Anda di halaman 1dari 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lingkungan dan Respon Fisiologis Domba Rataan suhu dan kelembaban di dalam

kandang adalah 29C dan 76%, sedangkan rataan suhu dan kelembaban di luar kandang adalah 30C dan 69%. Data suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian (dalam dan luar kandang) tersaji pada Tabel 3. Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985). Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian Tempat Waktu Pagi Dalam Kandang Siang Sore Pagi Luar Kandang Siang Sore Suhu (C) 26 0,35 33 0,60 29 1,33 28 0,42 33 0,85 29 1,35 Kelembaban (%) 88 2,61 63 2,68 77 5,21 74 5,40 59 2,25 74 6,30

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah dibanding suhu di luar kandang, khususnya pada pagi hari yaitu: 260,35 oC untuk suhu di dalam kandang dan 280,42 oC untuk suhu di luar kandang. Suhu di dalam dan di luar kandang pada siang dan sore hari tidak terdapat perbedaan secara signifikan yaitu: 330,60 C dan 291,33 C untuk suhu di dalam kandang, serta 330,85 C dan 291,35 C untuk suhu di luar kandang. Perbedaan suhu yang tidak terlalu signifikan tersebut disebabkan oleh kontruksi kandang yang kurang mendukung sebagai bangunan perkandangan untuk di daerah tropis, karena kandang dikelilingi oleh dinding, sehingga menghambat proses sirkulasi udara di dalam kandang. Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa kelembaban di dalam kandang lebih tinggi dibanding kelembaban di luar kandang, baik untuk pagi, siang, maupun sore hari yaitu: 882.61, 632.68, 775.21 (%) untuk kelembaban di dalam kandang dan 17

745.40, 592.25, 746.30 (%) untuk kelembaban di luar kandang. Tingginya kelembaban di dalam kandang disebabkan karena terjadi penguapan amoniak dan uap air dari kotoran yang tertimbun di bawah kandang dan kurangnya sirkulasi udara baik di dalam kandang maupun di bawah kandang, sehingga terjadi akumulasi uap air yang terjebak di dalam kandang akibat dari kontruksi kadang yang kurang tepat. Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4C 24C dengan kelembaban udara dibawah 75% (Yousef, 1985). Kondisi tersebut mengakibatkan respon fisiologis domba selama penelitian meningkat, baik suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi domba. Rataan respon fisiologis domba pada waktu pengukuran tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran Parameter Suhu Rektal (C) Denyut Jantung (detak/menit) Frekuensi Respirasi (hembusan/menit) Waktu Pengukuran Pagi 38,10,26 887,72 283,32 Siang 38,70,15 895,06 5210,24 Sore 38,70,19 943,86 5110,63

Suhu rektal domba yang terendah pada pagi hari yaitu 38,10,26C, meningkat pada siang dan sore hari yaitu 38,70,15C dan 38,70,19C (Tabel 4). Meningkatnya suhu rektal domba pada siang dan sore hari disebabkan karena faktor suhu lingkungan, dimana pada pagi hari suhu lingkungan lebih rendah dibanding suhu pada siang dan sore hari yang lebih tinggi (Tabel 3). Suhu rektal domba berbanding lurus dengan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan, maka semakin tinggi pula suhu rektal domba. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990).

18

Suhu Rektal Domba (C )

38.8 38.7 38.6 38.5 38.4 38.3 38.2 38.1 38.0 37.9 37.8 PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran
Gambar 4. Grafik Suhu Rektal Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda Denyut jantung domba meningkat dari pagi hari sebesar 887,72 detak/menit, menjadi 895,06 detak/menit pada siang hari dan 943,86 detak/menit pada sore hari (Tabel 4). Kondisi ini juga disebabkan karena terjadi peningkatan suhu lingkungan pada siang dan sore hari (Tabel 3). Terjadinya peningkatan suhu lingkungan tersebut menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.
95 94

Denyut Jantung (detak/menit)

93 92 91 90 89 88 87 86 85 PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran
Gambar 5. Grafik Denyut Jantung Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda 19

Pengaruh faktor lingkungan tersebut juga meningkatkan frekuensi respirasi domba, dimana domba meningkatkan frekuensi respirasinya dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999). Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian, yaitu pada pagi hari sebesar 283,32 hembusan/menit meningkat menjadi 5210,24 hembusan/menit pada siang hari dan 5110,63 hembusan/menit pada sore hari (Tabel 4).

