Anda di halaman 1dari 24

Meningitis Bakterial

PENDAHULUAN
Meningitis Bakterialis terjadi lebih sering pada pasien pediatric daripada kelompok usia lain. Setahun pertama kehidupan merupakan saat yang paling beresiko, karena tanda peradangan meningeal kurang jelas dan sekuele lebih sering mengenai otak yang imatur. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan meningitis. Adanya vaksinasi terhadap bakteri-bakteri penyebab dapat mengurangi insiden meningitis akibat infeksi dari Haemophillus influenzae dan Neisseria meningitidis, sehingga Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab yang paling sering sekarang, terutama bila pada anak ada rhinorea LCS.

Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap pathogen spesifik yang lemah yang biasanya terkait dengan umur. Umur 1-12 bulan merupakan resiko umur terbesar untuk terkena meningitis, dan kelompok umur 1-5 tahun untuk yang berikutnya. Namun meningitis dapat terjadi pada umur berapa pun. Faktor lainnya yang berpengaruh seperti faktor dari pasiennya sendiri yang mungkin mengalami infeksi dari tempat lain misalnya dari faringitis, tonsillitis, infeksi gigi, endokarditis, sinusitis, abses otak, atau adanya implantasi langsung akibat dari trauma kepala terbuka, pungsi lumbal. Pada neonatus biasanya akibat dari aspirasi cairan amnion sewaktu bayi melalui jalur lahir atau sewaktu transplasental akibat si ibu terkena infeksi sewaktu trisemester akhir. Faktor
lingkungan juga mempengaruhi prevalensi terjadinya meningitis bakterial, seperti sosio-ekonomi yang rendah, hygiene dan sanitasi yang buruk, dan pendidikan yang rendah.

Susyanti/10.2008.116/Kelompok B4 Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk-Jakarta Barat Shanty_Sw3etSmil3@yahoo.com

ISI
1

Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung kepada pasien (auto-anamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lainnya (alo-anamnesis) misalnya wali atau pengantar si anak. Seorang pasien, terutama anak, sebagian besar data yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis diperoleh dari anamnesis. Berdasarkan anamnesis sering dapat ditentukan faktor emosi-psikososial yang mungkin melatarbelakangi, dan semua ini juga berguna untuk menentukan pemeriksaan dan penatalaksaannya. Dalam kasus anak, bila anak masih sulit untuk menjelaskan masalah sakitnya, maka orang tua atau wali si anak dapat diberikan kesempatan untuk mengingat kembali dan menceritakan secara rinci masalah kesehatan yang sedang dihadapi anak, termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan, tandatanda yang timbul, dan riwayat terjadinya.1 Hambatan langsung yang dijumpai pada pembuatan anamnesis pasien anak ialah pada umumnya anamnesis terhadap anak berupa aloanamnesis, maka pemeriksa harus waspada akan kemungkinan adanya bias sekunder karena data pasien didapat mungkin berdasarkan asumsi orang tua atau pengantar. Anamnesis biasanya dilakukan dengan wawancara tatap muka, dan keberhasilannya tergantung pengalaman dan kebijakan serta keadaan emosi yang diwawancara. Pertanyaan yang diajukan sebaiknya jangan sugestif. Identitas pasien diperlukan untuk memastikan bahwa benar-benar anak tersebut yang dimaksudkan. Identitasnya berupa : nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur-pendidikan-pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa. Tanyakan riwayat penyakitnya, bagaimana keluhan utama dan perjalanan penyakitnya. Pada umumnya, hal yang perlu diketahui mengenai keluhan sakit mencakup : 1 Lamanya keluhan berlangsung Bagaimana terjadinya gejala : mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus, hilang timbul. Untuk keluhan lokal, lokalisasi dan sifatnya : menetap, menjalar,menyebar, sifat penyebarannya, dan berpindah-pindah. Berat-ringannya keluhan dan perkembangannya : apakah menetap, cenderung bertambah berat, atau cendurung berkurang. Terdapat hal yang mendahului keluhannya. Apakah keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan atau sudah pernah sebelumnya.

Apakah ada saudara sedarah, orang serumah atau sekeliling pasien yang menderita keluhan yang sama.

Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya. Bila ada demam, tanyakan sudah sejak kapan timbul demam, berapa suhu demamnya, bagaimana sifat demamnya apakah terus menerus atau kontinu.

Bila ada kejang, tanyakan kapan kejangnya terjadi, berapa lama kejang itu berlangsung, apakah kejangnya berulang (frekuensi) dalam satu hari, dan bagaimana pola kejangnya.

Tanyakan juga bagaimana kesadaran si anak selama sakit.

Pemeriksaan Keadaan Umum dan Tanda Vital


Laju Pernapasan Tabel 1. Laju Penapasan Normal per Menit. 1 Umur Neonatus Anak 1-2 tahun Anak 3-4 tahun Anak 5-9 tahun Anak >10 tahun Rentang 30-60 25-50 20-30 15-30 15-30 Rata-rata waktu tidur 35 25 22 18 15

Suhu Tubuh Suhu tubuh diukur dengan mempergunakan thermometer badan. Pada umumnya yang diukur ialah suhu aksila. Sebelum thermometer digunakan permukaan air raksa thermometer harus diturunkan sampai di bawah 35oC dengan mengibas-ngibaskan thermometer, setelah itu thermometer dikepitkan di aksila. 1

Denyut Nadi Pemeriksaan nadi dilakukan dengan menilai nadi berupa frekuensi nadi per menit, irama, isi atau kualitas serta ekualitas nadi.
1

