Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG:


Kasus-kasus KDRT dewasa ini makin meningkat baik secara kuantitas maupun
secara kualitasnya, baik pada level nasional, regional maupun lokal. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hilmy, dkk. dari data yang ada di pengadilan-pengadilan negeri di pantai
utara pulau Jawa menunjukkan bahwa kasus-kasus yang korbannya perempuan dan
anak selama tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 rata-rata 5-15 kasus yang telah
diputus secara inkrach. Selanjutnya menurut informasi dari para aparat penegak hukum
(kepolisian, jaksa maupun hakim) di wilayah pengadilan-pengadilan negeri tersebut
jumlah kasus yang diproses sebenarnya jumlahnya lebih dari itu, namun banyak kasus
yang dihentikan di tengah jalan baik atas permintaan korban, karena bukti tidak cukup
maupun karena persepsi dan sikap penegak hukum yang tidak sesuai dengan undang-
undang yang berlaku. Di tingkat nasional diperkirakan 80% kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak adalah kasus KDRT, di tingkat regional Jawa Timur meningkat
empat kali lipat. (Kolibonso, R.S, 1998 , Katjasungkana, D., 2003, Wahyuningsih, S.
2004).
Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada 22 September 2004, maka secara
substansi hukum, secara ‘law in book’ telah terwujudlah perlindungan hukum pada
anggota rumah tangga, terutama perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT. UU
Penghapusan KDRT sekaligus merupakan pengakuan Pemerintah bahwa dulu KDRT
yang dianggap sebagai skeleton in closet (Harkrisnowo, H. 2004), kini menjadi tindak
pidana atau urusan publik.
Sosialisasi dan advokasi ke berbagai pihak (team work Lapera, 2001), baik
masyarakat maupun penegak hukum telah dilakukan banyak pihak terutama dari para
akademisi dan pendamping korban KDRT, sebagai upaya untuk menegakkan hukum
atau ‘law in action’ merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan pembuatan undang-
undang ini, yakni melindungi korban dan memperbaiki atau kalau tidak dapat diperbaiki
memisahkan dan/atau menghukumnya. Namun, kendala budaya patriarkhi yang sudah
mendarah daging atau ngoyod di sanubari dan pikiran masyarakat termasuk penegak
hukum masih nampak jelas pada sebagian besar dakwaan yang hanya mengacu pada
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Masalah KDRT memang sangat kompleks
dan tidak cukup hanya dilaporkan ke pengadilan, tetapi harus diberantas sampai akar
permasalahannya dengan counter culture terhadap ideologi patriarkhi (Smart, Carol.
1991).
Kekerasan terhadap perempuan di ranah publik selama ini telah diatur dalam
KUHP, khususnya pada Bab XIV Kekerasan Terhadap Kesusilaan. Dalam bab ini
kekerasan yang diatur antara lain: tentang perbuatan yang melanggar kesusilaan,
pornografi, gendak/overspel, perkosaan, bersetubuh dengan anak perempuan,
pengguguran kandungan, prostitusi, perdagangan/trafficking wanita dsb. Dalam pada itu,
KUHP juga mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga, meskipun hanya secara
terbatas, antara lain tentang inces, menyebabkan atau memudahkan berbagai perbuatan
pidana yang korbannya anak kandung, tiri, angkat. Perbuatan yang diatur mulai
perbuatan cabul, sampai perkosaan. UU Penghapusan KDRT merupakan undang-
undang yang bersifat reformatif terhadap tindak pidana yang berada di ranah domestic.
Undang-undang ini mengkategorikannya sebagai perbuatan yang merepresentasikan

35
36

ketidak adilan gender yang harus dihentikan (Fakih, M. 1996) yang dalam KUHP hanya
diatur sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.
UU Penghapusan KDRT memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut:
(a). UU Penghapusan KDRT mengatur macam-macam kekerasan dalam KDRT
dengan segala sanksi pidananya. Pertama, kekerasan fisik (pasal 6) dengan
ketentuan pidana pada pasal 44 dan hanya pasal 44 ayat (4) saja yang merupakan
delik aduan (pasal 51 UU Penghapusan KDRT). Kedua, kekerasan psikis (pasal 7)
dengan ketentuan pidana pada pasal 45 dan hanya pasal 45 ayat (2) yang
merupakan delik aduan (pasal 52 UU PKDRT). Ketiga, kekerasan seksual (pasal 8)
dengan ketentuan pidana pada pasal 46, 47 dan 48 UU PKDRT. Keempat,
penelantaran keluarga (pasal 9) dengan ketentuan pidana pada pasal 49 UU
PKDRT. Selain pidana-pidana tersebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan
(pasal 50 UU PKDRT).
(b). UU Penghapusan KDRT menetapkan ancaman pidana yang cukup berat, misalnya
pidana seumur hidup, dan pidana paling singkat (minimal) 4 (empat) atau 5 (lima)
tahun dan denda paling sedikit (minimal) Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah);
semua ini yang tidak diatur dalam KUHP.
(c). UU Penghapusan KDRT mewajibkan pengak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
advokat) untuk memberikan perlindungan kepada korban dan mewajibkan keluarga,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping dan pembimbing rohani untuk
memberikan layanan dan pemulihan kepada korban KDRT.
Sementara itu, seharusnya justru penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
advokat) yang menjadi ujung tombak Pemerintah dalam mengimplementasikan UU
Penghapusan KDRT sekaligus menjadi suri tauladan masyarakat, sebagaimana
ditunjukkan oleh para hakim perempuan yang memvonis dengan pidana yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hakim laki-laki dalam kasus kekerasan terhadap perempuan
(Chalid, H. 2004). Hal semacam ini diharapkan mampu memperbarui hukum di Indonesia
dengan mendakwa dan memvonis pelaku KDRT dengan pasal-pasal dari UU
Penghapusan KDRT. Hal ini akan dapat menciptakan budaya hukum yang baru, yaitu
yang sensitif dan responsif terhadap kesetaraan dan keadilan gender melalui penerapan
social relations approach (March, C. et all 1999). Sebagai profesional hukum, maka
penegak hukum harus mentaati dan bersikap sesuai dengan kode etik yang wajib
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, termasuk saksi korban, dengan
mewujudkan keadilan (Kansil, dkk. 2003).
Asumsi awal, faktor pendorong adalah belum adanya persepsi yang mendalam
dari para penegak hukum tentang visi dan misi yang tercermin dalam asas UU
Penghapusan KDRT yang utama yaitu (a) penghormatan Hak Asasi Manusia; (b)
keadilan dan kesetaraan gender; (c) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban.
Adapun faktor penarik mengapa penegak hukum belum atau tidak
mengimplementasikan UU Penghapusan KDRT adalah adanya asumsi awal bahwa
masih sedikitnya korban atau keluarga korban dan anggota masyarakat yang tahu
tentang haknya untuk dilindungi dan dilayani sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
UU Penghapusan KDRT, sehingga masyarakat belum atau tidak mendesak para
penegak hukum untuk mengadili pelaku KDRT menurut UU PKDRT, atau bahkan
masyarakat masih mempersepsikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
suatu aib yang harus ditutupi atau disembunyikan. Kalau masyarakat mengetahui atau
sadar akan haknya, maka mereka akan dapat meminta kepada Polisi agar mendakwa
pelaku KDRT dengan ketentuan UU Penghapusan KDRT.
37

Penelitian ini menjadi mendesak untuk dilaksanakan, karena mendeskripsikan dan


menganalisis persepsi para penegak hukum akan dapat digunakan untuk mencari upaya
untuk memperbaiki persepsi dan sikapnya, sehingga penegak hokum dapat
melaksanakan ‘law in book’ menjadi ‘law in action’; sehingga mereka dapat menerapkan
UU Penghapusan KDRT yang diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku
KDRT. Dengan demikian tujuan dibuatnya UU Penghapusan KDRT yaitu: (a) mencegah
segala bentuk KDRT; (b) melindungi korban KDRT; (c) menindak pelaku KDRT dan (d)
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera dapat diwujudkan.
Tujuan UU Penghapusan KDRT ini tidak berlebihan karena Tuhan telah
memuliakan manusia dengan menciptakan manusia sebagai perpaduan antara
intelegensi (jasmani) dengan hati nurani (rohani) menjadi dwi tunggal, yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya. Para ahli menamakannya dengan ‘the intrinsic principle
of activity, the essence’ (Gunawan, C.I. 2003).

1.2. RUANG LINGKUP PENELITIAN:


Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Hukum Pidana
2. Studi Perempuan
3. Penegakan Hukum

1.3. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana persepsi dan sikap penegak hukum tentang KDRT yang sudah diatur
secara lengkap dalam UU Penghapusan KDRT?
2. Dasar hukum mana yang digunakan oleh penegak hukum dalam menangani
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga?
3. Faktor-faktor apa saja yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar
hukum tersebut dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga?
4. Upaya-upaya konkrit apa saja yang diperlukan agar penegak hukum dapat
menegakkan UU Penghapusan KDRT secara lebih optimal?

1.4. TUJUAN PENELITIAN


Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis:
1. persepsi penegak hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga.
2. dasar hukum yang digunakan oleh penegak hukum dalam menangani kasus-
kasus kekerasan dan rumah tangga.
3. factor-factor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum
tersebut.
4. upaya-upaya konkrit apa saja yang diperlukan untuk menegakkan UU
Penghapusan KDRT secara lebih optimal.

1.5. KEGUNAAN PENELITIAN


a. Bagi kalangan akademis, diharapkan berguna untuk mengembangkan wacana
tentang penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang sangat berguna dalam mengembangkan matakuliah yang
bersangkutan dengan kejahatan kesusilaan.
b. Bagi mahasiswa diharapkan berguna untuk mengembangkan pengalaman dalam
melakukan penelitian seputar kekerasan terhadap perempuan.
38

c. Bagi masyarakat, terutama korban kekerasan khususnya kekerasan terhadap


perempuan dan anak, dapat digunakan untuk mencari model penguatan bagi
korban dalam proses penyelesaian kasus-kasus yang mereka alami.
d. Bagi penegak hukum diharapkan berguna untuk pembuatan modul tentang
peningkatan sensitivitasnya terhadap korban dalam penanganan kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Hukum nasional sebagaimana yang dipraktekkan pada saat ini merupakan hasil
dari suatu perjalanan sejarah panjang yang apabila dirunut, akan berpulang ke masa
sejarah abad-abad pertengahan di Eropa Barat. Pandangan tentang the supremacy state
of law atau rechtstaat demi dapat diketahui dan diakuinya secara pasti saling-silang oleh
para actor yang sekalipun masing-masing tunduk pada lingkungan yurisdiksinya tapi juga
harus tunduk pada yurisdiksi lain, yang berkembang sedemikian rupa sehingga
pandangan yang berbeda hampir tertutup karenanya. Bahkan setelah merdekapun
pandangan rechtstaat tersebut tidak bergeming oleh semangat dan sikap anti colonial
dari bangsa Indonesia (Wignjosoebroto; 2002: 87-106). Lagi pula kepentingan pada saat
orde baru makin meligitimasikan aliran positivisme rechtstaat ini tetap berjalan sesuai
dengan pendapat Pound dalam Wignjosoebroto (2002), dimana hukum difungsikan
sebagai tools of social engineering yang sangat berguna untuk mensukseskan
pembangunan yang dipandang sangat penting pada masa itu.
Keadaan itu berubah, ketika muncul aliran ‘critical legal studies’ (CLS) yang
berkembang pada tahun 1970-an yang bertolak dari keprihatinan melihat kenyataan
banyak problem social politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan-
pengambilan keputusan yang kontroversial oleh para eksekutif pengontrol kebijakan
public yang sepihak demi kepentingan politik ‘the industrial and military establishment’,
sehingga tidak lagi mudah lagi dikontrol oleh rakyat sebagai pencari keadilan. Aliran ini
dengan merujuk ke teori-teori Neo-Marxian menyarankan perlunya mengkaji
permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan politik,
sehingga hukum tidaklah senetral sebagaimana yang dipersangkakan oleh paradigma,
teori atau doktrin hukum yang sebelumnya yang diyakini oleh kaum positivis. Dengan
pemikiran aliran CLS yang demikian ini, maka bagaimanapun juga hukum bukan
berproses menurut silogisme-silogisme logika yuridis para pakar saja, melainkan
sesungguhnya merupakan sejumlah kepentingan politik yang termanifest di dalam
kehidupan yang konkrit sebagaimana yang dapat disimak dalam kenyataan pengalaman
sehari-hari. Maka, berpikir secara nomologis yang bertolak kepada keajegan yang oleh
para penganut Neo-Marxian, orang diajak untuk mau beralih dari cara berpikir formalisme
yang deduktif ke cara berpikir yang lebih mengapresiasi proses-proses induktif. Di sini
fakta social dijadikan premis-premis particular sebelum tiba pada kesimpulan umum,
yang boleh difungsikan sebagai premis mayor dalam pemikiran logika formal yang
deduktif matematis itu.
Sebagaimana halnya dengan kajian pasca positivistis lain yang menggunakan
paradigma ‘social constructionism’, kajian social dan kajian hukum dengan pendekatan
hermeneutik inipun secara tegas dan jelas menolak faham univeralisme dalam ilmu yang
berkaitan dengan manusia berikut masyarakatnya (Wignjosoebroto; 2002: 104). Ganti
dari faham universalisme adalah faham relativisme yang harus diakui dan diterima.
39

Pendekatan hermeneutic ini merupakan pendekatan untuk memahami obyek yang


merupakan produk perilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan
sesamanya dari sudut pelaku aksi interaksi yang disebut sebagai ‘aktor’ itu sendiri.
Pendekatan hermeneutic berasumsi secara paradigmatic bahwasanya setiap betuk dan
produk perilaku antar manusia itu – dan karena itu juga produk hokum, baik yang in-
abstracto maupun inconreto – akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan
disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam prose situ yang tentu saja akan
memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai obyek.

2.1. Pelaku kekerasan


Dalam pada itu, pandangan positivis yang mengagungkan rechtstaat tersebut juga
dialami oleh para ahli kriminologi. Pada masa kriminologi klasik, yakni abad 18 sampai
akhir abad 19, penulis-penulis seperti Bentham (1843) dan Beccaria (1809) dalam
Moelyatno (1982), mencoba mengidentifikasikan aturan-aturan social dan menjelaskan
eksistensi hukum serta pengaruhnya terhadap warga masyarakat. Kemudian aliran yang
berkembang sejak bagian akhir abad ke-19, mempunyai ciri menekankan perhatian pada
penjahat. Sejak saat itu sampai pertengahan abad 20, penjahat merupakan sasaran
perhatian utama di bidang pengetahuan ilmiah kriminologi. Sejak tahun 1960-an, terdapat
pertumbuhan kembali perhatian terhadap hukum dan masyarakat, dalam arti bahwa ahli
kriminologi mengakui peranan penting hukum dalam menentukan sifat kejahatan. Baru
pada tahun 1977, Michalowski dalam Meier mengemukakan bahwa perspektif-perspektif
utama dalam menjelaskan hubungan hukum dengan masyarakat adalah ‘perspective
consensus’ (atau model consensus), ‘pluralis’ dan ‘conflict’. Masing-masing
mencerminkan prinsip-prinsip panduan dan nilai-nilai yang berbeda mengenai sifat
manusia dan masyarakat, dan menunjukkan arah berbeda pula bagi studi tentang
kejahatan.
Selanjutnya pendapat Hurwitz yang disadur oleh Moeljatno (1982) mengemukakan
tentang sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan dimulai dari factor biologis,
dimana penyelidikan kepribadian dan keturunan merupakan bagian penyelidikan yang
penting; sedangkan factor lainnya ditinjau dari sudut sosiologis dimana dikemukakan
bahwa factor lingkungan yang berpengaruh terhadap kepribadian pelaku criminal.
Paradigma dalam menyelesaikan persoalan yang berimbas pada pendapat para
ahli tentang terjadinya kejahatan atau factor-factor yang mendorong terjadinya kejahatan
ini penting dalam mengkaji persepsi dan sikap penegak hukum dalam menangani kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga. Persepsi dan sikap penegak hukum akan
ditentukan oleh pemaknaan yang berbeda tentng penyebab terjadinya kejahatan yang
tentunya juga berkembang sejalan dengan perkembangan paradigma pemikiran para ahli
hokum pada umumnya dan kriminologi khususnya.
Selanjutnya Moeljatno (1982) mengemukakan tentang ‘hidden criminality’ yang
sangat penting dalam mengkaji kekerasan dalam rumah tangga. ‘Hidden criminality’
diartikan sebagai kejahatan yang sungguh-sungguh dilakukan tapi tidak diketahui,
walaupun beberapa usaha sebenarnya telah dilakukan untuk mengetahui jumlah
sebenarnya dari kejahatan yang telah dijatuhi pidana, tetapi kebanyakan kejahatan
termasuk di dalamnya kekerasan dalam rumah tangga yang didapat hanyalah ‘dark
number’, sehingga sulit bagi peneliti untuk menentukan realitas yang terjadi untuk
meyakinkan sejauhmana bahaya dari model kejahatan tersebut bagi komunitas
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Selain penjelasan tentang pelaku kejahatan dan sebab-sebabnya, penegak hukum
dalam menangani kasus-kasus umum dan khususnya kasus-kasus kekerasan dalam
40

rumah tangga penting untuk dikaji pengetahuannya tentang keabnormalan seksual


pelaku. Hal yang demikian itu diprediksikan akan berimbas pada apakah seorang polisi
akan melanjutkan penyelidikan, penyidikan dan selanjutnya dilimpahkan ke kejaksaan
untuk dituntut dan lebih lanjut diproses di pengadilan ataukah dianggap sebagai
permasalahan dalam rumah tangga yang biasa dialami oleh banyak orang, yang
kemudian berimbas dengan tidak dilanjutkannya penanganan kasus tersebut dan akibat
lebih lanjut adalah semakin jauhnya antara realitas kejahatan yang terjadi dengan yang
tercatat. Jadi angka dark number-nya semakin besar.
Seringkali orang-orang dengan kelainan seksual digolongkan dalam group sexual
psychopaths. Namun ciri khas psikopati adalah defect (kerusakan) atau anomaly
(penyimpangan) dari seluruh perkembangan kepribadian atau menurut peristilahan Kurt
Schnieder dalam Moeljatno (1982), psikopat merupakan: kepribadian abnormal. Dan
keabnormalan seksual murni harus dipisahkan dari konsepsi psikopati sebagai bentuk
khas atau bentuk-bentuk abnormal yang tertentu tanpa batas-batas yang tajam. Ada
sementara ahli yang beranggapan bahwa secara praktis semua kriminalitas seksual
ditentukan secara patiologik sehingga keabnormalan seksual khusus merupakan bagian
dari hal tersebut, pendapat mana sesungguhnya berlebihan, mengingat sering terjadi
‘tidak adanya keabnormalan psikik di antara penjahat’.
Von Hentig dan Viernstein dalam Moeljatno (1982) yang menulis tentang
‘penyelidikan tentang incest’ pada tahun 1925 menemukan 2 golongan besar: (a)
golongan kasar; merupakan kejahatan rendah dengan campuran erotis; dan (b) golongan
seksual tidak mampu. Sedangkan Rattenhuber yang menemukan 6 golongan pokok,
antara lain: (1) yang ingin melakukan hubungan dengan anak di bawah 18 tahun; (2)
seksual abnormal; (3) pikun; (4) pemabok; (5) yang hidup tanpa tanpa ikatan (libertines);
(6) orang-orang yang melakukan kejahatan seksual sebagai ganti hubungan seks.
Selain penjahat dan sebab-sebab orang melakukan kejahatan, mengambil
keputusan untuk memberikan sanksi pida bagi orang yang melakukan perbuatan yang
dikategorikan telah melakukan kejahatan penting untuk diketahui oleh penegak hokum.
Persepsi dan sikap mereka terhadap hal ini sangat menentukan apakah pelaku akan
dihukum maksimal atau minimal, untuk menjaga ketertiban komunitas sekelilingnya
terutama korban.

2.2. Korban
Di Indonesia, kajian tentang korban tindak pidana belum banyak mendapat
perhatian dari berbagai kalangan, baik kalangan akademisi maupun kalangan
pemerintahan dan lembaga legislatif serta aparat penegak hukum. Hal tersebut dapat
dapat diketahui dari masih sangat minimnya tulisan-tulisan ilmiah, produk perundang-
undangan bahkan berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yang membahas dan memberikan perlindungan terhadap permasalahan korban
tindak pidana. Kurangnya perhatian yang diberikan terhadap permasalahan korban
tindak pidana dalam suatu proses pidana, dapat juga disebabkan atau mungkin lebih
tepat sebagai konsekuensi dari adanya berbagai pentahapan prioritas dalam menyoroti
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses pidana.
Dalam suatu fase kehidupan manusia, tidak ada pengalaman dalam
kehidupannya yang dapat disetarakan seramnya apabila berada didalam suatu fase
ancaman kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut dapat ditujukan kepada harta benda,
tetapi yang lebih fatal akibatnya apabila ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap
jiwa manusia dalam bentuk tindak pidana penganiayaan yang bisa mengakibatkan
korban mendertita. Dalam siatuasi yang demikian kerugian yang nampak bukan saja
41

dalam bentuk fisik, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang bahkan tidak dapat
dinilai dengan materi.
Walaupun peran korban dalam mewujudkan suatu tindak pidana penganiayaan
berat yang sedang menimpanya yang disebut oleh Schafer (1968: 66-68) sebagai
interpersonal relationship antara pelaku dan korbannya memang ada, maka tidaklah
bijaksana untuk menyatakan bahwa semua korban tindak pidana penganiayaan berat itu
adalah demikian adanya.
Kecenderungan umum yang mengatakan bahwa menjadi korban dari suatu
tindak pidana kekerasan adalah merupakan bagian dari korban yang telah baku dan
normal seperti dikemukakan oleh Reiff (1977: 4), maka selayaknaya tidak mempengaruhi
pendirian kita untuk memberi stigma lebih awal terhadap korban penganiayaan berat.
Terlihat disini betapa korban dari suatu kejahatan itu pada umumnya dan penganiayaan
berat pada khususnya mendapat simpati yang tulus dari anggota masyarakat.
Hubungan antara korban dan kejahatan yang menimpa seseorang dipandang
sebagai suatu hubungan hukum sipil daripada sesuatu yang harus dipecahkan oleh
hukum pidana. Stookey (1977:19) menulis, bahwa sudah basi dan sia-sia untuk
menyatakan bahwa korban adalah pihak yang terlupakan dalam peradilan pidana.
Selanjutnya dikemukakan bahwa para sarjana yang mencoba membahas tentang
peradilan pidana umumnya hanya memusatkan perhatian pada tersangka dan terdakwa.
Walaupun pembahasan itu terkait dengan peranan jaksa, polisi ataupun hakim, tetapi
pembahasannya selalu bertalian dengan bagaimana agar aparat dari birokrasi peradilan
pidana ini memperlakukan tersangka atau terdakwa dengan seadil mungkin.
Sistem peradilan pidana yang seharusnya menjadi wadah penyelamat dan
pemulihan penderitaan korban pada akhirnya memang harus diakui masih terlalu banyak
berorientasi pada pemulihan akibat negatif dari suatu tindak pidana yang melekat pada
pelakunya. Terlebih lagi apabila ditelaah lebih mendalam maka peraturan perundang-
undangan yang ada, seorang korban dari suatu tindak pidana yang menyerahkan
persoalannya kepada proses peradilan pidana untuk mendapatkan perlindungan, tidak
mustahil justru menambah penderitaannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Reiff
(1979) dengan post crime victimization.

2.3. Sistem Peradilan Pidana


Setelah membahas secara umum tentang bagaimana kedudukan korban dalam
sistem peradilan pidana, maka selanjutnya akan dikemukakan beberapa teori yang
terkait dengan pemidanaan. Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya
terbagi atas teori absolut yang menitikberatkan pada penjatuhan pidana semata-mata
karena orang yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum
est). Dengan demikian dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau
terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andanaes, tujuan utama (primair) dari
pidana menurut teori ini adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims
of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah tujuan
sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini kemudian mendapat dukungan dari
Immanuel Kant yang menjelaskan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan.
Teori yang kedua disebut dengan teori relatif yang mengemukakan bahwa
memberikan pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan.
Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai saran untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, teori ini disebut oleh J. Andenaes
sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defense). Disebut juga oleh
Nigel Walker, bahwa teori ini dikategorikan sebagai teori reduktif (the reductive point of
42

view), karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan.
Sholehuddin (2003) mengemukakan tentang ide dasar sanksi pidana dan
tindakan, serta bagaimana implementasinya dalam kebijakan legislasi (produk
perundang-undangan). Pokok permasalahannya studi dengan keseluruhan kaitannya itu,
membutuhkan sejumlah kerangka konsepsional yang perlu dirangkaikan menjadi satu
kesatuan untuk membentu mendeskripsikan dan menjelaskan keseluruhan pokok
permasalahan tersebut.
‘Double track system‘ merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum
pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain.
Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan sering
agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki berbedaan mendasar,
keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber dari ide
dasar: ‘mengapa diadakan pemidanaan’; sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide
dasar: ‘untuk apa diadakan pemidanaan itu’. Dengan perkataan lain, sanksi pidana
sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan
lebih bersifat antipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan
pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan
agar yang bersangkutan menjadi jera; sedangkan focus sanksi tindakan lebih terarah
pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
Jelas bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan).
Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan
pembinaan atau perawatan si pembuat.

