Anda di halaman 1dari 49

1999

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

125
Kesehatan
Masyarakat

Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Pola Penggunaan Obat dan Obat Tradisional dalam Upaya
Pengobatan Sendiri di Pedesaan – Sudibyo Supardi, Sriana
Azis, Nani Sukasediati
9. Produk Bahan Alami di Lima Apotik di Jakarta: Suatu Tinjau-
an Eksploratif – Nani Sukasediati, B. Dzulkarnaen, Vincent
HS Gan
15. Penggunaan Obat oleh Anggota Rumah Tangga di Jawa dan
Bali (SKRT 1995) – Sarjaini Jamal, Suhardi, Sudjaswadi
Wirjowidagdo
19. Penggunaan Suntikan di Kalangan Masyarakat (SKRT 1995) –
Sarjaini Jamal, Suhardi
23. Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan SKRT
1995 – Suhardi
36. Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah
Utara, 1997 – Sutrisno, Lisa Andriani
42. Toksisitas Akut dan Efek Analgetika Jamu Pegel Linu pada
Mencit Putih – Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi
Wirjowidagdo

46. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 1998-1999

48. RPPIK
Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini mungkin kurang menarik
bagi para klinisi; karena berisi hasil-hasil penelitian masyarakat; tetapi
sesungguhnya masalah kesehatan yang mendasar justru terletak pada
pemberdayaan dan usaha masyarakat sendiri untuk meningkatkan taraf
kesejahteraannya.
Dan untuk itu diperlukan pemahaman mengenai pandangan
masyarakat mengenai kesehatan dan usaha yang mereka lakukan untuk
memeliharanya.
Artikel dalam edisi ini sebagian berdasarkan hasil Survai Kesehatan
Rumah Tangga yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, semoga hasilnya dapat berguna bagi para sejawat, terutama
yang menangani masalah-masalah kesehatan masyarakat.
Edisi ini merupakan yang terakhir untuk tahun 1999; semoga dapat
berjumpa lagi di tahun terakhir abad 20 dalam keadaan yang lebih baik
untuk menyongsong datangnya tahun 2001 - awal milenium baru dengan
harapan-harapan baru.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


1999

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta. Jakarta.
PELAKSANA
Sriwidodo WS – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi SKM, MScD, PhD.
TATA USAHA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi
Sigit Hardiantoro Jakarta. Universitas Indonesia, Jakarta

ALAMAT REDAKSI – Prof. DR. B. Chandra – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Laboratorium Ortodonti
Enseval, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta Surabaya. Jakarta
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo – DR. Arini Setiawati
NOMOR IJIN Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Bagian Farmakologi
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Semarang. Jakarta,
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma DEWAN REDAKSI
PENCETAK – Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
PT Temprint Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut
bidang tersebut. sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Man-
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau uscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me- Contoh:
ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indo- organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-
nesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak mem- lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
buat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan


tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 3
English Summary
PATTERN OF DRUG- AND TRA- advertisements. Traditional PATTERN OF USE OF INJECTIONS
DITIONAL DRUG-USE AS SELF- drugs were mostly used for IN COMMUNITIES, 1995
MEDICATION IN RURAL AREAS maintaining health and for
diarrheas and muscle aches, Sarjaini Jamal, Suhardi
Sudibyo Supardi, Sriana Azis, and judged to be effective.
Nani Sukasediati These traditional drugs were Health Research and Development
mostly bought from peddlers, Center, Department of Health,
Pharmacies Research and costed Rp. 407 (1992) without Jakarta, Indonesia
Development Center, Department additional transportation cost;
of Health, Indonesia. they got information on these As a part of National House-
drugs from neighbors. hold Survey 1995, pattern of use
A cross-sectional study was of injection in communities was
carried out in South Lampung, Cermin Dunia Kedold. 1999; 125:5-8 investigated through house-to-
Sumatra in 1992 as part of Natio- brw house visit using standard direct
nal Household Survey. This study questionnaires on 1002 respon-
was a survey on the pattern of dents which were selected
self-medication. through systematic random
This survey was conducted sampling.
on 320 housewives in two Among respondents, 8.47%
villages in Kecamatan Tanjung received injections during the
Bintang, South Lampung, last month before survey period;
Indonesia, and the results were: 36.61 % of those in paramedic
The prevalence of drug use prac-tices, 31.28% during
during the last month was 74.4%, puskesmas visits, 15.88% in
mostly on 'modern' drugs rather doctor's private practices and
than traditional ones. 1.66% from 'medi-cine man'.
These 'modern' drugs were Female respondents and
used mostly for headaches, those who lives in rural areas
fever and cough, and judged to received more injections than
be effective. These medicines males and of those who lives in
were mostly acquired from small urban areas.
shops (warung), costed Rp. 194 More attentions should be
(1992) without additional given to the sterility and pattern
transportation cost. They got of use of syringes.
information on those drugs from
television and radio Cermin Dunia Kedokt. 1999; 125: 19-22
brw

Glory is the reward of victory

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


Artikel
ANALISIS
Pola Penggunaan Obat
dan Obat Tradisional
dalam Upaya Pengobatan Sendiri
di Pedesaan
Sudibyo Supardi, Sriana Aais, Nani Sukasediati
Pusat Penelitian Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Menurut SKRT 1992, prevalensi penduduk Indonesia yang mengeluh sakit sebulan
terakhir 21%, terendah (12%) di Propinsi Lampung. Untuk mengatasi keluhan tersebut,
sebagian besar masyarakat melakukan pengobatan sendiri pada tindakan pertama,
umumnya menggunakan obat dan obat tradisional. Dalam upaya peningkatan peran
serta masyarakat untuk mengobati sendiri keluhannya sebelum mendapat pertolongan
puskesmas, dibutuhkan informasi tentang pola penggunaan obat dan obat tradisional.
Penelitian cross sectional dilakukan di dua desa di Kecamatan Tanjung Bintang,
Lampung Selatan. Responden adalah ibu rumah tangga/wanita menikah yang meng-
gunakan obat dan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri sebulan terakhir.
Responden diambil secara acak bertingkat (multi stage random sampling) berdasarkan
jumlah rukun warga, rukun tetangga dan rumah tangga sebanyak 320 orang. Data
dikumpulkan dengan wawancara dan observasi. Analisis data berupa distribusi fre-
kuensi dan nilai rata-rata.
Dari pembahasan, diambil kesimpulan sebagai berikut :
Prevalensi penggunaan obat dan obat tradisional di desa sebulan terakhir sekitar 74,4%,
lebih banyak yang menggunakan obat daripada obat tradisional.
Umumnya responden menggunakan obat untuk mengatasi keluhan pusing, demam
dan batuk, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan
sembuh. Umumnya responden membeli obat dari warung, dengan biaya rata-rata Rp
194, tanpa biaya dan alat transportasi, dan sumber informasi dari iklan televisi dan
radio.
Umumnya responden menggunakan obat tradisional untuk menjaga kesehatan dan
mengatasi keluhan diare dan pegel linu, sesuai dengan pengetahuan mereka, dan se-
bagian besar menyatakan sembuh. Umumnya responden membeli obat tradisional dari
pedagang keliling, dengan biaya rata-rata Rp 407, tanpa biaya dan alat transportasi, dan
sumber informasi dari tetangga.

PENDAHULUAN capai kesehatan bagi semua penduduk (Health for all by the
Pengobatan sendiri merupakan bagian dari kebijakan year 2000)(1).
World Health Organization (WHO) dan pemerintah dalam Juga menurut Undang-undang nomor 23 tahun 1992 ten-
upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Salah satu kebijakan tang kesehatan, dinyatakan Kesehatan merupakan kewajiban
WHO tentang pelayanan kesehatan primer adalah upaya men- dan tanggung jawab setiap penduduk(2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 125,1999 5


Pengobatan sendiri adalah upaya yang dilakukan orang Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan tentang nama
obat dan obat tradisional.
awam untuk mengatasi sakit atau keluhan yang dialaminya,
tanpa bantuan tenaga ahli medis/tradisional(3). Pengobatan sen- Nama OB dan OT
Obat Obat tradisional
diri dapat menggunakan obat (OB), obat tradisional (OT) atau untuk keluhan Tahu Tidak tahu Tahu Tidak tahu
cara tradisional. OB yang digunakan umumnya golongan obat (%) (%) (%) (%)
Demam 58,4 41,6 24,7 75,3
bebas dan obat bebas terbatas. Sedangkan OT yang digunakan Batuk 73,8 26,3 33,1 66,9
meliputi simplisia, jamu gendong dan jamu berbungkus. Pusing 88,4 11,6 6,6 93,4
Prevalensi penduduk Indonesia yang sakit selama sebulan Diare 41,9 58,1 54,7 45,3
terakhir rata-rata 21%, terendah (12%) di Propinsi Lampung(4). Pegel linu 8,8 91,3 51,3 48,8
Promotif 5,6 94,4 47,5 52,5
Untuk mengatasi keluhan tersebut, sekitar 60% masyarakat per-
kotaan melakukan pengobatan sendiri menggunakan OB pada Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tujuan penggunaan obat dan
tindakan pertama(5). Menurut SKRT 1986, pengobatan sendiri : obat tradisional.
69;7% menggunakan OB dan 23,2% menggunakan OT(6).
Pengguna OB Pengguna OT
Mengingat cukup besar persentase masyarakat yang mela- Tujuan penggunaan
Jumlah (%) Jumlah (%)
kukan pengobatan sendiri, maka perlu upaya meningkatkan Menjaga kesehatan 12 4,6 43 70,5
mutu pengobatan sendiri agar lebih efisien. Penelitian ini Pengobatan 247 95,4 18 29,5
menggali informasi tersebut dan memformulasikannya, agar Jumlah 259 100,0 61 100,0
dapat dimanfaatkan dalam kebijakan yang mendukung upaya
peningkatan mutu pengobatan sendiri. Tabel 2 menunjukkan tujuan penggunaan OB dan OT oleh
responden. Persentase terbesar responden menggunakan OB
METODA PENELITIAN untuk pengobatan (kuratif), tetapi menggunakan OT untuk
Penelitian cross sectional dilakukan di dua desa di Keca- menjaga kesehatan (promotif). Hal ini menunjukkan penge-
matan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, pada tahun 1996. tahuan responden sesuai dengan tindakan mereka. Juga sesuai
Sebagai responden adalah ibu rumah tangga/wanita menikah dengan Supardi (1992), yang menyatakan ibu rumah tangga
yang menggunakan OB atau OT dalam upaya pengobatan sen- cenderung menggunakan OB dan OT untuk tujuan berbeda. OB
diri sebulan terakhir. Responden diambil secara acak bertingkat cenderung digunakan untuk pengobatan keluhan : sakit kepala,
(multi stage random sampling) berdasarkan jumlah rukun pilek, dan batuk, tetapi OT untuk keluhan : sariawan, pegel
warga, rukun tetangga dan keluarga di desa terpilih. Jumlah linu, menjaga kesehatan sehabis melahirkan atau menstruasi,
responden dihitung menurut rumus berikut(7) : SE = Z √ p.q/n. dan melancarkan air susu ibu(8).
dengan p = 0,70 (pengobatan sendiri menggunakan OB
menurut SKRT 1986); untuk derajat kemaknaan 5% dibutuh- Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan penggunaan obat dan obat
tradisional untuk pengobatan (n = 265).
kan minimal 320 responden. Data dikumpulkan dengan wa-
wancara dan observasi di rumah responden. Data diolah dalam Keterangan
Pengguna OB Pengguna OT
bentuk distribusi frekuensi dan perhitungan nilai rata-rata. Jumlah (%) Jumlah (%n)
Pengobatan :
HASIL DAN PEMBAHASAN - Demam 31 12,6 1 5,6
- Batuk 28 11,3 1 5,6
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi ibu rumah tangga - Pusing 139 56,3 3 16,6
yang menggunakan OB atau OT dalam upaya pengobatan sen- - Diare/sakit perut 1l 4,5 8 44,4
diri sebulan terakhir sebesar 74,4%. Persentase terbesar respon- - Pegel linu 3 1,2 5 27,8
den menggunakan OB (80,9%) dan hanya sebagian kecil meng- - Sakit gigi 17 6,9 - -
- Sesaknapas 4 1,6 - -
gunakan OT (19,1%). Pola ini nampaknya tidak berbeda jauh - Flu/pilek 14 5,6 - -
dengan hasil SKRT 1986, yang menyatakan masyarakat dalam Hasil pengobatan :
melakukan pengobatan sendiri 69,7% menggunakan OB dan - Tidak sembuh 53 21,5 5 27,8
23,3% menggunakan OT(6). - Sembuh 194 78,5 13 72,2
Jumlah 247 100,0 18 100,0
Karakteristik responden, persentase terbesar berumur
kurang dari 30 tahun, tidak tamat SD, pekerjaan ibu rumah
tangga/petani dan pengeluaran per bulan tidak lebih dari Rp Tabel 3 menunjukkan indikasi penggunaan OB dan OT
200.000. Pola penggunaan OB dan OT oleh responden antara untuk pengobatan (kuratif) dan hasilnya. Persentase terbesar
lain berkaitan dengan pengetahuan tentang OB dan OT, tujuan responden menggunakan OB untuk keluhan pusing, demam
penggunaan, hasil pengobatan, sumber OB dan OT, biaya yang dan batuk, dengan hasil 78,5% menyatakan sembuh; tetapi
dikeluarkan untuk membeli OB dan OT, biaya transportasi menggunakan OT untuk keluhan diare dan pegel linu, dengan
untuk mendapatkan OB dan OT, jenis transportasi yang di- hasil 72,2% menyatakan sembuh. Sembuh menurut responden
gunakan dan sumber informasi (Tabel 1-8). yaitu mampu menghilangkan keluhan, tanpa dikonfirmasikan
Tabel 1 menunjukkan pengetahuan responden tentang secara klinik. Responden yang menggunakan OT relatif lebih
nama-nama OB dan OT untuk mengatasi beberapa keluhan sedikit, dan tampaknya merupakan alternatif dalam pengguna-
umum. Persentase terbesar responden mampu menyebutkan an OB. Keluhan pegel linu misalnya, seringkali etiologi dan
nama OB untuk demam, pusing dan batuk, dan menyebutkan jenisnya berbeda, sehingga OB yang termasuk golongan obat
nama OT untuk diare dan pegel linu. bebas atau obat bebas terbatas kurang dikenal, karena lebih

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


banyak dalam golongan obat keras (harus dengan resep dokter). Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan alat transportasi ke sumber
obat dan obat tradisional.
Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan sumber OB dan OT yang
digunakan. Pengguna OB Pengguna OT
Alat transportasi
Jumlah (%) Jumlah (%)
Pengguna OB Pengguna OT Tidak menggunakan 252 97,3 49 80,3
Sumber OB dan OT
Jumlah (%) Jumlah (%) Sepeda 3 1,2 7 11,5
Warung 246 95,0 17 27,8 Angkot 3 1,2 3 4,9
Pedagang keliling 3 1,2 30 49,2 Motor 1 0,4 1 1,6
Tersedia di rumah 5 1,9 7 11,5 Becak - - 1 1,6
Toko obat 5 1,9 7 11,5 Jumlah 259 100,0 61 100,0
Jumlah 259 100,0 61 100,0
biaya transportasi yang dikeluarkan responden (Tabel 6), dapat
Tabel 4 menunjukkan tempat responden membeli OB atau disimpulkan bahwa sumber OB dan OT cukup merata sampai
OT untuk mengatasi keluhannya. Persentase terbesar responden di pelosok desa, sehingga mudah dijangkau dengan jalan kaki.
mendapatkan OB dari warung, tetapi rnendapatkan OT dari
pedagang keliling. Toko obat sebagai outlet resmi kurang di- Tabel 8. Distribusi responden berdasarkan sumber informasi obat dan
manfaatkan masyarakat. Hal ini menunjukkan posisi warung obat tradisional.
dan pedagang keliling (termasuk penjual jamu gendong) cukup
Sumber informasi Pengguna OB Pengguna OT
strategis untuk berperan serta dalam upaya meningkatkan mutu
Jumlah (%) Jumlah (%)
pengobatan sendiri di desa.
Keluarga/tetangga 65 25,1 37 60,7
Iklan tv/radio 152 58,7 14 23,0
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan biaya obat dan obat tradi- Penjual/brosur/wadah 34 13,1 5 8,2
sional. Mantri/dukun/dll 8 3,1 5 8,2
Biaya OB dan OT Pengguna OB Pengguna OT Jumlah 259 100,0 61 100,0
Jumlah (%) Jumlah (%)
Tidak membayar 6 2,3 6 9,8 Tabel 8 menunjukkan surnber informasi tentang OB dan
Rp 1 – 250 227 87,6 28 45,9 OT yang digunakan responden. Persentase terbesar responden
Rp 251 – 500 16 6,2 17 27,9 mendapat informasi tentang OB dari iklan radio atau televisi;
Rp 501 – 1000 3 1,2 6 9,8
> Rp 1000 7 2,7 4 6,6 tetapi mendapat informasi OT dari keluarga/tetangga. Brosur
Jumlah 259 100,0 61 100,0 dan wadah sebagai sumber informasi resmi OB untuk peng-
obatan sendiri kurang dimanfaatkan masyarakat. Iklan televisi
Tabel 5 menunjukkan biaya yang dikeluarkan responden dan radio menduduki posisi cukup strategis sebagai alat KIE
untuk membeli OB dan OT dalam upaya pengobatan sendiri, dalam upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri meng-
tanpa memperhitungkan bentuk sediaan dan dosis yang diguna- gunakan OB di desa. Supardi (1989), juga menyatakan bahwa
kan. Persentase terbesar responden menggunakan OB dengan informasi OT umumnya berasal dari orang-orang tua. Dalam
biaya Rp 1–250, demikian pula responden yang menggunakan hal ini upaya penyuluhan OT secara tidak langsung dapat
OT. B iaya untuk membeli OB rata-rata Rp 194 ± 289 dan OT dilakukan melalui tokoh masyarakat.
rata-rata Rp 407 ± 500. Biaya OT relatif lebih mahal daripada
biaya OB mungkin karena perbedaan bentuk sediaan, kemasan, KESIMPULAN
dan tujuan penggunaan. 1) Penggunaan OB dan OT di masyarakat pedesaan sebulan
Tabel 6 menunjukkan biaya transportasi yang dikeluarkan terakhir 74,4%, lebih banyak yang menggunakan OB daripada
responden untuk mendapatkan OB atau OT. Persentase terbesar OT.
responden tidak membayar biaya transportasi untuk mendapat- 2) Umumnya responden menggunakan OB untuk mengatasi
kan OB, demikian pula untuk OT. Hal ini menunjukkan bahwa keluhan pusing, demam dan batuk, sesuai dengan pengetahuan
responden dapat mencapai sumber penjualan OB dan OT tanpa mereka, dan sebagian besar menyatakan sembuh.
rnenggunakan sarana transportasi umum. 3) Umumnya responden membeli OB dari warung, dengan
Tabel 7 menunjukkan alat transportasi yang digunakan biaya rata-rata Rp 194, tanpa biaya dan alat transportasi, dan
responden untuk mencapai sumber OB dan OT. Persentase ter- sumber informasi dari iklan televisi dan radio.
besar responden tidak menggunakan alat transportasi untuk 4) Umumnya responden menggunakan OT untuk menjaga
mencapai sumber OB, juga sumber OT. Bila dikaitkan dengan kesehatan, dan mengatasi keluhan diare atau pegel linu, sesuai
dengan pengetahuan mereka, dan sebagian besar menyatakan
Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan biaya transportasi ke sumber sembuh.
obat dan obat tradisionai. 5) Umumnya responden membeli OT dari pedagang keliling
dengan biaya rata-rata Rp 407, tanpa biaya dan alat
Pengguna OB Pengguna OT
Biaya transportasi transportasi, dan sumber informasi dari tetangga.
Jumlah (%) Jumlah (`%)
Dalam upaya meningkatkan mutu pengobatan sendiri di
Tidak membayar 257 99,2 57 93,5
Rp200-450 2 0,8 1 1,6 pedesaan, disarankan agar: (a) warung sebagai outlet OB dan
Rp 1000-20(X) - - 3 4,9 penjual OT keliling di desa perlu diikut sertakan dalam penyu-
Jumlah 259 100,0 61 100,0 luhan, (b) penyuluhan OB lebih baik dilakukan melalui televisi

Cermin Dunia Kedokteran No. 125,1999 7


dan radio, serta penyuluhan OT melalui tokoh masyarakat, (c)
4. Sumantri S et al. Survai Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan
materi penyuluhan diarahkan dan disesuaikan dengan penge- Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta 1992 : 60-3.
tahuan dan penggunaan OB atau OT di masyarakat. 5. Ministry of Health, WHO, FK-UNIKA Atma Jaya. Penggunaan obat pada
masyarakat perkotaan di tiga kota besar di Jawa. Jakarta 1993.
KEPUSTAKAAN 6. Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta 1986 : 60-3.
1. World Health Organization. Primary health care. Geneva 1978 : 7-8. 7. Lwanga SK, Lemeshow S. Sample size determination in health studies (a
2. Departemen Kesehatan. Undang-undang Republik Indonesia nomor: 23 practical manual). World Health Organization, Geneva 1991 : 50-1.
tahun 1992 tentang kesehatan. Bab I pasal 1. 8. Supardi S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat
3. Sukasediati N dkk. Temuan beberapa faktor penentu yang dapat tradisional dan obat di desa Tapos, Bogor. Cermin Dunia Farmasi 1992;
dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pengobatan sendiri dari beberapa 12: 1l-6.
desa di Kabupaten Lamongan dan Lombok Barat. Maj Kes Masy Indon
1992; 45: 14-9.

Telah diketemukan :
‘gen penyebab kebotakan’
pada kromosom
penderita !

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


HASIL PENELITIAN

Produk Bahan Alami


di Lima Apotik di Jakarta :
Suatu Tinjauan Eksploratif
Nani Sukasediati, B. Dzulkarnaen, Vincent HS Gan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan analisis deskriptif sederhana terhadap informasi produk bahan


alami (PBA) dari 24 nama dagang PBA yang tersedia di 5 apotik di 5 wilayah DKI.
Dalam tinjauan eksploratif ini, yang dimaksud dengan PBA adalah produk sediaan jadi
(tablet, kapsul, elixir, salep, dan lain-lain) yang mengandung satu atau lebih bahan
alami, umumnya berasal dari tumbuhan.
Berdasarkan inisial nomor registrasi dari 24 jenis PBA terungkap bahwa produk
tersebut 42% terdaftar sebagai obat (D/DBL),1 produk sebagai ML dan sekitar 54%
terdaftar sebagai TR dan TL. Formula atau ramuan PBA umumnya merupakan
kombinasi dari beberapa tumbuhan dan ada pula zat kimia (1-6 jenis). Dari 24 prouk
tersebut dicatat sejumlah 45 simplisia. Sekitar 46% (11/24) PBA diserahkan kepada
konsumen berdasarkan preskripsi, di antaranya PBA dengan inisial pendaftaran TL.
Informasi yang tercantum dalam penandaan ditelaah terfokus pada maksud
pemanfaatan (claim indikasi) dan dilakukan analisis deskriptif sederhana. Analisis
tersebut mengungkapkan claim indikasi dengan ketidakjelasan manfaat empirik.
Informasi keamanan PBA pun tidak banyak diungkapkan.
Dalam kaitan dengan beberapa ketidakjelasan yang telah diungkapkan di atas,
meski produk tersebut telah beredar, disarankan agar tetap berhati-hati dalam
penggunaan dan waspada akan timbulnya hal-hal yang merugikan khususnya efek
samping jangka panjang, dan lain-lain. Di samping itu kiranya diperlukan konfirmasi
manfaat PBA dalam bentuk formula/ramuan terutama yang diserahkan berdasarkan
preskripsi.

PENDAHULUAN umumnya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan


Akhir-akhir ini masalah kesehatan terutama di kota-kota mental, meningkatkan penampilan, kebugaran usia lanjut, dan
besar, mulai mengarah pada penyakit bukan infeksi antara lain lain-lain. Ada pula beberapa produk bahan alam yang ditujukan
akibat lingkungan pekerjaan, gizi lebih, usia lanjut, dan lain- untuk penyakit kronik atau degeneratif lain yang makin me-
lain(1). Selain itu muncul gejala baru dalam mengatasi masalah ningkat sejalan dengan semakin tingginya harapan hidup.
kesehatan tersebut antara lain : upaya back to nature, meng- Masyarakat kota metropolitan yang terpajan informasi
gunakan berbagai bahan alam. Kecenderungan tersebut rupa- lebih intensif, selalu ingin fit karena persaingan keras, di lain
nya cepat ditangkap oleh kalangan pengusaha untuk mening- pihak hidup dengan gaya modern, dan mudah tergiur barang
katkan pemasaran produk bahan alami antara lain obat baru, mudah menjadi korban ketidakbenaran informasi apa
tradisional, suplemen makanan, berbagai sari buah atau sayuran saja. Mengingat hal-hal di atas, tulisan ini bermaksud me-
bentuk kapsul, bahkan di negara maju pun telah menjadi ngemukakan beberapa masalah berkaitan dengan informasi
booming business(2). Berbagai klaim produk-produk tersebut produk alami guna memberi perlindungan kepada masyarakat.

Dipresentasikan pada Simposium Perhipba IX, 12-13 Nopember 1997, UGM


Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 9
Analisis dalam tinjauan ini bersifat deskriptif sederhana dimak- 2) Pendaftaran dan peredaran
sudkan guna mengungkapkan beberapa aspek yang perlu men- Selain diamati ketersediaannya di apotik, peredaran PBA
dapat perhatian baik dari kalangan pengawasan dan pengaturan dilihat juga dari IIMS edisi 1995 dan ijin peredaran melalui
maupun dari kalangan produsen dan pengguna. pendaftaran sediaan jadi (Tabel 2). Tabel inipun menjabarkan
sejumlah 11 PBA yang tercantum dalam EMS, berarti memiliki
METODOLOGI akses terhadap penulis resep. EMS selama ini diasumsikan
Studi ini berupa eksplorasi dan kajian terhadap package sebagai pemberi informasi kepada penulis preskripsi tentang
insert beberapa PBA yang dijual di beberapa apotik di Jakarta jenis obat yang beredar di pasaran. Tercantumnya suatu produk
Pemilihan apotik dilakukan secara purposif yang berlokasi di 5 dalam IIMS dapat pula menjadi ukuran ketersediaan produk
wilayah DKI. Data yang dikumpulkan adalah informasi pe- tersebut di pasaran, meski tidak selalu demikian. Sirup I (Tabel
nandaan (komposisi PBA, inisial pendaftaran, indikasi, cara 2) tidak tercantum dalam EMS meski terdaftar sebagai obat.
penggunaan, dan lain-lain), ketersediaan PBA di apotik, Data IIMS memang dipasok oleh produsen, sehingga dapat
kondisi penjualan kepada pasien, pemaparan kepada penulis dikatakan IIMS adalah ajang promosi obat kepada penulis
preskripsi. Data dikumpulkan menggunakan formulir isian dan preskripsi.
melalui package insert dan penandaan (untuk PBA yang tidak
ada package insert). Analisis deskriptif sederhana terutama Tabel 2. Kondisi ketersediaan, peredaran dan penjualan PBA
ditujukan untuk mencari kesesuaian antara komposisi simplisia,
Kondisi PBA
dengan indikasi, cara penggunaan dan dukungan informasi baik
Nama PBA Dijual Tercantu Inisial
empirik maupun secara eksperimental, aspek pengawasan dan Dijual
Tersedia dengan m di IIMS pendaftar
pengaturan. Informasi yang diperoleh disusun dalam tabel. tanpa R/
R/ 1995 an
Dalam tulisan ini produk bahan alami (PBA) adalah: 1. A elixir + - + + D
sediaan jadi berbentuk padat (kapsul, tablet), setengah padat 2. B sir + - + + DBL
3. C cap + - + - TR
(salep, krim) atau cair (elixir/solutio) dengan komposisi 4. D cap + + - + TL
simplisia (dan/atau ekstraknya) atau campuran simplisia (atau 5. E gargle + - + + D
ekstraknya) dengan dan tanpa bahan kimia, diberi perlakuan 6. F tab ? ? ? - TR
seperti obat modern. Jamu berbungkus yang dikonsumsi seperti 7. G pulv + - + - TR
8. H elixir + + - + D
cara empirik tidak disertakan dalam studi ini. 9. I sir + - + - D
10. J cap/sal/ + + - + D
HASIL DAN PEMBAHASAN powd
Hasil analisis terhadap 24 jenis PBA dengan berbagai 11. K sir + - + + DBL
12. L cap + + + + D
bentuk sediaan, yang tersedia di 5 apotik di 5 wilayah DKI 13. M sol + - + + DL
disajikan dalam 2 bagian informasi, (a) infonmasi aspek teknik 14. N tab + + + - D
(bentuk sediaan, simplisia, dan lain-lain) dan (b) informasi 15. O pil + - + - TR
terkait penggunaan (manfaat dan risiko). 16. P cap + - + - TR
17. Q cap + + + + TR
Jumlah apotik dalam studi ini meski tidak banyak, mem- 18. R sal + + + + TL
berikan gambaran peredaran PBA di Jakarta. Daerah sekitar 19. S cap/drop + + - + TL
apotik tersebut dihuni segmen masyarakat kelas menengah kota 20. T cap + + - + TL
metropolitan. Model masyarakat ini mungkin berbeda dengan 21. U cap + + - + TL
22. V cap + - + - TR
masyarakat di luar Jakarta. Sehingga studi ini lingkup studi ini 23. W tab + + - + TR
pun terbatas pada model masyarakat tersebut dengan berbagai 24. X cap + - + - ML
faktor yang mempengaruhi.
Keterangan :
A. INFORMASI ASPEK TEKNIS TR = Obat Tradisional dalam negeri D = Obat sebelum reevaluasi
TL = Obat Tradisional luar negeri DBL = Obat yang telah direevaluasi
1) Bentuk sediaan Ml = Makanan luar negeri Dl = Obat luar negeri
PBA tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, umumnya
dikonsumsi secara oral seperti halnya obat modern. Rincian Tabel 3. Kondisi penjualan PBA berdasarkan pendaftaran.
bentuk sediaan PBA dijabarkan dalam Tabel 1. Selain bentuk
oral ada pula bentuk sediaan topikal. Jumlah (%)
No. Inisial pendaftaran
PBA Dijual dengan R/ Dijual babas
Tabel 1. Rincian bentuk sediaan PBA 1 D/DBL/DL 10* (42) 4 (16) 8 (33)
2 TR/TL 13* (54) 7 (29) 8 (33)
Bentuk sediaan Jumlah (%) * 3 ML 1 (4) - 1 (4)
1. Tablet 4 (16)
2. Kapsul 10 (41) * Jumlah tidak sesuai karena ada PBA yang dapat dijual dengan dan tanpa R/
3. Salep/krim 2 (8)
4. Larutan (sirup, gargle, drop, elixir) 8 (33) Peredaran resmi produk dinyatakan oleh adanya nomor
5. Serbuk/powder 1 (4) pendaftaran produk bersangkutan. Semua PBA dalam Tabel 2
* Jumlah dalam kolom lebih 24, karena ada PBA tersedia lebih dari 1 bentuk telah mendapat ijin resmi beredar, namun salah satu jenis di
sediaan. antaranya belum tersedia di semua apotik. Dari pengamatan

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


terhadap inisial pendaftaran (Tabel 3), PBA didaftarkan (D/DBL/DL) terutama sebagai D yang berarti belum dire-
dengan beberapa macam inisial nomor pendaftaran PBA. Se- evaluasi. Selebihnya, sekitar
bagian PBA, sekitar 42% (10/24) terdaftar sebagai obat modern

Tabel 4. Intormasi simplisia, klaim dan manfaat PBA

Manfaat
Nama PBA Nama simplisia Klaim produser empirik/eksperimental
komponen simplisia
1. A elixir Ext. Sonchus arvensis obat sakit pinggang akibat diuretik, urolitiasis
ext. Strobilanthus crispus batu ginjal

2. B Sirup Tct Cimicifugae, Tct. obat batuk ekspektoran (ext. Thymi)


Grindelia, Pimpinella, Tct sakit tenggorokan (Tct.
Quebracho, Tct Thymi, Saponin, Cimicifugae)
NaBr, Ephedrin, Mentol,
Eucalyptus

3. C kapsul penghancur batu ginjal diuretik, urolitiasis


4. D kapsul Ext. Curcuma zanthorhiza, hepatoprotektor
Ext. Sylibum Marianum
5. E gargle Piper betle, Radix Liquiritiae obat sariawan adstringent
6. F tablet Attapulgit, Psidii folii, Curcuma antidiare adstringent
domestica
7. G pulv Glyzirrhizae, Sophorae, Indigo obat sakit tenggorok (?)
pulv, Calcitum
8. H elixir Ext. Berberis, Ext. Rubiae, Ext. penghancur batu ginjal mengatasi radang
Saxifragae, Lithum, Mg (Saxifragae)
borosilikat, Na fosfat
9. I sirup Hibiscus, Abrus prec., Mentha obat batuk, asma, masuk antiradang, analgetik,
arv., Piper betle, Zingiber off., angin, dan lain-lain anestetik lokal, pendingin
Euphorb hirta, Eletaria cardam tenggorokan (Menta arv.)
Eugen. Car
10. J sal/kap Ext. Centella asistica pencegah koloid (?)
11. K sirup Tct. Grindelia, Pimpinella, obat batuk ekspektoran (Ext. Thymi)
Primulae, Rosae, Ext. Thymi
12. L kapsul Hexamin, Na salisilat, Strob penghancur batu ginjal diuretik, antiseptik saluran
crispus Sonchus arvensis, kencing
Orthosiph stam, Phyl. niruri
13. M sol. Ol. Cariophylli, Kreosot obat sakit gigi anestetik lokal
14. N tablet Orthosiphon folia diuretik melancarkan kencing
15. O kapsul Fol. Andrographis, Cortex obat kencing gula, tekanan Obat kencing gula
Alstonia, Leuc. glauca, Phas. darah tinggi, rematik, dan
Radiatus lain-lain
16. P kapsul Guazuma fol. Marraya panic, antikolesterol menurunkan bobot badan
Sonchus arvensis mencit, diuretik
17. R kapsul Kurkumin, Mi. A kurkuma antirematik, met. lemak
18. Q salep Rhus toxidendron, Ledum antirematik topikal (?)
ramulus, Symphitum herba, Ol.
Pini pumil
19. S kap/drop Frimulae flos cum Calycibus, radang akut dan menahun analgetik antiinflamasi
Gentianae radix, Sambuci flos, di sekitar hidung, (Sambuci flos. Primulae
Rumicis herba, Verbenae herba pendukung antibakteri radix), kongesti (Verbenae
herba) (Verbaaae
20-22 TUV Eks. Ginkgo biloba meredakan gejala akibat mengatasi insufisiensi
kapsul. gangguan peredaran darah serebral (Egb 761), anti
otak, meningkatkan daya PAF (LI 760)
ingat, pendengaran,
penglihatan
23. w kapsul Tribulus terestris fructi memperbaiki libido pria, (?)
mada ereksi,
spermatogenesis
24. X kapsul Ginger extract Antirematik Analgetik

54% (13/24) terdaftar sebagai Obat tradisional (TR/TL) dan 1 tersebut dijual secara bebas, dan sebagian lain berdasarkan
produk sebagai suplemen makanan (ML). Sebagian dari produk preskripsi. Tabel 2 dan 3 juga menampilkan gambaran kondisi

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 11


penjualan dan ijin peredaran melalui pendaftaran dan adanya Tabel 5. Klaim indikasi PBA oleh produsen terhadap kondisi penjualan
dan pendaftaran.
TR/ TL yang dipreskripsi 7 PBA (29%) dari 11 PBA (45%).
Apapun bentuk sediaan yang digunakan oleh pasien atau Pen- Dengan Tanpa
disuruhgunakan oleh penulis preskripsi, sampai saat ini tetap Nama PBA Klaim indikasi
daftaran R/ R/
perlu memenuhi persyaratan keamanan dan khasiat(4). Sedang- 1. A elixir Obat sakit pinggang D - +
kan PBA mengandung komponen tanaman obat, yang masih akibat batu ginjal
2. B sirup Obat batuk DBL - +
sulit memenuhi persyaratan khasiat dan keamanan obat 3. C cap Penghancur batu ginjal TR - +
modern. 4. D cap Hepatoprotektor TL - +
5. E sirup Obat sariawan D - +
3) Komposisi PBA 6. F tab Antidiare TR ? ?
7. G powd. Obat sakit tenggorok, dan TR - +
Komposisi PBA seringkali bukan hanya bahan alam lain-lain
(Tabel 4). Sebagian PBA, 21% (5/24), juga mengandung zat 8. H elixir Penghancur batu ginjal D + +
kimia dan terdaftar sebagai obat (D/DBL/DL). Jika PBA, 9. I sirup Obat batuk, asma, masuk D - +
dalam wujud formula atau ramuan ini, belum jelas diungkap- angin, dll.
10. J cap/sal/powd Pencegah keloid D + -
kan khasiat dan keamanannya, maka tidak etis digunakan pada 11. K sirup Obat batuk DBL - +
manusia, sekalipun merupakan obat tradisional(3). Sejauh ini 12. L cap Penghancur batu ginjal D + +
bukti empirik maupun eksperimental umumnya berasal dari 13. M sol Obat sakit gigi, gusi DL - +
tanaman tunggal dan sejauh ini konfirmasi efek simplisia bengkak
tanaman obat masih pada tahap eksperimental pada hewan per- 14. N tab Diuretik D + +
cobaan. Untuk itupun tetap perlu diingat adanya diskrepansi 15. O cap Obat kencing gula, TR - +
antara efek pada hewan percobaan dan pada manusia. Tragedi tekanan darah tinggi,
thalidomide merupakan akibat ketidaksamaan ramalan efek rematik dan lain-lain
16. P cap Antikolesterol TR - +
pada spesies berbeda. 17. Q cap Antirematik, metab. TR + +
Seluruh simplisia dalam studi berjumlah sekitar 45 simpli- Lemak
sia dan jumlah simplisia tiap PBA berkisar antara 1-8 item baik 18. R salep Antirematik topikal TL + +
sebagai simplisia atau ekstraknya. Ada 8 PBA yang me- 19. S cap/drop Radang akut dan menahun TL + -
di sekitar hidung,
ngandung 1 jenis simplisia atau ekstrak (C, J, N, T, U, V, W, pendukung antibakteri
X). Akan tetapi tidak berarti merupakan single component. 20. T tab Meredakan gejala akibat TL + -
Kandungan ekstrak dari satu spesies tanaman dapat berbeda gangguan peredaran darah
baik jumlah dan jenisnya. Kandungan ekstrak ginseng (Panax otak
21. U cap Meningkatkan daya ingat, TL + -
ginseng) misalnya, sangat bervariasi tergantung faktor usia, pendengaran penglihatan,
iklim, musim waktu panen, habitat, bagian badan ginseng 22. V cap Antirematik TR - +
(bagian di atas atau di bawah tanah) dan metode ekstraksi(4,5). 23. W cap Memperbaiki libido, TR + -
Kandungan zat aktif paeoniflorin dari sekitar 12 sampel sim- masa ereksi,
spermatogenesis
plisia (akar) peony yang banyak diperdagangkan di Hongkong, 24. X cap Antirematik ML - +
bervariasi antara 0,01%-4,75%, dan 7 sampel di antaranya
tidak mencapai 2%, yang menjadi persyaratan Chinese Pada Tabel 4 dapat diamati klaim indikasi yang disanding-
Pharmacopoeia(6). kan dengan manfaat empirik(7,8) dan/atau eksperimental. Seperti
Pada Tabel 4 dapat pula diamati beberapa simplisia yang umumnya tanaman obat, informasi khasiat empirik tidak
hanya disebutkan sebagai nama genus tanpa nama spesies. pernah untuk 1 jenis indikasi. Mengingat kandungan zat kimia
Guna keperluan kontrol kualitas dari aspek pengawasan, pem- yang sangat banyak dan bervariasi, khasiat empirik pun selalu
bakuan simplisia memerlukan nama lengkap simplisia yang lebih dari 1.
diramu. Informasi dalam package insert, perlu menyebut hal Sebagian besar PBA mengandung simplisia memiliki
tersebut secara jelas, meskipun belum menjamin apakah informasi empirik yang diakui masyarakat dan tercantum
simplisia tersebut memiliki spesifikasi yang sama dari batch ke dalam pustaka. Klaim sebagai obat batuk misalnya temyata
batch, seperti halnya ginseng dan peony. mengandung Ekstr. Thymi yang sampai sekarang masih
digunakan. Sonchus, Strobilanthus, Phylanthus yang diklaim
B. INFORMASI RISIKO DAN PENGGUNAAN
sebagai diuretik juga memiliki dasar empirik dan telah banyak
Tabel 5 menunjukkan klaim indikasi PBA oleh produsen
dikonfinmasi dengan penelitian eksperimental. Hal yang serupa
berdasarkan penandaan antara lain package insert dan dikaji
terjadi pada Curcuma dan hasil isolasinya. Jahe sebagai
terhadap ijin peredaran dan kondisi penjualan.
antirematik mungkin dilandasi dengan khasiat empirik sebagai
Klaim dalam tabel ini cukup bervariasi mulai dari penyakit
analgetik yang juga telah didukung oleh penelitian eks-
yang self diagnosed/self limiting, antara lain batuk, sariawan,
perimental. Hal yang sama berlaku pula pada sambiloto sebagai
diare, sampai penyakit yang diketahui melalui diagnosis pro-
penurun gula darah(9). Kapsul ekstrak Ginkgo biloba (EGB
fesional, antara lain diabetes, insufisiensi serebral, kerusakan
761) merupakan salah satu produk alam yang telah diteliti
hepar, hiperlipidemia, dan lain-lain. Dari kondisi penjualan
secara ekstensif dan telah dibakukan untuk mengatasi in-
kepada konsumen, 11 PBA yang diserahkan dengan resep
sufisiensi serebral (EGB 761) dan sebagai anti PAF -Platelet
memang ditujukan untuk penyakit yang tidak self diagnosed.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


Aggregating Factor (LI 760, BN52063 dan BN52021)(10,11,12); masih dalam perdebatan, agaknya lama penggunaan ekstrak
meski sebegitu jauh tetap tidak diketahui substansi yang paling tersebut mungkin merupakan salah satu kunci. Analisis uji
berkhasiat dalam ekstrak tersebut, apakah ginkgo flavonoid klinik EGB 761 (dari 40 uji klinik terkontrol) ternyata tidak
sendiri atau bersama dengan komponen lain. Mekanisme kerja dilakukan dalam jangka panjang, hanya beberapa minggu
dan SAR belum dapat diterapkan pada PBA meski telah di- sampai beberapa bulan dengan pengukuran efek paling lama 12
lakukan puluhan uji klinik. bulan(10). Pada Tabel 6 di atas 11 PBA tidak menyebut jangka
Sebaliknya, Tabel 4 pun mengungkapkan beberapa sedia- waktu penggunaan, bahkan 6 di antaranya menganjurkan pem-
an galenik dan simplisia yang masih memerlukan konfirmasi berian jangka panjang dan disebut sebagai aman. Diskolorasi
klinik dan pembuktian lebih lanjut sebelum menjadi prescribed gigi pada anak, akibat mengkonsumsi tetrasiklin adalah contoh
drugs. Beberapa diantaranya Extr. Centella sebagai antikeloid, klasik efek samping yang terungkap belasan tahun kemudian.
Tribulus terestris sebagai aphrodisiac, Vervenae sebagai de- Selain kapsul EGB 761, beberapa kasus risiko akibat peng-
kongestan, Sambuci dan Primulae sebagai antiinflamasi, dan gunaan tanaman obat, telah dilaporkan dan dikonfirmasi, antara
sebagainya. lain alkaloid pyrrolizidin dari comfrey yang bersifat hepato-
Meski PBA terkesan aman, karena berasal dari bahan toksik, efek mineralokortikoid dari Glyzirrhiza glabra(16). Pada
alam, aspek keamanan perlu diwaspadai. Secara empirik suatu kejadian-kejadian ini, para ahli berkomentar, agar lebih
tanaman obat atau simplisia tertentu umumnya telah melalui berhati-hati memanfaatkan PBA, terutama karena mekanisme
seleksi alam, dan diasumsikan tidak menimbulkan toksisitas kerja atau analisis SAR belum sepenuhnya diketahui.
akut. Toksisitas akut yang menjadi ukuran suatu tanaman obat Dari analisis terhadap informasi PBA ini terkesan kuat
dinyatakan aman umumnya diperoleh dari bentuk sederhana adanya informasi yang kurang memadai, seperti terlihat pada
yang biasa digunakan secara empirik, baik cara makan maupun Tabel 6. Istilah yang digunakan dalam informasi inipun tidak
cara menyiapkannya. Di lain pihak, sebagian dari PBA telah seluruhnya menggunakan istilah awam. Pendaftaran sediaan
diproduksi sebagai bentuk ekstrak/tingtur (Tabel 4). Efek jadi menghendaki digunakannya istilah awam dalam package
simplisia sebagai obat tradisional empirik, belum dilepaskan insert, karena informasi ini ditujukan pada para pengguna
dari komponen penyerta yang diolah secara empirik (rebusan, produk.
perasan, seduhan) kemungkinan berbeda dengan efek ekstrak/ Produsen perlu membatasi promosi PBA terutama indikasi,
tingtur(13). Ekstrak inipun perlu diketahui apakah menggunakan manfaat dan jangka penggunaan agar tidak terjadi salah penger-
pelarut polar atau non polar, dengan berbagai cara (maserasi, tian,yang dalam jangka panjang berakibat buruk. Paling
sokletasi, fraksionasi). Kombinasi beberapa ekstrak dalam satu kurang, untuk menghindarkan konsumen dari efek yang me-
produk (pada sebagian besar PBA, Tabel 4) bukan tidak rugikan, baik secara klinik dan jasmani, maupun ekonomi,
mungkin menimbulkan efek sinergisme atau aditif yang justru dalam arti konsumen tidak membeli produk yang tidak
merugikan. Mungkin lebih menguntungkan jika konfirmasi bermanfaat.
khasiat PBA dilakukan dari ramuan/formula selain dari
masing-masing komponen secara terpisah. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan dan
Tabel 6. Informasi penggunaan dan risiko. saran sebagai berikut
1) PBA yang resmi beredar terdaftar sebagai obat (D/DBL/
Ikwal Jumlah PBA
DL) sebagai obat tradisional (TR/TL) dan sebagai makanan
1. Lama penggunaan
- jangka waktu tertentu 2 (ML).
- jangka panjang (> 1 bulan) 6 2) Formula atau ramuan PBA umumnya terdiri dari beberapa
- tidak disebut 11 simplisia tanaman dan zat kimia berkisar antara 1 sampai
2. Risiko dengan 8 jenis.
- menyebut gejala 2
- menyebut : “tidak diketahui” 3 3) Dari 11 PBA yang diserahkan dengan preskripsi, 7 di
- aman untuk jangka panjang 4 antaranya terdaftar sebagai TR/TL. Sebagian PBA ini telah
- tidak disebut 10 menjalani studi ekstensi, namun apa pula yang masih mem-
3. Penyebutan istilah indikasi butuhkan konfirmasi klinik dan belum diketahui komponen
- teknik medik -
- istilah awam 7 yang bertanggung jawab menimbulkan efek seperti dalam
- campuran awam dan medik 12 klaim. PBA yang dipreskripsi seyogyanya menjalani uji man-
faat dalam bentuk ramuan, baik secara eksperimen pada hewan
Dari 19 package insert yang dianalisis, lebih dari separuh percobaan ataupun di klinik.
tidak menyebut risiko, dan hanya 2 yang menyebut gejala, 4) Efek PBA berasal dari ekstrak belum tentu memiliki efek
itupun dengan catatan “sangat jarang”. Akan tetapi hal ini tidak yang sama dengan bentuk empirik, apalagi jika PBA me-
dapat dikatakan bahwa PBA bebas dari risiko penggunaan(14). ngandung lebih dari satu simplisia dengan klaim efek serupa.
Beberapa kasus risiko penggunaan telah dilaporkan. Salah Komponen simplisia dalam PBA, sebagian tidak ditulis
satunya adalah kasus hematoma subdural pada orang yang lengkap, hanya mencamtunkam genus tanpa spesies. Kiranya
makan kapsul ekstrak Ginkgo biloba (EGB 761) selama 2 informasi ini kurang lengkap mengingat diperlukannya pem-
tahun(16). Dinyatakan pula tidak diketahui adanya hubungan bakuan simplisia di masa mendatang dalam rangka peningkatan
antara obat lain yang dimakan dengan kejadian tersebut. Meski pengawasan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 13


5) Efek samping tidak hanya diungkap dalam penandaan 6. Cai Y, Phillipson JD, Harper JI, Corne SJ. HPLC and IHNMR
spectroscopic methods for quality evaluation of Paeonia roots.
PBA. Sebagian tertulis : efek samping tidak diketahui. Per- Phytochemical Analysis 1994; 5: 183-9, dikutip dari Phillipson JD.
nyataan ini tidak berarti bahwa PBA aman digunakan secara Continuing education: Pharmacy and Herbal Medicines. Hongkong
empirik, seperti obat tradisional. Efek samping jangka tetap Pharm J 1995; 4(2): 55-63.
perlu diwaspadai. 7. Perry L. Medicinal Plants of Southeast Asia. MIT Press.
8. Aliandi Arif et al. Tanaman Obat Pilihan. Yayasan Sidowayah, 1996.
9. Nuratmi B, Adjirni, Paramina DI. Beberapa penelitian farmakologik
UCAPAN TERIMAKASIH Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) : kumpulan abstrak. Warta
Penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan apoteker TOI. 1996; 1: 23-4.
pengelola apotik yang terpilih dalam studi ini. Terimakasih pula kami 10. Kleinen J, Knipschild P. Ginkgo biloba for cerebral insufficiency. Br J
sampaikan kepada Kapuslitbang Farmasi atas kesediaan memberi ijin Clin Phammac. 1992; 34:352-38.
penyusunan makalah dan keikutsertaan dalam presentasi ilmiah ini. 11. Roberts NM, Page COP, Chung KF, Barness PJ. Effect of anti PAF
antagonist BN52063 on antigen -induced acute, and late onset cutaneous
responses in atopic subjects. J Allergy Clin Immunol. 1988; 82: 236-41.
KEPUSTAKAAN
12. Kemeny I, Csato M, Braquet P, Dobozy. Effect of BN 52021, a platelet
1. Profil Kesehatan Indonesia 1995. Pusat Data Kesehatan. Depkes RI. activating factor antagonist, on dithranol-induced inflammation. Br J
2. Marwick C. The growing use of medicinal botanical forces assessment by Dermatol. 1990; 122: 539-44.
drug regulator. JAMA 1995; 273: 607-9. 13. Sukasediati N, Nurendah PS. Penelitian daya antipiretik dan keamanan
3. Principles for the clinical evaluation of drugs. WHO Techn Rep Ser 403, ekstrak Alstonia scholaris pada mencit. Laporan penelitian, BPPK, 1982.
1968. 14. Dzulkarnain B. Obat tradisional tidak tanpa bahaya. CDK.1989; 59: 7-10.
4. Hyo WB (ed). Korean Ginseng: Chemical components of ginseng (part 15. Rowin J, Lewis MD. Spontaneous bilateral subdural hematomas
5). 2nd ed, 1978. Korean Ginseng Institute, Seoul Korea. associated with chronic Ginkgo biloba ingestion. Neurology 1996; 46:
5. Kim SK, Sakamoto I, Mormoto K et al. Chemical evaluation on ginseng 1175-6.
extract: Seasonal variation of saponins and sucrose in cultivated ginseng 16. D’Arcy PF. Adverse reactions and interaction with herbal medicines.
roots. Proc. 3rd Internat Ginseng Symposium 1980: 5-8. Adverse Drug React Toxicol Rev. 1991; 10(4): 189-208.