Laju nadi paling baik dihitung dengan pasien dalam

keadaan tidur ataupun dalam keadaan tenang. Bila tidak bisa dalam keadaan tidur harus diberikan catatan keadaan anak pada waktu nadi diperiksa (gelisah, menangis, berontak). Perhitungan nadi harus disertai dengan perhitungan laju jantung, untuk menyingkirkan kemungkinan terdapatnya pulsus defisit, yakni denyut jantung yang tidak cukup kuat untuk menimbulkan denyut nadi, sehingga laju jantung lebih tinggi daripada laju nadi. Semua perhitungan laju nadi dan laju jantung harus dilakukan dalam satu menit penuh. 1 Pada anak yang lebih basar, laju nadi dihitung dengan meraba arteri radialis, dengan memakai ujung jari II, III dan IV tangan kanan sedangkan ibu jari berada di bagian posisi dorsal tangan anak. Kualitas atau isi nadi yang normal disebut cukup. Isi nadi yang kurang atau lemah terdapat pada kegagalan sirkulasi (renjatan) serta gagal jantung yang berat. Dalam keadaan normal isi nadi teraba sama pada keempat ekstremitas. 1 Tabel 2. Laju Nadi atau Laju Jantung Normal pada Bayi dan Anak. 1 Usia Baru lahir 1 minggu- 3 bulan 3 bulan-2 tahun 2 tahun-10 tahun >10 tahun Tekanan Darah Tekanan darah diperiksa pada anak dalam keadaan tenang. Alat standar yang digunakan ialah sfigmomanometer air raksa. Tekanan darah diukur pada lengan dan tungkai. Lebar manset yang dipakai harus mencakup sampai 2/3 panjang lengan atas atau panjang tungkai atas. Manset yang terlalu sempit akan memberi hasil terlalu tinggi, sedang yang terlalu lebar akan
4

Istirahat (bangun) 100 180 100 220 80 - 150 70 - 110 55 - 90

Istirahat (tidur) 80 - 160 80 - 200 70 - 120 60 - 90 50 - 90

Aktif/Demam sampai 220 sampai 220 sampai 200 sampai 200 sampai 200

memberi hasil terlalu rendah. Panjang manset juga harus melingkari setidak-tidaknya 2/3 lingkaran lengan atas atau tungkai atas dan pakai manset yang sesuai dengan umurnya. 1 Tabel 3. Ukuran Manset untuk Kelompok Umur yang Sesuai Umur 0-12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun >12 tahun Lebar Manset 2 inci (5 cm) 3 inci (7,5 cm) 4 inci (10 cm) 5 inci (12,5 cm)

Pasanglah manset melingkari lengan atas atau tungkai atas, dengan batas bawah lebih kurang dari 3 cm dari siku atau lipat lutut. Dengan cepat manset dipompa sampai denyut nadi arteri radialis atau dorsalis pedis tidak teraba, kemudian teruskan dipompa sampai 20-30 mmHg lagi. Sambil mendengar dengan stetoskop pada arteri brachialis (di fossa cubiti) atau arteri poplitea (di fossa poplitea), kosongkan manometer perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mm tiap detik. Pada penurunan air raksa ini akan terdengar bunyi-bunyi Korotkoff. 1 Tekanan sistolik adalah saat mulai terdengar bunyi Korotkoff I, sedangkan tekanan diastolik adalah saat mulai terdengar bunyi Korotkoff IV, yang biasanya pada bayi dan anak bersamaan atau hamper bersamaan dengan menghilangnya bunyi (Korotkoff V). Tabel 4. Tekanan Darah pada Bayi dan Anak. 1 Usia Neonatus 6-12 bulan 1-5 tahun 5-10 tahun 10-15 tahun Sistolik (2 SD) 80 (16) 90 (30) 95 (25) 100 (15) 115 (17) Diastolik (2 SD) 45 (15) 60 (10) 65 (20) 60 (10) 60 (10)
5

Pemeriksa keadaan umum pasien dapat berupa : (1) kesan atau keadaan sakitnya (bisa dilihat dari wajahnya dan posisinya), (2) kesadaran, mentalnya, tingkah lakunya, dan (3) status gizinya. 1 Hal pertama, apakah pasien tampak sakit ringan, sedang, berat atau dari wajah pasien tampaka menunjukkan ekspresi yang bagaimana. Pada anak-anak, bila ia menangis terusmenerus mungkin ia dalam keadaan sakit yang serius. Bila anak sedikit bergerak, pasif dan melamun itu juga bisa menandakan sakitnya cukup berat. Penilaian kesadaran dapat diketahui bila pasien tidak tidur. Penilaian kesadaran berdasarkan sebagai berikut ini : 1,2 Kompos mentis pasien sadar sepenuhnya dan member respons yang adekuat terhadap semua stimulus yang diberikan kepadanya. Apatis pasien dalam keadaan sadar, tetapi acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya, ia akan memberikan respons yang adekuat jika diberikan stimulus. Somnolen tingkat kesadaran yang lebih rendah lagi, dimana pasien tampak mengantuk, selalu ingin tidur, serta tidak responsive terhadap stimulus ringan, tetapi terhadap stimulus yang agak keras masih memberikan respons kemudian tidur lagi. Sopor pada keadaan ini pasien tidak memberikan respons ringan maupun sedang, tetapi masih sedikit respons terhadap stimulus yang kuat, dan refleks pupil terhadap cahaya masih positif. Delirium keadaan kesadaran yang menurun serta kacau, disertai disorientasi, iritatif, dan salah persepsi terhadap rangsangan sensorik sehingga sering terjadi halusinasi. Koma pasien sudah tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun, refleks pupil terhadap cahaya tidak ada. Ini merupakan tingkat kesadaran terendah. Dalam praktek terkadang sulit menilai kesadaran menjadi salah satu dari tingkat kesadaran di atas, maka lebih sering dinyatakan dalam tingkat seperti apatik-somnolen, somnolen sopor dan sopor-koma dan sebagainya. 1 Selain kesadaran, dinila juga status mentalnya dan perilaku pasien, apakah tampak senang, tenang, ketakutan, agresif, hiperaktif, cengeng atau murung. Cengeng merupakan tangisan lemah tanpa sebab yang jelas sering tampak pada malnutrisi berat atau pasien dengan
6

penyakit kronik. Tangisan yang bernada tinggi (high pitched cry) menunjukkan adanya tekanan intrakanial meninggi atau lesi susunan saraf pusat lainnya. Penilaian status gizi pasien secara klinis dilakukan terutama dengan melalui inspeksi dan palpasi. Dari inspeksi, dapat dilihat bagaimana proporsi atau postur tubuhnya. Dengan palpasi kita dapat menilai kulit, tulang-tulang yang menonjol, otot dan abdomen. 1

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi secara umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum, pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan keadaan umum pasien. Pada inspeksi lokal, dapat diketahui bila ada perubahan-perubahan lokal dengan membandingkannya dengan sisi yang lainnya. 1 Palpasi merupakan tahap selanjutnya setelah inspeksi. Pada palpasi, pemeriksaan dilakukan dengan meraba mempergunakan telapak tangan pemeriksa. Dengan palpasi dapat ditentukan mengenai bentuk, besar, tepi, konsistensi organ, benjolan,dan sebagainya. 1 Tahap selanjutnya, perkusi yang tujuannya adalah mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ sepeti paru, jantung, hati, mendengarkan suara-suara perkusi (sonor, pekak, timpani) dan sebagainya. 1 Yang terakhir dari pemeriksaan fisik secara umum ini yakni auskultasi. Auskultasi dilakukan dengan menggunakan stetoskop untuk mendengar suara napas, suara bising jantung, suara aliran darah, dan sebagainya. 1

