Anda di halaman 1dari 18

Simon R. Finfer, M.D., and Jean-Louis Vincent, M.D., Ph.D., Editors RESUSITASI CAIRAN John A. Myburgh, M.B., B.Ch.

, Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S

Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam kedokteran akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi kemungkinan besar dapat mempengaruhi luaran pasien. Jika ditilik dari prinsip fisiologis, maka larutan koloid tidak lebih superior jika dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan larutan koloid semisintetik. Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan pada awal terapi, namun hanya sedikit bukti langsung yang menunjukkan keamanan dan khasiat zat ini. Penggunaan saline normal berhubungan dengan asidosis metabolik dan cedera ginjal akut. Sedangkan tingkat keamanan larutan hipertonik hingga saat ini belum diketahui.

Semua larutan resusitasi dapat berkontribusi dalam terbentuknya edema interstisial, terutama pada kondisi inflamasi yang mendapatkan terapi cairan resusitasi berlebihan. Dokter perawatan kritis harus mengetahui cara menggunakan cairan resusitasi, terutama ketika akan memberikan obat-obatan intravena lain. Pemilihan cairan tertentu harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik potensial masing-masing cairan agar dapat memaksimalisasi khasiat dan

meminimalisasi toksisitas. Sejarah Resusitasi Cairan Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik kolera. Dia menemukan bahwa kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan normalnya. Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan dengan temuan terkini. Resusitasi cairan tanpa menggunakan darah di era moderen semakin maju akibat temuan Alexis Hartmann, yang berhasil memodifikasi larutan garam fisiologis yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Sidney Ringer pada tahun 1885 untuk rehidrasi pasien anak yang mengalami gastroenteritis. Dengan adanya pengembangan fraksinasi darah pada tahun 1942, albumin manusia berhasil diberikan dalam jumlah besar untuk pertama kalinya guna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka bakar akibat serangan di Pearl Harbour pada tahun yang sama. Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam kedokteran akut.

Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi (arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk meningkatkan kontraksi jantung dan alinran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada dalam kondisi patologis.

Gambar 1: Peranan lapisan Glycocalyx Endotelial dalam Resusitasi Cairan Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial, suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, merupakan penentu utama permeabilitas membran dalam sistem vaskuler organ. Panel A merupakan lapisan glycocalyx endotelial sehat, sedangkan Panel B merupakan lapisan glycocalyx yang sudah rusak, yang mengakibatkan edema interstisial pada pasien, terutama untuk pasien yang mengalami inflamasi (seperti sepsis).

Fisiologi Resusitasi Cairan Selama beberapa dekade, para dokter melakukan pemilihan cairan resusitasi berdasarkan model kompartemen klasik (secara spesifik, kompartemen klasik terdiri atas kompartemen cairan intraseluler serta komponen cairan ekstrasluler yang terdiri atas komponen interstisial dan intravaskuler ) dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi cairan pada masing-masing kompartemen. Pada tahun 1896, Ernest Starling, seorang fisiolog Inggris, menemukan bahwa venula kapiler dan postkapiler memiliki mekanisme kerja sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan interstisial. Prinsip ini lalu diadaptasi untuk mengidentifikasi gradien tekanan hidrostatik dan tekann onkotik yang melalui membran semipermeabel, yang kemudian dijadikan sebagai penentu utama dalam pertukaran transvaskuler. Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial. Ruang subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonfenestrans yang melewati ruang interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian dapat regulasi secara simpatetik. Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial merupakan salah satu penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ. Integritas, atau kebocoran pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pascabedah atau trauma.

