Anda di halaman 1dari 8

PENATALAKSANAAN EFEK SAMPING PADA RONGGA MULUT DARI RADIOTERAPI SECARA UMUM: 1.

Pra Radioterapi Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital serta yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan. Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/ penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari. Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet yang tidak kariogenik(makanan manis yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi). Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur- kumur dengan khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting, 2009). 2. Selama Radioterapi Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan kepala, dokter gigi melakukan perawatanperawatan terhadap efek samping di rongga mulut: a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti. Pilocarpine adalah obat yang diakui US Food and Drug Administration untuk digunakan sebagai sialagogue (saliva buatan) perawatan dimulai 5 mg secara oral, 3 kali sehari. Beberapa pasien mendapatkan keuntungan ketika dosis ditingkatkan tetapi disamping itu efek samping juga meningkat. Efek samping yang paling umum pada dosis penggunaan klinik adalah hyperhidrosis (keringat berlebihan). Insidens dan keganasannya berbanding lurus dengan dosisnya. Demam nausea, rhinorrhea, vasodilatasi, peningkatan lakrimasi, tekanan kandung kemih (keadaan dan frekuensi saluran kencing), pusing, asthenia, sakit kepala, diarrhea, dan dyspepsia juga dilaporkan, yang umumnya terjadi jika dosis lebih besar dari 5 mg sebanyak 3 kali sehari. Pilocarpine merangsang aliran saliva 30 menit setelah ditelan; respon yang maksimal akan didapatkan setelah penggunaan yang kontinu. Pilocarpine dapat memberikan efek radioprotektif pada glandula saliva jika diberikan selama terapi radiasi kepala dan leher. b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang mengandung mineral besi. c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B. d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan restorative gigi.
1

e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular joint, sehingga otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya. f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis(nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh radiasi) dapat diberikan pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009).

3. Pasca Radioterapi Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat, melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen(Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi menggunakan oksigen murni sebagai media nafas yang diberikan di dalam ruang udara bertekanan tinggi ) dan antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien (Ginting, 2009).

a. PENATALAKSANAAN SINDROM MULUT TERBAKAR (BMS) Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya suatu abnormalitas. Kadangkadang pasien menunjukkan daerah yang dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla lingual yang menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998). Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri: Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi hari tetapi akan terasa bila hari telah siang. Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun dan menetap sampai penderita tidur lagi. Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat yang tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan (Lewis, 1998). Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. pengobatan awal meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu kita perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998). Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini dengan defisiensi nutrisi dan diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-kumur (Lewis, 1998). Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup member penjelasan kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada
2

gangguan serius terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg sekali seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas anxiolytic, antidepresan dan relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas parafungsional. Pada umumnya prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya baik, asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara keseluruhan, pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis, 1998). Faktor presipitasi adalah factor-faktor yang dapat menjadi pencetus terjadinya

b. PENATALAKSANAAN MUKOSITIS ORAL Mukositis: Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di mukosa oral yang terjadi pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang berdekatan dengan rongga mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya infeksi lokal dan sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan komplikasi perawatan kanker yang sangat berpengaruh padaa terapi kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan dengan dosis terapi (Vera, 2007). Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan mengenai sitotoksik

struktur fasial dan oral

termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab, pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring, sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003). Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada pasien dengan tumor primer di rongga mulut, orofaring atau nasofaring, pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan, pasien yang menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi radiasi fraksinasi (Lalla, 2008). Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan timbulnya mukositis oral pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau radiasi untuk kanker di regio kepala dan leher. Faktor-faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik yang terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis jaringan epitel, kebersihan rongga mulut yang terkait dengan mikroba oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005).
3

