Anda di halaman 1dari 9

PERAN JURU SITA PENGADILAN AGAMA PASCA DIUNDANGKANNYA UU. NO. 7 TAHUN 1989 SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UU.

NO 3 TAHUN 2006 1
Oleh; Anis Trimurti Wahyuningsih, SH. 2

A. SEKILAS TENTANG PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Sebelum memasuki tentang peradilan agama di Indonesia, kita perlu untuk mengetahui dua kata yang sangat terkait yaitu kata "peradilan" dan "pengadilan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa kata "peradilan" menunjuk segala sesuatu mengenai perkara pengadilan, dan kata "pengadilan" memiliki arti : (1) dewan atau majelis yang mengadili perkara/mahkamah; (2) proses mengadili; (3) sidang hakim ketika mengadili perkara; dan (4) rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.3 Abdul Gani Abdullah mengemukakan bahwa istilah peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya dan keadilan.4 Sedangkan pengadilan berarti tempat di mana dilakukan peradilan, yakni majelis hukum atau mahkamah. 5 Kata Peradilan Agama adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu "Godsdienstige Rechtspraak". Godsdienstige berarti ibadah atau agama, adapun kata rechtspraak berarti peradilan. Dalam perundangan Belanda istilah godsdienstige rechtspraak dipakai sebagai pemisahan dari peradilan umum, yang lebih bersifat keduniawian atau dikenal dengan istilah wereldlijke rechtpraak. 6 Istilah lain yang dipergunakan di Jawa-Madura adalah "priester raad yang biasa diterjemahkan dengan raad adalah agama kemudian kata priester berarti kiai, pendeta, padri atau biksu, nama tersebut digunakan oleh Belanda, karena mereka mengira bahwa alim ulama dalam masyarakat Indonesia adalah semacam pendeta atau padri dalam agama Kristen. Sedangkan kata raad berarti majelis. 7

Judul ini dibuat sebagai salah satu persyaratan UPKP (Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat) dilingkungan Peradilan Agama. 2 Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Jombang. 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal 7. 4 Abdul Gani Abdullah, Badan Hukum Syara' Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi mengenai Peradilan Agama, Disertasi, (IAIN Syahid Jakarta,1987), hal 10. 5 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,1980), hal 15. 6 Ibid. 7 Ibid.

R. Wirjono Projodikoro, seorang guru besar di bidang hukum, menyebut Peradilan Agama dengan istilah Peradilan Agama Islam.8 Pengertian "Peradilan Agama" dalam perundang-undangan dinyatakan dalam Indirche Staatsregeling (disingkat I.S.) pasal 134 ayat 2 berbunyi, "Penyelesaian perselisihan Hukum Perdata antara orang Islam dengan orang Islam yang harus diputuskan menurut hukum agamanya.9 Untuk Jawa dan Madura ada peraturan termuat dalam Staatsblad 1882-152 dan kemudian ditambah dan diubah, oleh Staatblad 1937116. Menurut pasal 2a dari peraturan ini. Pengadilan-pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang-orang Islam mengenai nikah-kawin, talak, rujuk, perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan dan pemenuhan syarat taklik.10 Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, namun belum bisa diidentikkan dengan Peradilan Islam secara universal, di samping itu pula bahwa Peradilan Agama bersifat khusus, kekhususannya karena Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara perdata yang melingkupi agama nonmuslim dan perkara pidana, melainkan hanya perkara perdata Islam yang sangat terbatas, dan dipandang dari para pencari keadilan yang diurusnya juga tidak mencakup semua orang tetapi hanya orang-orang tertentu, yaitu yang termasuk kategori beragama Islam. Sekarang Peradilan Agama ditetapkan melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat 2 disebutkan bahwa, Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Kedudukan Peradilan Agama menjadi semakin kuat.11 Yang memuat beberapa perubahan yang signifikan, yaitu : 12 Pertama, sejak berlakunya UU. No. 7 Tahun 1989 semua aturan perundangundangan mengenai Peradilan Agama sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi,
R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung,1992), hal 44. Zaini Ahmad Noah, Loc. Cit. 10 R. Wirjono Projodikoro, Op. Cit., hal. 44-45 11 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1989), hal 6-7. 12 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 126-129. lihat juga dalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
9 8

dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia didasarkan kepada peraturan yang sama dan seragam. Kedua, mengenai kedudukan pengadilan, sebelum berlakunya UU. No. 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sebelumnya tercermin adanya pengukuhan atas putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, putusan Pengadilan Agama perlu adanya Follow UP atau semacam tindak lanjut terhadap putusan yang diistilahkan dengan (Fiat Eksekusi), untuk menjalankan paksa putusan (eksekusi) oleh Juru Sita (deuwarder), termasuk sita jaminan (conservatoir beslag) atau sita untuk mendapatkan kembali barangnya (revindicatoir-beslag), hal itu masih harus meminta bantuan kepada badan Peradilan umum, karena Peradilan Agama belum memiliki Jurusita sendiri, ini problemnya, Pengadilan Agama waktu itu bisa diistilahkan peradilan yang semu belaka, namun dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 setiap putusan oleh Pengadilan Agama tidak perlu lagi meminta bantuan atau pengukuhan oleh Peradilan Umum, termasuk dalam perihal Juru Sita.13 maka dengan lahirnya Undang-undang ini, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh Juru Sita, yang merupakan pranata baru dalam susunan organisasi Pengadilan Agama. Ketiga, kedudukan hakim, menurut ketentuan Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung, hal ini sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum. Keempat, tentang wewenang pengadilan, menurut ketentuan Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 49 ayat (1), "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama orangorang beragama Islam di bidang: a). perkawinan; b). kewarisan, c). wasiat, d). hibah, e).wakaf dan f). shadaqah." yang peradilannya dilakukan berdasarkan hukum Islam; Kelima, tentang hukum acara, menurut Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 54, hukum acara yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

13

Roihan A. Rasyid, Op. Cit., hal. 12.

Keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan yang meliputi administrasi peradilan dan administrasi umum. Ketujuh, adanya perlindungan terhadap wanita, yaitu bahwa gugatan perceraian tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat, tetapi kepengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. B. JURU SITA PENGADILAN AGAMA PASCA UU. NO. 7 TAHUN 1989 Kedudukan Juru Sita pada Pengadilan Agama diatur dalam pasal 38 UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti". Maka selanjutnya pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Juru Sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Dalam pasal 103 UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 10, 13,16 KMA/004/Sk/11/92, tercantum bahwa tugas juru sita sebagai berikut : Juru Sita bertugas: 1. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang; 2. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undangundang; 3. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan; 4. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihakpihak yang berkepentingan. Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam putusan, yaitu putusan akhir (eindvonnis) dan putusan sela (tussenvonnis). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata yang diperiksa oleh hakim, sedangkan putusan sela adalah yang diadakan sebelum hakim memutuskan perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau mempermudah pemeriksaan lanjutan terhadap perkara. Dalam putusan sela ada dua jenis putusan yaitu putusan praeparatoir, yaitu Putusan yang tidak mempengaruhi akan bunyi putusan akhir, dan putusan interlocutoir yaitu putusan yang dapat mempengaruhi bunyi putusan akhir.14 Sedangkan putusan hakim menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan, yaitu:
14

R. Wirjono Projodikoro, Op. Cit., hal. 127.

1. Putusan declaratoir, yaitu putusan yang bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya, bahwa A adalah anak angkat yang sah dari X dan Y, atau bahwa A, B, dan C adalah ahli waris dari almarhum X. 2. Putusan constitutif, yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Contohnya, adalah putusan perceraian. 3. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, di mana pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan nafkah iddah, mutah, nafkah anak, dan sebagainya. Pada umumnya dalam suatu putusan Hakim memuat beberapa macam putusan, atau dengan perkataan lain merupakan penggabungan dari putusan declaratoir dan putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan condemnatoir dan sebagainya.15 Dalam hal pemanggilan pihak-pihak, kewajiban petugas telah diatur dalam pasal 388 H.I.R. (Herziene Inlandsch Reglement), bahwa: 1. Untuk menjalankan panggilan, pemberitahuan, atau untuk melakukan perintah hakim, putusan hakim, sama-sama berhak dan diwajibkan kapada Juru Sita untuk bekerja (memenuhi) perintah majelis pengadilan tersebut. 2. Jika tidak ada jurusita, maka ketua majelis pengadilan, yang dalam pegangannya surat Juru Sita itu akan dijalankan, harus menunjuk seorang yang patut dan boleh dipercayai untuk pekerjaan itu. Dalam pasal 390 H.I.R. menentukan, bahwa: 1. Tiap-tiap surat Juru Sita, kecuali yang tersebut di bawah ini, harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tinggalnya, dan jika tidak bertemu yang bersangkutan, akan disampaikan malalui kepada kepala desanya, atau perangkat desa, yang kemudian wajib dengan segera

memberitahukan surat Juru Sita itu kepada orang itu sendiri, akan tetapi hal itu tidak perlu dinyatakan dalam hukum. 2. Tentang orang yang sudah mati, maka surat panggilan Juru Sita itu disampaikan kepada ahli warisnya, jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada kepala desa atau perangkat desa di tempat tinggal dari orang yang mati itu,