Pemeriksaan Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal Tanda Kaku kuduk (Nuchal rigidity) Pasien dalam posisi telentang, lalu tekukan leher pasien secara pasif, bila terdapat tahanan sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada, maka dinyatakan kaku kuduk (+). Tahanan juga dapat dirasakan bila leher pasien hiperekstensi, diputar atau digerakan menengok ke samping. Kaku kuduk (+)

menandakan adanya meningitis, tetanus, abses retrofaringeal, ensefalitis virus, dan rheumatoid arthritis. 1,2 Tanda Brudzinski I (Brudzinskis neck sign) untuk memeriksa tanda ini dilakukan hal berikut ini : dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu menyentuh dada pasien. Tangan yang satunya lagi sebaiknya di tempatkan di dada pasien untuk mencegah terangkatnya badan pasien. Tanda Brudzinski ini (+) jika melalui tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai (sebelumnya perhatikan dulu apakah tungkainya lumpuh atau tidak). 1,2 Tanda Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam kesadaran ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satunya lagi ikut terfleksi pula saat tungkai yang satunya lagi fleksi, maka tanda Brudzinski II (+).2 Tanda Kernig pada pemeriksaan ini, pasien yang berbaring, pahanya difleksikan pada persendian panggul sampai membuat sudut 90o. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi sampai 135o, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai sudut normalnya, maka dikatakan tanda Kernig (+), yang mengartikan adanya kelainan rangsang selaput otak atau meningitis (biasanya bilateral) dan adanya iritasi akar lumbosakral atau HNP-lumbal (biasanya unilateral). 2 Tanda Lasegue pasien berbaring, lalu kedua tungkainya diluruskan. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satunya lagi harus dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat mencapai sudut 70o sebelum timbul rasa sakit. Bila sudah timbul sakit dan tahanan sebelum mencapai sudut 70o, maka tanda Lasegue (+).2,4

Pemeriksaan Laboratorium
Pengambilan dahak, LCS (lumbal pungsi) dan serum untuk pemeriksaan mikrobiologi seperti sediaan apus, biokimia, dan biakan untuk mengetahui kuman penyebabnya. 1,3 Pemeriksaan elektrolit untuk mendeteksi adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hiperkalsemia. 3
8

Pemeriksaan Mikrobiologi Streptococcus pneumonia Sediaan pewarnaan Gram untuk Streptococcus pneumonia didapatkan Gram positif. Bentuk kuman diplococcus dan termasuk tipe hemolisis. Dilakukan juga tes pembengkakan simpai dengan bahan dahak segar yang diemulsikan dicampur dengan antiserum sehingga mengakibatkan pembengkakan simpai (reaksi Quellung) yang membuktikan Streptococcus pneumonia mempunyai kapsul. Untuk pembiakannya dapat menggunakan medium agar darah yang diinkubasi dengan penambahan CO2 atau diinkubasi di dalam botol berlilin. Untuk pemeriksaan meningitis oleh karena kuman ini harus didapatkan bahannya dari LCS. 3-5 Neisseria meningitidis Sediaan pewarnaan Gram untuk didapatkan Gram negative dengan bahan dari darah pasien. Bentuk kuman diplococcus yang bila sendiri-sendiri tampak seperti ginjal . Untuk perbenihan biakan dengan bahan cairan LCS dapat diletakkan pada medium agar coklat yang dipanaskan pada suhu 37o dan atmosfernya CO2 5% (dalam botol lilin). Perbenihannya diperlukan media khusus yaitu Thayer Martin yang mengandung antibiotik tertentu (vankomisin, kolistin, amfoterisin) yang berguna untuk mengeliminasi kuman lain selain Neisseria dan membentuk koloni mukoid mengkilat. Hasil pemeriksaan biokimia untuk Neisseria meningitides, kuman dapat meragikan glukosa, maltosa tetapi tidak dapat meragikan laktosa dan sukrosa. 5 Haemophillus influenzae Sediaan pewarnaaan untuk Haemophillus influenzae dengan bahan dari usap nasofaring, darah. Untuk pembiakan dengan menggunakan LCS dan ditanam pada agar coklat yang diperkaya IsoVitalex dimana medium ini menyediakan kebutuhan dari Haemophillus influenzae akan faktor X (hematin) dan V (nikotinamid-adenin nukleotida) untuk bertumbuh. 5 Mycobacterium tuberculosis Sediaan pewarnaan untuk Mycobacterium tuberculosis dengan bahan dari dahak diberi pewarnaan tahan asam dan media khusus yakni medium Ziehl-Neelsen. Bentuk kuman basil tuberkel. Kuman tidak dapat diklasifiksikan dalam gram positif atau negative. Namun kuman ini
9

tahan asam sehingga hanya bisa dengan pewanaan Ziehl Neelsen. Untuk pembiakannya menggunakan perbenihan agar selektif seperti Lowenstein Jensen. 5 Tabel 5. Hasil Penemuan Dalam Cairan Serebrospinal. 3,4
Diagnosis LCS normal Penampilan Jernih Reaksi Pandy Jumlah Sel 0 - 4 sel/l Temuan lain Glukosa 50-70% kadar gula darah; Laktat <2,1 mmol/l Meningitis purulenta Keruh +++ Beberapa ribu/l terutama netrofil (PMN) Ada bakteri; Laktat >3,5 mmol/l; Glukosa turun; Pewarnaan dengan Gram/Ziehl-Neelsen; Kadar protein tinggi Meningitis virus (aseptik) Meningitis Tuberkulosa Meningitis Fungal Ensefalitis (herpes simplex) Neurosifilis Jernih/keruh +/Jernih +/Berwarna kekuningan Jernih +++ Jernih +/Beberapa ratus/l sel MN Hingga 1500/l Laktat <3,5 mmol/l; Kadar glukosa normal IgG & IgA meningkat; PCR;

campuran, terutama MN Glukosa <50% dari gula plasma Hingga beberapa ratus Imunoglobulin meningkat; Ada sel MN/l Fungi dalam pewarnaan khusus IgM, IgA meningkat;

