapan yang digunakan, lazimnya 10 % Z= tingkat kepercayaan ditentukan dengan derajat koefisien 95% dan = 5%, maka kurva normal didapatkan nilai Z = 1,96 Cara Pengambilan Sampel Penarikan sampel dalam penenelitian ini dilakukan secara acak (Probability Sampling) dengan teknik proporsi (Proportional Random Sampling). Untuk memperoleh pembagian sampel dalam masing-masing kelas maka populasi diproporsionalkan dalam persentase menurut besarnya unit yang ada di dalam masing-masing kelas populasi tersebut. Proporsional ini dilakukan dengan menggunakan rumus: Setelah diperoleh masing-masing proporsi unit sampel berdasarkan populasi, kemudian dapat ditentukan jumlah masing-masing sampel dalam kelasnya, dengan menggunakan rumus: Pembagian populasi, proporsi sampel dan jumlah sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

3.1. Distribusi Populasi dan Sampel Rumah Tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Tahun 2010. Kelas Populasi Proporsi (P) Sampel (rumah tangga) Kelas 1 90 15 13 Kelas 2 147 25 21 Kelas 3 125 21 17 Kelas 4 89 15 13 Kelas 5

84 14 11 Kelas 6 56 10 8 Jumlah 591 100 83 Kemudian sampel diambil secara acak menurut masing-masing unit sampel yang telah ditentukan dalalm kelasnya dengan menggunakan undian berdasarkan nomor urut anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 yang telah di data, selanjutnya dilakukan kunjungan ke rumah tangga anak sekolah tersebut untuk pengambilan data lanjutan. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah ketahanan pangan rumah tangga yaitu tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dan variabel terikatnya adalah status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Adapun definisi operasional dari penelitian ini, yaitu : NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL HASIL UKUR SKALA UKUR

1. Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi/Protein Prosentase dari jumlah energi/protein total yang dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya dibandingkan dengan angka kecukupan energi/protein yang dianjurkan (I Dewa Nyoman S, dkk, 2001). Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. Ordinal 2. Status Gizi Anak Sekolah Keadaan gizi anak usia 7-12 tahun sebagai akibat penggunaan zat-zat essential yang dapat diukur (dinilai) secara langsung melalui parameter berat badan dan tinggi badan anak Kemudian dihitung berdasarkan rumus IMT dan dimasukkan ke dalam Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000). Kemudian Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000), dikategorikan: Normal Kurang Gemuk Kegemukan Ordinal Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; form recall 2x24jam, tape recorder serta form isian. Dimana dalam wawancara, form recall 2x24jam merupakan panduan wawancara yang berisikan pertanyaan tentang konsumsi makanan anggota keluarga selama 2 (dua) hari yang juga direkam melalui tape recorder untuk mencek kembali informasi yang diperoleh. Selain itu, terdapat pula form isian guna memperoleh data tentang identitas rumah tangga serta mencatat hasil pengukuran parameter dari status gizi anak. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder yang meliputi : 1 Data Primer Data primer dikumpulkan peneliti melalui kunjungan kerumah sampel terpilih dan bila sampel menyetujui, enumerator melakukan kegiatan yang meliputi: Identitas rumah tangga diperoleh dengan wawancara. Status ketahanan pangan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) diperoleh dengan cara me-recall konsumsi anggota rumah tangga menggunakan form recall 224 jam. Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun diidentifikasi dengan melakukan pengukuran BB dan TB masing-masing anak yang menjadi sampel di dalam rumah tangga. Data Sekunder Data Sekunder dikumpulkan peneliti dengan mengunjungi instansi di desa maupun instansi pemerintah terkait guna memperoleh data, yang meliputi : Profil Desa Geografi dan Demografi Desa Laporan PKG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan UKS di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan PSG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan lain yang berkaitan dengan penelitian 3.7 Teknik Analisa Data 3.7.1 Cara Pengolahan Data

Dalam pengukuran ketahanan pangan rumah tangga, nilai konsumsi energi dan protein diperoleh melalui recall 224 jam dengan pendekatan penyediaan pangan yang disajikan dalam rumah tangga. Sedangkan angka kecukupan energi dan protein dalam ketahanan rumah tangga adalah total dari angka kecukupan energi dan protein masing-masing individu dalam rumah tangga (Supariasa, 2002). Rumus TKE/TKP rumah tangga adalah sebagai berikut : Sedangkan penentuan tingkat ketahanan pangan rumah tangga menurut Sukandar, dkk, (2001) dapat dikategorikan dalam matrik di bawah ini : Tabel 3.1. Tabel Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi 75 75-100 100 75 Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan 75-100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Tahan Pangan 100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan

Sangat Tahan Pangan Kemudian data berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan timbangan injak dan mikrotoise. Kedua indeks tersebut dimasukkan dalam rumus IMT di bawah ini sehingga diperoleh nilai IMT yang menggambarkan status gizi anak berdasarkan Baku Antropometri (Jahari, 2000) pada lampiran 9. Rumus IMT tersebut adalah : 3.7.2 Uji Analisis Data Ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) serta status gizi anak dianalisis secara deskriptif. Kemudian ketahanan pangan dihubungkan dengan status gizi anak dengan menggunakan uji analisa statistik Korelasi Spearman Rank, syarat =0,05 dengan ketentuan: - Ho ditolak jika nilai p nilai , berarti Ha diterima - Ho diterima jika nilai p > nilai , berarti Ha ditolak Hasil tersebut kemudian dapat dinyatakan dengan ketetapan hipotesis berikut : - Ho = Tidak ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak - Ha = Ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak sekolah. 3.7.3 Cara Penyajian Data Dalam penelitian ini data deskriftif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi (tabulasi). Sedangkan hasil uji analisis hubungan disajikan dalam bentuk tabulasi silang (crosstab). 3.8 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa langkah-langkah sebagai berikut: Tahap Persiapan Mengumpulkan data awal yang mendasari penelitian Mengkonsultasikan rencana penelitian ke pembimbing Mengurus ijin ke instansi terkait dengan dengan penelitian guna memperoleh data sekunder Mencatat/mencopy semua arsip di instansi terkait dalam penelitian Mencari data jumlah populasi penelitian Mengambil sampel penelitian sekolah.

Membuat Proposal Penelitian Tahap Pelaksanaan Mengurus Ijin Penelitian dari pendidikan ke instansi penelitian terkait Melakukan kunjungan rumah serta meminta persetujuan responden Melakukan wawancara kepada responden Menkonsultasikan ke pembimbing hasil pengumpulan data Seminar hasil pengumpulan data Tahap Evaluasi Mengolah data yang telah dikumpulkan Menganalisa data Menkonsultasikan hasil analisa data ke pembimbing Membuat laporan hasil penelitian Seminar hasil penelitian Keterbatasan dan Kelemahan Penelitian Adapun keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam proses penelitian ini, yaitu: Kurangnya food models sebagai panduan ukuran makanan yang akan memudahkan peneliti dalam mengkonversikan makanan yang dikonsumsi setiap anggota rumah tangga dalam satuan ukuran rumah tangga (URT). Kurangnya kemampuan (daya ingat) responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi beberapa hari yang lalu, sehingga menimbulkan kesulitan peneliti dalam me-recall apa yang telah dikonsumsinya responden. Walaupun terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini seperti yang telah tercantum di atas, tetapi peneliti telah melakukan metode alternatif lain guna mengatasi (mengurangi) kesalahan dalam penelitian ini antara lain; mengganti food models yang tidak ada atau rusak dengan menggunakan mainan edukasi seri Makanan serta mengkategorikan ukuran makanan (seperti besar, sedang, kecil dan lain-lain) yang bertujuan mengarahkan responden dalam menetapkan URT yang sesuai dengan jumlah makanan yang telah mereka konsumsi sehingga peneliti dapat mengetahui kecukupan energi dan protein seluruh anggota rumah tangga.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Desa Batulicin Berdasarkan tata letak geografis, wilayah Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu terletak di pesisir pantai antara 252-347LS dan 11515-11604 BT. Suhu udara berkisar antara 22,4C-32,0C, dimana suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober (32,0C) dan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus (22,4C). Desa Batulicin yang mempunyai luas wilayah 4,170 ha yang terdiri dari pemukiman, bangunan, ladang/tegalan, hutan, tempat rekreasi, perikanan darat/air tawar, rawa, tanah kritis dan padang ilalang. Menurut BPS Tahun 2007-2008, Batas Administrasi Desa Batulicin ini berbatasan dengan: Sebelah Utara : Desa Kampung Baru Sebelah Timur : Selat Laut Sebelah Selatan : Desa Kersik Putih Sebelah Barat : Desa Kusambi Potensi dari Desa Batulicin adalah perikanan, perdagangan, industri, pariwisata, perternakan, dan perkantoran. Hal ini didukung dengan kemudahan dari sebagian besar dari wilayah yang dapat ditempuh dengan melalui jalan darat dan jalan laut sehingga dapat menggunakan sarana transportasi roda empat dan roda dua maupun sarana transportasi laut. Jumlah penduduk desa menurut Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil pada tahun 2010 berjumlah 5.889 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 2.905 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.984 jiwa serta diketahui pula jumlah kepala keluarga (KK) berjumlah 1.675 orang. Mata pencaharian penduduk wilayah ini sebagian besar adalah nelayan sebanyak 47%, sedangkan sebagian lainnya adalah sektor jasa/perdagangan 26%, pegusaha besar/kecil 14% dan peternak 13%. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indikator dampak secara langsung dari ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat konsumsi rumah tangga baik energi dan protein. Hal ini dapat dilihat dari gambaran TKE/TKP yang diperoleh dalam penelitian seperti pada distribusi frekuensi di bawah ini:

