Anda di halaman 1dari 8

Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap

orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi di sisi lain, mayoritas
orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-
hal yang akan merusak pembinaan akhlaknya.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk
kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Taala dalam al-
Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
l , l , l .I i , .l > L c o _ o , . l s . l o I _ i I i o > _, . o o I I. _ _ s . II . o > .
: Ii . > s , I , > l o o a o > ,
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Taala),
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Katakanlah, Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia. (QS.
Yunus: 57-58).
Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Taala mengingatkan
orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas
terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
l , l , _,i I . ol _ o , > , V i c , I , i >l
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka (QS. at-Taghabun: 14).
Makna menjadi musuh bagimu dalam firman-Nya adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan
bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Taala.[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sadi berkata, Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-
anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Taala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan
sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal
yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-
perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya.[2]
Fenomena Kenakalan Anak
Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan
pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum
muslimin.
Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah
yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak. Sahabat yang mulia, Salman
Al-Farisi radhiallahu anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air
besar? Salman menjawab, Benar. Beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat
ketika buang air besar atau ketika buang air kecil.[3]
Bukankah Allah Subhanahu wa Taala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta
beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki
keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
V , I a , _ o _ I > ., L II , . > I
Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci). (QS. al-Mulk: 14).
Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum
muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-
orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Taala, sehingga mereka
rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak
mereka.
Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri
mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah Azza wa Jalla yang
menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Taala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan
kemuliaan untuk diri mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
V . . _,i Il . . II , l . .l , . s . : . I , s .l s I
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 19)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan
suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan
menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk
dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat.
Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah
menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan
dirinya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
V L . _ o l . I s c . I _ c l . . . e l e o lL
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti
hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas. (QS. al-Kahfi: 28).
Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak),
sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan,
(kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak
mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).[4]
Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang
lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang
seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya,
padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Taala dan memahami kebenaran yang hakiki?
Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?
1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.
[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.
[3] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 262.
[4] Kitab Miftahu Daris Saadah: 1/86.

Sebab Kenakalan Anak Menurut Kacamata Islam
Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum,
adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Taala untuk menyesatkan manusia
dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
l l o . _ . . , c i a V , I : L ,, s . . o I. , . , . , .V _ o _ , . , ,i , _ o , s I > _ c , .l o , _ c . , I .l o
V i > . , . _, l .
Iblis (setan) berkata, Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka
dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-
Mu). (QS. Al-Araf: 16-17).
Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih
kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya
selanjutnya setelah manusia itu dewasa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Taala berfirman, yang artinya, Sesungguhnya Aku
menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran),
kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).[1]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tangisan seorang bayi ketika
(baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.[2]
Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka
dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-
godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan
tersebut?[3]
Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak
pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah
(kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
(beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada
Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran
Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan
kesyirikan kepadanya.[5]
Syekh Bakr Abu Zaid berkata, Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua
terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari
konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan.
(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup
aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka
berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan
mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik
(nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari
pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang
menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan
pengajaran pada fitrah (manusia).[6]
Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik
dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir
(tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli
(minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-
kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium
aroma yang tidak sedap darinya.[7]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan
tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut
sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena
pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]
Ketiga, sumber bacaan dan tontonan
Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti
apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak
lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
e
Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan
saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.[9]
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah
satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Syekh Abdurrahman as-Sadi berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Taala,
_ _ s . : , I c _ o l . . _ . I l o . . . . . l > _ ei _ > I L c o _, . o o I I
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman. (QS. Hud: 120).
Beliau berkata, Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti
sabarnya para rasul alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang
lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan
kebaikan.[10]

[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5] Lihat kitab Aunul Mabud: 12/319320.
[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130131.
[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.

Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh
untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini
sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,
misalnya ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan
menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta
makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.[1]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau,
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa
kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,
Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan
pendidikan bagi mereka.[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar
membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan
tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk
menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak
memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi
pendidikan bagi mereka.[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka
masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak
menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah Memukul Anak yang Nakal untuk Mendidiknya?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan)
shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima
waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang
melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan
mengambil pelajaran darinya dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak
terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, Bolehkah menghukum anak yang melakukan
kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/
lombok?, beliau menjawab, Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan
(dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran
dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi
mempengaruhinya (mencelakakannya). Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak
mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak
terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat.
Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil
yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar
(kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan
terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).[9]
Cara-Cara Menghukum Anak yang Tidak Dibenarkan Dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, Jika salah seorang
dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.[11]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Masud al-Badri, dia berkata, (Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti,
maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, Ketahuilah, wahai Abu Masud! Akan tetapi, aku tidak
mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka
ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, Ketahuilah, wahai Abu
Masud! Ketahuilah, wahai Abu Masud! Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau
bersabda, Ketahuilah, wahai Abu Masud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada
kamu terhadap budak ini, maka aku pun berkata, Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari)
ini.[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka
(sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Bukanlah orang
yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu
menahan dirinya ketika marah.[15]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak,
dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa
Taala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama
dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan nama-nama-Nya
yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita
taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk
kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
doa.
e le e l e

Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,

[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi
dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jamiish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mujamul Kabir no.
10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 9597.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmuatul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 8991.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A
Artikel www.muslim.or.id
Publsih http://artikelassunnah.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai