Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002 69

H
ama Penggerek Buah Kakao (PBK)
telah beberapa kali berganti nama
ilmiah. Pada tahun 1902 Zehntner
memberi nama Zaratha cramerella Zr,
kemudian Snellen memberi sebutan
Gracilaria cramerella, Acrocercops
cramerella Snellen, dan terakhir dengan
sebutan Conopomorpha cramerella
(Lepidoptera, Lithocolletidae) (Wessel,
1983). Perubahan nama umum PBK dari A.
cramerella Snellen menjadi C. cramerella
Snellen ini telah ditetapkan oleh Bradley
(1985). Namun sebutan ilmiah dan
identitas PBK telah diklarifikasi dan
dibedakan ke dalam beberapa spesies,
yaitu Conopomorpha oceanica sp.n., C.
sinensis sp.n., dan C. litchiella sp.n.
(Bradley, 1986), meskipun spesies-spesies
PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella
Snellen) DAN PENANGGULANGANNYA
Fredrik Depparaba
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jl. Lasoso No. 62 Biromaru, Sulawesi Tengah
ABSTRAK
Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan hama utama pada ekosistem kakao. Hama ini bersifat homodinamik
dan endemik. Para ahli entomologi melaporkan bahwa PBK berasal dari spesies yang sama dengan spesies yang
menyerang buah rambutan tetapi biotipenya berbeda. Biotipe tersebut dapat beradaptasi pada buah kakao, selanjutnya
memencar dan hidup pada suatu daerah. Penyebaran PBK sejalan dengan adanya perluasan areal tanam kakao dan
introduksi bahan tanaman. Serangan PBK dapat menyebabkan kerusakan buah dan kehilangan produksi biji 82,20%.
Penanggulangan PBK sangat terkait dengan bioekologi hama tersebut, dan petani sebagai pelaku pengendalian,
terutama yang terkait dengan motivasi, sikap, kepedulian, budaya asli, pengetahuan lokal, dan kondisi sosial
ekonomi. Cara-cara penanggulangan PBK yang dapat dipadu dengan pengalaman petani adalah: 1) panen lebih
awal dengan interval 57 hari, agar siklus hidup PBK dapat terputus, 2) panen semua buah menjelang akhir masa
panen selama 12 bulan, disertai pemetikan buah matang yang ada di sekitar kebun sayuran, rambutan, nam-nam,
kola, mangga, serikaya, belimbing, jeruk, dan langsat, 3) membersihkan serasah di permukaan tanah, mengurangi
naungan yang terlalu rapat dengan pemangkasan cabang-cabang horizontal, 4) mematikan kutu putih, kutu hijau,
dan Aphis sp. penghasil embun madu sebagai pakan ngengat PBK, 5) menghindari penggunaan pestisida guna
melestarikan musuh alami PBK, serta tanaman penghasil nektar dipertahankan agar bisa menunjang kelangsungan
hidup musuh alami perlu diusahakan, 6) mengisolasi kebun kakao dari ladang-ladang kecil ("small holder") dengan
"barier" paling sedikit 300 m dan bebas dari tanaman inang alternatif PBK.
Kata kunci: Kakao, penggerek buah, Conopomorpha cramerella, ekobiologi, metode penanggulangan
ABSTRACT
Cacao moth and its control measures
Cacao moth is an important pest at the cacao ecosystem. Characteristic of pest is homo dynamic and
endemic, which is very different to other pests. However, the entomologists reported that the cacao moth species
in Indonesia is the same with the rambutan moth, but their biotypes are different. The biotype or strain adapted
to cacao, can distribute and life in the area. The presence of insects are caused by both expansion of cacao planting
acreage and introduction of cacao plant materials to the cacao production areas. It causes fruit destruction with
loss of seed production of 82.20%. Control measures of cacao moth are interrelated with bioecology of pest, and
farmers as controlling agent. However, it is necessary to understand motivation, attitude and attention of farmers
as well as their local experiences, social and economic conditions. The control methods of cacao moth that can
be integrated with farmer's motivation and experiences are as follows: 1) earlier harvesting followed by 57 days
interval harvesting, to cut life cycle of cacao moth, 2) harvest all fruit during 12 months, and followed by
harvesting mature fruits of alternative hosts, such as Nephelium lappaceum, Cynometra cauliflora, Cola nitida,
Mangifera indica L, Anona squamosa, Averrhoa carambola L, Citrus sinensis L, Lansium domesticum L., 3)
garden sanitation by cleaning up garbages on soil surface, reduce plant coverage by prunning horizontal branches,
4) kill white fleas, green fleas and Aphis sp. which are honeydew producer as food of cacao moth. Those practices
will limit the population of pupae and the moth, 5) avoid utilization of pesticide to conserve natural enemy of
cacao moth, but maintain nectars-producing plants to support the life of natural enemy, 6) isolate borders among
small holders at least 300 m and free from alternative host plants of cacao moth.