Tabel 4.1. Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi 75 75-100 100 75 2 3 0 75-100 1 27 31 100 0 8 11 Dari tabel di atas dapat dijabarkan bahwa konsumsi energi dan protein 75% sebanyak 5 rumah tangga, kemudian konsumsi energi dan protein sebanyak 75 100% sebanyak 25 rumah tangga dan konsumsi energi dan protein 100% hanya sebanyak 4 rumah tangga. Masih adanya konsumsi energi dan protein 75% di desa batulicin dikarenakan pendapatan mereka masih di bawah rata-rata, hal ini kemudian berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat desa akan bahan makanan menurun sehingga kecukupan konsumsi energi dan protein tidak bisa terpenuhi sesuai umur masing- masing anggota rumah tangga.

Hal ini seiring dengan gambaran status ketahanan pangan yang disimpulkan dengan tabulasi di bawah ini: Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga Status Ketahanan Pangan Frekuensi Persentase (%) Tidak Tahan Pangan 6 7,2 Tahan Pangan 66 79,5 Sangat Tahan Pangan 11 13,3 Jumlah 83 100 Dari hasil prosentase gambaran tersebut, diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), rumah tangga dengan status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan rumah tangga dengan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Walaupun masih terdapat banyak rumah tangga dengan status tahan pangan, akan tetapi rumah tangga dengan status tidak tahan pangan tetap menjadi prioritas perhatian bagi berbagai kalangan. Adapun hal yang mempengaruhi rumah tangga menjadi status tidak tahan pangan adalah mata pencaharian penduduk desa yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Faktor ini tentunya sangat berdampak pada ketahanan pangan rumah tangga, karena selain pendapatan rendah, mereka juga tidak dapat menghasilkan sumber makanan utama yang

dapat dikonsumsi oleh anggota rumah tangga guna mencukupi konsumsi energinya yang merupakan zat gizi utama dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga. Status Gizi Anak sekolah Usia 7-12 Tahun Karakteristik status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan IMT Anak Sekolah (Baku Antropometri) adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Status Gizi Anak Frekuensi Persentase (%) Normal 70 84,3 Kurang 8 9,6 Gemuk 3 3,6 Kegemukkan 2 2,4 Jumlah 83

100 Dari hasil penelitian telah didapatkan bahwa anak sekolah yang memiliki status gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), anak sekolah yang memiliki status gizi normal sebanyak 70 orang (84,3%), anak sekolah yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan anak sekolah yang memiliki status gizi kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%). Masih terdapatnya anak dengan status gizi kurang merupakan salah satu dampak dari ketidakmampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini mengakibatkan kecukupan gizi anak berdasarkan usiannya tidak seimbang, sehingga terjadinya malnutrisi. 4.1.4 Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Hubungan ketahanan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung yaitu tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun 2010 yang merupakan indikator dampak secara tidak langsung dapat dilihat pada tabulasi silang di bawah ini: Tabel 4.4. Tabulasi Silang Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Tahun 2010 Ketahanan Pangan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Total Normal Kurang Gemuk Kegemukkan Frek % Frek %

Frek % Frek % Frek % Tidak Tahan Pangan 0 0 6 100 0 0 0 0 6 100 Tahan Pangan 61 92,4 2 3,0 2

3,0 1 1,5 66 100 Sangat Tahan Pangan 9 81,8 0 0 1 9,1 1 9,1 11 100 Total 70 84,3 8 9,6 3 3,6