60

Frekuensi Respirasi (hembusan/menit)

50 40 30 20 10 0 PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran
Gambar 6. Nutrisi Pakan Berdasarkan data hasil analisis sampel bahan pakan yang digunakan selama penelitian, kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan nutrisi rumput B. humidicola. Kandungan nutrisi pakan dari setiap ransum yang digunakan tersaji pada Tabel 4. Data pada Tabel 5 tersebut memperlihatkan bahwa ransum P3 memiliki persentase tertinggi pada kandungan bahan kering (21,89%), protein kasar (9,61%), TDN (67%) dan BETN (67,16%) serta kandungan HCN sebesar 924 mg HCN/kg berat segar. Ransum P0 memiliki persentase tertinggi pada kandungan lemak kasar (2,34%), serat kasar (27,28%) dan abu (7,65%). Data tersebut menjelaskan bahwa Grafik Frekuensi Respirasi Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda

20

semakin banyak persentase pemberian kulit singkong dalam ransum, maka akan meningkatkan kandungan bahan kering, protein kasar, TDN dan BETN serta HCN, akan tetapi akan menurunkan kandungan lemak kasar, serat kasar dan abu dalam ransum tersebut. Meskipun secara umum penggunaan kulit singkong tersebut akan meningkatkan kandungan nutrisi ransum, akan tetapi kulit singkong mempunyai beberapa kelemahan antara lain sifat palatabilitas rendah dan adanya kandungan asam sianida (HCN) yang merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya. Tabel 5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komposisi Zat Makanan P0 P1 Perlakuan P2 P3

----------------------------% BK------------------------------Bahan Kering (BK) Protein Kasar (PK) Lemak Kasar (LK) Serat Kasar Abu TDN BETN HCN *
Keterangan :

17,22 8,94 2,34 27,28 7,65 43,88 53,79 -

18,78 9,16 2,02 23,84 6,73 51,59 58,25 308

20,33 9,38 1,7 20,41 5,81 59,3 62,7 616

21,89 9,61 1,37 16,97 4,89 67 67,16 924

* Kandungan HCN dalam satuan mg HCN/kg berat segar; * Total kandungan HCN: 440 mg/kg x jumlah pakan;

Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto, 1987). Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 (P1), 29,13 (P2) dan 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3). Keterangan di atas menunjukkan bahwa rataan kandungan HCN dalam ransum melebihi dosis letal untuk domba. Keadaan tersebut dapat berpengaruh terhadap produktivitas domba terutama pengaruhnya terhadap respon fisiologis domba, dimana HCN dapat mengganggu transport elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987). Meskipun total kandungan HCN yang diberikan dalam ransum melebihi dosis letal untuk domba, akan tetapi domba tidak mengalami karacunan ataupun terjadi 21

kematian selama penelitian. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena waktu penelitian yang tidak terlalu lama (2,5 bulan), sehingga pengaruh yang berbahaya tersebut terhadap konsumsi HCN belum tampak. Faktor lain yang menghambat munculnya pengaruh negatif yang berbahaya selama penelitian adalah adanya toleransi tubuh terhadap racun yang masuk. Tubuh hewan pada umumnya mempunyai pertahanan terhadap bahan asing yang masuk kedalam tubuhnya. Resistensi tubuh ternak terutama ruminansia terhadap racun dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain : a) adanya detoksifikasi dalam rumen, terutama peranan dari mikrobanya; b) detoksifikasi metabolik yang biasanya terjadi pada hati secara alamiah, dan proses detoksifikasi ini dapat meningkat dengan adanya rangsangan (Bahri, 1987). Daya tahan tubuh domba terhadap senyawa sianida diduga dimulai dari dalam rumen. Pertahanan tubuh terhadap sianida sendiri diduga dapat terjadi melalui peningkatan metabolisme terhadap sianida tersebut. Pengaruh Perlakuan Pakan Berbeda Terhadap Respon Fisiologis Domba Respon fisiologis merupakan suatu tanggapan atau respon seekor ternak terhadap berbagai faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar, dimana rangkaian dari respon fisiologis tersebut akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien (2007). Pengaruh pemberian kulit singkong di dalam ransum terhadap respon fisiologis domba tersaji dalam Tabel 6, dan diuraikan pada bagian berikutnya. Tabel 6. Rataan Respon Fisologis Domba Parameter Suhu Rektal (C) Denyut Jantung (detak/menit) Frekuensi Respirasi (hembusan/menit)
Keterangan :
*)