Normal/pleiositosis MN IgG, terutama Limfosit Pleiositosis sekunder

Adanya antibodi spesifik; PCR Imunoglobulin meningkat; TPHA (+)

GuillainBarre

Jernih

Tidak lebih dari pleiositosis ringan

Disosiasi sito-albumin (rasio albumin hingga 50x10-3

10

Setelah pemeriksaan LCS dan mendapatkan hasil identifikasi penyebabnya dan diagnosanya, maka selanjutnya diperlukan uji resistensi bila hasil penyebabnya adalah kuman bakteri. Uji resistensi ini diperlukan agar dapat membantu terapi pengobatan untuk menentukan antibiotic yang cocok dengan bakteri penyebabnya. 3,5

Diagnosis Working Diagnosis


Berdasarkan dari anamnesis dan hasil dari pemeriksaan, pada pasien anak ini didiagnosa menderita meningitis purulenta. Diagnosa pasti untuk meningitis purulenta dengan pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal lalu cek makroskopis, kimia, mikroskopis dan mikrobiologinya. Selain itu lakukan pemeriksaan neurologi seperti mencari tanda kaku kuduk, kernig ataupun brudzinski yang biasanya sebagai tanda adanya peradangan selaput otak. Bila hasil pemeriksaan LCS pertamanya normal, maka harus tetap waspada akan kemungkinan meningitis. Jadi, pungsi lumbal dapat diulangi lagi setelah 8 jam berikutnya. 6,7

Differential Diagnosis
1. Ensefalitis virus 2. Kejang demam 3. Meningitis et causa penyebab lain (virus) Ensefalitis Virus Akut Etiologi Penyebab tersering ensefalitis adalah virus. Selain virus bisa juga oleh karena bakteri. Contoh virus : Herpes simpleks (Varisela), Myxovirus (Mumps, Rabies), Enterovirus (Coxsackie, Poliomielitis). Penyebab tersering ensefalitis pasca-infeksi adalah campak. 3,6 Patogenesis Ensefalitis virus akut adalah penyakit yang menakutkan dan sering membahayakan. Ensefalitis virusa dapat menjadi musiman atau epidemik. Adanya invasi virus ke jaringan saraf

11

sehingga terjadi inflamasi dan destruksi, terutama di pada grey matter atau menimbulkan demielinisasi white matter melalui suatu reaksi imunologi. 3 Manifestasi Klinis Ada nyeri kepala, letargi, demam, muntah, anoreksia, gejala infeksi saluran pernapasan, gangguan kesadaran, kejang, dan tanda-tanda neurologi local seperti refleks plantar ekstensor unilateral atau hemiparesis. Sering disertai adanya kelainan fungsi mental seperti bingung, penurunan daya ingat, halusinasi, memberontak dan hingga koma. Hasil EEG menunjukkan abnormalitas difus yang berat. Adanya bangkitan kejang yang sering terjadi. Pada funduskopi ada peningkatan tekanan intracranial. Pada ensefalitis akibat campak, dimulai dengan adanya iritabilitas, letargi dan kejang multiple, 2-4 hari setelah munculnya ruam di kulit. Pada ensefalitis karena varisela, sering ataksia sereblar akut yang dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. 3,6 Dengan CT dan MRI saraf dapat membantu menyingkirkan penyakit lain seperti tumor, hidrosefalus, abses, dan hematoma. Dengan EEG biasanya memperlihatkan perlambatan digus dengan atau tanpa perubahan paroksimal. 7 Penatalaksanaan Pengobatannya bersifat suportif. Terapi afektif dengan menggunakan asiklovir (10 mg/kgBB tiap 8 jam melalui intravena dalam infuse secara perlahan, selama 10 hari) untuk ensefalitis virus terutama oleh karena herpes. Ensefalitis yang bukan karena herpes, dilakukan perawatan intensif untuk pasien koma seperti mencegah ketidakseimbangan asam-basa, cairan dan elektrolit (Glukosa 5-10%+ NaCl fisiologis 3:1 atau KCL), gangguan pernapasan dan metabolik. Jika terjadi edema otak, dapat diberikan kortikosteroid (0,5 mg/kgBB/hari) jangka pendek dan manitol atau gliserol. Jika ada kejang, diberikan anti-konvulsi seperti valium melalui I.V. (0,3-0,5 mg/kgBB) atau rectal (5-10 mg) dan fenobarbital. Demamnya dapat diberikan klorpromazine (2-4 mg/kgBB/hari) atau prometazin (4-6 mg/kgBB/hari). 3,8 Preventif Vaksinasi untuk morbili, mumps, dan rubella serta lakukan pembasmian serangga. 7

12

Kejang Demam Convulsion atau fit atau seizure merupakan arti yang sama yakni kejang. Klasifikasi kejang terdiri dari : 3,9 1. Kejang Parsial Parsial sederhana (dengan kesadaran menetap) adanya gerakan motorik berupa klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Beberapa penderita mengeluh adanya aura. Rata-rata kejang berlangsung 10-20 detik. Parsial kompleks (dengan kesadaran terganggu) diawali dengan kejang parsial sederhana yang dengan atau tanpa aura, diikuti dengan gangguan kesadaran pada mulanya. Pasien merasa ada aura dan rasa tidak enak di epigastrium. Ada automatisme yang berkembang pasca kejang, tetapi autoisme itu tidak diingat kembali oleh anak. 2. Kejang Menyeluruh Petit mal atau kejang linglung (Absence seizures) adanya penghentian aktivitas motorik atau bicara yang mendadak terhenti, dengan disertai ekspresi kosong dan kelopak mata berkedip-kedip. Kejang ini tidak lazim sebelum < 5 tahun, dan tidak ada aura. Tonik-klonik menyeluruh kejang ini sangat lazim dan bisa setelah terjadi kejang parsial. Kejang ini dapat disertai aura yang menunjukkan asal tempat epileptiform. Tonik Pada fase tonik mata penderita berputar ke belakang, seluruh otot tubuh mengalami kontraksi tonik sehingga kaku (rigidity) dan keras. Klonik kejang kontraksi klonik ritmik berselang-seling dengan relaksasi semua otot Mioklonik adanya kejang berulang yang terdiri dari kontraksi otot sebentar, sering berkontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus tubuh dan jadi jatuh atau menelengkup ke depan, yang dapat menyebabkan pasien terluka pada wajah dan mulut. Atonik adanya kehilangan tonus pada otot sehingga penderita sering terjatuh karena kehilangan penopang dari otot dan keseimbangan jadi terganggu. Spasme infatil biasanya pada usia 4 dan 8 bulan dan ditandai adanya kontraksi leher, badan dan tungkai yang simetris dan singkat. Ada spasme fleksor dan spasme ekstensor. 3. Kejang tidak terklasifikasi Kejang demam Kejang psikogenik
13