He who is long in making up his mind does not always


choose the best
(Goethe)

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


HASIL PENELITIAN

Penggunaan Obat
oleh Anggota Rumah Tangga
di Jawa dan Bali (SKRT 1995)
Sarjaini Jamal, Suhardi , Sudjaswadi Wiryowidagdo
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN rakat dapat diketahui melalui penelusuran sumber obat yang


Salah satu program pokok pembangunan bidang kesehatan digunakan ART.
adalah pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit (RS). Data ini dapat digunakan untuk perkiraan penyebaran obat
Adanya kebijakan pelayanan rujukan ini memungkinkan beban yang merata dan mudah dijangkau oleh masyarakat.
kerja menjadi terbagi pada berbagai tingkat pelayanan yang
ada; pelayanan kesehatan rujukan yang lebih tinggi seharusnya TUJUAN
hanya untuk kasus-kasus penyakit yang tidak dapat dilayani Umum:
oleh pelayanan di tingkat yang lebih rendah. Kebijakan di atas Mengetahui karakteristik penggunaan obat oleh ART di Jawa
sesuai dengan prinsip “bagi habis” kerja dan rentang kendali dan Bali.
(span of control) dalam manajemen. Khusus:
Tidak terpusatnya pelayanan kesehatan di satu tempat, 1) Mengetahui penggunaan obat di Jawa-Bali berdasarkan
memungkinkan penggunaan fasilitas yang ada menjadi lebih jenis kelamin ART.
efisien sehingga masyarakat diharapkan mendapat pelayanan 2) Mengetahui penggunaan obat di Jawa dan Bali berdasarkan
yang bermutu(1). perbedaan wilayah perkotaan dan pedesaan.
Di samping itu tindakan melakukan pengobatan diri sendiri 3) Mengetahui sumber perolehan obat yang digunakan oleh
juga merupakan salah satu upaya masyarakat dalam mengatasi ART di Jawa dan Bali.
masalah kesehatannya secara dini. Makin berhasil pengobatan 4) Mengetahui tujuan penggunaan obat oleh ART di Jawa dan
diri sendiri dilakukan, akan makin berkurang beban pusat-pusat Bali.
pelayanan kesehatan yang ada baik di tingkat dasar maupun di
tingkat rujukan. Dengan mengetahui maksud penggunaan obat METODOLOGI
oleh masyarakat, apakah untuk menjaga kesehatan (preventif) Data dikumpulkan dengan kuesioner oleh seorang dokter
atau untuk mengobati penyakit (kuratif) dan rehabilitatif dapat yang telah dilatih melalui wawancara langsung. Responden
pula diperkirakan usaha masyarakat melakukan upaya kesehat- adalah kepala/ibu rumah tangga atau ART dewasa yang ber-
an paripurna. tindak mengambil keputusan dalam keluarga. Analisis dilaku-
Melalui penelusuran penggunaan obat (bukan obat tradisi- kan dengan mengaitkan penggunaan obat dengan berbagai
onil) dapat diketahui fasilitas kesehatan yang didatangi oleh karakteristik ART berdasarkan frekuensi dan persentase. Uji
seseorang bila memerlukan obat, baik untuk mengobati sakit chi-square digunakan untuk melihat perbedaan penggunaan
maupun untuk menjaga kesehatan dan lain-lain. Untuk itu pada obat di antara pria-wanita dan daerah perkotaan-pedesaan.
studi morbiditas yang merupakan bagian dari Survei Kesehatan Daerah perkotaan dan pedesaan dibedakan berdasarkan
Rumah Tangga (SKRT) 1995, di samping penyakit dan di- “skor” atas beberapa karakteristik sosio ekonomi dari unit
sabilitas telah dikumpulkan pula data penggunaan obat oleh wilayah administratif terkecil; antara lain tentang kepadatan
Anggota Rumah Tangga (ART). SKRT merupakan salah satu penduduk, lapangan kegiatan utama penduduk, fasilitas umum
wahana pengumpul data kesehatan dari masyarakat langsung (jalan raya, sarana pendidikan, sarana kesehatan umum, kantor
(community base line data) yang terintegrasi dengan Susenas(2). pos, transportasi dan lain-lain). Daerah perkotaan memiliki
Obat yang digunakan masyarakat dapat berasal dari: rumah semua karakteristik sosio ekonomi tersebut dengan skor yang
sakit, puskesmas, apotek, toko obat, warung dan praktek tenaga telah ditetapkan(3).
kesehatan. Proporsi pemanfaatan masing-masing oleh masya- Seorang ART dikatakan menggunakan obat bila minimal

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 15


satu kali pernah menggunakan atau memakai obat dalam kurun
sebulan yang lalu, dihitung mundur dari hari kedatangan Warung dan puskesmas merupakan sumber obat utama
pencacah. bagi ART yang menggunakan obat sebulan terakhir. Hanya
Sampel SKRT menggunakan 5.085 rumah tangga (5% 5,03% ART yang mendapatkan obat dari apotik, sedangkan
sampel Susenas-modul) atau 10.034 ART. dari praktek dokter 8,41 % dan RS 2,36%.
Pengolahan data dilakukan dengan komputer dan disajikan
dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. 3) Tujuan penggunaan obat

Tabel 4. Tujuan penggunaan obat oleh ART di Jawa dan Bali (SKRT
HASIL
1995).
1) Penggunaan obat
a) Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin ART Nomor Tujuan Jumlah responden
penggunaan obat n %
Tabel 1. Penggunaan obat sebulan terakhir di Jawa dan Bali berdasarkan 1 Mengobati penyakit 2051 91,56
jenis kelamin ART (SKRT-1995). 2 Menjaga kesehatan 125 5,58
3 Keluarga berencana 26 1,16
Jenis kelamin ART Jumlah 4 Menambah vitalitas 11 0,49
Nomor Menggunakan obat
Pria Wanita n % 5 Lain-lain 27 1,21
1 Ya 994 1256 2250 44,25 Total 2240 100
2 Tidak 1382 1453 2835 55,75
Total 2376 2709 5085 100 Tidak menjawab 10

x2 = 10,557 dan p < 0,05 Pada umumnya penggunaan obat oleh ART ditujukan untuk
mengobati penyakit, untuk menjaga kesehatan hanya 5,58%
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam menggunakan dan keluargaberencana 1,16%.
obat antara pria dan wanita selama sebulan terakhir. Wanita
lebih banyak menggunakan obat dibandingkan pria. Sebanyak DISKUSI
44,25% responden pernah menggunakan obat dalam kurun Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa hampir 44,25% ART di
waktu sebulan terakhir. Jawa dan Bali pernah menggunakan obat. Fenomena ini me-
nunjukkan ART semakin peduli dengan kesehatannya yaitu
Tabel 2. Penggunaan obat di Jawa dan Bali berdasarkan daerah tentang perlunya mengobati sakit atau menjaga kesehatan dan
perkotaan-pedesaan (SKRT-1995). lain-lain. Dengan cukup tingginya penggunaan obat oleh ART
berarti pula salah satu program di bidang obat tampaknya telah
Nomo Menggunakan Jenis daerah
r obat Perkotaan Pedesaan
Jumlah terpenuhi yaitu agar obat mudah dicapai bagi yang mem-
1 Ya 954 1296 2250 butuhkannya di samping sudah tingginya pemahaman obat oleh
2 Tidak 1177 1658 2835 masyarakat.
Total 2131 2954 5085 Warung merupakan sumber terbanyak dari obat-obat yang
digunakan oleh ART. Sumber lainnya yakni puskesmas,
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam peng- praktek paramedik (perawat/bidan), toko obat, dokter praktek
gunaan obat antara penduduk di daerah perkotaan dan pe- dan apotik. Peran Posyandu dan Pos Obat Desa (POD) sebagai
desaan. garda terdepan dalam pelayanan kesehatan ternyata sangat
kecil. Hal ini mungkin karena warung merupakan outlet obat
2) Sumber perolehan obat yang paling mudah dicapai oleh masyarakat, baik karena
jaraknya dekat maupun dengan uang yang sedikit sudah bisa
Tabel 3. Sumber perolehan obat yang digunakan oleh ART di Jawa dan memperoleh obat. Biasanya obat-obat yang dijual di warung
Bail (SKRT-1995).
dan toko obat adalah untuk keluhan sakit yang diketahui jelas
Jumlah responden oleh orang awam seperti demam, batuk, pegal linu, sakit kepala
Nomor Sumber obat
n % dan lain-lain. Dengan cukup banyaknya masyarakat yang
1 Warung 996 44,35 mendapatkan obat dari kedua outlet ini dapat pula diperkirakan
2 Puskesmas 356 15,85 bahwa fenomena pengobatan sendiri cukup tinggi di kalangan
3 Praktek paramedik 257 11,44 masyarakat di Jawa dan Bali.
4 Toko obat 209 9,31
5 Praktek dokter 189 8,41 Hasil ini sesuai dengan informasi yang diperoleh Susenas
6 Apotik 113 5,03 1992; pengobatan sendiri menduduki pilihan pertama (47,26%)
7 RS 53 2,36 masyarakat dalam mencari tempat/cara berobat(4).
8 Poliklinik 34 1,51 Upaya masyarakat melakukan pengobatan diri sendiri
9 Pdg keliling dan lainnya 24 1,07
10 Posyandu 8 0,36 dinilai seperti pedang bermata dua, bila tidak dilakukan secara
11 POD 4 0,18 benar. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di
12 Klinik KB 3 0,13 puskesmas atau RS, namun di sisi lain bila obat yang digunakan
Total 2246 100 adalah obat-obat yang termasuk dalam daftar G (obat keras)
Tak menjawab 4
seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan antihipertensi

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


tanpa pengetahuan yang memadai akan menimbulkan hal-hal (91,56%), sedangkan menjaga kesehatan/promotif hanya 5,58%
yang tak diingini. Pemakaian obat daftar W (bebas terbatas) dan untuk keluarga berencana 1,16%. Seseorang mendatangi
seperti analgetika, antipiretika dan obat batuk dalam jangka RS atau puskesmas atau praktek swasta tenaga kesehatan
lama juga dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. biasanya jika dia merasa betul-betul sakit. Karena warung dan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap toko obat toko obat merupakan sumber obat terbanyak dipilih oleh para
pada tahun 1992 diketahui bahwa di toko obat tidak saja responden, mungkin mereka telah melakukan pengobatan diri
ditemukan obat-obat bebas dan bebas terbatas juga ditemukan sendiri sebelum mendatangi pusat pelayanan di atas. Dengan
obat keras seperti beberapa antibiotika dan penenang(5). melihat urutan-urutan sumber obat pada Tabel 3 dapat
Walaupun pada penelitian ini tidak diketahui jenis obat yang diketahui bahwa masyarakat pada umumnya selama ini telah
digunakan oleh ART namun tidak tertutup kemungkinan di- menganut pelayanan berjenjang. Pada tahap pertama masya-
gunakannya obat-obat keras tersebut untuk pengobatan diri rakat melakukan dulu pengobatan sendiri, kemudian baru men-
sendiri (self remedies). datangi puskesmas atau praktek pelayanan tenaga kesehatan.
Pemakaian antibiotika yang tidak tepat, baik karena dosis Rumah Sakit menduduki urutan ke tujuh. Barangkali kunjungan
yang rendah maupun pemakaian dalam jangka waktu yang ke RS baru diperlukan bila usaha yang lain kurang memuaskan.
lama ataupun yang sudah rusak atau kadaluarsa memungkinkan Fenomena ini selaras dengan harapan sistim rujukan pelayanan
terjadinya resistensi ataupun superinfeksi bahkan kemungkinan kesehatan.
timbulnya alergi ataupun syok anafilaktik pada individu ter-
tentu(6).
Fenomena ini perlu mendapat perhatian khusus karena KESIMPULAN
sampai sekarang sudah banyak dilaporkan adanya resistensi 1) Sebanyak 44,25% anggota rumah tangga yang ditanya
berbagai antibiotika seperti amoksisilin, eritromisin dan dalam SKRT menjawab pernah menggunakan obat selama
ampisilin(7). Dianjurkan agar antibiotika dan obat-obat untuk sebulan terakhir.
penyakit tertentu tidak digunakan pada pengobatan diri sendiri. 2) Sumber obat yang paling dominan adalah warung
Obat jenis ini hanya diberikan melalui fasilitas penjualan obat (44,35%) dan yang lainnya adalah puskesmas (15,85%),
yang dikelola oleh tenaga yang mengetahui dan memahami praktek perawat/ bidan (11,44%), toko obat (9,31%), praktek
khasiat dan keamanan obat seperti apoteker di apotik dan dokter (8,41%), apotik (5,03%) dan RS hanya 2,36%.
dokter di RS/puskesmas. 3) Terdapat perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita
Terdapat perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita dalam hal pernah menggunakan obat sebulan terakhir; wanita
dalam hal penggunaan obat (Tabel 2). Dapat ditambahkan lebih banyak pernah menggunakan obat dibandingkan pria.
bahwa pada penelitian ini, penggunaan obat keluarga berencana 4) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam pernah
termasuk dalam klasifikasi menggunakan obat, sehingga me- menggunakan obat di kalangan ART yang berdiam di daerah
ningkatkan kemungkinan kelompok wanita lebih banyak perkotaan dengan pedesaan selama sebulan terakhir.
menggunakan obat dibandingkan pria. Berbagai kemungkinan 5) Pada umumnya penggunaan obat ditujukan untuk meng-
lain, misalnya karena responden wanita memang lebih peduli obati penyakit (91,56%), sedangkan untuk menjaga kesehatan
pada kesehatannya dibandingkan pria. Di samping tiap bulan 5,58% dan untuk keluarga berencana 1,16%.
wanita usia subur (WUS) memerlukan analgesik untuk penawar
rasa sakit saat menstruasi. SARAN
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna di antara Dengan cukup luasnya cakupan distribusi obat di masya-
penduduk di perkotaan dengan di pedesaan dalam meng- rakat dan banyaknya ART menggunakan obat, disarankan agar
gunakan obat (Tabel 2). Bila penggunaan obat dikaitkan Departemen Kesehatan dapat meningkatkan informasi obat atau
dengan keluhan kesehatan maka fenomena ini sesuai pula penyuluhan penggunaan obat yang baik (P2OB) antara lain
dengan apa yang ditemukan oleh Susenas 1992, bahwa keluhan melalui peningkatan penyebaran buku “Pedoman Penggunaan
kesehatan di kedua daerah hampir sama(perkotaan 20,75% dan Obat Bebas” yang telah ada.
pedesaan 21,13%)(4). Bila praktek penggunaan obat ditentukan
oleh pengetahuan dan sikap, berarti untuk kedua domain
perilaku tersebut dalam penggunaan obat hampir sama di
kalangan masyarakat di perkotaan dengan di pedesaan. Hal ini UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada DR. Suharsono Sumantri sebagai ketua
mungkin karena komunikasi-informasi sudah cukup lancar dan pelaksana SKRT yang telah berkenan mengizinkan penggunaan data SKRT
demand masyarakat terhadap perlunya mencari obat untuk 1995 Jawa-Bali untuk diungkapkan pada tulisan ini.
mengobati sakit yang diderita atau menjaga kesehatan di kedua
daerah sudah cukup tinggi. Walaupun demikian pada Tabel 2
terlihat seolah-olah masyarakat desa lebih banyak mengguna- KEPUSTAKAAN
kan obat dibandingkan masyarakat kota. Hal ini mungkin ter-
jadi karena jumlah responden lebih banyak di desa diban- 1. Republik Indonesia. Rencana Pembangunan Lima Tahun ke Enam, Buku
dingkan di kota. IV: 294.
2. Soemantri S. Studi protokol SKRT 1995, Jakarta.
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa penggunaan obat pada 3. BPS. Profil Statistik Wanita, Ibu dan Anak Indonesia, BPS, Jakarta, 1994:
umumnya ditujukan untuk mengobati penyakit/kuratif xxv.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 17


4. BPS Statistik kesehatan rumah tangga menurut hasil Susenas, Jakarta, 7. Kuntaman, Prijanto S, Rukmini. Pemisahan bakteri penyebab infeksi
1992. tenggorokan dan pola kepekaan terhadap beberapa antimikroba. Medika
5. Sarjaini J. Pendistribusian obat melalui toko obat, 1993. 1992; 10 : 28-30.
6. Goodman, Gilmann’s. The Pharmacological Basic of Therapeutics, 8. Blalock HM. Social statistics, Mc Graw Hill-Kogakusha Ltd., Tokyo,
Pergamon Press, New York, 1991; 4 : 1018-44. 1972.

Armadillo (sejenis Trenggiling)


ternyata dapat menularkan
kuman lepra !

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


HASIL PENELITIAN

Penggunaan Suntikan
di Kalangan Masyarakat
(SKRT 1995 )
Sarjaini Jamal, Suhardi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Untuk melihat penggunaan suntikan di kalangan masyarakat, maka Survai


Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 telah mengumpulkan beberapa data melalui
kunjungan langsung oleh seorang dokter dari rumah ke rumah.
Ternyata sebanyak 8,47% dari 1002 responden mengatakan pernah mendapatkan
suntikan dalam kurun waktu sebulan terakhir. Dari jumlah tersebut 36,61% men-
dapatkannya dari praktek paramedik, 31,28% dari puskesmas sewaktu kunjungan rawat
jalan, 15,88% dari tempat praktek dokter dan 1,66% dari tukang suntik keliling.
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan suntikan antara responden
pria dengan wanita maupun antara yang berdiam di perkotaan dengan pedesaan.
Responden wanita lebih banyak mendapatkannya dibandingkan pria. Responden yang
berdiam di pedesaan lebih banyak mendapatkannya dibandingkan di perkotaan.
Kelompok umur 14-45 tahun merupakan yang terbanyak mendapatkan suntikan
kemudian diikuti oleh kelompok umur yang lebih tua.
Disarankan agar para tenaga kesehatan selalu diingatkan akan bahaya penggunaan
alat suntik yang sembrono terhadap akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya. Peng-
gunaan disposable syringe sangat dianjurkan untuk menghindari penularan beberapa
penyakit berbahaya melalui alat suntik yang tidak steril atau dipakai untuk beberapa
orang pasien.

PENDAHULUAN tentang penggunaan suntikan (injection practices) ini dan pada


Keinginan disuntik bila sakit kadang-kadang telah menjadi tahun 1990 mengadakan suatu studi regional di Senegal, Indo-
kebiasaan (habit) penduduk di sebagian daerah. Seseorang nesia dan Uganda untuk melihat penggunaannya di beberapa
yang datang berobat ke puskesmas atau praktek tenaga kesehat- negara sedang berkembang(1).
an merasa kurang pas jika belum mendapatkan suntikan, Demikian juga Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
walaupun telah diberi obat minum. Malah akan lebih senang pada tahun 1995 mencoba melihat bagaimana penggunaan
bila suntikan tersebut terasa sakit atau disuntik di dua pinggul suntikan di kalangan masyarakat melalui pengamatan pada
kiri dan kanan sebagai “pamungkas”. Ini merupakan rumor anggota rumah tangga (ART). Beberapa data yang telah dikum-
tentang suntikan di kalangan masyarakat. pulkan melalui studi tersebut dikemukakan pada tulisan ini.
Dari segi kesehatan, alat suntik yang tidak steril atau di-
pakai bergantian dikuatirkan dapat menjadi sumber penularan TUJUAN
patogen lainnya. Banyak penyakit yang dapat ditularkan Mengetahui penggunaan suntikan di kalangan masyarakat
melalalui jarum suntik yang sembrono seperti hepatitis, yang dideskripsikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
HIV/AIDS, polio dan malaria. Kadang-kadang terjadi abses wilayah perkotaan-pedesaan, tempat mendapatkan suntikan,
menahun di daerah bekas suntikan karena infeksi. den umur responden.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaruh perhatian khusus

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 19


METODOLOGI Tabel 3. Mendapatkan suntikan di kalangan ART berdasarkan tempat
mendapatkannya.
Data dikumpulkan melalui kunjungan langsung oleh se-
orang dokter umum menggunakan metoda wawancara. Infor-
No. Nama tempat mendapatkan suntikan Banyaknya
masi direkam dalam daftar isian/kuesioner. Responden adalah n %
kepala rumah tangga/ibu atau anggota rumah tangga (ART) 1 RS - rawat inap 18 2,13
sudah dewasa yang mengetahui keadaan kesehatan anggota 2 RS - rawat jalan 23 2,73
keluarganya. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada 3 Puskesmas - rawat inap 30 3,55
4 Puskesmas - rawa jalan 264 31,28
survai sosial ekonomi nasional (SUSENAS-1995) yang 5 Poliklinik 18 2,13
dilakukan oleh BPS, SKRT mengambil 5% dari sampel Modul 6 Praktek dokter 134 15,88
SUSENAS-1995 yang dipilih secara systematic random 7 Praktek paramedik 309 36,61
sampling. 8 Klinik KB 17 2,01
9 Posyandu 14 1,66
Koreksi data dilakukan sejak awal di lapangan untuk me- 10 Tukang suntik keliling 14 1,66
lihat konsistensi pengisian kuesioner. Pengolahan data dilaku- 11 Sendiri 2 0,24
kan dengan komputer mulai dari data entry, verifikasi sampai 12 Lain-lain 1 0,12
disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. Analisis Total 847 100
dilakukan dengan melihat nilai-nilai kecenderungan dikaitkan
dengan beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Untuk 4) Umur responden
melihat adanya kemaknaan perbedaan mendapatkan suntikan Responden yang berumur 15-44 tahun merupakan kelom-
antara responden wanita dengan pria dan antara yang tinggal di pok yang terbanyak mendapatkan suntikan (50,18%) kemudian
daerah pedesaan dengan perkotaan digunakan uji Chi square. diikuti oleh kelompok umur yang lebih tua (Tabel 4).

HASIL Tabel 4. Mendapatkan suntikan di kalangan ART berdasarkan kelom-


pok umur.
1) Berdasarkan jenis kelamin responden
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan Banyaknya
No. Kelompok umur responden (tahun)
suntikan antara kaum pria dan wanita (p < 0,05); kaum wanita n %
lebih banyak mendapatkannya dibandingkan pria (Tabel 1). 1 0-4 49 5,78
2 5 -14 91 10,75
3 15-44 425 50,18
Tabel 1. Mendapatkan suntikan sebulan terakhir berdasarkan jenis 4 45-59 142 16,77
kelamin responden. 5 60 ke atas 140 16,52
Total 847 100
Jenis kelamin
Mendapatkan Jumlah
No. Pria Wanita
suntikan
n % n % n
1 Mendapatkan 334 7,15 513 9,65 847 PEMBAHASAN
2 Tidak mendapatkan 4.350 92,85 4.805 90,35 9.155 Penggunaan alat suntik tidaklah ama seratus persen. Ke-
Total 4.684 100 5.318 100 10.002 kuatiran tidak saja tentang penularan beberapa penyakit tetapi
juga kemungkinan terjadinya shock anafilaktik pada pemberian
2) Berdasarkan daerah tempat tinggal streptomisin, prokain penisilin da ampisilin(1,2). Hal ini barang-
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapatkan kali menjadi penyebab kenapa sebagian dokter jarang mem-
suntikan antara yang berdiam di daerah pedesaan dengan per- berikan injeksi, terutama pada anak-anak, bayi dan lansia
kotaan (p < 0,05); yang berdiam di pedesaan lebih banyak men- kecuali terpaksa.
dapatkannya dibandingkan di perkotaan (Tabel 2). Masalah mensterilkan alat suntik di pusat-pusat pelayanan
kesehatan perlu mendapat perhatian khusus. Di beberapa
3) Tempat mendapatkan suntikan puskesmas, tabung dan jarum suntik tidak dimasukkan dalam
Praktek paramedik merupakan tempat terbanyak didatangi kotak, tapi diletakkan di almari tanpa bungkus, sehingga rawan
oleh responden untuk mendapatkan suntikan (36,61%). Kemu- pencemaran oleh debu den mikroba. Proses sterilisasi hanya
dian diikuti puskesmas pada waktu rawat jalan (31,28%) den dilakukan sekali yaitu pagi hari melalui pendidihan selama 20
praktek dokter (15,88%) (Tabel 3). Juga terdapat responden menit dalam cooking pan. Biasanya terdapat sebanyak 3 alat
yang melakukan penyuntikan sendiri (0,24%) dan yang men- suntik untuk dipakai oleh sekurang-kurangnya 15 orang
dapatkan dari tukang suntik keliling (1,66%). pasien(1). Karena terbatasnya fasilitas sterilisasi yang tersedia di
puskesmas dan posyandu penggunaan disposable syringes
Tabel 2. Mendapatkan suntikan sebulan terakhir berdasarkan daerah menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar. Masalahnya
perkotaan-pedesaan.
adalah penyediaannya mengingat biaya obat dan alat kesehatan
Jenis kelamin yang terbatas.
Mendapatkan
No.
suntikan
Perkotaan Pedesaan Jumlah Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada umumnya para
n % n % responden mendapatkan suntikan dari institusi yang dikelola
1 Mendapatkan 291 7,30 556 9,0 847
2 Tidak mendapatkan 3.696 92,70 5.459 91,0 9.155
oleh tenaga kesehatan (tempat praktek paramedik, puskesmas,
Total 3.987 100 6.015 100 10.002 tempat praktek dokter dan lain-lain). Dalam beberapa hal
pertimbangan komersial terselubung dapat melatarbelakangi

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan. Injeksi adalah dapat dilakukan dengan cara mencuci daerah kulit yang akan
sediaan lebih mahal dibandingkan pil, dan pasien bersedia disuntik dengan sabun atau lysol. Di negara-negara di mana
membayar ekstra untuk itu. Kondisi ini mengimbas para alkohol 70% tidak tersedia karena hukum Islam mengharam-
provider untuk menawarkannya pada pasien karena ada insentif kannya, peran alkohol 70% diganti dengan propil alkohol be-
yang diharapkan(3). rupa tissue steril ukuran 3 x 3 cm sekali pakai.
Di beberapa puskesmas di Jawa Tengah pada tahun 1993 Penyuntikan diri sendiri juga kadang-kadang dilakukan
diketahui bahwa setiap konsultasi yang kebanyakan dilakukan oleh pasien-pasien penderita penyakit khronis seperti
oleh paramedik selalu disudahi dengan ucapan “suntik ya”(4); penyuntikan Insulin pada diabetes melitus. Untuk itu memang
lalu biasanya pasien hanya mengangguk tanda setuju. Ini mereka diajari cara penyuntikan yang benar oleh perawat yang
tampaknya sudah menjadi suatu prosedur rutin di puskesmas. mengobatinya. Di Uganda 21-34% responden melakukan pe-
Gambaran yang sama juga ditemukan di Thailand; di kampung- nyuntikan diri sendiri dan mereka memiliki alat suntik yang
kampung, penduduk secara umum percaya bahwa injeksi dibawa ke puskesmas agar memudahkan perawat(1). Di negara
bekerja lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan bentuk obat kita keadaan seperti itu belum pernah dilaporkan.
yang lain(5); bahkan satu ampul sediaan suntik dianggap Dari segi jenis kelamin terdapat perbedaan yang sangat
mempunyai kekuatan 10 kali obat dalam bentuk pil. Jika se- bermakna dalam mendapat suntikan antara pria dan wanita,
orang perawat ditanya mengapa menggunakan injeksi dia akan mungkin karena wanita lebih banyak sakit. Dugaan ini
menjawab bahwa obat akan bekerja lebih cepat, cukup tersedia, diperkuat oleh hasil penelitian Studi Morbiditas-Disabilitas
lebih sesuai, lebih mudah, lebih efektif dan mudah diingat. SKRT 1995 yang menyebutkan bahwa keluhan kesehatan pada
Penelitian di Lombok dan Lebak (1990) menemukan wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan pria(6). Perbedaan yang
bahwa 70-90% pasien yang berobat di pelayanan kesehatan sangat bermakna juga ditemukan antara responden yang tinggal
umum mendapatkan suntikan, sedangkan di Uganda angka di perkotaan dengan pedesaan; di pedesaan lebih banyak pasien
tersebut adalah lebih rendah yaitu mencakup 60-70% pasien(1). mendapatkan suntikan dibandingkan di perkotaan (Tabel 2).
Ternyata tidak semua penyuntikan itu diminta oleh pasien, Barangkali ini berkaitan dengan kebiasaan penduduk, pe-
yaitu hanya 30-48%, selebihnya adalah inisiatif para ngetahuan dan pengalaman di samping lebih banyaknya pendu-
provider(1). Ini menunjukkan bahwa penyuntikan memang duk di pedesaan yang sakit dibandingkan di perkotaan. Dugaan
ditawarkan tenaga pengobat dan sebagian diminta pasien yang terakhir ini diperkuat oleh hasil Studi Morbiditas-Disabilitas
bersangkutan. SKRT 1995 yang menyebutkan bahwa keluhan kesehatan di
Pasien-pasien yang banyak menerima suntikan adalah pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan(6).
yang menderita demam (40-56%), batuk pilek (34-54%), diare Kelompok usia produktif (15-44) maupun yang lebih tua
(50-53%) dan sakit kulit (56-b1%). Fenomena yang hampir ternyata lebih banyak mendapatkan suntikan dibandingkan ke-
sama juga ditemukan pada pengamatan di Uganda(1). Beberapa lompok usia muda (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pola peng-
obat yang banyak diberikan pada kasus-kasus tersebut adalah gunaan obat yang ditemukan pada Studi Penggunaan obat-
Oksitetrasiklin, Vit B12 dan Penisilin (untuk demam), Antal- SKRT 1995 bahwa yang banyak menggunakan obat adalah
gin, Vit K, Vit B1, Oksitetrasiklin, Difenhidramin, Strepto- pada kelompok usia tersebut(7).
misin, Kalsium, Vit B12 (untuk batuk pilek). Sedangkan untuk
diare adalah Oksitetrasiklin, Penisilin, Papaverin dan Vit B1(1).
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masih KESIMPULAN
terdapatnya tukang suntik keliling (walaupun sedikit). Ini 1) Sebanyak 8,47% dari 1002 anggota rumah tangga (ART)
menunjukkan bahwa keinginan disuntik memang merupakan pernah mendapat suntikan selama sebulan terakhir; 36,61%
kebutuhan sebagian anggota masyarakat sendiri. Banyak faktor diperoleh di tempat praktek paramedik, 31,28% di puskesmas
melatarbelakangi mengapa tidak pergi ke puskesmas untuk sewaktu berobat jalan, 15,88% di tempat praktek dokter dan
disuntik, seperti jarak, tingkat keramahan, kebiasaan atau tukang suntik keliling 1,66%.
biaya. Keadaan bisa menjadi sulit bila tukang suntik tersebut 2) Terdapat perbedaan yang bermakna dalam mendapat sun-
tidak mempunyai pengetahuan atau latar belakang medik. Di tikan antara pria dan wanita; wanita lebih banyak dibanding
suatu kecamatan di suatu daerah, ternyata adalah mantan pria.
pegawai administrasi di suatu RS di Jakarta, karena pensiun 3) Perbedaan yang bermakna juga ditunjukkan antara di
pulang ke kampung asalnya dan menjadi tukang suntik keliling. daerah perkotaan dan pedesaan; di pedesaan lebih banyak yang
Suatu kebiasaan buruk dari sang penyuntik adalah melap mendapat suntikan dibanding di perkotaan.
bagian dalam alat suntik dengan kain sebelum disimpan 4) Kelompok umur 15-44 tahun merupakan yang banyak
kembali. Usaha ini menyebabkan terkontaminasinya tabung mendapat suntikan, kemudian diikuti oleh kelompok umur
suntik oleh mikroba melalui tangan dan kain yang tidak steril; yang lebih tua.
dengan demikian dapat dimengerti mengapa sering terjadi
infeksi atau abses di daerah penyuntikan.
Untuk mengurangi pengaruh luar yang dapat menimbulkan SARAN
infeksi maka bagian tubuh yang akan disuntik diolesi antiseptik Peralatan sterilisasi di RS atau di unit-unit pelayanan ke-
alkohol 70%. Di daerah yang jauh atau karena berbagai sebab, sehatan perlu dilengkapi dan mendapat perhatian khusus,
alkohol mungkin sulit diperoleh, untuk maksud yang sama mengingat penggunaan alat suntik yang kurang steril berisiko

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 21


menularkan penyakit. KEPUSTAKAAN
Tenaga kesehatan yang memberikan suntikan perlu di- 1. WHO. Injection Practices in Developing World, WHO, Geneve. 1993.
ingatkan akan bahaya penggunaan alat suntik yang tidak steril 2. Berita MESO, no. 2, Agustus 1984, hal 5-6.
atau yang digunakan pada lebih dari satu pasien. 3. Kleinman A. Patients and Healers in the Context of Culture-An
Penggunaan disposable syringe sangat dianjurkan walau- Exploration of the Borderland Between Anthropology, Medicine and
Psychiatry, University of California Press, Berkeley. 1980.
pun memerlukan biaya yang lebih tinggi. 4. Sciortino R. Caretaker of Cure, A Study of Health Centre Nurses in Rural
Central Java. Amsterdam. 1993.
5. Reeler AV, Heamtorn C. Injection Practices in Third World, A Case
Study of Thailand, WHO, Geneve. 1990.
UCAPAN TERIMA KASIH 6. Badan Litbangkes. Studi Morbiditas-Disabilitas, dalam Laporan Akhir
Disampaikan kepada ketua SKRT Suharsono Sumantri, PhD. atas petun- SKRT 1995. Badan Litbangkes, Jakarta 1990, hal 62.
juk dan izin yang diberikan pada penggunaan data SKRT 1995 sehingga 7. Badan Litbangkes. Penggunaan obat oleh ART menurut SKRT 1995.
memungkinkan tulisan ini dibuat. Analisis lanjut. Naskah belum diterbitkan.

