Anda di halaman 1dari 17

KARAKTERISTIK PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS HIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RS DUSTIRA

Studi Pengamatan pada September-Desember 2012

MAKALAH Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Oleh Puti Piranti 4111091015

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER CIMAHI 2013

KARAKTERISTIK PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS HIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RS DUSTIRA Studi Pengamatan pada September-Desember 2012 Puti Piranti1, Lukman Tobing2, Andri Andrian Rusman3
1

Fakultas Kedokteran Unjani, 2Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unjani, 3Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Unjani

ABSTRAK Hipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Kontrol tekanan darah yang baik dapat menurunkan mortalitas akibat komplikasi diabetes melitus. Penatalaksanaan farmakologis merupakan salah satu cara untuk mencapai tekanan darah terkontrol. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik penatalaksanaan farmakologis hipertensi dan mengevaluasi target tekanan darah terkontrol yang dapat dicapai pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data dari status pasien. Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira Cimahi dari Oktober hingga Desember 2012. Sejumlah 97 pasien diteliti dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah penyekat reseptor angiotensin II dan penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang digunakan oleh seluruh pasien, masing-masing digunakan oleh 57,73% dan 42,27% pasien baik sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan antihipertensi lain. Sebanyak 30,93%, 63,92%, dan 5,15% pasien masing-masing menggunakan antihipertensi secara monoterapi, kombinasi 2 antihipertensi, dan kombinasi 3 antihipertensi. Sebanyak 39,18% pasien mencapai target tekanan darah 130/80 mmHg. Penatalaksanaan hipertensi pada DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira telah sesuai dengan pedoman American Diabetes Association, namun sejumlah pasien masih belum dapat mencapai target tekanan darah terkontrol.

Kata kunci: hipertensi, diabetes melitus tipe 2, penatalaksanaan farmakologis

PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada masyarakat di seluruh dunia. Angka mortalitas yang tinggi pada pasien DM disebabkan oleh timbulnya komplikasi, terutama komplikasi kronis baik

makrovaskuler maupun mikrovaskuler. Komorbiditas yang sering terjadi pada pasien DM adalah hipertensi. Menurut American Diabetes Association, sebanyak 2 dari 3 pasien DM mengalami hipertensi. Penelitian Ibrahim tahun 2010 di Malaysia menunjukkan bahwa sebanyak 92,7% pasien DM tipe 2 mengalami hipertensi.1-3 Hipertensi pada DM tipe 2 merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya komplikasi kronis DM. Menurut Ogochukwu tahun 2010, sebanyak 80% pasien DM tipe 2 dengan hipertensi akan berakhir dengan komplikasi makrovaskuler, misalnya penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskuler perifer. Hipertensi pada pasien DM tipe 2 juga meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal terminal sebanyak 5-6 kali dibandingkan dengan pasien hipertensi tanpa DM tipe 2.4 The United Kingdom Prospective Diabetes Study menunjukkan bahwa setiap penurunan tekanan sistolik sebesar 10 mmHg akan menurunkan angka mortalitas akibat komplikasi makrovaskuler DM sebesar 15% dan akibat komplikasi mikrovaskuler DM sebesar 13%. Oleh karena itu, dibutuhkan pula penatalaksanaan yang tepat terhadap kontrol tekanan darah disamping pengendalian glukosa darah.4 Penatalaksanaan hipertensi dilakukan secara nonfarmakologis dan

farmakologis. Penatalaksanaan nonfarmakologis adalah modifikasi gaya hidup yaitu penurunan berat badan, latihan fisik, pengaturan diet seperti yang tercantum dalam The Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH), dan berhenti merokok. Apabila setelah tiga bulan melakukan modifikasi gaya hidup namun tekanan darah terkontrol masih belum tercapai, maka dibutuhkan