Keywords: Cacao, fruit damaging insects, Conopomorpha cramerella, ecology, biology, control methods
70 Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
ini belum mendapat pengakuan dari para
ahli entomologi. Spesies penggerek buah
lain menurut Tay dan Bong (2000) adalah
Crytophlebia encarpa Meyr.
PBK merupakan serangga hama
spesialis dan homodinamik yang hidup-
nya bergantung pada ketersediaan buah
kakao di kebun (Lim, 1986). Hama ini
dilaporkan terdapat di berbagai daerah di
Indonesia dan menyebar melalui bahan
tanaman dan adanya fenomena "ras
biologi" dari populasi asalnya yang hidup
pada buah rambutan (Zehntner, 1902
Dalam Wardojo, 1981), meskipun Rusnah
et al. (1985) membedakan antara
penggerek buah yang hidup pada buah
kakao di Sabah (Tawao) dan penggerek
buah yang hidup pada buah rambutan di
Pucung (Selangor). Asumsi Rusnah et al.
(1985) tersebut sejalan dengan adanya
klarifikasi bahwa C. cramerella dibedakan
ke dalam beberapa spesies sebagaimana
dikemukakan Lim (1992).
Spesies-spesies PBK tersebut kini
telah menyebar ke berbagai daerah per-
tanaman kakao di Indonesia. Pemencaran
hama ini telah mencemaskan berbagai
pihak yang terkait dengan industri kakao,
karena dapat mengancam kelangsungan
perkebunan kakao di kawasan Asia
Tenggara yang kini beranjak menjadi
salah satu pusat produksi kakao dunia
(Wardojo,1994). Ancaman yang men-
cemaskan itu terkait dengan areal
serangan yang telah merambah ke
berbagai daerah di Indonesia, antara lain
Maluku 8.479 ha, Kalimantan Timur 8.043
ha, Sulawesi Tengah 4.569 ha, Sulawesi
Utara 150 ha, dan Sumatera Barat + 465 ha
(Madry, 1994). Areal yang terserang
tersebut dapat lebih meningkat lagi pada
masa kini. Berdasarkan laporan surat kabar
harian Fajar September tahun 2000, PBK
telah menyerang perkebunan kakao 2.140
ha di Kabupaten Polmas, Sulawesi
Selatan. Demikian pula di Kabupaten
Mamuju, Sulawesi Selatan, berdasarkan
laporan surat kabar Sinar Tani 2001,
serangan PBK mencapai 700 ha. Serangan
PBK tersebut tidak saja merugikan petani
dan pengusaha kakao, tetapi juga
menurunkan devisa negara, karena
produksi dan mutu biji menurun.
Kerusakan serius menurut Wardojo (1980)
dapat menyebabkan kehilangan produksi
biji sebesar 82,20%.
Penelitian sudah banyak dilakukan
untuk mengetahui sifat hama PBK dan
arah penanggulangannya, namun hasil-
nya tidak selalu memuaskan. Selain itu,
harga biji kakao yang relatif sama antara
yang sehat dan yang rusak akibat
serangan hama PBK dapat menurunkan
motivasi dan kepedulian petani dalam
penanggulangan PBK. Bukan itu saja,
teknologi penanggulangan PBK yang ada
belum berbasis pada motivasi dan
kepedulian petani, serta belum mem-
perhitungkan aspek sosial budaya petani.
Untuk itu partisipasi petani sebagai arus
bawah dalam pengembangan teknologi
pengelolaan hama PBK sangat di-
harapkan.
SEJARAH DAN
PEMENCARAN
Populasi PBK yang hidup pada buah
kakao merupakan ras biologi, setelah
memisah dari populasi asalnya yang hidup
pada buah rambutan (Roepke, 1917).
Timbulnya ras biologi yang hidup pada
tanaman kakao ini diasumsikan hanya
sekali dalam tiga abad yang terjadi di
Filipina. Keturunannya kemudian masuk
ke Pulau Jawa melalui buah sejalan dengan
penyebaran kakao Criollo melalui Sulawesi
(Wardojo, 1981). Asumsi ini memberi
pemikiran ke arah pemencaran hama
tersebut, setelah Shah (1987) melaporkan
bahwa di Filipina PBK sudah lama menjadi
hama serius yang merusak buah kakao.
PBK diduga memencar masuk ke
Indonesia melalui Sulawesi Utara. Dugaan
ini diperkuat oleh keberhasilan PBK
beradaptasi pada buah kakao di Sulawesi
Utara, meskipun adaptasi ini telah terjadi
sejak tahun 1860 (Anonimous, 1987; Lim,
1992; Wardojo, 1981).