2.4. Perspektif gender dalam kekerasan


Secara umum Kekerasan Terhadap Perempuan dapat dikategorikan menjadi
kekerasan di luar rumah tangga dan kekerasan di dalam rumah tangga. Sedangkan
kekerasan di luar rumah tangga dapat dibagi menjadi (1) kekerasan di tempat kerja yang
lebih menjurus kepada kekerasan dalam masalah perburuhan; (2) kekerasan di tempat
publik; (3) perdagangan perempuan dan anak.
Sampai tahun 1990, ketika para aktivis perempuan di Indonesia mulai bergerak
mengadvokasi pembenahan berbagai masalah tentang perempuan, walaupun masih
umum, gender, WID, WAD dan GAD; tapi pada tahun 1993 PBB telah mendeklarasikan
‘Penghapusan Terhadap Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan’. Sejak itu
para aktivis mulai mewacanakan kekurangan KUHP untuk melindungi korban
perempuan, terutama yang menjadi korban kejahatan kesusilaan. Setelah reformasi
terjadi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat semakin marak dan saat itulah advokasi
terhadap perubahan KUHP tambah gencar dilaksanakan dan mucul ide pembuatan UU
khusus, karena menunggu perubahan KUHP secara menyeluruh akan memakan waktu,
sedangkan korban semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Perjuangan ini mulai
lebih nyata pada tahun 1997, dimana draft undang-undang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga dibuat. Pertemuan untuk memperbaiki substansi undang-undang
terus menerus dilakukan, setiap hasil pertemuan dikonsultasikan ke public di hampir
seluruh provinsi yang ada. Jangkar PKTP (jaringan kerja penghapusan kekerasan
terhadap perempuan) merupakan organisasi swadaya masyarakat yang
memperjuangkan untuk disahkannya rancangan undang-undang tersebut. Perjuangan
yang susah payah ini tidak sia-sia, karena pada tahun 2004 rancangan undang-undang
disahkan.
43

Undang-undang Penghapusan KDRT ini dari sejarah pembuatannya merupakan


undang-undang yang dibuat dari inisiatif masyarakat, sehingga substansinya merupakan
gabungan dari pengalaman masyarakat, khususnya para pendamping korban dan korban
maupun para aparat penegak hukum, dan nilai-nilai dan norma-norma yang harus ada
berdasarkan teori-teori ilmu hukum, khususnya hukum pidana. Walaupun demikian
dalam proses pembahasannya di lembaga legislative dan eksekutif mengalami
pengurangan/pemotongan pasal-pasal yang cukup penting, antara lain tentang
kompensasi terhadap korban, kewajiban lembaga penegak hukum, biaya perlindungan
dari pemerintah. Betapapun undang-undang ini diharapkan dapat digunakan seoptimal
mungkin untuk melindungi korban dan mengurangi kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan yang terjadi karena adanya
ketimpangan kekuasaan dan usia (antara suami/laki-laki dan isteri/perempuan dan anak)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Fakih (1996: 12-17) dan ketimpangan gender. Hal
ini ditunjang dengan ‘data-base’ yang dikemukakan oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK
di Jakarta yang pada tahun 1999 mencatat ada 395 kasus; sedangakan Rifka Annisa
WCC di Yogyakarta mencatat 116 kasus pada tahun 1997 (Naskah Akademik Peraturan
Perundang-undangan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; tahun 2000).
Dari catatan dalam ‘data-base’ tersebut hampir keseluruhan korbannya perempuan dan
anak.
Selanjutnya menurut Fakih (1996) dikemukakan bahwa menganalisis KDRT
dengan berbagai analisis social tidak akan cukup, bila tidak diikuti dengan analisis
gender; yakni analisis kritis yang mempertajam analisis kritis yang ada. Pengungkapan
masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi
perlawanan atau resistensi baik dari kalangan laki-laki maupun dari perempuan sendiri.
Penyebab sikap tersebut adalah: (a) karena mempertanyakan status kaum perempuan
yang pada dasarnya adalah mempertanyakan system dan struktur yang telah mapan,
bahkan mempertanyakan posisis perempuan pada dasarnya menggoncang struktur dan
system ‘status quo’ tentang ketidakadilan tertua yang terjadi di masyarakat; (2) banyak
terjadi kesalahan-fahaman tentang mengatur masalah kaum perempuan harus
dipertanyakan; (3) kesulitan lain mendiskusikan masalah gender pada dasarnya
membahas tentang hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi yang menyangkut
dan melibatkan individu masing-masing; dan (4) menggugat privilege yang dimiliki dan
tengah dinikmati selama ini. Dengan demikian pemahaman terhadap konsep gender
sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan
antara kaum laki-laki dan perempuan hubungan kemanusiaan.

2.5. Sistem berjalannya hukum


Dalam pada itu kajian tentang sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman
(1977) merupakan teori yang mendasarkan pemikiran pada struktur, substansi dan kultur
dalam proses berjalannya sistem hukum. Selanjutnya Friedman mengemukakan bahwa
struktur merupakan suatu kerangka kerja tentang bagaimana institusi aparat penegak
hukum, seperti kepolisian, kejaksaan atau pengadilan diorganisasikan, berapa jumlah
seksi atau bagian yang menangani sesuatu hal. Apabila teori ini diterapkan pada
penelitian ini, maka struktur yang dimaksudkan adalah kerangka kerja dari dinas-dinas
yang dibebani untuk menyediakan dan menginformasikan atau institusi aparat penegak
hukum yang dalam penelitian juga hendak diteliti di lapangan.
Dasar pemikiran yang berikutnya dari Friedman (1977) adalah substansi yang
diartikan olehnya sebagai aturan nyata atau hukum positif yang digunakan oleh institusi
44

tersebut yang merupakan patron atau “kerangka batas” menurut von Benda-Beckman
(1983) dari setiap individu atau aktor-aktor yang ada di dalam institusi tersebut. Dasar
pemikiran Friedman (1977) selanjutnya adalah kultur atau budaya hukum yang lebih
lanjut diartikan sebagai ideologi, harapan dan opini tentang hukum. Dasar pemikiran
yang ketiga ini merupakan kunci dari berjalannya sistem hukum, yaitu bagaimana
substansi hukum yang berlaku dijalankan oleh struktur yang ada dan di dalam struktur
tersebut ada individu atau aktor-aktor yang dipengaruhi oleh budaya hukum yang terdiri
dari ideologi, harapan dan opininya terhadap substansi hukum yang berlaku.
Dalam pada itu Hikam (1990) mencoba untuk menelaah perspektif-perspektif
teoritis tentang kepatuhan dan perlawanan. Hikam mengemukakan tentang adanya dua
kecenderungan teoritis dalam literatur, pertama yang berusaha menjelaskan tentang
fenomena kepatuhan dan perlawanan dari pandangan mengenai otoritas moral sebagai
basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial; kedua yang sebagian besar dianut
oleh kaum strukturalisme yang mendasarkan penjelasannya pada adanya keharusan
struktural yang menentukan tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku individual, termasuk
kepatuhan atau perlawanannya terhadap kekuasaan. Namun pada bagian terakhir dari
tulisan Hikam (1990) ini menganjurkan tentang adanya proses dialektik dari struktur dan
agen serta kesadaran sebagai pendekatan untuk memahami proses kepatuhan sosial
dan perlawanan.
Apabila telaah teoritis dari Hikam ini diterapkan pada individu (Friedman, 1977)
atau agen (Hikam, 1990), maka dalam penelitian ini individu dapat dibagi menjadi dua
pihak, pihak yang satu adalah individu yang berperkara – terdiri dari pelaku dan
keluarganya serta korban dan keluarganya; sedangkan pihak lainnya adalah para
penegak hukum. Seluruh ‘stake-holder’ ini mempunyai ideologi, harapan dan opini yang
berbeda tentang substansi hukumnya. Hal ini menurut Hikam (1990) disebabkan oleh
kepatuhan dan perlawanannya masing-masing. Dari pihak penegak hukum, kepatuhan
dan perlawanannya dipengaruhi oleh struktur dari institusinya masing-masing;
sedangkan individu yang membutuhkan keadilan juga dipengaruhi oleh struktur sosial
yang ada di sekelilingnya. Hal ini tidak berarti bahwa individu yang ada di institusi
penegak hukum tidak terpengaruh oleh struktur sosial yang ada di masyarakat, tapi
pengaruh struktur sosial di tempat kerja lebih besar sehingga seringkali tindakannya
disesuaikan dengan struktur di tempat kerja tersebut; atau dengan perkataan lain dia
lebih punya kepatuhan terhadap struktur sosial yang ada di tempat kerjanya.

2.6. Persepsi
Kepatuhan dan perlawanan tehadap struktur social dapat diungkap lebih lanjut
dengan mencermati pendapat para ahli mengenai persepsi orang dalam menangkap
gejala sekelilingnya. Beberapa sarjana pada prinsipnya memberikan arti bahwa persepsi
merupakan respon terhadap stimuli dan atau obyek yang pernah ditangkap oleh panca
indra manusia dalam batas-batas sadarnya, dan kemudian menafsirkannya. Maskovitz
[1969] mengemukakan bahwa:
‘perception there is a global or wide range response to set a stimuli or set of
stimuli, a response which utilizes and integrates information beyond that contained
in the stimulus it self’.

Sedangkan Braca (1955) berpendapat bahwa persepsi merupakan reaksi yang


diorientasikan terhadap stimuli. Persepsi ditentukan oleh pengalaman sejarah dan sikap
45

penerima stimuli pada saat itu. Dari dua pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa
persepsi mencakup dua proses kerja yang saling berkaitan; pertama, menerima pesan
melalui penglihatan dan sentuhan alat indrawi, yang kedua, menafsirkan atau
menetapkan arti atas pesan (stimuli) tadi.
Pandangan lain dikemukakan oleh Berlyne, yang menjelaskan melalui teori
kognitif, dimana ada empat faktor yang perlu mendapatkan perhatian pada masalah
persepsi:1) hal-hal yang diamati dari sebuah rangsangan yang bervariasi tergantung
pada pola dari keseluruhan di mana rangsangan tersebut menjadi bagianya; 2) persepsi
bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu; 3) persepsi bervariasi
bergantung dari arah alat-alat inderawi; 4) persepsi cenderung kearah tertentu sesuai
dengan pengalaman dan kemampuan yang memberikan persepsi.
Sebagai suatu proses maka persepsi menurut Berrelson dan Steiner (1982)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: asumsi dasar yang berasal dari pengalaman
masa lalu, latar belakang budaya motivasi, suasana hati, dan sikap-sikap. Jadi individu
yang berasal dari limgkungan sosial budaya yang tidak sama, akan mempunyai persepsi
yang berbeda terhadap suatu fenomena yang sama.
Suatu yang perlu ditegaskan dalam pembahasan mengenai persepsi adalah
dalam perananya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sikap sekaligus perilaku.
Seperti apa yang dikemukakan oleh F.E. Kast (1970) yang berpendapat bahwa:
‘potential influences filter through personal attitudes via perception, cognition and
motivation’. Maksudnya adalah bahwa pengaruh yang potensial dalam menumbuhkan
sikap seseorang adalah melalui persepsi, kognisi dan motivasi. Sejalan dengan hal ini
Gibson (1950) menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku.
Oleh karena itu sikap berhubungan dengan persepsi kepribadian dan motifnya.
Dalam pembahasan yang lebih terinci, Chung dan Leon (1981) menggambarkan
proses persepsi seseorang sebagai berikut:

Gambar1: Proses persepsi seseorang

perceptual perceptual
input mechanism
perceptual
output:
selection interpretation *attitudes behavior
behavior *opinion
*feeling
object
events organization

Sumber: Megginson dan H. Chung (1981)

Selain itu Thoha (1983) menambahkan bahwa persepsi timbul karena adanya dua
factor, yakni: faktor internal dan faktor eksternal .faktor internal bergantung pada proses
pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan
tanggapan terhadap hasil yang dicapai. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan.
Kedua faktor ini mnimbulkan persepsi karena didahului oleh suatu proses yang dikenal
dengan komunikasi. Komunikasi timbul karena seseorang ingin menyampaikan informasi
kepada orang lain. Informasi ini dapat membuat orang lain sama pengertiannya dengan
pemberi informasi bisa pula tidak. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan
46

seseorang untuk memahami informasi untuk mengenal lingkunganya. Proses


pemahaman bisa melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, ataupun penciuman.
Sudah pula di kemukakan bahwa dalam proses komunikasi, pesan dari pelaku
yang memberi informasi tidak selalu sampai kepada yang diberi informasi sesuai dengan
yang mereka inginkan .adakalanya maksud pemberi tidak tersampaikan karena hal-hal
yang di luar kontrol mereka terjadi, yang kemudian ditangkap oleh penerima atau
sasaran komunikasi dimasukan ke wilayah internal dalam proses pemahaman
disesuaikan dengan sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan tanggapan terhadap hasil yang
dicapai menurut Thoha (1983) yang masih harus ditambah dengan pengalaman masing-
masing penerima komunikasi.
Dalam hal penegak hukum yang sedang menjalankan penegakan hukum dalam
penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga persepsi mereka tentang
pelaku kejahatan, pemberian sanksi, perlindungan terhadap korban yang kebanyakan
perempuan dan anak, hubungan antara pelaku dan korban berdasarkan struktur social di
masyarakat yang kebanyakan masih patriarkhi; merupakan dasar dari system
berjalannya hukum menurut Friedman (1977); sehingga proses terbentuknya persepsi
dan sikap yang diprediksikan akan berpengaruh dalam penegakan hukum sangat penting
untuk dikaji secara mendalam dalam upaya mencari model untuk memperbaiki proses
tersebut.
47

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. PARADIGMA PENELITIAN


Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme
yang memahami realitas sebagai suatu konstruksi sosial; dan kebenaran realitas bersifat
relatif, berlaku sesuai dengan konteks spesifik yang relevan oleh pelaku sosial.

3.2. JENIS PENELITIAN


Dengan paradigma yang demikian itu, maka konsep hukum yang digunakan
adalah konsep yang mengemukakan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan oleh
hakim secara konkrit yang tersistematisasi melalui proses yudisial, sehingga tipe
kajiannya adalah mengkaji perilaku hakim. Penelitian ini dilakukan untuk menguji
(mengecek) apakah substansi hukum yang baru disahkan oleh yang berwenang dan
spesifik itu (UU Penghapusan KDRT) sudah diimplementasikan oleh penegak hukum di
Jawa Timur, sebagai upaya law enforcement dalam mencapai keadilan. Keadilan dapat
tercipta bila semua pihak baik negara (baca pemerintah), masyarakat, termasuk para
penegak hukum memiliki persepsi dan sikap kesetaraan dan keadilan jender (Sumiarni,
E. 2004). Oleh karena itu jenis penelitian empiris akan dilakukan.

3.3. LOKASI PENELITIAN


Penelitian ini akan dilakukan di Jawa Timur dengan mengambil sample lokasi
yang dibagi menjadi 3 area: (1) wilayah pantai utara Jawa yang diwakili oleh Kabupaten
Pamekasan dan Kota Surabaya; (2) wilayah ‘kulonan’ yang diwakili oleh Kabupaten
Ponorogo dan Kabupaten Tulungagung; (3) wilayah ‘wetanan’ yang diwakili oleh
Kabupaten Jember dan Bondowoso. Alasan pemilihan kabupaten dan kota tersebut
adalah: (a) karena hasil penelitian Hilmy, dkk. (2005) menunjukkan bahwa kasus-kasus
yang korbannya perempuan dan anak ada di daerah tersebut; (b) wilayahnya dibagi
berdasarkan geografi yang berbeda, pantai utara Jawa kebanyakan merupakan daerah
pesisir yang dihuni oleh para santri, kulonan kebanyakan merupakan daerah
pegunungan berlahan kering dan dihuni oleh masyarakat matraman dan daerah wetanan
merupakan daerah yang kebanyakan dihuni oleh campuran antara etnis Madura dan
Jawa.

3.4. VARIABEL
Variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Pendidikan formal
b. Pelatihan: gender
kekerasan terhadap perempuan
c. Umur
d. Jenis kelamin
e. Pengalaman dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT
f. Pengetahuan: gender
kekerasan terhadap perempuan
KDRT
kriminologi – pelaku KDRT
victimologi – korban KDRT
penologi – pelaku KDRT
g. Pemahaman: gender
48

kekerasan terhadap perempuan


KDRT
kriminologi – pelaku KDRT
victimologi – korban KDRT
penologi – pelaku KDRT
h. Sikap: gender
kekerasan terhadap perempuan
KDRT
kriminologi – pelaku KDRT
victimologi – korban KDRT
penologi – pelaku KDRT
i. Perilaku dalam pengambilan keputusan – pemberian dasar hukum pada kasus KDRT
j. Kendala yang dihadapi
k. Upaya yang telah dilakukan
l. Harapan

3.5. DATA YANG DIGUNAKAN


Data primer akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.
3.4.1. Data primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data tentang pengetahuan, persepsi,
sikap, dan perilaku penegak hukum dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga beserta harapan-harapan mereka dalam upaya optimalisasi
penegakan UU Penghapusan KDRT.
3.4.2. Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah ketentuan undang-undang yang terdiri
dari: (1) KUHP, UU Penghapusan KDRT, dan KUHAP; (2) BAP dan Putusan Hakim yang
belum dan/atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap tentang kasus-kasus KDRT; serta
(3) pemberitaan media massa tentang kasus-kasus KDRT.

3.6. POPULASI DAN SAMPEL


Populasi dalam penelitian ini adalah semua penegak hukum yang terdiri dari polisi,
jaksa dan hakim di Jawa Timur. Adapun sampelnya diambil secara purposive, yaitu
polisi, jaksa dan hakim yang ada di daerah yang telah ditentukan dan pernah menangani
kasus kekerasan dalam rumah tangga setelah bulan Oktober tahun 2004 (UU
Penghapusan KDRT disahkan pada bulan September 2004).
Untuk mengecek perilaku penegak hukum tersebut diperlukan informan yang
merupakan ‘stake-holders’ dalam proses penyelesaian kasus-kasus KDRT, yakni:
pengacara, pendamping korban, korban, pelaku, keluarga mereka. Para stake-holders ini
berinteraksi satu dengan lainnya dalam proses, sehingga diprediksikan berpengaruh
terhadap persepsi dan sikap penegak hukum yang bersangkutan

3.7. TEKNIK PENGAMBILAN DATA


Teknik pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengadakan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner untuk hakim dalam
ketika melakukan "Try-out modul trafiking oleh hakim di Jawa Timur", juga wawancara
awal untuk mengetahui pengetahuan, pemahaman dan sikap penegak hukum yang
terdiri dari polisi, jaksa dan hakim di wilayah pengadilan negeri yang telah ditentukan.
49

Tahap berikutnya wawancara bebas yang menggunakan ‘interview-guide’


dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mendorong penegak
hukum menggunakan dasar hukum tersebut beserta upaya mereka dalam menghapus
kekerasan dalam rumah tangga secara "emik" (berdasarkan keinginan responden).
Sedangkan data sekunder: (1) tentang peraturan (KUHP, KUHAP dan UU
Penghapusan KDRT) didapatkan dengan mengcopy dari Pusat Dokumentasi dan
Informasi Hukum Universitas Brawijaya; (2) tentang Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
didapat dengan mencatatnya dari kepolisian; (3) berkas penuntutan dicatat dari
kejaksaan; dan (4) berkas perkara proses peradilan didapat dari pengadilan yang
bersangkutan.

3.8. TEKNIK ANALISIS DATA


Data primer yang dihasilkan akan oleh dengan tahapan sebagai berikut: pertama-
tama data hasil wawancara bebas akan direduksi dahulu dengan membuang informasi
yang tidak berkaitan dengan masalah yang diteliti; selanjutnya data yang sudah tereduksi
akan dianalisis dengan ‘content analysis’ dengan teknik analisis ‘latent’ maupun
‘manifest’. Untuk mendeskripsikan informasi dan interaksi para ‘stake-holders’ teknik
triangulasi data akan digunakan.
Pengujian dalam penelitian tidak didasarkan pada konsep statistic (Pudjirahardjo;
1992), melainkan atas dasar teknik pengujian ‘comparative analysis’ dan ‘rationalization’;
dimana persepsi penegak hukum di ketiga wilayah akan dibandingkan dan disimpulkan
berdasarkan interpretasi dengan teknik ‘latent’ dan ‘manifest’ tersebut.
Data sekunder tentang peraturan perundangan akan diinterpretasikan dengan
teknik interpretasi gramatikal, formal dan kontekstual progresif. Dokumen hukum yang
terdiri dari BAP dan berkas-berkas penuntutan dan perkara akan dianalisis dengan
‘content-analysis’ juga dengan menggunakan teknik ‘latent’ maupun ‘manifest’.

3.9. Hasil yang diharapkan


Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: (1) adanya upaya-upaya konkrit
penegakan hukum yang berwujud model tentang peningkatan sensitivitas penegak
hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga; (2) draft modul
peningkatan sensitivitas penegak hukum dalam penanganan kasu-kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang menggunakan UU Penghapusan KDRT secara
optimal.
Sedangkan rencana jurnal tempat publikasi hasil penelitian adalah: Jurnal
Perempuan.
50

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam mendeskripsikan hasil penelitian tentang persepsi dan sikap penegak


hukum pertama-tama dideskripsikan dahulu tentang identitas responden yang
ditampilkan dalam tabel dengan menampilkan dalam kolom-kolom. Kolom pertama
mengenai identitas seluruh responden (polisi, jaksa dan hakim dijumlah), kemudian
kolom kedua identitas kepolisian, kolom ketiga kejaksaan dan terakhir pengadilan
(hakim). Analisis dari penelitian ini dibadingkan antara responden seluruh penegak
hukum dan dari ketiga instansi tersebut.
Setelah identitas ditelaah tentang persepsi para penegak hukum dengan
menampilkan tabel yang sama modelnya. Baru setelah itu dianalisis data sekunder yang
didapat dari ketiga instansi tersebut untuk membahas dasar hukum yang digunakan oleh
penegak hukum di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Bagian berikutnya dianalisis
tentang faktor-faktor yang mendorong para penegak hukum menggunakan dasar hukum
sebagaimana yang tercantum dalam data sekunder tersebut. Terakhir dideskripsikan dan
dianalisis upaya-upaya konkrit yang dilakukan untuk menegakkan penghapusan KDRT
menurut pendapat penegak hukum.

4.1. IDENTITAS
Dalam mendeskripsikan identitas penegak hukum yang menjadi responden dalam
penelitian, pertama-tama akan dideskripsikan umur mereka, berikutnya jenis kelamin,
kemudian berturut-turut pendidikan, lama kerja, pengalaman kerja di instansinya masing-
masing, pengalaman pelatihan di dalam maupun di luar instansinya.

Tabel 1: Identitas penegak hukum


IDENTITAS PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
UMUR DLM TAHUN n % n % n % n %
Di bawah 30 4 6,6 4 16,7 0 0,0 0 0,0
31-40 23 37,7 10 41,7 11 61,1 2 10,5
41-50 30 49,2 10 41,7 6 33,3 14 73,7
50 lebih 4 6,6 0 0,0 1 5,6 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

JENIS KELAMIN
Perempuan 18 29,5 9 37,5 3 16,7 6 31,6
Laki-laki 43 70,5 15 62,5 15 83,3 13 68,4
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Pendidikan
SMA 19 31,1 19 79,2 0 0,0 0 0,0
S1 33 54,1 5 20,8 14 77,8 14 73,7
S2 9 14,8 0 0,0 4 22,2 5 26,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

LAMA KERJA
Di bawah 10 tahun 12 19,7 4 16,7 7 38,9 1 5,3
10-15 16 26,2 7 29,2 4 22,2 5 26,3
16-20 16 26,2 5 20,8 3 16,7 8 42,1
21-25 14 23,0 6 25,0 3 16,7 5 26,3
25 lebih 3 4,9 2 8,3 1 5,6 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
51

PENGALAMAN DI INSTANSI
1-2 kali 11 18,0 8 33,3 3 16,7 0 0,0
3-4 kali 34 55,8 11 45,8 11 61,1 12 63,2
5 kali lebih 16 26,2 5 20,9 4 22,2 7 36,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

PELATIHAN DI INSTANSI
1-2 kali 53 86,9 20 83,3 17 94,4 16 84,2
3-4 kali 8 13,1 4 16,7 1 5,6 3 15,8
5 kali lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

PELATIHAN DI LUAR
1-2 kali 49 80,3 21 87,5 14 73,8 14 73,7
3-4 kali 8 13,1 2 8,3 3 16,7 3 15,8
5 kali lebih 4 6,6 1 4,2 1 5,6 2 10,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

4.1.1. Umur
Rata-rata umur responden adalah 40,9 tahun, dengan minimum umur 25 tahun
dan maksimal 56 tahun. Apabila dirinci lebih lanjut, maka yang terbesar persentasenya
adalah yang berumur antara 41-50 tahun, yakni setengah dari seluruh jumlah penegak
hukum, ranking keduanya adalah penegak hukum yang berumur 31-40 tahun, yakni
37,7%, sisanya ada di kategori umur muda (di bawah 30 tahun) dan tua (di atas 50
tahun). Dari kategori umur para penegak hukum ini dapat dirinci berdasarkan instansi
masing-masing sebagai berikut:
Kepolisian punya pola yang hampir sama dengan seluruh penegak hukum,
yakni kebanyakan ada di kategori umur 31-40 tahun dan 41-50 tahun (masing-masing
41,7%), sisanya ada di kategori umur di bawah 30 tahun. Hanya saja bedanya pada
instansi kepolisian tidak terdapat polisi yang berusia 50 tahun lebih. Berbeda dengan
kepolisian, instansi kejaksaan tidak terambil responden yang berumur kurang dari 30
tahun, kategori 31-40 tahun terbesar persentasenya, yakni 61,1% dan 33,3% pada
kategori umur 41-50 tahun. Yang terkecil persentasenya adalah jaksa yang berumur 50
tahun lebih, yakni hanya seorang saja. Terakhir, di pengadilan, hampir sama polanya
dengan kejaksaan. Tidak ada hakim yang berumur kurang dari 30 tahun, tapi yang
terbesar persentasenya bukan hakim yang berumur 31-40 tahun melainkan yang
berumur 41-50 tahun, yakni 73,7%, baru yang berumur lebih dari 50 tahun sebesar
15,8% dan terakhir 10,5% untuk yang berumur 31-40 tahun.
Dengan deskripsi yang demikian ini, maka dapat disimpulkan bahwa instansi
kepolisian yang rata-ratanya paling muda, kemudian diikuti dengan kejaksaan dan
terakhir, pengadilan atau hakimnya.

4.1.2. Jenis Kelamin


Setelah umur, tabel yang ada menampilkan jenis kelamin responden. Secara
keseluruhan, jumlah penegak hukum yang terambil menjadi responden dalam penelitian
ini jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin perempuan.
Perbandingannya perempuan hanya terambil setengah dari laki-laki. Dari ketiga instansi,
kejaksaan yang terkecil jumlah responden perempuannya, yakni hanya 3 orang atau
16,7%. Sedangkan instansi kepolisian, penegak hukum yang berjenis kelamin
perempuan terambil sebagai responden terbanyak, yakni 37,5%, dan instansi
52

pengadilan, ada 31,6% responden yang berjenis kelamin perempuan. Kesimpulan dari
deskripsi ini adalah kepolisian yang terbanyak perempuannya, disusul dengan hakim dan
terakhir jaksa. Hal ini dapat dimengerti karena di hampir seluruh kabupaten atau kota di
Jawa Timur ada Ruang Penanganan Khusus (RPK) yang digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang korbannya perempuan dan anak. Dengan program
yang demikian ini, kebanyakan yang menjadi personil di RPK kebanyakan adalah
perempuan, sehingga wajar kalau yang terambil sebagai responden perempuan

4.1.3. Pendidikan
Pendidikan penegak hukum yang dimaksud adalah pendidikan formal yang
ternyata dari data yang ada di tabel, mulai dari SMA, S1 atau Akademi yang
dikategorikan sama dengan S1 dan S2. Hanya di instansi kepolisian yang berpendidikan
SMA, sedangkan di instansi kejaksaan dan hakim tidak, semua yang masuk menjadi
jaksa dan hakim harus lulus S1 dari Fakultas Hukum.
Secara keseluruhan, penegak hukum yang S1 yang persentasenya terbesar,
yakni setengah lebih, kemudian disusul dengan yang berpendidikan SMA sebesar 31,1%
dan terakhir, yang berpendidikan S2 sebesar 14,8%. Dari variasi yang demikian itu, di
instansi kepolisian dapat dideskripsikan sebagai berikut: (1) 31,1% berpendidikan SMA;
(2) 54,1% berpendidikan S1 dan (3) sisanya sebesar 14,8% berpendidikan S2.
Sedangkan untuk instansi kejaksaan dan pengadilan, punya pola yang sama, besar
persentasenya di S1 (77,8% jaksa; 73,7% hakim) dan sedikit di S2 (22,2% jaksa; 26,3%
hakim).
Dengan deskripsi yang demikian ini, nampaknya kepolisian cukup besar
persentasenya yang tidak dididik di fakultas hukum. Pada hal menurut sistem peradilan
pidana, instansi kepolisian adalah instansi terdepan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pidana umumnya dan kasus-kasus KDRT khususnya. Walaupun pelatihan untuk
menjalankan tugasnya selalu dilakukan, tetapi tetap tidak banyak yang dapat memahami
teori-teori tentang kriminologi, victimologi, penologi; kecuali untuk responden yang
melanjutkan kuliah S1 setelah menjadi polisi, jadi kerja sambil kuliah. Sisanya 5 orang
atau 20,8% berpendidikan S1.

4.1.4. Lama Kerja


Untuk variabel lama kerja para penegak hukum, kebanyakan ada di 10-25
tahun, dengan rincian sebagai berikut: (1) yang bekerja antara 10-15 tahun, sebesar
26,6%; (2) demikian pula yang bekerja selama 16-20 tahun; (3) 23,0% yang bekerja
antara 21-25 tahun; (4) 19,7% yang bekerja di bawah 10 tahun dan (5) hanya 4,9% yang
bekerja selama lebih dari 26 tahun.
Pada masing-masing instansi rinciannya adalah: kepolisian yang terbesar ada
pada lama kerja antara 10-15 tahun, yakni sebesar 29,2%, yang mempunyai masa kerja
21-25 tahun ada pada ranking berikutnya, besarnya 25%. Setelah itu berturut-turut 20,8%
untuk yang lama kerjanya 16-20 tahun; kemudian di bawah 10 tahun sebesar 16,7% dan
paling kecil persentasenya, yakni 8.3% yang bekerja selama 25 tahun lebih. Sedangkan
instansi kejaksaan yang terbesar justru ada pada lama kerja di bawah 10 tahun (38,9%),
baru kemudian berturut-turut yang bekerja antara 10-15 tahun dan 16-25 tahun, dan
hanya satu orang yang bekerja 26 tahun lebih. Terakhir, instansi pengadilan, yang
terbanyak ada pada hakim yang bekerja selama 16-20 tahun (42,1%); kemudian yang
bekerja antara 10-15 tahun dan 21-25 tahun persentasenya sama (26,3%); hanya satu
yang bekerja di bawah 10 tahun dan tidak ada yang bekerja lebih dari 25 tahun.
53

Dengan rincian yang demikian itu dapat disimpulkan bahwa kepolisian dan
kejaksaan ada responden yang telah punya pengalaman kerja selama lebih dari 25
tahun. Tapi kebanyakan mereka telah bekerja antara 10-25 tahun.

4.1.5. Pengalaman di instansinya masing-masing


Pada dasarnya kebanyakan seseorang yang punya banyak pengalaman, dapat
menyelesaikan tugasnya dengan lebih mudah, walaupun ada juga pengaruh dari
persepsi, sikap orang tersebut pada masalah yang lagi diselesaikan. Demikian pula pada
penegak hukum. Bagaimanapun menjadi penting untuk mendeskripsikan pengalaman
para penegak hukum secara keseluruhan dan di masing-masing instansinya.
Secara keseluruhan, lebih dari setengahnya pernah dipindah tugas 3-4 kali,
sisanya seperempat lebih dipindah sebanyak 5 kali lebih, bahkan ada yang sampai 8 kali
pindah tugas selama masa kerjanya. Hanya kurang dari seperlimanya yang dipindah
sebanyak 1-2 kali. Dengan deskripsi yang demikian ini maka responden yang terambil
dalam penelitian ini tiga perempatnya punya pengalaman di berbagai kota dan bagian
tugasnya, sehingga dapat disimpulkan pengalaman mereka cukup banyak, walaupun
ketika dicermati pengalaman dalam bidang kekerasan terhadap perempuan memang
baru sekitar 2-3 tahun belakangan, karena program penghapusan kekerasan terhadap
perempuan ini memang baru digalakkan pada tahun-tahun itu.
Pada masing-masing instansi polanya tidak jauh berbeda pada kesimpulan
yang umum, hanya saja instansi pengadilan, para hakim hampir dua pertiga yang punya
pengalaman dipindah tugas 3-4 kali dan sisanya justru yang pindah tugas sebanyak 5
kali lebih, dan tidak satupun yang pindah tugas hanya 1-2 kali. Jadi hakimlah yang paling
sering pindah tugas.

4.1.6. Pelatihan
Pelatihan yang diambil datanya adalah pelatihan yang dilaksanakan di dalam
instansinya dan di luar instansinya. Masing-masing data yang didapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Pelatihan yang dilakukan di dalam instansinya yang terbesar persentasenya
ada pada pelatihan yang dilakukan 1-2 kali saja, yakni 86,9%, sisanya punya
pengalaman lebih dari 3-4 kali hanya 13,1%. Apabila dilihat pada masing-masing
instansinya, punya pola yang sama.
Untuk pelatihan yang dilakukan oleh lembaga lain di luar instansinya, polanya
juga tidak jauh berbeda, hanya saja, ada penegak hukum yang punya pengalaman lebih
dari 5 kali, demikian pula di instansi masing-masing, polanya sama, variasinya ada pada
besar persentasenya.

4.2. PERSPEKTIF GENDER PENEGAK HUKUM


Dalam membahas perspektif gender, pertama-tama dikemukakan tentang
persepsinya, baru kemudian ditelusuri proses pembentukan persepsi tersebut dengan
mulai dari pengetahuannya dan pemahamannya dan selanjutnya dideskripsikan tentang
sikapnya.

4.2.1. Persepsi penegak hukum tentang gender


Bagi sebagian penegak hukum, gender merupakan suatu permasalahan yang
hanya membela dan mengutamakan kaum perempuan, padahal pada kenyataannya
54

gender adalah suatu konsep yang menginginkan adanya suatu kesetaraan hak antara
perempuan dan laki-laki dalam hukum, terutama dalam perlindungan korban.

Tabel 2 : Persepsi Responden tentang gender


Persepsi PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
n % n % n % n %
1. tidak setuju, karena terlalu membela 3 4,9 2 8,3 1 5,6 0 0,0
perempuan
2. merupakan informasi baru 3 4,9 1 4,2 1 5,6 1 5,3
3. dapat mengubah persepsi 8 13,1 4 16,7 2 11,1 2 10,6
4. penting untuk pekerjaannya 17 27,9 5 20,8 4 22,2 8 42,1
5. tidak menjawab 30 49,2 12 50,0 10 55,6 8 42,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber: Data primer, 2005

Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa 4,9 % responden penegak hukum tidak setuju
mengenai konsep gender karena dianggap terlalu membela perempuan. Bagi sebagian
penegak hukum yaitu sebanyak 4,9%, gender merupakan suatu informasi baru. Ternyata
13,1% penegak hukum dapat mengubah persepsinya tentang gender setelah mendapat
informasi mengenai kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam gender. Hal tersebut
juga menjadikan 27,9 % responden menganggap penting pengetahuan gender tersebut
untuk pekerjaan mereka. Sedangkan sebanyak 49,2% responden tidak menjawab
tentang pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai gender.

4.2.2. Pengetahuan penegak hukum tentang gender


Sosialisasi gender merupakan program yang gencar dilakukan oleh berbagai
pihak pada pertengahan dekade 1980-an. Perguruan Tinggi merupakan institusi pertama
yang dikenalkan oleh program-program kerjasama dengan Perguruan Tinggi di luar
Indonesia. Dari Perguruan Tinggi di Indonesia muncul pusat-pusat studi perempuan yang
kemudian mensosialisasikan kembali kepada berbagai pihak di Indonesia. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM merupakan institusi pioner berikutnya yang nantinya juga
melakukan hal yang sama dengan Perguruan Tinggi. Dari kedua institusi tersebut
pemerintah dari eksekutif, legislatif dan yudikatif mendapatkan program pengenalan
gender dan seluruh implikasinya. Selain itu masyarakat, tokoh masyarakat maupun tokoh
agama mendapatkan giliran juga. Dengan keadaan yang demikian ini tidak heran kalau
persentase responden yang mendengar dan mengetahu terminologi gender cukup besar
persentasenya. Untuk mendeskripsikan tentang stimuli gender, tabel berikut
menampilkannya:

Tabel 3: Pengetahuan penegak hukum tentang gender


Gender PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Tahu tentang gender n % n % n % n %
1. belum pernah 6 9,8 5 20,8 1 5,6 0 0,0
2. pernah 55 90,2 19 79,2 17 94,4 19 100,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
55

Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. media 19 31,1 5 20,8 7 38,9 7 36,8
2. seminar 9 14,8 2 8,3 3 16,7 4 21,1
3. pelatihan, workshop 7 11,5 4 16,7 2 11,1 1 5,3
4. dari instansinya masing-masing 6 9,8 5 20,8 1 5,6 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 9 14,8 0 0,0 2 11,1 6 31,6
6. dari kuliah 3 4,9 1 4,2 1 5,6 1 5,3
7. tidak menjawab 8 13,1 6 25,0 2 11,1 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 32 52,5 13 54,2 11 61,1 8 42,1
2. punya 29 47,5 11 45,8 7 38,9 11 57,9
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Asal dari buku/makalah n % n % n % n %


1. instansi 10 16,4 8 33,3 2 11,1 0 0,0
2. LSM, Perguruan Tinggi 6 9,8 1 4,2 2 11,1 3 15,8
3. beli 18 29,5 6 25,0 4 22,2 8 42,1
4. tidak menjawab 27 44,3 9 37,5 10 55,6 8 42,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Bagian pertama dalam tabel menunjukkan bahwa 90% responden menyatakan


bahwa mereka telah mendegar dan mengetahui gender. Dari 90% dari seluruh
responden, apabila dirinci berdasarkan instansi masing-masing, maka jumlah persentase
yang cukup besar yang belum mengetahui ada pada instansi kepolisian, ranking
berikutnya kejaksaan dan ranking terkecil ada pada hakim.
Data yang berpola seperti itu apabila dirunut lebih lanjut tentang sumber
pengetahuan yang didapatkan oleh responden adalah kebanyakan dari media, sekitar
sepertiganya. Setelah media sumber berikutnya adalah dari seminar, pelatihan dan
workshop serta membaca buku. Sisanya dari instansinya masing-masing dan dari kuliah.
Pola yang sama ada pada instansi kepolisian, hanya saja pada kepolisian ini ada
persentase besar (20,8%) yang sumber pengetahuan itu dari instansinya sendiri, yang di
kejaksaan hanya 5,6% dan pengadilan sama sekali tidak didapatkan. Hal yang demikian
ini wajar karena peneliti mendapat informasi dari beberapa Program Officer (PO) para
donor internasional bahwa beberapa dari mereka punya program kerjasama dengan
POLRI untuk melatih para polisi dalam penanganan kasus-kasus narkoba, money
laundring, lingkungan dan tidak ketinggalan pula trafficking yang didalamnya sering
dimuat sesi tentang gender (Hana, Nusya; 2005). IOM, ICITEP merupakan lembaga-
lembaga internasional yang mempunyai program peningkatan kemampuan polisi untuk
menangani kasus-kasus trafficking di Indonesia.
Dalam pada itu instansi kejaksaan persentase terbesarnya ada pada media dan
seminar, demikian pula untuk para hakim. Untuk sumber pengetahuan dari pelatihan atau
workshop persentasenya lebih kecil bila dibandingkan dengan kepolisian. Menurut
Daminus, Eko (2005), baru pada awal tahun 2005 instansi kejaksaan melakukan
kerjasama dengan IOM seperti yang dilakukan oleh kepolisian. Dan Pengadilan akan
menyusul pada awal tahun 2006 yang akan datang.
Berikutnya, ditanyakan kepada responden apakah mereka memiliki buku atau
makalah tentang gender, maka jawaban mereka menunjukkan bahwa pada dasarnya
jumlah yang menyatakan punya lebih kecil dari yang tidak punya, walaupun selisihnya
tidak terlalu besar, hanya 5%. Pola yang sama ada pada instansi kepolisian, hanya
56

selisihnya lebih besar, yaitu sekitar 10%, lebih besar lagi kejaksaan (22,2%). Berbeda
dengan kepolisian dan kejaksaan, hakim ternyata yang memiliki buku atau makalah
jumlahnya lebih besar dari yang tidak mempunyai (yang punya 57,9%). Yang menarik
adalah data tentang dari mana buku atau makalah itu didapat, maka persentase terbesar
ada pada membeli (29,5%), berikutnya didapat dari instansinya (16,4%) dan terkecil
didapat dari LSM atau Perguruan Tinggi (9,8%). Pola yang ada pada seluruh penegak
hukum ini diikuti pada instansi kepolisian, walaupun persentase terbesarnya bukan ada
pada yang membeli melainkan ada pada “didapat dari instansinya sendiri”, sedangkan
pada instansi kejaksaan dan pengadilan persentase terbesar ada pada kategori membeli.
Dari deskripsi data yang demikian itu dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian
besar responden telah pernah mendengar dan tahu tentang gender. Pengetahuan ini
mereka dapatkan dari media, seminar, pelatihan atau workshop dan membaca buku.
Kepolisian sebagian besar mendapatkan pengetahuan dari media, seminar, pelatihan
dan workshop, sedangkan kejaksaan medapatkan pengetahuan dari media dan hakim
mendapatkan pengetahuannya dari media dan membaca buku yang mereka beli.

4.2.3. Pemahaman penegak hukum tentang seks dan gender


Setelah mendeskripsikan dan menganalisis tentang pengetahuan penegak hukum
tentang gender, maka selanjutnya dipertanyakan tentang pemahaman mereka. Untuk
mendapatkan data tentang pemahaman mereka, maka ada beberapa pertanyaan
tentang apa yang dilakukan oleh perempuan dan apa yang dilakukan oleh laki-laki. Untuk
perempuan dipertanyakan tentang: bisa hamil, sel telur, lemah, berpikir dengan
perasaannya dan memasak; jawabannya apakah hal itu merupakan kodrat atau gender.
Pada laki-laki yang dipertanyakan: pemimpin, pencari nafkah, sperma, kuat dan selalu
menggunakan rasionya; pilihan jawabannya juga sama: kodrat atau gender. Tabel 10
menampilkan data tentang benar tidaknya jawaban responden yang hal itu menunjukkan
tingkat pemahaman mereka tentang gender.

Tabel 4: Pemahaman penegak hukum tentang seks dan gender


Pemahaman PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Seks & gender bagi perempuan n % n % n % n %
Dari 5 pertanyaan salah semua 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
Betul satu 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
Betul dua 7 11,5 2 8,3 3 16,7 2 10,5
Betul tiga 12 19,7 3 12,5 4 22,2 5 26,3
Betul empat 18 29,5 7 29,2 8 44,4 3 15,8
Betul semua 17 27,9 9 37,5 2 11,1 6 31,6
Tidak menjawab 5 8,2 2 8,3 0 0,0 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Seks & gender bg laki-laki n % n % n % n %


Dari 5 pertanyaan salah semua 3 4,9 2 8,3 1 5,6 0 0,0
Betul satu 6 9,8 2 8,3 0 0,0 4 21,1
Betul dua 7 11,5 2 8,3 5 27,8 0 0,0
Betul tiga 14 23,0 4 16,7 5 27,8 5 26,3
Betul empat 12 19,7 4 16,7 4 22,2 4 21,1
Betul semua 14 23,0 8 33,3 3 16,7 3 15,8
Tidak menjawab 5 8,2 2 8,3 0 0,0 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005
57

Data yang ada pada tabel menunjukkan bahwa responden secara keseluruhan
85% telah memilih jawaban yang benar antara 3-5, untuk pilihan jawaban perempuan
dan sekitar 75% untuk pilihan jawaban laki-laki. Pencermatan lebih lanjut menunjukkan
bahwa jawaban responden untuk pertanyaan apakah sel telur dan bisa hamil itu kodrat,
hampir seluruhnya benar, demikian pula untuk sperma bagi laki-laki. Jawaban yang
kadang-kadang salah adalah pilihan jawaban untuk pertanyaan lemah, berpikir dengan
perasaannya dan memasak bagi perempuan dan pemimpin, pencari nafkah, selalu
menggunakan rasionya dan kuat bagi laki-laki. Pada masing-masing instansi pola
persentasenya juga tidak jauh berbeda, kebanyakan responden menjawab benar antara
3-5.

4.2.4. Sikap penegak hukum


Dalam hal sikap, maka data yang diambil dalam penelitian ini adalah (1) sikap
responden terhadap buku atau makalah yang mengemukakan tentang gender; (2)
pernyataan tentang apabila biaya terbatas, maka yang disekolahkan anak perempuan;
pernyataan tentang keharusan istri di rumah walaupun dia punya ijasah perguruan tinggi.
Tabel berikut mengemukakan hal itu:

Tabel 5: Sikap penegak hukum tentang gender, pendidikan bagi anak dan kewajiban istri
Sikap PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Pendidikan bagi anak n % n % n % n %
1. setuju 10 16,4 5 20,8 2 11,1 3 15,8
2. tidak setuju 51 83,6 19 79,2 16 88,9 16 84,2
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kewajiban istri n % n % n % n %
1. setuju 4 6,6 3 12,5 0 0,0 1 5,3
2. tidak setuju 57 93,4 21 87,5 18 100,0 18 94,7
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Dari pernyataan tentang mendahulukan pendidikan anak perempuan bila biaya


terbatas, maka sikap seluruh responden 83,6% tidak setuju dan hanya 16,4% yang
setuju, masing-masing instansi juga tidak berbeda polanya. Sedangkan pernyataan istri
harus di rumah untuk merawat anak, memasak, mencuci walaupun dia mempunyai ijasah
perguruan tinggi yang tidak setuju jumlahnya lebih besar lagi, yakni 90% lebih. Pola
masing-masing instansi juga hampir sama, hanya instansi kepolisian yang persentase
yang setuju lebih besar (12,5%), bahkan kejaksaan seluruhnya tidak setuju.

4.3. PERSEPSI DAN SIKAP PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KDRT
Dengan hasil analisis tentang perspektif gender aparat penegak hukum
sebagaimana yang dikemukakan pada bagian sebelumnya (4.1.), yakni bahwa mereka
kebanyakan setuju dengan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun
dari kebanyakan yang setuju itu hanya setengahnya yang berpersepsi bahwa pelaku
KDRT dihukum dan penghukuman ini akan bermanfaat untuk menyelesaikan kasus.
Sisanya tidak menjawab (ini jumlahnya cukup besar) dan tidak setuju karena menurutnya
KDRT itu hanya merupakan problem keluarga saja. Persepsi yang demikian itu
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengalaman kehidupan mereka dari kecil
hingga sekarang, ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman yang masuk dalam
58

pikiran mereka, serta identitas pribadinya. Terakhir, baru dideskripsikan tentang sikap
penegak hukum terhadap kejahatan KDRT serta pngaruh persepsi terhadap sikap.
Dalam mendeskripsikan membahas data hasil penelitian tentang persepsi dan
sikap penegak hukum, seperti juga dalam mendeskripsikan identitasnya akan dipaparkan
tentang distribusi frekuensi seluruh penegak hukum terlebih dahulu kemudian dipaparkan
masing-masing instansi yang dimulai dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan atau
para hakim.
Dalam pada itu, berdasarkan teori persepsi, Braca (1955) mengemukakan bahwa
persepsi merupakan reaksi yang diorientasikan terhadap stimuli dan persepsi
ditentukan oleh pengalaman sejarah dan sikap penerima stimuli pada saat itu. Dari dua
pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa persepsi mencakup dua proses kerja
yang saling berkaitan; pertama, menerima pesan melalui penglihatan dan sentuhan alat
indrawi, yang kedua, menafsirkan atau menetapkan arti atas pesan (stimuli) tadi. Suatu
yang perlu ditegaskan dalam pembahasan mengenai persepsi adalah dalam
peranannya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sikap sekaligus
perilaku. Seperti apa yang dikemukakan oleh F.E. Kast (1970) yang berpendapat
bahwa: ‘potential influences filter through personal attitudes via perception, cognition and
motivation’. Maksudnya adalah bahwa pengaruh yang potensial dalam menumbuhkan
sikap seseorang adalah melalui persepsi, kognisi dan motivasi. Sejalan dengan hal ini
Gibson (1950) menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku.
Oleh karena itu sikap berhubungan dengan persepsi kepribadian dan motifnya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dalam penelitian ini, maka data
yang diambil untuk menganalisis persepsi para penegak hukum adalah: persepsi
penegak hukum yang kemudian juga dipaparkan stimuli (pengetahuan yang didapat) dari
persepsinya dan pengalaman sejarah kehidupannya (life historynya). Tahap berikutnya
akan dipaparkan tentang pemahaman dan setelah itu sikap penegak hukumnya. Jadi
pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman sejarah kehidupannya tersebut
menentukan persepsi dan kemudian membentuk sikapnya.
Dalam memaparkan dan menganalisis tentang persepsi dan sikap, maka pertama-
tama mendeskripsikan tentang persepsi dan sikap penegak hukum terhadap tindak
pidana KDRT, baru setelah itu mencermati faktor-faktor yang menunjang persepsinya,
antara lain: gender, pelaku dalam perspektif kriminologi; korban dalam perspektif
victimologi dan pemidanaan.
Ketika mendeskripsikan pengetahuan, maka diambil pula datanya tentang dari
mana pengetahuan tersebut didapat, apakah di seminar-seminar, pelatihan, workshop,
media atau di tempat kerja punya buku atau makalah tentang gender serta dari mana
asalnya. Selain itu, pengalaman sejarah kehidupan responden dideskripsikan untuk
mendapatkan gambaran tentang proses terbentuknya persepsi, walaupun untuk itu
hanya 3 (tiga) responden yang diwawancara lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan
paradigma konstruktivisme yang digunakan dalam penelitian ini.
KDRT merupakan kekerasan yang terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan,
ketimpangan usia dan ketimpangan gender (Fakih, 1996; 12-17). Pendapat Fakih ini
ditunjang dengan “data base” yang dikumpulkan oleh LBH-APIK Jakarta dan WCC-Rifka
Anisa di Yogyakarta, dimana dari data tersebut dikemukakan bahwa korban KDRT
hampir seluruhnya perempuan dan anak.
Setelah ada ide untuk membuat undang-undang baru yang diharapkan dapat
menghapuskan KDRT untuk menggantikan KUHP, dan para pemerhati perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga dan lembaga-lembaga bantuan hukum serta
krisis-krisis senter menyatukan diri dalam Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan
59

Terhadap Perempuan (Jangka PKTP), maka RUU dibuat oleh jaringan kerja ini. Sejalan
dengan pembuatan RUU ini yang dalam prosesnya selalu dikonsultasikan ke publik di
banyak provinsi, maka issue KDRT menjadi issue nasional. Apalagi ketika DPR-RI
membahas usulan RUU tersebut serta ketika pengesahan undang-undang dilakukan
pada bulan September 2004. Keadaan ini berimbas pada pengetahuan dan pemahaman
serta persepsi penegak hukum tentang tindak pidana KDRT, karena seminar, lokakarya,
sosialisasi serta diikuti oleh media cetak maupun elektronik juga memuatnya dalam
berita. Bagian berikut mengungkapkan persepsi responden.