Untuk diagnosa banding meningitis bakterial, kejang demam yang lebih condong mendekati gejala meningitis bakterial daripada kejang parsial ataupun kejang menyeluruh. Kriteria diagnostik sebagai kejang demam adalah : 3,6 (1) Kejang pertama yang dialami oleh anak berkaitan dengan suhu > 38oC (2) Anak berusia < 6 tahun (3) Tidak ada tanda infeksi atau peradangan SSP (4) Anak tidak menderita gangguan metabolic sistemik akut Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi kejang demam jinak jika kejang berlangsung < 15 menit dan tidak memperlihatkan gambaran fokal yang signifikan serta rangkaian kejangnya tidak lama. Kejang demam kompleks memiliki durasi lebih lama, ada tanda fokal, dan terjadi dalam rangkaian panjang. 3,6 Etiologi Ada pengaruh genetik yang kuat karena frekuensi kejang demam meningkat di antara anggota keluarga. Kejang demam dapat menandakan adanya penyakit infeksi akut yang serius (sepsis atau meningitis bakteria). 8 Manifestasi klinis Sebagian kejang demam terjadi dalam 24 jam pertama sakit, seiring waktu denagn suhu tubuh yang meningkat cepat, bisa mencapai 39oC atau lebih, dan tanda pertama sakit mungkin kejang, dan pada yang lain kejang dapat terjadi sewaktu demam menurun. Hanya 20% dari kejang demam pertama yang bersifat kompleks, yang merupakan kejang demam pertama mereka dari 20% tersebut. Biasanya pada mereka cenderung terkena waktu usia < 18 bulan dan memiliki riwayat disfungsi neurologik atau gangguan perkembangan. Pola kejangnya menyeluruh, tonikklonik selama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti periode mengantuk singkat pasca kejang. Bila kejang demam berlangsung > 15 menit, biasanya menandakan adanya penyebab organik.3,8 Diagnosis Kejang demam dapat didiagnosis hanya setelah kausa kejang lain disingkirkan. Hal ini mencakup gangguan metabolic, gangguan elektrolit, infeksi SSP, dan sebagainya. Hal itu
14

memerlukan pemeriksaan analisis LCS, pemeriksaan kadar elektrolit seperti kalsium, natrium, lalu pemindaian dengan CT otak. EEG umumnya tidak direkomendasikan pada untuk mendiagnosa kejang demam anak karena hasilnya berubah-ubah. 3,7 Penatalaksanaan Terapi awal dengan pemberian diazepam oral 0,33 mg/kgBB, setiap 8 jam selama sakitnya berlangsung dan cukup aman untuk mengurangi kejang demam berulang dengan efek samping yang ringan. Obati juga demamnya dengan antipiretik seperti dengan klopramazin. Jaga juga keseimbangan cairan tubuh dan elektrolitnya. Pemberian fenobarbital untuk pencegah kejang rekuren kurang efektif dan efek sampingnya banyak seperti hiperaktivitas, iritabilitas, letargi, ruam, dan mempengaruhi pada intelegensi anak kelak. Tidak terbukti bahwa pengobatan ini mengurangi resiko terjadinya komplikasi epilepsinya. 3 Meningitis Et Causa Lain Meningitis dapat disebabkan oleh organisme lainnya seperti : tuberculosis (meningitis tuberkulosa); sifilis; jamur (meningitis fungal) seperti Histoplasmas, Blastomyces; parasit seperti Toxoplasma gondii, Cysticercus; dan virus seperti enterovirus (coxsackie A dan B, echovirus, poliovirus), HIV, Herpes simpleks. Dengan pemeriksaan seperti pewarnaan tinta Cina/tinta India bisa untuk memeriksa jamur, sitologi, PCR, deteksi antigen, dan biakan virus. Selain itu dengan CT atau MRI bagian otak, biakan darah, dan uji serologi juga bisa. Diantara semuanya, yang bisa merancukan diagnosis meningitis bakterial adalah meningoensefalitis virus akut (terbanyak kedua). Pada anak meningoensefalitis virus akut atau meningitis aseptik, tampak sakitnya lebih ringan daripada yang meningitis bakterial (walau tidak semuanya tampak ringan). Untuk membedakannya bisa dengan analisis LCS si anak. 3,6 Manifestasi Klinis Gejala klinis dari meningitis aseptic ditandai dengan awitan nyeri kepala yang relative cepat, sering disertai demam, gejala radang meningen, kelainan fungsi neurologis tidak ada atau minimal dan ada pleiositosis (limfosit > jumlahnya) serta pada LCS tidak ada bakteri sehingga LCS warnanya jernih. Pada meningitis bakkterial pleiositosisnya lebih dominan netrofil daripada limfosit, warna LCS keruh dan kelainan neurologisnya ada. Selain itu ada tanda klinis penyakit
15

virus, yakni ada pembesaran kelenjar parotis pada gondongan atau ada ruam macular difus pada infeksi enterovirus. Meningitis aseptik jarang rekuren. 3,6 Penatalaksanaan Pengobatannya bersifat suportif, seperti perawatan intensif untuk mencegah

ketidakseimbangan asam-basa, cairan dan elektrolit, gangguan pernapasan dan gangguan metabolik. Jika terjadi kejang, diberikan anti-konvulsi. Untuk demamnya diberikan antipiretik seperti klorpromazine (2-4 mg/kgBB/hari) atau prometazin (4-6 mg/kgBB/hari). Bila karena virus, dapat diberikan antiviral yakni asiklovir. 7

Etiologi
Penyebab dari meningitis beragam, tetapi yang paling sering disebabkan oleh bakteri.
Tabel 6. Penyebab Meningitis. Penyebab N. meningitidis S. pneumonia H. influenzae
3,5