Ransum P0 P1 P2 P3

Rataan

38,30,21 38,60,15 38,20,49 38,60,40 38,430,21 843,61 420.58 931,73 5514.36 957,64 398.54 8910,97 3712.70 904,86 438,10

P0 = 100% rumput P0 = 100% rumput BH + 0% kulit singkong; P1 = 80% rumput BH + 20% kulit singkong; P2 = 60% rumput BH + 40% kulit singkong; P3 = 40% rumput BH + 60% kulit singkong

22

Suhu Rektal Domba Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal domba selama penelitian (P>0,05). Suhu rektal domba rata-rata selama penelitian adalah 38.30.21C (P0), 38.60.15C (P1), 38.20.49C (P2) dan 38.60.40C (P3) seperti yang tersaji dalam Tabel 6. Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 40 C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Data hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu rektal domba selama penelitian masih dalam batas normal. Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983). Menurut Baillie (1988), menjelaskan bahwa variasi temperatur tubuh dapat terjadi karena berbagai pengaruh seperti usia, jenis kelamin, kondisi hari, aktivitas makan, minum, latihan dan stress. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa suhu rektal domba kurang dipengaruhi oleh pemberian ransum, akan tetapi dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh kondisi hari dan faktor lain tersebut.
38.7

Suhu Rektal Domba (C )

38.6 38.5 38.4 38.3 38.2 38.1 38.0 P0 P1 P2 P3

Ransum
Gambar 7. Grafik Suhu Rektal Domba Denyut Jantung Domba Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap denyut jantung domba selama penelitian. (P>0,05). Denyut jantung domba rata-rata selama penelitian adalah 843.61 detak/menit (P0), 931.73 detak/menit (P1),

957.64 detak/menit (P2) dan 8910.97 detak/menit (P3) seperti yang tersaji dalam Tabel 6. 23

Hasil rataan denyut jantung domba selama penelitian lebih tinggi dibanding dengan kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu antara 70-80 kali tiap menit. Tingginya denyut jantung domba tersebut dikarenakan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung, dimana temperatur rata-rata lingkungan di dalam kandang adalah 29C dengan kelembaban 76%. Yousef (1985) menjelaskan bahwa suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4C 24C dengan kelembaban udara dibawah 75%. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa suhu dan kelembaban

lingkungan yang tinggi menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.

96 94

Denyut Jantung (detak/menit)

92 90 88 86 84 82 80 78 P0 P1 P2 P3

Ransum
Gambar 8. Grafik Denyut Jantung Domba Grafik denyut jantung diatas (Gambar 8) memberikan gambaran bahwa terjadi kecenderungan peningkatan denyut jantung domba dari P0 ke P2, akan tetapi terjadi penurunan pada P3, walaupun secara statistik tidak nyata (P>0,05). Kondisi tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena pengaruh dari adanya HCN yang terdapat dalam kulit singkong pada ransum.

24

Semakin meningkatnya persentase kulit singkong dalam ransum akan meningkatkan kandungan HCN dalam ransum tersebut. Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 mg/kg bobot badan/hari (P1), 29,13 mg/kg bobot badan/hari (P2), 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3). Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto, 1987). Penjelasan tersebut memberi gambaran bahwa rataan kandungan HCN pada ransum melebihi batas kemampuan domba untuk menerimanya, sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Keberadaan HCN di dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987). Terjadinya reduksi oksigen tersebut akan mengakibatkan berkurangnya asupan oksigen kedalam jantung, sehingga proses detak jantung dan sistem sirkulasi menjadi terganggu, dimana fungsi dari jantung adalah memompakan darah keseluruh tubuh. Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan berbagai zat yang diabsorbsi, serta membawa CO2 ke paru-paru dan hasil metabolisme lain ke ginjal (Ganong, 2002). Vough dan Cassel (2006) menambahkan bahwa secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Terganggunya sistem sirkulasi tersebut akan menggangu transport nutrien ke dalam jaringan-jaringan tubuh, sehingga asupan nutrien akan terhambat yang akan mengakibatkan terhambat pula proses pertumbuhan ternak domba tersebut. Meningkatnya rataan denyut jantung domba tersebut, selain dipengaruhi oleh adanya HCN dari kulit singkong dalam ransum juga kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan energi yang terdapat dalam ransum tersebut. Hal ini apabila dilihat dari kandungan nutrisi ransum, bahwa semakin meningkatnya persentase pemberian kulit singkong dalam ransum akan meningkatkan kandungan energi dalam ransum tersebut (Tabel 5), sehingga dalam perlakuan tersebut ransum P0 memiliki kandungan energi lebih kecil jika dibanding dengan ketiga ransum lainnya. Hal ini mengakibatkan domba P0 lebih tenang (sedikit aktivitas) dibanding dengan domba

25

P1, P2 dan P3. Parakkasi (1998), menyebutkan bahwa salah satu penggunaan energi netto adalah untuk hidup pokok yang diantaranya digunakan untuk aktivitas (tanpa kehendak). Kandungan energi dalam ransum tersebut kemungkinan mengakibatkan domba selain P0 lebih banyak aktivitas tanpa kehendak sehingga dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Pernyataan ini diperkuat dengan data dari saudara R. Wicaksono yang meneliti tentang tingkah laku domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu peubahnya adalah tingkah laku agonistik. Menurut data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkah laku domba selama penelitian ini berlangsung, yang belum dipublikasikan oleh saudara R. Wicaksono menjelaskan bahwa domba dengan Perlakuan P3 lebih banyak melakukan tingkah laku agonistik dengan rataan sebesar 2,53%, kemudian domba dengan perlakuan P2 sebesar 0,09% dan domba dengan perlakuan P1 dan P0 masingmasing sebesar 0 %. Data tingkah laku agonistik tersebut diperoleh dari hasil pencatatan yang dihitung berasarkan proporsi frekuensi yang terjadi selama interval tertentu dengan membagi jumlah perilaku yang teramati dalam interval dengan jumlah perilaku keseluruhan. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan selama sembilan hari pengamatan. Pembagian waktu pengamatan dilakukan dengan interval waktu 60 menit dalam dua jam pengamatan. Per ekor domba dilakukan selama 5 menit. Sisa waktu (60 menit) digunakan untuk istirahat bagi peneliti. Metode pengamatan yang digunakan yaitu metode intensitas perilaku. Hasil tersebut memberikan penjelasan bahwa domba pada perlakuan P3 melakukan tingkah laku agonistik 2,53% lebih banyak dalam intensitas waktu pengamatan tertentu dibanding dengan domba pada perlakuan P0 dan P1. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin banyak kandungan energi yang terdapat pada ransum akan meningkatkan aktivitas tanpa kehendak pada domba dalam hal ini adalah tingkah laku agonistik, yang kemudian dapat meningkatkan pula denyut jantung dari domba-domba akibat dari pengaruh dari aktivitas ternak domba tersebut. Rataan denyut jantung domba P2 (957,64 detak/menit) lebih tinggi dibanding dengan domba-domba pada perlakuan P0 (843,61 detak/menit), P1 (931,73 detak/menit) dan P3 (8910,97 detak/menit). Apabila dilihat dari jumlah kandungan HCN dalam ransum dan perbandingan data tingkah laku agonistik yang