He who is wise only after the deed, uses his wisdom much to late
(Rollenhagen)

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


HASIL PENELITIAN

Perilaku Merokok di Indonesia


menurut Susenas dan SKRT 1995
Suhardi
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

RINGKASAN

Berdasarkan Modul dan Kor Susenas 1995, didapatkan hal-hal mengenai perilaku
merokok sebagai berikut :
• Untuk kelompok umur 10 tahun ke atas, prevalensi perokok laki-laki tiap hari
45.0%, kadang-kadang 6.3%, dan mantan 3.0%; sedang prevalensi perokok perempuan
tiap hari 1.5%, kadang-kadang 0.5 %, dan mantan 0.2 %. Prevalensi meningkat sejalan
dengan meningkatnya umur, terutama pada umur muda.
• Untuk umur 20 tahun ke atas, prevalensi perokok laki-laki tiap hari menurut lokasi
adalah sbb : 61.3% (Indonesia), 61.3% (Jabal), 61.2% (LJB), 62.5% (Indonesia Barat),
55.3% (Indonesia Timur), 52.4% (urban), 66.3% (rural); sedang prevalensi perokok
laki-laki kadang-kadang adalah sbb : 7.5% (Indonesia), 7.9% (Jabal), 6.8% (LJB),
7.5% (Indonesia Barat), 7.6% (Indonesia Timur), 7.7% (urban), 7.4% (rural). Pre-
valensi menurun dengan meningkatnya pendidikan di daerah urban dan rural; dan
prevalensi mulai menurun di daerah urban setelah pengeluaran anggota rumah tangga
per bulan di atas Rp 100,000,- .
• Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari 11-20 batang/
hari dan 21+ batang/hari menurut lokasi adalah sbb : 47.8% dan 5.3% (Indonesia),
52.0% dan 5.3% (urban), 46.6% dan 5.4% (rural); 42.2% dan 4.0% (Jabal), 57.5% dan
7.6% (LTB); 46.5% dan 5.1% (Indonesia Barat), 54.8% dan 6.7% (Indonesia Timur).
Intensitas meningkat dengan makin tingginya pendidikan dan pengeluaran anggota
rumah tangga/bulan.
• Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari menurut jenis
rokok yang dihisap di daerah urban adalah sbb : 12.1% (putih filter), 3.0% (putih
nonfilter), 59.8% (kretek filter), 20.8% (kretek nonfilter), 0.3% (cerutu), 3.8% (linting),
0.0% (siong), 0.1% (cangklong); sedang di daerah rural adalah sbb : 11.6% (putih
filter), 2.8% (putih nonfilter), 33.7% (kretek filter), 24.9% (kretek nonfilter), 0.6%
(cerutu), 25.4% (linting), 0.4% (siong), 0.5% (cangklong).
• Untuk umur 20 tahun ke atas, proporsi perokok laki-laki tiap hari yang merokok
dalam rumah adalah 92.8%. Sedang proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20
tahun ke atas yang merokok dalam rumah adalah 93.8%.
• Umur mulai perokok laki-laki yang terkecil adalah 5 tahun. Umur mulai terjadi
sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur 15-19 tahun, terbanyak
pada umur 20 tahun, sebagian pada umur 21-25 tahun, dan sebagian kecil pada umur
26-30 tahun.

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 23


• Dibandingkan dengan SKRT 1986, terjadi sedikit kenaikan prevalensi perokok
laki-laki pada Susenas 1995, terutama pada kelompok umur muda.

PENDAHULUAN menjawab keraguan terhadap metode wawancara yang dikerja-


Indikator merokok kan oleh para mantis (mantri statistik) dan mitra statistik
Beberapa kontributor utama terhadap terjadinya penyakit Susenas 1995 (bila feasibel). Dengan integrasi Susenas-SKRT
kronis, yang mulai menjadi masalah dalam transisi epidemilogi ini didapatkan manfaat berupa cakupan survei yang jauh lebih
di Indonesia, adalah perilaku merokok, pola makan dan luas dalam menilai perilaku kesehatan masya-rakat, sehingga
obesitas, kesegaran jasmani, stres dan pencemaran lingkungan. estimasi hasil survei dapat dirinci sampai ting-kat wilayah dan
WHO menganggap bahwa perilaku merokok telah menjadi propinsi.
masalah kesehatan masyarakat yang penting bagi seluruh dunia Uraian berikut ini merupakan hasil analisis lanjut database
sejak lebih dari 1 dekade yang lalu, sehingga perlu ditang- Susenas dan SKRT 1995.
gulangi menyeluruh. Sementara prevalensi dan konsumsi
merokok di negara maju telah menurun sebagai hasil dari
program penanggulangan yang komprehensif dan intensif, TUJUAN ANALISIS LANJUT
keadaan sebaliknya terjadi di negara sedang berkembang. Umum:
Dalam jangka panjang akan terjadi epidemi penyakit akibat Memberikan gambaran masalah merokok baik untuk ting-
merokok yang mahal biaya penanganannya di negara dunia ke kat nasional, wilayah, maupun propinsi, dalam upaya penang-
tiga, bila keadaan ini tidak segera ditanggulangi dengan serius. gulangan masalah merokok.
Indikator perilaku merokok merupakan petunjuk penting
untuk menilai keberhasilan upaya penanggulangan masalah Khusus:
merokok baik dalam skala nasional, wilayah maupun propinsi. • Mengukur prevalensi, intensitas, preferensi dan onset
Survai-survai yang terstandarisasi, sehingga komparabel, perokok, berdasarkan sosiodemografi pada tingkat nasional,
haruslah dilakukan secara periodik dengan teratur, agar eva- wilayah dan propinsi.
luasi dan antisipasi program penanggulangan masalah merokok • Mengukur trend perokok, baik prevalensi maupun kon-
dapat segera dilakukan dan lebih terarah. Indikator perilaku sumsi.
merokok juga merupakan salah satu indikator antara untuk • Mengukur reliabilitas, baik agregat maupun individual.
menilai hasil penanggulangan penyakit tidak menular dalam
jangka pendek dan menengah, karena untuk melihat dampak METODE
program berupa penurunan prevalensi penyakit diperlukan Pengukuran berbagai indikator merokok dilakukan ber-
jangka waktu yang jauh lebih lama. dasarkan pada data perilaku merokok yang diambil dari subset
database Modul Susenas 1995, dan data sosiodemografi yang
Integrasi Susenas-SKRT diambil dari subset database Kor Susenas 1995.
Survai merokok dalam skala nasional pertama kali Pengukuran trend dilakukan dengan membandingkan hasil
dilakukan pada SKRT 1986, dan setelah berselang 1 dekade, penelitian ini dengan SKRT 1986, beberapa survai lokal, dan
perlu dilihat kembali trend perilaku merokok untuk melihat sumber data lain.
kembali hasil upaya penanggulangan masalah merokok yang Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan menghitung ko-
makin intensif oleh berbagai pihak. Efisien kappa antara jawaban terhadap pertanyaan utama
Sejalan dengan integrasi sejak tahun 1992 antara SKRT mengenai merokok berdasarkan Modul Susenas dan berdasar-
yang diselenggarakan oleh Depkes dengan Susenas yang di- kan Studi Morbiditas/Disabilitas SKRT 1995. Untuk keperluan
selenggarakan oleh BPS, maka pada survai dalam skala ini, dilakukan merging antara ke dua subset database.
nasional tahun 1995 ini, instrumen untuk menilai perilaku
merokok masyarakat yang rinci di masukkan dalam Modul HASIL
Susenas, sedang untuk mengukur reliabilitas dan validitasnya Berbagai indikator yang dihasilkan dalam analisis ini telah
dimasukkan dalam Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT. merupakan estimasi populasi, karena baik bobot individu mau-
Karena terbatasnya tempat, pertanyaan mengenai perilaku pun bobot rumah tangga telah diperhitungkan dalam proses
merokok dalam Modul Susenas hanya 8 buah, sehingga dipilih analisis. Untuk menyederhanakan tabel, maka “nilai n yang
yang penting, dan dirancang dengan merujuk pada pedoman belum dibobot maupun yang telah dibobot” tidak ditampilkan
WHO agar komparabel dengan survai-survai lain. Pertanyaan dalam tabel.
mengenai perilaku merokok dalam Studi Morbiditas dan
Disabilitas SKRT hanya 1 buah, ditujukan untuk mengukur Response rate
reliabilitas prevalensi merokok antar survei. Jumlah responden umur 10 tahun ke atas adalah 216,389.
Pengukuran validitas dapat dilakukan dengan memeriksa Response rate terhadap pertanyaan status merokok adalah
marker nikotin dan kotinin dalam serum yang telah dikumpul- 100%; sedangkan response rate terhadap pertanyaan lain men-
kan pada Studi Morbiditas dan Disabilitas SKRT, sehingga bisa dekati 100%, kecuali response rate terhadap pertanyaan tingkat

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


pendidikan untuk umur 20 tahun ke atas yang hanya sekitar Prevalensi menurut lokasi
83.43%. Prevalensi perokok laki-laki daerah urban lebih rendah
daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih tinggi daripada
Prevalensi menurut umur (Tabel 1 dan 2) Wilayah Luar Jawa-Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih
Prevalensi perokok laki-laki tiap hari menurut kelompok tinggi daripada Kawasan Indonesia Timur. Propinsi yang
umur meningkat tajam dari kelompok umur 10-14 tahun ke terendah prevalensi perokok laki-laki nya adalah Bali 42.7%,
kelompok umur 25-29 tahun, selanjutnya mulai mendatar, dan sedang yang tertinggi adalah Lampung 78.8%. (selanjutnya
menurun sedikit setelah 65 tahun ke atas. lihat Tabel 3-5).
Prevalensi perokok laki-laki kadang-kadang menurut ke- Prevalensi perokok perempuan daerah urban lebih rendah
lompok umur meningkat tajam dari kelompok umur 10-14 daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih rendah daripada
Wilayah Luar Jawa-Bali, dan Kawasan Indonesia Barat lebih
rendah daripada Kawasan Indonesia Timur. (selanjutnya lihat
Tabel 1. Prevalensi perokok laki-laki menurut umur di Indonesia
Susenas SKRT 1995 Tabel 6-8).

Perokok
Umur Total Tabel 3. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut
Kadang-
Tiap hari Mantan Bukan lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
kadang
10-14 .7% .4% .0% 98.9% 100.0%
Urban
15-19 15.6% 7.0% .3% 77.0% 100.0%
20-24 43.2% 10.3% .8% 45.7% 100.0% Perokok
25-29 57.5% 8.7% 1.8% 32.0% 100.0% Lokasi Kadang- Total
30-34 64.5% 7.6% 2.6% 25.3% 100.0% Tiap hari Mantan Bukan
kadang
35-39 67.4% 7.4% 3.4% 21.9% 100.0% DI Aceh 57.0% 7.5% 3.7% 31.9% 100.0%
40-44 67.4% 6.3% 4.4% 21.9% 100.0% Sumut 57.2% 5.6% 4.6% 32.6% 100.0%
45-49 68.1% 6.3% 4.2% 21.4% 100.0% Sumbar 58.8% 3.6% 5.7% 31.9% 100.0%
50-54 66.9% 5.7% 6.1% 21.4% 100.0% Riau 52.0% 7.9% 2.5% 37.5% 100.0%
55-59 66.2% 6.2% 7.7% 19.8% 100.0% Jambi 52.5% 9.2% 5.1% 33.2% 100.0%
60-64 64.8% 6.7% 8.8% 19.7% 100.0% Sumsel 54.4% 5.6% 5.7% 34.3% 100.0%
65+ 59.3% 6.4% 12.3% 22.0% 100.0% Bengkulu 52.6% 6.4% 4.5% 36.6% 100.0%
Total 45.0% 6.3% 3.0% 45.7% 100.0% Lampung 63.0% 8.1% 4.3% 24.6% 100.0%
SUMATERA 56.3% 6.2% 4.6% 32.9% 100.0%
DKI Jakarta 49.4% 8.1% 3.3% 39.3% 100.0%
Jabar 58.9% 9.4% 5.0% 26.7% 100.0%
Tabel 2. Prevalensi perokok perempuan menurut umur di Indonesia Jateng 50.4% 8.5% 6.2% 35.0% 100.0%
Susenas-SKRT 1995. DI Yogyakarta 46.7% 7.6% 4.0% 41.8% 100.0%
Jatim 51.3% 6.1% 6.7% 35:9% 100.0%
Perokok JAWA 53.1 % 8.1 % 5.2% 33.6% 100.0%
Umur Kadang- Total Bali 34.6% 5.6% 4.3% 55.6% 100.0%
Tiap hari Mantan Bukan NTB 62.4% 7.8% 5.4% 24.4% 100.0%
kadang
NTT 43.7% 10.6% 6.4% 39.3% 100.0%
10-14 .1% .0% .0% 99.9% 100.0%
Timtim 50.6% 6.2% 1.7% 41.6% 100.0%
15-19 .4% .2% 99.4% 100.0%
NUSA TENGGARA 44.8% 7.2% 4.9% 43.1% 100.0%
20-24 1.0% 10.3% .8% 45.7% 100.0%
Kalbar 47.8% 4.1% 4.4% 43.7% 100.0%
25-29 1.1% 8.7% 1.8% 32.0% 100.0%
Kalteng 44.5% 6.9% .7% 47.9% 100.0%
30-34 1.2% 7.6% 2.6% 25.3% 100.0%
Kalsel 44.7% 5.8% 4.0% 45.4% 100.0%
35-39 1.7% 7.4% 3.4% 21.9% 100.0%
Kaltim 43.2% 6.6% 5.0% 45.3% 100.0%
40-44 2.3% 6.3% 4.4% 21.9% 100.0%
KALIMANTAN 44.9% 5.8% 4.1% 45.2% 100.0%
45-49 3.2% 6.3% 4.2% 21.4% 100.0%
Sulut 45.9% 12.3% 5.9% 35.9% 100.0%
50-54 3.4% 5.7% 6.1% 21.4% 100.0%
Sulteng 43.9% 7.4% 7.5% 41.2% 100.0%
55-59 3.3% 6.2% 7.7% 19.8% 100.0%
Sulsel 42.6% 6.4% 4.3% 46.6% 100.0%
60-64 2.9% 6.7% 8.8% 19.7% 100.0%
Sultra 49.7% 3.3% 5.6% 41.5% 100.0%
65+ 3.0% 6.4% 12.3% 22.0% 100.0%
SULAWESI 44.0% 7.5% 5.1% 43.4% 100.0%
Total 100.0%
Maluku 43.8% 10.8% 3.9% 41.4% 100.0%
Irja 41.7% 6.7% 5.8% 45.8% 100.0%
MALUKU-IRJA 42.8% 8.9% 4.8% 43.5% 100.0%
tahun ke kelompok umur 20-24 tahun, dan selanjutnya mulai Jawa-Bali 52.7% 8.1% 5.2% 34.0% 100.0%
mendatar. Luar Jawa-Bali 51.6% 6.7% 4.7% 37.1% 100.0%
Prevalensi mantan perokok laki-laki menurut kelompok Indonesia Barat 53.3% 7.7% 5.1% 33.8% 100.0%
Indonesia Timur 45.6% 7.2% 4.8% 42.5% 100.0%
umur meningkat seiring dengan menanjaknya usia. INDONESIA 52.4% 7.7% 5.1% 34.9% 100.0%
Prevalensi perokok perempuan tiap hari menurut kelom-
pok umur relatif rendah, meningkat terus sampai dengan
kelompok umur 40-44 tahun, selanjutnya mulai mendatar. Prevalensi menurut pendidikan
Prevalensi perokok perempuan kadang-kadang sangat Prevalensi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke
rendah, secara nasional besarnya adalah 0.5% (10+ tahun). atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasio-
Prevalensi mantan perokok perempuan juga sangat rendah, nal prevalensi tersebut adalah sebagai berikut : 71.4% (tidak
secara nasional besarnya adalah 0.2 % (10+ tahun).

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 25


tamat SD), 64.7% (tamat SD), 56.2% (tamat SUP), 46.7% Intensitas menurut lokasi
(tamat SLTA), 36.9% (akademi/ universitas). (selanjutnya lihat Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas
Tabel 9). 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di daerah urban lebih
Pievalensi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke tinggi daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih rendah
atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasio- daripada Wilayah Luar Jawa Bali, dan Kawasan Indonesia
nal prevalensi tersebut adalah sebagai berikut : 2.6% (tidak Barat lebih rendah daripada Kawasan Indonesia Timur.
tamat SD), 1.2% (tamat SD), 1.3% (tamat SLTP), 1.0% (tamat (selanjutnya lihat Tabel 17-19).
SLTA), 0.6% (akademi/universitas). (selanjutnya lihat Tabel Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke
10). atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di daerah urban
lebih tinggi daripada daerah rural, Wilayah Jawa-Bali lebih
Prevalensi menurut pengeluaran rendah daripada Wilayah Luar Jawa Bali, dan Kawasan
Prevalensi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke Indonesia Barat lebih rendah daripada Kawasan Indonesia
atas di daerah urban mulai menurun jelas setelah pengeluaran Timur. (selanjutnya lihat Tabel 20-22).
anggota rumah tangga per bulan Rp.100,000; atau lebih; namun
Tabel 5. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut
untuk daerah rural tidak terlihat adanya penurunan. (selanjut-
lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
nya lihat Tabel 11-13).
Prevalensi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke Urban + Rural
atas mulai meningkat jelas setelah pengeluaran anggota rumah Perokok
tangga per bulan Rp. 200,000,- atau lebih. (selanjutnya lihat Lokasi Kadang- Total
Tiap hari Mantan Bukan
Tabel 14-16). kadang
DI Aceh 65.7% 9.3% 3.2% 21.8% 100.0%
Tabel 4. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut Sumut 64.2% 4.9% 4.0% 26.9% 100.0%
lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995 Rural. Sumbar 69.1% 4.1% 6.2% 20.6% 100.0%
Riau 63.4% 5.5% 2.7% 28.5% 100.0%
Rural Jambi 67.7% 4.6% 4.4% 23.3% 100.0%
Sumsel 65.9% 6.2% 4.2% 23.7% 100.0%
Perokok Bengkulu 69.7% 5.3% 2.7% 22.3% 100.0%
Lokasi Tiap Kadang- Total Lampung 70.4% 8.4% 4.2% 16.9% 100.0%
Mantan Bukan
hari kadang SUMATERA 66.5% 6.1% 4.1% 23.3% 100.0%
DI Aceh 68.1% 9.8% 3.1% 19.0% 100.0% DKI Jakarta 49.4% 8.1% 3.3% 39.3% 100.0%
Sumut 69.4% 4.3% 3.5% 22.8% 100.0% labar 67.1% 8.8% 4.2% 19.9% 100.0%
Sumbar 72.6% 4.3% 6.4% 16.6% 100.0% Jateng 60.1% 8.5% 4.4% 26.9% 100.0%
Riau 69.8% 4.1% 2.7% 23.4% 100.0% DI Yogyakarta 53.4% 7.6% 4.6% 34.4% 100.0%
Jambi 73.3% 2.8% 4.1% 19.7% 100.0% Jatim 62.3% 6.6% 4.9% 26.1% 100.0%
Sumsel 71.2% 6.5% 3.5% 18.8% 100.0% JAWA 62.0% 8.0% 4.4% 25.6% 100.0%
Bengkulu 75.7% 5.0% 2.1% 17.2% 100.0% Bali 37.2% 5.5% 3.9% 53.4% 100.0%
Lampung 71.7% 8.5% 4.2% 15.6% 100.0% NTB 70.5% 5.0% 3.5% 21.0% 100.0%
SUMATERA 70.9% 6.1% 3.8% 19.2% 100.0% NTT 42.6% 10.5% 4.0% 42.9% 100.0%
DKI Jakarta Timtim 45.8% 12.7% 2.2% 39.3% 100.0%
Jabar 73.2% 8.3% 3.6% 14.9% 100.0% NUS ATENGGARA 49.7% 7.4% 3.7% 39.2% 100.0%
Jateng 64.6% 8.6% 3.6% 23.2% 100.0% Kalbar 63.0% 6.7% 2.5% 27.8% 100.0%
DI Yogyakarta 61.6% 7.6% 5.3% 25.4% 100.0% Kalteng 61.6% 3.3% 1.2% 33.8% 100.0%
Jatim 67.3% 6.9% 4.1% 21.7% 100.0% Kalsel 52.4% 4.7% 3.9% 38.9% 100.0%
JAWA 68.3% 7.9% 3.8% 20.0% 100.0% Kaltim 49.2% 5.3% 5.2% 40.3% 100.0%
Bali 38.5% 5.4% 3.7% 52.3% 100.0% KALIMANTAN 56.7% 5.3% 3.3% 34.7% 100.0%
NTB 72.5% 4.3% 3.1% 20.2% 100.0% Sulut 57.9% 8.5% 6.5% 27.1% 100.0%
NTT 42.4% 10.5% 3.6% 43.5% 100.0% Sulteng 55.8% 7.0% 6.4% 30.7% 100.0%
Timtim 45.2% 13.5% 2.2% 39.1% 100.0% Sulsel 55.2% 4.9% 4.0% 35.9% 100.0%
NUSA TENGGARA 51.0% 7.4% 3.4% 38.2% 100.0% Sultra 60.6% 6.1% 4.7% 28.6% 100.0%
Kalbar 67.5% 7.5% 2.0% 23.1% 100.0% SULAWESI 56.4% 6.1% 5.0% 32.5% 100.0%
Kalteng 66.8% 2.3% 1.4% 29.6% 100.0% Maluku 47.2% 18.7% 3.2% 30.9% 100.0%
Kalsel 55.8% 4.2% 3.9% 36.1% 100.0% Irja 41.7% 16.4% 4.3% 32.2% 100.0%
Kaltim 55.7% 3.8% 5.4% 35.1% 100.0% MALUKU-IRJA 47.2% 17.6% 3.7% 31.5% 100.0%
KALIMANTAN 62.1% 5.1% 3.0% 29.8% 100.0% Jawa-Bali 61.3% 7.9% 4.4% 26.4% 100.0%
Sulut 61.9% 7.2% 6.7% 24.1% 100.0% Luar Jawa-Bali 61.2% 6.8% 4.1% 27.9% 100.0%
Sulteng 58.9% 6.9% 6.2% 28.0% 100.0% Indonesia Barat 62.5% 7.5% 4.3% 25.7% 100.0%
Sulsel 60.5% 4.3% 3.9% 31.3% 100.0% Indonesia Timur 55.3% 7.6% 4.1% 33.1% 100.0%
Sultra 63.5% 6.9% 4.4% 25.2% 100.0% INDONESIA 61.3% 7.5% 4.3% 27.0% 100.0%
SULAWESI 60.9% 5.6% 4.9% 28.5% 100.0%
Maluku 48.3% 21.3% 2.9% 27.4% 100.0%
Irja 48.8% 19.4% 3.8% 28.0% 100.0%
MALUKU-IRJA 48.6% 20.4% 3.4% 27.7% 100.0% Intensitas menurut pendidikan
Jawa-Bali 67.4% 7.8% 3.8% 21.0% 100.0% Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas
Luar Jawa-Bali 64.9% 6.9% 3.8% 24.4% 100.0% 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan
Indonesia Barat 68.3% 7.3% 3.8% 20.5% 100.0%
Indonesia Timur 58.6% 7.7% 3.8% 29.8% 100.0%
makin tingginya pendidikan. (selanjutnya lihat Tabel 23).
INDONESIA 66.3% 7.4% 3.8% 22.4% 100.0% Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan pada Tabel 30-32.
makin tingginya pendidikan. (selanjutnya lihat Tabel 24).
Merokok dalam rumah
Intensitas menurut pengeluaran Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas
Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas yang merokok dalam rumah tinggal menurut pendidikan secara
11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan nasional adalah sbb : 93.4% (tidak tamat SD), 92.5% (tamat
makin tingginya pengeluaran anggota rumah tangga per bulan. SD), 92.7% (tamat SLTP), 92.8% (tamat SLTA), 90.5%
(selanjutnya lihat Tabel 25). (akademi/ universitas); sedang keseluruhannya adalah 92.8%.
Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas (selanjutnya lihat Tabel 33).
11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari meningkat dengan Proporsi perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke
makin tingginya pengeluaran anggota rumah tangga per bulan. atas yang merokok dalam rumah menurut pendidikan secara
(selanjutnya lihat Tabel 26). nasional adalah sbb : 94.1% (tidak tamat SD), 94.2% (tamat
SD), 90.6% (tamat SLTP), 92.9% (tamat SLTA), 100.0%
(akademi/ universitas); sedang keseluruhannya adalah 93.8%
Tabel 6. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut
lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995. (selanjutnya lihat Tabel 34).