Keterangan Gram (-); Banyak terjadi pada anak 2 bulan-12 tahun; Ada gejala ruam di kulit Gram (+); Banyak terjadi pada anak 2 bulan-12 tahun Gram (-); Banyak terjadi pada anak 2 bulan-4 tahun tetapi sudah menurun oleh karena sudah ada vaksin untuk H. influenza (terutama tipe B)

M. tuberculosis

Basil tahan asam (Ziehl Neelsen); Biasanya tertular/ada kontak dengan penderita TB

E. coli Virus Fungal Parasit

Gram (-); Banyak terjaadi pada neonatus Enterovirus (coxsackie A dan B, echovirus, poliovirus), Herpes simpleks Histoplasmas, Blastomyces, Candida, Cryptococcus, Aspergillus Toxoplasma gondii, Cysticercus

16

Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap pathogen spesifik yang lemah yang biasanya terkait dengan umur. Umur 1-12 bulan merupakan resiko umur terbesar untuk terkena meningitis, dan kelompok umur 1-5 tahun untuk yang berikutnya. Namun meningitis dapat terjadi pada umur berapa pun. Faktor-faktor yang mempengaruhi : 3,7 a) Host (pejamu) umur, BBRL, prematur, ketuban pecah dini, ada partus yang lama, ada infeksi pada si ibu pada akhir kehamilan, bayi yang lahir dengan kelainan kongenital seperti tidak memiliki timus, kekurangan untuk menghasilkan komplemen serum, ada keganasan, malnutrisi, tidak mendapatkan vaksin, kontak erat dengan penderita sehingga kena tular dan sebagainya. b) Faktor mikroorganisme faktor virulensi kuman c) Faktor lingkungan Penduduk yang padat, sanitasi dan hygiene yang buruk, sosioekonomi yang kurang, dan pendidikan yang kurang

Patogenesis
Meningitis bakterial paling sering akibat dari penyebaran mikroorganisme secara hematogen dari tempat infeksi yang jauh. Terjadinya bakteremia bisa mendahului atau terjadi bersamaan dengan meningitis. Kolonisasi bakteri di nasofaring dengan kemungkinan itu kolonisasi kuman patogen, seperti penyebab infeksi saluran nafas sehingga dalam anamnesis orang tua/wali si anak biasanya mengatakan bahwa sebelum si anak kejang, anak tersebut ada riwayat sakit pilek atau batuk. Contoh kuman penyebab infeksi saluran napas yakni, Haemophillus influenza tipe b atau meningokokus, kuman tersebut melekat pada reseptor sel epitel mukosa dengan pili. Pasca perlekatan pada sel epitel, bakteri dapat menerobos mukosa hidung atau saluran napas sehingga kuman masuk dalam sirkulasi darah. N. meningitidis dapat diangkut melewati pemukaan vakuola fagosit pasca-penelanan oleh sel epitel. Selain itu ketahanan hidup bakteri hidup di dalam darah diperkuat dengan adanya kapsul bakteri (faktor virulensi) yang menjadi benteng untuk terhindar dari fagositosis sel PMN. 3 Adanya kecacatan congenital pada si anak terhadap opsonofagositosis bakteri atau pada pasien yang imunodefisiensi komponen komplemen dapat mengganggu opsonofagositosis juga
17

sehingga menyebabkan bakteremia yang lama dan meluas sampai ke otak. Bakteri masuk ke cairan serebrospinal melalui pleksus koroideus ventrikel lateralis dan selaput meningen melalui bakteriemia. Kemudian bakteri bersirkulasi ke LCS ekstraserebral dan di sela subarachnoid dan dengan cepat mempercepat proliferasi dirinya sehingga kadar antibody dan komplemen tubuh tidak cukup jumlahnya untuk melawan koloni bakteri tersebut. 3 Faktor kemotaktik terjadi di area koloni bakteri yang kemudian mendorong timbulnya respon radang lokal yang disertai adanya infiltrasi sel polimorfonuklear (PMN). Peradangan ini merambat ke meningen dan menyebabkan meningitis. 3,6 Lipopolisakarida yang ada di dinding sel bakteri (endotoksin) merupakan komponen dinding sel bakteri gram negative (H.influenzae tipe b, N.meningitidis) dan pada komponen dinding sel bakteri gram positif (S.pneumoniae) berupa asam teikhoat, peptidoglikan, dapat merangsang respons radang yang mencolok dengan memproduksi lokal faktor nekrosis tumor, interleukin-1, prostaglandin E, dan mediator radang sitokin lainnya. 3,7 Selain ada infiltrasi PMN, terdapat peningkatan permeabilitas vaskuler, perubahan sawar darah-otak dan ada thrombosis vaskuler. Radang akibat sitokin berlebihan yang berlanjut sesudah LCS disterilkan, ini diduga menyebabkan sekuele radang kronis meningitis purulenta. 3,7

Manifestasi Klinis
Ada beragam manifestasi meningitis. Gejala klinisnya dibagi menjadi 3 tahap yakni: Gejala infeksi akut Anak menjadi lesu, malaise, hiperpireksia, nausea, vomitus, anoreksia, dan pada anak yang lebih besar ada keluhan sakit kepala. Pada meningitis purulenta akibat infeksi Neisseria meningitidis terdapat ruam petekie akibat dari endotoksin dari dinding sel bakteri tersebut yang mati karena imun seluler tubuh. 3,7 Gejala tekanan intrakranial yang meninggi Anak menjadi lebih sering vomitus, nyeri kepala (pada anak besar), high pitched cry (pada neonatus), kesadaran anak menurun dari apatis sampai koma. Terjadi pula kejang (sebanyak 20-30%), dengan pola kejangnya dapat bersifat umum (menyeluruh), fokal (setempat), atau twitching (sentakan) yang disebabkan karena serebritis, infark, atau gangguan elektrolit. Ubun-ubun kepala (fontanella) cembung atau sutura melebar dan
18

tegang, serta ada kelainan serebral seperti paresis dan paralisis saraf okulomotor atau abdusens, strabismus (juling/jereng). Ada pula pernapasan Cheyne-Stokes (penderita bernafas makin lama makin dalam, kemudian makin mendangkal dan diselingi oleh apneu, hipertensi dengan bradikardia, sikap dekortikasi atau deserebrasi. 3,7 Gejala rangsangan meningeal Pada anak terdapat tanda kaku kuduk (+), dan terjadi rigiditas umum. Ada juga tanda Kernig (+), Brudzinski I dan II (+).Hal ini menandakan adanya iritasi meningeal. Biasanya anak merasa ada keluhan pada daerah leher dan punggung. 3,7 Dalam kasus meningitis purulenta atau meningitis bakterial akan didapatkan gambaran klinis sebagai berikut ini :
3,7