26

telah disebutkan sebelumnya, seharusnya bukan domba P2 yang memiliki laju denyut jantung tertinggi melainkan domba P3, karena domba P3 mendapatkan persentase jumlah HCN lebih besar dalam ransumnya dibanding pada domba perlakuan P0, P1 dan P2, serta lebih banyak melakukan aktivitas tanpa kehendak (tingkah laku agonistik). Hal ini dapat ditelusuri dari kondisi dan keadaan ternak selama penelitian. Selama penelitian berlangsung terdapat beberapa domba yang sakit, seperti sakit mulut (orf), mata dan mencret. Jumlah domba yang sakit lebih banyak pada domba P1 dan P2 yaitu sebanyak dua ekor, sedangkan domba P0 dan P3 masingmasing satu ekor. Hal ini diduga akan menggangu kondisi dari ternak-ternak tersebut, dimana domba akan terganggu sistem metabolismenya sehingga akan turut menggangu terhadap respon fisiologis domba-domba yang sakit tersebut dan dapat mangakibatkan meningkatnya denyut jantung domba. Denyut jantung yang meningkat pada domba-domba yang sakit tersebut akan mempengaruhi rataan denyut jantung dari setiap kelompok perlakukan secara keseluruhan. Apabila dilihat dari jumlah domba-domba yang sakit pada setiap kelompok perlakuan, maka dapat dikatakan bahwa domba P1 dan P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi. Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan denyut jantung yang menyebutkan bahwa domba P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi, yaitu sebesar 957,64 detak/menit, kemudian P1 sebesar 931,73 detak/menit dan P1 sebesar 931,73 detak/menit serta yang terendah P0 sebesar 843,61 detak/menit. Frekuensi Respirasi Domba Hasil ratarata frekuensi respirasi domba selama penelitian adalah 420.58 hembusan/ menit (P0), 5514.36 hembusan/ menit (P1), 398.54 hembusan/ menit (P2) dan 3712.70 hembusan/ menit (P3). Rataan frekuensi respirasi domba tersaji pada Tabel 6. Hasil data frekuensi respirasi selama penelitian tidak dipengaruhi oleh pemberian ransum (P>0,05). Hasil rataan frekuensi respirasi tersebut terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan literatur yang ada. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Keadaan ini diduga disebabkan karena pengaruh negatif dari kandungan HCN dalam ransum yang dapat menggangu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan terganggu, serta akibat dari kandungan energi dalam ransum 27

yang dapat mengakibatkan domba banyak melakukan aktivitas (tanpa kehendak), sehingga dapat meningkatkan frekuensi respirasi. Selain itu, faktor lingkungan yang kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien juga berpengaruh terhadap rataan frekuensi respirasi domba yang dihasilkan. Kandungan zat anti nutrisi yang terdapat di dalam kulit singkong yaitu HCN berbahaya bagi sistem pernapasan. Bahri (1987) menjelaskan bahwa secara alamiah sianida masuk ke dalam peredaran darah tubuh dapat melalui beberapa rute. Biasanya senyawa sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Ion sianida di dalam saluran pencernaan mudah diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal, otak dan lain-lain. Absorbsi sianida melalui kulit dan pernapasan dapat menyebabkan keracunan apabila diberikan dalam waktu lama. Isnaeni (2006) mengatakan bahwa dalam darah terdapat pigmen respirasi yang memiliki afinitas atau daya gabung tinggi terhadap oksigen. Keberadaan pigmen respirasi dalam darah atau cairan tubuh benar-benar dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Sebagai contoh pigmen respirasi yang terdapat dalam darah mamalia adalah hemoglobin, dimana keberadaan pigmen hemoglobin tersebut dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan O 2 oleh darah sebesar 20 kali lipat sehingga setiap 100 ml darah dapat membawa 20 ml oksigen. Tanpa hemoglobin, darah hanya dapat mengangkut oksigen sebanyak 1 ml per 100 ml darah. Hemoglobin (biasa disingkat Hb) tersusun atas senyawa porfirin besi (hemin) yang berikatan dengan protein globin. Oksigen akan berikatan dengan hemin, tepatnya pada Fe++ yang terdapat pada pusat gugus tersebut. Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan CO2 dan O2, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu. Kandungan ion sianida yang terdapat di dalam darah tersebut akan mengikat hemoglobin, yang dimana hemoglobin tersebut merupakan pigmen respirasi dalam darah yang dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Pengikatan hemoglobin oleh ion sianida tersebut akan menyebabkan terjadinya