Penatalaksanaan Mukositis Oral: Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis mukositis oral yang disebutkan dalam Panduan Mukositis Oral mencakup: asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi (Lalla, 2005). Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mukositis akibat kemoterapi atau radiologi adalah: 1. Oral care protocol Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan yang bertujuan menjaga kesehatan mulut. Oral care protocol dapat membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi, karena dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan, serta mencegah infeksi. 2. Agen kumur Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis. Secara umum, agen kumur digunakan untuk membilas debris dan membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus memiliki karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak membuat mulut kering. Zat yang dapat berperan sebagai pembersih mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat, campuran normal saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan beberapa jenis herbal tertentu. 3. Pelindung mukosa : Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses penyembuhan dan regenerasi sel. 4. Agen antiseptik : Yang termasuk dalam agen anti septik antara lain chlorhexidine, hidrogen peroksida, dan povidone iodine. 5. Agen anti inflamasi : Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi yang terjadi akibat mukositis. Beberapa agen anti inflamasi diantaranya kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral. 6. Agen topikal : Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan proteksi mukosa secara topikal, diantaranya adalah lidocaine, capsaicine, dan morfin topikal. c. PENATALAKSANAAN XEROSTOMIA Xerostomia merupakan istilah untuk keadan mulut yang kering, sama seperti xeroptalmia yang digunakan untuk mata yang kering dan xerodemia untuk kulit yang kering (Gayford,1990). Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. Penyakit kelenjar saliva primer meliputi sindrom Sjorgen,
4

kerusakan pasca radiasi, atau anomali pertumbuhan. Penyebab sistemik sekunder dari xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehidrasi, atau terapi obat (Lewis, 1998). Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi (Amerongan, 1991).

Dosis <10 Gray 10-15 Gray 15-40 Gray >40 Gray

Gejala Reduksi tidak tetap sekresi saliva Hiposalia yang jelas dapat ditunjukkan Reduksi masih terus berlangsung, reversibel Kerusakan irreversibel kelenjar

Tabel 1. Hubungan antara dosis dan penyinaran dan sekresi saliva Menurut Gayford (1990) penatalaksanaan xerostomia untuk kasus yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum. Selain itu larutan kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan untuk pasien tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat membantu pada keadaan yang parah, larutan ini tidak berbahaya bila tertelan pasien karena dapat membantu mendorong makanan ke esofagus. Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan tergantung keparahan dari xerostomia. Bila xerostomia disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan adalah mengganti obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi xerostomia berat dapat digunakan obat perangsang saliva maupun zat pengganti saliva. Sekresi saliva dapat dirangsang dengan pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang melaui sistem syaraf parasimpatism seperti pilokarpin, karbamilkolin, dan betanekol. Selain itu, salivix yang berbentuk tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium fosfat, lycasin dan sorbitol juga dapat merangsang produksi saliva. Permen karet yang mengandung xylitol juga dapat menginduksi sekresi saliva (Amerongan, 1991). Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi keluhan mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Pengganti saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube), spray (Saliva Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki persyaratan antara lain bersifat reologis, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan menghambat demineralisasi, mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan yang baik (Amerongan, 1991). Menurut Greenberg (2003), terapi yang dapat dilakukan untuk perawatan pasien yang mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi 4 kategori, antara lain : 1. Terapi preventive
5

Terapi preventive ini bukan bertujuan untuk mencegah terjadinya xerostomia, melainkan mencegah terjadinya infeksi lain akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada pasien xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi. Frekuensi aplikasi fluor bisa dimodifikasi, tergantung keparahan disfungsi kelenjar saliva dan perkembangan karies. Selain itu, terapi antijamur juga dapat diberikan karena pada pasien xerostomia resiko infeksi rongga mulut termasuk candidiasis lebih tinggi. (Greenberg, 2003).

2. Terapi simtomatik Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting. Berkumur dengan air dapat membantu melembabkan rongga mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat mengiritasi mukosa kering yang sensitif (Greenberg, 2003).

3. Stimulasi secara lokal Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan terapi xerostomia. Mengunyah akan menstimulasi aliran saliva secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi produk yang mengandung gula dan pemanis karena dapat meningkatkan resiko karies

4. Stimulasi secara sistemik Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi saliva. Contohnya antara lain: bromhexidine anetholetrithione pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl (Greenberg, 2003).

d. PENATALAKSANAAN KARIES RADIASI Perubahan pada saliva akibat radioterapi menyebabkan resiko karies gigi pada passien yang mengalamai radioterapi meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan pH saliva, dimana pH saliva yang asam merupakan tempat yang cocok dalam perkembangan bakteri kariogenik, seperti Streptococcus Mutans dan Lactobacillus yang dapat menyebabkan terjadinya demineralisasi gigi secara berlahan