2 2,4 83 100 Berdasarkan Tabel 4.4. yang menggambarkan keterkaitan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ketahanan pangan rumah tangga maka akan berbanding lurus dengan peningkatan status gizi pada anak sekolah. Hal ini dikarenakan apabila ketahanan pangan rumah tangga berada dalam kondisi bagus kemudian disertai pengetahuan ibu akan pentingnya gizi anak dalam masa pertumbuhan serta kesadaran anggota rumah tangganya maka status gizi anak sekolah tanpa adanya penyakit infeksi (dalam keadaan sehat) akan berdampak pula peningkatannya (gizi baik). 4.2 Pembahasan Setelah dilakukan pengujian analisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah (usia 7-12 tahun) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 dengan Uji Analisis Non Parametrik Korelasi Spearman Rank telah menghasilkan significant (p) sebesar 0,007 dengan tingkat kepercaayaan 95% (=0,05), maka p atau 0,007 0,05 artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tri Bastuti Purwantini (1999) yang menyatakan tingkat konsumsi energi dan protein merupakan dua indikator indikator mutu gizi yang umum digunakan untuk mengukur status gizi. Sesuai rekomendasi energi dan protein masing-masing individu agar seseorang dapat hidup sehat dan dapat aktif menjalankan aktivitas sehari-hari secara produktif sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari untuk energi dan 50 gram/kapita/hari untuk protein. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga yang dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan). Sedangkan pada kelompok yang kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Kemudian Waryana (2010) dalam bukunya yang berjudul Gizi Reproduksi mengungkapkan bahwa kekurangan gizi pada anak usia sekolah disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsungnya adalah makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah ketahanan pangan di rumah tangga, pola pengasuhan serta pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan. Sebagai penyebab langsung kekurangan gizi, makanan diserap untuk menghasilkan energi guna tumbuh kembang tingkat kecerdasan serta fungsi otak anak yang merupakan jaringan tubuh yang

sangat sempurna struktur dan fungsinya. Apabila energi yang diperoleh dalam makanan tidak cukup, maka kerja dan fungsi tubuh akan kurang dari kapasitasnya yang berdampak pada gangguan pertumbuhan fisik, serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan anak dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedangkan penyebab langsung kekurangan gizi lainnya yaitu infeksi penyakit juga dapat memperburuk gizi anak dengan menurunnya nafsu makan, kehilangan cairan bila disertai diare atau muntah, naiknya metabolisme basal anak yang pada akhirnya terjadinya gizi kurang atau gizi buruk. Kedua penyebab langsung ini saling berkaitan, anak yang mendapat makanan yang cukup dan baik tetapi sering diare atau demam dapat menderita kekurangan gizi, begitu pula apabila anak yang tidak mengkonsumsi makanan yang cukup dan baik maka daya tahan tubuh akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Kemudian penyebab tidak langsung kekurangan gizi meliputi ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Makin tinggi kemampuan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup maupun baik mutunya, maka makin baik pula kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak sehingga akan diiringi makin banyaknya pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang dimamfaatkan keluarga guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan status rumah tangga yang tahan pangan, berarti kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya bisa terjamin, hal ini kemudian meningkatkan pula pola pengasuhan anak dan keluarga pun makin banyak memamfaatkan pelayanan kesehatanan yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tercapai status gizi anak secara optimal baik fisik, mental maupun sosial. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, antara lain: Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 adalah gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), normal sebanyak 70 orang (84,3%), gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%). Ketahanan rumah tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Uji analisis dengan Korelasi Sperman Rank mengungkapkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.

5.2. Saran Adapun beberapa saran peneliti guna memberikan kontribusi positif sesuai ruang lingkup penelitian ini, yaitu : Bagi Pemerintah: Meningkatkan kebijakan di bidang gizi agar dapat lebih menunjang perbaikan gizi masyarakat sehingga status gizi masyarakat dapat tercapai secara optimal. Bagi Instansi Kesehatan (Dinas Kesehatan dan Puskesmas): Meningkatkan kerjasama aktif secara berkesinambungan dalam melaksanakan intervensi gizi melalui Program Perbaikan Gizi Masyarakat terutama yang berkaitan dengan anak sekolah dan kesehatan rumah tangga seperti Penyuluhan (di sekolah maupun di desa), Pemantauan TumbuhKembang Anak Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Pembinaan Dokter Kecil, Program Makanan Tambahan Anak (PMT-AS), Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), Kunjungan Rumah dan kegiatan lainnya. Bagi Instansi Terkait (Dinas Pertanian, Kecamatan, Kelurahan, Lokalitbang, Dinas Kesehatan dan lain-lain) : Meningkatkan kerjasama lintas sektor guna bersama-sama mendorong masyarakat menjadi Masyarakat Sehat seperti dalam kegiatan Penyuluhan, PKK, Pembinaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan kegiatan lain-lain. Bagi Masyarakat : Meningkatkan wawasan dan pengetahuan gizi (seperti mengikuti penyuluhan, aktif memamfaatkan fasilitas kesehatan, dan kegiatan lainnya) yang berkaitan dengan faktor-faktor ketahanan pangan rumah tangga serta status gizi anak sekolah sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Endang. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Azwar, A . (1987). Metodologi Penelitian Kedokteran Masyarakat. Jakarta: Bina Rupa Aksara;20-25. Arikunto, S. (1997). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta; 245 247 ; 251 -289. Berg, Alexander. (1987). Faktor Gizi. Jakarta : Bhatara Karya Aksara; 49-53.