Setelah berhasil memisah dari
populasi asalnya dan beradaptasi pada
buah kakao di Sulawesi Utara, PBK
kemudian dilaporkan memencar ke arah
timur, selatan, dan barat sejalan dengan
pengembangan penanaman kakao. Pada
tahun 1880, PBK ditemukan di Jawa
Tengah namun belum menimbulkan
kerusakan yang berarti. Kerusakan berat
baru terjadi pada tahun 1895 (Wessel,
1983). Pada tahun 1901 PBK ditemukan di
Jawa Timur. Akibat serangan PBK yang
cukup parah pada tahun 1936, pertanaman
kakao di daerah ini dimusnahkan dan
penanaman kembali dilakukan pada tahun
1951. Sejak tahun 1956, di kebun Pasir
Muncang, Jawa Barat ditanam kakao mulia
DR1, DR2, dan DR38. Sepuluh tahun
kemudian areal pertanaman kakao tersebut
dilaporkan terserang hama PBK (Wardojo,
1980).
Pemencaran PBK ke berbagai daerah
di Indonesia terjadi sejalan dengan
penyebaran klon-klon DR dari Jawa
Tengah. Pada saat ini, PBK dilaporkan
telah terdapat di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau,
dan Pulau Jawa. Keberadaan PBK di
Sumatera Utara disebabkan daerah
tersebut berdekatan dengan daerah
serangan PBK di negara bagian Malaka,
Johor, Negeri Sembilan dan Pahang
(Malaysia). Mengingat transportasi
antara kedua daratan tersebut cukup
lancar, peluang PBK masuk ke Sumatera
Utara cukup besar. Demikian pula untuk
propinsi-propinsi di Kalimantan, peluang
daerah tersebut tertular hama PBK dari
Serawak dan Sabah yang letaknya ber-
dekatan juga cukup tinggi (Atmawinata,
1993).
Ditinjau dari letak geografis, PBK dari
daerah serangan di Malaysia berpeluang
masuk ke Sumatera Utara dan Kalimantan,
sedangkan yang dari daerah serangan di
Filipina Selatan berpeluang masuk ke
Sulawesi Utara. Hal ini memberi pemaham-
an bahwa sekali PBK masuk ke suatu
pertanaman kakao, serangga akan tetap
tinggal di tempat tersebut dan populasinya
akan berfluktuasi pada tingkat yang
menimbulkan kerusakan buah.
Timbulnya hama PBK di berbagai
daerah di Indonesia diduga berkaitan
dengan introduksi bahan tanaman kakao
(buah dan bibit) dari daerah sumber hama
PBK ke dalam pertanaman yang telah
berproduksi dalam rangka perluasan areal
tanam (Wardojo, 1981). Hal ini pernah
terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah. Hanya dalam waktu 23 tahun
setelah diintroduksi bibit kakao dari
Malaysia ke Kasimbar dan sekitarnya
(pantai timur Donggala), areal pertanaman
kakao di wilayah tersebut terserang hama
PBK. Suatu hal yang belum bisa dijelaskan
secara rasional menurut Tay (1987) adalah
pemencaran hama PBK dalam waktu yang
relatif singkat, pada areal yang terisolasi
dengan "barier" hutan atau gunung
sebagaimana pernah terjadi di Sabah
Malaysia. Pernyataan Wiryadiputra et
al. (1994) mungkin dapat menjelaskan
masalah tersebut. Perkebunan yang ter-
ekspose pada arah datangnya angin dari
areal terserang akan tertular hama terlebih
dahulu, atau di daerah terisolasi tersebut
terdapat hama PBK pada inang yang lain
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002 71
dan berhasil beradaptasi pada buah kakao
atau bibit yang ditanam di areal yang
terisolasi itu terdapat kepompong PBK
yang terbawa dari sumber bibit.
Suatu perhitungan teoritis mungkin
dapat menjelaskan pernyataan ini bahwa
satu ekor ngengat betina yang telah
dibuahi dalam waktu 4 bulan (4 generasi)
dapat menurunkan 20.000 ekor PBK
(Zehntner, 1902 Dalam Wardojo, 1981).
Jika perkembangan PBK di alam seperti
itu, maka dalam waktu singkat hama PBK
dapat menjadi wabah di suatu daerah. Dari
berbagai pendapat yang masih ber-
kontroversi itu, dapat disimpulkan bahwa
PBK bisa saja berada di suatu wilayah
tanpa harus muncul ke permukaan. Hal ini
berkenaan dengan identitas PBK yang
telah diklarifikasi oleh Bradley (1986) ke
dalam beberapa spesies yaitu C. oceanica
sp.n., C. sinensis sp.n, dan C. litchiella
sp.n. Klarifikasi dan identitas PBK ini
sesuai dengan asumsi bahwa penggerek
buah yang hidup pada buah kakao tidak
sama dengan yang hidup pada buah
rambutan (Rusnah et al., 1985). Sampai
tahun 1917, masih belum dapat dipastikan
apakah jenis penggerek yang hidup pada
buah kakao sama dengan yang hidup pada
buah rambutan (Wessel, 1983). Meskipun
demikian, para ahli entomologi melaporkan
bahwa penggerek buah yang menyerang
buah kakao di Indonesia berasal dari
spesies yang sama dengan spesies yang
menyerang buah rambutan, tetapi
biotipenya berbeda. Dari biotipe inilah
hama tersebut beradaptasi. Ooi (1992)
dalam laporannya menyebutkan bahwa
keturunan PBK berhasil beradaptasi pada
buah kakao, kemudian menyebar dan tetap
hidup di sekitar wilayah tersebut. Oleh
karena itu PBK disebut juga sebagai
serangga endemik, selalu ada di suatu
tempat atau daerah. Meskipun demikian,
pemencaran PBK di Indonesia dapat
digambarkan berdasarkan sejarah dan
penelaahan pustaka.