(OBrien, 1982). Selain itu pada pasien radioterapi pulpa gigi yang terkena radiasi mengalami hyperemia pulpa sehingga gigi menjadi sangat sensitive terhadap rangsang panas dan dingin ( OBrien, 1982). Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine seperti dengan menghilangkan

seluruh plak dan melkukan penyikatan gigi dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1% secara topikal dapat mengurangi resiko terjadinya karies radiasi, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gel floride 2 kali sehari efektif dalam mencegah karies radiasi. Selain itu, penggunaan obat kumur berfloride atau kombinasi dengan khlorhexidine juga efektif jika dilakukan setiap hari
6

e. PENATALAKSANAAN OSTEORADIONEKROSIS DAN TRISMUS Osteoradionekrosis: Mekanisme kerusakan sel-sel tulang sampai saat ini masih dalam perdebatan, apakah kerusakan sel-sel tulang karena efek langsung radioterapi kanker daerah kepala dan leher terhadap sel-sel tulang atau karena efek sekunder radioterapi yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tulang. Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan osteoklas sehingga terjadi peningkatan aktifitas lisis sel tulang. Radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan dinding arteri yang mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh darah yang kecil. Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan hiposeluler. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan tulang rentan mengalami infeksi dan nekrosis (Vissink et al, 2003).

Penatalaksanaan Perawatan Osteoradionekrosis: Selama pelaksanaan radioterapi kanker daerah kepala dan leher, dokter gigi melakukan perawatan-perawatan terhadap efek samping di rongga mulut yang diantaranya adalah perawatan yang dilakukan untuk osteoradionekrosis. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar tulang dengan didukung terapi antibiotik(Vissink et al, 2003

TRISMUS: Trismus menurut Mosby Dental Dictionary (2004) adalah kejang pada otot mastikasi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka mulut. Trismus dapat terjadi karena invasi dari kanker tersebut ke otot mastikasi, saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok mandibular), TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk terapi kanker di kepala dan leher sering menyebabkan trismus pada pasien (Stubblefield, 2011). Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran, dimungkinkan terjadinya fibrosis dari otot yang dapat menyebabkan terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala seperti trismus dan nyeri (Dhanrajani, 2002). Kesulitan membuka rahang bawah meningkat kemungkinannnya menyebabkan trismus saat pasien menerima radiasi dengan dosis melebihi 10 Gy tiap fraksi pada daerah otot pterigoid (Stubblefield, 2011). Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksanaan trismus tergantung dari gejala yang timbul dan dirasakan oleh pasien. Biasanya trismus menyebabkan rasa tidak nyaman dan disfungsi dari rahang. Tingkatannya bervariasi dari ringan sampai parah, namun yang sering adalah ringan. mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka terapi yang dilakukan adalah:
7

Jika pasien

1. Terapi dengan panas Terapi ini dilakukan dengan cara meletakkan handuk basah yang panas pada daerah yang terkena selama 15-20 menit setiap jam. 2. Pemberian analgesic Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul saat trismus sekaligus memberikan efek antiinflamasi. Selain itu, dapat digunakan juga analgesic golongan narkotik untuk meredakan nyeri jika tidak mengalami perbaikan. 3. Pemberian muscle relaxant Pemberian muscle relaxant yang dianjurkan adalah diazepam 2.5-5 mg tiga kali sehari. Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, dimana pasien dianjurkan untuk berlatih membuka dan menutup mulut secara periodic untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien dianjurkan untuk latihan membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula kea rah lateral selama 5 menit setiap 3 - 4 jam sehari (Dhanrajani, 2002). Anastesi dapat membantu mengatasi masalah trismus namun hanya untuk waktu yang singkat. Jika diperlukan suatu tindakan perawatan gigi saat terjadi trismus dapat dilakukan cara ini untuk membantu dalam melakukan perawatan. Penggunaan alat untuk merawat trismusyang dianjurkan adalah stacked tongue depressor, corkscrew device, dan alat lain yang di gunakan secara komersial misalnya TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System (TB) dan juga Dynasplint Trismus System (DTS) ( Stubblefield, 2011).

Anda mungkin juga menyukai