4.3.1. Persepsi penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


Dalam mendesripsikan dan menganalisis persepsi penegak hukum terhadap
tindak pidana KDRT yang sudah diatur secara lengkap dalam UU Penghapusan KDRT,
maka dikemukakan terlebih dahulu persepsinya, kemudian pengetahuan dan sejarah
kehidupan beberapa responden yang diwawancara secara mendalam, selanjutnya
pemahamnnya dan terakhir sikap mereka kalau kasus KDRT terjadi.

Tabel 6: Persepsi penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


PERSEPSI PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
n % n % N % n %
1. Karena tindak pidana dilakukan di RTG 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
korban harus dilindungi, diselamatkan
2. Pelaku KDRT harus dihukum, ini ber- 22 36,1 12 50,0 4 22,2 6 31,6
manfaat untuk menyelesaikan kasus
3. Didamaikan dulu kalau tidak bisa, 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
diproses, karena pelaku pencari nafkah
4. Merupakan problem keluarga, untuk 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
mendidik isteri
5. Terlalu melindungi isteri, pada hal 3 4,9 0 0,0 2 11,1 1 5,3
suami punya kewajiban mendidik isteri
6. Tidak menjawab 33 54,1 10 47,1 11 61,1 12 63,2
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber: data primer, 2005

Jawaban nomor 1 dan 2 merupakan persepsi yang setuju, mendukung bahwa


KDRT merupakan tindak pidana dan pengetahuan dan pemahamannya dapat digunakan
untuk menyelesaikan kasus, jadi membantu menyelesaikan tugasnya.
Jawaban nomor 3, yang ingin mendamaikan dan tidak setuju kalau pelaku dihukum,
kecuali kalau korban menderita luka-luka yang cukup serius atau cacat seumur hidup
atau mati.

4.3.2. Sejarah Kehidupan Penegak Hukum


Sejarah kehidupan penegak hukum merupakan faktor yang membentuk persepsi.
Berikut dikemukakan tentang sejarah kehidupan mereka:

Box 1: Sejarah kehidupan salah satu responden dari Kepolisian


Saya orang Jawa tengah, dari Seklah Dasar sampai lulus sekolah saya di
Klaten. Kedua orang tua mendidik saya ketat, terutama ibu saya. Menurut ibu
saya, perempuan harus kuat iman, kalau tidak akan terjadi hal-hal yang
menyusahkan diri perempuan. Misalnya kalau pacaran hamil pasti yang susah
perempuannya. Laki-laki enak saja bisa melakukannya dengan mudah, setelah
60

ketahuan hamil, pacarnya akan ditinggal. Makanya jadi perempuan harus hati-
hati.
Setelah SMP saya sekolah sekolah yang kuat sekali mendisiplin siswanya.
Tapi saya senang, karena kalau saya tidak dilatih disiplin seperti itu, mungkin
saya tidak dapat seperti sekarang ini, jadi saya bersyukur karena itu. Tapi waktu
SMA saya disekolahkan di SMEA, karena ibu saya ingin saya langsung bekerja
setelah lulus SMA, supaya orang tua kami dapat membiayai saudara-saudara
saya yang lain, terutama yang laki-laki. Menurut orang tua kami, laki-laki harus
mendapatkan pekerjaan, karena dia yang wajib membiayai jalannya suatu
rumah tangga. Maklum, dulu ‘kan tidak ada sosialisasi gender, dan pendapat
yang seperti orang tua kami meurpakan pendapat umum yang ada saat itu. Jadi
saya juga berpendapat semacam itu ketika belum menjadi polisi dan belum
mendapatkan pengetahuan gender.
Tapi alangkah bahagia ketika saya ketika mendaftar menjadi Polwan
diterima. Orang tua saya juga kaget, tapi mereka juga senang. Menjadi apa saja
tidak masalah, asal bekerja yang mendapatkan uang halal untuk membiayai
kehidupan rumah tangga. Sebelum saya menikah, maka sebagian besar uang
saya habis untuk membantu menyekolahkan adik-adik saya, eshingga beberapa
dari mereka (2 (dua) dari 3 (tiga) laki-laki dapat lulus dari perguruan tinggi, satu
swasta satu dari negeri). Setelah kawin, bantuan sudah tentu saya kurangi.
Untung adik saya yang masih perlu biaya tinggal satu orang.
Hubungan saya dengan suami biasa-biasa saja, dia bekerja di perusahaan
swasta, pendidikannya sarjana, tapi dia sangat menghormati saya. Mungkin
karena saya polwan ya. Di rumah saya mendidik anak-anak (laki-laki dan
perempuan) sama, karena saya pikir zaman sekarang perempuan juga harus
pintar supaya tidak ditipu laki-laki dan bisa mendidik anak-anaknya sebaik-
baiknya. Demikian pula laki-laki.
Pada tahun 1986 itu saya dididik 11 bulan di Scaba Polwan, macam-
macam tugas kepolisian harus dipelajari di sana, tapi tidak ada diberikan tentang
gender, atau victimologi dan penologi, kalau kriminologi pernah dibahas,
walaupun tidak detail. Saya mendapat pengetahuan dan memahami KDRT,
trafikinf, anak sebagai korban kekerasan dari beberapa seminar, sosialisasi,
lokakarya, dll. pada tahun 2004 sampai sekarang (Polwan dari RPK; 2005)

Dari pengalaman hidup seorang Polwan dapatlah diketahui bahwa masa-masa


kecil dalam keluarganya masih memberikan keutamaan pada laki-laki untuk dapat
berperan lebih besar dalam keluarga. Tetapi tatkala dia mendapatkan pekerjaan dan
mampu untuk memberikan bantuan biaya pendidikan pada adik-adiknya, maka
menambah kebanggaan bagi orang tuanya bahwa anak perempuan yang selama ini
tidak mendapat prioritas selama hidupnya, ternyata mampu berperan sebagai penyangga
keluarga, sehingga dapat mempengaruhi persepsi orang tuanya.

Box 2: Sejarah kehidupan salah satu responden dari Kejaksaan

Saya sejak kecil tinggal di Pasuruan, tinggal di lingkungan yang agamis.


Lingkungan ini membuatnya sangat kental dengan ajaran agama (Islam) yang
diperolehnya dari para Kyai. Selain pendidikan agama yang sangat kental, saya
juga dididik sangat keras oleh orang tua saya. Kedisiplinan dan kerajinan
menjadi hal yang utma di keluarga kami, sehingga kalau ada adik kakak saya
yang melanggar aturan harus menerima hukuman berupa pukulan-pukulan
dengan benda-benda keras, gagang pembersih debu (kemocing, bahasa derah
Jawa Timur) atau gagang sapu.
Sampai saya lulus dari Perguruan Tinggi tidak pernah pindah dari kora
Pasuruan.. Saya sekolah di SD Negeri di Pasuruan, demikian pula SMPnya,
hanya SMAnya saya sekolah di swasta, yakni SMA PGRI. Tidak ada prestasi
yang menonjol pada saat saya sekolah, bila dibanding dengan teman-teman
61

saya. Saat pelulusan SMA, saya pernah mencoba menempuh UMPTN di salah
satu Universitas Negeri di Jawa Timur, tapi tidak lolos dalam tes tersebut.
Dengan segala keterbatasan dana yang dimiliki oleh orang tua kami saat itu,
maka saya mendaftar dan kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Merdeka di Pasuruan. Dengan segala daya upaya saya waktu itu, pada tahun
1983 saya menjadi Sarjana Muda Ilmu Hukum.
Setelah sarjana muda, saya berkenalan dengan seorang perempuan yang
membuat saya ingin menikah, maka kami kemudian menikah sambil
melanjutkan sekolah untuk memperoleh gelar sarjana. Dengan dia saya
mempunyai 2 (dua) orang anak, keduanya perempuan. Isteri saya bekerja di
kantor pemerintah. Hal ini yang mungkin dapat mengubah pola pikir saya
mengenai perempuan.
Anak saya yang satu sudah berkeluarga saat ini. Pernah beberapa waktu
yang lalu, anak perempuan saya ini mengangis dan kembali ke rumah saya.
Sebagai orang tua yang baik, maka saya juga menasehati dia untuk menjaga
keutuhan rumah tangganya. Beberapa saat kemudian suaminya datang, saya
ingatkan atas janjinya pada saat dia meminang anak saya dulu. Setelah itu saya
menyerahkan anak saya untuk kembali kepada suaminya. Dan semenjak saat
itu anak saya tidak pernah lagi datang ke rumah untuk membawa masalahnya
kepada kami. Anak saya yang nomer 2 (dua), juga perempuan, saat ini sedang
menuntaskan kuliah di fakultas hukum Universitas Merdeka di Pasuruan.
Jadi kalau ada suami memukul isteri, kalau tidak parah, maka harus didamaikan
dulu, karena kalau tidak, nanti akan terjadi perceraian. Kalau pembantu itu ‘kan
bukan anggota keluarga, maka menurut saya sebaiknya menggunakan KUHP
saja, saya belum membaca UU Penghapusan KDRT, sih, kalau memang
undang-undang yang khusus ini mengatur seperti itu, ya saya akan
menggunakannya. Kalau seorang ibu memukuli anaknya, jangan langsung
diproses, tapi harus diingatkan terlebih dahulu (Jaksa (laki-laki), 2005).

Dari pengalaman hidup Jaksa dapat diketahui bahwa sebenarnya masalah


kekerasan dalam rumah tangga belum akrab didengar, bahkan pada beberapa
pernyataan, jaksa tersebut mengatakan bahwa kekerasan merupakan penganiayaan
yang mengakibatkan luka menurut KUHP. Padahal kekerasan dalam UU PKDRT meliputi
4 (empat) jenis kekerasan, bukan kekerasan fisik saja. Tempat tinggal yang jauh dari
akses informasilah yang menyebabkan jaksa ini tidak mengetahui informasi tentang
undang-undang yang baru.
Perjalanan hidup Jaksa ini berawal pada kehidupan yang kental pada budaya
patriarkhi dan otoritas kepala keluarga yang sangat besar, sehingga segala aktivitas
rumah tangga harus diatur kepala keluarga. Fungsi istri hanyalah sebagai penyiap
kebutuhan keluarga. Hal inilah yang kemudian mendarah daging pada diri Jaksa.
Untungnya, Jaksa ini masih bersifat obyektif dalam menangani kasus KDRT sehingga
tidak semua kasus KDRT diselesaikan dengan alam pikiran yang patriarkhi. Pada intinya
Jaksa ini berprinsip untuk sebisa mungkin menghindari perkara, selama dapat
diselesaikan dengan jalan damai, tidak perlu perkara itu dilanjutkan di jalur pengadilan.
Kelahiran 2 (dua) orang anak perempuan menjadikan persepsinya akan laki-laki sebagai
sosok yang harus selalu dominan pada setiap keadaan bergeser menjadi penghargaan
dan pengakuan pada perempuan. Rupanya kebutuhan orang-orang yang sedarah
dengan Jaksa ini dapat merubah pemikiran jaksa ini.
62

Box 3 : Sejarah kehidupan staf Pengadilan

Saya lahir di Pamekasan, agak di luar kota, 7 km dari kota, desa


Pademangu. Sampai SMA saya sekolah di Pamekasan. Setelah lulus SMA,
saya diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Negeri di Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 1986. Dan pada tahun 1986 saya lulus sarjana
hukum, kemudian saya kuliah lagi pada saat saya bertugas di Pengadilan Negeri
Malang, lulus pada tahun 2003.
Saya seperti keluarga-keluarga di Madura lainnya, diasuh dengan keras
oleh orang tua saya, apa lagi kalau untuk beribadah, kalau saya tidak
mengerjakannya dan ketahuan oleh bapak saya, maka saya akan dipukul
dengan gagang sapu. Tapi saya senang, karena paksaan seperti itu , saya
sekarang menjadi sulit kalau meninggalkan ibadah, rasa bersalah saya menjadi
besar.
Ibu bapak saya mengajarkan kepada saya bahwa sebagai laki-laki saya
harus tegas dan bekerja giat untuk menafkahi perempuan. Kebetulan bahwa
isteri saya tidak bekerja, jadi di ruamh tangga saya saya yang mencarikan
keluarga nafkah. Tapi saya punya anak perempuan, sehingga saya juga tidak
mau suaminya nanti melakukan hal-hal yang dapat melukai anak saya. Lagi pula
saya masih ingat guru ngaji saya juga mengajarkan seperti itu, jadi saya sulit
untuk mengubah pandangan seperti itu.
Saya sepakat dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan, tapi
kadang-kadang terlalu berlebihan. Menurut saya karena kodratnya beda, maka
belum tentu hak dan kewajibannya bisa sama, saya juga heran, kenapa tidak
pernah wanita diminta untuk wajib juga mencari nafkah dalam upaya menghidupi
keluarganya? Maunya kok yang enak-enak saja. Juga tentang isteri sebagai ibu
rumah tangga itu tidak mungkin karena suami adalah kepala rumah tangga.
Tidak ada satu kapal 2 (dua) nakhoda, diberi hak yang sama dalam mengambil
keputusan, akan terjadi hal yang menyulitkan. Karena itu keputusan terakhir
harus ada di kpala rumah tangga.
Betapapun, kalau ada undang-undang baru yang mengatur tentang
kekerasan fisik ringan, maka saya juga akan menerapkan undang-undang beru
tersebut. “kan hakim itu merupakan corong undang-undang di negara kita?
(Hakim (laki-laki), 2005).

Perjalanan hidup hakim ini dipenuhi dengan berbagai hal yang membuatnya
menjadi seperti saat ini, diawali dengan didikan keras dari keluarga terutama masalah
agama membuatnya menjadi sosok yang cukup tegas terutama untuk istri dan anak-
anaknya. Budaya patriarki yang ada dalam lingkungannya menjadikan hakim ini memiliki
pemikiran bahwa seorang laki-laki merupakan kepala keluarga dan hal tersebut tidak
akan bisa tergantikan oleh perempuan meskipun dengan adanya persamaan gender
yang sedang marak dibicarakan saat ini. Namun apapun yang dipikirkan oleh hakim
tersebut, ia tetap melakukan apapun yang memang menjadi tugasnya sebagai seorang
penegak hukum. Dalam hal adanya UU PKDRT hakim ini akan tetap memperjuangkan
terlaksananya UU tersebut meskipun ia merasa ada hal-hal dalam UU itu yang kurang
sesuai dengan pemahamannya.

4.3.3. Pengetahuan penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


Seluruh responden penegak hukum yang pernah mendengar dan mengetahui
tentang KDRT cukup tinggi persentasenya, yaitu 95,1%. Demikian pula masing-masing
instansi penegak hukum, bahkan kepolisian 100% responden mengatakan bahwa
mereka mengetahui tentang KDRT, instansi pengadilan yang menjadi ranking berikutnya
sebesar 94,7% dan instansi kejaksaan yang terkecil sebesar 88,9%. Adapun sumber
pengetahuan mereka yang terbesar persentasenya adalah dari pengalaman mereka
63

dalam penanganan kasus, yaitu hampir 40% pada seluruh responden, 25% pada
kepolisian, 55,5% pada kejaksaan dan 42,1% pada pengadilan. Persentase berikutnya
sebagai sumber pengetahuan adalah 24,6% (responden seluruhnya) dari instansi
masing-masing, 50% bagi kepolisian, hanya 16,7% dari kejaksaan dan tidak satupun dari
pengadilan. Ketiga, sumber pengetahuan dari media (21,3%) secara keseluruhan yang
terinci dalam instansi kepolisian 12,5%; kejaksaan 5,6% dan pengadilan 47,4%.

Tabel 7: Pengetahuan penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


TINDAK PIDANA KDRT PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Tahu tentang KDRT n % n % N % n %
1. belum pernah 3 4,9 0 0,0 2 11,1 1 5,3
2. pernah 58 95,1 24 100,0 16 88,9 18 94,7
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. menangani kasus 24 39,3 6 25,0 10 55,5 8 42,1
2. media 13 21,3 3 12,5 1 5,6 9 47,4
3. instansi masing-masing 15 24,6 12 50,0 3 16,7 0 0,0
4. sosialisasi, seminar 2 3,3 2 8,3 0 0,0 0 0,0
5. dari LSM 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
6. tidak menjawab 6 9,8 1 4,2 3 16,7 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 14 23,0 5 20,8 2 11,1 7 36,8
2. punya 34 55,7 16 66,7 9 50,0 9 47,4
3. tidak menjawab 13 21,3 3 12,5 7 38,9 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Asal dari buku/makalah n % n % n % n %


1. beli 24 39,3 10 41,7 8 44,4 6 31,6
2. diberi LSM, Perguruan Tinggi 9 14,8 4 16,7 2 11,1 3 15,8
3. dari instansi masing-masing 5 8,2 5 40,8 0 0,0 0 0,0
4. tidak menjawab 23 37,7 5 40,8 8 44,4 10 52,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Ketika dipertanyakan tentang apakah responden memiliki buku, makalah tentang


KDRT, maka separuh dari seluruh responden mengatakan bahwa mereka mempunyai
buku atau makalah KDRT tersebut. Secara rinci, instansi kepolisian merupakan instansi
yang personalnya persentasenya terbesar yang memiliki buku atau makalah tentang
KDRT. Hal ini wajar dari pengalaman peneliti setiap kali melakukan sosialisasi KDRT di
kabupaten-kabupaten atau kota, polisi selalu hadir, jadi mungkin yang dimiliki para polisi
tersebut makalah bukan buku. Instansi berikutnya adalah kejaksaan dan pengadilan
merupakan yang terakhir atau yang paling kecil dibandingkan dengan dua instansi
terdahulu. Walaupun demikian data tentang asal kepemilikan buku atau makalah yang
mereka miliki dari membeli cukup besar persentasenya. Data tersebut baik data pada
seluruh responden maupun masing-masing instansi. Pada kepolisian, setelah membeli
mendapatkan buku atau makalah dari instansinya cukup besar persentasenya (20,8%).
Dengan pengetahuan yang demikian itu akan dilihat lebih lanjut tentang pemahaman
mereka.
64

4.3.4. Pemahaman penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal itu pertanyaan yang dicantumkan
dalam kuesionernya adalah pertama: tujuan penghapusan KDRT adalah (1) mencegak
terjadinya kekerasan dan menindak pelakunya; (2) melindungi korban dan mendamaikan
keluarga. Pilihan jawaban yang harus dipilih responden adalah: (a) tujuan (1) lebih
penting dari (2); (b) tujuan (2) lebih penting dari tujuan (1). Pertanyaan kedua: Pembantu
rumah tangga termasuk dalam lingkup rumahtangga, sehingga harus dilindungi. Pilihan
jawabannya: (a) pembantu yang tinggal di rumah majikan yang diketegorikan sebagai
anggota keluarga dalam UU Penghapusan KDRT; (b) pembantu bukan anggota
keluarga, sehingga kalau menjadi korban, maka pelaku dikenai KUHP.

Tabel 8: Pemahaman penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


Pemahaman PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
(pernyataan) HUKUM
Tujuan PKDRT: (1) mencegah kekera- n % n % n % n %
san & menindak pelakunya ; (2) melin-
dungi korban & mendamaikan keluarga
1. tujuan (1) lebih penting dari (2) 21 34,4 16 66,7 2 11,1 3 15,8
2. tujuan (2) lebih penting dari (1) 22 36,1 8 33,3 6 33,3 8 42,1
3. tidak sepakat 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
4. jawaban 1 dan 2 13 21,3 0 0,0 7 38,9 6 31,6
5. tidak menjawab 3 4,9 0 0,0 1 5,6 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Pembantu termasuk dlm lingkup RTG, n % n % n % n %


sehingga harus dilindungi UU PKDRT
1. pembantu yang tinggal di majikan ma- 41 67,2 15 62,5 11 61,1 15 78,9
suk sebagai anggota keluarga dlm UU
2. pembantu bkn anggota keluarga, kalau 11 18,0 5 20,8 4 22,2 2 10,5
jadi korban, mk pelaku dikenai KUHP
3. tidak tahu 4 6,5 2 8,3 2 11,1 0 0,0
4. jawaban 1 dan 2 2 3,3 2 8,3 0 0,0 0 0,0
5. tidak menjawab 3 4,9 0 0,0 1 5,6 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Dua pertanyaan tersebut mendapatkan jawaban dari responden sebagai berikut:


untuk pertanyaan pertama, pilihan jawaban (a) dan (b) persentasenya seimbang;
jawaban (a) 34,4% dan jawaban (b) 36,1%, ini data dari seluruh responden. Sedangkan
data pada masing-masing instansinya, kepolisian jawaban (a) besar persentasenya dua
kali jawaban (b); kejaksaan dan pengadilan justru sebaliknya. Untuk pemahaman pada
pertanyaan kedua, nampaknya seluruh responden maupun responden pada masing-
masing instansi yang paham bahwa pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah
majikan dikategorikan sebagai anggota keluarga sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang, persentasenya antara 60-79%.

4.3.5. Persepsi berdasarkan identitas responden


Sebagaimana dideskripsikan bahwa identitas responden yang terambil dari ketiga
penegak hukum dalam hal umur hampir sama, karena yang terbanyak jumlahnya yang
berumur 31-40 tahun, kebanyakan laki-laki, pendidikannya kebanyakan S1, hanya Polisi
yang lebih bervariasi – banyak yang SMA, lama kerjanya kebanyakan 10-15 tahun,
mobilitas pindah tugasnya cukup tinggi, rata-rata pernah pindah tugas 3-4 kali, dan
65

kebanyakan pernah dilatih di instansinya 1-2 kali, tapi hanya sebagian kecil yang pernah
dilatih oleh lembaga di luar instansinya. Dengan identitas yang demikian itu maka tabel
berikut memaparkan persepsi responden berdasarkan identitasnya

Tabel 9: Pengaruh identitas pribadi responden terhadap persepsi


IDENTITAS RESPONDEN PERSEPSI
1 2 3 4 5 6
JENIS KELAMIN n % n % n % n % n % n %
1. Perempuan 0 0,0 9 14,8 0 0,0 0 0,0 1 1,6 8 13,1
2. Laki-laki 1 1,6 13 21,3 1 1,6 1 1,6 2 3,3 25 41,0

PENDIDIKAN FORMAL n % n % n % n % n % n %
1. SMA 0 0,0 11 18,0 1 1,6 0 0,0 0 0,0 7 11,5
2. S1 1 1,6 9 14,8 0 0,0 0 0,0 2 3,3 21 34,4
3. S2 0 0,0 2 3,3 0 0,0 1 1,6 1 1,6 5 8,2

LAMA KERJA n % n % n % n % n % n %
1. Di bawah 10 tahun 0 0,0 6 9,8 0 0,0 1 1,6 1 1,6 4 6,6
2. 10-15 1 1,6 5 8,2 0 0,0 0 0,0 2 3,3 8 13,1
3. 16-20 0 0,0 6 9,8 0 0,0 0 0,0 0 0,0 10 16,4
4. 21-25 0 0,0 5 8,2 1 1,6 0 0,0 0 0,0 8 13,1
5. 25 lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 4,9

Sumber: Data primer, 2005

Dari data di atas menunjukkan bahwa perempuan lebih sepakat bahwa pelaku
KDRT dihukum dari pada penegak hukum yang laki-laki. Sedangkan pendidikan tidak
terlalu variatif karena jumlah yang SMA, S1 maupun S2 hampir sama jumlah mereka
yang sepakat dengan penghukuman pelaku atau menganggap pelaku KDRT hanya
merupakan problem keluarga. Demikian pula halnya dengan lama kerja. Jadi data yang
terpapar dalam tabel dapat disimpulkan bahwa hanya jenis kelamin yang dapat
menunjukkan perbedaan persepsi, sedangkan yang lainnya, yakni umur dan lama kerja
respondennya tidak berbeda persepsinya.

4.3.6. Sikap penegak hukum


Sebagaimana yang dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka sikap menurut
pendapat Kast (1970) ditumbuhkan melalui persepsi, kognisi dan motivasi; sedangkan
persepsi merupakan respon terhadap stimuli dimana merupakan obyek yang ditangkap
oleh pancaindera manusia dalam batas-batas sadarnya (hal ini merupakan
pengetahuan), dan kemudian menafsirkan (merupakan pemahaman). Dengan demikian
tingkat pemahaman seseorang akan berpengaruh pada sikapnya.