Perokok
Lokasi Kadang- Total Tabel 7. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut
Tiap hari Mantan Bukan lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
kadang
DI Aceh .8% .2% 99.1% 100.0%
Sumut 2.5% .6% .3% 96.6% 100.0% Rural
Sumbar 1.0% .2% 98.9% 100.0% Perokok
Riau .6% .4% .2% 98.7% 100.0% Lokasi Kadang- Total
Jambi 2.1% .2% .2% 97.5% 100.0% Tiap hari Mantan Bukan
kadang
Sumsel .7% .4% .1% 98.8% 100.0% DI Aceh .8% .2% .1% 98.8% 100.0%
Bengkulu 1.2% .4% 98.4% 100.0% Sumut 2.8% .4% 96.8% 100.0%
Lampung 1.6% .5% .3% 97.6% 100.0% Sumbar 3.7% .9% .5% 94.8% 100.0%
SUMATERA 1.6% .4% .2% 97.8% 100.0% Riau 2.5% 1.0% .2% 96.4% 100.0%
DKI Jakarta 2.1% .7% .2% 97.1% 100.0% Jambi 5.2% .4% .3% 94.1% 100.0%
Jabar 1.9% .7% .4% 97.1% 100.0% Sumsel 2.8% .7% .3% 96.2% 100.0%
Jateng .7% .7% .1% 98.5% 100.0% Bengkulu 2.0% .4% 97.7% 100.0%
DI Yogyakarta .7% .2% .1% 99.0% 100.0% Lampung 3.1% .8% .2% 95.9% 100.0%
Jatim 1.2% .2% .1% 98.5% 100.0% SUMATERA 2.8% .6% .2% 96.3% 100.0%
JAWA 1.5% .5% .2% 97.8% 100.0% DKI Jakarta
Bali .5% 99.5% 100.0% Jabar 2.3% 1.0% .4% 96.3% 100.0%
NTB .8% .5% .1% 98.6% 100.0% Jateng 1.9% .7% .3% 97.1% 100.0%
NTT .4% .6% 99.0% 100.0% DI Yogyakarta .5% .1 % 99.4% 100.0%
Timtim .7% 99.3% 100.0% Jatim 1.5% .4% .2% 97.9% 100.0%
NUSA TENGGARA .6% .2% .0% 99.1 % 100.0% JAWA 1.8% .7% .3% 97.2% 100.0%
Kalbar 1.4% .3% .3% 98.0% 100.0% Bali 1.3% .5% .1% 98.1% 100.0%
Kalteng 1.0% .3% 98.6% 100.0% NTB .6% .1% .1% 99.2% 100.0%
Kalsel 1.2% .2% 98.6% 100.0% NTT 1.2% .3% 99.5% 100.0%
Kaltim .9% .2% 98.9% 100.0% Timtim 1.1% 1.5% 97.4% 100.0%
KALIMANTAN 1.1% .2% .1% 98.6% 100.0% NUSA TENGGARA 1.0% .4% .1% 98.5% 100.0%
Sulut .6% 1.0% 98.4% 100.0% Kalbar 9.1% 1.6% .7% 88.6% 100.0%
Sulteng 2.3% .4% .1% 97.1% 100.0% Kalteng 3.3% .9% 95.8% 100.0%
Sulsel 1.5% .1% .1% 98.3% 100.0% Kalsel 3.3% 1.1% .4% 95.2% 100.0%
Sultra 1.5% .2% 98.3% 100.0% Kaltim 3.9% .5% .6% 95.0% 100.0%
SULAWESI 1.4% .3% .1% 98.2% 100.0% KALIMANTAN 5.5% 1.1% .5% 92.8% 100.0%
Maluku 1.4% .3% 98.2% 100.0% Sulut 1.1% .1% .1% 98.7% 100.0%
Irja 3.5% .2% 96.3% 100.0% Sulteng 4.3% .5% .1% 95.0% 100.0%
MALUKU-IRJA 2.4% .3% 97.4% 100.0% Sulsel 3.0% .2% .6% 96.2% 100.0%
Jawa-Bali 1.5% .5% .2% 97.8% 100.0% Sultra 3.4% 1.0% .1% 95.5% 100.0%
Luar Jawa-Bali 1.5% .4% .2% 98.0% 100.0% SULAWESI 2.8% .3% .4% 96.5% 100.0%
Indonesia Barat 1.5% .5% .2% 97.8% 100.0% Maluku .9% .4% .3% 98.4% 100.0%
Indonesia Timur 1.3% .3% .1% 98.3% 100.0% Irja 5.3% 3.9% .8% 89.9% 100.0%
INDONESIA 1.5% .5% .2% 97.9% 100.0% MALUKU-IRJA 3.1% 2.1% .6% 94.2% 100.0%
Jawa-Bali 1.8% .7% .3% 97.2% 100.0%
Luar Jawa-Bali 3.0% .7% .3% 96.1% 100.0%
Indonesia Barat 2.1% .7% .2% 97.0% 100.0%
Preferensi Indonesia Timur 3.1% .7% .3% 95.9% 100.0%
Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas INDONESIA 2.3% .7% .3% 96.8% 100.0%
menurut jenis rokok yang dihisap secara nasional dapat dilihat
pada (Tabel 27-29).
Proporsi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas Lama berhenti
menurut jenis rokok yang dihisap secara nasional dapat dilihat Proporsi perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 27


menurut lama berhenti dalam bulan secara nasional adalah sbb Tabel 9. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas menurut
pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
11.5% (1-3 bulan), 6.8% (4-6 bulan), 2.4% (7-9 bulan), 9.8%
(10-12 bulan), 15.4% (13-24 bulan), 54.2% (25+ bulan). Perokok
(selanjutnya lihat Tabel 35). Proporsi perokok perempuan tiap Pendidikan Kadang- Total
Tiap hari Mantan Bukan
kadang
hari umur 20 tahun ke atas menurut lama berhenti dalam bulan < SD 71.4% 6.6% 4.8% 17.3% 100.0%
secara nasional adalah sbb : 12.0% (1-3 bulan), 11.9% (4-6 SD 64.7% 8.2% 3.8% 23.4% 100.0%
bulan), 1.1% (7-9 bulan), 12.9% (10-12 bulan), 14.5% (13-24 SLTP 56.2% 7.8% 4,2% 31.8% 100.0%
bulan), 47.6% (25+ bulan). (selanjutnya lihat Tabel 36). SLTA 46.7% 8.0% 3.7% 41.6% 100.0%
Ak/Univ 36.9% 7.1% 5.2% 50.9% 100.0%
Total 60.4% 7.6% 4.2% 27.8% 100.0%

Onset
Umur mulai perokok laki-laki pada Susenas 1995 yang Tabel 10. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut
terkecil adalah 5 tahun. Jumlah yang mulai merokok secara pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
grafik tampak menjadi agak nyata pada umur 10-14 tahun,
nyata sekali pada umur 15-19 tahun, mencapai puncak pada Perokok
Pendidikan Kadang- Total
umur 20 tahun, lalu menurun pada umur 21-25 tahun, dan Tiap hari
kadang
Mantan Bukan
masih agak nyata pada umur 26-30 tahun. (selanjutnya lihat < SD 2.6% .7% .3% 96.5% 100.0%
Gambar 1). SD 1.2% .5% .1% 98.2% 100.0%
SLTP 1.3% .5% .2% 98.1% 100.0%
SLTA 1.0% .3% .2% 98.6% 100.0%
Ak/Univ .6% .1% .2% 99.1% 100.0%
Tabel 8. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas menurut
Total 1.6% .5% .2% 97.7% 100.0%
lokasi di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
Urban + Rural
Tabel 11. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia
Perokok
menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan
Lokasi Kadang- Total
Tiap hari Mantan Bukan Susenas-SKRT 1995.
kadang
DI Aceh .8% .2% .1% 98.9% 100.0% Urban
Sumut 2.7% .5% .1% 96.7% 100.0%
Sumbar 3.0% .6% .4% 95.9% 100.0%
Pengeluaran Perokok
Riau 1.8% .8% .2% 97.2% 100.0%
anggota rumah Tiap Kadang Total
Jambi 4.4% .4% .3% 95,0% 100.0% Mantan Bukan
tangga per bulan hari -kadang
Sumsel 2.1% .6% .3% 97.0% 100.0%
(dalarn ribuan)
Bengkulu 1.8% .I% .3% 97.9% 100.0%
<20 55.8% 10.7% 4.3% 29.2% 100.0%
Lampung 2.8% .8% .2% 96.2% 100.0%
20-29 56.5% 10.3% 3.7% 29.4% 100.0%
SUMATERA 2.4% .6% .2% 96.8% 100.0%
30-39 54.9% 7.8% 4.7% 32.5% 100.0%
DKI Jakarta 2.1% .7% .2% 97.1% 100,0%
40-49 55.1% 8.1% 4.7% 32.1% 100.0%
Jabar 2.1% .9% .4% 96.6% 100.0%
50-74 53.3% 7,8% 5.4% 33.5% 100.0%
Jateng 1.5% .7% .2% 97.6% 100.0%
75-99 52.1 % 7,0% 5.0% 35.9% 100.0%
DI Yogyakarta .6% .2% .I% 99.2% 100.0%
100-199 48.2% 6.4% 5.6% 39.8% 100.0%
Jatim 1.4% .3% .1% 98.1% 100.0%
200+ 41.6% 8.6% 5.1% 44.7% 100.0%
JAWA 1.7% .6% .2% 97.4% 100.0%
Bali 1.0% .3% .0% 98.6% 100.0% Total 52.4% 7.7% 5.1% 34.9% 100.0%
NTB .6% .1% .1% 99.1% 100.0%
NTT 1.1% .3% 98.5% 100.0%
Timtim 1.1% 1.3% 97.6% 100.0%
NUSA TENGGARA .9% .3% .1% 98.7% 100.0% Tabel 12. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia
Kalbar 7.3% 1.3% .6% 90.8% 100.0% menurut tingkat pengeluaran anggota rumah angga/bulan
Kalteng 2,8% .8% 96.4% 100.0% Susenas-SKRT 1995.
Kalsel 2.7% .8% .3% 96.2% 100.0%
Kaltim 2.4% .3% .3% 97.0% 100.0% Rural
KALIMANTAN 4.2% .8% .4% 94.6% 100.0%
Sulut .9% .3% .1% 98.7% 100.0% Pengeluaran Perokok
Sulteng 3.9% .5% .1% 95.5% 100.0% anggota rumah Kadang- Total
Tiap hari Mantan Bukan
Suisel 2.6% .2% .5% 96.8% 100.0% tangga per bulan kadang
Sultra 3.0% .8% .1% 96.1% 100.0% (dalam ribuan)
SULAWESI 2.5% .3% .3% 96.9% 100.0% < 20 59.1% 10.6% 2.5% 27.8% 100.0%
Maluku 1.0% .4% .2% 98.4% 100.0% 20-29 65.1% 8.1% 3.4% 23.4% 100.0%
Irja 4.9% 3.0% .6% 91.4% 100.0% 30-39 67.3% 7.0% 3.7% 22.0% 100.0%
MALUKU-IRJA 2.9% 1.7% .4% 95.0% 100.0% 40-49 67.8% 7.4% 3.7% 21.1 % 100.0%
Jawa-Bali 1.7% .6% .2% 97.5% 100.0% 50-74 68.0% 6.8% 4.4% 20.8% 100.0%
Luar Jawa-Bali 2.5% .6% .2% 96.6% 100.0% 75-99 65.7% 5.9% 5.4% 23.0% 100.0%
Indonesia Barat 1.8% .6% .2% 97.3% 100.0% 100-199 63.0% 5.4% 5.8% 25.8% 100.0%
Indonesia Timor 2.6% .6% .3% 96.5% 100.0% 200+ 62.5% 4.3% 3.8% 29.4% 100.0%
INDONESIA 2.0% .6% .2% 97.2% 100.0% Total 66.3% 7.4% 3.8% 22.4% 100.0%

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


Tabel 13. Prevalensi perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas di Indonesia Tabel 15. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di
menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga/bulan Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah
Susenas-SKRT 1995. tangga/bulan Susenas-SKRT 1995.

Rural

Urban + Rural Pengeluaran Perokok


anggota rumah Tiap Kadang- Total
Pengeluaran Perokok Mantan Bukan
tangga per bulan hari kadang
anggota rumah Tiap Kadang- Total
Mantan Bukan
tangga per bulan hari kadang (dalarn ribuan)
< 20 1.5% .7% .3% 97.5% 100.0%
(dalarn ribuan) 20 - 29 1.9% .8% .2% 91.1 % 100.0%
< 20 58.9% 10.6% 2.6% 27.9% 100.0% 30 - 39 2.1 % .6% .3% 96.9% 100.0%
20 - 29 64.0% 8.4% 3.5% 24.1 % 100.0% 40 - 49 2.4% .6% .2% 96.9% 100.0%
30 - 39 64.8% 7.1% 3.9% 24.2% 100.0% 50 - 74 2.5% .7% .3% 96.5% 100.0%
40 - 49 63.8% 7.6% 4.0% 24.5% 100.0% 75 - 99 1.8% .9% .6% 96.6% 100.0%
50 - 74 60.9% 7.3% 4.9% 26.9% 100.0% 100-199 3.2% .4% .4% 96.0% 100.0%
75 - 99 56.6% 6.6% 5.2% 31.6% 100.0% 200+ 12.4% 2.8% 84.8% 100.0%
100-199 51.1% 6.2% 5.6% 37.0% 100.0% Total 2.2% .7% .3% 96.9% 100.0%
200+ 43.1% 8.3% 5.0% 43.6% 100.0%
Total 61.3% 7.5% 4.3% 27.0% 100.0%

Tabel 16. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di


Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah
PEMBAHASAN tangga/bulan Susenas-SKRT 1995.
Dari Modul Susenas 1995 ini, ditemukan bahwa prevalensi
perokok laki-laki umur 20 tahun ke atas sebesar 68.8% adalah Urban + Rural
jauh lebih besar daripada prevalensi perokok perempuan se- Pengeluaran Perokok
besar 2.6%. Perbedaan prevalensi antar jenis kelamin yang anggota rumah Tiap Kadang- Total
Mantan Bukan
besar juga didapatkan dari survai-survai terdahulu baik lokal tangga per bulan hari kadang
maupun nasional, misalnya : untuk umur 15 tahun ke atas, 75%
(dalam ribuan)
dan kurang dari 5% di Lombok (1980), 61% dan kurang dari < 20 1.5% .8% .2% 97.5% 100.0%
5% di DI Yogyakarta (1980); untuk umur 13 tahun ke atas, 20 - 29 1.8% .7% .2% 97.3% 100.0%
64.8% dan 9.8% di Jakarta (1983); untuk umur 25-74 tahun, 30 - 39 2.0% .6% .3% 97.1% 100.0%
83.7% dan 4.9% di 6 desa kabupaten Tasikmalaya (Surveilans 40 - 49 2.1% .5% .2% 97.2% 100.0%
50 - 74 2.1 % .7% .2% 97.0% 100.0%
PTM 1992); untuk umur 25-64 tahun, 56.9% dan 6.4% di 3 75 - 99 1.7% .8% .4% 97.0% 100.0%
100-199 1.8% .4% .3% 97.5% 100.0%
200+ 4.0% .5% 1.2% 94.3% 100.0%
Total 2.0% .6% .3% 97.1% 100.0%

Tabel 14. Prevalensi perokok perempuan umur 20 tahun ke atas di


Indonesia menurut tingkat pengeluaran anggota rumah
tangga/bulan Susenas-SKRT 1995. Tabel 17. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di
Indonesia Susenas-SKRT 1995.
Urban Urban
Pengeluaran Perokok Batang
anggota rumah Tiap Kadang- Total Lokasi Total
Mantan Bukan 1-10 11-20 21+
tangga per bulan hari kadang
Sumatera 33.4% 59.9% 6.6% 100.0%
(dalam ribuan) Jawa 46.4% 49.0% 4.6% 100.0%
< 20 .3% 1.7% 98.0% 100.0% Nusatenggara 44.7% 47.0% 8.3% 100.0%
20 - 29 .8% .3% .2% 98.7% 100.0% Kalimantan 25.8% 65.4% 8.7% 100.0%
30 - 39 1.6% .4% .1 % 97.9% 100.0% Sulawesi 33.5% 61.2% 5.2% 100.0%
40 - 49 1.5% .4% .1 % 98.0% 100.0% Maluku-Irja 41.3% 50.0% 8.8% 100.0%
50 - 74 1.5% .7% .1% 97.7% 100.0% Jawa-Bali 46.5% 49.0% 4.6% 100.0%
75 - 99 1.7% .8% .3% 97.2% 100.0% Luar Jawa-Bali 33.1% 59.8% 7.0% 100.0%
100-199 1.4% .5% .3% 97.9% 100.0% Indonesia Barat 44.0% 51.0% 5.0% 100.0%
200+ 3.4% .5% 1.1% 95.0% 100.0% Indonesia Timur 32.7% 59.7% 7.6% 100.0%
Total 1.5% .5% .2% 97.7% 100.0% Indonesia 42.8% 52.0% 5.3% 100.0%

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 29


Tabel 18. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di Tabel 21. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas
Indonesia Susenas-SKRT 1995. di Indonesia Susenas-SKRT 1995.

Rural Rural

Batang Batang
Lokasi Total Lokasi Total
1-10 11-20 21+ 1-10 11-20 21+
Sumatera 31.6% 59.5% 8.9% 100.0% Sumatera 57.3% 39.4% 3.2% 100.0%
Jawa 57.6% 38.7% 3.7% 100.0% Jawa 81.1% 17.4% 1.5% 100.0%
Nusatenggara 53.6% 41.5% 4.9% 100.0% Nusatenggara 57.6% 38.4% 4.1% 100.0%
Kalimantan 29.6% 61.3% 9.0% 100.0% Kalimantan 60.1% 35.0% 4.9% 100.0%
Sulawesi 40.4% 54.5% 5.1% 100.0% Sulawesi 62.4% 36.9% .7% 100.0%
Maluku-Irja 46.8% 48.0% 5.2% 100.0% Maluku-Irja 36.3% 58.0% 5.7% 100.0%
Jawa-Bali 57.8% 38.5% 3.7% 100.0% Jawa-Bali 81.0% 17.5% 1.5% 100.0%
Luar Jawa-Bali 35.3% 56.8% 7.8% 100.0% Luar Jawa-Bali 57.5% 39.1% 3.4% 100.0%
Indonesia Barat 50.5% 44.3% 5.1% 100.0% Indonesia Barat 72.6% 25.3% 2.1% 100.0%
Indonesia Timur 40.0% 53.5% 6.4% 100.0% Indonesia Timur 57.6% 38.8% 3.5% 100.0%
Indonesia 48.6% 46.0% 5.4% 100.0% Indonesia 68.5% 29.0% 2.5% 100.0%

Tabel 19. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas di
Tabel 22. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas
Indonesia Susenas-SKRT 1995.
di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
Urban + Rural
Urban + Rural
Batang
Lokasi Total Betang
1-10 11-20 21+ Lokasi Total
1-10 11-20 21+
Sumatera 32.1% 59.6% 8.4% 100.0%
Sumatera 59.5% 37.4% 3.1% 100.0%
Jawa 53.6% 42.3% 4.0% 100.0%
Jawa 75.0% 22.7% 2.3% 100.0%
Nusatenggara 51.9% 42.6% 5.6% 100.0%
Nusatenggara 58.5% 38.0% 3.5% 100.0%
Kalimantan 28.7% 62.3% 9.0% 100.0%
Kalimantan 59.7% 35.3% 4.9% 100.0%
Sulawesi 39.0% 55.9% 5.2% 100.0%
Sulawesi 62.4% 36.5% 1.2% 100.0%
Maluku-Irja 45.6% 48.4% 6.0% 100.0%
Maluku-Irja 37.3% 56.7% 5.9% 100.0%
Jawa-Bali 53.8% 42.2% 4.0% 100.0%
Jawa-Bali 75.0% 22.8% 2.2% 100.0%
Luar Jawa-Bali 34.8% 57.5% 7.6% 100.0%
Luar Jawa-Bali 58.5% 38.1% 3.4% 100.0%
Indonesia Barat 48.4% 46.5% 5.1% 100.0%
Indonesia Barat 70.3% 27.2% 2.5% 100.0%
Indonesia Timur 38.5% 54.8% 6.7% 100.0%
Indonesia Timur 57.4% 38.9% 3.7% 100.0%
Indonesia 46.8% 47.8% 5.3% 100.0%
Indonesia 67.3% 29.9% I2.8% 100.0%

kecamatan Jakarta Selatan (1993); untuk umur 14-60 tahun,


45.7% dan 1.8% di Jakarta dan Surabaya (Proyek Pneumobile
Tabel 23. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas
1989); untuk kelompok dewasa, 61% dan 5% di Indonesia menurut tingkat pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
(estimasi WHO1985- 1990); untuk umur 10 tahun ke atas,
50.2% dan 4.8% di Indonesia (SKRT 1986). Pendidikan
Batang
Total
1-10 11-20 21+
< SD 50.0% 44.8% 5.2% 100.0%
SD 48.1% 47.2% 4.6% 100.0%
Tabel 20. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas SLTP 39.1% 54.6% 6.3% 100.0%
di Indonesia Susenas-SKRT 1995. SLTA 38.8% 55.1% 6.1% 100.0%
Ak/Univ 37.1% 55.4% 7.4% 100.0%
Urban Total 45.9% 48.8% 5.3% 100.0%

Batang
Lokasi Total
1-10 11-20 21+
Tabel 24. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas
Sumatera 68.5% 28.9% 2.5% 100.0% menurut tingkat pendidikan di Indonesia Susenas-SKRT 1995.
Jawa 63.9% 32.4% 3.6% 100.0%
Nusatenggara 64.6% 35.4% 100.0%
Batang
Kalimantan 55.8% 38.7% 5.4% 100.0% Pendidikan Total
Sulawesi 62.2% 33.8% 3.9% 100.0% 1-10 11-20 21+
Maluku-Irja 36.3% 58.0% 5.7% 100.0% < SD 69.2% 28.1% 2.7% 100.0%
Jawa-Bali 64.1% 32.4% 3.6% 100.0% SD 63.6% 34.6% 1.9% 100.0%
Luar Jawa-Bali 63.6% 33.0% 3.4% 100.0% SLTP 54.3% 42.1% 3.5% 100.0%
Indonesia Barat 64.9% 31.7% 3.4% 100.0% SLTA 55.0% 38.8% 6.2% 100.0%
Indonesia Timur 56.1% 39.3% 4.7% 100.0% Ak/Univ 36.4% 63.6% 100.0%
Indonesia 63.9% 32.5% 3.5% 100.0% Total 64.7% 32.4% 2.9% 100.0%

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


Tabel 25. Intensitas perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas Tabel 29. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut
menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga per bulan wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
Urban + Rural
Pengeluaran Batang
anggota RT per Total Wilayah
bulan 1-10 11-20 21+ Jenis Indonesia
Jawa-Bali Luar Jawa-Bali
(dalam ribuan) Putih filter 7.2% 19.8% 11.8%
< 20 64.3% 33.2% 2.4% 100.0% Putih nonfilter 2.3% 3.9% 2.9%
20-29 58.1% 38.7% 3.2% 100.0% Kretek filter 40.7% 44.2% 42.0%
30-39 50.0% 46.0% 4.1% 100.0% Kretek nonfilter 28.8% 14.5% 23.6%
40-49 45.6% 49.3% 5.1% 100.0% Cerutu .396 .8% .5%
50-74 40.5% 53.2% 6.3% 100.0% Linting 20.3% 15.5% 18.6%
75-99 36.0% 55.5% 8.5% 100.0% Siong .2% .5% .3%
100-199 33.9% 56.3% 9.8% 100.0% Cangklong .2% .8% .4%
200+ 33.0% 54.2% 12.8% 100.0% Total 100.0% 100.0% 100.0%
Total 46.8% 47.8% 5.3% 100.0%

Tabel 26. Intensitas perokok perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas Tabel 30. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan
menurut tingkat pengeluaran anggota rumah tangga per bulan menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
Urban
Pengeluaran Batang
anggota RT Total Wilayah
per bulan 1-10 11-20 21+ Jenis Indonesia
Jawa-Bali Luar Jawa-Bali
(dalam ribuan) Putih filter 12.2% 16.4% 13.3%
< 20 76.8% 23.2% 100.0% Putih nonfilter 2.6% 4.5% 3.1%
20-29 69.0% 29.9% 1.1% 100.0% Kretek filter 52.4% 59.7% 54.3%
30-39 72.1% 26.0% 1.9% 100.0% Kretek nonfilter 25.8% 11.9% 22.1%
40-49 74.3% 23.2% 2.4% 100.0% Cerutu 1.3% .4%
50-74 68.5% 29.4% 2.1% 100.0% Linting 6.1% 5.6% 6.0%
75-99 51.4% 44.9% 3.7% 100.0% Siong .8% .6% .8%
100-199 48.8% 39.8% 11.5% 100.0% Cangklong
200+ 36.2% 55.7% 8.1% 100.0% Total 100.0% 100.0% 100.0%
Total 67.3% 29.9% 2.8% 100.0%

Tabel 27. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut


wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995. Tabel 31. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan
menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
Urban
Rural
Wilayah
Jenis Indonesia Wilayah
Jawa-Bali Luar Jawa-Bali Jenis Indonesia
Jawa-Bali Luar Jawa-Bali
Putih filter 9.8% 18.2% 12.1%
Putih nonfilter 3.0% 3.0% 3.0% Putih filter 6.2% 17.8% 12.0%
Kretek filter 58.3% 63.9% 59.8% Putih nonfilter 1.8% 7.0% 4.4%
Kretek nonfilter 24.0% 12.2% 20.8% Kretek filter 19.9% 26.2% 23.0%
Cerutu .3% .2% .3% Kretek nonfilter 34.1% 13.6% 23.8%
Linting 4.4% 2.2% 3.8% Cerutu .8% 2.0% 1.4%
Siong .0% .1% .0% Linting 36.1% 30.2% 33.1%
Cangklong .1% .2% .1% Siong 1.1% 2.1% 1.6%
Total 100.0% 100.0% 100.0% Cangklong 1.2% .6%
Total 100.0% 100.0% 100.0%
Tabel 32. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok perempuan
Tabel 28. Preferensi jenis rokok di kalangan perokok laki-laki menurut
menurut wilayah di Indonesia, Susenas-SKRT 1995.
wilayah di Indonesia, SusenasSKRT 1995.
Urban + Rural
Rural
Wilayah
Wilayah Jenis Indonesia
Jenis Indonesia Jawa-Bali Luar Jawa-Bali
Jawa-Bali Luar Jawa-Bali
Putih filter 8.3% 17.5% 12.4%
Putih filter 5.8% 20.3% 11.6%
Putih nonfilter 2.1% 6.6% 4.1%
Putih nonfilter 1.9% 4.2% 2.8%
Kretek filter 31.3% 31.7% 31.5%
Kretek filter 30.7% 38.0% 33.7%
Kretek nonfilter 31.2% 13.4% 23.4%
Kretek nonfilter 31.5% 15.2% 24.9% Cerutu .5% 1.9% 1.1%
Cerutu .3% 1.0% .6%
Linting 25.5% 26.1% 25.8%
Linting 29.3% 19.7% 25.4%
Siong 1.0% 1.8% 1.4%
Siong .3% .6% .4% Cangklong 1.0% .496
Cangklong .2% 1.0% .5%
Total 100.0% 100.0% 100.0%
Total 100.0% 100.0% 100.0%