penatalaksanaan farmakologis guna menunjang tercapainya tekanan darah terkontrol.5 Penatalaksanaan hipertensi pada pasien DM tipe 2 dapat diberikan secara tunggal (monoterapi) atau secara kombinasi. Antihipertensi yang digunakan pada pasien hipertensi pada DM tipe 2 adalah penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE), penyekat reseptor angiotensin II, diuretik, penyekat reseptor beta selektif, dan antagonis kalsium. Menurut American Diabetes Association, cut off tekanan darah yang harus dicapai pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi adalah 130/80 mmHg, lebih rendah dari target pasien hipertensi tanpa DM.6,7 Penelitian yang dilakukan oleh Putnam tahun 2009 di Kanada yang dilakukan pada 670 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi, juga menunjukkan bahwa penghambat ACE atau penyekat reseptor angiotensin II merupakan antihipertensi yang paling banyak digunakan yaitu oleh lebih dari 90% pasien. Sebanyak 47% pasien menggunakan 2 atau lebih jenis antihipertensi dengan sebanyak 95% antihipertensi yang pertama diberikan adalah penghambat ACE atau penyekat reseptor angiotensin II, lalu dilanjutkan dengan penambahan 2 jenis antihipertensi lainnya. Hanya sebanyak 27,1% pasien yang mencapai tekanan darah terkontrol.9 Tingginya prevalensi hipertensi pada pasien DM tipe 2 serta tingginya mortalitas akibat komplikasi yang ditimbulkan, menyebabkan dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien DM tipe 2 dengan hipertensi. Hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai penatalaksanaan farmakologis hipertensi pada pasien DM tipe 2. Penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira sehingga penulis berkeinginan untuk meneliti gambaran penatalaksanaan

farmakologis hipertensi pasien DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira. BAHAN DAN METODE Rancangan penelitian ini adalah deskriptif dengan metode studi potong lintang (cross sectional study). Data diambil dengan cara consecutive sampling dari 97 rekam medis pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira pada periode September sampai Desember 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Hipertensi pada DM Tipe 2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipertensi pada DM tipe 2 ditemukan lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu pada 61 pasien (62,89%), sedangkan pada laki-laki angka kejadiannya hanya pada 36 pasien (37,11%). Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yunus tahun 2004 di Selangor Malaysia pada 570 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi, laki-laki mempunyai prevalensi hipertensi yang lebih tinggi secara bermakna

dibandingkan dengan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Mufunda pada tahun 2006 di Eritrea pada 2304 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi menunjukkan bahwa hipertensi pada laki-laki didapatkan hanya 1,6% lebih tinggi daripada perempuan.10,11 Secara teori, laki-laki lebih banyak mengalami hipertensi pada DM daripada perempuan karena seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok dan mengkonsumsi alkohol), depresi, rendahnya status pekerjaan, dan

pengangguran.12 Perbedaan hasil penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh keterbatasan pada penelitian ini, antara lain

waktu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu yaitu pada saat jam operasional poliklinik. Berdasarkan usia, diketahui menunjukkan bahwa hipertensi pada DM tipe 2 ditemukan paling banyak terjadi pada kelompok usia 56-70 tahun yaitu pada 59 pasien (60,83%) dengan rata-rata usia seluruh pasien adalah 64 tahun. Usia terendah adalah 39 tahun dan usia tertinggi adalah 98 tahun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putnam tahun 2009 di Kanada pada 670 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi, yang menunjukkan bahwa hipertensi pada DM tipe 2 terjadi paling banyak pada kelompok usia 55-64 tahun (30,7%). Usia terbanyak kedua adalah kelompok usia 75 tahun (26,2%), usia terbanyak ketiga adalah kelompok usia 65-74 tahun (24,7%), dan paling sedikit terjadi pada kelompok usia <55 tahun (18,4%).9 Usia dapat menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi pada DM. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perubahan struktur pada pembuluh darah aorta sentral. Serat kolagen dan kalsium terakumulasi di arteri seiring dengan bertambahnya usia, penebalan tunika intima, dan denaturasi tunika media turut berkontribusi atas terjadinya kekakuan pembuluh darah. Peran arteriosklerosis pada peningkatan tekanan sistolik yaitu penebalan dan kekakuan aorta, menyebabkan berkurangnya elastisitas dan tekanan nadi yang lebar.13 Antihipertensi Terbanyak yang Digunakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pasien menggunakan antihipertensi lini pertama baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi. Sebanyak 56 pasien (57,73%) menggunakan penyekat reseptor angiotensin II, sedangkan penghambat ACE dikonsumsi oleh 41 pasien (42,27%). Antihipertensi lain yang paling banyak digunakan sebagai tambahan dalam terapi kombinasi