ASPEK BIOLOGI PBK
Siklus hidup PBK terdiri atas stadium
telur 37 hari, larva 1518 hari, pupa 68
hari, dan ngengat 37 hari (Wardojo, 1994;
Wessel, 1983). Telur berbentuk oval dan
berwarna kuning oranye pada saat baru
diletakkan. Panjang telur 0,45 0,50 mm
dan lebar 0,25 0,30 mm. Larva yang baru
keluar dari telur berwarna putih transparan
dengan panjang 1 mm. Dalam kondisi
pertumbuhan penuh, panjang larva
mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda.
Pupa berwarna kecoklatan, panjang 78
mm dan lebar 1 mm. Ngengat (serangga
dewasa), memiliki panjang tubuh 7 mm
dan lebar 2 mm, rentang sayap depan 12
mm. Warna dasar ngengat adalah coklat
dengan warna putih berpola zig-zag
sepanjang sayap depan dan "spot"
oranye pada ujung sayap (Snellen, 1904;
Wessel, 1983).
Telur diletakkan pada permukaan
buah yang berlekuk. Semakin besar ukuran
buah makin besar pula peluang diteluri.
Larva yang baru keluar dari telur langsung
masuk ke dalam buah dan tinggal di dalam
buah selama 1214 hari bahkan sampai 18
hari sebelum keluar untuk berkepompong
(Wardojo, 1994; Wessel, 1983). Buah yang
berukuran 57 cm dan yang sangat muda
tidak pernah terserang PBK (Wardojo,
1994). Larva memakan jaringan yang
lunak seperti pulp, plasenta, dan saluran
makanan yang menuju biji. Kerusakan
pada pulp mengakibatkan biji saling
melekat dan juga melekat pada dinding
buah (Gambar 1). Kerusakan plasenta
dapat menyebabkan semua biji rusak dan
tidak berkembang. Jaringan buah yang
telah rusak tersebut menimbulkan
perubahan fisiologis pada kulit buah
sehingga buah tampak hijau berbelang
merah atau jingga (Wardojo, 1994). Belum
pernah ada laporan tentang predator,
parasitoid atau patogen yang menyerang
larva. Kalaupun ada, larva tidak akan
terjangkau musuh alami karena selama
hidupnya berada di dalam buah. Larva
juga tidak terjangkau oleh insektisida
karena terlindung di dalam buah.
Setelah mengakhiri perkembangan-
nya di dalam buah, larva (prapupa)
berhenti makan dan ke luar dari buah
melalui lubang-lubang gerekan pada kulit
buah, selanjutnya larva melekat pada buah
yang sama atau menjatuhkan diri dan
melekat pada buah lainnya atau pada daun,
cabang, batang, dan serasah di atas tanah.
Larva prapupa juga dapat melekat dan
berkepompong pada bahan apa saja yang
ada di kebun. Setelah 7 hari, kepompong
pecah dan ngengat keluar. Ngengat dapat
bertahan hidup 37 hari untuk berpindah
tempat, kawin dan bertelur. Ngengat PBK
berukuran + 7 mm, kecil, lembut sehingga
jarak terbangnya tidak jauh (Wardojo,
1994; Wessel, 1983).
Aktivitas ngengat untuk kawin dan
bertelur terjadi pada pukul 18.00 07.00
dengan puncaknya pada pukul 04.00
05.00 (Lim dan Pan, 1986). Setelah kawin
ngengat akan meletakkan telur pada buah
kakao. Kondisi cuaca yang sesuai bagi
ngengat untuk bertelur adalah pada
curah hujan 100200 mm/bulan (Lim,
1986). Pada siang hari ngengat ber-
sembunyi di tempat yang terlindung dari
sinar matahari, yaitu pada bagian bawah
cabang horizontal. Seekor ngengat betina
dapat menghasilkan telur 100200 butir
(Wardojo, 1980).
Gambar 1. Kerusakan buah kakao akibat serangan penggerek buah kakao (kiri),
buah sehat (kanan).
72 Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Perkembangan PBK sangat di-
pengaruhi oleh curah hujan, kelembapan
kebun dengan naungan rapat dan
ketersediaan buah. Sekitar 72% buah
kakao dapat menunjang satu generasi,
21% dua generasi, dan 7% tiga generasi.