Damayanti, D. (1996). Modul Kuliah llmu Gizi Dasar dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Akademi Gizi; 3;17-2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.( 1994). Majalah Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia. Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. (1999). Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBAS) Tahun Ajaran1999/2000. Jakarta irektorat Bina Gizi Masyarakat;l -2. Departemen Pertanian Republik Indonesia. (2002). Pedoman Umum Penyusunan Program Pengembangan Konsunsi Pangan.(Iptek.apjii.or.id/artike/ pangan/deptan materipendukung/perayk6s i 20Draft.Vo2 0 lv.hftn-101k). Diakses tanggal 11 Agustus 2010. Djiteng, Roedjito. (1989). Kajian Penelitan Gizi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Djiteng, Roedjito. (1990). Prinip-Prinsip Analisis Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan Dan Gizi Institut Pertanian Bogor; 230-278. Hanani, Nuhfill, A, R (2007). Konsep Ketahanan Pangan. Jakarta. Hardinsyah. (1998). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Bogor: Departemen Kehutanan; 4-11. Hardinsyah, Prof. Dr. Ir. Sumardjo dan Dr. Titik Sumarti. (2001)a. Membangun Kerjasama Ketahanan pangan antara Pemerintah Kabupaten dengan Institut Pertanian Bogor. Prosiding Dialog Lokakarya Kebiiakan dan Program Ketahananp Pangan di Era Otonomi 2-3 Oktober. Jakarta; Agrindo Aneka Consult. Hardinsyah, Prof. Dr. Ir. Sumardjo dan Dr. Titik Sumarti. (2001)b. Tinjauan.Kritis tentang Ketahanan Pangan di Indonesia Membangun Masyarakat. Prosiding Seminar Nasionar ; Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan. Deptan; 6- 27. Hasan. I. (1999). Pokok-Pokok Materi Statistik I (Statistik Deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara ; 937 ; l48-230. Hendra, A, W. (2008). Konsep Ketahanan Pangan. Info Mas Hendras Weblog. Diakses 25 Agustus 2010. Jahari, A , B. (2000). Baku Antropometri 2000 CDC Edisi Revisi. Bogor: Pusat Penelitian dan pengembangan Gizi dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kartasapoetra, G. (2005). Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta.

Kartasasmita, Ginandjar. (2005). Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa (Studi Kasus di Bandung). Bandung: Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bandung. Karo-Karo, S. (1984). Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Kota. Malang: Akademi Gizi Malang. Khomsan, Ali. (2002). Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. (www. Kompas .com /kompas cetak / 0312 / 18/ opini/ 753054. htm-44k). Diakses tanggal 21 Juli 2004. Khumaidi , M. (1994). Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia. Moehyi, S. (1982). Ilmu Gizi. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Moeloek, F, A. (1999). Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Gizi 1; 7-33. Moleong, Lexy, J. (1998). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakary; 111-167. Muhilal. (2002). Peran Gizi dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia: Telaah Dari Aspek Biokimia Gizi Hingga Pedoman Gizi Seimbang. Bandung: Departemen Pendidikan Nasional; 20. Notoatmodjo, S. (2002). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 35-138. Notoatmodjo, S. (2010). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 24-49 ; 75-150. Maxwell, S, Frankenberger, T. (1992). Household Food Security Concepts, Indicators, and Measurements. New York, NY, USA: UNICEF and IFAD. Muayyadah, Nailatul. (2010). Analisis Hubungan Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga Dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode Gsca (Studi Kasus di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah). Semarang: Universitas Diponegoro Program Studi Statistika Jurusan Matematika. Mustafa, A. (1990). Gizi Daur dalam Kehidupan. Bagian I. Malang: Depkes RI Akademi Gizi Malang; 35-37. Persagi. (2001). Gizi Indonesia Journal of the Indonesian Nutrition Association Volume XXV. Jakarta: Persatuan Ahli Gizi; l -10. Poedyasmoro, dkk. (2002). Buku Praktis Ahli Gizi. Malang: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Malang; 1 29 ; 57 -76.