adalah antihipertensi golongan antagonis kalsium yang dikonsumsi oleh 39 pasien (40,21%). Jenis-jenis antihipertensi yang digunakan oleh pasien dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis-jenis antihipertensi yang digunakan pasien

Jenis antihipertensi Penghambat ACE Penyekat reseptor angiotensin II Diuretik Penyekat reseptor beta Antagonis kalsium

Jumlah 41 56 28 5 39

Persentase (%) 42,27 57,73 28,86 5,15 40,21

Penghambat ACE dan penyekat reseptor angiotensin II merupakan antihipertensi lini pertama yang dianjurkan oleh American Diabetes Association dan JNC VII. Seluruh pasien hipertensi pada DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira menggunakan penghambat ACE dan penyekat reseptor angiotensin II sebagai antihipertensi lini pertamanya. Dengan demikian, penggunaan antihipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira sudah sesuai dengan pedoman yang seharusnya. Penggunaan penyekat reseptor angiotensin II yang lebih banyak daripada penggunaan penghambat ACE mengindikasikan bahwa sebagian besar pasien intoleransi terhadap penggunaan penghambat ACE.6,13 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa jenis antihipertensi lainnya yang digunakan pasien adalah antagonis kalsium, diuretik, dan penyekat reseptor beta. Tidak ada pasien yang menggunakan ketiga antihipertensi tersebut secara monoterapi, karena ketiganya merupakan antihipertensi tambahan yang diberikan dalam terapi kombinasi pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi

apabila setelah diberikan monoterapi tekanan darah pasien tidak mengalami penurunan.14 Penggunaan Monoterapi dan Terapi Kombinasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi dengan dua antihipertensi adalah terapi yang paling banyak digunakan yaitu oleh 62 pasien (63,92%). Hasil tersebut lebih besar daripada penggunaan monoterapi yang digunakan oleh 30 pasien (30,93%) dan terapi kombinasi dengan tiga antihipertensi yang digunakan oleh 5 pasien (5,15%). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Ibrahim tahun 2010 di Malaysia pada 1077 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi yang menunjukkan bahwa sebanyak 70,8% pasien mendapatkan terapi kombinasi. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian Putnam tahun 2009 di Kanada yang menunjukkan bahwa rata-rata pasien mendapat dua antihipertensi.3,9 Monoterapi dengan antihipertensi lini pertama langsung diberikan kepada pasien ketika tekanan darah terkontrol tidak tercapai hanya dengan modifikasi gaya hidup. Namun, pada kenyataannya pasien hipertensi pada DM tipe 2 membutuhkan terapi kombinasi dalam penatalaksanaan farmakologisnya untuk mencapai tekanan darah terkontrol dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi DM.3,14 Pada pasien dengan monoterapi, penghambat ACE merupakan

antihipertensi yang paling banyak digunakan, yaitu oleh 20 pasien (20,62%). Pada pasien yang menggunakan terapi kombinasi dengan dua antihipertensi, kombinasi antara penyekat reseptor angiotensin II dan antagonis kalsium merupakan kombinasi yang paling banyak digunakan yaitu oleh 22 pasien (22,68%). Sedangkan kombinasi yang paling banyak digunakan pada terapi

kombinasi dengan tiga antihipertensi adalah kombinasi antara penyekat reseptor angiotensin II, diuretik, dan antagonis kalsium yang digunakan oleh 3 pasien (3,1%). Jenis-jenis antihipertensi yang digunakan pada monoterapi dan terapi kombinasi dengan dua dan tiga antihipertensi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Antihipertensi yang digunakan pada monoterapi dan terapi kombinasi