Tabel 10 : Sikap penegak hukum tentang tindak pidana KDRT


Sikap PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Ada ibu memukuli anak, karena anak minta n % n % n % n %
sesuatu, ibu tidak punya uang
1. ibu tsb melanggar UU, hrs diproses 25 41,0 12 50,0 6 33,3 7 36,8
2. ibu hanya diperingatkan saja 29 47,5 10 41,7 10 55,6 9 47,4
3. dilihat per kasus dan situasi/kondisinya 2 3,3 0 0,0 1 5,6 1 5,3
4. tidak menjawab 5 8,2 2 8,3 1 5,6 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
66

Suami menyiram istri dg air ketika istri tdk n % n % n % n %


mau melakukan hubungan seksual
1. kalau istri lapor, harus diproses 37 60,7 18 75,0 9 50,0 10 51,6
2. istri dinasehati, supaya melayani suami dg 17 27,9 4 16,7 5 25,8 8 42,1
baik dan lebih sabar
3. bukan tindak pidana 2 3,3 1 4,2 1 5,6 0 0,0
4. jawaban 1 dan 2 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
5. tidak menjawab 3 4,9 1 4,2 1 5,6 1 5,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Data yang dikumpulkan dan ditampilkan pada tabel menampakkan bahwa antara
penegak hukum yang berpendapat bahwa seorang ibu yang memukuli anaknya
merupakan pelaku itndak pidana yang harus diproses atau hal itu hanya merupakan
problem keluarga, oleh karenanya ibu yang melakukan perutan itu hanya diperingatkan
saja; persentasenya tidak terpaut banyak. Separuh di antara mereka mempunyai sikap
memahami UU Penghapusan PKDRT, sehingga mereka melaksanakannya dengan baik
dan separuh lainnya hanya mau memberikan peringatan saja. Jadi pendapat bahwa
kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan tindak pidana, melainkan hanya
problem keluarga, apalagi kalau seorang ibu yang memukuli anaknya, ini diartikan
sebagai pendidikan orang tua terhadap anak. Hal yang seperti ini sesuai dengan
pendapat Fakih (1996) yang mengatakan bahwa KDRT terjadi karena ketimpangan
kekuasaan, usia dan gender, dalam kasus ibu memukuli anak ini merupakan
ketimpangan usia.
Selanjutnya sikap penegak hukum ketika dikemukakan kasus yang kedua dalam
kuesioner, lebih baik karena antara 50-75% dari seluruh responden maupun pada
masing-masing instansi menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan delik aduan. Ini
sesuai dengan UU Penghapusan KDRT pada pasal 44 ayat (4) sebagai kekerasan fisik
ringan, atau pasal 49 yang mengatur tentang kekerasan psikis. Tetapi ada 2 (dua)
penegak hukum yang mengatakan bahwa itu bukan tindak pidana.
Dengan deskripsi dan analisis yang seperti itu dapat diambil kesimpulan bahwa
walaupun kebanyakan penegak hukum mengatakan tahu tentang KDRT, tapi belum
seluruh responden yang mengatakan tahu tersebut memahami KDRT dengan baik,
paling tidak memahami KDRT sesuai dengan pasal-psal yang ada dalam UU
Penghapusan KDRT. Keadaan yang demikian ini menjadikan sikap penegak hukum
masih setengah-setengah. Setengah punya sikap yang teguh untuk melaksanakan UU
Penghapusan KDRT, setengah yang lainnya tidak.

4.3.6. Pengaruh persepsi terhadap sikap


Bagian berikut mendeskripsikan dan menganalisis tentang pengaruh persepsi
responden tentang KDRT terhadap sikapnya. Tabel berikut menampilkan hal itu.

Tabel 11 : Pengaruh persepsi terhadap sikap


SIKAP RESPONDEN PERSEPSI
KASUS IBU MEMUKUL ANAK 1 2 3 4 5 6
n % n % n % n % n % n %
1. ibu (pelaku) harus diproses 1 1,6 15 24,6 1 1,6 1 1,6 1 1,6 0 0,0
2. Diperingatkan dulu 2 3,3 7 11,5 0 0,0 0 0,0 2 3,3 0 0,0
3. Tidak menjawab 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 5 8,2
67

KASUS ISTERI DISIRAM AIR n % n % n % n % n % n %


suami diproses, karena mela- 1 1,6 20 32,8 0 0,0 0 0,0 2 3,3 14 23,0
kukan kekerasan (fisik, psikis)
ringan
2. isteri dinasehati, harus mela- 0 0,0 1 1,6 1 1,6 1 1,6 1 1,6 15 24,6
Yani suami dengan baik
3. isteri dinasehati, tapi kalau la- 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 3,3
tidak dicabut, diproses
4. Tidak menjawab 0 0,0 1 1,6 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 3,3

Sumber: Data primer, 2005

Catatan:
Persepsi:
1 = Karena tindak pidana dilakukan di RTG korban harus dilindungi, diselamatkan
2 = Pelaku KDRT harus dihukum, ini bermanfaat untuk menyelesaikan kasus
3 = Didamaikan dulu kalau tidak bisa, diproses, karena pelaku pencari nafkah
4 = Merupakan problem keluarga, untuk mendidik isteri
5 = Terlalu melindungi isteri, pada hal suami punya kewajiban mendidik isteri
6 = Tidak menjawab

Persepsi ternyata berpengaruh pada pembentukan sikap Penegak Hukum. Hal ini
terbukti dengan beberapa data di atas. Para penegak hukum rupanya lebih senang tidak
melanjutkan proses hukum ibu yang memukul anaknya, seberat apapun pukulan itu,
karena pada dasarnya urusan pukul memukul dalam keluarga merupakan suatu
kewajaran. Begitupun dengan penanganan kasus suami yang menyiram air panas pada
istrinya. Meskipun tindakan itu bukan delik aduan, tapi para penegak hukum sebagian
besar berpendapat bahwa tanpa laporan ataupun pengaduan, penegak hukum
cenderung tidak menanggapinya.

4.4. DASAR HUKUM YANG DIKENAKAN OLEH PENEGAK HUKUM


Untuk mendeskripsikan dasar hukum yang digunakan oleh penegak hukum dalam
menangani kasus-kasus KDRT bagian berikut dideskripsikan dan dianalisis tentang hal
tersebut.

4.4.1. Kabupaten Pamekasan


Tabel 12: Posisi kasus dan dasar hukum yang digunakan di Pamekasan
Posisi kasus Pasal yang Kelanjutan
didakwakan kasus
Suami menuduh istrinya selingkuh, memukul di wajah, pipi Ps 44 (1) UU Dilanjutkan, di
dan kedua tangan, hingga mengalami bengkak dan lebam (4- PKDRT kejaksaan
6-2005) dicabut
Suami tersinggung atas ucapan istrinya, istri dipukul dengan Ps 44 (1) UU Diputus 2 bulan
tangan kosong, dibenturkan ke dinding teras 4 kali, hingga PKDRT penjara,
muka korban luka robek di bagian hidung dan mengalami dengan masa
pendarahan (8-7-2005) percobaan 4
bulan
Korban dituduh oleh suami memarahi ibu mertua, karena istri Ps 44 (1) UU Tuntutan 2
meminta ibu mertuanya kalau menemui cucunya tidak usah PKDRT bulan penjara,
sembunyi-2, ibu mertuanya mengadu kepada adik suami, diputus 1 bulan
sehingga suami memukuli istrinya (24-3-2005) penjara
Suami menelantarkan/meninggalkan istri sejak 4 Mei 2004, Ps 9 (1) jo Ps Diputus dengan
68

tidak memberi nafkah lahir dan batin (30-6-2005) 49 huruf a UU hukuman


 diikuti dengan perceraian PKDRT percobaan
Sumber : Data sekunder dari Polresta dan Pengadilan Negeri Pamekasan, 2005

Dari data sekunder yang didapat dari Polres dan Pengadilan Negeri Kabupaten
Pamekasan, terdapat 4 kasus KDRT yang telah ditangani setelah Januari 2005. Semua
kasus telah diproses dan diputus dengan menggunakan UU No.23 Th.2004 tentang
Penghapusan KDRT. Kasus pertama, tentang suami yang menuduh istrinya melakukan
perselingkuhan, kemudian dipukuli sampai wajah, pipi dan tangannya mengalami
pembengkakan. Pasal 44 ayat (1) yang digunakan untuk menuntut pelaku cukup
memadai, dan sebenarnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan, namun oleh korban sebagai
pelapor dicabut, dan oleh jaksanya diperbolehkan. Keadaan yang semacam ini sering
terjadi. Penegak hukum sering melakukan kesalahan menginterpretasikan pasal 44 ayat
(1), pasal ini sama sekali bukan delik aduan, pasal 51 mengemukakan bahwa yang delik
aduan hanya pasal 44 ayat (4) saja, ayat-ayat yang lain merupakan delik biasa. Jadi
dalam kasus yang pertama ini, seharusnya jaksa yang menangani kasus ini melanjutkan
ke pengadilan, tidak menghentikan perkaranya karena korban pelapor mencabut
laporannya.
Kasus kedua, sama dengan kasus sebelumnya, hanya saja penyebab suami
memukul istrinya bukan karena menuduh istrinya melakukan perselingkuhan, melainkan
karena tersinggung atas ucapan si istri. Kasus ini diproses sampai selesai, tapi hukuman
yang dikenakan ringan, jauh dari maksimal ancaman hukuman pasal 44 ayat (1), yakni 5
tahun penjara atau denda 15 juta rupiah. Hukumannya hanya 2 bulan dengan masa
percobaan 4 bulan.
Kasus ketiga, juga penganiayaan suami terhadap istri, karena istrinya dituduh oleh
suaminya telah memarahi ibunya (mertua istri). Tuntutannya 2 bulan, diputus 1 bulan.
Kasus keempat, kasus penelantaran oleh suami terhadap istri, pasal yang
dituduhkan adalah pasal 9 jo pasal 49 huruf a. Tuntutan untuk kasus ini juga sudah tepat,
tapi sama juga dengan yang lain, putusannya ringan, yakni hukuman percobaan.

4.4.2. Kota Surabaya


Tabel 13 : Posisi kasus dan dasar hukum yang digunakan di Surabaya
Posisi kasus Pasal yang Kelanjutan
didakwakan kasus
Ps 44 (1) UU
PKDRT
Ps 44, 45 UU
PKDRT jo ps
80 (1) (2) UU
PA
Ps 44 UU
PKDRT jo ps
356 KUHP
Ps 44 (1) UU
PKDRT jo ps
351 (1) jo ps 80
UU PA
Ps 44 (4) UU
PKDRT jo UU
Drrt 12/51
Suami menganiaya korban sehingga mengalami gangguan Ps 356 KUHP Dikirim ke
psikis (trauma) (4 -1-2005) jo ps 44 UU kejaksaan
PKDRT
69

Suami menampar muka istri (23-3-2005) Ps 44 UU Dicabut korban


PKDRT faktor anak dan
pihak keluarga
Istri dipukul dengan tangan kosong ke arah muka (11-5-2005) Ps 44 UU Dicabut, kare-
PKDRT na suami janji
diatas surat
bermeterai
untuk tidak
melakukan lagi
Istri dicekik beberapa kali hingga tidak dapat bernafas (10-8- Ps 356 KUHP Lagi proses
2005) penyidikan
Suami memukul dan menggigit istri (14-8-2005) Ps 356 KUHP Lagi proses
penyidikan
Istri kedua dipukul dengan tangan kosong, kena bibirnya (11- Ps 351 KUHP Sudah
5-2005) penuntutan,
tinggal sidang
Sama 5 kasus penganiayaan suami kepada istri dengan Semua 3 masih disidik,
tangan kosong (tg 14-1-2005 ; 24-1-2005; 30-1-2005; 4-9- menggunakan 1 dicabut dan 1
2004; 23-9-2004) pas 356 KUHP nunggu sidang
Pembantu RTG dan suami menculik anak (19-12-2005) Ps 83 UU PA Lagi sidang
Sumber: Data sekunder dari Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Surabaya, 2005

Di Surabaya, dari data sekunder yang diberikan tidak lengkap, sebagian, yakni
dari instansi kejaksaan, kasus posisinya tidak dicantumkan dengan berbagai alasan,
yang dicantumkan hanya nama pelaku dan pasal-pasal yang didakwakan. Sedangkan
data sekunder dari Kepolisian dan Pengadilan Negeri cukup lengkap. Terdapat 11 kasus
yang seluruhnya merupakan kasus-kasus kekerasan fisik yang pelakunya suami dan
korbannya istri. Walaupun Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur, yang
Pemerintah Provinsinya punya program penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
yang tentunya apabila dihubungkan dengan banyaknya perguruan tinggi, LSM dan
lokakarya, workshop dan pelatihan yang sering diadakan, tapi penegak hukum masih
menggunakan pasal-pasal dari KUHP. Sebagian dari kasus-kasus tersebut memang ada
yang ditambah dengan pasal-pasal yang ada dalam UU No.23 Th.2004 tentang
Penghapusan KDRT, tapi sebagian yang lain tidak. Hanya satu kasus, yakni kasus
seorang pembantu rumah tangga yang menculik anak majikannya, digunakan pasal 83
UU No.23 Th.2003 tentang Perlindungan Anak, tapi masih juga disertai dengan pasal
328 KUHP.

4.4.3. Kabupaten Jember


Tabel 14 : Posisi kasus dan dasar hukum yang digunakan di Jember
Posisi kasus Pasal yang Kelanjutan
didakwakan kasus
Kekerasan fisik suami terhadap istri (18-8-2005) Ps 44, 45 UU Lanjut ke JPU
PKDRT
subsider 356
KUHP
Keluarga melakukan penganiayaan (16-4-2005) Ps 352, 365 Lanjut ke JPU
KUHP
Paman terhadap keponakan – korban diajak bermain kawin- Ps 287 (1) (2) Lanjut ke JPU
kawinan, disetubuhi duburnya lalu alat kelaminnya (20-4- KUHP; ps 81
2005) (2) UU PA
Paman terhadap keponakan, korban (8 tahun) diiming-imingi Ps 285 Lanjut ke JPU
jajanan, diberi uang Rp1.000,- lalu diajak bersetubuh sampai subsider ps
tidak bisa jalan (22-3-2005) 287 (1) KUHP;
81 (1) UU PA
70

Saudara sepupu, korban disekap dalam kamar lalu celana Ps 82 UU PA, Lanjut ke JPU
dalamnya dibuka lalu duburnya dimasuki kemaluan pelaku ps 285, 287,
dan setelah itu kemaluan korban dimasuki kemaluan pelaku 290 (2e) KUHP
Paman menyetubuhi keponakan (20-4-2005). Pelaku 14 Ps 81 (2) UU Lanjut ke JPU
tahun, korban 8 tahun. PA jo ps 287
(1) (2) KUHP
Persetubuhan antar keluarga (2005) Ps 290 (1) ke 2 Vonis 9 bulan
KUHP penjara
Ibu membunuh bayinya (27-7-2005) Ps 341 KUHP Vonis 4 bulan
penjara
Suami terhadap istri dan anak sampai lebam (kekeasan fisik) Ps 44 (1) dan Vonis 6 bulan
dalam rumah tangga (10-8-2005) (2) UU PKDRT penjara
Suami melakukan KDRT terhadap istri dan anak (11-7-2005) Ps 44 (2) UU Dalam proses
PKDRT jo ps sidang
351 (1) KUHP
Suami melakukan kekerasan terhadap istri dan anak (28-9- Ps 44 (1) UU Dalam proses
2005) PKDRT dan ps sidang
2 (1) UU no.12
Darurat th. 51
Suami menganiaya istri sampai kepala lecet dan pipi memar Ps 356 (1) ke 9 bulan penjara
(23-2-2005) 1e KUHP
Sumber: Data sekunder dari Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Jember, 2005

Dari tabel tersebut nampak bahwa terdapat 12 kasus KDRT, yang terdiri dari
kasus-kasus suami istri, paman dan keponakan, antar sepupu, dan ibu anak. Dari 12
kasus tersebut hampir seluruhnya menggunakan dasar hukum campuran antara KUHP
dengan UUPA dan UU PKDRT, hanya sau kasus yang menggunakan pasal 44 ayat (1)
dan (2) UUPKDRT. Di antara 12 kasus tersebut 6 kasus masih ada di Kejaksaan, 2
kasus dalam proses sidang dan 4 kasus telah diputus. Di antara 4 kasus yang telah
diputus tidak satupun yang diputus satu tahun penjara, semuanya maksimal 9 bulan
penjara, walaupun tuntutan Jaksa pasal 44 ayat (1) dan (2).

4.4.4. Kabupaten Bondowoso


Tabel 15 : Posisi kasus dan dasar hukum yang digunakan di Bondowoso
Posisi kasus Pasal yang Kelanjutan
didakwakan kasus
Suami memalsukan surat kawin (14-10-2004) Ps 263 (2) Dilimpahkan ke
KUHP pengadilan
Putusan 5
bulan 15 hari
penjara
Paman melakukan pencabulan terhadap keponakan (1-8- Ps 287 (1) jo Dilimpahkan ke
2005) ps 290 (2) pengadilan
KUHP Putusan 3
bulan penjara
Ibu menelantarkan bayi (3-7-2005) Ps 305 atau Dilimpahkan ke
307 KUHP*) pengadilan
Ps 77 UU Putusan 3
PA**) bulan penjara
Ayah tiri melakukan persetubuhan 2 kali menyebabkan Ps 285 KUHP Diputus 5 tahun
selaput dara robek dalam VER 357/192/430.91/2003 Tg 3- penjara
12-2003
Ayah kandung memperkosa anak sendiri VER Ps 287 (1) jo Diputus 6 tahun
357/179/430.91/2003 Tg 3-12-2003 ps 294 (1) penjara
KUHP
Ayah membawa lari anak angkat (2004) Ps 328 jo ps 55 Diputus 4 bulan
71

(1) ke 1 KUHP 15 hari


Sumber: Data sekunder dari Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Bondowoso,
2005

Kasus-kasus KDRT yang ada di Bondowoso bervariasi antara pemalsuan surat


kawin, penelantaran bayi, 3 kasus kekerasan seksual dan satu kasus membawa lari anak
angkatnya. Penghukuman dari kasus-kasus tersebut selain kasus kekerasan seksualnya
tidak terlalu tinggi yaitu antara 3-5 bulan penjara. Untuk kasus kekerasan seksual, cukup
tinggi yaitu 5 dan 6 tahun penjara. Adapun pasal-pasal yang digunakan untuk menangani
kasus-kasus tersebut, seluruhnya menggunakan KUHP, walaupun apabila dilihat tanggal
kejadiannya 3 kasus (kasus kekerasan seksual dan membawa lari anak angkatnya
memang tahun 2003 dan 2004, satu kasus lagi tentang pemalsuan surat juga tepat
menggunakan pasal 263 ayat (2) KUHP, tapi ada 2 kasus, yakni kasus paman yang
melakukan pencabulan terhadap keponakan juga menggunakan KUHP; demikian pula
kasus seorang ibu menelantarkan bayinya, tapi kasus yang terakhir ini masih ditambah
dengan pasal 77 UU No.23 Th.2002 tentang Perlindungan Anak.
Dari deskripsi data sekunder yang ada di Bondowoso tersebut dapat disimpulkan
bahwa di daerah ini penggunaan pasal-pasal yang ada di UU No.23 Th.2004 tentang
Penghapusan KDRT belum dialami oleh para aparat penegak hukum di daerah ini,
seperti kasus paman melakukan pencabulan terhadap keponakannya, walaupun terjadi
tahun 2005, tapi penegak hukum menggunakan pasal 2 tentang lingkup rumah tangga
yang huruf b, dimana yang dikenai pasal-pasal dalam undang-undang ini adalah “orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak (huruf atau)
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga”.

4.4.5. Kabupaten Tulungagung


Tabel 16 : Posisi kasus dan dasar hukum yang digunakan di Tulungagung
Posisi kasus Pasal yang Kelanjutan
didakwakan kasus
Suami menganiaya istri (19-2005) Ps 44 (4) UU Dicabut oleh
PKDRT korban
Suami kawin lagi tanpa sepengetahuan istri (ke Malaysia), Ps 49 (a) UU Masih
istri tidak diberi nafkah (27-1-2005) PKDRT penyelidikan
Suami memukul istri dengan tangan kosong (3-2-2005) Ps 44 (1) UU Vonis 10 bulan
PKDRT penjara
Bapak menganiaya anak (5) tahun (10-2-2005) Ps 44 (4) UU Vonis
PKDRT
Bapak menyetubuhi anak tirinya (23-4-2005) Ps 46 UU Vonis 5 tahun
PKDRT penjara
Suami menganiaya istri (19-5-2005) Ps 44 (1) UU Penyelidikan
PKDRT
Suami menganiaya istri (20-9-2005) Ps 44 (4) UU Penyidikan
PKDRT
Sumber : Data sekunder dari Polres Tulungagung, 2005

Berbeda dengan di Bondowoso, di Tulungagung, semua kasus KDRT yang terjadi


sejak tahun 2005, pasal-pasal dari UU No.23 Th.2004 tentang Penghapusan KDRT telah
digunakan. Ada 7 kasus, 5 kasus penganiayaan, satu kasus penelantaran, satu kasus
kekerasan seksual, untuk kasus-kasus ini pasal 44 ayat (1) atau (4) digunakan,
tergantung berat ringannya akibat dari kekerasan fisik yang dilakukan. Ada juga pasal 46
72

untuk kasus kekerasan seksual antara seorang ayah dan anak tirinya, dan pasal 49 huruf
(a) untuk penelantaran ekonomi.

4.4.6. Kabupaten Ponorogo


Terakhir, faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar
hukum di Kabupaten Ponorogo. Telah dikemukakan dalam Bab III tentang Metode
Penelitian bahwa instansi penegak hukum di Kabupaten Ponorogo hanya satu instansi
yang memberikan data, yakni Pengadilan Negeri, dan dalam tabel data yang diberikan
tersebut tidak tercantum satupun data tentang KDRT (nihil). Ketika Peneliti ke Kepolisian,
dikatakan bahwa RPK belum pernah menangani kasus-kasus KDRT, tapi ada 2 (KDRT)
kasus yang katanya ditangani oleh Samapta, peneliti diminta untuk menanyakan ke
Samapta. Walaupun dengan penuh keheranan bahwa ada kasus KDRT ditangani oleh
Samapta karena merupakan kasus tipiring (tindak pidana ringan), peneliti ke Samapta.
Ternyata di Samapta tidak ada kasus yang dimaksudkan. Dari pengalaman empiris yang
demikian ini Tim Peneliti dapat menganalisis bahwa RPK di Kabupaten Ponorogo masih
belum memahami dan belum dapat menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam
hukum positif dengan benar.
Namun demikian Tim Peneliti tetap melakukan wawancara dengan jaksa dan
hakim di Ponorogo. Hasil wawancaranya ditampilkan dalam box-box berikut:

Box 4: Dasar penggunaan pasal dalam kasus KDRT


Untuk memilih pasal yang akan didakwakan, pertama kali yang akan
dipertimbangkan adalah fakta yang dapat diikuti dengan alat bukti (184 KUHAP).
Untuk menentapkan tuntutan harus memperhatikan: (1) latar belakang terjadinya
kejahatan; (2) akibat dari perbuatan tersebut, menimbulkan dampak apa saja
terhadap korban maupun masyarakat sekitar; agar terdakwa tidak bebas dari
tuntutan, amar penuntutan akan dilakukan secara berlapis.
Untuk kasus-kasus yang korbannya anak UU PA, selalu diutamakan, karena
merupakan lex specialis terhadap KUHP; kedua ancaman pidananya lebih berat
diletakkan untuk primer, baru subsider ancaman yang lebih ringan. Karena
termasuk delik aduan, maka harus ada pengaduan, namun seringkali pihak
korban diintimidasi oleh pelaku sehingga menarik kembali pengaduannya. Pada
kasus delik umum Polisi dapat langsung membuatkan penuntutan. Kalau sudah
dapat intimidasi perkara tidak dilanjutkan, kecuali kalau diekspos dalam surat
kabar, dengan sangat terpaksa perkara dilanjutkan. Ketakutan korban juga
nampak saat persidangan. Waktu dia tugas di Poso, terjadi sebaliknya, korban
meminta agar pelaku (ayah tirinya) dipidana berat sukur-sukur kalau pidana
mati, sebab setiap kali akan memperkosa, diletakkan badik di sebelahnya
(Lukianto, 2005)

Kecenderungan ketidaktahuan untuk melapor kepada siapa bagi korban,


penyuluhan hukum yang dilakukan belum berisi KDRT dan trafiking, sehingga
perlu dilakukan sosialisasi khusus terhadap UU tersebut. Dalam praktek ada
pula seorang suami yang marah dan memukul dengan tangan terhadap istrinya
yang selalu menuntut karena pernah tinggal di luar negeri, bergaya hidup
mewah, lu gue (bahasa Jakarta) sementara suaminya tidak punya kemampuan
tuntutan istri yang macam-macam, maka kalau membicarakan hasilnya nanti
harus dihadiri oleh forum bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, jangan hanya
akademisi saja (Akhmad, 2005).

Kesulitan UUPKDRT adalah adanya perbedaan pada pasal 44 ayat (1) dan ayat
(2) yang membedakan ancaman hukuman antar pelaku. Ada kasus dimana
suami, mertua dan adiknya menganiaya istrinya. Jaksa mau mendakwa suami
pasal 44 ayat (2) sedangkan untuk pelaku pembantu pasal 44 ayat (1), sehingga
ancaman hukumannya suami hanya maksimal 4 bulan sedangkan pelaku
73

pembantunya ancaman hukumannya 5 tahun. Ini menurut Pak Bambang


menjadi sangat tidak adil. Kasus ini baru dalam proses, dua hari yang lalu
dilaporkan, sampai saat ini dia masih bingung, bagaimana memberikan dakwaan
pada masing-masing pelaku. Itu yang sementara saya pikirkan. Disni sulit
memperoleh UU, kebetulan Bu Yuli yang dapat UU dari Unibraw kemarin, jadi
saya masih mempelajarinya dengan cermat (Setiawan, 2005).