Populasi PBK umumnya rendah pada
musim hujan dan serangan tinggi terjadi
pada kondisi tanaman kakao dengan
naungan lengkap (Lim, 1984; Wardojo,
1981). Musim yang sangat kering atau
sangat basah dapat mengurangi populasi
PBK (Lim, 1986).
PBK adalah "ras biologi" dan telah
berhasil beradaptasi pada buah kakao
setelah memisah dari populasi asalnya
yang hidup pada buah rambutan
(Nephelium lappaceum). Hal ini didasari
dari serangkaian penelitian yang telah
dilakukan sejak tahun 19001950 oleh
Zehntner dan kawan-kawan dan beberapa
hasil penelitian yang lain. Hasil-hasil
penelitian tersebut memberi informasi
bahwa penggerek buah yang serupa
dengan PBK juga hidup pada buah
rambutan, mangga (Mangifera indica L.),
serikaya (Anona squamosa L.) , belimbing
(Averhoa carambola L.), duku atau langsat
(Lansium domesticum L.), Nangka
(Artocarpus integra Merr.), dan Jeruk
(Citrus sinensis L.) (Zehntner, 1901).
Tanaman lain yang juga sebagai inang
hama tersebut antara lain adalah kola
(Cola nitida) dan nam-nam (Cynometra
cauliflora) (Roepke, 1917), kasai (Pometia
pinnata), dan pulasan (Nephelium
mutabile) (Ooi, 1986), serta matakucing
(Nephelium malaiense) (Shamsuddin dan
Vijaysegaran, 1983 Dalam Lim, 1992).
ARAH PENANGGULANGAN
Penanggulangan PBK diarahkan
pada pertanaman kakao yang telah
berproduksi di areal perkebunan rakyat
yang sebagian besar merupakan per-
kebunan dengan areal terbatas. Agar
penanggulangan dapat terlaksana dan
berkelanjutan perlu ada motivasi,
kepedulian dan minat petani sebagai
pelaku penanggulangan PBK. Komponen
perilaku petani tersebut hendaknya
menjadi dasar dalam pengambilan PBK.
Mosipetani dalam pengertian ini adalah
kepercayaan diri petani yang dilandasi
keyakinan akan keberhasilan upaya
penanggulangan PBK, karena ada
dorongan yang timbul dari diri mereka. Hal
ini tentu berkaitan dengan tujuan dan
kepuasan yang hendak mereka capai.
Dalam kaitannya dengan penang-
gulangan hama PBK, komponen perilaku
tersebut sangat berpengaruh. Petani akan
bermotivasi kuat mengusahakan kakao
karena usaha ini dinilai menguntungkan,
sedangkan petani bermotivasi kurang
kuat karena mereka sekedar ikut-ikutan
mengusahakan kakao. Motivasi yang
lemah dapat saja terjadi karena belum
sesuai dengan kosmovisi petani. Dari
motivasi ini kemudahan akan muncul
sikap dan kepedulian yang berbeda dalam
menanggulangi hama PBK. Petani yang
bermotivasi kuat akan bertanggungjawab
sebagai pelaku penanggulangan hama
PBK, sedangkan petani dengan motivasi
lemah kurang respons terhadap upaya
penanggulangan hama tersebut.
Untuk membangkitkan motivasi ini
perlu partisipasi petani dan pemahaman
terhadap kosmovisi dan pengetahuan
lokal petani. Kosmovisi petani dalam
pengertian ini adalah pemahaman budaya
asli petani yang digambarkan ke dalam
hubungan interaksi antara spiritual, alam
dan usaha tani, sedangkan pengetahuan
lokal petani diartikan sebagai pengetahuan
dan pengalaman petani dalam berusaha
tani (Millar, 1992). Dikemukakan pula
bahwa kosmovisi petani merupakan
tenaga penggerak yang sangat kuat dalam
kegiatan usaha tani, dimana budaya dan
religius merupakan faktor yang penting.
Di dalam pandangan kosmovisi ini, petani
percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
melalui para Dewa yakni Dewa hujan,
tanah dan matahari, memuja Tuhan dan
para Dewa di tempat-tempat yang mereka
anggap sakral, percaya dan menghargai
roh-roh leluhur, menghargai tokoh-tokoh
agama dan pemuka desa. Apabila
kepercayaan ini mereka langgar, maka
usaha tani tidak akan berhasil sesuai
dengan harapan dan muncul wabah hama/
penyakit.
Cara-cara penanggulangan hama
PBK yang dapat dipadu dengan
kosmovisi petani adalah sebagai berikut:
Seremonial
Seremonial atau upacara dilakukan
apabila telah terjadi suatu serangan hama/
penyakit. Upacara dilakukan dengan
menghimpun masyarakat dan pimpinan
tetua adat atau kepala suku, untuk
memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar wabah hama/penyakit di suatu
desa dapat segera berhenti atau dapat
dikendalikan oleh masyarakat setempat.
Hal ini terkait dengan pelanggaran ter-
hadap hukum-hukum alam di suatu desa.