Penatalaksanaan farmakologis Monoterapi

Jenis antihipertensi Penghambat ACE Penyekat reseptor angiotensin II Penghambat ACE + diuretik Penghambat ACE + penyekat reseptor beta Penghambat ACE + antagonis kalsium Penyekat reseptor angiotensin II + diuretik Penyekat reseptor angiotensin II + penyekat reseptor beta Penyekat reseptor angiotensin II + antagonis kalsium Penghambat ACE + diuretik + antagonis kalsium Penyekat reseptor angiotensin II + diuretik + antagonis kalsium

Jumlah 20 10 4 3 12 19 2

Persentase (%) 20,62 10,31 4,12 3,1 12,36 19,59 2,06

Kombinasi dua antihipertensi

22

22,68

Kombinasi tiga antihipertensi

2 3

2,06 3,1

Total

97

100

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ibrahim tahun 2010 di Malaysia yang menunjukkan bahwa kombinasi antara

antihipertensi lini pertama baik penghambat ACE maupun penyekat reseptor angiotensin II dengan antagonis kalsium merupakan kombinasi yang paling banyak digunakan. Hasil penelitian terapi kombinasi dengan tiga jenis

antihipertensi juga sesuai dengan penelitian Ibrahim yang menunjukkan bahwa kombinasi antara penghambat ACE ataupun penyekat reseptor angiotensin II dengan antagonis kalsium dan diuretik merupakan kombinasi yang paling banyak digunakan.4 Penyekat reseptor angiotensin II dan antagonis kalsium merupakan kombinasi yang baik untuk pasien hipertensi pada DM tipe 2. Kombinasi antara penyekat reseptor angiotensin II dan antagonis kalsium merupakan pilihan yang sangat efektif dan dapat ditoleransi bagi pasien-pasien yang membutuhkan terapi kombinasi. Hal tersebut didukung oleh pedoman penatalaksanaan hipertensi The European Society of Hypertension and the European Society of Cardiology yang menjelaskan bahwa kombinasi antara penyekat reseptor angiotensin II dengan antagonis kalsium, penyekat reseptor angiotensin II dengan diuretik, penghambat ACE dengan diuretik, dan penghambat ACE dengan kalsium antagonis, merupakan jenis-jenis kombinasi yang paling memungkinkan untuk

digunakan.15,16 Ketercapaian Tekanan Darah Terkontrol Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat 38 pasien (39,18%) yang mencapai tekanan darah terkontrol yaitu <130/80 mmHg, sedangkan sisanya sebanyak 59 pasien (60,82%) tidak mencapai tekanan darah terkontrol. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian-penelitian lain yang menunjukkan bahwa ketercapaian tekanan darah terkontrol pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi masih dibawah 50%. Penelitian Putnam tahun 2009 di Kanada menunjukkan hanya sebanyak 27,1% pasien yang mencapai tekanan darah terkontrol. Penelitian Basile tahun 2004 di Kolombia pada 2199 pasien DM