Cairan Resusitasi Ideal Cairan resusitasi ideal harus dapat menghasilkan efek yang dapat diprediksi dan mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap, selain itu harus memiliki komposisi kimiawi yang menyerupai cairan ekstraseluler, serta dapat dimetabolisme dan diekskresi secara komplit tanpa terakumulasi dalam jaringan, sehingga tidak menimbulkan efek sistemik dan metabolik, dan harus hemat untuk meningkatkan luaran pasien. Hingga saat ini, belum ada cairan seperti itu yang tersedia secara klinis. Cairan resusitasi secara umum terbagi menjadi larutan koloid dan larutan kristaloid. Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida yang mempengaruhi tonisitas larutan. Para pendukung larutan koloid mengatakan bahwa koloid lebih efektif dalam mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek koloid dalam mempertahankan volume dianggap memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan kristaloid, yang mana secara konvensional, rasio koloid terhadap kristaloid dalam mempertahankan volume intravaskuler adalah 1:3. Koloid semisintetik memiliki durasi kerja yang lebih singkat jika dibandingkan dengan larutan albumin manusia namun zat tersebut lebih aktif termetabolisme dan terekskresi. Para pendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa koloid, terutama albumin manusia, merupakan zat yang mahal dan tidak terlalu praktis digunakan sebagai larutan resusitasi. Kristaloid merupakan zat yang tidak mahal, tersedia secara luas dan, meskipun belum terbukti berkhasiat, namun kristaloid telah menjadi terapi

lini pertama dalam resusitasi cairan. Namun, penggunaan kristaloid diketahui berhubungan dengan edema interstisial. Jenis Resusitasi Cairan Secara global, ada banyak variasi dalam pemilihan cairan resusitasi. Pemilihan biasanya ditentukan oleh daerah dan pengalaman masing-masing dokter, serta protokol institusi, ketersediaan, harga, dan pemasaran komersial. Dari konsensus diketahui bahwa pemilihan resusitasi harus disesuaikan dengan populasi pasien tertentu, namun rekomendasi seperti ini hanya didasarkan pada pendapat pakar atau bukti klinis yang berkualitas rendah. Sejumlah tinjauan sistematik dari beberapa percobaan acak terkontrol telah menunjukkan bahwa hanya sedikit bukti yang mendukung keunggulan salah satu jenis cairan jika dibandingkan cairan lain dalam menurunkan resiko kematian. Albumin Albumin manusia (4-5%) dalam saline dianggap sebagai larutan koloid standar. Zat ini diproduksi dari proses fraksionasi darah, yang kemudian dipanaskan untuk mencegah penyebaran virus patogenik. Zat ini cukup mahal untuk diproduksi dan didistribusikan, serta sangat jarang ditemukan pada negara-negara yang miskin atau berkembang. Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewer

mempublikasikan sebuah meta-analisis mengenai efek albumin dan larutan kristaloid lain untuk mengatasi pasien yang mengalami hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian yang signifikan (relative risk, 1.68; 95% confidence interval [CI], 1.26-2.23; p<0.01). Meskipun memiliki sejumlah keterbatasan, namun meta-analisis ini telah memberikan peringatan yang penting, terutama untuk negara-negara yang sering menggunakan albumin untuk resusitasi.

Sebagai salah satu efek dari meta-analisis tersebut, para peneliti Australia dan Selandia Baru melakukan penelitian Saline Versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE). Penelitian yang bersifat acak terkontrol dan buta ganda ini, melibatkan 6997 orang dewasa yang dirawat di ICU. Para pasien itu diberikan albumin selama perawatan. Penelitian ini menakar efek resusitasi yang menggunakan albumin 4% dan efek resusitasi yang menggunakan saline, terhadap insidensi kematian dalam 28 hari. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara albumin dan saline terhadap insidensi kematian (relative risk, 0.99; 95% CI, 0.91 to 1.09; P = 0.87) maupun terhadap insidensi kegagalan organ. Analisis tambahan dari penelitian SAFE telah memberikan pemahaman baru mengenai resusitasi cairan pada pasien yang dirawat di ICU. Resusitasi yang menggunakan albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian dalam 2 tahun terutama untuk pasien cedera otak traumatik (relative risk, 1.63; 95% CI, 1.17 to 2.26; P = 0.003). Peningkatan insidensi kematian berhubungan erat dengan peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah cedera. Resusitasi dengan menggunakan albumin juga berhubungan dengan penurunan resiko kematian selama 28 hari untuk pasien yang mengalami sepsis berat (odds ratio, 0.71; 95% CI, 0.52-0.97; P=0.03), hal ini menunjukkan bahwa albumin dapat bermanfaat untuk pasien sepsis berat. Namun untuk pasien yang mengalami hipoalbuminemia, pemberian albumin tidak mempengaruhi insidensi kematian dalam 28 hari (kadar albumin, 25 g per liter) (odds ratio, 0.87; 95% CI,0.73-1.05). Dari penelitian SAFE, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kristaloid dan koloid jika ditilik dari indikator hemodinamika, seperti MAP atau denyut jantung, namun penggunaan albumin berhubungan dengan peningkatan tekanan vena sentral. Rasio volume albumin terhadap volume saline yang diberikan untuk mencapai hasil seperti itu adalah 1:1.4.