Kurban Persembahan
Kurban persembahan dilakukan
dengan menyembelih hewan tertentu
untuk menghargai leluhur dan pendiri
desa seraya memohon doa secara khusuk
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar
usaha tani atau tanaman mereka tidak
terserang hama. Upacara ini didahului
konsultasi dengan pemimpin desa, tetua
adat, paranormal, dan tokoh-tokoh agama
setempat.
Pengendalian Hama
Sebelum mereka melakukan upaya
pengendalian hama sesuai kebiasaan,
terlebih dahulu mereka memperoleh
petunjuk dari paranormal (pawang hujan,
dukun, ahli nujum, tenaga spesial), di mana
unsur budaya dan religius sangat penting.
Hal ini dilakukan untuk menentukan waktu
yang tepat untuk mengendalikan hama.
Waktu ini biasanya dikaitkan dengan
kalender atau hari-hari baik, misalnya
Senin Kliwon, Selasa Legi, Rabu Pon,
Kamis Wage, Jumat Legi, Sabtu Pon,
Minggu Pon atau Wage. Adapula yang
mengkaitkannya dengan bulan langit, hari
ketujuh setelah bulan purnama adalah
waktu yang baik untuk melakukan upaya
pengendalian.
Terdapat pula cara-cara umum
penanggulangan PBK yang telah baku
dilakukan, yang dapat dipadu dengan cara-
cara penanggulangan yang telah disebut-
kan. Cara umum tersebut antara lain
adalah:
Panen
Pengalaman di lapang, menunjukkan
bahwa pada buah dengan warna kuning
berbelang hijau di daerah serangan PBK,
terdapat lubang gerekan tempat larva pra-
pupa keluar untuk berkepompong. Karena
itu, panen pada saat buah menjelang
matang menyebabkan larva di dalam buah
akan ikut terpanen. Panen lebih awal
tersebut dilanjutkan panen terus menerus
dengan interval 57 hari. Buah yang
mengandung larva dipisahkan dari buah
yang sehat, selanjutnya dibenamkan ke
dalam tanah atau dikumpulkan kemudian
dibakar.
Rampasan
Metode rampasan sudah dipraktek-
kan sejak tahun 1900, jauh sebelum
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002 73
tulisan Zehntners dipublikasi. Rampasan
dilakukan dengan cara merampas atau
memetik semua buah kakao yang ada di
pohon agar siklus hidup PBK terputus.
Saat yang baik untuk melakukan rampasan
adalah pada waktu jumlah buah matang di
pohon sedikit atau menjelang akhir masa
panen. Jangka waktu rampasan menurut
Wurth (1909) Dalam Knaap (1955) adalah
12 bulan. Rampasan buah kakao
hendaknya disertai dengan pemetikan
buah-buah matang yang ada di sekitar
kebun yang menjadi inang alternatif PBK,
antara lain rambutan, nam-nam, kola,
mangga, serikaya, belimbing, jeruk, duku
(langsat), dan nangka.
Sanitasi
Sanitasi kebun dapat dilakukan
dengan cara membersihkan ranting yang
ada di dalam kebun, baik yang kering di
pohon maupun yang ada di permukaan
tanah serta membersihkan serasah di
permukaan tanah dan membakarnya.
untuk mematikan atau mengurangi
kepompong PBK. Mengurangi naungan
yang terlalu rimbun dan memangkas
cabang-cabang horizontal merupakan
upaya penyederhanaan lingkungan
kebun, agar tidak disenangi ngengat untuk
berlindung. Menurut Roepke Dalam
Wessel (1983), ngengat PBK juga
menyenangi embun madu yang dihasilkan
kutu putih, Aphis sp. dan kutu hijau.
Karena itu, serangga tersebut perlu
dimusnahkan agar pakan alami ngengat
PBK tidak tersedia. Dengan demikian,
populasi kepompong dan ngengat bisa
dibatasi.
Konservasi Musuh Alami
Musuh alami PBK yang ada di sekitar
ekosistem kebun antara lain adalah
predator telur jenis semut hitam
Dolichoderus bituberculatus Mayr (Van
der Goot, 1917 Dalam Wessel, 1983),
enam parasitoid pupa yaitu Dinglyptidae
roepke, Photoptera erythronota,
Mesostenus sp., Goryphus javanicus, G.
mesoxanthus, G. fasciatipennis (Roepke,
1917 Dalam Wessel, 1983; Ooi, 1987
Dalam Ooi, 1992). Parasitoid-parasitoid
pupa tersebut tergolong famili Ichneumo-
nidae. Parasitoid telur diketahui juga
terdapat di alam, yaitu Trichogramma-
toidae bactrae fumata (Ooi, 1987). Musuh
alami tersebut perlu dikonservasi agar
kelangsungan hidupnya berkelanjutan.