10

tipe 2 dengan hipertensi juga menunjukkan ketercapaian tekanan darah terkontrol pada pasien DM tipe 2 hanya mencapai 20,4%.9,17 Rata-rata tekanan darah sistolik pasien adalah 140,1 mmHg dan rata-rata tekanan diastolik pasien adalah 84,43 mmHg. Jumlah pasien yang mencapai tekanan sistolik terkontrol yaitu 130 mmHg sebanyak 45 pasien (46,39%) dan jumlah pasien yang mencapai tekanan diastolik terkontrol yaitu 80 mmHg sebanyak 50 pasien (51,55%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Putnam bahwa perentase tekanan darah diastolik lebih banyak dicapai yaitu oleh sebanyak 64,9% pasien, sedangkan hanya 33,2% pasien yang mencapai tekanan sistolik terkontrol.9 Hasil tersebut dapat dikatakan tepat, karena ketercapaian tekanan diastolik <80 mmHg sudah didukung oleh 2 penelitian yaitu oleh Hypertension Optimal Treatment Study dan United Kingdom Prospective Diabetes Study. Sedangkan bukti-bukti ketercapaian tekanan sistolik <130 mmHg masih sedikit karena target tersebut jauh lebih sulit dicapai daripada mencapai tekanan diastolik terkontrol.9 Berdasarkan penggunaan antihipertensi, tekanan darah terkontrol paling banyak dicapai oleh pasien yang menggunakan terapi kombinasi dengan 2 antihipertensi yaitu oleh pengguna penyekat reseptor angiotensin II dan antagonis kalsium, yang digunakan oleh 10 dari 38 (26,32%). Rincian penggunaan antihipertensi pada tekanan darah terkontrol dapat dilihat pada Tabel 3.

11

Tabel 3 Penggunaan antihipertensi pada tekanan darah terkontrol

Penggunaan antihipertensi Monoterapi

Jenis antihipertensi

Jumlah 9 4 5 8 10

Persentase (%) 23,68 10,53 13,18 21,05 26,32

Penghambat ACE Penyekat reseptor angiotensin II Kombinasi dua Penghambat ACE + antihipertensi antagonis kalsium Penyekat reseptor angiotensin II + diuretik Penyekat reseptor angiotensin II + antagonis kalsium Kombinasi tiga Penyekat reseptor antihipertensi angiotensin II + diuretik + antagonis kalsium Total

5,26

38

100

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Littlejohn tahun 2009 di Amerika Serikat yang dilakukan pada 1461 pasien dengan memberikan antihipertensi jenis penyekat reseptor angiotensin II dan antagonis kalsium secara monoterapi dan dikombinasikan dalam berbagai dosis selama delapan minggu, hasilnya menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah yang lebih besar hingga mencapai tekanan darah terkontrol terjadi pada penggunaan terapi kombinasi.18 Berdasarkan keteraturan kontrol, diketahui bahwa sebanyak 33 dari 38 pasien (86,84%) dengan tekanan darah terkontrol secara teratur menjalani kontrol berobat ke poliklinik setiap bulannya selama enam bulan terakhir. Sebanyak 48 dari 59 pasien (81,36%) dengan tekanan darah tidak terkontrol tidak melakukan kontrol berobat secara teratur setiap bulan selama enam bulan terakhir. Gambaran keteraturan kontrol berobat dan tekanan darah pasien dapat dilihat pada Tabel 4.

12

Tabel 4 Tekanan darah dan keteraturan kontrol berobat

Kontrol berobat Teratur Tidak teratur Total

Tekanan darah Terkontrol Tidak terkontrol Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 33 86,84 11 18,64 5 13,16 48 81,36 38 100 59 100

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa hampir seluruh pasien yang kontrol teratur setiap bulan selama enam bulan terakhir dapat mencapai tekanan darah terkontrol. Terdapat juga pasien yang kontrol teratur setiap bulan namun tekanan darahnya tidak mencapai tekanan darah terkontrol. Hal tersebut dapat terjadi karena penatalaksanaan farmakologis saja tidak cukup dalam mencapai tekanan darah terkontrol. Penatalaksanaan nonfarmakologis tetap dibutuhkan. Survei nasional Harris Interactive untuk hipertensi tahun 2007 di Amerika Serikat menyebutkan bahwa dari 90% pasien hipertensi pada DM yang mengkonsumsi antihipertensi, hanya sebanyak 50-60% yang melakukan beberapa bentuk modifikasi gaya hidup untuk mengontrol tekanan darah. Mayoritas pasien hipertensi tersebut mempercayakan antihipertensi yang dikonsumsinya untuk mengontrol tekanan darah.19 Berdasarkan kadar glukosa darah, diketahui bahwa sebanyak 34 dari 38 pasien (89,47%) dengan tekanan darah terkontrol memiliki kadar glukosa darah puasa <126 mg/dL dan sebanyak 35 dari 38 pasien (92,1%) dengan tekanan darah terkontrol memiliki kadar glukosa darah dua jam post prandial (2JPP) <200 mg/dL. Sebanyak 50 dari 59 pasien (84,75%) dengan tekanan darah tidak terkontrol memiliki kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL dan sebanyak 41 dari 59 pasien (69,49%) memiliki kadar glukosa darah 2JPP >200 mg/dL. Rata-rata kadar glukosa darah puasa seluruh pasien adalah 139,32 mg/dL dan rata-rata