Hasil wawancara dengan Lukianto (kejaksaan) merupakan cerminan dari


pengetahuan dan pemahamannya terhadap undang-undang yang mengatur tentang
KDRT dan penggunaannya sebagai dasar hukum dalam penanganan kasus. Sedangkan
responden berikutnya lebih mempersoalkan ketidaktahuan masyarakat, sehingga sering
terjadinya kasus sebenarnya peran korban cukup besar. Responden ketiga,
mengemukakan pasal-pasal dalam UU PKDRT yang akan digunakan sebagai dasar
hukum untuk kasus baru yang dia hadapi, dan dia masih dalam tahap belajar, karena dia
“baru dapat dan mempelajari” undang-undang tersebut.
Selain dari kejaksaan hakim di Kabupaten Ponorogo juga mengemukakan
pendapatnya tentang dia memutuskan suatu kasus sering tidak punya pilihan lain, selain
dari dakwaan jaksa, walaupun dia juga mengakui bahwa dalam penggunaan pasal-pasal
kejaksaan dan pengadilan sering melakukan koordinasi. Tapi dalam kalimat selanjutnya
dia mengemukakan bahwa pelaku yang sebagai pencari nafkah utama merupakan
pertimbangan utama, selain itu dia juga mengakui bahwa mereka masih ketinggalan
informasi tentang undang-undang baru. Hasil wawancara berikut menunjukkan hal itu.

Box 5: Pertimbangan hakim karena pelaku pencari nafkah keluarga


Kami sebagai hakim sering tidak punya pilihan lain dari pada mengadili apa yang
didakwakan oleh Jaksa, walaupun kami sering koordinasi dengan Kejaksaan
dalam menentukan pasal yang didakwakan. Namun beberapa pertimbangan
sering menjadi pikiran kami adalah masalah keluarga yang sering tidak ada lagi
yang mencarikan nafkahnya. Apa lagi kalau yang menjadi pencari nafkah
utamanya adalah pelaku. Jadi kami memikirkan kelanjutan kehidupan keluarga
selanjutnya lebih penting dari pada memenjarakan pelaku dengan jangka waktu
yang lama. Lagi pula keluarga senang juga kalau hukumannya ringan.
Semua kasus yang saya tangani selama ini masih dikenai pasal-pasal KUHP,
karena saya belum mendapatkan informasi tentang UU baru. Ya baru kasus
yang sekarang diproses ini yang akan didakwa dengan UU PKDRT
(Atmaningsih, 2005).

Deskripsi dari data sekunder dan primer yang ada di 6 (enam) daerah penelitian
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Sebagian penegak hukum (2 dari 6 lokasi) telah
menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT, yakni kabupaten
Pamekasan dan Tulungagung.
b. Sebagian yang lain, Kota Surabaya, Kabupaten Jember,
Bondowoso, dan Ponorogo masih menggunakan KUHP. Ada yang menggunakan
KUHP saja, ada pula yang ditaruh dalam dakwaan subsider serta ada pula yang
digunakan dengan juncto.
c. Kesimpulan ini sesuai dengan pengetahuan penegak hukum
yang walaupun banyak yang tahu, tapi dalam memahami belum seluruh responden
yang dapat memahami dengan baik, dengan keadaan itu, maka wajar kalau hanya
setengah dari penegak hukum yang dengan teguh mau melaksanakan UU PKDRT,
sisanya selalu mempertimbangkan kelanjutan ekonomi keluarga.
74

4.5. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENEGAK HUKUM MENGGUNAKAN


DASAR HUKUM TERSEBUT DALAM MENANGANI KASUS-KASUS KDRT
Untuk membahas faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan
dasar hukum tersebut dalam menangani kasus-kasus KDRT, maka kasus-kasus yang
diperoleh dari data sekunder ketiga instansi akan dicari faktor-faktornya mengapa kasus
dilanjutkan atau dicabut dan tidak dilanjutkan. Pembahasan akan dilakukan wilayah
kabupaten yang menjadi lokasi penelitian.

4.5.1. Kabupaten Pamekasan


Terdapat 4 (empat) kasus KDRT yang diproses di Kabupaten Pamekasan (lihat
Tabel 19), masing-masing kasus akan dibahas satu per satu:
(2) Kasus pertama, suami menuduh selingkuh si istri, kemudian memukuli wajah dan
kedua tangannya hingga bengkak dan lebam. Kasus ini oleh kepolisian dilanjutkan
ke kejaksaan, pada saat di kejaksaan, laporannya dicabut oleh pelapor (korban).
Tuduhan selingkuh membuat jaksa menjadi ragu-ragu, hasil wawancara
menunjukkan hal itu

Box 6: Peran korban dalam terjadinya KDRT


Istrinya dituduh selingkuh oleh suami, pada dasarnya kita percaya bahwa tidak akan
ada asap kalau tidak ada api, entah laki-laki yang menggoda istrinya, dan istrinya tidak
mau atau memang istrinya mau. Yang jelas saya percaya suami tidak akan
sembarangan memukul kalau istrinya tidak ada tanda-tanda untuk itu.
Lagi pula kalau nanti saya lanjutkan, sedangkan mereka mau berdamai menjadi rukun
kembali, apakah saya harus melanjutkan kasus yang demikian itu. Suaminya berjanji
tidak akan melakukan pemukulan lagi, maka terpaksa kasus tidak dilanjutkan ke
pengadilan, walaupun bukti visumnya ada dan pelaku mengakui bahwa dia
melakukannya. (Hasan, 2005)

Pendapat responden ini merupakan pendapat umum, dimana kalau istri yang
dituduh selingkuh, mereka memastikan bahwa hal itu benar-benar terjadi, ini
sesuai dengan pendapat Schafer (1968: 66-68) yang mengatakan bahwa korban
punya peran dalam terjadinya suatu tindak pidana penganiayaan berat yang
sedang menimpanya. Andaikata memang benar bahwa istrinya selingkuh, tetap
suami tidak punya hak untuk melakukan kekerasan yang demikian itu. Seharusnya
penegak hukum mengkaitkannya dengan HAM, bahwa setiap orang punya hak
untuk tidak mendapatkan kekerasan. Kalau memang istri selingkuh, dibicarakan,
diperingatkan dan kalau tidak bisa mereka dapat bercerai. Kemarahan suami lebih
pada ketersinggungan seseorang yang berkuasa dan dikhianati sebagaimana
yang dikemukakan oleh Fakih (1996: 12-17) bahwa KDRT terjadi karena
ketimpangan kekuasaan (suami-istri). Andaikata yang melakukan selingkuh suami,
jarang sekali istri memukuli suaminya.
Faktor berikutnya adalah salah menginterpretasikan pasal 44 ayat (1) UU
Penghapusan KDRT. Isi ayat (1) ini tidak satu katapun yang dapat
diinterpretasikan bahwa tindak pidana yang dikategorikan ayat (1) merupakan
delik aduan. Yang jelas, hanya pasal 44 ayat (4) yang dikategorikan delik aduan
melalui pasal 51. Dengan demikian keadaan ini sesuai dengan hasil wawancara
dari kuesioner tentang pemahaman dan sikap penegak hukum yang baru
setengah dari mereka yang memahami dan menyikapi kasus KDRT dengan
benar.
75

(3) Kasus kedua dan ketiga (lihat tabel 19) hampir sama, walaupun berbeda motifnya.
Kasus kedua karena suami tersinggung ucapan istri, kasus ketiga karena istrinya
dituduh memarahi mertuanya (ibu pelaku). Walaupun kasus dilanjutkan,
hukumannya ringan sekali, pada hal ancaman hukuman maksimal pasal 44 ayat
(1) cukup berat yaitu 5 (lima) tahun penjara atau denda 15 juta rupiah. Data hasil
wawancara dengan hakim sebagaimana yang ada dalam box berikut:

Box 7: Suami sebagai pencari nafkah


Bagaimana saya dapat memutuskan hukuman berat kalau suami merupakan pencari
nafkah utama dalam keluarga. Hukuman itu ‘kan dimaksudkan untuk membuat jera
pelaku, jadi kalau seseorang yang tidak pernah merasakan pengalaman dipenjara,
maka dipenjara 1 bulan saja merupakan pengalaman yang berat. Hukuman
masyarakat kepada mantan narapidana merupakan hukuman batin yang cukup berat
juga. Lagi pula istri juga “ngengkel” bahwa dirinya tidak bersalah pada saat suaminya
marah (Riyadi, 2005)

(4) Kasus keempat (lihat tabel 19) merupakan kasus penelantaran. Kasus ini juga
merupakan kasus baru, karena sebelumnya banyak orang yang ditelantarkan tapi
tidak satupun yang melaporkan sebagai suatu tindak pidana. Penegak hukum
menjadi gamang dan ragu-ragu dalam memproses kasus ini. Karena itu menurut
hakim hukuman terbaik adalah hukuman percobaan dengan maksud supaya
keluarga menjadi damai kembali. Tapi maksud penegak hukum tersebut tidak
kesampaian karena setelah putusan hakim mengurus proses perceraian mereka.

Penegak hukum di Pamekasan sudah menggunakan UU Penghapusan KDRT


dalam menangani kasus-kasus KDRT, walaupun yang sekunder yang diberikan adalah
kasus-kasus yang diproses sejak tahun 2005. Faktor-faktor yang mendorong penegak
hukum menggunakan dasar hukum tersebut adalah: mereka tahu UU Penghapusan
KDRT sudah berlaku, walaupun pendirian bahwa KDRT merupakan masalah keluarga
masih kental. Dan untuk kasus keempat bahkan menurut hakimnya UU Penghapusan
KDRT mengakibatkan perpecahan dalam rumah tangga, karena pasangan dalam kasus
kemudian bercerai.

4.5.2. Kota Surabaya


Terdapat 17 kasus KDRT di Surabaya, sebagaimana yang dikemukakan dalam
tabel 20, berikut akan dibahas satu persatu faktor-faktor yang mendorong penegak
hukum menggunakan dasar hukum tersebut:
(a) 5 (lima) kasus tidak dapat dianalisis karena data sekunder tidak
mencantumkan posisi kasus masing-masing.
(b) Suami menganiaya korban sehingga mengalami gangguan psikis,
dasar hukum yang digunakan oleh jaksanya adalah pasal 356 KUHP jo pasal 44
UU PKDRT, kasus ini oleh kepolisian dilimpahkan ke kejaksaan. Polisi
mengemukakan beberapa komentar tentang kasus-kasus KDRT yang ditangani:
(c) 4 (empat) kasus kekerasan fisik suami kepada istri, yang satu
menampar muka istri yang kedua memukul muka istri dengan tangan kosong dan
yang ketiga mencekik istri dan yang keempat memukul dan menggigit. Pasal yang
didakwakan: yang satu pelaku didakwa dengan pasal 356 KUHP jo pasal 44 ayat
(4) UUPKDRT tentang kekerasan ringan yang merupakan delik aduan. Pasal 356
KUHP merupakan penganiayaan sebagaimana yang dikategorikan oleh pasal 351,
353 dan 354 KUHP yang dilakukan terhadap keluarga (angka 1 e). Nampaknya
76

penegak hukum yang menangani kasus ini tidak merasa yakin dengan hanya
menggunakan dasar hukum undang-undang yang baru, karena itu mereka masih
menggunakan KUHP. Tapi kasus yang kedua, mereka hanya menggunakan pasal
44 UU PKDRT, tapi tidak ditulis dalam data sekunder ayatnya yang berapa, tapi
melihat dua-dua kasus itu dihentikan karena korban mencabut laporannya, maka
pasal yang dikenakan pasal 44 ayat (4). Sedangkan kasus ketiga dan keempat
juga hanya menggunakan pasal 356 KUHP saja, tapi yang ini dilanjutkan.
(d) Kasus ini pemukulan suami terhadap terhadap istri kedua, pasal
yang digunakan 351 KUHP. Ini agak mengherankan, karena tidak menggunakan
UU PKDRT, apakah karena istri kedua, dianggap tidak satu rumah dengan suami,
hal yang demikian tidak mungkin. Kemungkinan yang lebih mendekati dengan
kenyataan adalah tidak merasa yakin bahwa kasus tersebut buktinya memenuhi
pasal 44 ayat (1-4), karena sejak mereka diangkat menjadi penegak hukum KUHP
merupakan undang-undang yang selalu mereka pakai, jadi faktor penyebabnya
mereka masih belum terbiasa, perlu waktu. Hanya saja ada kasus yang
menggunakan undang-undang baru, ada yang di junctokan dan ada yang hanya
KUHP. Setelah ditanyakan kepada bagian pidana umum, maka dia terus terang
bahwa penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun hakim yang
menangani kasus-kasus KDRT, lebih paham dengan isi pasal dalam KUHP, kalau
menggunakan UU PKDRT takut tidak terbukti dan lepas..
(e) Sama 5 kasus lagi kasus KDRT dengan menggunakan pasal 356
sebagai dasar dakwaan, maupun putusan.
(f) Hanya kasus yang satu ini, yakni pembantu rumah tangga yang
menculik anak majikannya yang didakwa dengan pasal 83 UU Perlindungan Anak
(PA).
Pendapat responden mendukung hal tersebut :

Box 8: Pertimbangan mengapa menggunakan KUHP


Dalam menyelesaikan perkara KDRT tidak harus menggunakan UU PKDRT, tapi
melihat tuntutannya, Dalam dakwaan, kadangkala primer menggunakan pasal 351
tentang penganiayaan yang memang lebih berat tuntutannya dan lebih mudah
pemeriksaannya, karena masih umum sifatnya.
Tapi kalau KDRT terdapat kendala yang mana korban harus didatangkan ke sidang,
padahal kadangkala korban jauh tempat tinggalnya dan harus mengurus anak-
anaknya. UU PKDRT tidak melihat tujuan perdamaian dalam keluarga, melainkan
malah membuat berbagai masalah baru sebagai dampaknya.
Kepolisian menggunakan UU PKDRT yang merupakan tindak pidana yang harus
ada pengaduannya dimana disitu untuk memberikan waktu pada korban dan
tersangka untuk berpikir kembali untuk mendamaikan keluarga.

Pada kasus yang saya tangani: korban merupakan istri sah dari terdakwa, korban
sering meninggalkan rumah tanpa pamit suaminya dan kalau terima telpun dari
temannya, selalu diterima dengan sembunyi-sembunyi. Korban sudah diingatkan
akan tetapi tetap tidak berubah, sehingga suatu ketika ditempeleng sebanyak 3 (tiga)
kali. Terdakwa terbukti dan dipidana selama 3 (tiga) bulan (Ono, 2005)

Dari hasil analisis tentang faktor-faktor yang mendorong penegak hukum masih
menggunakan KUHP, baik sendiri maupun dijunctokan dengan UU PKDRT atau UU PA,
maka dapat disimpulkan di Kota Surabaya penegak hukumnya ternyata masih gamang
menggunakan undang-undang baru, karena mereka merasa lebih paham dengan KUHP.

4.5.3. Kabupaten Jember


77

Hampir sama dengan di Kota Surabaya, Kabupaten Jember juga sering masih
menggunakan KUHP sendiri-sndiri maupun bersama-sama dengan undang-undang
yang baru, UU Penghapusan KDRT atau UU PA.
Kasus-kasus yang ditangani dapat dianalisis faktor-faktor pendorongnya sebagai
berikut:
(1) Terdapat 2 kasus kekerasan fisik, yang satu dilakukan oleh suami, yang lain
dilakukan oleh keluarga. Yang dilakukan oleh suami menggunakan pasal 44, 45
UU PKDRT dan yang dilakukan keluarga menggunakan pasal 352 dan 365 KUHP.
Tidak cukup informasi dalam posisi kasus pertama sehingga menggunakan pasal
44 dan 45 UU PKDRT tanpa dirinci tentang ayatnya, walaupun subsidernya masih
menggunakan pasal 356 KUHP, sehingga sulit menganalisis faktor-faktor yang
mendorong penegak hukum menggunakan pasal-pasal tersebut. Untuk kasus
yang kedua, pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga digunakan (lihat huruf b:
“orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga …….., yang menetap dalam
rumah tangga”. Sehingga kekerasan yang dilakukan oleh keluarga yang mungkin
pelakunya tidak dalam satu rumah tangga menggunakan KUHP.
(2) Ada 5 (lima) kasus kekerasan seksual, 3 (tiga) kasus antara paman dan
keponakan, satu kasus pelaku sepupunya yang satu lagi pelakunya keluarga. 4
(empat) kasus  3 (tiga) kasus kekerasan seksual antara paman dan keponakan
dan satu kasus antar sepupu, semuanya menggunakan UU PA dan KUHP, karena
semua korbannya anak-anak. Hanya satu yang menggunakan KUHP saja, yakni
kekerasan seksual antar keluarga. Penggunaan dasar hukum ini yang 4 (empat)
kasus sudah tepat, sedangkan untuk kasus kekerasan antar keluarga, lagi-lagi
pasal 2 tentang lingkup rumah tangga merupakan faktor penyebab penegak
hukum masih menggunakan KUHP. Jadi interpretasi restriktif dari pasal 2
merupakan faktor penyebabnya.
(3) Kasus lainnya adalah kasus-kasus kekerasan fisik terhadap istri dan anak, 3 (tiga)
kasus korbannya istri dan anak, satu kasus korbannya istri. Satu kasus
menggunakan UU PKDRT (pasal 44 ayat (1) dan (2)) saja; satu kasus
menggunakan pasal 44 ayat (2) jo pasal 351 ayat (1) KUHP, satu kasus
menggunakan pasal 44 ayat (1) dan pasal 2 ayat (1) UU Darurat Th.1951 tentang
larangan membawa senjata tajam, yang terakhir menggunakan pasal 356 ayat (1)
angka 1e.
(4) Pada kasus pembunuhan bayi oleh ibunya, pasal 341 KUHP yang dijadikan dasar
hukumnya.
Nampaknya penegak hukum di Kabupaten Jember tidak jauh berbeda dengan
penegak hukum yang ada di Kota Surabaya, karena mereka juga masih merasa bahwa
KUHP masih lebih baik digunakan sebagai dasar hukum penuntutan maupun putusan
kasus-kasus KDRT. Kelemahan atau restriksi pasal 2 tentang ruang lingkup rumah
tangga digunakan pula sebagai hal-hal yang mendorong penegak hukum untuk kembali
menggunakan KUHP. Beberapa wawancara berikut menunjukkan hal tersebut.

Box 9: Alasan menggunakan KUHP


Saya pernah menangani kasus ada seorang perempuan yang menjadi korban,
melaporkan suaminya telah menganiaya dia, tapi ketika saya minta surat kawin, dia
tidak dapat menunjukkan hal itu, jadi saya ya menggunakan pasal-pasal dalam
KUHP untuk memproses kasusnya (Cholifah, 2005).

Saya tidak merasa ada kesulitan dalam menangani kasus-kasus KDRT, kalau sulit
mencari buktinya dalam menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT, maklum
78

masih baru, belum terbiasa, ya saya gunakan KUHP yang bagi saya lebih mudah
untuk mencari buktinya, yang KUHP biasanya dakwaan subsider, kalau primernya
tidak terbukti, dari pada lepas (Herman, 2005).

Hakim itu hanya memeriksa perkara di sidang dengan apa yang didakwakan oleh
jaksa sebagai penuntut umum dalam surat dakwaan, jadi tidak dapat lebih dari itu.
Oleh karena itu perlu sosialisasi kepada polisi dan jaksa serta masyarakat karena
kebanyakan mereka belum tahu (Astuti, 2005).

Jadi pendorong utama dalam hal masih menggunakan pasal-pasal dalam KUHP
adalah ketakutan akan lepasnya pelaku kalau hanya menggunakan pasal-pasal dalam
UU PKDRT yang pembuktiannya menurut para penegak hukum lebih sulit.

4.5.4. Kabupaten Bondowoso


Di Kabupaten Bondowoso terdapat 6 (kasus) yang dicantumkan dalam data
sekunder dari ketiga instansi penegak hukum. Lebih rincinya sebagai berikut.
(a) Kasus pertama adalah kasus suami yang memalsukan surat kawin. Kasus
pemalsuan tidak diatur dalam UU PKDRT, sehingga penggunaan pasal 263 ayat
(2) KUHP sudah tepat.
(b) Paman yang melakukan kekerasan seksual terhadap keponakannya, pasal 287
ayat (1) jo pasal 290 ayat (2) digunakan sebagai dakwaan maupun putusan
pengadilan. Untuk kasus ini analisisnya sama dengan yang telah dilakukan pada
penegak hukum di Kota Surabaya maupun penegak hukum di Kabupaten
Jember; yakni restriksi pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga yang menjadi
faktor pendorong utamanya.
(c) Kasus ketiga tentang seorang ibu yang menelantarkan bayinya masih juga
menggunakan pasal 305 atau pasal 307 KUHP dan pasal 77 UU PA. Justru
penanganan kasus ini dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP sebagai
dakwaan primer merupakan bukti bahwa penegak hukum masih belum nyaman
atau masih gamang dalam menggunakan undang-undang yang baru.
(d) Kasus keempat, yakni ayah tiri melakukan kekerasan seksual dengan anak
tirinya, pasal 285 KUHP yang digunakan karena kasus tersebut terjadi pada
tahun 2003, demikian pula kasus kelima, ayah kandung yang memperkosa
anaknya sendiri.
(e) Terakhir, ayah yang membawa lari anak angkatnya, dalam UU PKDRT juga tidak
mengatur, sehingga pasal 328 jo 55 ayat (1) digunakan sebagai dasar dakwaan
dan putusan pengadilan.
Data sekunder yang ada pada Kabupaten Bondowoso sebenarnya hanya 2 kasus,
yakni kasus kedua (paman dan keponakan dan ibu menelantarkan bayinya yang
merupakan KDRT yang terjadi setelah UU PKDRT disahkan. Tapi kasus ibu yang
menelantarkan bayinya maupun kasus paman yang melakukan kekerasan seksual
terhadap keponakannya tetap sama faktor pendorong penggunaan dasar hukumnya,
takut lepasnya pelaku kalau hanya menggunakan undang-undang yang baru, dan
restriksi pasal 2 UU PKDRT.

4.5.5. Kabupaten Tulungagung


Penegak hukum di Tulungagung, nampaknya berbeda dengan kabupaten atau
kota yang menjadi lokasi penelitian yang lain. Kabupaten hampir sama dengan
kabupaten Pamekasan, sama pula kasus-kasus yang dicantumkan dalam data sekunder
juga kasus-kasus yang terjadi setelah 1 Januari 2005. Jadi ada waktu 2-3 bulan untuk
79

menerapkan undang-undang yang baru. Rincian tentang faktor-faktor yang


mempengaruhi penegak hukum menggunakan dasar hukum akan dibahas berikut:
(1) Terjadi 3 (tiga) kasus tentang kekerasan suami terhadap istri. Pasal yang
digunakan adalah pasal 44 ayat (1) dan ayat (4). Dua kasus masih dalam tahap
penyidikan, satu sudah diputus 10 bulan penjara dan satu dicabut karena pasal
yang digunakan sebagai dakwaan adalah pasal 44 ayat (4) kekerasan ringan.
(2) Satu kasus masih dalam tahap penyelidikan, karena suami kawin lagi tanpa
sepengetahuan istrinya yang lagi bekerja di Malaysia, istrinya tidak pernah diberi
nafkah. Kasus ini memang sulit diproses pidananya, kawin lagi tanpa izin istri
memang melanggar UU Perkawinan 1970, tapi dakwaan Polisi menggunakan
pasal 49 huruf a merupakan uji coba yang cukup berani. Kalau kasus ini dapat
dilanjutkan sampai sidang dan diputus, maka bisa di bagi pengalaman kepada
penegak hukum di daerah lain. Hasil wawancara dengan polisi yang di RPK
Kabupaten Tulungagung berikut mengungkapkan hal itu:

Box 10: Alasan menggunakan UU PKDRT


Saya sering ikut pertemuan di Provinsi yang membahas tentang kekerasan terhadap
perempuan, kita memang selalu diundang. Sejak Januari kami menggunakan pasal-
pasal yang tercantum dalam UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT di
Tulungagung. Alasannya adalah UU tersebut telah disahkan oleh eksekutuf dan
legislatif, maka penegak hukum harus menerapkannya dengan baik.
Di dalam instansi kami, biasanya atasan kami akan melakukan rapat koordinasi untuk
melimpahkan kasus-kasus yang dianggap ada kendala, saya sendiri beserta unit-unit
yang lain dalam reskrim akan mempertahankan dasar tuntutan yang kami gunakan
dengan melampirkan bukti-bukti yang kami cari sedapat mungkin. Biasanya atasan
akan menyetujui kalau buktinya memadai dan mengusulkan penggunaan pasal yang
lain kalau buktinya kurang. Dengan cara ini menurut pengalaman kami kasus-kasus
yang kami proses, alhamdulillah tidak ada yang tidak dapat diselesaikan, baik tidak
dilanjutkan di kejaksaan maupun diputus bebas dari pengadilan (Lina, 2005).

(3) Kasus berikutnya adalah kasus seorang bapak yang menganiaya anaknya. Kasus
ini juga dikenai pasal 44 ayat (4), dan tidak dicabut oleh ibu korban yang
melaporkan kasus ini. Hal ini terjadi karena polisi dengan halus memberikan
penguatan kepada ibu tersebut, sebagaimana hasil wawncara berikut:

Box 11:
Untuk kasus-kasus yang delik aduan, saya pribadi biasanya mencoba untuk
menguatkan korban dalam menyelesaikan kasusnya. Mereka memang selalu
ketakutan akan tidak adanya atau berkurangnya nafkah dalam rumah tangga mereka.
Tetapi saya kemukakan tentang pengalaman orang-orang lain yang terkena kasus ini,
biasanya mereka mau melanjutkan kasusnya (Lina, 2005).

