Mengubur Keangkuhan,
Menanam Kerendahhatian
Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. di KBRI Paris, Prancis
Ahad, 20 September 2009
Mahasiswa PhD Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris
O ó ¡Î0 « !$ # Ç ` » u H ÷ q § 9 $ # É O Ï m § 9 $ #
Pada hari ini, 1 Syawwal, semua umat Islam di dunia tengah bergembira merayakan
masuknya hari kemenangan, yaitu hari kelahiran kembali jiwa yang suci ini (îd al-fitr). Semua
orang bergembira, tak terkecuali. Kegembiraan itu dirayakan oleh semua lapisan masyarakat
muslim di mana saja. Tidak ada satu orang pun yang tidak boleh tidak merayakan hari nan
penuh kebahagian bagi umat Islam ini. Hingga suatu ketika Rasulullah terlambat datang untuk
salat Idul Fitri karena di tengah jalan ia menjumpai seorang bocah yatim-piatu kumuh dan
lusuh yang menangis di tengah jalan. Lalu, Rasulullah bawa pulang untuk dimandikan dan
dipakaikan dengan pakaian yang bagus dan diberi wewangian, hingga anak ini gembira bukan
kepalang.
Kebahagian dan kegembiraan itu dicerminkan dan dituangkan dalam bentuk berkasihsayang
sesama umat Islam tanpa membedakan status sosial, warna kulit, ras, suka, dan etnis. Hal ini
menandakan bahwa mereka yang merayakan idul fitri adalah mereka yang telah berhasil dan
menang melawan keangkuhan, kesombongan, ketakaburan, dan keakuan. Tanda dari
kemenangan ini bukan saja karena kemampuan diri melaksanakan perintah Allah swt. berupa
menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan, tetapi juga membayar zakat fitrah dan mal
yang merupakan ungkapan kecintaan dan kepedulian kepada kaum duafa dan mustadafin.
Puasa yang kita jalani selama satu bulan penuh ini adalah “sekolah jiwa”. Puasa inilah yang
menghancurkan sifat keangkuhan dan keakuan yang ada dalam jiwa kita. Jika kita lihat ke
belakang, selama 11 bulan yang lalu, kehidupan kita, mungkin, dipenuhi oleh sikap angkuh,
mau menang sendiri, tidak peduli dengan orang lain, menganggap remeh orang lain, merasa
diri paling agung, dan haus pujian. Kita biarkan keangkuhan dan keakuan terus tumbuh
berkembang sehat di dalam tubuh. Akhirnya, sifat ini menjadi sumber perlambatan bagi
keindahan hidup. Nah, puasa dan zakat yang kita telah lakukan pada Ramadan kali inilah
yang dapat mengubur “sang aku” di dalam diri dan jiwa kita. Alangkah lelahnya jiwa ini, jika
hanya mengikuti keakuan dan keangkuhan. Terlalu berat jika kesombongan dipikul oleh diri
ini. Karena, sejatinya, keangkuhan hanyalah milik Allah swt. Rasulullah saw bersabda:
Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah bersabda (riwayat Abu Hurayrah):
Artinya, keangkuhan adalah milik Allah, barang siapa yang memakainya, maka Allah akan
mengazabnya. Siksa di akhirat adalah neraka jahanam, Allah swt. Berfirman:
Ketika keangkuhan, kegengsian, haus pujian dan penghormatan menjadi kepribadian kita,
maka alangkah beratnya, karena kita harus gendong ke mana-mana. Kalau kemudian,
perjalanan kehidupan terasa sangat berat, itu karena manusia sendiri yang rela menggendong
3
Suatu ketika Rasulullah datang ke Quba (Madinah) dan ia sedang dalam keadaan berpuasa,
lalu para sahabat mendatanginya saat berbuka dengan membawa semangkuk susu yang telah
dicampur madu di dalamnya, lalu Rasulullah meminumnya dan bertanya: “Apa ini?”, “Susu
yang diberi madu wahai Rasul, jawab para sahabat. Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
Ingin dihargai dan dihormati adalah hal yang lumrah dan wajar. Tetapi, kalau keinginan
dihargai dan dihormati memperbudak kita, sehingga kita sombong, ini yang berbahaya.