Namun, konservasi musuh alami ini
bertentangan dengan penggunaan
insektisida untuk mengendalikan. Larva
PBK yang peka racun, tidak terjangkau
oleh insektisida karena terlindung di dalam
buah. Selain itu, harga insektisida juga
mahal sulit bagi petani dan penyebab
pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup. Karena itu, sebaiknya tidak
menggunakan insektisida. Musuh alami
tersebut umumnya menyenangi nektar
yang terdapat di sekitar kebun, karena itu
bunga-bunga tumbuhan penghasil nektar
sebaiknya dipertahankan.
Isolasi Jalur Hijau
Perkebunan kakao yang berbatasan
atau berdekatan dengan lahan petani,
cukup potensial sebagai tempat masuknya
hama PBK dari luar. Hal ini sangat
membahayakan areal pertanaman kakao di
sekitarnya. Oleh karena itu, perkebunan
yang telah terinfeksi tersebut perlu
diisolasi dengan "barier" paling sedikit
300 m dan bebas dari tanaman inang
alternatif PBK (Roepke, 1912; Wurth, 1909
Dalam Wessel, 1983).
Dalam kaitan dengan upaya penang-
gulangan PBK agar bisa berkelanjutan,
perlu pembauran antara kosmovisi petani,
pengetahuan lokal petani dengan
teknologi yang ada. Petani sebagai pelaku
penanggulangan PBK berpartisipasi
penuh dengan tetap berorientasi pada
program yang dibuat bersama antara
peneliti-penyuluh dan petani. Di samping
itu, pemahaman terhadap kondisi sosial
ekonomi petani sebelum melakukan
upaya-upaya penanggulangan PBK juga
perlu dilakukan.
KESIMPULAN
Berdasarkan sejarah, pemencaran
dan aspek bioekologi PBK dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut;
kegiatan terbang ngengat PBK tidak jauh,
namun sekali PBK masuk ke suatu
hamparan pertanaman kakao, dalam waktu
singkat hamparan tersebut akan terserang.
Pemencaran PBK ke tempat yang lebih jauh
terjadi melalui kegiatan manusia yang
membawa buah yang mengandung larva
prapupa atau benda-benda lain yang
dilekati kepompong (pupa). PBK bisa saja
berada di suatu daerah, dan akan menjadi
hama di daerah tersebut kalau buah-buah
kakao telah tersedia. Kelangsungan hidup
PBK tergantung pada ketersediaan buah
kakao di kebun. Hama bersifat homo-
dinamik dan sangat berbeda dengan
serangga hama yang lain. Karena itu,
penanggulangan PBK perlu memahami
sifat, perilaku dan bioekologi PBK.
Penanggulangan PBK yang dianjurkan
antara lain adalah: 1) panen lebih awal
dilanjutkan panen terus menerus dengan
interval 57 hari, 2) rampasan buah saat
panen rendah disertai pemetikan buah-
buah matang yang menjadi inang alternatif
PBK di sekitar kebun, 3) sanitasi kebun
dengan membersihkan kebun dan
memangkas cabang-cabang horizontal, 4)
konservasi musuh alami dengan tidak
menggunakan pestisida dan tidak
membabat tumbuhan penghasil nektar,
isolasi kebun kakao 300 m dari ladang-
ladang kecil ("small holder"). Penang-
gulangan tersebut perlu dipadu dengan
kosmovisi petani, pengetahuan lokal
petani, dan keadaan sosial ekonomi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1987. Introduction to the cocoa
pod borer. Symposium on Management of
the Cocoa Pod Borer. Malaysian Plant
Protection Society. Kuala Lumpur. p. 16.
Atmawinata, O. 1993. Hama penggerek buah
kakao (PBK), Suatu ancaman terhadap
kelestarian perkebunan kakao di Indonesia.
Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
(15): 13.
Bradley, J.D. 1985. A change of generic name
for the cocoa moth, Acrocercops cramerella
(Snellen) (Lep: Gracillariidae), Entomo-
logists Rec. J. Var. 97: 2930.
Bradley, J. D. 1986. Identity of the South-East
Asian cocoa moth Conopomorpha crame-
rella (Snellen) (Lepidoptera; Gracillarii-
dae). With description of three allied news
species. Bulletin of Entomological Research
76: 4151.
74 Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Knaap Van der, P.W. 1955. The influence of
rampasan and stripping on the production
of cocoa trees (translated from De
Bergcultures 1 Mei 1955, 24(8), p. 219
223 and 16 Mei 1955, 24(10) p. 255 by
P.C. Wessel) In Cocoa Research in Indonesia
19001950. vol II. Eds Hille Toxopeus and
P.C. Wessel. American Cocoa Research
Institute, 7788.
Lim, G.T. 1984. The behavioural studies on
cocoa podborer Acrocercops cramerella
(Snellen). Ninth International Cocoa
Research Conference, Togo. pp. 539542.
Lim, G.T. 1986. Seasonal fluctuation of cocoa
podborer Conopomorpha cramerella
(Snellen) in Tawau, Sabah. Proc. 2
nd
. Int.
Conf. Pl. Prot. in the Tropics (Extended
abstracts), Malaysian Plan Prot. Soc.