13

kadar glukosa darah 2JPP seluruh pasien adalah 202,54 mg/dL. Gambaran tekanan darah dan kadar glukosa darah pasien dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tekanan darah dan kadar glukosa darah pasien

Glukosa darah Puasa <126mg/dL 126 mg/dL Total 2JPP <200 mg/dL 200 mg/dL Total

Tekanan darah Terkontrol Tidak terkontrol Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 34 4 38 35 3 38 89,47 10,53 100 92,1 7,9 100 9 50 59 18 41 59 15,25 84,75 100 30,51 69,49 100

Pada Tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien dengan tekanan darah terkontrol memiliki kadar glukosa darah yang terkendali, demikian juga sebagian besar pasien dengan tekanan darah tidak terkontrol memiliki kadar glukosa darah yanag lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Aghashadeghi tahun 2009 di Iran yang menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara kadar glukosa darah puasa pasien DM dengan tekanan darah pada saat istirahat.20 Hasil tersebut juga didukung oleh teori bahwa penurunan tekanan darah dapat terjadi pada pasidn DM tipe 2 dengan kontrol glukosa darah yang baik. Hal tersebut terjadi karena resistensi insulin yang terjadi pada pasien DM tipe 2 dapat menyebabkan terjadinya penghambatan stimulasi efek insulin pada ekspresi endothelial Nitrit Oxide Synthase (eNOS) yang merupakan vasodilator.21

14

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Antihipertensi yang paling banyak digunakan pada penatalaksanaan farmakologis hipertensi pasien DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira adalah antihipertensi lini pertama yang digunakan oleh seluruh pasien, yaitu penyekat reseptor angiotensin II yang digunakan oleh 56 pasien (57,73%) dan penghambat ACE yang digunakan oleh 41 pasien (42,27%). Pasien yang menggunakan monoterapi sebanyak 30 pasien (30,93%), terapi kombinasi dengan dua antihipertensi sebanyak 62 pasien (63,92%), dan terapi kombinasi dengan tiga antihipertensi sebanyak 5 pasien (5,15%). Jenis kombinasi terbanyak yang digunakan adalah kombinasi antara penyekat reseptor angiotensin II dengan antagonis kalsium yang digunakan oleh 22 pasien (35,48%). Sebanyak 38 pasien (39,18%) dan sebanyak 59 pasien (60,82%) tidak mencapai tekanan darah terkontrol. Sebagian besar pasien dengan tekanan darah terkontrol menggunakan terapi kombinasi dengan dua antihipertensi, melakukan kontrol secara teratur setiap bulan ke Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira selama enam bulan terakhir, memiliki kadar glukosa darah puasa <126 mg/dl, dan memiliki kadar glukosa darah dua jam post prandial <200 mg/dl. Saran Masih diperlukan edukasi kepada pasien hipertensi pada DM tipe 2 oleh dokter mengenai cara-cara untuk mencapai tekanan darah terkontrol, yaitu tidak hanya dengan penatalaksanaan farmakologis namun juga penatalaksanaan nonfarmakologis terutama modifikasi gaya hidup yang harus sangat ditekankan agar dapat mencapai tekanan darah terkontrol dan mengurangi risiko kompikasi

15

akibat DM. Penggunaan antihipertensi secara kombinasi dapat ditingkatkan dalam menatalaksana pasien DM tipe 2 dengan hipertensi. Dari hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut misalnya penelitian kohort untuk mengetahui efektivitas penggunaan macammacam antihipertensi pada pasien hipertensi pada DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira.