Pada tahun 2011, para peneliti di Afrika sub-Sahara membuat penelitian acak, terkontrol Fluid Expansion as Supportive Therapy (FEAST) yang

membandingkan penggunaan bolus albumin atau bolus saline dengan resusitasi cairan tanpa bolus terhadap 3141 pasien pediatrik febris yang mengalami gangguan perfusi. Pada penelitian ini diketahui bahwa resusitasi yang diberikan melalui bolus albumin atau saline dapat mengakibatkan insidensi kematian dalam 48 jam yang hampir sama jumlahnya, namun apabila dibandingkan dengan terapi non-bolus, maka terapi bolus saline atau koloid memiliki insidensi kematian dalam 48 jam yang lebih tinggi (relative rsik, 1.45;95% CI, 1.13-1.86; p=0.003). Penyebab utama kematian pada para pasien tersebut justru kolaps kardiovaskuler, bukannya kelebihan cairan ataupun faktor neurologis, hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi yang merugikan antara bolus resusitasi cairan dengan respon kompensasi neurohormonal. Meskipun percobaan ini dilakukan pada populasi pediatrik tertentu yang fasilitas perawatan kritisnya tidak ada atau terbatas, namun hasil penelitian ini juga mempertanyakan peranan bolus resusitasi cairan, baik yang berupa albumin ataupun saline. Berbagai penelitian tersebut meragukan konsep fisiologis mengenai khasiat albumin dan peranannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, albumin nampaknya memberika efek hemodinamika dan luaran yang menyerupai saline. Meskipun untuk populasi pasien tertentu, seperti sepsis berat, resusitasi albumin masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut. Koloid Semisintetik Keterbatasan dan mahalnya albumin manusia telah memicu pengembangan dan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara global, cairan HES telah menjadi koloid semisintetik yang paling banyak digunakan, terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya antara lain gelatin suksinil, sediaan gelatin-polygeline yang berikatan dengan urea, dan dextran. Penggunaan cairan dextran telah tergantikan oleh jenis cairan koloid semisintetik lainnya.

Cairan HES dihasilkan melalui subtitusi amylopectin oleh hydroxyethyl yang diperoleh dari sorgum, maizena atau kentang. Subtitusi berderajat tinggi pada molekul glukosa dapat memproteksi senyawa dari hidrolisis oleh amylase nonspesifik di dalam darah, sehingga ekspansi intravaskuler bisa lebih lama, namun mekanisme ini juga membuat HES berpotensi untuk terakumulasi dalam jaringan retikuloendotelial, seperti kulit (mengakibatkan gatal), hati, dan ginjal. Penggunaan HES, terutama sediaan yang bermolekul besar, berhubungan dengan gangguan koagulasi terutama perubahan dalam viskositas dan fibrinolisis namun, efek perubahan ini secara klinis masih perlu diteliti lagi, terutama untuk populasi pasien trauma atau bedah. Beberapa penelitian meragukan tingkat keamanan konsentrasi cairan HES (10%) dan besar molekulnya yang lebih dari 200 kD serta rasio subtitusi molar HES yang lebih dari 0.5, terutama jika harus digunakan pada pasien sepsis berat. Penelitian-penelitian itu menyebutkan bahwa HES berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian, cedera ginjal akut, dan terapi ganti ginjal. Saat ini konsentrasi larutan HES mulai diturunkan (6%) dan besar molekulnya hanya 130 kD serta subtitusi molar-nya berkisar antara 0.38 hingga 0.45. HES tersedia dalam berbagai larutan vehikulum (carrier) kristaloid. HES telah digunakan secara luas untuk pasien yang menjalani anestesia pada operasi besar, terutama untuk strategi terapi cairan goal-directed, digunakan sebagai terapi lini pertama untuk resusitasi di ruang operasi militer, dan pasien ICU. Karena HES berpotensi mengalami akumulasi dalam jaringan, maka dosis harian maksimal HES adalah 3355 mL per kilogram berat badan per hari. Dari percobaan acak terkontrol, dan buta ganda yang melibatkan 800 pasien sepsi berat di ICU, para peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES 6% (130/0.42), jika dibandingkan dengan Ringer Asetat, berhubungan dengan peningkatan angka kematian dalam 90 hari (relative risk, 1.17; 95% CI, 1.01-1.30; p=0.03) dan peningkatan insidensi relatif terapi ganti ginjal hingga 35%. Hasil ini