(4) Terakhir kasus bapak yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak tirinya
yang telah benar menggunakan pasal 46 UU PKDRT.
Dengan penggunaan dasar hukum yang demikian itu, maka faktor-faktor yang
mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum yang seperti itu di Kabupaten
Tulungagung terutama karena instansi kepolisian punya kecermatan dan ketelatenan
yang lebih dalam menggunakan UU PKDRT. Susah payah merekalah yang mendorong
kasus-kasus di Tulungagung diselesaikan dengan menggunakan dasar hukum undang-
undang yang baru.

4.5.6. Kabupaten Ponorogo


80

Kabupaten Ponorogo merupakan kabupaten yang menurut informasi dari panitera


Pengadilan Negeri setempat kasus-kasus KDRT-nya nihil, tapi wawancara dengan
responden dari pengadilan, mungkin terjadi salah komunikasi, karena hakim ini mengaku
bahwa selama ini dia menangani kasus-kasus KDRT dengan pasal-pasal yang ada
dalam KUHP. Baru setelah mendapat UU KDRT dari pertemuan hakim dalam kegiatan
“Try Out Modul Trafiking bagi Hakim”, mereka mau menangani kasus berdasarkan UU
PKDRT (lihat hasil wawancara dengan hakim dan jaksa pada Box 1 dan 2). Jadi yang
menjadi faktor utama di Kabupaten Ponorogo adalah keterlambatan memperoleh
informasi tentang undang-undang baru.

Deskripsi dan analisis tentang faktor-faktor yang mendorong penegak hukum


menggunakan dasar hukum tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Faktor pertama yang mendorong sebagian penegak hukum masih menggunakan
KUHP sebagai dasar dakwaan dan putusan dalam kasus-kasus KDRT adalah:
pembuktian KUHP lebih mudah, karena mereka telah menggunakan KUHP sejak
mereka diangkat menjadi penegak hukum.
2. Fakor kedua, adalah: di satu lokasi hakim dan jaksanya mengakui bahwa
informasi tentang undang-undang baru kepada mereka lambat sampainya,
sehingga mereka tidak dapat menggunakannya sebagai dasar hukum.
3. Selain kedua faktor tersebut, masalah pelakunya yang merupakan pencari nafkah
utama dalam keluarga merupakan faktor penting yang mendorong penegak
hukum untuk mengenakan pasal-pasal dalam KUHP maupun UU PKDRT yang
mengatur tentang delik aduan yang digunakan untuk menangani kasus-kasus
kekerasan fisik. Kelanjutan kehidupan ekonomi keuarga yang mereka
pertimbangkan betul.
4. Sebagian yang lain telah menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT dan UU PA
untuk kasus-kasus yang korbannya anak, ini sering dimulai dari pemahaman
kepolisian sebagai instansi terdepan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
(lihat kasus di Tulungagung) atau hakimnya (lihat kasus di Pamekasan). Jadi
koordinasi antar ketiga penegak hukum sangat penting dalam berjalannya sistem
hukum pada umumnya dan dalam penanganan kasus-kasus KDRT khususnya.

4.6. KRIMINOLOGI, VICTIMOLOGI DAN PEMIDANAAN


4.6.1. Kriminologi
4.6.1.1. Persepsi penegak hukum
Kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab seseorang
melakukan tindak pidana dan bagaimana penegak hukum melakukan upaya
penanggulangan dan penanganan terhadap tindak pidana, khususnya memberikan
perlakuan yang sama terhadap pelaku dan korban. Pengetahuan tentang kriminologi
menjadi penting tatkala penegak hukum berhadapan dengan kasus-kasus KDRT mulai
dari penyeledikan, penyidikan, penuntutan hingga tahap pemeriksaan di persidangan.

Tabel 17: Persepsi responden tentang kriminologi


PERSEPSI PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
n % n % n % n %
1. ilmu yang menjelaskan tentang sebab- 4 6,6 1 4,2 2 11,1 1 5,3
sebab orang melakukan kejahatan
2. ilmu yang menjelaskan tentang pelaku 5 8,2 1 4,2 2 11,1 2 10,5
81

kejahatan, baik untuk wawasan


3. ilmu yang menjelaskan tentang pelaku 14 23,0 2 8,3 4 22,2 8 42,1
penting untuk menyelesaikan tugas
4. tidak menjawab 38 62,3 20 83,3 10 55,6 8 42,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber: Data primer, 2005

Persepsi penegak hukum tentang kriminologi sebagai ilmu yang menjelaskan


tentang sebab-sebab kejahatan masih kurang, hal ini ditunjukkan bahwa sebanyak 6,6 %
responden menyatakan kurang memahami tentang kriminologi. Selain itu, 8,2 % penegak
hukum menyatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu yang menjelaskan tentang pelaku
kejahatan, dan hanya berfungsi sebagai wawasan. Data selanjutnya menyebutkan
bahwa hanya 23 % responden yang menyatakan bahwa kriminologi penting untuk
menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana terutama yang berhubungan dengan KDRT.
Setelah mendeskripsikan dan menganalisis persepsi yang ditengarai dengan
pengetahuan, pemahaman dan sikap responden tentang gender, maka persepsi
responden tentang pelaku KDRT akan dideskripsikan dan dianalsis.
Berdasarkan pendapat Hurwitz yang disadur oleh Moelyatno (1982) yang
mengemukakan bahwa sebab-sebab seseorang yang melakukan kejahatan dimulai dari
faktor biologis, dimana faktor kepribadian dan keturunan menjadi faktor penting dalam
penelitiannya; sedangkan faktor lainnya adalah ditinjau dari sudut sosiologis yang
berpendapat bahwa faktor lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh dalam
seseorang yang melakukan perbuatan kriminal. Pengetahuan, pemahaman dan sikap
penegak hukum akan diteliti dari teori tersebut. Selain itu, pendapat Moleyatno tentang
adanya “hidden criminality” yang dalam penelitian ini akan diterapkan pada tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang hal ini akan menunjukkan bahwa tindak
pidana yang dilaporkan hanya merupakan pucuk dari gunung es, dan yang tidak
dilaporkan jumlahnya sangat banyak.

4.6.1.2. Pengetahuan penegak hukum tentang krominologi


Pengetahuan penegak hukum yang diambil datanya kepada para responden
dalam penelitian ini adalah apakah mereka pernah mendengar dan mengetahui tentang
kriminologi, dari mana pengetahuan tersebut didapat, apakah mereka punya buku atau
makalah tentang kriminologi dan dari mana buku tersebut berasal. Untuk
mendeskripsikan tentang pengetahuan responden tentang pelaku KDRT, tabel berikut
menampilkannya:
Tabel 18 : Pengetahuan penegak hukum tentang kriminologi
Kriminologi PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
(pelaku KDRT) HUKUM
Tahu tentang kriminologi n % n % n % n %
1. belum pernah 3 4,9 1 4,2 1 5,6 1 5,3
2. pernah 58 95,1 23 95,8 17 94,4 18 94,7
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. media 4 6,6 3 12,5 1 5,6 0 0,0
2. seminar 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
3. pelatihan, workshop 9 14,8 9 37,5 0 0,0 0 0,0
4. dari instansinya masing-masing 30 49,2 3 12,5 15 83,3 12 63,2
5. dari membaca buku/makalah 9 14,8 3 12,5 0 0,0 6 31,6
6. dari kuliah 8 13,1 5 20,8 2 11,1 1 5,3
82

7. tidak menjawab
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 21 34,4 15 62,5 4 22,2 2 10,5
2. punya 30 49,2 6 25,0 9 50,0 15 78,9
3. tidak menjawab 10 16,4 3 12,5 5 27,8 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Asal dari buku/makalah n % n % n % n %


1. instansi 3 4,9 3 12,5 0 0,0 0 0,0
2. LSM, Perguruan Tinggi 2 3,3 0 0,0 1 5,6 1 5,3
3. beli 23 37,7 2 8,3 7 38,9 14 73,7
4. tidak menjawab 33 54,1 19 79,2 10 55,6 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Persepsi penegak hukum tentang kriminologi (pelaku KDRT), juga berdasarkan


pendapat Braca (1955); Kast (1970) dan Gibson (1950), juga dimulai dengan membahas
data tentang pengetahuan yang merupakan stimuli, kemudian pemahamannya yang
merupakan penetapan arti stimuli yang mereka dapatkan dan sikap yang nantinya akan
menentukan perilaku seseorang yang dalam hal ini para penegak hukum yang akan
menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang mereka tangani. Data yang ada menunjukkan
bahwa hampir semua responden menyatakan bahwa mereka pernah mendengar dan
mengetahui tentang kriminologi atau pelaku tindak pidana. Data keseluruhan responden
sama dengan data masing-masing instansi polanya.
Tapi sumber atau asal pengetahuan tersebut dari mana mempunyai pola yang
tidak sama antara instansi. Data seluruh responden menampilkan bahwa yang terbesar
persentasenya adalah mendapatkan pengetahuan kriminologi dari instansinya masing-
masing, yakni setengah dari responden, ranking berikutnya adalah dari membaca buku
atau makalah. Pola yang sama hanya ada pada responden dari kejaksaan dan
pengadilan, yang berbeda adalah polisinya. Pada kepolisian, yang terbesar
persentasenya justru dari pelatihan atau workshop, jadi bukan dari instansinya sendiri,
melainkan dari lembaga lain. Selanjutnya, pertanyaan pada responden tentang
kepemilikan buku atau makalah, maka data yang ada pada seluruh responden
memaparkan persentase yang punya lebih banyak (49,2%) dari pada yang tidak punya
(34,4%). Pada instansi kepolisian, yang punya buku hanya 25%, yang tidak punya
jumlahnya dua kali lipat lebih; untuk kejaksaan terbalik yang punya dua kali yang tidak
punya, sedangkan pengadilan, ternya yang punya buku 8 (delapan) kali yang tidak punya
buku. Apabila dicermati data tentang dari mana asal bukunya persentase terbesar ada
pada membeli, pola yang demikian juga ada pada instansi kejaksaan dan pengadilan,
sedangkan pada instansi kepolisian nampaknya yang beli jumlahnya lebih kecil dari pada
yang diberi oleh instansinya.
Dengan data yang seperti itu dapat disimpulkan bahwa pengetahuan penegak
hukum tentang kriminologi cukup tinggi persentasenya, tapi persentase ini didominasi
oleh instansi kejaksaan dan pengadilan. Pengetahuan mereka didapatkan dari membaca
buku dan dari saat mereka kuliah. Senada dengan pengetahuan kedua instansi tersebut
kepemilikan bukunya juga cukup tinggi persentasenya, dan asal buku yang mereka
punya adalah dari pembelian. Berbeda dengan kedua instansi tersebut, maka instansi
kepolisian sumber pengetahuan mereka adalah dari pelatihan atau workshop dan
kepemilikan bukunya rendah persentasenya. Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan
83

polisi dari tamatan SMA, sehingga wajar kalau sumber pengetahuan mereka dari
pelatihan atau workshop, mereka jarang yang kuliah lagi setelah bekerja sebagai polisi.

4.6.1.3. Pemahaman penegak hukum tentang kriminologi


Pemahaman penegak hukum dalam penelitian ini diuji dengan teori tentang
sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan “hidden criminality” pada kasus-
kasus tindak pidana tertentu. Apabila seorang penegak hukum memahami teori-teori
tentang sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana atau kriminologi, diharapkan
dapat memperlakukan pelaku sebagaimana yang diidealkan dalam teori. Dan
pemahaman teori tentang “hidden criminality” diharapkan dapat menjadikan penegak
hukum memahami jumlah kasus yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan,
serta seseorang yang melaporkan pasti telah mengalami penderitaan berdasarkan
tingkat penderitaan dan lamanya waktu mengalami penderitaan tersebut. Untuk
mendeskripsikan pemahaman responden tentang kriminologi dalam hal ini pelaku KDRT,
tabel berikut menampilkan hal itu.

Tabel 19: Pemahaman penegak hukum tentang kriminologi


Pemahaman PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
(pernyataan) HUKUM
Sebab-2 melakukan kejahatan n % n % n % n %
1. tidak ada orang yang dilahirkan jahat 9 14,8 4 16,7 2 11,1 3 15,8
2. lingkungan yang mempengaruhi orang 6 9,8 4 16,7 2 11,1 0 0,0
untuk menjadi jahat
3. pengaruh lingkungan lebih besar 39 63,9 11 45,8 13 72,2 15 78,9
4. jawaban 1 dan 3 4 6,6 4 16, 7 0 0,0 0 0.0
5. jawaban 2 dan 3 1 1,6 0 0,0 0 0,0 1 5,3
6. jawaban 1, 2 dan 3 2 3,3 1 4,2 1 5,6 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

KDRT merupakan ‘hidden crimminality’ n % n % n % n %


1. pengetahuan masyarakat ttg hak untuk 36 59,0 14 55,8 12 66,7 10 52,6
tdk mengalami kekerasan yang kurang
2. karena pelaku merupakan pencari 8 13,1 3 12,5 0 0,0 5 26,3
nafkah keluarga
3. karena ada UU yang telah mengatur 3 4,9 1 4,2 1 5,6 0 0,0
4. pikiran orang tidak tetap 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. problem keluarga 4 6,6 0 0,0 4 22,2 0 0,0
6. jawaban 1 dan 2 4 6,6 1 4,2 1 5,6 2 10,5
7. tidak menjawab 6 9,8 4 16,7 0 0,0 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Pernyataan yang ditampilkan dalam kuesioner untuk menggali data tentang


pemahaman responden tentang pelaku tindak pidana adalah sebab-sebab orang
melakukan tindak pidana adalah (1) tidak ada orang yang dilahirkan jahat; lingkungan
mempengaruhi orang untuk menjadi jahat; (3) pengaruh lingkungan lebih besar. Setelah
dicermati maka persentase yang terbesar ada pada pilihan jawaban ketiga, yaitu
pengaruh lingkungan lebih besar (63,9%), ranking berikutnya adalah pilihan jawaban
pertama (14,8%). Pola yang demikian itu diikuti oleh masing-masing instansi.
84

Pengujian pemahaman yang kedua adalah tentang “hidden criminality”. Berbeda


dengan teori-teori tentang faktor-faktor penyebab yang cukup populer sehingga banyak
aparat penegak hukum yang cukup memahaminya, teori tentang kejahatan tersembunyi
ini tidak banyak yang mengetahuinya. Hal ini dilihat dari banyaknya responden yang
menjawab pada pilihan jawaban pertama yang sebenarnya kaitannya dengan teori
hidden crimminality terlalu jauh, dan lebih tepat pilihan jawaban kedua yakni karena
pelaku kekerasan merupakan pencari nafkah bagi keluarganya. Apalagi yang memilih
untuk menjawab sendiri pernyataan tersebut, hanya satu jawaban yang relevan yakni
bahwa KDRT bukan merupakan kejahatan melainkan lebih pada merupakan problem
keluarga.
Persentase terbesar dari pernyataan itu ada pada pilihan jawaban pertama
(59,0%), yakni pengetahuan masyarakat tentang hak seseorang untuk tidak mengalami
kekerasan yang kurang. Ranking pilihan jawaban berikutnya pada keseluruhan
responden adalah karena pelaku merupakan pencari nafkah keluarga (13,1%) dan
ketiga, lebih pada problem keluarga. Pola yang sama dengan responden secara
keseluruhan adalah instansi kepolisian dan pengadilan, sedangkan kejaksaan polanya
berbeda karena ranking keduanya adalah: problem keluarga.

4.6.1.4. Sikap penegak hukum


Setelah membahas tentang pemahaman, maka sikap penegak hukum dalam
penelitian ini ditengarai dengan mengajukan kasus tindak pidana KDRT tentang seorang
suami yang memukul istrinya dengan alasan untuk mendidik istri dengan pilihan jawaban
kalau istri melakukan perlawanan terhadap suami, maka dia memang harus dipukul yang
artinya setuju dengan pernyataannya. Pilihan jawaban kedua adalah: memukul istri
walaupun ringan tetap merupakan tindak pidana. Kasus berikutnya yang diujikan pada
penegak hukum adalah pernyataan: suami terkena PHK, di rumah selalu marah dan
memukuli anak-anaknya sampai ada yang terluka, istri melaporkan ke kepolisian. Pilihan
jawabannya adalah: tindakan istri sudah benar, laporan ditindak lanjuti; pilihan jawaban
kedua: suami istri dinasehati supaya rukun dan tidak menganiaya anak-anak. Tabel
berikut menampilkan jawaban para penegak hukum yang menjadi responden dalam
penelitian ini.

Tabel 20 : Sikap penegak hukum tentang kriminologi


Sikap PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Kekerasan fisik thd istri n % N % n % n %
1. istri melawan suami memang harus 3 4,9 2 8,4 0 0,0 1 5,3
dipukul
2. memukul istri walaupun ringan tetap 52 85,3 21 87,5 14 77,8 17 89,5
merupakan tindak pidana
3. kalau berat dihukum 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
4. problem keluarga 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
5. dilihat per kasus 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
6. diperingatkan lebih dahulu 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
7. jawaban 1 dan 2 1 1,6 0 0,0 0 0,0 1 5,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Hak korban untuk melapor n % N % n % N %


1, tindakan istri benar, laporan ditindak 22 36,1 6 25,0 7 38,9 9 47,4
lanjuti
2. suami istri dinasehati supaya rukun, 27 44,3 11 45,8 9 50,0 7 36,8
tidak memukuli istri dan anak-anaknya
85

3. faktor psikologi 3 4,9 0 0,0 2 11,1 1 5,3


4. ada batas toleransinya 1 1,6 0 0,0 0 0,0 1 5,3
5. jawaban 1 dan 2 5 8,2 5 20,8 0 0,0 0 0,0
6. tidak menjawab 3 4,9 2 8,3 0 0,0 1 5,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Tabel yang ada menampilkan data bahwa persentase terbesar ada pada pilihan
jawaban memukul istri walaupun ringan tetap merupakan tindak pidana, baik data yang
ada pada seluruh responden (85,3%), maupun data yang ada pada masing-masing
instansi (87,5% dari kepolisian; 77,8% kejaksaan dan 89,5% pengadilan), walaupun ada
responden yang memilih jawaban membenarkan suami untuk memukul istri tapi
persentasenya kecil. Sikap penegak hukum yang demikian ini karena mereka sangat
mematuhi pengaturan undang-undang, walaupun didalam hatinya tidak setuju, tapi kalau
bunyi undang-udangnya demikian, maka mereka akan mematuhinya secara total. Hal itu
dikuatkan dengan pilihan jawaban dari pernyataan kedua. Pada pernyataan yang kedua,
pilihan jawabannya kebanyakan ada pada pilihan jawaban seharusnya suami istri
dinasehati terlebih dahulu supaya rukun dan tidak memukuli anak-anaknya. Pola datanya
sama, baik responden secara keseluruhan maupun masing-masing instansinya.
Dari pemahaman dan sikap yang demikian itu dapat diambil kesimpulan: (1)
pemahaman penegak hukum tentang teori-teori kriminologi cukup memadai, satu teori
kebanyakan penegak hukum paham dan teori yang lain lebih kecil jumlahnya yang
paham. Dari pengetahuan dan pemahaman yang demikian itu, maka sikapnya juga dapat
memilih jawaban yang seharusnya pada penyataan yang pertama dan sifat patriarkhinya
muncul setelah dipertanyakan sikapnya pada tindakan seorang suami yang karena PHK
memukuli anak-anaknya dan dilaporkan oleh istrinya.

4.6.2. Victimologi
4.6.2.1. Persepsi penegak hukum tentang victimologi
Victimologi adalah suatu ilmu yang membahas tentang hak-hak korban tindak
pidana untuk mendapatkan hak-haknya. Pengetahuan tentang viktimologi diperlukan oleh
penegak hukum agar korban mendapatkan hak-haknya termasuk pemulihan atas
kerugian yang dideritanya, termasuk di dalamnya korban KDRT.

Tabel 21 : Persepsi Responden tentang victimologi


PERSEPSI PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
n % N % n % n %
1. victimologi berguna utk memperluas wa 10 16,4 1 4,2 0 0,0 0 0,0
wasan penegak hukum dlm bertugas
2. victimologi berguna untuk menangani 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
korban
3. tidak tahu artinya 1 1,6 1 4,2 3 16,7 6 31,6
4. tidak menjawab 49 80,3 21 80,3 15 83,3 13 83 ,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber: Data primer, 2005

Dari data di atas, sebanyak 16, 4 % responden menyatakan bahwa viktimologi


berguna untuk memperluas wawasan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Sayangnya hal ini tidak diikuti dengan upaya penerapan dalam penanganan korban. Hal
86

ini ditunjukkan dengan 1, 6 % responden yang mempertimbangkan masalah viktimologi


untuk menangani korban. Namun, pada kenyataannya masih ada 1,6 % penegak hukum
yang tidak mengerti mengenai viktimologi tersebut.. Sedangkankan yang tidak menjawab
pertanyaan tersebut sebanyak 80,3 % dengan alasan terbanyak adalah baru pertama kali
mendengar istilah viktimologi.
4.6.2.2. Pengetahuan penegak hukum tentang victimologi
Berbeda dengan pernah tidaknya mendengar dan mengetahui terminologi
kriminologi, terminologi victimologi, agak jarang didengar dan diketahui oleh aparat
penegak hukum. Seperti dikemukakan dalam bab kajian pustaka sebelumnya di
Indonesia sendiri kajian tentang korban tindak pidana secara umum masih jarang ditulis
secara ilmiah. Apalagi dalam produk perundang-undangannya tidak ada yang
memberikan perhatian lebih pada korban. KUHP misalnya fokusnya hanya pada pelaku,
dari pemidanaannya maupun hak-hak pelakunya, hak-hak korban tidak ada perhatian
sama sekali. Bahkan Schafer (1968: 66-68) mengemukakan bahwa korban berperan
dalam mewujudkan suatu tindak pidana terutama tindak pidana penganiayaan berat
sebagai “insterpersonal relationship”. Walaupun demikian, korban, terutama korban
penganiayaan berat selalu mendapat simpati yang tulus dari masyarakat. Seharusnya
sistem peradilan pidana juga menjadi penyelamat dan pemulihan penderitaan korban dan
memberikan perlindungan kepada korban ketika korban harus menjadi saksi dalam
tindak pidana yang dialaminya. Kenyataannya justru lebih berkonsentrasi pada
pemulihan pelaku untuk kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman.
Kemungkinan ini turunan dari teori pemidanaan berdasar pembalasan pada pelaku tindak
pidana. Dan yang lebih fatal lagi adalah seringkali proses peradilan membuat korban
menjadi lebih menderita, karena dia akan dipaksa untuk mengingat kembali hal-hal yang
menakutkan dan menyakitkan untuk memberikan kesaksiannya dari tahap penyelidikan
sampai perkara diputus. Tabel selanjutnya akan menampilkan data tentang
pengetahuan, pemahaman dan sikap penegak hukum dalam hal victimologi.

Tabel 22 : Pengetahuan penegak hukum tentang victimologi


VICTIMOLOGI PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
(korban KDRT) HUKUM
Tahu tentang victimologi n % n % n % N %
1. belum pernah 21 34,4 15 62,5 3 16,7 3 15,8
2. pernah 40 65,6 9 37,5 15 83,3 16 84,2
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber pengetahuan n % n % n % N %
1. media 8 13,1 5 20,8 3 16,7 0 0,0
2. seminar 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
3. kuliah 21 34,4 2 8,4 12 66,7 7 36,8
4. dari teman 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 10 16,4 2 8,4 0 0,0 8 42,1
6. tidak menjawab 20 32,8 13 54,2 3 16,7 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kepemilikan buku/makalah n % n % n % N %
1. tidak punya 18 29,5 7 29,2 5 16,7 6 31,6
2. punya 16 26,2 1 4,2 6 33,3 9 47,4
3. milik kantor 2 3,3 2 8,4 0 0,0 0 0,0
4. tidak menjawab 25 41,0 14 58,3 7 38,9 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
87

Asal dari buku/makalah n % n % n % N %


1. instansinya 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
2. LSM, Perguruan Tinggi 1 1,6 0 0,0 0 0,0 1 5,3
3. beli 16 26,2 3 12,5 5 27,8 8 42,1
4. tidak menjawab 43 70,5 21 87,5 12 66,7 10 52,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Untuk pengetahuan tentang victimologi, persentase penegak hukum yang tahu


lebih kecil dari pengetahuan mereka tentang kriminologi. Persentase seluruh responden
yang tahu hanya dua pertiga (bandingkan dengan 95% pada kriminologi). Pada instansi
kepolisian yang belum tahu justru dua per tiganya, terbalik; sedangkan pada kejaksaan
dan pengadilan polanya sama dengan seluruh responden, tapi persentase yang tahu
lebih besar (83,3% kejaksaan dan 84,2% pengadilan).
Adapun sumber pengetahuan mereka secara keseluruhan adalah dari kuliah, dan
instansi kejaksaan dan pengadilan juga punya pola yang seperti itu. Sumber
pengetahuan terbesar persentasenya justru dari media (20,8%), dan jumlah polisi yang
tidak menjawab sangat besar, yakni 4,2%.
Berikutnya data tentang kepemilikan buku. Jumlah yang memiliki hampir sama
dengan yang tidak memiliki. Tidak demikian dengan data dari responden polisi, selisih
antara yang memiliki buku dengan yang tidak, cukup jauh (29,2% yang punya dan 4,2%
yang tidak). Data dari responden jaksa dan hakim polanya sama, yang punya jumlahnya
lebih besar dari yang tidak punya. Terakhir, apabila dirunut tentang dari mana asal
kepemilikan buku atau makalah tersebut, maka kejaksaan dan pengadilan persentase
terbesar dari membeli.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah penegak yang tahu
tentang victimologi lebih kecil dari pada pengetahuan mereka tentang kriminologi.
Sebagian besar sumber dari ketahuan mereka adalah dari saat mereka kuliah baik S1
maupun S2. Terakhir, kepemilikan buku juga didominasi oleh responden jaksa dan
hakim.