(MAPPS), Kuala Lumpur. p. 114.
Lim, G.T. 1992. Biology, ecology, and control
of cocoa podborer Conopomorpha
cramerella (Snellen), In Cocoa Pest and
Disease Management in Southeast Asia and
Australia. FAO Plant Prod. and Protection
12: 85100.
Lim, G.T. and K.Y. Pan. 1986. Observations on
the sexual activity and egg production of
cacao podborer Conopomorpha cramerella
(Snellen) in the laboratory. Annual Research
Report, Departement of Agriculture, Kota
Kinibalu, Sabah.
Madry, B. 1994. Kebijakan teknis perlindungan
tanaman dalam kaitannya dengan pe-
ngendalian hama Penggerek Buah Kakao
(PBK) di Indonesia. Prosiding Lokakarya
Penanggulangan Hama PBK di Indonesia.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.
hlm. 1017.
Millar, D. 1992. Farmer experimentation and
the cosmovission paradigm. Paper to farmer
Dachil from Yachedo near Tatale in the
eastern corner of the Northern Region of
Ghana. p. 4450.
Ooi, P.A.C. 1986. Food plants of Conopomorpha
cramerella (Snellen). MAPPS Newsletter 10:
5 6.
Ooi, P.A.C. 1987. Advances in the biological
control of cocoa podborer In Ooi, P.A.C
(Ed) Management of cocoa podborer. The
Malaysian Plant Protection Society
(MAPPS), Kuala Lumpur. p. 103117.
Ooi, P.A.C. 1992. Prospects for biological control
of cocoa insect pests In Cocoa Pest and
Disease Management in Southeast Asia and
Australia. FAO Plant Prod. and Protection
12: 101107.
Roepke, W. 1912. Die niewe parasieten van het
cacao motje eniets over parasieten in het al
gameen. Meded. Proestat Midden Java 5, 1
21.
Roepke, W. 1917. Cacao (translated from onze
koloniale Landbouw by P.C. Wessel, H.D.
Tjeenk Willink & Zoon, N: In Cocoa
Research in Indonesia 19001950. Vol. II
eds Hille Toxopeus & P.C. Wessel. American
Cocoa Research Institute. p. 6974.
Rusnah Mohd., S., Rita Muhamad, S.G. Tan, Y.Y.
Gan, and A. Halmy. 1985. Biological
polymorphisms of peptidase and L - CPDH
in natural populations of the cocoa podborer
Conopomorpha cramerella Snellen. Journal
of Plant Protection in the Tropics 2: 49
52.
Shah, S. 1987. Cultural and physical control of
the cocoa podborer Conopomorpha crame-
rella: (Snellen) (Lepidoptera; Gracillariidae)
In Ooi P.A.C. (Ed) Management of the
Cocoa Podborer. The Malaysian Plant
Protection Society, Kuala Lumpur. p. 43
51.
Snellen, P.C.T. 1904. Gracilaria cramerella
Snellen i.l. nov., sp. (The Cocoa Podborer
Moth). (translated from W. Van Deventer)
by. P.C. Wessel. Nederlandsche Entomo-
logische Vereeniging. Sgravehage Mart.
Nijhott. I, p. 6366.
Tay, E.B. 1987. Control of cocoa podborer the
Sabah experience In Ooi P.A.C. (Ed)
Symposium on the Management of the
Cocoa Podborer. Malaysian Plant Protection
Society. Kuala Lumpur. p. 717.
Tay, E.B. and C.L. Bong. 2000. Management of
cocoa pest and diseases in Malaysia in the
year 2000 In Pest Management and the
Enviroment in 2000. CAB International in
Asosiation with the Agricultural Institute of
Malaysia. p. 231249.
Wardojo, S. 1980. The cocoa podborer. A major
hindrance to cocoa development. Indone-
sian Agricultural Research and Development
Journal 2(1): 14.
Wardojo, S. 1981. Metode pengamatan peng-
gerek buah coklat. Prosiding Lokakarya
Hama Penggerek Buah Coklat, Tanjung
Morawa. hlm. 5964.
Wardojo, S. 1994. Strategi pengendalian hama
Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia.
Disampaikan pada Gelar Teknologi dan Per-
temuan Regional Pengendalian PBK di
Kabupaten Polmas Sulawesi Selatan, 34
Oktober 1994. 5 hlm.
Wessel, P.C. 1983. The Cocoa Podborer Moth
(Acrocercops cramerella Sn). Review of
Research Institute, 3965.
Wiryadiputra, S. Endang Sulistyowati, dan A.
A. Prawoto. 1994. Teknik pengendalian
hama penggerek buah kakao Conopo-
morpha cramerella (Snellen). Prosiding
Lokakarya Penanggulangan Hama Peng-
gerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember,
8 Februari 1994. hlm. 3753.
Zehntner, L. 1901. Over eenige insectenplsgen
bij de cacaocultuur op Java. De Nieuwe Gids
3: 567572.

Anda mungkin juga menyukai