Purwantini, Tri Bastuti, Handewi P.S. Rachman, dan Yuni Marissa. (1999). Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suhardjo. (1989). Sosial Budaya Gizi. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bandung. Suhardjo. (1996). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Sukandar, D. (2001). Kajian Indikator Kesehatan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKG) Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor ;l-8; 30-31. Supariasa, I, D, N, dkk. (2002). Penelitian Status Gizi Anak. Jakarta: Buku Kedokteran; 17-25. Suryahadi, A, dkk. (2003). Focus on Mapping Poverty in Indonesia. (www.gizi.netsmeru.or.id/newslet/2003/ed07/200307focus.htm-43k). Diakses tanggal 11 Agustus 2004. Tambunan, A, S. (2003). Kesehatan Anak Masa Depan Bangsa tentang Muramnya Kondisi Kesehatan Anak-Anak Indonesia Paralel dengan Kegiatan Pendidikan di Sekolah dari Segi Kualitas Berdasarkan Hasil. (www.kompos.com/kompas-ceta3k0/06/26/36 ). Diakses tanggal 23 Juli 2003. Waryana. (2010). Gizi Reproduksi. Yogjakarta: Pustaka Rihama. Yustika, A, E. (2001). Tragedi Petani dan Inovasi Kebijakan Pertanian. (www.kompas.com (online) kompas). Diakses tanggal 31 November 2003.

Pengukuran Antropometri
Definisi Antropometri Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuruan dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbgai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Ruang Lingkup Antropometri Antropometri bisa sangat luas terapannya, tergantung pada pemahaman teoritis ilmuwan untuk

mengaplikasikannya. Pemahaman teoritis ini mencangkup paling tidak ilmu kedokteran, kesehatan, biologi, pertumbuhan, gizi, dan patologi. Antropometri terbagi menjadi antropometri hidup dan antropometri skeletal-subdental. Hal ini karena antropologi biologis mencangkup rentang waktu, masa lalu dan masa kini, maka pengukuran dalam antropologi diaplikasikan ke rangka dan gigi maupun ke badan manusia hidup. Tiga tipe ukuran antropometri adalah ukuran vertikal, horizontal dan lingkaran. Pada ukuran gigi, 3 ukuran penting adalah mesiodisal, bukolinual, dan tinggi mahkota. Aplikasi antropometri mencangkup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, dan lanjut usia. Antropometri untuk identifikasi, misalnya penentuan laki-laki atau perempuan pada sisa hayat yang hanya berupa tulang. Contohnya, diameter caput humeri dan fosa glenoidea, dan ukuranukuran kepala. Bila panjang fossa glonoidea lebih dari 32 mm, identifikasi rangka cenderung merujuk pada individu laki-laki Antropometri pada neonatal dan anak-anak menilai status gizi dan pertumbuhan, ukuran-ukuran yang penting adalah lingkar kepala, lingkar lengan atas, berat badan, dan tinggi badan. Hal ini karena ukuran tersebut berkaitan dengan pertumbuhan besar otak, maturitas tulang dan status gizi. Prinsip pertumbuhan anak adalah cepahlocaudal dan proximodistal, contohnya, pertumbuhan otak lebih dahulu optimal dibanding pertumbuhan organ disebelah kaudal otak. Demikian pula truncus lebih optimal pertumbuhannya dibandingkan tungkai. Pengetahuan ini merefleksikan mengapa ukuran lingkar kepala lebih penting daripada lingkar paha, misalnya, dalam menilai status pertumbuhan anak. Antropometri pada remaja menilai pertumbuhan remaja dalam hal maturitas skeletal dan dental, dan badan seiring dengan 5 macam pertumbuhan lainnya meliputi pertumbuhan kognitif, spirutual, hubungan dengan keluarga, hubungan sosial dan emosional. Adanya gangguan karena trauma/jejas/injuri pada satu aspek perkembangan dapat menganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek lainnya. Antropometri pada dewasa acap kali menilai obesitas, yang dilakukan dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul, tebal lipatan kulit (lemak) sentral dan ekstrenitas, serta rasio tinggi dan berat badan dalam indeks massa badan. Antropometri lanjut usia menilai perubahan yang normal pada menua meliputi berkurangnya tinggi badan, tinggi duduk, dan panjang rentang tangan Sebaliknya lingkar dada dan dalam dada bertambah pada lanjut usia Antropologi teknik/antropometri terapan (Human Engeenering) merupakan pengukuran badan ketika manusia sedang bekerja atau (mengfungsikan badannya). Beberapa ukuran penting dalam ukuran duduk, meliputi : 1. Panjang rentang lengan ke muka dan tangan menggenggam 2. Panjang lengan bawah ke muka siku fleksi tangan lepas 3. panjang dari ujung posterior pantat ke lutut paling anterior diukur horizontal, 4. panjang dari panjang posterior punggung ke ujung paling anterior tangan yang direntangkan