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 31


Tabel 33. Merokok dalam rumah di kalangan perokok laki-laki tiap hari Keadaan ini sejalan dengan prevalensi perokok laki-laki
umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia,
dan perempuan di sejumlah negara berkembang, terutama, di
Susenas-SKRT 1995.
Asia, misalnya antara tahun 1985-1990 (dengan batas umur
Pendidikan Pasif Total terbawah bervariasi) : 61% dan 7% di RRC, 52% dan 3% di
Ya Tidak India, 44% dan 6% di Pakistan, 50% dan 3% di Bangaladesh,
< SD 93.4% 6.6% 100.0% 54.8% dan 0.8% di Sri Lanka, 41% dan 5% di Malaysia, 67%
SD 92.5% 7.5% 100.0% dan 6% di Thailand; 54% dan 8% di negara sedang ber-
SLTP 92.7% 7.3% 100.096
kembang. Hal ini juga terlihat di sejumlah negara industri baru
SLTA 92.8% 7.2% 100.0%
Ak/Univ 90.5% 9.5% 100.0% di Asia, misalnya: 74% dan 5% di Korea Selatan, 55% dan 3%
Total 92.8% 7.2% 100.0% di Taiwan, 25% dan 2% di Singapura. Sebaliknya di beberapa
negara berkembang dengan kultur tertentu ataupun pengaruh
Tabel 34. Merokok dalam rumah di kalangan perokok perempuan tiap Barat yang besar, prevalensi perokok wanita jauh lebih tinggi,
hari umur 20 tahun ke atas menurut pendidikan di Indonesia, misalnya: 85% dan 62% di Nepal, 64% dan 19% di Filipina,
Susenas-SKRT 1995.
40% dan 36% di Brazil, 43% dan 27% di Argentina; sedang di
Pendidikan Pasif Total negara maju, 51% dan 21%.
Ya Tidak Dominannya perokok laki-laki dan sedikitnya perokok
< SD 94.1% 5.9% 100.0% perempuan dapat dikaitkan dengan kultur yang kurang mene-
SD 94.2% 5.8% 100.0% rima perilaku perempuan yang merokok. Promosi pihak
SLTP 90.6% 9.4% 100.0% industri rokok yang menghubungkan merokok dengan wanita
SLTA 92.9% 7.1% 100.0%
Ak/Univ 100.0% 100.096 muda, singset dan cantik, bisa dikatakan gagal atau masih
Total 93.8% 6.2% 100.0% belum berhasil dalam menghadapi resistensi kultur ini.
Prevalensi mantan perokok laki-laki relatif kecil, mening-
kat terus menurut umur. Proporsi lama berhenti merokok pada
Tabel 35. Lama berhenti merokok mantan perokok laki-laki di Indonesia, mantan perokok yang terkecil adalah periode 7-9 bulan, sebesar
Susenas-SKRT 1995. 2.4%. Hal ini menunjukkan adanya periode kritis relaps
terutama dalam 3 bulan pertama dan 3 bulan kedua, karena
Mantan
Lama berhenti Total terjadinya gejala seperti pada sindroma putus obat. Secara
Tiap hari Kadang-kadang
1-3 bulan 11.3% 11.9% 11.5%
keseluruhan rasio berhenti merokok (jumlah mantan dibagi
4-6 bulan 6.3% 8.3% 6.8% dengan jumlah mantan dan perokok) masih sangat kecil, yakni
7-9 bulan 2.2% 3.0% 2.4% hanya sebesar 5.9%, bila dibandingkan dengan Sri Lanka
10-12 bulan 9.1% 11.6% 9.8% 11.6% (1989), apalagi dengan Amerika Serikat 44.8% (1987).
13-24 bulan 15.0% 16.6% 15.4%
25+ bulan 56.2% 48.7% 54.2%
Kebiasaan menginang mungkin ada hubungannya dengan
Total 100.0% 100.0% 100.0% prevalensi perokok, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Untuk propinsi Bali, prevalensi perokok laki-laki 20 tahun ke
Tabel 36. Lama berhenti merokok mantan perokok perempuan di Indo- atas ternyata terendah, yakni sebesar 42.7%; hal ini seperti juga
nesia, Susenas-SKRT 1995. pada SKRT 1986, prevalensi perokok laki-laki umur 10 tahun
ke atas terendah, sebesar 31.0% (nasional 50.2%), sedang
Mantan
Lama berhenti Total prevalensi penginang laki-lakinya tertinggi sebesar 13.7%
Tiap hari Kadang-kadang
(nasional 3.7%). Prevalensi penginang pada perempuan dalam
1-3 bulan 8.6% 16.0% 12.0%
4-6 bulan 11.1% 12.9% 11.9% SKRT 1986 nasional juga jauh lebih tinggi daripada laki-laki,
7-9 bulan 2.1% 1.1% sebesar 16.7%.
10-12 bulan 16.8% 8.4% 12.9% Sebagian besar perokok, baik laki-laki maupun perempu-
13-24 bulan 12.2% 17.1% 14.5% an, merokok di dalam rumahnya sendiri. Keadaan ini merupa-
25+bulan 49.2% 45.6% 47.6%
Total 100.0% 100.0% 100.0%
kan hal yang serius, apalagi mengingat ventilasi rumah di
Indonesia sebagian besar belum baik. US Surgeon General
Report 1989 menyatakan bahwa penelitian dalam dasawarsa
1980-1990 an telah meneguhkan bahwa merokok involunter
menyebabkan berbagai penyakit, termasuk kanker paru pada
bukan perokok sehat, dan anak dari orangtua yang merokok
mempunyai frekuensi lebih tinggi mengidap infeksi pernapasan
dan gejala pernapasan. Topik agar jangan merokok dalam
rumah harus dimasukkan dalam pendidikan kesehatan me-
ngenai bahaya merokok.
Umur mulai merokok yang terkecil adalah 5 tahun, sebagi-
an pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur 15-20
tahun, sebagian lagi pada umur 21-25 tahun, sebagian kecil
Gambar 1. Umur mulai perokok laki-laki pada Susenas-SKRT 1995.
pada umur 26-30 tahun. Hal ini sejalan pula dengan penelitian-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


penelitian lain baik lokal maupun di negara lain, bahwa usia epoksid. Senyawaan eugenol dan turunannya ini memberikan
remaja merupakan usia yang rentan terhadap bujukan untuk efek psikotropik dan anestesi topikal, sehingga efek adiksi
mulai merokok. Pendidikan kesehatan untuk memilih tidak lebih kuat, rasa nyaman lebih baik, hisapan lebih dalam karena
menjadi perokok harus sudah di mulai sejak taman kanak- refleks batuk ditekan. Kadar tar rokok kretek, disamping kadar
kanak. nikotin, menjadi lebih tinggi daripada rokok putih.
Prevalensi perokok diduga ada kaitannya dengan tingkat Baik rokok putih maupun rokok kretek, memperlihatkan
sosial dan ekonomi suatu daerah. Prevalensi perokok lebih bahwa jenis filter walau lebih mahal makin populer, mungkin
nyata di daerah rural daripada urban, Kawasan Indonesia Barat karena membaiknya daya beli, rasa lebih aman, issue
daripada Kawasan Indonesia Timur, tingkat sosial ekonomi penurunan kadar tar dan nikotin, serta alat promosi. Proporsi
rendah daripada sosial ekonomi tinggi. Intensitas perokok lebih rokok filter pada tahun 1990 di Brazil, Jerman, Jepang, dan
nyata di daerah urban daripada rural, Kawasan Indonesia Timur Amerika Serikat lebih dari 95%; di Italia 87%; di Polandia
daripada Kawasan Indonesia Barat, tingkat sosial ekonomi 64%; di Perancis 60%; di RRC 41%, 3 kali lipat proporsi tahun
tinggi daripada sosial ekonomi rendah. 1986.
Prevalensi perokok laki-laki di RRC, pada petani 81%, Kadar tar dan nikotin yang dianjurkan adalah 10 mg dan 1
buruh 58% dan pegawai 42%; di Inggeris, pada pekerja kasar mg per batang. WHO tidak menganjurkan penurunan kadar tar
49%, pekerja semi trampil 45%, pekerja terampil 40%, dan nikotin dalam penanggulangan masalah merokok, karena
profesional lain dan manager 30%, dan dokter 17%. Prevalensi diduga hisapan akan lebih dalam, merokok akan lebih sering,
perokok di Semarang pada tukang becak 96.1%, paramedis selain merupakan alat promosi. Walaupun demikian berbagai
79.8% pegawai negeri 51.9% dokter 36.8% (1973); di 6 desa penelitian menunjukkan adanya hubungan dosis, kadar, dan
kabupaten Tasikmalaya, pada golongan pendapatan rendah risiko penyakit. Peraturan perundangan mengenai penurunan
86%, pendapatan menengah 85%, pendapatan tinggi 68%, SD kadar bahan berbahaya mempunyai efektifitas yang marginal,
ke bawah 86%, tamat SLTP 80%, tamat SLTA 74%, tamat namun resistansi yang kecil dari pihak industri rokok.
Universitas 62% (1992). Dibandingkan dengan SKRT 1986, walaupun tidak
Dari segi intensitas, diperkirakan telah terjadi kenaikan sepenuhnya komparabel, pada Modul Susenas 1995 terjadi
selama 2 dasawarsa terakhir ini sejalan dengan kenaikan sedikit kenaikan prevalensi, terutama pada kelompok umur
pendapatan. Konsumsi rokok per kapita penduduk dewasa muda. Berdasarkan SKRT 1986, prevalensi perokok laki-laki
diperkirakan sebagai berikut : 480 batang (1970), 1050 batang menurut kelompok umur, berturut-turut : 0.6% (10-14 tahun),
(1985), dan 1480 batang (1990). Laju kenaikan konsumsi ini 13.2% (15-19 tahun), 46.0% (20-24 tahun), 63.1% (25-29
jauh lebih cepat daripada laju kenaikan prevalensi, mengingat tahun), 67.9% (30-34 tahun), 72.4% (35-39 tahun), 73.8%
tingkat konsumsi di Indonesia masih jauh lebih rendah daripada (40-49 tahun), 74.2% (50-59 tahun), dun 64.7% (60+ tahun);
di negara maju yang besarnya sekitar 2485 batang (1985). sedang berdasarkan Modul Susenas 1995: 1.1% (10-14 tahun),
Fluktuasi konsumsi rokok di negara sedang berkembang 22.6% (15-19 tahun), 53.5% (20-24 tahun), 66.2% (25-29
lebih berhubungan dengan kondisi ekonomi makro daripada tahun), 72.1% (30-34 tahun), 74.8% (35-39 tahun), 74.0%
dengan ada tidaknya kebijaksanaan dan program pemberantas- (40-49 tahun), 72.5% (50-59 tahun), dan 68.0% (60+ tahun).
an merokok. Berdasarkan penelitian atas data GNP dan Prevalensi perokok laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
konsumsi rokok per kapita di 103 negara periode tahun 50.2% pada SKRT 1986 (data revisi) dan 51.3% pada Modul
1965-1986, Chapman S mendapatkan bahwa GNP per kapita Susenas 1995. (lihat Gambar 2).
merupakan prediktor yang menerangkan 67% dari varians Upaya penanggulangan masalah merokok yang telah
konsumsi rokok per kapita, sedang laju pertumbuhan GNP dilakukan selama 1 dasawarsa terakhir dengan demikian belum
menerangkan 28% kenaikan konsumsi. Korelasi bersifat menunjukkan hasil dalam penurunan prevalensi perokok laki-
nonlinier, pada awalnya kenaikan GNP yang kecil diikuti oleh laki. Walaupun terkesan adanya kegiatan yang gencar dari
kenaikan konsumsi yang relatif besar, kemudian makin lama, berbagai LSM, seperti Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan
efek kenaikan makin kecil. Kurva menjadi mendatar setelah Kanker Indonesia, Lembaga Menanggulangi Masalah Mero-
GNP inencapai sekitar US $ 5,000. Setelah tahap ini, pengaruh kok, melalui berbagai seminar, brosur, iklan, dan klinik ber-
eksternal dari pemberantasan merokok baru menjadi makin henti merokok, cakupan dan efektifitas biayanya masih
terasa. terbatas. Demikian pula dengan upaya di bidang legislasi,
Preferensi perokok di Indonesia pada rokok kretek me- seperti tanda peringatan bahaya merokok dan berbagai instruksi
rupakan ciri khas, seperti halnya dengan bidi di India dan menteri mengenai lingkungan kerja dan sekolah bebas asap
beberapa negara sekitarnya. Pihak industri rokok transnasional rokok, efektifitasnya bersifat marginal saja.
belum berhasil atau kalah dalam persaingan ini, karena rokok Untuk menurunkan prevalensi dan intensitas perokok pada
kretek lebih memenuhi selera setempat. Demikian pula bebe- laki-laki, upaya baru yang lebih efektif dari segi biaya dan
rapa jenis rokok tempo dulu, seperti siong, cerutu, cangklong cakupan secara bertahap diperlukan, yakni menaikkan cukai,
dan linting, secara perlahan mulai tergeser oleh rokok kretek. melarang iklan dan pengsponsoran, pendidikan kesehatan sejak
Rokok kretek mengandung cengkeh sekitar 1/4 bagian dan taman kanak-kanak, kampanye panutan di kalangan pimpinan
saos rahasia. Dalam asap rokok kretek terdapat 5 senyawaan dan petugas kesehatan, penurunan kadar tar dan filterisasi, dan
yang tidak terdapat dalam asap rokok putih, yaitu eugenol, diversifikasi industri tembakau. Pentahapan dalam beberapa
asetil eugenol, beta-kariofilen, alfa-humulen, dan kariofilen jenis upaya diperlukan untuk menghindarkan keguncangan

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 33


dalam bidang perekonomian dan mengendorkan resistensi yang dominan pada laki-laki daripada perempuan, masing-masing
kuat dari pihak industri rokok. sebesar 68.8% dan 2.6%, memperlihatkan masih kuatnya
resistensi kultur tidak merokok pada perempuan.
• Prevalensi mantan perokok laki-laki relatif sangat kecil
yang berkaitan dengan sulitnya menghentikan perilaku
merokok dan belum berhasilnya kampanye berhenti merokok.
• Prevalensi perokok lebih nyata di daerah rural daripada
urban, Kawasan Indonesia Barat daripada Kawasan Indonesia
Timur, tingkat sosial ekonomi rendah daripada sosial ekonomi
tinggi.
• Intensitas perokok lebih nyata di daerah urban daripada
rural, Kawasan Indonesia Timur daripada Kawasan Indonesia
Barat, tingkat sosial ekonomi tinggi daripada sosial ekonomi
rendah.
• Preferensi perokok sebagian besar pada rokok kretek filter
dan nonfilter, karena rokok kretek lebih sesusi selera domestik,
walau mungkin lebih tinggi risikonya.
• Sebagian besar perokok, baik laki-laki maupun perempu-
an, merokok di dalam rumahnya sendiri, menunjukkan belum
dihayatinya bahaya merokok pasif bagi bukan perokok.
Gambar 2. Prevalensi perokok laki-laki menurut umur di Indonesia • Umur mulai merokok, yang terkecil adalah 5 tahun, se-
menurut SKRT 1986 dan Susenas-SKRT 1995. bagian besar pada kelompok umur remaja, sehingga ketahanan
anak terhadap godaan mulai merokok dibina sedini mungkin.
• Dibandingkan dengan SKRT 1986, pada Modul Susenas
1995 terjadi sedikit kenaikan prevalensi perokok laki-laki,
RELIABILITAS terutama pada kelompok umur muda, mengindikasikan
Reliabilitas prevalensi perokok antar survei dihitung berbagai upaya yang gencar selama ini belum menunjukkan
dengan membandingkan data base Modul Susenas dan Studi hasil.
Morbiditas/ Disabilitas SKRT 1995. Dari 7,838 record respon- • Upaya baru yang lebih efektif dari segi biaya dan cakupan
den berumur 10 tahun ke atas subset database Studi Morbiditas/ secara bertahap diperlukan, yakni menaikkan cukai, melarang
Disabilitas SKRT, 5,544 (70.73%) record berhasil di merge iklan dan pengsponsoran, pendidikan kesehatan sejak taman
dengan subset database Modul Susenas. Kofisien Kappa antara kanak-kanak, kampanye panutan di kalangan pimpinan dan
jawaban terhadap pertanyaan Blok V R 20-21 Modul Susenas petugas kesehatan, penurunan kadar tar dan filterisasi, dan
dengan jawaban terhadap pertanyaan Nomor 5 Studi diversifikasi industri tembakau.
Morbiditas dan Disabilitas SKRT adalah sebesar 0.60426;
selang waktu antara kedua pertanyaan berkisar antara 2-12
bulan; Susenas di tanyakan oleh Mantis dan Mitra Statistik,
sedang SKRT oleh dokter. Reliabilitas antar jawaban terhadap UCAPAN TERIMA KASIH
pertanyaan Blok V R 20-21 Modul mengenai merokok dengan Kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan berbagai pihak
Blok IX R15 Kor Susenas pengeluaran untuk tembakau dan dalam menyelesaikan penelitian ini, antara lain kepada : Biro Pusat Statistik
dan Unit Komputasi Badan Litbangkes yang telah menyediakan subset
sirih memperlihatkan index kesamaan sebesar 97.51%. database yang dibutuhkan untuk analisis.
Konsumsi rokok putih dan kretek per penduduk tahun Penelitian ini dibiayai dengan paket analisis lanjut SKRT 1995 dari DIP
1995 berdasarkan Modul Susenas adalah sebesar 3.9 batang per Badan Litbangkes Depkes RI tahun 1996/97.
hari, atau 1427 batang per tahun; sedang berdasarkan USDA
tahun 1990 adalah sebesar 1480 batang per tahun.

LIMITASI KEPUSTAKAAN
Pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku merokok yang 1. Badan Litbangkes dan Pusat Kesehatan Jantung Nasional RS Jantung
diajukan dalam Modul Susenas 1995 dibatasi pada masalah Harapan Kita : Presentasi dan diskusi Survei II Monica - Jakarta, 1993.
perilaku utama, sehingga tidak mencakup masalah sikap dan 2. Budiarso RL. dkk. Proceeding Seminar Survai Kesehatan Rumah Tangga
keyakinan, dengan format kalimat yang ringkas, karena keter- 1986. Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta,
1987.
batasan tempat pada instrumen Modul. Dalam pedoman wa- 3. Chapman S, and Wong WL. Tobacco Control in the Third World. A
wancara dan pelatihan, batasan dan penjelasan dari pertanyaan- Resource Atlas. IOCU, Penang, 1990.
pertanyaan diberikan cukup rinci. 4. Department of Health and Human Services : Reducing the Health
Consequences of Smoking. 25 Years of Progress. A Report of the
Surgeon General. US. Department of Health and Human Services, Public
KESIMPULAN Health Service, Centers for Disease Control, Center for Chronic Disease
• Prevalensi perokok 20 tahun ke atas masih jauh lebih Prevention, and Health Promotion Office on Smoking and Health, 1989.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


5. Medical School Padjadjaran University, and University of Ghent : Report 7. World Health Organization: Guidelines for the Conduct of
Introduction in a rural area in West Jawa of Surveillance System on Tobacco-Smoking Surveys of the General Population. Report of a WHO
noncommunicable diseases, more specifically on the morbidity and meeting held in Helsinki, Finland, 1982. WHO/SMO/83.4.
mortality of cardio and cerebrovascular diseases. EEC Contract, 1992. 8. World Health Organization : Smoking Control Strategies in Developing
6. Stanley K. Control of Tobacco Production and Use. In : Jamison DT. et al Countries. Report of a WHO Study Group. WHO Technical Series 695.
: Disease Control Priorities in Developing Countries. Oxford University WHO, Geneva, 1983.
Press, 1993.

A book is a friend that never deceived us

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 35


HASIL PENELITIAN

Karakteristik Kematian Maternal


di Kabupaten Timor Tengah Utara,
1997
Sutrisno*, Lisa Andriani
Rumah Sakit Marsudi Waluyo Singosari, Malang/
* Mantan Kepala Puskesmas Maubesi, Insana, TTU, NTT

ABSTRAK

Tujuan : Mencari karakteristik, latar belakang dan penyebab kematian dari kasus-
kasus kematian maternal di Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Lokasi : Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Waktu studi : 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997.
Bahan dan cara : Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap kasus-kasus
kematian maternal di TTU periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997
dengan menggunakan instrumen formulir AMP Departemen Kesehatan RI ditambah
dengan pemeriksaan hapusan darah dan tetes tebal untuk mengidentifikasikan spesies
Plasmodium. Kemudian dilakukan pembahasan bersama antara pengelola KIA tingkat
puskesmas dan Dinas Kesehatan TTU serta para dokter kepala puskesmas dan dokter
di RS Kefamenanu untuk memperoleh kesamaan persepsi dan mencari jalan keluar
terhadap semua masalah yang timbul.
Hasil : Dalam periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 didapatkan
28 kasus kematian maternal. Dari 28 kasus kematian maternal, usia terendah 19 tahun
dan tertinggi 39 tahun. Puskesmas kota dan puskesmas sangat terpencil mempunyai
peringkat tertinggi angka kematian maternalnya. 53,6% kematian maternal melakukan
ANC di fasilitas kesehatan akan tetapi 75% kematian maternal bersalin di rumah
dengan pertolongan dukun tidak terlatih dan keluarga (46,4%) dan dukun terlatih
(25%). 50% kematian maternal mempunyai paritas 3 atau lebih. Sebagian besar
pekerjaan penderita adalah petani (67,9%). Rata-rata usia kehamilan saat meninggal
adalah 35,036 minggu dengan 1 kasus abortus yang meninggal karena sepsis. Dari 28
kasus, hanya 1 orang yang mempunyai riwayat komplikasi obstetri (retensio plasenta)
pada kehamilan sebelumnya. Riwayat adanya trauma didapatkan pada dua kasus
(7,2%) yaitu dipukul oleh suami. Diagnosis penyebab kematian dari 28 kasus kematian
maternal adalah pendarahan (60,7%), malaria serebral (17,9%), sepsis (14,3%),
eklampsi (3,6%) dan KP yang diperberat kehamilan (3,6%).

LATAR BELAKANG diperkirakan sekitar 500.000 wanita di negara-negara ber-


Sampai saat ini kematian maternal di negara berkembang kembang meninggal karena sebab kehamilan, persalinan dan
masih tetap menjadi masalah kesehatan utama dan belum abortus setiap tahunnya(1). Di beberapa negara berkembang,
terpecahkan. Walaupun data yang akurat mengenai jumlah kematian maternal merupakan penyebab kematian utama bagi
yang pasti dari kematian maternal tidak diketahui, namun dapat wanita usia reproduksi(2). Dalam kontek ini, yang dimaksud

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


kematian maternal adalah kematian wanita yang disebabkan Utara, Nusa Tenggara Timur mulai 1 Januari 1997 sampai
oleh kehamilan, terminasi kehamilan, persalinan dan kontra- dengan 31 Agustus 1997. Sumber data kematian maternal
sepsi(5). diambil dari catatan KIA dan formulir kematian maternal yang
Laporan-laporan statistik kesehatan menunjukkan bahwa rutin diisi dan dilaporkan bidan desa setiap bulan. Dengan
angka kematian maternal antara negara maju dan negara ber- menggunakan formulir Audit Maternal Perinatal (AMP) dari
kembang memperlihatkan perbedaan yang tajam(4). Seorang Departemen Kesehatan yang telah ditambah dengan beberapa
wanita di negara-negara berkembang rata-rata mempunyai pertanyaan yang mempunyai relevansi dengan kondisi
risiko untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan setempat, dilakukan penggalian riwayat dari kematian maternal
dengan kehamilan antara 1 : 15 sampai 1 : 150, dibandingkan lewat suami dan atau keluarga terdekat (dilakukan verbal
dengan wanita di negara maju yang berkisar antara 1 : 4.000 autopsi). Penggalian riwayat dilakukan sedetail mungkin
sampai 1 : 10.000(1). Masyarakat miskin di negara berkembang dengan memanfaatkan banyak sumber informasi, agar infor-
terkesan menerima kematian maternal sebagai kemauan takdir masi yang didapat cukup valid, representatif dan berkualitas
yang tak dapat dihindarkan, sementara ketidakpedulian politik untuk mencari penyebab kematian dari si ibu. Wawancara
tetap mengabaikan kepentingan wanita di beberapa negara dilakukan di desa, kemudian hasil wawancara didiskusikan
berkembang hingga saat ini. dengan bidan pengelola KIA dan dokter puskesmas di
Angka kematian maternal di Indonesia sebesar puskesmas induk. Agar penyebab kematian dan permasalahan
421/100.000 kelahiran hidup(6) dan terakhir diperkirakan lain yang mendasari dapat diketahui lebih jelas, hasil autopsi
350/100.000 kelahiran hidup(7). Angka ini 50 kali lebih tinggi verbal dari puskesmas dibahas ulang di tingkat kabupaten oleh
dari negara maju dan 3 kali lebih tinggi dari negara-negara tim AMP tingkat kabupaten yang terdiri dari dokter rumah
Asean(7,10). Menurut BKFPENFIN tahun 1987, penyebab sakit, Dinas Kesehatan, dokter puskesmas dan pengelola KIA
kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan (52,17%), tingkat puskesmas. Khusus untuk malaria serebral, diagnosa
toksemia (30,34%) dan sepsis (17,39%)(5). ditegakkan atas dasar gejala klinik, hapusan darah dan tetes
Permasalahan kesehatan di Propinsi Nusa Tenggara Timur tebal yang diambil pada saat sakit berat atau saat menderita
bersifat spesifik dan komplek. Angka kematian maternal dirawat di rumah sakit.
sebesar 1350/100.000 kh(5). Di Kabupaten Timur Tengah Utara
pada tahun 1995, angka kematian maternalnya sebesar HASIL
1246/100.000 kh (Sutrisno, 1995). Angka kecacatan di Propinsi Dalam kurun waktu antara 1 Januari 1997 sampai dengan
NTT tertinggi di Indonesia(5). Insiden sumbing bibir dan 31 Agustus 1997 didapatkan 28 kasus kematian maternal.
langit-langit di NTT berkisar antara 5-9 per 1000 kelahiran (Tabel 1)
hidup(6). Defisiensi mikronutrien zinc dalam serum ibu hamil
sebesar 75% dari seluruh ibu hamil di pulau Timor dan ini ber- Tabel 1. Disiribusi usia kematian maternal.
kaitan dengan rendahnya sumber zinc dalam diet dan me-
Persentase
nyebabkan tingginya komplikasi obstetri dan malaria. Dengan No Usia (tahun)
N=28
demikian NTT menghadapi masalah kesehatan yang dilatar- 1 < 20 3,6
belakangi masalah sosial ekonomi, ekologi dan kultural. Oleh 2 20 - 25 25
karena itu dalam rangka memacu pertumbuhan pembangunan 3 26 - 30 32,2
4 31 - 35 14,4
di NTT, Pemerintah Daerah setempat mencanangkan tujuh 5 > 35 25
program strategis yang akan dicapai Pemda NTT bersama Jumlah 100
masyarakat NTT dengan program utama berupa peningkatan
kualitas sumber daya manusia(12). Total kasus sebanyak 28 kasus, dengan usia termuda 19 tahun
Kematian maternal hingga saat ini merupakan masalah dan usia tertua 39 tahun.
yang sulit dipecahkan di NTT. Kematian maternal sesungguh- Bila ditinjau dari asal puskesmas, tampak dalam tabel 2.
nya bukan hanya masalah kesehatan semata, tetapi dilatar-
belakangi masalah sosialekonomi, ekologi dan budaya. Berikut Tabel 2. Kematian maternal per puskesmas.
akan dilaporkan karakteristik kematian maternal yang terjadi di
Kabupaten Timor Tengah Utara pada tenggang waktu antara Persentase
No Puskesmas
N=28
Januari 1997 sampai dengan Agustus 1997. 1 Eban 7,1
2 Oelolok 3,6
TUJUAN 3 Lurasik 3,6
Mencari karakteristik, latar belakang dan penyebab ke- 4 Manufui 7,1
5 Maubesi 7,1
matian dari kasus-kasus kematian maternal di Kabupaten 6 Noemuti 3,6
Timor Tengeh Utara, Nusa Tenggara Timur. 7 Nunpene 3,6
8 Oemeu 3,6
9 Sasi 28,6
10 Wini 28,6
BAHAN DAN CARA Total 100
Penelitian ini dilakukan secara restropektif terhadap
kematian maternal yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Dari riwayat antenatal care, dari 28 kasus kematian mater-

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 37


nal sebanyak 53,6% mengaku melakukan antenatal care dan an dan data laboraborium seta berdasarkan buku-buku acuan
46,4% mengaku tidak melakukan antenatal care walaupun di yang relevan, penyebab kematian dari 28 kasus kematian
desanya terdapat polindes dan ada bidan desa yang tinggal di maternal di Timor Tengah Utara, terpampang dalam tabel 5.
polindes tersebut. Mengenai paritas dari kasus kematian
maternal, didapatkan data sebagai berikut (Tabel 3) :
Tabel 5. Penyebab kematian maternal.

