Anda di halaman 1dari 4

BAB I LATAR BELAKANG Kemunculan penologi modern ditandai dengan beralihnya tata cara penghukuman yang bersifat Corporal

Punishment yaitu hukuman yang lebih ditekankan kepada penyiksaan (torture) fisik, kepada hukuman yang bersifat Calceral Punishment yaitu penghukuman yang bersifat non-fisik dan lebih ditekankan kepada pembatasan gerak dari pelaku kejahatan. Carceral Punishment ini menimbulkan adanya institusionalisasi penghukuman. Tempat melaksanakan penghukuman ini disebut penjara (lembaga pemasyarakatan). banyaknya ilmuwan yang mempelajari ilmu yang mengarah pada upaya perbaikan perlakuan kepada narapidana. Kemunculan penjara sebagai institusi pelaksanaan penghukuman ditandai dengan adanya Pennsylvania System dan Auburn System dimana pada Sistem Pennsylvania, setiap narapidana ditempatkan pada ruangan tersendiri dengan ukuran 4,9 mx 3,7 m x 2,3 m. Dimana narapidana tidak diperbolehkan saling berinteraksi satu sama lainnya. Sistem Pennsylvania disempurnakan oleh Auburn System sekitar tahun 1820 di Penjara Auburn. Pada sistem Auburn ini, pada narapidana diperbolehkan untuk bekerja dan mendapatkan gaji. Dari kemunculan Pennsylvania dan Auburn System ini mendorong perkembangan penjara menjadi penjara pada saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman madzhab yang relevan adalah mazhab reintegrasi sosial sehingga program pembinaan yang berlaku bersifat koreksi. Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat berkumpulnya para narapidana, menimbulkan adanya sub kebudayaan tertentu. Sehingga terbentuk suatu budaya yang sudah melembaga di antara para penghuninya dan terus menerus diwariskan kepada narapidana yang baru masuk. Donald Clemmer memperkenalkan istilah Prisonization , yaitu tinggi rendahnya atau besar kecilnya pengaruh tata cara kehidupan, moral, kebiasaan dan kultur umum yang ada di dalam penjara. Dari istilah di atas dapat dipahami bahwa prisonisasi dimaksudkan sebagai proses penyerapan tata cara kehidupan di dalam penjara. Proses penyerapan tersebut dilakukan dengan proses belajar (learning process) dalam berinteraksi antar sesama narapidana. Dengan demikian, untuk menentukan tinggi rendahnya pengaruh tata cara kehidupan dalam penjara ditentukan oleh erat tidaknya kontak interpersonal antar narapidana. Kultur kehidupan narapidana mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual narapidana, sehingga setiap penghuni penjara (narapidana) akan menjalani proses penyesuaian dengan kehidupan di dalamnya. Meskipun penyerapan tersebut tidak seialu sempurna, akan tetapi dapat diasumsikan bahwa penyerapan oleh seorang narapidana mengarah pada cara-cara kehidupan yang tidak baik. Dalam keadaan inilah lembaga penjara dapat dilukiskan sebagai sekolah kejahatan ataupun pabrik kejahatan. Dengan tetap melekatnya ciri-ciri dari sistem penjara di atas, maka akan mempengaruhi proses pemasyarakatan narapidana. Pihak lembaga pemasyarakatan, terutama para petugas pelaksananya harus dapat memahami kultur yang tumbuh di dalam lembaga dan mengantisipasi sedini mungkin. Dikatakan akan mempengaruhi proses pemasyarakatan, karena bukan hal yang mustahil, akibat dari prisonisasi akan memberikan dorongan yang kuat kepada seorang narapidana untuk mengulangi perbuatan pidana setelah ia keluar dari lembaga, karena ia telah mendapat bekal pengetahuan dan sejumlah informasi mengenai berbagai hal tentang kejahatan. Prisonisasi secara tidak langsng menjadi salah satu faktor gagalnya proses pembinaan. Banyaknya residivis masuk kembali karena telah belajar dari budaya penjara mengenai kejahatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan zaman, pemenjaraan bukanlah salah satu dari

bentuk-bentuk penghukuman. Alternatif pemidanaan dan pemenjaraan menjadi pilihan untuk mengurangi dampak prisonisasi di lembaga pemasyarakatan. BAB II PERMASALAHAN Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat melaksanakan hukuman, memiliki berbagai macam sub kebudayaan yang mencerminkan kehidupan suatu daerah. Apabila seseorang ingin melihat keadaan suatu daerah, maka lihatlah penjaranya karena penjara merupakan miniatur dari masyarakat. Rahardi menganggap bahwa kehidupan di dalam Lapas mencernimkan kehidupan kita di masyarakat pada umumnya, keterbatasan menjdadikan rebutan. (104). Masyarakat di dalam Lapas yang sangat heterogen (kompleks) terutama di daerah perkotaan. Hal tersebut menimbulkan dinamisasi dan hierarkhi di dalam masyarakat lapas itu sendiri. Narapidana masuk dan keluar setiap harinya menyebabkan struktur di dalam masyarakat lapas (prison community) berubah, mulai dari kepengurusan sampai dengan anak kamar. Rahardi berpendapat bahwa terjadi pengklasifikasian narapidana tergantung dari kemempuan keterlibatan mereka secara finansial di dalam kehidupan sehari-hari. (108). Permasalahan yang akan dibahas di dalam makalah ini menyangkut : 1.Kenapa prisonisasi bisa terjadi? 2.Kapan prisonisasi terjadi? 3.Siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya prisonisasi? 4.Apa dampak dari prisonisasi? 5.Bagaimanakah alternatif penghukuman yang tepat untuk mengurangi dampak prisonisasi? BAB III ANALISIS Lembaga Pemasyarakatan di dalam hal ini dipandang sebagai suatu komunitas (prison community, inmate society), memiliki dua teori yang mendasarinya, yaitu : 1.Teori Importasi Bahwa segala sesuatu yang berasal dari inmate society datang dari luar masyarakat. Bahwa kehidupan di dalam penjara tidak lain cerminan kehidupan di dalam masyarakat. Biasanya seseorang yang senang melakukan penipuan di masyarakat sebelumnya, ketika ia masuk Lapas akan melakukan perilaku yang sama seperti di masyarakat. Dua konsep yang mendasari pengalaman seseorang dalam melalui Pistem Peradilan Pidana, yakni : a)Assesment of Equity Suatu konsep terhadap dirinya, apakah adil atau tidak. Diperbandingkan dengan orang yang melakukan hal yang sama namun memperoleh hukuman yang berbeda. Sebagian besar tersangka merasa diperlakukan tidak adil atas sistem peradilan pidana yang dijalaninya. Contoh : si A dan si B sama sama maling ayam, ternyata putusan hakim memberikan putusan yang berbeda sehingga ada merasa yang dirugikan. b)Self Asessment Penilaian terhadap dirinya sendiri, bahwa ia telah ditolak oleh masyarakat (social rejection), berdampak pada penolakan terhadap diri sendiri (self rejection) dan berakibat adanya bunuh diri