ke depan, 5. tinggi dari tepi inferior pantat ke akrmion, 6. tinggi dari tepi inferior pantat ke siku ketika fleksi, 7. tinggi dari tepi inferior siku fleksi ke akronium dan 8. tinggi dari tepi inferior paha ke ujung posterior tumit (pternion) Contoh-contoh ukuran ini pada intinya adalah agar seseorang yang sedang duduk bekrja harus cukup ruang disekitarnya sehingga dapat kerja dengan nyaman. Aplikasi antropometri sebagai metode bioantropologi ke dalam kedokteran menjadi bermakna apabila disertai latar belakang teori yang adekuat dan intregatif dengan cabang ilmu kedokteran, terutama faal, anatomi, dan biokimia. Dalam faal aplikasinya berupa pengukuran kebugaran kardiovaskuler dan respirasi; dalam anatomi berupa kebugaran musculo skeletal, dan dalam biokimia berupa hemodinamaika. Penelitian integratif setidaknya pada keempat bidang ini akan menghasilkan keluaran yang bermakna pada penilaina status gizi, obesitas, pertumbuhan, menua, dan kebugaran jantung dan paru-paru dalam kedokteran olahraga. Antropometri yang mula-mula dikembangkan para ahli antropologi biologis untuk meneliti variasi biologis manusia, kini telah dengan luas diaplikasikan ke bidang-bidang terkait. 2.3 Antopometri Gizi Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam progam gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi. Disamping itu pula dalam kegiatan penapisan status gizi masyarakat selalu menggunakan metode tersebut Pada dasarnya jenis pertumbuhan dapat dibagi dua yaitu: pertumbuhan yang bersifat linier dan pertumbuhan massa jaringan. Dari sudut pandang antropometri, kedua jenis pertumbuhan ini mempunyai arti yang berbeda. Pertumbuhan linier menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau dabn pertumbuhan massa jaringan mengambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang atau saat pengukuran. a. Pertumbuhan linier Bentuk dari ukuran linier adalah ukuran yang berhubungan dengan panjang. Contohnya panjang badan, lingkar badan, dan lingkar kepala. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita waktu lampau. Ukuran linear yang paling sering digunakan adalah tinggi atau panjang badan. b. Pertumbuhan Massa Jaringan Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh ukuran massa jaringan adalah

berat badan, lingkar lengan atas (LLA), dan tebal lemak bawah kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunjukkan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita pada waktu pengukuran dilakukan. Ukuran massa jaringan yang paling sering digunakan adalah berat badan. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Keunggulan antropometri gizi sebagai berikut: a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri. Kader gizi (Posyandu) tidak perlu seorang ahli, tetapi dengan pelatihan singkat ia dapat melaksanakan kegiatannya secara rutin. c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. Memang ada alat antropometri yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti "Skin Fold Caliper" untuk mengukur tebal lemak di bawah kulit. d. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. h. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi. Di samping keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri, terdapat pula beberapa kelemahan. a.Tidak sensitif Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Di samping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe. b.Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.

c.Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi. d.Kesalahan ini terjadi karena: 1.pengukuran 2.perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan 3.analisis dan asumsi yang keliru e.Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan: 1.latihan petugas yang tidak cukup 2.kesalahan alat atau alat tidak ditera 3.kesulitan pengukuran (9) 2.3.1 Jenis Parameter Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Di bawah ini akan diuraikan parameter itu. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di bawah 2,5 kg. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi. Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan: 1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.