Mereka yang diperbudak dengan kepintaran, kecantikan, kegantengan, kekayaan,
kemisikinan, ketenaran, dan kedudukan adalah orang-orang yang diperkuda oleh keangkuhan
dan keakuan. Tak ada ketenangan dalam hidup. Tidak ada kedamaian yang terpancar dari air
muka orang angkuh dan sombong. Jiwanya selalu menginginkan apa yang belum dimilikinya.
Matanya ingin menghendaki apa yang orang lain punyai. Resah, gelisah, dan tidak tenang
selalu melanda orang-orang pemilik hati yang angkuh. Orang yang merasa tidak puas
terhadap apa yang dimiliki dan selalu ingin mengejar apa yang dimiliki orang lain adalah
salah satu nikmat iman yang telah dicabut dari hati.
Betapa sempitnya pikiran kita, betapa pengapnya hati kita, jika kesuksesan orang lain, jika
kekayaan orang lain selalu dilihat dengan mata iri dan dengki yang muncul karena keakuan
yang akut. Hati tidak akan pernah tenteram dan tenang, jika kita menginginkan apa yang
orang lain miliki. Akibatnya timbul sifat rakus. Dengan kerakusan, kita akan menghalalkan
segala cara untuk memperoleh apa yang kita ingini. Kita telah membuat neraka bagi diri
sendiri kita. Sesungguhnya yang memasukkan ke dalam neraka bukanlah Allah, tetapi karena
perbuatan kita sendiri.
« من أعطي مال أو جمال وثيابا وعلما ثم لم يتواضع كان عليه وبال يوم
»القيامة
“Barang siapa yang diberi kekayaan atau kecantikan-kegantengan atau pakaian (rumah-mobil)
atau ilmu, tetapi tidak rendah hati, maka akan berbalik melaknat kepadanya dan akan ada
siksa di hari kiamat.”
Suatu ketika Muadz Ibn Jabal bertanya kepada Rasulullah “Apakah angkuh dan sombong itu
adalah mereka yang memakai pakaian yang bagus, mengendarai mobil yang bagus, dan
makan yang enak dengan para teman dan kerabatnya?”. Rasulullah menjawab “Bukan, tetapi:
Betapa banyak kebenaran yang datang kepada kita, hanya karena gengsi kita menolaknya.
Kita tahu bahwa yang haram adalah haram, tetapi berupaya mencari celah menghalalkannya
dengan segala daya upaya dan cara. Betapa diri ini selalu menganggap orang lain rendah dan
remeh, hanya karena keakuan dan keangkuhan. Kita hina orang lain dengan cibiran mulut,
kerlingan mata, detak hati, dan gibah hanya karena kita tidak bisa sepertinya. Terlalu sering
kita menjatuhkan orang lain agar diri ini tampak lebih hebat darinya. Inilah ketakaburan yang
akan menjatuhkan diri kita.
Ramadan yang baru saja kita lalui semoga telah mampu mengubur dalam-dalam keangkuhan
dan keakuan itu. Dengan idul fitri kali ini, semoga kita dapat menanam rasa rendah hati
(tawaduk). Orang yang merayakan Idul Fitri adalah bukan mereka yang menggunakan
pakaian baru dan memiliki mobil baru atau rumah baru, tetapi mereka yang ketaatannya
bertambah. Nah, orang yang beridul fitri pada hari ini adalah mereka yang menanam
kerendahhatian di dalam hatinya sehingga akan menjadi pribadi yang mempesona. Agar kaki
sang hidup ini tidak goyah, maka mari kita tanamkan rasa tawaduk di hati kita. Karena hanya
dengan rendah hati akan mencemerlangkan diri kita.