Tabel 3. Paritas kasus kematian maternal. Persentase


No Penyebab kematian
N=28
Persentase 1 Pedarahan 60,7
No Paritas
N=28 2 Malaria serebral 17,9
1 1 35,6 3 Sepsis 14,3
2 2 14,3 4 Eklamsia 3,6
3 3 21,4 5 KP diperberat kehamilan 3,6
4 5 14,3 Jumlah 100
5 6 7,2
6 8 3,6
7 9 3,6
Total 100 DISKUSI
Puskesmas Sasi adalah puskesmas kota Timor Tengah
Utara (TTU), sedangkan puskesmas Wini adalah salah satu
Dari 28 kasus kematian maternal latar belakang pekerjaannya puskesmas terjauh (sangat terpencil) di TTU tetapi di kedua
adalah pegawai (3,6%), ibu rumah tangga (28,6% dan petani puskesmas tersebut didapatkan jumlah kematian maternal yang
(67,9%). sama. Infrastruktur kesehatan di kota sudah cukup memadai
Usia kehamilan saat meninggal, dari anamnesa dan pe- karena terdapat satu rumah sakit daerah tipe C dan beberapa
meriksaan fisik, didapatkan hasil sebagai berikut (Tabe14) : poliklinik swasta ditambah dengan beberapa orang dokter
swasta, sehingga akses ke pelayanan kesehatan cukup baik.
Tabel 4. Usia kehamilan dari kasus kematian maternal Sedangkan di Wini, puskesmasnya tidak ada dokternya dan
situasi alamnya sulit. Namun ternyata di kedua daerah ini
Usia kehamilan Persentase
No
(minggu) N = 28 didapatkan jumlah kumulatif kematian maternal yang sama.
1 16 3,6 Data ini menunjukkan bahwa kematian maternal tidak hanya
2 24 3,6 semata-mata ditentukan oleh variabel fasilitas kesehatan (dan
3 28 10,7 tenaga kesehatan) tetapi oleh banyak faktor dominan lainnya
4 32 3,6
5 34 3,6 yang saling berinteraksi.
6 Aterm 74,9 Di antara 28 kasus kematian maternal, 53,6% melakukan
Total 100 antenatal care ke petugas kesehatan, tetapi saat persalinan
mereka lebih suka bersalin di rumah (75%) bahkan ada yang
bersalin di kebun (3,6%) dengan penolong dukun terlatih
Dari penggalian riwayat komplikasi kehamilan. persalinan dan (25%) dan dukun tidak terlatih/keluarga (46,4%), dan sisanya
nifas pada kehamilan sebelumnya, didapatkan data sebanyak (28,6%) yang minta pertolongan ke petugas kesehatan. Di
96,4% kasus kematian maternal tidak ada riwayat komplikasi masyarakat Timor, kebiasaan memeriksakan kehamilan sudah
dan 3,6% mempunyai riwayat retensio plasenta berulang menjadi kegiatan rutin, terutama di posyandu, akan tetapi
sebanyak 2 kali. belum dimengerti dengan baik tujuan dari antenatal care
Masyarakat Timor Tengah Utara pada umumnya tinggal sehingga yang pada saat hamil sebagian besar memeriksakan
diperdesaan serta mereka mempunyai kebiasaan tinggal di diri ke petugas kesehatan akan tetapi pada saat bersalin mereka
rumah kebun yang jauh dari perkampungan permukiman. Dari memilih dukun. Keterikatan mareka pada adat kebiasaan sangat
wawancara dengan keluarga, tempat bersalin kasus kematian besar Ibu-ibu hamil di Timor lebih mempercayai perkataan
maternal adalah di kebun (3,6%), di rumah sendiri (75%) dan dukun deripada petugas kesehatan. Bila dukun menganjurkan
sisanya (21,4%) melahirkan di fasilitas kesehatan baik ibu hamil untuk minum sopi (alkohol lokal) untuk memperkuat
polindes, puskesmas maupun rumah sakit kabupaten. Dari 28 kendungan, maka ibu hamil langsung meminumnya tanpa
kasus kematian mateial; penolong persalinan adalah bidan banyak pertanyaan. Demikian juga bila dianjurkan untuk
(28,6%), dukun terlatih (25%) dan dukun tidak terlatih dan makan sejenis tanah tertentu agar anaknya tumbuh sehat, maka
keluarga (46,4%). ibu hamil langsung memakannya juga. Akan tetapi bila ibu
Di Nusa Tenggara Timur, mesih sering terjadi kasus-kasus bidan menganjurkan agar ibu hamil minum tablet tambah darah
tindak kekerasan suami terhadap isterinya. Dari 28 kasus dan kalsium secara teratur, ibu hamil banyak yang tidak
kematian maternal, bila ditinjau dari riwayat tindak kekarasan meminumnya bahkan ada yang dibuang di jalan, agar tidak
yang dilakukan suami yang bersangkutan, didapatkan 2 kasus dimarahi ibu bidan bila diketahui tablet besinya masih sisa. Hal
(7,2%) pemukulan yang terjadi dalam kurun waktu 1 minggu ini diperkuat oleh tingginya angka KI (80%) dan rendahnya
sebelum meninggal. persalinan tenaga kesehatan (23%)(8). Di TTU aparat formal
Dengan cara kesepekatan lewat diskusi dalam forum AMP, menaruh perhatian yang besar dalam hal ini terbukti bila ada
berdasarkan riwayat dan data-data yang berkumpul dan lapang- posyandu perangkat desa berkeliling menabuh gong memanggil

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak balita agar datang ke masalah secara komprehensif dengan memberi penekanan
posyandu. Sering petugas keamanan (babinsa/babinkamtibmas) faktor sosioekonomi menjadi keharusan bila ingin menyelesai-
turun ke desa dalam rangka posyandu ini, namun secara kan masalah kematian maternal dengan baik(13).
kualitatif hasilnya belum menggembirakan. Para suami secara Di beberapa negara Afrika, yang mempunyai masalah
umum mengerti permasalahan kesehatan ibu dan anak, tetapi serupa dengan Indonesia, telah dikembangkan beberapa strategi
sulit mengambil keputusan sebab dalam proses pengambilan untuk mengatasi masalah kematian maternal ini. Di suatu
keputusan dalam keluarga peran orang tua dan tua-tua adat distrik Ghana, pada tahun 1993 sampai dengan 1994, kamar
(dukun) sangat dominan(8). operasi dan bank darah disediakan dengan baik, fasilitas
Dalam hal jumlah persalinan ternyata dari kematian kesehatan ibu dan alternatif sumber dana dipermudah. Kemu-
maternal yang ada 35,7% merupakan persalinan pertama, dan dian dokter ditempatkan secara menetap dan dilatih ilmu
persalinan ketiga dan seterusnya 50. Hal ini sesuai dengan yang obstetri dasar dan bidan dilatih lifesaving untuk tindakan
ditulis Royston bahwa risiko kematian maternal meningkat persalinan. Kemudian kebutuhan air dicukupi, serta di masya-
seirama jumlah persalinan, walaupun tidak setajam pernyataan rakat dilakukan intervensi berupa penyuluhan untuk mening-
Royston. Sementara Fortney JA menemukan bahwa 2/3 katkan kesadaran agar secepatnya mencari pertolongan ke
kematian maternal terjadi pada usia diatas 30 tahun atau paritas tenaga kesehatan bila menghadapi masalah persalinan. Dengan
3 atau lebih (Fortney JA, 1988). usaha ini, wanita yang datang ke fasilitas tersebut karena
Pekerjaan umum dari ibu-ibu yang meninggal adalah komplikasi obstetri meningkat tiga kali serta kasus rujukan ke
petani (67.9%) dan ibu rumah tangga (28,6%). Ini membukti- rumah sakit lebih besar menjadi berkurang. Bidan menjadi
kan bahwa ibu-ibu dari kalangan sosial ekonomi rendah kurang lebih trampil dan berani melakukan tindakan dasar kebidanan
beruntung karena rendahnya akses terhadap pelayanan kesehat- seperti manual plasenta, vakum ekstraksi dan episiotomi(17.
an oleh karena berbagai sebab. Ketidakberdayaan ibu-ibu Di Kumasi Ghana, dokter, bidan, perawat da pembantu
terhadap akses pelayanan kesehatan yang baik antara lain perawat dilatih pencatatan, komplikasi da analisa data.
karena sebab ekonomi menyebabkan peningkatan risiko men- Monitoring dan supervisi dilakukan secara rutin. Dengan
dapat komplikasi akibat kehamilan dan persalinan(1,2). metode ini kualitas hasil pencatatan meningkat, koleksi data
Satu kasus di antara 28 kasus mempunyai riwayat retensio dan analisa data dilakukan secara rutin dan tetap. Dokter
plasenta, 27 kasus dari 28 kasus kematian, posisi anak normal. menggunakan datayang ada untuk laporan pagi. Bidan dan
Hal ini yang mendorong ibu-ibu bersalin ke dukun karena perawat bisa mengkompilasi data dan membuat klasifikasi
berbukti sebelumnya (dianggap) tidak menghadapi masalah bulanan. Daerah lain mulai mengadopsi pola ini dan banyak
dalam kehamilan dan persalinan. Di sisi lain para dukun cukup yang berhasil(17).
gencar mempromosikan dirinya dengan disertai bahasa-bahasa Di Ekpoma, Nigeria, setelah fasilitas kesehatan secara
adat sebingga ibu-ibu hamil yang rata-rata berpendidikan memadai, kemudian pinjaman dana untuk emergensi obstetri
rendah lebih tertarik ke dukun. dipermudah dan dikelola secara mandiri oleh anggota klan,
Dua di antara 28 kasus mempunyai riwayat trauma dipukul dibawah pengawasan dan supervisi dari pemerintah, usaha ini
suami. Keduanya mengalami pardarahan setelah dipukul suami mendatangkan hasil berupa berhasilnya 12 klan dari 13 klan
dan terlambat mendapatkan patolongan dengan baik. Secara yang dibina. Setiap orang dipinjami US$ 7 - US$ 15, den 93%
umum terdapat pandangan bahwa kaum ibu adalah nomor dua pinjaman dapat dikembalikan secara penuh(16).
setelah suami. Banyak kasus-kasus kekerasan terhadap istri Di Pakro Ghana, 1991, sebuah rumah bekas dilengkapi
yang dilakukan oleh suami-suami mereka dan biasanya sampai dengan almari es, air, obat-obatan dan perlengkapan lainnya,
pada urusan polisi walaupun akhirnya berdamai secara adat. kemudian ditempatkan seorang perawat secara menetap oleh
Perdarahan menduduki tempat pertama sebagai penyebab depkes, lalu difungsikan sebagai klinik kesehatan ibu anak dan
kematian (60%), disusul malaria sarebral (17,9%), sepsis keluarga berencana. Kemudian bidan senior ditempatkan secara
(14,3%) kemudian eklamsia (3,6%) dan KP yang diperberat ke- permanen dan memberi pelayanan obstetri secara baik. Periode
hamilan (3,6%). Ibu-ibu bersalin di NTT lebih mudah selanjutnya dievaluasi dan hasilnya menggembirakan(19).
mengalami perdarahan oleh karena kurang gizi, anemia dan Di Sierra Leone, motivator (community motivator) dilatih
sebab lainnya. Kasus malaria masih sangat tinggi yang dan diberi sepeda. Tugas mereka adalah mendidik masyarakat,
mempunyai insiden 100-150 per 1000, termasuk didalamnya membentuk suatu kelompok masyarakat mengatasi emergensi
malaria pada ibu hamil. Fakta lainnya adalah malaria pada ibu obstetri dan mencari transportasi ke fasilitas rujukan. Hasilnya
hamil lebih resisten terhadap klorokuin sehingga potensi dievaluasi dan ternyata kasus-kasus kegawatan obsbetri cepat
menjadi malaria berat (Sutrisno et al, 1988). mendapatkan pertolongan(19). Di Afrika Barat strategi untuk
Tuberkulosis sangat prevalen di NTT, namun menghadapi mengatasi tingginya kematian maternal adalah membantu men-
kendala besar dalam hal pengobatan. Sepsis post partum dapatkan pinjaman dana, pelayanan obstetri secara cepat dan
berkaitan erat dengan pertolongan persalinan oleh dukun yang tepat (24 jam) serta meningkatkan perilaku dan etos kerja dari
tidak higienis. Biasanya dukun memakai alat tradisional yang para staf. Pengalaman di Afrika Barat menunjukkan diperlu-
tidak steril, dan luka pada ibu dan anak diberi ramu-ramuan kannya pendekatan multidisipliner untuk menangani masalah
tradisional yang tidak higienis. yang multiaspek, juga kolaborasi di antara tim untuk me-
Faktor-faktor nonmedis mempunyai kontribusi yang besar ningkatkan kemampuan dan pengalaman, bantuan teknis
pada kasus-kasus kematian maternal(13), sehingga pemecahan jangka panjang dan sitematis, pengadaan sumber daya manusia

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 39


dan material secara baik, serta pembentukan strategi yang tepat berguna untuk menangani masalah yang multiaspek, kolaborasi
sesuai kondisi lapangan. antar tim berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan peng-
Di Anambra State, Nigeria, Community contact person di- alaman, sistematis, berkelanjutan dan berjangka panjang ber-
bentuk dan mempunyai tugas meningkatkan kesadaran masya- guna menjaga kelangsungan program dan strategi yang telah
rakat akan komplikasi obstetri, memfasilitasi rujukan bagi yang ditetapkan.
terkena komplikasi obstetri dan mempunyai jalinan kerja sama
yang baik dengan ibu hamil, alat transportasi dan alternatif
sumber donor darah. Setelah beberapa tahun hasilnya meng- KESIMPULAN
gembirakan(16). Telah dilakukan penelitian mengenai kematian maternal di
Di Kabupaten TTU dan Belu telah dilakukan uji coba Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Dalam
pembinaan desa secara berkelanjutan yang didanai oleh proyek periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Agustus 1997 di-
kesehatan wanita dan keluarga berencana dari Ausaid. Dari 7 dapatkan 28 kasus kematian maternal. Dari 28 kasus kematian
puskesmas tempat uji coba, pola pembinaan berkelanjutan maternal usia terendah 19 tahun dan tertinggi 39 tahun.
lewat on the job training hasilnya cukup menggembirakan. Puskesmas kota dan Puskesmas sangat terpencil mempunyai
Karena dianggap berhasil, proyek ini akan diperluas ke peringkat tertinggi angka kematian maternalnya. 53,6%
kabupaten lainnya(18). kematian maternal melakukan ANC ke fasilitas kesehatan akan
Di Ghana biaya yang digunakan sebesar US$30.000, 40% tetapi 75% bersalin di rumah dengan pertolongan dukun tidak
dari proyek, 36% dari LSM, 15% dari pemerintah dan sisanya terlatih atau keluarga (46,4%) dan dukun terlatih (25%). 50%
9% dari masyarakat. Hal ini merupakan model yang menarik kematian maternal mempunyai paritas 3 atau lebih. Sebagian
karena ada kerja sama antara pemerintah, LSM dan masyarakat besar pekerjaannya adalah sebagai petani (67,9%). Rata-rata
dalam memecahkan masalah kematian ibu dan anak. Di usia kehamilan saat meninggal adalah 35,036 minggu dengan 1
Kumasi Ghana dana yang digunakan untuk memperbaiki pen- kasus abortus yang meninggal karena sepsis. Dari 28 kasus
catatan 10 fasilitas kesehatan sebesar US$ 2543, 85% dana dari kematian maternal, hanya 1 kasus yang mempunyai riwayat
proyek. Di Ekpoma biaya yang disediakan proyek sebesar US$ komplikasi obstetri sebelumnya. Riwayat adanya trauma
1360. Di Pakro, Ghana, biaya yang diperlukan US$ 12.550, karena dipukul suami didapatkan 2 kasus (7,2%). Diagnosa
47% dari masyarakat, 43% dari LSM 7% dari proyek dan 3% penyebab kematian dari 28 kasus kematian maternal adalah
dari depkes. Dalam aspek pembiayaan pengalaman negara- perdarahan (60,7%), malaria serebral (17,9%), sepsis (14,3%),
negara Afrika menunjukkan bahwa diperlukan biaya yang eklamsia (3,6%) dan KP yang diperberat kehamilan (3,6%).
besar untuk memperbaiki infrastruktur pelayanan obstetri dasar Strategi mengatasi masalah kematian maternal memerlu-
serta diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah, kan pendekatan yang komprehensif, multidispliner, sistematis,
proyek, LSM dan masyarakat secara swadaya. Di Nusa berkelanjutan dan berjangka panjang. Pendekatan multi-
Tenggara Barat dikembangkan suatu model dengan menitik disipliner berguna untuk mengatasi masalah yang multiaspek,
beratkan jalinan kerja sama antara puskesmas dan rumah sakit kolaborasi antar tim berguna untuk meningkatkan pengetahuan
rujukan dan hasilnya dilaporkan cukup berhasil(20). dan pengalaman. Sistematis, berkelanjutan dan jangka panjang
Sebenarnya di Desa Bannae Kecamatan Insana TTU, ada berguna menjaga kelangsungan program dan strategi yang telah
sekelompok masyarakat satu suku, yang mencoba mengem- ditetapkan.
bangkan pola kerja sama secara mandiri dengan cara iuran
sejumlah uang secara rutin untuk bisa dipakai sewaktu waktu
bila ada anggota keluarga yang bersalin dan memerlukan biaya.
Usaha ini bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan KEPUSTAKAAN
hasilnya bisa dirasakan membantu oleh para anggotanya.
1. Royston E et al. Preventing Maternal Death, WHO, 1980.
Tetapi pengelolaan dana tersebut masih sangat tradisional. 2. Sabitu K et al. The Effect of Maternity Service in Secondary Facility,
Ketika ditanya mengapa tidak mengikutsertakan masyarakat Zaria, Nigeria. The Zaria PMM Team, Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov;
lainnya dalam jumlah yang lebih besar, mereka mengakui Suppl 2; S99-S106.
masih mudah curiga terhadap pengelola keuangan, tetapi 3. Fortney JA et al. Reproductive Mortality in Two Developing Country.
Am J Public Health 1986 Feb; 76(2): 134-8.
mereka juga belum siap menerima kehadiran pihak ketiga, 4. Chiwuzie J et al. Emergency Loan Fund to improve access to obstetric
orang yang profesional, untuk mengelola keuangan mereka. care in Ekspoma, Nigeria. The Benin PMM Team, Ini J Gynaecol Obstet
Kondisi semacam ini hampir merata di Timor sehingga 1997 Nov; 59 Suppl 2 ; 5231-6.
kreatifitas warga untuk meringankan beban mereka sendiri, 5. Hidajat A et al. Studi Suplementasi Zinc pada ibu hamil di Nusa
Tenggara Timur. Fak. Kedoktetan Universitas Brawijaya, Malang, 1996.
hilang oleh besarnya rasa ketidakpercayaan, walaupun secara 6. Hidajat A et al. Zinc Supplementation During Pregnancy and its effect on
umum masyarakat menyadari bahwa biaya kesehatan termasuk the Incidence of Cleft Lip in Province of Nusa Tenggara Timur,
kesehatan ibu dan anak menjadi tanggung jawab mereka Indonesia. The first of the study paper presented at the 8th International
sendiri. Congress on Cleft Palate and Related Craniofacial Anomaly, Singapura;
1997.
Dalam kenyataannya strategi mengatasi kematian memer- 7. Sutrisno et al. Fokus Grup Diskusi Sebagai Sarana Penggalian Masalah
lukan pendekatan yang komprehensif, multidisipliner, sis- Kesehatan Ibu dan Anak di Kecamatan Insana, Timor Tengah Utara,
tematis, berkelanjutan dan berjangka panjang. Pengalaman di NTT, Cermin Dunia Kedokt, Jakarta, 1997.
Afrika Barat menunjukkan bahwa pendekatan multidisipliner 8. Sutrisno et at. Program kesehatan Ibu dan Anak Tantangan Kesehatan
Yang Menarik di Nusa Tenggara Timur, In press.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


9. Sutrisno et al. Insiden Sumbing Bibir dan Langit-langit di Kecamatan
Insana. Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timor. In press. 16. Nwankoby B et al. Community Contact Person Promote Utilization of
10. Sutrisno et al. Efek Pengobatan Malaria dengan Klorokuin pada ibu hamil Obstretic Service. Anambra State, Nigeria. The Unugu PMM Team. Int J
di Timor Tengah Utara Nusa Tenggara Timur, Badan Penelitian dan Gynaecol Obstet 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S219-24.
Pengembangan Kesehatan Depkes RI (Risbinkes) Jakarta, 1998. 17. Opoku SA et al. Community Education to Improve Utilization to
11. Sweet B et al. Midwifery in Indonesia a professional snapshot, Mod Emergency Obstretic Service in Ghana. The Kumasi PMM Team, Int J
Midwife 1995 Jun; 5(6) : 8-13. Gynaecol Obstetat 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S201-7.
12. …………. Tujuh Program Strategis Pemerintah Daerah NTT, Kupang, 18. Martin J et al. Teaching Village Midwife at Puskesmas Trial Conducted
1996. at 7 Puskesmas, Kabupaten TTU and Belo, NTT. Naskah dipresentasikan
13. Maine D. Lessons for Program Design from the PMM Project. Int J pada pertemuan Perinasia Menado, 1997.
Gynaecol Obstet 1997 Nov ; 59 Suppl 2 : S259-65. 19. Senah KA et al. From Abandoned Warehouse to Life Saving Facility.
14. Kandeh HB et al. Community Motivator Promote Use of emergency Pakro Ghana. The Accra PMM Team, Int J Gynaecol Obstet 1997 Nov ;
Obstetric service in Rural Sierra Leone. The Freetown/Makeni PMM 59 suppl 2 : S91-7.
Team . 20. Soesbandoro DSA. Experiences on Developing Basic Emergency
15. Kamara A et al. Lesson Leam from The PMM Network Experience. Int J Obstetric care in Health Center at West Nusa Tenggara.
Gynaecol Obsetat 1997 Nov ; 59 suppl 2 : S253-8.

Saula, lembu bertanduk raksasa


di hutan rimba Vietnam…….
sebagai 7 raksasa mamalia
yang ditemukan abad ini !

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 41


HASIL PENELITIAN

Toksisitas Akut dan Efek Analgetika


Jamu Pegel Linu pada Mencit Putih
Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi Wirjowidagdo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Pola penggunaan dan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan jamu tertentu


perlu dipertimbangkan dalam menentukan prioritas penelitian. Seyogyanya jenis jamu
yang paling banyak digunakan masyarakat perlu mendapat prioritas. Salah satu jamu
yang sering beredar di masyarakat adalah jamu pegel linu.
Telah diteliti uji toksisitas akut serta khasiat analgetika salah satu jenis jamu pegal
linu pabrik X serta jamu pegal linu racikan sendiri dimana komposisinya disesuaikan
dengan jamu pabrik X. Uji Toksisitas menggunakan metoda Weil C.S.; uji khasiat
analgetika menggunakan asetat secara intra peritoneal pada hewan coba mencit putih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamu pabrik dan jamu racikan mempunyai
harga LD50 masih dalam batas Practically Non Toxic menurut Gleason. LD50 Jamu
pabrik adalah 54,76 (40,41-74,21) mg/10 g bb. ip. mencit. LD50 Jamu racikan adalah
19,95 (14,39-27,65) mg/10 g bb. ip. mencit. Dengan tiga macam dosis yang dicoba
yaitu 125; 75 dan 25 mg/kg bb; potensi analgetika makin besar dengan kenaikan dosis
baik untuk jamu pabrik maupun jamu racikan. Pada dosis 25 mg/kg bb. potensinya
sama dengan pemberian asetosal 52 mg/kg bb. Potensi analgetika antara jamu pabrik
dan jamu racikan tidak berbeda pada dosis 125 mg/kg bb. Demikian pula pada dosis 25
mg/kg bb. Sedangkan pada dosis 75 mg/kg bb., potensi analgetika jamu pabrik dan
jamu racikan berbeda nyata (P>0,05).

Kata kunci: Obat Tradisional; Jamu Pegel Linu; Analgetika.

PENDAHULUAN menghilangkan pegel linu, nyeri otot dan tulang, memperlancar


Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang telah ada peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh dan meng-
sejak dahulu kala dan dimanfaatkan jauh sebelum pelayanan hilangkan sakit seluruh badan(2). Dalam Pedoman Rasionalisasi
formal dengan obat-obatan modern menyentuh masyarakat Komposisi Obat Tradisional disebutkan simplisia penyusun
luas. Kini jamu telah tumbuh dan berkembang baik jenis, jamu pegel linu mempunyai kegunaan sebagai : mengurangi
bentuk sediaan maupun produksinya, dan mendapat banyak nyeri, penyegar badan, penenang/pelelap tidur(3). Sehubungan
perhatian dari konsumen, produsen, peneliti dan pemerintah. dengan indikasi ini, khasiat pegel linu dapat diartikan dengan
Salah satu jamu yang banyak beredar di masyarakat adalah adanya khasiat analgetika.
jamu pegel linu. Sebagai gambaran penggunaan jamu, dari Mengingat hal tersebut di atas, akan diteliti kebenaran
Survai pendapat ibu rumah tangga di Tanjung Priok tentang khasiatnya dan dibandingkan dengan jamu racikan sendiri yang
jamu(1), dinyakan bahwa konsumsi jamu pegel linu oleh komposisinya dibuat sesuai dengan jamu produksi satu pabrik
keluarga responden yaitu 30,9%, menempati urutan teratas di Indonesia. Penelitian yang akan dilakukan adalah pengujian
dibandingkan jamu-jamu lain. Sesuai dengan khasiatnya, toksisitas akut (LD50) serta khasiat analgetikanya.
umumnya jamu ini mempunyai kegunaan atau khasiat Penentuan harga LD50 dilakukan dengan cara Weil C.S(4);

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


uji khasiat analgetika dilakukan menggunakan metode Witkin lompok 10 ekor. Semua kelompok hewan dipuasakan selama
et al(5,6,7) dengan melihat daya menghilangkan rasa sakit akibat 12 jam.
pemberian asam asetat secara intraperitoneal pada mencit Masing-masing kelompok mendapat perlakuan sbb.
percobaan. Rasa sakit akibat pemberian asam asetat menyebab- Kelompok I diberi : NaCl fisiologis 1 ml/20 g bb.
kan kontraksi dinding perut, hingga kepala dan kaki ditarik ke Kelompok II diberi : Acetosal 52 mg/kg bb.
belakang dan abdomen menyentuh dasar ruang kandang. Gejala Kelompok III diberi : Jamu pegel linu pabrik X 125 mg/kg
ini dinamakan writhing reflex dan gejala ini dapat dihilangkan bb.
dengan suatu analgetika. Analisis dilakukan dengan cara Kelompok IV diberi : Jamu racikan 125 mg/kg bb.
membandingkan jumlah geliat yang terjadi setelah pemberian Kelompok V diberi : Jamu pegel linu pabrik X 75 mg/kg bb.
jamu asetosal sebagai pembanding dan menggunakan akuades Kelompok VI diberi : Jamu racikan 75 mg/kg bb.
sebagai kontrol. Kelompok VII diberi : Jamu pegel linu pabrik X 25 mg/kg bb.
Kelompok VIII diberi : Jamu racikan 25 mg/kg bb.
METODOLOGI Semua dosis perlakuan diberikan secara oral.
Bahan Setelah 30 merit, mencit disuntik dengan perangsang nyeri
Bahan uji adalah jamu pegel linu produksi salah satu asam asetat 3% secara intra peritoneal. Jumlah geliat diamati
pabrik jamu Jawa Tengah (jamu pegel linu pabrik X), dan jamu langsung setiap 5 menit sekali selama 30 menit.
racikan, dibuat sendiri dengan komposisi disesuaikan dengan
jamu pabrik X tersebut. HASIL PENGAMATAN
Bahan jamu racikan berasal dari Balai Penelitian Tanaman 1) Uji toksisitas akut
Obat Tawangmangu. Harga LD50 jamu pegel linu pabrik X = 54,76
Infus dari jamu pegel linu pabrik X dan jamu racikan (40,41-74,21) mg/10 g bb. Harga LD50 jamu racikan =19,95
dibuat sesuai dengan cara yang tertera pada Farmakope (14,39-27,65) mg/10 g bb.
Indonesia III. 2) Uji analgetilca