2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya. 3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg. 4. Skalanya mudah dibaca. 5. Cukup aman untuk menimbang anak balita. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin. Penggunaan dacin mempunyai beberapa keuntungan antara lain: 1. Dacin sudah dikenal umutn sampai di pelosok pedesaan. 2. Dibuat di Indonesia, bukan impor, dan mudah didapat. 3. Ketelitian dan ketepatan cukup baik. Dacin Dacin yang digunakan sebaiknya minimum 20 kg dan maksimum 25 kg. Bila digunakan dacin berkapasitas 50 kg dapat juga, tetapi hasilnya agak kasar, karena angka ketelitiannya 0,25 kg. (9) 3. Tinggi Badan Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum ukuran tubuh dan panjang tulang. Namun, tinggi saja belum dapat dijadikan indikator untuk menilai status gizi, kecuali jika digabungkan dengan indikator lain seperti usia dan berat badan. Penggunaan tinggi, atau panjang, bukan tanpa kelemahan. Pertama, baku acuan yang tersedia umumnya terambil dari penilaian tinggi badan subjek yang berasal dari masyarakat berstatus gizi baik di negara maju. Kedua, defisit pertumbuhan linier baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama yang berarti tidak akan termanifestasi semasa bayi. Jika bayi terukur lebih pendek ketimbang baku acuan, tidak berarti bayi tersebut tengah malnutrisi pascanatal, melainkan dampak dari ukuran lahir rendah. Ketiga, secara genetik setiap orang terlahir menurut ukuran yang tidak serupa: orang yang jika dibandingkan dengan populasi "acuan" berukuran lebih pendek tidak langsung berarti malnutrisi. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Gambar 2.2 Posisi Tubuh Anak pada Waktu Diukur (Sumber: Depkes Rl, 1999. Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah

4. Lingkar Lengan Atas (LLA)

Lingkar lengan atas (LLA) dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Pengukuran LLA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein (KEP) wanita usia subur (WUS). Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LLA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Beberapa tujuan pemeriksaan LLA adalah mencakup masalah WUS baik ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum dan peran petugas lintas sektoral. Adapun tujuan tersebut adalah: a. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). b. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. c. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. d. Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. e. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK. Lingkar lengan atas diperiksa pada bagian pertengahan jarak antara olekranon dan tonjolan akromion. Ambang batas LLA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LLA kurang 23,5 cm atau dibagian merah pita LLA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak. 5. Lingkar Kepala Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran anak secara praktis, yang biasanya untuk memeriksa keadaan patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala. Contoh yang sering digunakan adalah kepala besar (Hidrosefalus) dan kepala kecil (Mikrosefalus). (1),(9) Lingkar kepala terutama dihubungkan dengan ukuran otak dan tulang tengkorak. Ukuran otak meningkat secara cepat selama tahun pertama, akan tetapi besar lingkar kepala tidak menggambarkan keadaan kesehatan dan gizi. Bagaimanapun juga ukuran otak dan lapisan tulang kepala dan tengkorak dapat bervariasi sesuai dengan keadaan gizi.

Bagan 2.2 Skema tindak lanjut pengukuran LLA

6. Lingkar Dada Biasanya dilakukan pada anak yang berumur 2 sampai 3 tahun, karena rasio lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan. Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5 tahun, rasio lingkar kepala dan dada adalah kurang dari satu, hal ini dikarenakan akibat kegagalan perkembangan dan pertumbuhan, atau kelemahan otot dan lemak pada dinding dada. Ini dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan KEP pada anak balita. 7. Jaringan Lunak Otak, hati, jantung, dan organ dalam lainnya merupakan bagian yang cukup besar dari berat badan, tetapi relatif tidak berubah beratnya pada anak malnutrisi. Otot dan lemak merupakan jaringan lunak yang sangat bervariasi pada penderita KEP. Antropometri jaringan dapat dilakukan pada kedua jaringan tersebut dalam pengukuran status gizi di masyarakat Lemak subkutan (Sub-Cutaneous Fat) Penelitian komposisi tubuh, termasuk informasi mengenai jumlah dan distribusi lemak subkutan, dapat dilakukan dengan bermacam metode: 1. Analisis Kimia dan Fisik (melalui analisis seluruh tubuh pada autopsi). 2. Ultrasonik. 3. Densitometri (melalui penempatan air pada densitometer) 4. Radiological anthropometry (dengan mengunakan jaringan yang lunak). 5. Physical anthropometry (menggunakan skin-fold calipers) Dari metode tersebut diatas, hanya antropometri fisik yang paling sering atau praktis digunakan di lapangan. Bermacam-macam skin-fold calipers telah ditemukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa alat tersebut mempunyai standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm2), dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan yang konstan 10 gram/mm2). Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers. Alat itu memungkinkan jarum diputar ke titik nol apabila terlihat penyimpangan. 2.3.2 Indeks Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.

Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara pakar yang berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda. Gambar 2.3 Harpenden Calipers

Gambar 2.4 Teknik pengukuran lemak subkutan

2.3.3 Indeks Massa Tubuh Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT mempakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang Tabel 2.3 Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri (Sumber: Puslitbang Gizi. 1980. Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi. Bogor)

Anda mungkin juga menyukai