Pada bayi 3 bulan sampai 2 tahun : Demam, muntah, ada kejang berulang Kadang ada High pitched cry Ubun-ubun menonjol Tanda Brudzinski dan Kernig sukar dievaluasi

Pada anak besar (> 2 tahun) dan dewasa : Demam, menggigil, muntah, nyeri kepala Ada kejang, gelisah Ada delirium-sopor bahkan sampai koma Tanda kaku kuduk, Brudzinski dan Kernig (+) biasanya menandakan ada peradangan meningen otak (meningitis) Ada fotofobia (takut cahaya terang) dan hiperestesi Saraf cranial IV (N.trokhlearis), VI (N.abdusen), dan VII (N.fasialis) paling sering terkena efek akibat dari peradangan meningen otak (inflamasi lokal pada perineum) sehingga supply ke saraf tersebut terganggu. Ada thrombosis vaskuler mengakibatkan kejang

19

Komplikasi
Efusi subdural lebih sering pada bayi; dimana ada penonjolan fontanella, pelebaran sutura, muntah, kejang, demam. Dapat diketahui dengan CT-scan. 3 Gangguan cairan elektrolit akibat adanya SIADH (syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone) yang terjadi pada kebanyakan penderita meningitis, yang dapat menimbulkan hiponatreemia dan penurunan osmolalitas serum, yang dapat menimbulkan kejang-kejang hiponatremia. Lama-lama dapat menjadi diabetis insipidus oleh karena proses yang lama sehingga terjadi disfungsi hipotalamus atau pituitary. 3,6 Meningitis berulang jarang dan ada 3 pola yang berbeda. (1). Rekrudesens adalah pemunculan kembali infeksi selama terapi dengan antibiotik yang tepat, namun biakan LCS menunjukkan pertumbuhan kuman yang telah resisten dengan antibiotik tersebut. (2). Kumat (relapse) terjadi antara 3 hari dan 3 minggu sesudah terapi dan menggambarkan infeksi bakteri menetap pada ventrikulitis, subdural atau tempat lain seperti mastoid, orbita. Kumat lebih sering karena pilihan, dosis, atau lama terapi antibiotic yang tidak sesuai. (3). Berulang (recurrence) adalah kejadian meningitis baru lagi karena reinfeksi dnegan spesies bakteri yang sama atau piogenik lain. 3 Abses otak Paresis, paralisis Hidrosefalus (oleh karena adanya sumbatan pada jalan atau resorbsi LCS) Retardasi mental Epilepsi

Penatalaksanaan
1. Penderita meningitis purulenta pada umunya berada dalam kesadaran yang menurun dan sering disertai muntah atau diare sehingga pasien bisa kekurangan elektrolit. Oleh karena itu pengoreksian cairan tubuh harus segera dilakukan dengan memberikan cairan infuse intravena untuk mengoreksi gangguan elektrolitnya ataupun asidosis. Pada saat kejangkejang, glukosa serum, kalsium dan natrium harus dipantau untuk mencari penyebab yang mempercepat kejang apakah karena hipoglikemi, hipokalsemi, atau hiponatremi. 3,7

20

2. Bila anak datang dalam keadaan konvulsi atau kejang, maka diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB (atau lorazepam 0,05 mg/kgBB/dosis juga bisa) melalui intravena secara pelanpelan, bila masih kejang maka pemberian ulang lagi dengan dosis yang sama dengan interval waktu 15 menit. Jika kejang pada anak masih tetap belum berhenti, maka pemberian diazepam yang ketiga kalinya dengan dosis yang sama diberikan, namun tidak dengan intravena tetapi dengan intramuscular. Bila kejang anak sudah berhenti, dapat diberikan fenitoin dosis awal (untuk anak > 1tahun diberikan dosis 15-20 mg/kgBB.7 Selanjutnya diberikan juga pengobatan rumatan dengan fenobarbital dosis 5 mg/kgBB/hari untuk mengurangi kejang berulang. Biasany fenitoin lebih disukai daripada dengan fenobarbital karena fenitoin kurang menyebabkan depresi SSP sehingga lebih bisa menjada kesadaran pasien (tidak somnolen). 3,8 3. Pilihan terapi empirik (terapi awal) untuk meningitis pada bayi dan anak yang imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan antibiotik pada bakteri penyebabnya. Antibiotik harus mencapai kadar bakterisid pada LCS. Sefalosporin generasi ketiga, seftriakson atau sefotaksim dapat dipakai. Dosis seftriakson 100 mg/kgBB/24 jam diberikan sekali sehari atau 50 mg/kgBB/dosis diberikan tiap 24 jam sekali. Dosis untuk sefotaksim 200 mg/kgBB/24 jam, diberikan setiap 6 jam. Bila pasien alergi oleh karena betalaktam (golongan sefalosporin), dapat diganti dengan kloramfenikol 100

mg/kgBB/24 jam diberikan setiap 6 jam, walau sifatnya bakteriostatik terhadap kuman lain, namun bakterisid untuk H.influenzae tipe b, N.meningitidis, dan S.pneumoniae. 3,7 Namun efek samping kloramfenikol seperti anemia aplastik, greys syndrome pada bayi berupa syok, dan supresi sumsum tulang belakang. Jika penyebabnya adalah L.monocytogenes, maka sefalosporin tidak bisa melawan, maka harus diganti dengan Trimetoprim-sulfametaksazol. Untuk gram (-) dipakai aminoglikosida atau seftazidin.3 4. Lama terapi antibiotik seperti meningitis H.influenzae sekitar 7-10 hari dan bila telat dibuktikan bakterinya sensitive ampisilin dan tidak menghasilkan beta-laktamase, maka terapi awalnya dapat diganti dengan ampislin. Jika ada bakteri yang resisten terhadap kloramfenikol maka pilihan berikutnya adalah vankomisin. Untuk meningitis N.meningitidis yang tidak berkomplikasi dapat diterapi lanjut dengan penisilin intravena 300.000 U/kgBB/24 jam selama 5-7 hari. Jika meningitis karena S.pneumoniae, maka