4.6.2.3. Pemahaman penegak hukum tentang victimologi


Terdapat 2 (dua) pertanyaan dalam kuesioner untuk mencermati pemahaman
para penegak hukum tentang korban KDRT, yakni pernyataan tentang korban KDRT
merupakan korban dari sistem patriarkhi dan oleh karenanya korban KDRT harus
dilindungi karena pelaku dan korban satu rumah, sehingga korban harus secepatnya
dievakuasikan sehingga muncul model “perlindungan khusus bagi korban dalam UU
Penghapusan KDRT. Hal ini disesuaikan dengan pendapat Schafer (1968: 66-68) bahwa
korban mempunyai peran penting dengan terjadinya suatu tindak pidana penganiayaan
berat yaitu karena adanya hubungan antar personal yang ada, apalagi dalam kasus-
kasus KDRT yang tentunya pelaku dan korban berada dalam satu atap, walaupun tidak
semua kasus tindak penganiayaan berat demikian adanya. Betapapun menurut Reiff
(1977: 4) korban penganiayaan berat pada khususnya akan mendapat simpati tulus dari
masyarakat.

Tabel 23 : Pemahaman penegak hukum tentang victimologi


PEMAHAMAN PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Korban KDRT merupkan korban sistem n % n % n % N %
patriarkhi
1. masih merupakan budaya bahwa 24 39,3 10 41,7 5 27,8 9 47,4
88

suami adalah pemimpin keluarga


2. hubungan yang tidak setara 20 32,8 8 33,3 6 33,3 6 31,6
3. tidak tahu hak & kewajiban masing-2 5 8,2 2 8,4 4 22,2 0 0,0
4. istri adalah orang lain 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. terlalu dibesar-besarkan 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
6. hubungan tidak harmonis 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
7. tidak menjawab 7 11,5 3 12,5 0 0,0 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Keharusan melindungi korban n % n % n % N %


1. modus operandi KDRT spesifik, karena 38 62,3 16 66,7 11 61,1 11 58,0
itu korban harus dapat perlindungan
2. keluarga yg berselisih hrs didamaikan 15 24,6 7 29,2 5 27,8 3 15,8
3. pertimbangan per kasus 3 5,0 0 0,0 2 11,1 1 5,3
4. tidak menjawab 5 8,2 1 4,2 0 0,0 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Nampaknya para responden sepakat dengan kedua pernyataan yang


dikemukakan dalam kuesioner. Buktinya sebagian besar responden memilih jawaban
yang seimbang antara jawaban bahwa suami merupakan pemimpin keluarga
(“interpersonal relationship” menurut Schafer, 1968) dan jawaban bahwa hubungan
antara korban dan pelaku yang tidak setara. Seluruh responden yang memilih dua
jawaban tersebut adalah 39,3% untuk pilihan jawaban pertama dan 32,8% untuk jawaban
kedua. Reponden dari instansi kepolisian dan pengadilan punya pola yang sama,
sedangkan kejaksaan yang lebih besar persentasenya adalah jawaban yang kedua. Ada
2 (dua) responden dari kejaksaan yang mempunyai jawaban sendiri yang menarik, yakni
mereka berpendapat bahwa KDRT merupakan kejahatan yang terlalu dibesar-besarkan,
karena sebenarnya dalam KUHP telah pula diatur. Pendapat yang demikian itu tidaklah
salah hanya saja dari pengalaman para pendamping dan hasil penelitian yang ada
modus operandi tindak pidana KDRT yang khusus, tersembunyi sulit ditangani dan
korban sulit dilindungi merupakan masalah yang kemudian diatur dalam UU
Penghapusan KDRT.
Pernyataan berikutnya dalam kusioner tentang pemahaman adalah keharusan
untuk melindungi korban arena modusnya yang spesifik tersebut. Pilihan jawaban
pertama, yakni KDRT merupakan kekerasan yang modus operandinya spesifik, karena
itu korban harus dilindungi dan pilihan jawaban kedua adalah karena pelaku dan korban
masih keluarga, maka harus didamaikan. Responden secara keseluruhan yang memilih
jawaban pertama ternyata dua kali lipat lebih (62,3% jawaban pertama dan 24,6%
jawaban yang kedua). Instansi kepolisian dan kejaksaan ternyata punya pola yang sama
dengan responden secara keseluruhan, hanya hakim yang polanya berbeda, karena
jawaban pertama hampir empat kali jawaban kedua.

4.6.2.4. Sikap penegak hukum


Setelah mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman responden terhadap
korban KDRT, maka selanjutnya sikap penegak hukum terhadap kasus-kasus KDRT
akan dilihat pula. Untuk sikap, kasus yang dikemukakan adalah kebiasaan yang terjadi
pada kenyataan, yakni apabila korban mencabut laporannya sebelum sidang dimulai.
Jawaban yang disediakan dalam kuesioner adalah: (1) kepolisian melanjutkan
penyidikannya, kalau korbannya anak; (2) kepolisian menghentikan penyidikan dan
89

mendamaikan pelaku dan korbannya. Tabel berikut akan menampilkan pilihan-pilihan


jawaban responden.

Tabel 24: Sikap penegak hukum tentang victimologi


SIKAP PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Bila korban mencabut laporan n % N % n % n %
1. kalau korbannya anak, kasus yang ter- 19 31,1 7 29,2 5 27,8 7 36,8
jadi harus dilanjutkan
2. kasus dihentikan, keluarga didamaikan 32 52,5 14 58,3 10 56,6 8 42,1
3. lihat kondisi dan situasi 3 5,0 1 4,2 2 11,1 0 0,0
4. kalau korban parah lanjut 2 3,3 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. jawaban 1 dan 2 1 1,6 0 0,0 1 5,6 1 5,3
5. tidak menjawab 4 6,6 1 4,2 0 0,0 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Data yang didapat dari hasil penelitian nampaknya banyak responden yang
memilih jawaban yang kedua, hal ini dibuktikan dengan selalu lebih besarnya persentase
jawaban kedua dari jawaban pertama, baik responden keseluruhan maupun antar
instansi penegak hukum. Hal yang demikian membuktikan bahwa pendapat Scharf
(1968) dan Reiff (1977) digunakan oleh para penegak hukum di Indonesia untuk
penanganan kasus-kasus KDRT. Apalagi jawaban lain-lain juga tidak jauh dari pilihan
jawaban kedua, lihat kondisi dan situasi (5%) dan kalau korban mengalami luka yang
parah, maka kasus tetap dilanjutkan.

4.6.3. Pemidanaan
4.6.3.1. Persepsi penegak hukum tentang pemidanaan
Penologi adalah suatu ilmu yang membahas mengenai cara-cara pemidanaan
bagi pelaku tindak pidana. Ilmu ini diperlukan oleh penegak hukum agar mereka dapat
menerapkan pidana apa yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

Tabel 25: Persepsi Responden tentang pemidanaan


Pesepsi PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
n % n % n % n %
1. penologi baik untuk wawasan para 2 3,3 1 4,2 1 5,6 0 0,0
penegak hokum
2. penologi baik untuk menyelesaikan 6 9,8 2 8,3 1 5,6 3 15,8
kasus
3. tidak menjawab 53 86,9 21 87,5 16 88,9 16 84,2
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber: Data prime, 2005

Dari data di atas diketahui bahwa 3,3% penegak hukum menyatakan bahwa
penologi baik untuk menambah wawasan para penegak hukum dan hanya 9,8% yang
menyatakan bahwa penology dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus. Sedangkan
90

86, 9 % responden tidak menjawab. Hal ini dimungkinkan bahwa para penegak hukum ini
tidak mengetahui atau belum pernah mendengar istilah penologi atau pemidanaan.

4.6.3.2. Pengetahuan penegak hukum tentang pemidanaan


Terminologi penologi atau pemidanaan merupakan terminolgi yang ranking ketiga
apabila dibandingkan dengan terminologi kriminologi yang sangat populer dan ranking
kedua victimologi. Nampaknya ketika kuliah, terutama jaksa dan hakim yang telah
berusia 45 tahun ke atas belum pernah menempuh matakuliah ini atau matakuliah ini
paling tidak bukan merupakan matakuliah khusus yang dibahas tersendiri. Tabel tentang
pengetahuan penegak hukum berikut akan menampilkan hal itu.

Tabel 26 : Pengetahuan penegak hukum tentang pemidanaan


PENOLOGI PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
(pemidanaan) HUKUM
Tahu tentang penology n % n % n % n %
1. belum pernah 32 52,5 19 79,2 5 27,8 8 42,1
2. pernah 29 47,5 5 20,8 13 72,2 11 57,9
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Sumber pengetahuan n % n % N % n %
1. tidak punya 5 8,2 4 16,7 0 0,0 1 5,3
2. dari instansinya 2 3,3 2 8,3 0 0,0 0 0,0
3. kuliah 17 27,9 2 8,3 9 50,0 6 31,6
4. mendengar dari teman 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 6 9,8 0 0,0 2 11,1 4 21,1
6. tidak menjawab 30 49,2 16 66,7 6 33,3 8 42,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 9 14,8 2 8,3 2 11,1 5 26,3
2. punya 12 19,6 3 12,5 5 27,8 4 21,1
3. tidak menjawab 40 65,6 19 79,2 11 61,1 10 52,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Asal dari buku/makalah n % n % n % n %


1. LSM, Perguruan Tinggi 2 3,3 1 4,2 0 0,0 1 5,3
2. beli 7 11,5 0 0,0 4 22,2 3 15,8
3. tidak menjawab 52 85,2 23 95,8 14 77,8 15 78,9
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Data hasil penelitian yang tercantum dalam tabel menunjukkan bahwa jumlah
responden keseluruhan yang belum pernah mendengar dan mengetahui tentang
penologi lebih banyak dari pada yang sudah mengetahui (yang sudah 47,5% dan yang
belum 52,5%). Instansi kepolisian selisih antara yang tahu dan tidak tahu persentasenya
cukup signifikan ( 58,4%), sedangkan kejaksaan selisihnya juga besar (44,4%), tapi yang
tahu lebih banyak dari yang tidak tahu; demikian pula hakim, tapi selisihnya lebih kecil
(15,8%). Untuk sumber pengetahuan mereka maka saat kuliah merupakan persentase
tertinggi pada kolom penegak hukum secara keseluruhan, yang hal ini diikuti oleh
instansi kejaksaan dan pengadilan. Untuk kepolisian wajar karena jumlah personal
kepolisian yang menempuh S1 hanya 5 orang pula.
Dalam hal kepemilikan buku hanya seperlima dari seluruh responden yang
mengemukakan bahwa mereka memiliki buku tentang pemidanaan. Pola seperti itu juga
91

diikuti oleh ketiga instansi penegak hukumnya; sehingga apabila dilihat jawaban atas
pertanyaan asal buku yang dimiliki, maka persentase terbesarnya ada pada kategori
jawaban membeli pada seluruh instansi dan diikuti oleh kejaksaan dan pengadilan,
sedangkan untuk kepolisian tidak seorangpun yang menjawab membeli.
Dengan deskripsi yang demikian itu maka dapat disimpulkan bahwa penologi
masih merupakan terminologi agak baru bagi penegak hukum, walaupun sebagian
responden pernah mendengar dan mengetahuinya. Mereka yang pernah mendengar dan
mengetahui penologi, ternyata sumber pengetahuannya dari kuliah dan membaca buku.

4.6.3.3. Pemahaman penegak hukum tentang pemidanaan


Pemahaman tentang pemidanaan bermula dari 2 (dua) teori yang sudah cukup
mapan dalam penologi, yakni teori tentang penjatuhan sanksi kepada pelaku tindak
pidana sebagai pemuasan rasa keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang
menguntungkan merupakan tujuan sekunder; teori keduanya adalah tentang “double
track system” yang mengemukakan bahwa pemberian sanksi dalam hukum pidana
dibedakan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana bersumber dari
mengapa diadakan pemidanaan yang lebih menekankan unsur pembalasan dan sanksi
tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan pembinaan pada pelakunya.
Dengan didasarkan pada kedua teori tersebut, maka pernyataan para penegak
hukum tentang pengetahuan mereka pada penologi akan diuji tentang sejauhmana
pemahaman mereka pada kedua teori ini. Untuk teori yang pertama akan dikemukakan
tentang keharusan pelaku KDRT untuk dijatuhi hukuman setimpal; dengan pilihan
jawaban (1) penjatuhan pidana bagi pelaku KDRT demi keadilan; (2) penjatuhan pidana
bagi pelaku KDRT adalah untuk melindungi korban. Teori kedua, pernyataannya:
Pemberian sanksi kepada pelaku KDRT dalam hukum pidana mempunyai arti penting
dalam upaya menghapus KDRT; pilihan jawabannya: (1) sanksi pidana bersumber dari
ide “mengapa diadakan pemidanaan”; sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide “untuk
apa diadakan pemidanaan itu”; (2) sanksi pidana bersumber dari teori pembalasan dan
teori perlindungan. Jawaban responden atas pernyataan dan pilihan jawaban tersebut
sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 27 : Pemahaman penegak hukum tentang pemidanaan


PEMAHAMAN PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Pelaku KDRT harus dihukum n % n % n % n %
1. penjatuhan pidana bagi pelaku KDRT 32 52,5 10 41,7 11 61,1 11 57,9
demi keadilan
2. penjatuhan pidana bagi pelaku KDRT 13 21,3 10 41,7 2 11,1 1 5,3
adalah untuk melindungi korban
4. lihat posisi kasusnya 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
5. membuat jera pelaku 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
6. jawaban 1 dan 2 10 16,4 4 16,7 1 5,6 5 26,3
7. tidak menjawab 3 4,9 0 0,0 1 5,6 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Pemberian sanksi dalam upaya untuk n % n % n % n %


menghapus KDRT
1. sanksi pidana dari ide “mengapa diada- 27 44,3 10 41,7 9 50,0 8 42,1
kan pemidanaan, sanksi tindakan dari
ide "untuk apa diadakan pemidanaan"
2. sanksi pidana bersumber dari teori pem 14 23,0 6 25,0 3 16,7 5 26,3
92

balasan dan teori perlindungan


3. supaya pelaku jera 8 13,1 1 4,2 5 27,8 2 10,6
4. jawaban 1 dan 2 1 1,6 0 0,0 0 0,0 1 5,6
5. tidak menjawab 11 18,0 7 29,2 1 5,6 3 16,7
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005
Data yang ada menunjukkan secara keseluruhan sekitar separuh dari penegak
hukum yang memahami teori pemidanaan yang pertama. Ketika dicermati data
pemahaman per instansi, nampaknya kepolisian yang kesulitan memilih jawaban, karena
setengahnya memilih jawaban yang pertama dan sisanya memilih jawaban yang kedua.
Untuk kejaksaan dan pengadilan polanya sama dengan penegak hukum secara
keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan polisi tidak kuliah di fakultas
hukum, sehingga penologi mungkin merupakan terminologi asing seperti data yang ada
pada pengetahuannya.
Untuk teori pemidanaan yang kedua, nampaknya data yang dihasilkan dalam
penelitian ini agak berbeda, karena baik penegak hukum secara keseluruhan maupun
masing-masing instansi punya pola yang sama; setengahnya memilih jawaban pertama
dan seperempatnya memilih jawaban kedua.

4.6.3.4. Sikap penegak hukum


Dari pemahaman yang seperti itu, para penegak hukum akan menentukan
sikapnya pada kasus-kasus yang dikemukakan dalam kuesioner sebagaimana yang
ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 28 : Sikap penegak hukum tentang pemidanaan


SIKAP PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Perkosaan suami istri dihukum n % n % n % n %
1. tidak ada perkosaan antara suami & 15 24,6 6 25,0 4 22,2 5 26,3
istri, karena wajib melayani suami
2. kalau istri melapor, suami akan dihkm 33 54,1 17 70,8 7 38,9 9 42,1
3. istri dicerai, jelas batasannya 2 3,3 0 0,0 1 5,6 1 5,3
4. karena ada UU PKDRT, diproses 2 3,3 0 0,0 1 5,6 1 5,3
5. itu bisa terjadi, kalau lapor, diproses 3 4,9 0 0,0 2 11,1 1 5,3
6. jawaban 1 dan 2 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
7. tidak menjawab 4 6,6 1 4,2 1 5,6 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0

Istri mengomel, suami memukuli n % n % n % n %


hingga terluka
1. suami harus tetap dihukum 10 16,4 2 8,3 4 22,2 4 21,1
2. kalau istri melapor, baru kasusnya 40 65,6 18 75,0 9 50,0 13 68,4
diproses
3. harus ada pengadilan 3 4,9 2 8,4 1 5,6 0 0,0
4. masing-masing pihak harus introspeksi 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. dinasehati terlebih dahulu 2 3,3 0 0,0 2 11,1 0 0,0
6. tidak menjawab 5 8,2 1 4,2 2 11,1 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005

Untuk menguji sikap penegak hukum, maka mereka diminta untuk menyikapi 2
(dua) kasus KDRT. Kasus pertama adalah kasus tentang “marital rape”. Kasus ini
dipertanyakan untuk menguji pemahaman dan sikap penegak hukum tentang gender dan
93

budaya patriarkhi mereka serta sikap mereka terhadap pemidanaan kasus kDRT. Kedua,
kasus yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yakni istri yang mengomeli suami
dan suami memukulinya. Kedua kasus ini cukup menentukan dalam menguji sikap
penegak hukum.
Hasilnya, data yang ada pada tabel menunjukkan bahwa sifat patriarkhi para
penegak hukum masih kental, karena sekitar seperempat dari jumlah responden secara
keseluruhan masih memilih jawaban bahwa tidak ada perkosaan antara suami-istri,
karena seorang istri punya kewajiban untuk melayani suaminya. Namun demikian, jumlah
yang memilih jawaban kedua cukup menggembirakan dilihat dari persentasenya, yakni
antara 40-70% untuk masing-masing instansi dan separuh lebih untuk penegak hukum
secara keseluruhan. Pada pertanyaan yang kedua, nampaknya masing-masing instansi
memilih jawaban kedua (kalau istri melapor, suami harus dihukum) cukup tinggi
persentasenya, antara 50-75%, hanya 10-20% yang memilih jawaban pertama yaitu:
suami tetap harus dihukum. Pada hal dalam UU Penghapusan KDRT, hanya korban
yang mengalami luka ringan yang merupakan delik aduan seperti pada jawaban kedua,
sebaliknya kalau tidak, maka perbuatan suami tersebut merupakan delik biasa yang
tanpa laporan korbanpun kalau ada pihak lain (saudara, tetangga) yang melapor,
penegak hukum wajib memproses kasusnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak
kasus KDRT yang menjadi “hidden criminality”.
Dengan deskripsi dan analisis yang demikian itu, dalam hal penologi dapat
disimpulkan bahwa setengah dari penegak hukum masih belum memahami penologi,
terutama instansi kepolisian, sehingga seringkali menyebabkan kesalahan dalam
menerapkan peraturan, di samping ketidak cermatan membaca isi pasal, juga karena
budaya patriarkhi mereka yang masih kental dalam menjalankan tugasnya.

4.7. UPAYA-UPAYA KONKRIT YANG DIPERLUKAN UNTUK MENEGAKKAN


UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
SECARA LEBIH OPTIMAL
Hasil penelitian tentang persepsi dan sikap penegak hukum tentang penegak
hukum; penggunaan UU PKDRT sebagai dasar hukum penanganan kasus-kasus KDRT;
dan faktor-faktor yang mendorong menggunakan atau tidak menggunakan UU PKDRT
serta pengalaman dari Tim Peneliti memunculkan ide tentang upaya-upaya konkrit yang
diperlukan untuk menegakkan UU PKDRT secara lebih optimal sebagai berikut:
I. Hasil penelitian tentang pengetahuan instansi kepolisian tentang KDRT
yang paling besar persentasenya, tapi pengetahuan lainnya, yang merupakan
pengetahuan yang “bantu” yang terkait dengan optimalisasi penegakan UU
PKDRT, yakni: (1) gender; (2) kriminologi; (3) victimologi; (4) penologi peling
rendah pengetahuannya. Penyebabnya adalah rendahnya jumlah aparat
kepolisian yang lulusan Fakultas Hukum, 5 dari 24 orang responden yang
berpendidikan S1 dan hanya 3 yang lulusan S1 Fakultas Hukum. Lagi pula
kuliahnya dilakukan sambil bekerja, sehingga sering kurang fokus dalam menjalani
studi. Alasan-alasan ini yang memunculkan ide bahwa instansi kepolisian lebih
membutuhkan pengetahuan lain yang terkait sebagai pengatahuan yang
membantu optimalisasi penegakan UU PKDRT.
II. Untuk instansi kejaksaan dan pengadilan (hakim)
hampir sama, sebagian besar sudah tahu 4 pengetahuan terkait dari kuliah dan
membaca buku atau makalah, tapi pengetahuan tentang gender dan KDRT
persentasenya lebih rendah dari instansi kepolisian. Lagi pula pespektif gendernya
94

kebanyakan responden masih melekat, buktinya kadang-kadang mereka


mengkategori-kan kasus-kasus KDRT sebagai problem keluarga, sehingga
masing-masing pihak harus tahu hak dan kewajibannya dan kalau terjadi kasus
kekerasan sebaiknya didamaikan saja.
Dengan persepsinya yang seperti itu sering mereka menghentikan penanganan
kasusnya kalau pelapor stau saksi korban mencabut laporannya, walaupun
sebenarnya kasusnya merupakan delik biasa. Kadang-kadang mereka juga
dengan sengaja menggunakan pasal 44 ayat (4) karena pasal ini mengatur
tentang delik aduan, pada hal mungkin kasus tersebut dapat dikenai pasal 44 ayat
(1). Alasan yang sering dikemukakan adalah supaya dapat dicabut dan para pihak
dapat didamaikan.
Dengan keadaan yang demikian itu instansi kepolisian lebih membutuhkan
pembelajaran yang lebih mendalam tentang gender dan implikasinya akan
kekerasan terhadap perempuan dan anak; selain itu pembelajaran tentang tindak
pidana KDRT untuk mengubah persepsi dan sikap mereka yang sudah
merupakan budaya hukum yang melekat erat dalam pribadi sebagian polisi.
III. Koordinasi antar penegak hukum sangat penting
untuk menuju optimalisasi penegakan hukum UU PKDRT. Dari hasil pengalaman
Tim Peneliti (Wahyuningsih, dkk.; 2004-2005) yang menjadi anggota “Sekretariat
Tetap Komite Perlindungan Anak Provinsi Jawa Timur” yang di dalamnya terdiri
dari (a) Komisi Penghapusan Pekerjaan Terburuk Anak; (b) Komisi Penghapusan
Trafficking Perempuan dan Anak; (3) Komisi Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak dengan Keputusan Gubernur Nomor: 188/145/KPTS/ 2003.
Adapun tugas Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah: (a) menyusun Rencana
Aksi Propinsi (RAP) Perlindungan Anak di Propinsi; (b) menyusun pedoman umum
implementasi RAP Perlindungan Anak; (c) menyusun mekanisme Pemantauan
dan Evaluasi terhadap RAP Perlindungan Anak; (d) memfasilitasi pembentukan
Komisi Perlindungan Anak dan Rencana Aksi di Kabupaten/Kota; (e) memberikan
dan/atau meminta saran, pertimbangan dan rekomendasi kepada pihak terkait lain
dan/atau para ahli dari unsur Pemerintah dan masyarakat; (f) membuat
pertanggung jawaban kepada publik tentang hasil kerja KPA Propinsi; (g)
melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Gubernur Jawa Timur
Dari Keputusan Gubernur tersebut juga dijelaskan tentang tugas Komite adalah:
(a) menyusun rencana kegiatan, penguatan kelembagaan, peningkatan
penegakkan hukum dan advokasi; (b) merencanakan penelitian dan
pengembangan, mengumpulkan dan mengelola informasi dari masyarakat dan
pihak-pihak yang peduli terhadap Perlindungan Anak; (c) memfasilitasi stake
holders untuk melaksanakan program aksi dan evaluasi Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan
Anak, Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak serta masalah-masalah
Perlindungan yang lain; (d) melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Ketua
Umum Komisi. Menindaklanjuti Keputusan Bersama: Nomor
14/MEN.PP/DEP.V/X/2002/MENKEH/SKB/X/2002/MENKES/75/HUK/2002/MENE
G/NOPOLD/3048/X/2002/KAPOLRI tentang Pembentukan Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT) pada Rumah Sakit Bhayangkara di berbagai Kota dan Kabupaten,
dan mendirikan WCC bagi Pemerintah Kota dan Kabupaten yang tidak memiliki
RS Bhayangkara.
Dengan hasil penelitian dan pengalaman Tim Peneliti, maka koordinasi antar
aparat penegak hukum dapat dilakukan di lembaga-lembaga tersebut.
95

IV. Adapun substansi yang perlu dicantumkan dalam


modul yang nantinya dapat digunakan untuk melatih aparat penegak hukum dalam
upaya mengoptimalisasi penegakan hukum UU PKDRT adalah :
a) Gender dan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya dan KDRT
khususnya;
b) Visum et repertum dan organ reporduksi;
c) Kebijakan dan Hukum berkeadilan gender;
d) Penanganan korban KDRT dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta
penuntutan oleh kepolisian dan kejaksaan;
e) Sidang dan putusan kasus KDRT

Anda mungkin juga menyukai