konsisten dengan percobaan terdahulu yang menggunakan HES 10% (200/0.5) pada populasi pasien yang sama. Dari percobaan acak terkontrol, buta ganda, yang disebut Crystalloid versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di ICU, penggunaan HES 6% (130/0.4) jika dibandingkan dengan saline, justru ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam aspek insidensi kematian selama 90 hari (relative risk, 1.06; 95% CI, 0.96-1.18; p=0.26). Namun, penggunaan HES berhubungan dengan peningkatan relatif insidensi terapi ganti ginjal. Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan kristaloid tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika, meskipun pada penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopressor. Rasio penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1.3, yang konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun penelitian-penelitian lain. Pada penelitian CHEST diketahui bahwa HES berhubungan dengan peningkatan curah urin pada pasien yang beresiko rendah mengalami cedera ginjal akut namun pada saat yang bersamaan HES juga meningkatan kadar kreatinin serum yang justru meningkatkan resiko cedera ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES juga berhubungan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek samping, seperti gatal-gatal. Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil penelitian mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya, seperti gelatin atau polygeline. Hasil penelitian observasional terbaru telah menimbulkan kekhawatiran mengenai resiko cedera ginjal akut pada penggunaan larutan gelatin. Hanya saja, larutan koloid semisintetik lainnya belum pernah diteliti dalam suatu percobaan acak terkontrol yang berkualitas tinggi. Dengan bukti-bukti

yang ada saat ini, kita masih sulit untuk membenarkan pernyataan yang menyatakan bahwa penggunaan koloid semisintetik tidak memberikan manfaat klinis, berpotensi menimbulkan nefrotoksisitas, dan mahal. Kristaloid Natrium klorida (saline) merupakan larutan kristaloid yang paling sering digunakan di seluruh dunia, terutama Amerika Serikat. Saline normal (0.9%) mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, hal ini yang membuat larutan ini lebih isotonik jika dibandingkan cairan larutan ekstraseluler. Istilah saline normal berasal dari penelitian lisis eritrosit oleh fisiolog Belanda, Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, dari penelitian ini diketahui bahwa 0.9% merupakan konsentrasi garam dalam darah manusia, bukannya konsentrasi aktual 0.6%. Perbedaan ion kuat dalam saline 0.9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih belum diketahui. Kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan air yang berhubungan dengan resusitasi saline telah melahirkan konsep resusitasi kristaloid volume kecil yang menggunakan larutan saline hipertonik (3%, 5%, dan 7.5%). Namun penggunaan saline hipertonik secara dini dalam resusitasi, terutama untuk pasien cedera otak traumatik, tidak memperbaiki luaran jangka panjang maupun jangka pendek. Kristaloid yang mengandung senyawa kimiawi yang mendekati cairan ekstraseluler disebut juga dengan istilah larutanseimbang atau larutan fisiologis. Pada umumnya, larutan-larutan ini merupakan derivat dari larutan Hartmann dan Ringer.

Hanya saja, tidak ada satu pun cairan tersebut yang benar-benar seimbang atau fisiologis. Larutan garam seimbang relatif bersifat hipotonik karena konsentrasi garamnya cenderung lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena adanya instabilitas larutan yang mengandung bikarbonat dalam kontainer plastik, maka anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malate lebih sering digunakan. Pemberian larutan garam seimbang yang dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan

hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonisitas (untuk yang mengandung natrium laktat) dan kardiotoksisitas (untuk yang mengandung asetat). Penambahan kalsium pada beberapa larutan dapat mengakibatkan mikrotrombus jika

dikombinasikan dengan transfusi sel darah merah yang mengandung pengawet sitrat. Karena adanya kekhawatiran yang berhubungan dengan kelebihan natrium dan klorida yang berhubungan dengan saline normal, maka larutan garam seimbang lebih sering direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama untuk pasien yang menjalani operasi, pasien trauma, dan pasien yang mengalami ketoasidosis diabetik. Resusitasi dengan menggunakan larutan garam seimbang merupakan salah satu komponen penting dalam penatalaksanaan awal pasien luka bakar, hanya saja hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai efek samping pemberian cairan berlebihan, oleh karena itu lahir konsep mengenai hipovolemia permisif pada pasien-pasien seperti itu. Ada sebuah penelitian observasional kohort yang membandingkan insidensi komplikasi mayor pada 213 pasien yang hanya mendapatkan 0.9% saline dan 714 pasien yang hanya mendapatkan larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte) untuk mengganti cairan yang hilang selama operasi. Penggunaan larutan garam seimbang berhubungan dengan penurunan insidensi komplikasi mayor (odds ratio, 0.79; 95% CI, 0.66-0.97; p<0.05), serta berhubungan dengan penurunan insidensi infeksi postoperatif, terapi ganti ginjal, transfusi darah, dan asidosis.

Dari penelitian observasional ICU, diketahui bahwa penggunaan strategi yang minimal terhadap klorida (menggunakan larutan laktat dan larutan garam seimbang bebas kalsium) untuk menggantikan cairan intravena yang kaya akan klorida (saline 0.9%, gelatin suksinil, atau albumin 4%) berhubungan dengan penurunan insidensi cedera ginjal akut dan insidensi terapi ganti ginjal. Sejak meluasnya penggunaan saline di seluruh dunia (untuk Amerika Serikat saja mencapai >200 juta liter per tahun), maka diperlukan suatu percobaan acak terkontrol agar dapat menakar tingkat keamanan dan khasiat saline untuk kemudian dibandingkan dengan larutan garam seimbang. Dosis dan Volume Kebutuhan dan respon resusitasi cairan untuk pasien-pasien yang sakit berat biasanya berbeda-beda. Tidak ada satu pun pengukuran fisiologis atau biokimiawi yang secara adekuat dapat memperkirakan penurunan cairan atau jumlah resusitasi cairan pada pasien yang sakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oligouria pada umumnya dijadikan sebagai pemicu untuk melakukan fluid challenge, yang kisaran volume cairannya antara 200-1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa. Penggunaan cairan resusitasi kristaloid dan koloid, yang seringkali diresepkan oleh anggota tim klinis yang paling junior, serta penggunaan cairan maintenance hipotonik, dapat mengakibatkan peningkatan dosis kumulatif natrium dan air. Peningkatan ini berhubungan erat dengan pembentukan edema interstisial yang berujung pada disfungsi organ. Hubungan antara keseimbangan cairan kumulatif dan luaran buruk jangka panjang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian mengenai pasien sepsis. Pada percobaan yang membandingkan strategi cairan liberal vs strategi goal-directed atau strategi cairan restriktif pada pasien yang mengalami sindrom distres pernapasan akut (terutama untuk pasien perioperatif), ditemukan bahwa strategi restriktif cairan berhubungan dengan penurunan morbiditas. Namun, karena belum ada konsensus

mengenai definisi strategi terapi restriktif cairan, maka diperlukan suatu percobaan berkualitas tinggi pada populasi pasien tertentu untuk mengkonfirmasi temuan sebelumnya. Tabel 2: Rekomendasi untuk Resusitasi Cairan pada Pasien yang Mengalami Penyakit Akut Cairan harus diberikan secara hati-hati ketika digunakan secara bersamaan dengan obat-obatan intravena Pertimbangkan jenis, dosis, indikasi, dan kontraindikasi, toksisitas potensial, dan biaya terapi Resusitasi cairan merupakan suatu komponen dari proses fisiologis yang kompleks Identifikasi volume cairan yang kemungkinan besar dapat hilang dan ganti cairan yang hilang dengan volume yang sama Pertimbangkan natrium serum, osmolaritas, dan status asam-basa ketika memilih cairan resusitasi Pertimbangkan keseimbangan cairan kumulatif dan berat badan aktual ketika memilih dosis cairan resusitasi Pertimbangkan penggunaan katekolamin sebagai terapi kombinasi dalam mengatasi syok Kebutuhan cairan senantiasa berubah setiap saat pada pasien yang sakit berat Dosis kumulatif resusitasi dan cairan maintenance berhubungan erat dengan edema interstisial Edema patologis berhubungan erat dengan luaran klinis yang merugikan Oligouria merupakan respon yang normal terhadap hipovolemia dan tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya indikator untuk resusitasi cairan, terutama untuk pasien yang berada pada periode pasca-resusitasi Penggunaan strategi fluid challenge pada periode pasca-resusitasi (24 jam)