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1995), 1995), hal. 1

15

maka kepada desa atau perangkat desa itu harus berbuat sebagaimana teratur pada ayat di atas. 3. Tentang orang yang tidak diketahui tempat diamnya atau tinggalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat Juru Sita itu disampaikan kepada bupati, yang dalam pegangannya terletak tempat tinggal orang yang menggugat, dan dalam perkara pidana yang dalam pegangannya berkedudukan hakim yang berhak, bupati itu memaklumkan surat Juru Sita dengan menempelkan pada pintu yang terbesar di tempat persidangan hakim yang berhak.16 C. JURU SITA PENGADILAN AGAMA PASCA ADANYA UU. NO. 3 TAHUN 2003 TENTANG PERADILAN AGAMA Dengan adanya perubahan undang-undang sebagaimana dimaksud, yaitu Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama telah bertambah, yaitu menjadi sembilan bidang tugas peradilan agama, yaitu ; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah dan ekonomi syariah 17. Terkait dengan Juru Sita yang dahulu diatur oleh UU. No 7 tahun 1989 pada pasal 103 sebagaimana tersebut diatas, ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama sama sekali tidak ada perubahan tugas dan fungi Juru Sita /Juru Sita pengganti, maka dalam hal ini Peradilan Agama Jombang yang notabene merupakan peradilan khusus dan menganut asas personalitas keIslaman telah melaksanakan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku pula.

D. PERANAN JURU SITA DI PENGADILAN AGAMA Kedudukan Juru Sita dalam struktur organisasi Peradilan Agama jelas bahwa kedudukan Juru Sita memiliki koordinasi dengan Panitera, dimana kedudukan tugasnya membantu Panitera, sebagaimana tersebut dalam pasal 26 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa, "Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita." Adapun tugas-tugas Juru Sita dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA secara jelas termaktum dalam pasal 103, sebagaimana dijelaskan di atas.

16 17

Ibid, hal. 95-96 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesdia Pasca UU. No 3 tahun 2006 , UII Press, 2007,

hal 80.

Kemudian secara lebih spesipik, pada Pengadilan Agama, Juru Sita memiliki tugas-tugas yang lebih rinci, karena Juru Sita pada pelaksanaan tugasnya lebih menitikberatkan pada bidang pekerjaan teknis, tugas-tugasnya tersebut meliputi: 1. Bertanggungjawab atas sah dan patut tugas keJuru Sitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas Juru Sita Pengganti secara vertikal dan horizontal; 3. Melaksanakan surat perintah Ketua Pengadilan melaksanakan penyitaan terhadap obyek sengketa tertentu dalam perkara; 4. Betanggungjawab terhadap misi dan visi serta integritas citra pengadilan yang terkait dengan pelaksanaan tugas keJuru Sitaan; 5. Meneliti instrument dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat para pihak yang akan dihubungi; 6. Mempersiapkan blanko-blanko dan surat keJuru Sitaan yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan; 7. Mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang bersangkutan; 8. Menyampaikan surat-surat keJuru Sitaan kepada alamat yang bersangkutan; 9. Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan alokasi waktu sidang agar klasifikasi surat menjadi patut; 10. Mengupayakan penyampaian surat keJuru Sitaan agar benar-benar diterima oleh pihak yang berhak atau yang berwenang sehingga klasifikasi surat menjadi sah; 11. Berusaha menyampaikan surat keJuru Sitaan pada saat waktu dan tempat yang tepat agar berhasil guna dan berdayaguna; 12. Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan; 13. Menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang berkepentingan; 14. Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta otentik kepada pihak yang berkepentingan; 15. Menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang situasi di lapangan; 16. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas.

D. PENUTUP SEKALIGUS SEBAGAI KESIMPULAN Peranan Juru Sita di Pengadilan Agama tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh kejurusitaan, tugas-tugas Juru Sita di Pengadilan Agama tercantum dalam pasal 103 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU. No. 3 tahun 2006 yang penulis jelaskan diatas. Bahwa UU. No. 7 tahun 1989 pada pasal 103 yang menjelaskan tugas dan fungsi Juru Sita/Juru Sita pengganti, dengan adanya perubahan undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama sama sekali tidak merubah tugas dan fungi Juru Sita /Juru Sita pengganti.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Gani Abdullah, Badan Hukum Syara' Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi mengenai Peradilan Agama, Disertasi, IAIN Syahid Jakarta,1987. Amrulah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Cik Hasan Bisri (peny.), Peradilan Islam di Indonesia, Bandung: Ulil Albab Press, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1992. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995. Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1989. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Umar, Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (Menurut Teori dan Praktek), Garut: Al-Umaro, t.th. Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adrian, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina I1mu,1980. Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Hikmah, t.th.

Anda mungkin juga menyukai