28

pengurangan pangangkutan oksigen dalam darah secara signifikan sehingga akan berpengaruh terhadap sistem respirasi ternak tersebut, dimana frekuensi respirasi akan meningkat. Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan kebutuhan tubuh hewan, yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi. Kebutuhan O2 dan pembentukan CO2 meningkat pada saat laju metabolisme meningkat. Apabila pada saat tersebut darah tidak mengandung cukup O 2 untuk memenuhi kebutuhannya, hewan akan mengalami kondisi hipoksia atau bahkan asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002). Kecenderungan peningkatan frekuensi respirasi selain diakibatkan oleh pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, juga disebabkan oleh kandungan energi pakan dalam ransum. Kandungan energi pakan dalam ransum meningkat dengan semakin besarnya persentase pemberian kulit singkong dalam ransum. Peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Semakin tinggi level konsumsi energi dan protein, maka laju pernapasan semakin tinggi. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus diimbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal (Ali, 1999). Selain itu, konsumsi energi yang semakin besar dari P1 hingga P3 mengakibatkan domba lebih banyak beraktivitas (tanpa kehendak) seperti disebutkan oleh Parakkasi (1998) pada pembahasan sebelumnya, dimana energi netto digunakan ternak untuk hidup pokok yang salah satunya adalah beraktivitas (tanpa kehendak). Sehingga hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan frekuensi respirasi domba. Selain pengaruh negatif dari keberadaan HCN dan kandungan energi dalam ransum tersebut, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap frekuensi respirasi, dimana suhu (29C) dan kelembaban lingkungan (76%) penelitian lebih tinggi jika dibandingkan dengan literatur yang ada. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4 24C dengan kelembaban udara dibawah 75% (Yousef, 1985), sehingga ternak domba meningkatkan respirasi

29

dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999). Pengaruh HCN dan energi dalam ransum serta faktor lingkungan tersebut yang menyebabkan rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian tinggi yaitu 438,10 hembusan/menit. Rataan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan frekuensi respirasi domba menurut Frandson (1992) yang berkisar pada 19 hembusan/menit. Terganggunya sistem respirasi tersebut, akan menggangu proses penyerapan dan penggunaan O2 serta pengeluaran dan pembentukan CO2. Apabila proses transport O2 dan CO2 terganggu, maka akan berdampak pada terganggunya kinerja sel-sel tubuh, karena proses respirasi merupakan suatu proses penggunaan O2 dan pembentukan CO2 oleh sel-sel tubuh. Apabila hal tersebut terjadi, makan sel-sel tubuh tidak akan bekerja secara optimal, sehingga pertumbuhan ternak pun juga tidak akan berjalan secara optimal. Selain itu, jalan napas yang menghubungkan lingkungan luar dengan alveoli berfungsi lebih dari sekedar menyalurkan udara. Bagian tersebut melembabkan serta mendinginkan atau memanaskan udara inspirasi sehingga suhu udara pernapasan yang sangat panas atau sangat dingin akan mendekati atau sama dengan suhu tubuh saat mencapai alveoli (Ganong, 2002). Sehingga apabila proses tersebut terganggu, maka akan berpengaruh terhadap proses pengendalian suhu udara pernapasan di dalam tubuh. Akan tetapi jika dilihat pada grafik, bahwa rataan frekuensi respirasi domba yang cenderung meningkat dari P0 ke P1, perlahan rataan frekuensi tersebut turun pada P2 dan P3. Apabila dilihat dari adanya pengaruh HCN dan kandungan energi yang terdapat dalam ransum, maka rataan frekuensi respirasi seharusnya akan terus meningkat dari P0 ke P3. Kondisi ini dapat ditelusuri dari jumlah protein kasar yang dikonsumsi oleh domba-domba tersebut, dimana kandungan protein yang dikonsumsi dapat menetralisir pengaruh negatif dari HCN di dalam tubuh.