Hewan Coba Tabel 1. Rata-rata jumlah geliat tiap 5 menit selama 30 menit.
Hewan coba yang dipilih adalah jenis yang peka terhadap
Kelompok Menit
rangsangan nyeri yaitu mencit putih betina, umur 2-3 bulan dan Perlakuan 5 10 15 20 25 30
berat 20-30 gram, berasal dari Pusat Penelitian Penyakit
I. NaCl fisiologis 4,2 11,5 13,0 13,5 10,0 9,5
Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, II. Asetosal 1,9 6,9 8,0 6,9 6,9 5,7
Jakarta. III. Pabrik X 125 mg/kg bb. - 0,7 2,5 2,3 2,5 1,1
IV. Racikan 125 mg/kg bb. - 0,9 2,4 2,4 3,3 2,4
V. Pabrik X 75 mg/kg bb. 0,5 2,1 3,8 3,8 2,7 1,8
Cara VI. Racikan 75 mg/kg bb. 0,4 5,2 7,2 4,8 4,4 2,9
1) Uji toksisitas akut(4) VII. Pabrik X 25 mg/kg bb. 1,3 7,1 8,6 6,7 5,4 5,3
Pengujian dengan metoda Weil C.S. Digunakan mencit VIII. Racikan 25 mg/kg bb. 1,8 7,9 8,3 7,9 5,9 4,2
betina dengan berat 20-25 g.
Tahap I : Dari pengamatan jumlah geliat tiap 5 menit, terlihat bahwa
Tahap ini merupakan tahap penjajagan; 6 kelompok pada menit ke 15, sebagian besar dari perlakuan menunjukkan
mencit; tiap kelompok terdiri dari 3 ekor, setiap kelompok geliat yang paling besar, dan akan menurun kembali pada 5
diberi dosis yang berbeda antara 10-100 mg/10 g bb. secara menit berikutnya sampai menit ke 30. Hal ini menunjukkan
intra peritoneal. pula bahwa setelah menit ke 15, kemungkinan asam asetat yang
Pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan melihat digunakan sebagai penginduksi sudah mulai melemah pula
adanya kematian antara 90-100%. Bila ternyata belum ada kerjanya. Tabel diatas dapat digambarkan berupa grafik, dapat
yang mati 100%, maka dosis diperbesar hingga terlihat adanya dilihat pada Gambar 1.
kematian 100%. Batas pemberian infus pada hewan percobaan
tidak lebih dari 1 ml/10g bb. Tabel 2. Jumlah geliat selama 30 menit.
Tahap II :
Nomor Kelompok
Percobaan dilanjutkan dengan memperbanyak kelompok
Mencit I II III IV V VI VII VIII
antar kematian 0-100% dengan dosis mempergunakan faktor
1 72 32 1 15 18 23 41 32
sekecil mungkin. Setelah 24 jam dilihat kematian dan dicocok- 2 57 10 6 15 14 21 38 35
kan pada tabel Weil(4). 3 63 21 1 2 4 33 10 42
2. Uji khasiat anagetika(5,6,7) 4 62 35 3 2 19 21 13 40
Semua mencit yang digunakan dalam percobaan dilakukan 5 77 36 18 6 3 33 43 25
6 54 45 12 23 14 31 44 31
uji kepekaan dengan disuntik menggunakan asam asetat 3%; 7 66 47 1 14 22 28 42 33
300 mg/kg bb. Dalam waktu 5 menit mencit akan memberikan 8 42 48 17 20 21 8 44 37
refleks respon geliat, mencit yang tidak memenuhi ketentuan 9 84 44 19 6 23 23 43 34
dianggap tidak lolos uji kepekaan. Sebanyak 80 ekor mencit 10 30 43 15 9 9 26 26 50
Rata-rata : X 60,7 36,1 9,2 11,2 14,7 24,7 34,4 35,9
yang lolos uji dibagi dalam 8 kelompok, masing-masing ke-

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 43


Uji = harga rata-rata jumlah geliat kelompok perlakuan
16 Kontrol = harga rata-rata jumlah geliat kelompok kontrol %
14
I proteksi kelompok
I :-
12 II
II : 100 - (36,1 X 100%) = 40,53%
Jumlah geliat

10 III 60,7
8 IV III : 100 - (9,2 X 100%) = 84,84%
60,7
6 V IV : 100 - (11,2 X 100%) = 81,54%
4 60,7
VI
2 V : 100 - (14,7 X 100%)= 75,78%
VII 60,7
0
VI : 100 - (24,7 X 100%)= 59,3%
5 10 15 20 25 30 60,7
Menit VII : 100 - (34,4 X 100%) = 43,32%
60,7
VIII : 100 - (35,9 X 100%)= 40,85%
Gambar 1. Rata-rata jumlah geliat tiap 5 menit selama 30 menit akibat 60,7
pemberian asam asetat. Dari tabel 1 dan tabel 2 dapat dilihat hubungan antara jumlah
geliat dan % proteksi akibat pemberian asam asetat (tabel 3).
Bila dilihat dari data jumlah geliat selama 30 menit,
terlihat bahwa jumlah geliat pada pemberian jamu pegel linu Tabel 3. Hubungan antara rata-rata jumlah geliat dan persentase
pabrik X (kelompok III, V dan VII) lebih sedikit dibandingkan proteksi akibat induksi asam asetat.
jumlah geliat pada pemberian jamu racikan (kelompok IV, VI
Rata-rata jumlah
dan VIII). Dari data ini dapat dikatakan bahwa jamu pabrik Kelompok % Proteksi
geliat
lebih kuat khasiat analgetikanya dibandingkan jamu racikan. I 60,7 0
Untuk analisis selanjutnya dilakukan uji statistik. Analisis II 36,1 40,53
varian sederhana yang dilakukan pada data tabel dengan derajat III 9,2 84,84
IV 11,2 81,4
kemaknaan 1% dan 5% menghasilkan F hitung > F tabel. Hal V 14,7 75,78
ini menunjukkan ada perbedaan bermakna jumlah geliat dan VI 24,7 59,3
respon nyeri. Untuk mengetahui perbedaan bermakna antar VII 34,4 43,32
grup perlakuan dilakukan analisa LSD test (Least Significant VIII 35,9 40,85
Diferrence Test).
Pada derajat kemaknaan 5%, t hit < t tabel. Terlihat semakin tinggi harga % proteksi, semakin kecil
1%, t hit < t tabel jumlah geliat yang terjadi. Hal ini berarti jamu pegel linu yang
diberikan mampu menahan rangsangan nyeri asam asetat pada
Hasil perhitungan uji LSD masing-masing kelompok dibandingkan respon nyeri.
dengan kelompok lainnya adalah sebagai berikut :
Perhitungan % efektifitas analgetika.
Ke- Rata- Efektifitas analgetika = % proteksi bahan uji X 100%
lom- rata I II III IV V VI VII VIII % proteksi asetosal
pok Kelompok Efektivitas analgetika :
I 60,7 - 24,6** 51,5** 49,5** 46,0* 36,0** 26,3** 24,8 Kelompok III = 84,84 X 100% = 209,32%
II 36,1 - 26,9** 24,9** 21,4* 11,4* 1,7 0,2 40,43
III 9,2 - 2,0 5,5 15,5** 25,2** 26,7** Kelompok IV = 81,54 X 100% = 201,2%
IV 11,2 - 3,5 13,5** 23,2** 24,7** 40,43
V 14,7 - 10.0* 19,7** 21,2** Kelompok V = 59,3 X 100% = 146,31%
VI 24,7 - 9,7* 11,2* 40,53
VII 34,4 - 1,5 Kelompok VI = 75,78 X 100% = 186,97%
VIII 35,9 - 40,53
Kelompok VII = 43,32 X 100% = 106,88%
Makin besar dosis pemberian bahan uji, khasiat analgetika- 40,53
Kelompok VIII = 40,85 X 100% = 100,78%
nya semakin meningkat. Hal ini berlaku pada jamu pegel linu 40,53
pabrik X maupun jamu racikan. Pemberian asetosal 52 mg/kg
bb. tidak berbeda dengan perlakuan dosis 25 mg/kg bb. jamu Efektivitas analgetika jamu dari pabrik lebih besar
pegel linu pabrik X maupun jamu racikan. Pemberian dosis 25 daripada jamu racikan. Semakin besar takaran yang diberikan
mg/kg bb. memberikan hasil tidak berbeda antara jamu pabrik semakin besar efek analgetika yang dihasilkan. Daya
dan jamu racikan. Pemberian dosis 75 mg/kg bb. memberikan menurunkan rasa nyeri dari jamu pebrik dan racikan, lebih
hasil berbeda nyata antara jamu pabrik dan jamu racikan. besar bila dibandingkan asetosal.
Pemberian dosis 125 mg/bb. memberikan hasil tidak berbeda
antara jamu pabrik dan jamu racikan. PEMBAHASAN
Dari data jumlah geliat, dapat dihitung proteksi terhadap LD50 jamu pegel linu pabrik X adalah 54,76 (40,41 - 74,2)
induksi nyeri asam asetat. mg/10g bb ip. Dan jamu pegel linu racikan adalah 19,95 (14,39
% proteksi = 100 - (uji/kontrol X 100%)

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


- 27,65) mg/10g bb ip. Dengan harga tersebut, menurut khasiat analgetikanya. Dengan demikian dapat dikatakan
Gleason, zat dengan dosis LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg bahwa khasiat analgetika yang ditimbulkan memang akibat
bb. oral, mempunyai toksisitas yang sangat rendah (practically pemberian jamu.
non toxic). Walaupun komposisi jamu pegel linu pabrik X dan Antara jamu pabrik dan jamu racikan telah dibandingkan
jamu racikan telah dibuat sama, ternyata harga LD50nya khasiatnya antara pemberian dosis 125; 75 dan 25 mg/kg bb.
berbeda. Hal ini dapat saja terjadi mengingat sumber bahan Untuk dosis 125 dan 25 mg/kg bb. tidak berbeda antara jamu
baku tanaman obat adalah berbeda. Meskipun demikian harga- pabrik dan racikan. Sedangkan perbedaan khasiat terdapat pada
harga tersebut masih dianggap aman. Perlu diketahui bahwa pemberian dosis 75 mg/g bb. (P>5%). Berdasarkan hal ini,
sumber bahan baku tanaman obat untuk jamu pegel linu pabrik pemberian dosis 25 mg/kg bb. yang merupakan dosis lazim
X tidak diketahui, sedangkan pada jamu racikan, bahan baku manusia 1 X minum sudah menunjukkan khasiat analgetikanya,
tanaman obat berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat maka dapat dikatakan bahwa antara jamu buatan dan jamu
Tawangmangu. racikan yang komposisinya sama, tidak ada perbedaan khasiat.
Untuk menetapkan dosis percobaan, yang dianggap aman
adalah berdasarkan harga LD50, dosis terbesar yang diberikan KESIMPULAN
pada hewan percobaan tidak melebihi batas harga LD50nya. Jamu pegel linu menunjukkan khasiat sebagai analgetika;
Pada percobaan ini, karena telah diketahui dosis lazim manusia, baik jamu pegel linu dari pabrik X maupun jamu racikan yang
maka penentuan dosis berdasarkan dosis lazim tersebut. Dosis komposisinya sama dengan pabrik.
yang digunakan pada percobaan analgetika ialah berdasarkan Khasiat analgetika jamu pegel linu pabrik X dan jamu
dosis lazim pemakaian IX, 3 X dan 10X dosis lazim, yaitu 25; racikan yang komposisinya sama dengan pabrik, adalah sama.
75 dan 125 mg/kg bb. Walaupun demikian penetapan dosis Bila dibandingkan dengan asetosal 52 mg/kg bb., jamu
tersebut mengacu juga pada harga LD50, bahwa dosis tertinggi pegel linu pabrik X dan jamu racikan yang komposisinya sama,
tidak boleh melebihi batas LD50. mempunyai khasiat analgetika yang lebih baik.
Alasan digunakan tiga macam dosis adalah untuk melihat Pada pengujian toksisitas akut, jamu pegel linu pabrik X
apakah terdapat hubungan dosis efek pada hasil percobaan. Jika dan jamu racikan yang komposisinya sama, masih dalam batas
suatu bahan uji memberikan hubungan dosis efek, artinya practically non toxic menurut Gleason.
makin besar dosis yang diberikan, makin besar efeknya, maka
dapat dikatakan efek yang diharapkan memang berasal dari
bahan uji. Dari rata-rata jumlah geliat, dapat terlihat bahwa KEPUSTAKAAN
pada dosis terkecil (25 mg/kg bb.) yang dicoba untuk kedua
jenis jamu, khasiat analgetikanya sama dengan asetosal 52 1. Sri Mulangsih. Pendapat ibu-ibu Rumah Tangga di Tanjung Priok tentang
jamu. Cermin Dunia Farmasi 1995; 24.
mg/kg bb. Asetosal yang digunakan sebagai pembanding me- 2. M. Wien Winarno, Dian Sundari. Kerasionalan komposisi jamu pegel
ngandung salisilat. Salisilat menghilangkan nyeri baik secara linu. Cermin Dunia Kedokt. 1996; 106.
sentral maupun perifer. Secara sentral, diduga salisilat bekerja 3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Rasionalisasi Komposisi Obat
pada hipotalamus sedangkan secara perifer menghambat Tradisional, 1993.
4. Weil CS. Table for convenient calculation of media effective dose LD50
pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi, mencegah or ED50 and instinction in their use biometrics, 1951.
senstasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau 5. Kelompok Kerja Ilmiah Pengembangan Pemanfaatan Obat Bahan Alam,
kimiawi. Seperti diketahui, bahwa analgetika terbagi dalam 2 1991. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik,
golongan yaitu analgetika kuat (analgetika narkotik) yang 1993.
6. Perry LM. Medical Plants of East Southeast Asia Attributed Properties
bekerja secara sentral terhadap sistem saraf pusat, dan golong- and Uses, Cambridge, Massachusetts and London, England; The MIT
an analgetika lemah (analgetika non narkotik) yang bekerja Press, 1980.
secara perifer. Metode geliat (writhing reflex) yang digunakan 7. Turner RA. Screening Methods in Pharmacology, Academic Press. 1965.
dalam percobaan merupakan salah satu metode pengujian 8. A. Burger. Medicinal Chemistry Part II, Third Edition. A Division of
John Wiley & Sons, New York, 1970.
analgetika lemah. 9. Lucia E. Wuryaningsih. Uji Analgesik ekstrak etanol kering rimpang
Perbedaan efek jamu pabrik dosis 125; 75 dan 25 mg/kg kencur (Kaempferia galanga L) asal Purwodadi pada mencit dengan
bb. berbeda sangat nyata (P>0,01%). Dalam hubungan dosis metode geliat (writhing reflex test). Warta Tumbuhan Obat Indonesia,
efek, terlihat makin besar dosis yang diberikan, makin besar 1996; 3(2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 45


Indeks Karangan
Cermin Dunia Kedakteran 1998 - 1999
Tahun 1998 Sudibyo Supardi : Manfaat Peran Sakit di Masyarakat 43 – 44
Abstrak
Antituberkulosis Baru Scrip 1997; 2219/20: 22 46
CDK 121. ASMA DAN MASALAH PERNAPASAN LAIN
Penatalaksanaan Infark Miokard Akut
English Summary 4 N. Engl. J. Med 1997; 336: 1500-5 46
Zul Dahlan: Masalah Asma di Indonesia dan Penanggulangannya 5– 9 Pasar Obat Prekripsi Pharm. Bus. News 1997; 13(286): 12-3 46
Faisal Yunus: Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial 10 – 15 Hipotermi untuk Trauma Kepala
Faisal Yunus: Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap N. Engl. J. Med. 1997; 336: 540-6 46
Faal Paru 16 – 18 Efek samping Obat Inpharma 1997; 1076: 21 46
Nuchsan Umar Lubis: Penyakit Membran Hialin - laporan kasus 19 – 20 Bahaya Kuimolon Scrip 1996; 2153: 16 46
Zul Dahlan: Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia yang Didapat di Valproat Injeksi Marketletter 1887; 24(4): 20 47
Rumah Sakit 21 – 25 Diet Menurunkan Tekanan Darah
Zul Dahlan, E. Soeria Soemantri: Insidensi Tes Serologi N. Engl. J. Med. 1997; 336: 1117-24 47
Mikoplasma Positif di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung 26 – 28 Terapi Demensia Clin. Drug Invest. 1997; 13(6): 308-16 47
RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo: Faktor Risiko Stroke Stroke 1997; 28: 45-52 47
Keetektifan Paduan Obat Ganda Bisafik Anti Tuberkulosis Dinilai Kortikosteroid untuk Meningitis
Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar Kegiatan Pediatrics 1997; 99(1): 226-31 47
Pemulihan Imunitas Protektif. 3. enilaian atas dasar kegiatan
pemulihan imunitas protektif 29 – 40
Nusye E. Ismail, Frans Suharyanto, Sundari: Efektivitas Extra
Joss dalam Memperbaiki Kinerja Ketahanan Kerja 41 – 44
Abstrak CDK 123. HIPERTENSI DAN STRES
Kecelakaan Akibat In Line Skating
Inpharma 1996; 1052: 16-7 46 English Summary 4
Detoksifikasi Opioid Inpharma 1997; 1074: 2 46 Wasis Sumartono, Ni Ketut Aryastami : Penyakit Jantung dan
Prognosis Stroke Iskemik Stroke 1997; 2: 10-4 46 Pembuluh Darah pada Usia 55 Tahun menurut Survai Kesehatan
Sari buah dan Obesitas Pediatrics 1997; 99(1): 15-22 46 Rumah Tangga 1992 5 – 8
Penggunaan Antikonvulsan Inpharma 1997; 1074: 3 46 Rizaldy Pinzon: Indeks Massa Tubuh sebagai Faktor Risiko
Efek Samping Lamotrigin Inpharma 1997; 1083: 21 46 Hipertensi pada Usia Muda 9 – 11
Orangtua yang Meninggal di Rumah Manius Marinusa, Rudi Kastono: Mechanism of Acupuncture in
N. Engl. J Med. 1996; 334: 1710-16 47 Treating Obesity 12 – 16
Resep yang tidak Diambil Scrip 1996; 2135: 19 47 Suharto: Rehabilitasi pada Penderita Stroke 17 – 19
Pengaruh Telepon Seluler terhadap EKG J. Karnadi: Stres dalam Kehidupan Sehari-hari 20 – 22
N. Engl. J. Med. 1997; 336: 1473-9 47 A. Adikusumo: Penatalaksanaan Stres 23 – 29
Penularan HIV N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1617-23 47 Hayati br. Tumangger, Anas Subarnas, Supriyatna: Penapisan
Famotidin untuk Skizofrenia Inpharma 1996; 1051: 8 47 Efek Antidepresi dan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Pakan Primata
Salep antihipertensi Scrip 1996; 2143: 23 47 dengan Metoda Berenang 30 – 34
JE. Sumarli-Kandou: Penyalahgunaan Ecstasy dan Putau 35 – 38
Rudi Kastono: Akupunktur Analgesi 39 – 44
Dharma K. Widya: Osteopunktur 45 – 46
Tahun 1999 Abstrak
Antipiretika Inpharma 1997; 1076: 19 47
CDK 122. KANKER DAN TERATOGENESIS Ganja untuk Terapi Inpharma 1997; 1080: 5 47
Acupressure untuk Mual Inpharma 1997; 1080: 16 47
English Summary 4 Manfaat CT Scan Serial pada CVD Stroke 1997; 28: 1-5 47
Sukardiman, IGP Santa, Rahmadany : Efek Antikanker Isolat Faktor Risiko DM D&TP 1997; 10(7): 13 47
Flavonoid dari Herba Benalu Mangga (Dendrophtoe petandra) 5 – 8 Thalidomide Marketletter 1997; 24(36): 19 47
Bunawas : Radiasi Ultraviolet dari Matahari dan Risiko Kanker Sulit Tidur JAMA 1997; 287(16): 1303 47
Kulit 9 – 12 Terapi Demam Tifoid JAMMA 1997; 287(10): 857-60 47
Mukhlis Akhadi : Radioterapi dengan Partikel Nuklir 13 – 16
Rochestri Sofyan: Terapi Kanker dengan Iradiasi Proton 17 – 20
Sulistyowati Tuminah: Pencegahan Kanker dengan Antioksidan 21 – 23 CDK 124. PENYAKIT INFEKSI
Sutrisno, Lisa A., Triyanto, Johan T., Moh. Ali, Yosef Olin:
Insiden Sumbing Bibir dan Langit-langit di Kecamatan Insana, English Summary 4
Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur 24 – 26 Sri Rezeki Hadinegoro : Masalah Multi Drug Resistance pada
Almahdy A : Efek Teratogen Fraksi Sisa Ekstrak Daun Emilia Demam Tifoid Anak 5 – 8
sonchifolia (L) DC in ovo 27 – 28 RHH Nelwan : Alternatif Baru Pengobatan Demam Tifoid yang
Suhardjo: Pengaruh Radiasi Sinar X terhadap Testis Mencit 29 – 32 Resisten 9 – 10
Iwan H Utama, Aida LT Rompis : Protein Pengikat Fc Sylvia Y. Muliawan, Julius E. Surjawidjaja : Diagnosis Dini
Imunoglobulin – kepentingannya dalam biomedis 33 – 35 Demam Tifoid dengan Menggunakan Protein Membran Luar S.
Suhardjo : Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster typhi sebagai Antigen Spesifik 11 – 13
Oftalmikus di RSUP Dr. Sardjito 36 – 38 Sylvia Y. Muliawan, Julius E. Surjawidjaja : Tinjauan Ulang
Sarjaini Jamal : Beberapa Kebiasaan Masyarakat yang Berkaitan Peranan Uji Widal sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid
dengan Hidup Sehat berdasarkan Susenas 1995 39 – 42 di Rumah Sakit 14 – 16

47 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999


Agus Sjahrurachman, Widyasari Kumala, Tassimin Nurjadi : Risiko Stroke Hemoragik di Kalangan
Kepekaan Kuman terhadap Antibiotika Golongan Kuinolon dan Pengguna Kontrasepsi Oral Lancet 1996; 276: 598-605 47
Sefalosporin 7 – 20 Bahaya Dexfenfluramin lnpharma 1996; 1054: 21 47
Usman Suwandi : Peran Media untuk Identifikasi Mikroba Patogen 21 – 24 Ginkgo Biloba Inpharma 1996; 1042: 11 47
Maria Holly Herawati : Program Pengembangan Imunisasi dan Krim Anti Impotensi BMJ 1996; 312: 1512-l5 47
Produk Vaksin Hepatitis B di Indonesia 25 – 27 Obat Alzheimer Pharm, Bus. News 1996; 12(273/4): 19-20 47
Muh. Natsir Akil : Hepatitis Virus G 28 – 30
Suwarso : Virus Hepatitis-G (HGV): Asal-usul, Biologimolekuler CDK 125. KESEHATAN MASYARAKAT
dari Aplikasi Kliniknya. 31 – 36
Sahat Ompusunggu, Budi : Perbandingan Sensitifitas beberapa 37 – 40 English Summary 4
Metoda Pemeriksaan Tinja Manusia terhadap Telur Cacing Usus Sudibyo Supardi, Sriana Azis, Nani Sukasediati : Pola
Endi Ridwan : Kadar Hb, Status Vitamin A dan Kaitannya dengan Penggunaan Obat dan Obat Tradisional Dalam Upaya Pengobatan
Reaksi Imun Bayi yang Diimunisasi 41 – 43 Sendiri di Pedesaan 5 – 8
I Wayan Suartika : Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil di 44 – 45 Nani Sukasediati, B. Dzulkarnain, Vincent HS Gan : Produk
Puskesmas Bualemo, Sulawesi Tengah. Bahan Alami di Lima Apotik di Jakarta: Suatu Tinjauan Eksploratif 9 – 14
Abstrak Sarjaini Jamal, Suhardi, Sudjaswadi Wirjowidagdo : Penggu-
Pemakaian Obat naan Obat oleh Anggota Rumah Tangga di Jawa dan Bali (SKRT
di Kalangan Manula Clin. Drug Invest. 1998; 16(6): 441-52 46 1995) 15 – 18
Diagnosis Keganasan JAMA 1998; 280(14): 1245-8 46 Sarjaini Jamal, Suhardi : Penggunaan Suntikan di Kalangan
Parasetamol sebagai Antioksidan Scrip 1998; 2362: 18 46 Masyarakat (SKRT 1995) 19 – 22
Antikholesterol untuk Pencegahan Stroke Scrip 1998; 2362: 18 46 Suhardi : Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan
Peranan MRI pada Whiplash Injury SKRT 1995 23 – 35
Radiology 1996; 201: 93-6 46 Sutrisno, Lisa Andriani : Karakteristik Kematian Maternal di
Antibiotika untuk Sinusitis Kabupaten Timor Tengah Utara, 1997 36 – 41
Clin. Drug Invest. 1997; 13(3): 128-33 46 Lucie Widowati, Pudjiastuti, Sudjaswadi Wirjowidagdo: Tok-
Ginkgo Biloba untuk Alzheimer JAMA 1997; 278: 1327-32 46 sisitas Akut dan Efek Analgetika Jamu Pegel Linu pada Mencit
TCD VS. Angiografi Stroke 1997; 28: 133-36 46 Putih 42 – 45
Indeks Cermin Dunia Kedokteran 1998 - 1999 46 – 47

A man who is always well satisfied with himself seldom is so by


others, and others rarely are with him
(La Rochefoucauld)

Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999 47


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Dalam SKRT 1992, persentase penduduk yang mengeluh d) Bentuk sediaan


sakit dalam sebulan terakhir, terendah ada di : e) Penyebaran/ketersediaan
a) Jawa Barat 6. Dari survei penggunaan suntikan di masayarakat, ternyata
b) Jawa Tengah suntikan terutama dilakukan/didapatkan di :
c) Lampung a) Puskesmas
d) Sumatera Selatan b) Rumah sakit
e) Irian Jaya c) Praktek dokter
2. Dalam survei masyarakat tersebut, obat digunakan ter- d) Praktek paramedik
utama untuk tujuan : e) Tukang suntik keliling
a) Menyembuhkan penyakit 7. Survei mengenai kebiasaan merokok menghasilkan data
b) Menjaga kesehatan bahwa perokok laki-laki tiap hari terutama berusia
c) Menambah tenaga a) 20 - 24 tahun
d) Keluarga berencana b) 25 - 29 tahun
e) Menyembuhkan luka luar c) 35 - 39 tahun
3. Dalam penelitian di Lampung Selatan,ternyata ditemukan d) 45 - 49 tahun
pola penggunaan obat sebagai berikut, kecuali : e) 55 - 59 tahun
a) Obat tradisional lebih banyak digunakan 8. Sedangkan di kalangan wanita, perokok tiap hari terutama
b) Umumnya obat diperoleh dari warung tanpa konsul- pada usia :
tasi dokter a) 20 -24 tahun
c) Penggunaannya terutama dipengaruhi oleh iklan tele- b) 30 - 34 tahun
visi dan radio c) 40 - 44 tahun
d) Obat yang digunakan umumnya jenis analgetika d) 50 - 54 tahun
e) Tanpa kecuali e) 60 -64 tahun
4. Beberapa hal yang ditemukan dari analisis deskriptif PBA 9. Menurut tingkat pendidikan para perokok terutama :
ialah sebagai berikut, kecuali : a) Tak tamat SD
a) Tidak semuanya didaftar sebagai obat b) Tamat SD
b) Terdapat dalam berbagai bentuk sediaan c) Tamat SLTP
c) Semuanya hanya mengandung bahan tradisional/ d) Tamat SLTA
simplisia saja e) Sarjana
d) Ada yang digunakan berdasarkan resep/preskripsi 10. Sedangkan jenis rokok yang terutama dihisap ialah rokok
e) Tanpa kecuali jenis :
5. Dalam hal penggunaan PBA ini, perhatian utama ialah a) Putih filter
dalam hal : b) Putih non filter
a) Khasiat c) Kretek filter
b) Efek samping d) Kretek non filter
c) Harga jual e) Linting

Jawaban RPPIK :
1. C 2. A 3. A 4. C 5. B
6. D 7. D 8. D 9. A 10. C

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999

Anda mungkin juga menyukai