hingga saat ini masih dipertanyakan Penggunaan cairan maintenance hipotonik juga masih dipertanyakan jika dehidrasi sudah berhasil terkoreksi Pertimbangan tertentu harus digunakan pada kategori pasien yang lain Pasien perdarahan membutuhkan kontrol perdarahan dan transfusi

menggunakan sel darah merah dan komponen darah lain sesuai indikasi Cairan garam seimbang, isotonik merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan pada mayoritas pasien yang sakit berat Pertimbangkan penggunaan saline pada pasien yang mengalami hipovolemia dan alkalosis Pertimbangkan penggunaan albumin selama resusitasi awal pada pasien yang sepsis berat Kristaloid isotonik atau saline diindikasikan untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik Albumin tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik Hydroxyethyl starch tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami sepsis atau pasien yang beresiko mengalami cedera ginjal akut Tingkat keamanan koloid semisintetik lain hingga saat ini masih belum diketahui, sehingga penggunaan larutan-larutan tersebut tidak diindikasikan. Tingkat keamanan saline hipertonik juga belum diketahui Jenis dan dosis cairan resusitasi yang tepat pada pasien yang mengalami luka bakar juga masih belum diketahui.

Meskipun penggunaan cairan resusitasi telah menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam kedokteran, hingga saat ini belum ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Pemilihan, penentuan waktu, dan dosis cairan intravena harus dievaluasi secara hati-hati terutama ketika akan menggunakan obat-obatan intravena jenis lain, agar kita dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas iatrogenik. Ringkasan Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Zat cair (60% BB) terdiri dari cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Cairan ekstrasel terdiri dari cairan

intravaskuler dan cairan interstisial. Antara cairan intrasel dan ekstrasel dibatasi oleh semipermeable cell membrane, yang relative lebih mudah dilalui oleh air. Pada cairan intravaskuler terdapat lapisan glycocalyx endothelial yang merupakan salah satu penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ. Integritas, atau kebocoran pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pascabedah atau trauma. Resusitasi cairan adalah pemberian cairan adekuat dalam waktu relative cepat pada penderita gawat akibat kekurangan cairan. Jenis cairan resusitasi terdiri dari cairan koloid dan cairan kristalloid. Pemberian cairan resusitasi harus berdasarkan prinsip fisiologis. Jika berdasarkan prinsip fisiologis maka cairan koloid yang lebih mempengaruhi hemodinamika dibandingkan cairan kristalloid. Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida yang mempengaruhi tonisitas larutan.

Larutan koloid lebih efektif dalam mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik. Namun koloid zat yang mahal, tidak terlalu praktis digunakan dalam cairan resusitasi dan dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. Larutan kristalloid merupakan zat yang tidak mahal, tersedia secara luas, telah menjadi terapi lini pertama dalam resusitasi cairan. Namun penggunaan kristalloid berhubungan dengan edema intrstisial. Jika berdasarkan penelitian tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penggunaan cairan koloid dan cairan kristalloid dalam insidensi kematian. Kebutuhan dan respon cairan resusitasi pasien berbeda-beda. Namun hipotensi

sistolik dan oligouria dapat dijadikan patokan untuk dilakukan fluid challenge yang kisaran volumenya sekitar 200-1000ml kristalloid atau koloid untuk pasien dewasa. Pemilihan, penentuan waktu, dan dosis cairan intravena harus dievaluasi secara hatihati terutama ketika akan menggunakan obat-obatan intravena jenis lain, agar kita dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas iatrogenik.

Anda mungkin juga menyukai