Lihatlah akar pohon. Ia tertanam ke dalam tanah dan merupakan sumber segala-galanya bagi
pohon. Akar bekerja keras mencari air untuk menghidupi batang dan ranting, daun dan bunga.
Ia tidak pernah mengeluh dan protes karena tidak terlihat. Jasanya tidak diketahui orang. Akar
tidak pernah menyombongkan diri dengan tampil ke permukaan. Berkat akarlah, pohon dapat
menampilkan daunnya yang indah, bunganya yang menawan. Akar memiliki sifat rendah hati,
sehingga semuanya berjalan dengan baik. Semakin dalam akar, semakin kukuh pohon.
Semakin dangkal akar, semakin cepat tercerabut. Begitulah perumpamaan orang yang rendah
hati. Semakin dalam rendah hatinya, semakin Allah akan angkat derajatnya, semakin minim
cadangan rendah hatinya, semakin Allah akan hinakan dirinya.
Puasa yang baru kita lalui adalah ibadah istimewa karena Allah sendiri yang akan
membalasnya langsung. “Kullu ‘amalibni âdama lahu illas shawmu, fa’na ajzi bih, setiap
perbuatan anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa, ia adalah milikku, aku sendirilah yang akan
membalasnya.” Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah kita berpuasa atau tidak. Ini
menyiratkan bahwa kita diperlukan kerendahhatian dalam menjalankan puasa agar kita tidak
riya, ujub, takabur dengan puasa yang kita jalankan, karena bisa jadi puasa kita tidak berarti
apa-apa di hadapan Allah.
Lalu bagaimanakah rendah hati (tawaduk) itu? Fudayl Ibn Iyadl, seorang sufi agung, pernah
ditanya suatu ketika “Apakah tawaduk, rendah hati itu?. Fudayl menjawab:
Tawaduk, rendah hati, di sini berarti ada suatu proses belajar terus-menerus (long life
education/minal mahdi ilal lahdi). Menerima kebenaran dari mana pun datangnya. Selalu
terbersit di dalam hati untuk terus berkata “Aku harus belajar”. Ketika orang berhenti belajar,
maka selesailah sudah perjalanan kehidupannya.
Pertama, engkau rela (rida) tanpa apa pun di majelis yang mulia. Artinya, sulit sekali ketika
datang ke suatu tempat tanpa disapa dan dihargai. Sang aku selalu menuntut untuk dihargai
dan dihormati. Namun, diterangi dengan kerendahhatian, maka langkah kedamaian dan
kesucian menyertai kita. Disapa atau pun tidak sama saja.
Kedua, engkau memulai menyapa (memberi salam) kepada orang yang kamu jumpai.
Memang susah rasanya, ketika bertemu seseorang kita yang lebih dulu menyapa. Ada keakuan
yang tinggi di sana yang menghambat diri untuk beruluk salam. Energi untuk menyapa itu
berat sekali. Jika direnungi: apa sulitnya menyapa? Padahal tidak ada risiko menyapa. Urusan
orang lain membalas sapaan kita atau tidak, itu di luar kehendak kita. Saking mulianya
menyapa ini, Rasulullah bersabda “Menyapalah kalian, maka akan masuk surga dengan
selamat, afsyus salâm, tadkhulul jannat bis salam”. Oleh karena itu, lebih mudah menemukan
kesehatan dan kebahagiaan dengan sapaan, salam, senyuman, dan persahabatan dibandingkan
dengan keangkuhan, keakuan, gengsi, cemberut, kemarahan, dan kebencian.
7
Ketiga, Engkau tidak suka ketika kebaikanmu dipuji, diceritakan ke orang lain, dan
diperlihatkan orang lain. Kita juga teramat senang dan gembira kalau banyak dipuji. Ketika
hal-hal sederhana seperti ini belum menjadi olahraga batin kita, sulit rasanya rendah hati
menjadi selimut hati kita.