21

harus uji resisten penisilin dulu, karena 5-25% sudah resisten, dan bila resisten maka dapat dikasih dengan sefotaksim atau seftriakson.3 5. Untuk uji keberhasilan terapi antibiotic ini, maka pasien harus di lumbal pungsi lagi untuk mengecek LCS apakah masih ada bakteri atau sudah berkurang. Jika berkurang maka terapi diteruskan hingga LCS steril. Perbaikan pada profil LCS ditunjukkan dengan : kenaikan kadar glukosa LCS, ada penampakan sel limfosit-monosit, walau dengan pewarnaan gram masih positif, namun lama-lama LCS akan steril. 3,8 6. Bila pada pasien sudah terdapat tanda-tanda kenaikan tekanan intracranial akibat herniasi, kejang-kejang, dan pembesaran lingkaran kepala (akibat hidrosefalus, efusi subdural), ada penonjolan ubun-ubun dan penurunan kesadaran, maka harus segera ditangani dengan intubasi endotrakea dna hiperventilasi (PCO2 sekitar 25 mmHg). Lalu kasih furosemid intravena (Lasix) dengan dosis 1 mg/kgBB untuk mengurangi pembengkakan otak dengan venodilatasi dan dieresis dan manitol dengan dosis 0,5-1 g/kgBB dapat mengurangi tekanan intracranial dengan menghasilkan perbedaan tekanan osmolar antara otak dan plasma sehingga ada pergeseran cairan dari SSP ke plasma lalu dieksresi. 3 7. Pembunuhan bakteri dengan cepat pada LCS secara efektif menstrerilkan infeksi meningen tetapi melepaskan produk sel toksik pasca lisis sel mengeluarkan endotoksin dari dindingnya, yang akhirnya mempercepat respons radang yang diperantarai sitokin. Hasilnya pembentukan edema dan infiltrasi netrofil yang dapat menimbulkan jejasn neurologic. Oleh karena hal ini, maka harus diberika deksametason (kortikosteroid) intravena (dosis 0,15 mg/kgBB/dosis, diberikan setiap 6 jam selama 4 hari) pada manajemen anak dengan meningitis bakteri akut. Komplikasi dari deksametason adalah perdarahan gastrointestinal, leukositosis, hipertensi, hiperglikemia dan demam rebound. 3

Preventif
Vaksinasi dan profilaksis antibiotik kontak yang rentan juga agar tidak menularkan lagi ke orang lain. Untuk H.influenzae, profilaksisnya dengan rifampin untuk yang kontak erat atau dalam satu rumah. Vaksin terhadap H.influenzae tipe b sudah ada dan terbukti aman dan imunogenik pada bayi selama umur bulan-bulan pertama.3,5 Untuk N.meningitidis,

kemoprofilaksisnya dianjurkan pada semua kontak dekat penderita meningitis tanpa mandang usia dan status imunisasi. Kasih rifampin 10 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam selama 2 hari (dosis
22

maksimum 600 mg) sesegera mungkin sesudah teridentifikasi meningitis meningokokus. Vaksin quadrivalen meningokokus terhadap grup A, C, Y dna W 135 dianjurkan pada anak risiko tinggi umur di atas 2 tahun, termasuk yang menderita asplenia, disfungsi limpa fungsional atau defisiensi protein komplemen terminal. Vaksin ini juga dapat diberikan sebagai tambahan profilaksis. Namun sayangnya, kasus meningitis meningokokus ini kebanyakan yang grup B. 3,5 Untuk S.pneumoniae, tidak diperlukan kemoprofilaksis ataupun vaksinasi untuk yang kontak dengan penderita. Jika resiko tinggi, maka kasih vaksin pneunokokus 23 valen. 3

Prognosis
Mortalitas akibat meningitis purulenta tergantung pada berbagai faktor seperti jenis kuman penyebabnya, usia penderita, berat-ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan, dan kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Pada anak yang sudah mencapai tahap koma, biasanya prognosisnya jelek (biasanya pada infeksi S.pneumoniae dan N.meningitidis). Pengenalan yang tepat, terapi pengobatan segera dan perawatan pendukung dapat menurunkan mortalitas meningitis bakteri. Bila anak tersebut mendapatkan perawatan baik terutama memperbaiki kesehatan, nutrisi, cairan dan meminum antibiotik yang tepat maka prognosis-nya dapat berupa prognosis ad vitam bonam, ad fungsionam bonam dan ad sanatisnam bonam. 3 Pada penderita yang sembuh sebanyak 10-20% bisa mendapatkan sekuele perkembangan saraf berat akibat dari meningitis bakterinya dan sebanyak 50% mempunyai beberapa morbiditas neurobehavoiur meskipun tidak kentara. Prognosis buruk jika : terkena pada bayi umur < 6 bulan, pada LCS-nya terdapat 106 CFU bakteri/mL, pasien yang menderita kejang-kejang lebih dari 4 hari dalam terapi, atau pada penderita koma atau pada pasien yang datang dengan tanda neurologis yang cenderung mempunyai sekuele. 3 PENUTUP Infeksi akut SSP merupakan penyebab demam yang paling sering yang disertai dnegan tanda-tanda dan gejala penyakit sistem saraf sentral pada anak. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, fungal, dan parasit. Meningitis bakterial salah satu penyakit yang cukup sering terjadi pada anak. Meningitis menunjukkan secara tidak langsung keterlibatan meningen, sedangkan pada ensefalitis menunjukkan adanya keterlibatan parenkim otak.
23

Daftar Pustaka

1. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH, et al. Diagnosis fisis pada anak. Edisi 2. Jakarta : CV Sagung Seto; 2003. h. 1-34, 128-44. 2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Edisi 13. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010. h.1-34. 3. Sperling MA. Infeksi sistem saraf pusat. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2000.h.872-80. 4. Lum ML. Neurologic and muscular disorders. Lange Current diagnosis and treatment Pediatric. Edisi 18. USA : Mc Graw Hill companies; 2007.p. 730-65. 5. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical microbiology Lange. Edition 25. US : Mc Graw Hill Companies; 2010.p.195-209, 245-70. 6. Abraham MR, Hoffman JIG, Rodolph CD. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 1. Jakarta: EGC; 2006. h 242-52. 7. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. Meningitis purulenta. Ilmu kesehatan anak. Edisi 11. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 556-63. 8. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Lecture notes. Edisi 6. Jakarta: Erlangga; 2007. h. 91-131. 9. Hull D, Johnston DI. Otak, medulla spinalis, saraf, otot. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2008. h. 272-90.

24

Anda mungkin juga menyukai