(suicide). Contoh : si A menjalani masa persidangan di pengadian atas tindak pidana yang dilakukannya. Masyarakat sekitar mengucilkannya (social rejection) berdampak pada anggapan kepada dirinya sendiri bahwa ia makhluk yang tidak berguna (self rejection), kemudian ia melakukan mogok makan dan berujung pada bunuh diri (suicide). 2.Teori Deprivasi Teori ini membahas mengenai pengurangan / penurunan derajat narapidana di dalam Lapas. Dua konsep yang mendasari adanya teori deprivasi : a)Prisonisasi Proses mempelajari budaya penjara, bahwa napi adalah manusia dengan status sosial paling rendah. Seseorang harus belajar apa yang menjadi tradisi di Lapas. Hal tersebut sudah membudaya di kalangan petugas maupun penghuni. Donald Clemmer memperkenalkan istilah Prisonization , yaitu tinggi rendahnya atau besar kecilnya pengaruh tata cara kehidupan, moral, kebiasaan dan kultur umum yang ada di dalam penjara. Prisonisasi harusnya dapat diminimalkan oleh petugas supaya para napi yang bebas tidak melakukan pengulangan tindak pidana yang menyebabkan mereka kembali lagi ke Lapas. Proses penyerapan budaya ini berlangsung melalui interaksi antar penghuni yang terjadi seharihari di dalam Lapas. Penyerapan ini terjadi melalui proses pembelajaran (learning process). Prisonisasi memberikan pembelajaran kepada narapidana berupa pembelajaran untuk dapat melakukan hal-hal yang lebih buruk dari pada sebelum dia masuk Lapas. Pencuri ayam yang masuk Lapas akan memperlajari dari sesama penghuni bagai mana caranya mencuri sepeda motor, mobil dan sebagainya melalui interaksi harian. Ohlin, mengatakan bahwa terdapat hal-hal yang harus dipelajari di Lapas, antara lain : Physical Violence Seseorang harus dibiasakan untuk dibentak, ditendang, menderita. Hal hal yang bersifat kekerasan merupakan hal biasa terjadi di Lapas. Explosive Sex Deletion Seseorang siap untuk melakukan tindakan menyimpang karena jarangnya pemenuhan kebutuhan hubungan heteroseksual. Predatory Money and Property Sesama napi saling bersaing untuk mendapatkan uang dan propertinya. Karena di dalam Lapas kepemilikan uang dan barang lainnya menjadi kunci status sosial di dalam Lapas. b)Inmate social Roles Peran sosial penghuni selalu dikaitkan dengan adanya pengelompokan di dalam Lapas seperti kelompok Arek, Aceh, Batak, Palembang dan Ambon. Kelompok tersebut memiliki ciri-ciri antara lain : In group loyalty and solidarity Pengelompokan di dalam Lapas sehingga menimbulkan rasa solider di antara anggotanya. Aggressive exploitative relations to out group Tindakan kekerasan yang sering dipicu antar kelompok, biasanya disebabkan permasalahan sepele yang menjalar kepada ras dan antar golongan. BAB IV KESIMPULAN Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat melaksanakan penghukuman memiliki dampak terhadap penghuninya. Prisonisasi yang terjadi di Lapas menimbulkan banyaknya narapidana

yang mempelajari kejahatan baru yang belum dikenalnya. Alternatif pemidanaan dimaksudkan kepada para first offender dan pelaku kejahatan yang diputus kurang dari satu tahun agar tidak terkena dampak buruk prisonisasi. Alternatif pemidanaan juga memberikan efektifitas dari segi filosofis, ekonomi dan kemanusiaan. KUHP serta KUHAP yang belum secara jelas pidana alternatif ini membuatnya belum bisa diimplementasikan ke dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. DAFTAR PUSTAKA I.BUKU Clemmer, Donald. The Prison Community. Rinehart : New York, 1959. Ramelan, Rahardi. Cipinang Desa Tertinggal. Republika : Jakarta, 2008. Swanson, Cheryl. Restorative Justice in Prison Community : Or Everything I Didnt Learn in Kindergarten I Learned in Prison , Lexington Books, Plymouth London, 2009. II.PUBLIKASI ELEKTRONIK LP dan Sistem Peradilan Pidana. Indoskripsi Kumpulan Skripsi Online Full Content, 3 Januari 2009. Diversi dan Restorative Justice.

Anda mungkin juga menyukai