DAFTAR PUSTAKA 1. Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editors. Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. New York Chicago San Fransisco Lisbon London Madrid Mexico City New Delhi San Juan Seoul Singapore Sydney Toronto: Mc-Graw Hill Company Inc; 2008. p.2275-82. American Diabetes Association. High blood presssure (hypertension) [Online]; 2012 [cited 2012 May 25]. Available from:URL:http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/complications/highblood-pressure-hypertension.html Ibrahim SS, Bougalambou AS, Rahmawati F, Hassali MA, Sulaiman SA. Prevalence and control of hypertension among diabetes patients in hospital Universiti Sains Malaysia, Malaysia. MFI. 2010; 21(2): 121-8. Ogochukwu AM, Victoria, UC. A review of anti-hypertension therapies in diabetic patients. J B Clin Pharm. 2010; 1(3): 139-45. Stults B, Jones RE. Management of hypertension in diabetes. Diabetes Spectrum 2006; 19(1): 25-31. National High Blood Pressure Education Program of U.S. Department of Health & Human Cervices. Complete report: the seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure [Online]. 2004 [cited 2012 May 17]. Available from:URL:http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI; 2011. hal.20,42. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes-2012. Diabetes Care. 2012; 35: S28-30. Putnam W, Buhariwalla F, Lacey K, Goodfellow M, Goodine RA, Hall J, et al. Drug management for hypertension in type 2 diabetes in family practice. Can Fam Physician. 2009; 55: 728-34.

2.

3.

4. 5. 6.

7.

8. 9.

16

10. Yunus AM, Sherina MS, Afiah MZ, Rampal L, Tiew KH. Prevalence of cardiovascular risk factors in a rural community in Mukim Dengkil, Selangor. Mal J Nutr. 2004; 10(1): 5-11. 11. Mufunda J, Mebrahtu G, Usman A, Nyarango P, Kosia A, Ghebrat Y, et al. The prevalence of hypertension and its relationship with obesity: results from a national blood pressure in Eritrea. J Hum Hypertens. 2006; 20: 62. 12. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia. MKI. 2009; 59(12): 585. 13. Park CG. Hypertension and vascular aging. Korean Circulation J. 2006; 36: 478-9. 14. Whalen K, Stewart RD. Pharmacologic management of hypertension in patients with diabetes. Am Fam Physician. 2008; 78(11): 1277-82. 15. Mancia G, Backer GD, Dominiczak A, Cifvoka R, Fagard R, Germano G, et al. 2007 guidelines for the management of arterial hypertension: the task force for the management of arterial hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2007; 28: 1496. 16. Kalra S, Kalra B, Agrawal N. Combination therapy in hypertension: an update. DMS. 2010; 2: 1-5. 17. Basile JN, Lackland DT, Basile JM, Riehle JE, Egan BM. A statewide primary care approach to cardiovascular risk factor control in high-risk diabetic and nondiabetic patients with hypertension. J Clin Hypertens. 2004: 6(1): 18-24. 18. Littlejohn TW, Majul CR, Olvera R, Seeber M, Kobe M, Guthrie R, et al. Results of treatment with telmisartan-amlodipine in hypertensive patients. J Clin Hypertens 2009;11(4): 209-11. 19. Moser M, Franklin SS. Hypertension management: results of a new national survey for the hypertension education foundation: Harris interactive. J Clin Hypertens. 2007; 9(5): 320. 20. Aghasadeghi K, Ahmadi A, Zibaeenezhad MJ, Abtahi F, Khosropanah Sh, Moaref AR, et al. Correlation between fasting blood sugar and resting blood pressure in teachers residing in Shiraz, Iran 2009. Iranian Cardiovas Res J. 2011; 5(1): 16-7. 21. Permana H. Diabetes and hypertension: the relationship and the consequencies. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional. 2011; 5: 401-17.

Anda mungkin juga menyukai