30

60

Frekuensi Respirasi (hembusan/menit)

50 40 30 20 10 0 P0 P1 P2 P3

Ransum
Gambar 9. Grafik Frekuensi Respirasi Domba Pengaruh negatif dari adanya ion sianida tersebut dapat diminimalisir dengan cara menjerat/mengikat sianida dengan asam amino yang mengandung unsur S yaitu metionin dan sistein yang terdapat dalam protein. Apabila di dalam tubuh ternak terdapat asam amino yang mengandung unsur S, maka asam sianida akan langsung dinetralkan oleh sulfur (-S) sehingga terbentuk ion tiosianat. Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva (Bahri, 1987). Sehingga diperlukannya pakan tambahan yang mengandung protein secara mencukupi agar dapat menetralisir kandungan asam sianida dalam kulit singkong tersebut. Sebagian sianida mengalami detoksifikasi di dalam rumen dan sebagian besar lainnya diabsorbsi dan mulai mengalami detoksifikasi atau degradasi di dalam tubuh. Detoksifikasi sianida menjadi tiosianat dengan menggunakan enzim rodanese memerlukan donor sulfur dalam bentuk tiosulfat yang dapat berasal dari asam amino sistein, tiosulfonat dan lain sebagainya, dengan reaksi sebagai berikut : HCN + Na2S2O2 HSCN + Na2SO3

Selain itu transaminasi atau deaminasi dari asam amino sistein akan terbentuk asam 3-merkaptopiruvat (SHCH3.COCOOH) yang juga merupakan donor sulfur untuk mendetoksifikasi sianida menjadi tiosianat dan piruvat dengan menggunakan enzim merkaptopiruvat sulfurtransferase. Kemudian piruvat yang dihasilkan akan bereaksi dengan sulfit (SO3-) yang selanjutnya akan membentuk tiosulfat (Bahri, 1987).

31

Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa jalur metabolisme yang paling banyak diteliti adalah dengan cara kombinasi dengan tiosulfat untuk membentuk tiosianat dan sulfit. Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva. Uraian diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya asam amino sistein dalam mendetoksifikasi sianida dalam tubuh, dimana asam amino ini berasal dari protein yang terdapat dalam pakan. Menurut data dari saudara Hermawan (2009) yang meneliti tentang performa domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu peubahnya adalah konsumsi protein kasar menyebutkan bahwa total konsumsi protein kasar domba P0 sebesar 45,032,13 g/ekor/hari, domba P1 sebesar 48,953,83 g/ekor/hari, domba P2 sebesar 57,726,70 g/ekor/hari dan domba P3 sebesar 55,846,81 g/ekor/hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa konsumsi protein kasar yang lebih banyak pada domba P2 dan P3 dapat membantu menetralisir pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, sehingga frekuensi respirasi semakin menurun. Penggunaan kulit singkong sebagai pakan dalam ransum domba sebaiknya perlu diperhatikan kandungan HCNnya, sehingga dampak negatif dari HCN dapat diminimalisir. Hadirnya HCN dapat menyebabkan terjadinya reduksi oksigen sehingga oksidasi sel akan terganggu. Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon fisiologis domba, akan tetapi dari data yang diperoleh terdapat indikasi terjadi kecenderungan peningkatan denyut jantung pada domba. Terganggunya proses respirasi ini akan berdampak terhadap produktivitas dari domba-domba tersebut. Penjelasan ini diperkuat dengan data dari Hermawan (2009) yang meneliti tentang performa produksi domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu peubahnya adalah pertambahan bobot badan harian (PBBH). Pertambahan bobot badan harian domba perlakuan P0 sebesar 21,51 5,66 g/ekor/hari, P1 sebesar 15,32 5,70 g/ekor/hari, P2 sebesar 50,54 14,64 g/ekor/hari dan P3 sebesar 37,10 9,68 g/ekor/hari. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa setelah PBBH domba terjadi peningkatan pada perlakuan P2, kemudian terjadi penurunan pada PBBH domba perlakuan P3. Apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lebih lama, dimungkinkan dampak negatif yang lebih berbahaya seperti keracunan dan kematian dapat terjadi pada ternak.

32

Balagopalan et al. (1988) menjelaskan bahwa pengaruh negatif dari keberadaan asam sianida di dalam kulit singkong sebagai pakan ternak dapat diminimalisir dengan proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan HCN seperti pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi dan kombinasi dari prosesproses ini. Cara yang cukup praktis dan efektif untuk mengurangi kadar HCN adalah dengan mencincang dan pengeringan dengan panas matahari.

33

Anda mungkin juga menyukai