Bagi mereka yang tinggal di dekat sungai dan laut, seperti ayah saya yang berasal dari Pekan
Baru, Melayu-Riau, yang hidup di pinggir sungai Siak, kehidupan di pinggir sungai/laut
membawa ke perenungan yang dalam. Suatu ketika ia berpesan “Lihatlah air laut. Semua air
kali dan sungai mengalir ke laut. Ia lebih banyak dari air sungai. Laut menjadi besar, gagah,
dan bahkan menakutkan justeru karena laut berani untuk merendah”. Seperti kata
Rabindranath Tagore “Kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati.” Dengan
rendah hati, tawaduk, hidup kita menjadi sehat. Karena yang sehat, seperti kata Goenawan
Muhammad, adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja terus dalam keterbatasan, seperti
cinta yang tak diakui. Dari sini kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi indah,
menyambut apa yang tak tentu, pada tiap detik memberi alasan untuk hidup yang berarti.
Hidup hanya sebentar, hiduplah yang berarti.
Orang yang rendah hati itu sudah nampak dari air mukanya: bersinar, terang, bercahaya.
Senang rasanya kita melihat air dan raut muka orang yang rendah hati. Setiap perkataannya
tidak dibuat-buat, mengalir seperti permata, bak berlian. Tutur kata yang keluar sederhana,
tapi, aduh, indah sekali, mendengarnya itu menyejukkan hati. Setiap perkataannya yang
keluar seperti apa yang dipikirkan dan terdetik di dalam hati. Tidak ada maksud dan tujuan
untuk meraih kepentingan untuk dirinya. Setiap perbuatannya dilakukan dengan senang dan
bahagia, bukan untuk menonjolkan diri, bukan untuk mencari muka. Mengalir saja. Indah
sekali perangai orang yang rendah hati itu. Ketika berhubungan dengan orang lain, tidak ada
sesuatu yang ingin dicari. Tidak ada kepentingan di dalam hatinya ketika berhubungan dengan
orang lain, selain berbuat yang terbaik bagi hamba Allah yang lain. Orang tawaduk membawa
lentera ke mana-mana. Orang rendah hati merupakan pribadi yang mengagumkan yang dapat
memuliakan orang di sekitarnya. Inilah manifestasi dari takwa yang merupakan tujuan dari
puasa yang telah kita jalani sebulan penuh.
Rabb
Jadikanlah anak-anak kami, anak yang saleh
Anak yang berbakti, anak yang berguna
Sehatkanlah badan mereka
Cerdaskanlah akal fikiran mereka
Bimbing mereka dalam sinar cahayaMu ya Allah
Rabb
Jadikanlah isteri kami, isteri yang salehah
Isteri yang bening hatinya
Isteri yang dapat membawa ke dalam ketaatan
Isteri yang menjaga kepercayaan suami
11
Rabb
Mudahkanlah urusan kami
Luluskanlah kami dalam ujian
Berilah pekerjaan bagi yang masih menganggur
Berilah jodoh yang baik bagi yang menantinya
Berilah keturunan bagi yang belum mendapatkan
Luluskanlah dan mudahkanlah bagi yang masih belajar
Rabb
Muliakanlah kami di dunia dan di akhirat
Sekolah
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS)
Centre Asie du Sud-Est (CASE)
Bureu 732, 54 Bd. Raspail 75006, Paris, France.
Rumah
12 rue Boucry (Batiment Rue, 4e étage, porte droite)
75018 Paris, France.
(+33) 6 46 41 43 33
(+33) 9 52 58 51 83
Indonesia
Cibening RT. 007 RW. 03 No. 9
Bintara-Jaya Bekasi Barat 17136 Bekasi
Telepon (62-21) 864 53 11
Faks (62-21) 864 54 54