PENDAHULUAN
35
36
ketidak adilan gender yang harus dihentikan (Fakih, M. 1996) yang dalam KUHP hanya
diatur sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.
UU Penghapusan KDRT memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut:
(a). UU Penghapusan KDRT mengatur macam-macam kekerasan dalam KDRT
dengan segala sanksi pidananya. Pertama, kekerasan fisik (pasal 6) dengan
ketentuan pidana pada pasal 44 dan hanya pasal 44 ayat (4) saja yang merupakan
delik aduan (pasal 51 UU Penghapusan KDRT). Kedua, kekerasan psikis (pasal 7)
dengan ketentuan pidana pada pasal 45 dan hanya pasal 45 ayat (2) yang
merupakan delik aduan (pasal 52 UU PKDRT). Ketiga, kekerasan seksual (pasal 8)
dengan ketentuan pidana pada pasal 46, 47 dan 48 UU PKDRT. Keempat,
penelantaran keluarga (pasal 9) dengan ketentuan pidana pada pasal 49 UU
PKDRT. Selain pidana-pidana tersebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan
(pasal 50 UU PKDRT).
(b). UU Penghapusan KDRT menetapkan ancaman pidana yang cukup berat, misalnya
pidana seumur hidup, dan pidana paling singkat (minimal) 4 (empat) atau 5 (lima)
tahun dan denda paling sedikit (minimal) Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah);
semua ini yang tidak diatur dalam KUHP.
(c). UU Penghapusan KDRT mewajibkan pengak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
advokat) untuk memberikan perlindungan kepada korban dan mewajibkan keluarga,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping dan pembimbing rohani untuk
memberikan layanan dan pemulihan kepada korban KDRT.
Sementara itu, seharusnya justru penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
advokat) yang menjadi ujung tombak Pemerintah dalam mengimplementasikan UU
Penghapusan KDRT sekaligus menjadi suri tauladan masyarakat, sebagaimana
ditunjukkan oleh para hakim perempuan yang memvonis dengan pidana yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hakim laki-laki dalam kasus kekerasan terhadap perempuan
(Chalid, H. 2004). Hal semacam ini diharapkan mampu memperbarui hukum di Indonesia
dengan mendakwa dan memvonis pelaku KDRT dengan pasal-pasal dari UU
Penghapusan KDRT. Hal ini akan dapat menciptakan budaya hukum yang baru, yaitu
yang sensitif dan responsif terhadap kesetaraan dan keadilan gender melalui penerapan
social relations approach (March, C. et all 1999). Sebagai profesional hukum, maka
penegak hukum harus mentaati dan bersikap sesuai dengan kode etik yang wajib
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, termasuk saksi korban, dengan
mewujudkan keadilan (Kansil, dkk. 2003).
Asumsi awal, faktor pendorong adalah belum adanya persepsi yang mendalam
dari para penegak hukum tentang visi dan misi yang tercermin dalam asas UU
Penghapusan KDRT yang utama yaitu (a) penghormatan Hak Asasi Manusia; (b)
keadilan dan kesetaraan gender; (c) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban.
Adapun faktor penarik mengapa penegak hukum belum atau tidak
mengimplementasikan UU Penghapusan KDRT adalah adanya asumsi awal bahwa
masih sedikitnya korban atau keluarga korban dan anggota masyarakat yang tahu
tentang haknya untuk dilindungi dan dilayani sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
UU Penghapusan KDRT, sehingga masyarakat belum atau tidak mendesak para
penegak hukum untuk mengadili pelaku KDRT menurut UU PKDRT, atau bahkan
masyarakat masih mempersepsikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
suatu aib yang harus ditutupi atau disembunyikan. Kalau masyarakat mengetahui atau
sadar akan haknya, maka mereka akan dapat meminta kepada Polisi agar mendakwa
pelaku KDRT dengan ketentuan UU Penghapusan KDRT.
37
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Hukum nasional sebagaimana yang dipraktekkan pada saat ini merupakan hasil
dari suatu perjalanan sejarah panjang yang apabila dirunut, akan berpulang ke masa
sejarah abad-abad pertengahan di Eropa Barat. Pandangan tentang the supremacy state
of law atau rechtstaat demi dapat diketahui dan diakuinya secara pasti saling-silang oleh
para actor yang sekalipun masing-masing tunduk pada lingkungan yurisdiksinya tapi juga
harus tunduk pada yurisdiksi lain, yang berkembang sedemikian rupa sehingga
pandangan yang berbeda hampir tertutup karenanya. Bahkan setelah merdekapun
pandangan rechtstaat tersebut tidak bergeming oleh semangat dan sikap anti colonial
dari bangsa Indonesia (Wignjosoebroto; 2002: 87-106). Lagi pula kepentingan pada saat
orde baru makin meligitimasikan aliran positivisme rechtstaat ini tetap berjalan sesuai
dengan pendapat Pound dalam Wignjosoebroto (2002), dimana hukum difungsikan
sebagai tools of social engineering yang sangat berguna untuk mensukseskan
pembangunan yang dipandang sangat penting pada masa itu.
Keadaan itu berubah, ketika muncul aliran ‘critical legal studies’ (CLS) yang
berkembang pada tahun 1970-an yang bertolak dari keprihatinan melihat kenyataan
banyak problem social politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan-
pengambilan keputusan yang kontroversial oleh para eksekutif pengontrol kebijakan
public yang sepihak demi kepentingan politik ‘the industrial and military establishment’,
sehingga tidak lagi mudah lagi dikontrol oleh rakyat sebagai pencari keadilan. Aliran ini
dengan merujuk ke teori-teori Neo-Marxian menyarankan perlunya mengkaji
permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan politik,
sehingga hukum tidaklah senetral sebagaimana yang dipersangkakan oleh paradigma,
teori atau doktrin hukum yang sebelumnya yang diyakini oleh kaum positivis. Dengan
pemikiran aliran CLS yang demikian ini, maka bagaimanapun juga hukum bukan
berproses menurut silogisme-silogisme logika yuridis para pakar saja, melainkan
sesungguhnya merupakan sejumlah kepentingan politik yang termanifest di dalam
kehidupan yang konkrit sebagaimana yang dapat disimak dalam kenyataan pengalaman
sehari-hari. Maka, berpikir secara nomologis yang bertolak kepada keajegan yang oleh
para penganut Neo-Marxian, orang diajak untuk mau beralih dari cara berpikir formalisme
yang deduktif ke cara berpikir yang lebih mengapresiasi proses-proses induktif. Di sini
fakta social dijadikan premis-premis particular sebelum tiba pada kesimpulan umum,
yang boleh difungsikan sebagai premis mayor dalam pemikiran logika formal yang
deduktif matematis itu.
Sebagaimana halnya dengan kajian pasca positivistis lain yang menggunakan
paradigma ‘social constructionism’, kajian social dan kajian hukum dengan pendekatan
hermeneutik inipun secara tegas dan jelas menolak faham univeralisme dalam ilmu yang
berkaitan dengan manusia berikut masyarakatnya (Wignjosoebroto; 2002: 104). Ganti
dari faham universalisme adalah faham relativisme yang harus diakui dan diterima.
39
2.2. Korban
Di Indonesia, kajian tentang korban tindak pidana belum banyak mendapat
perhatian dari berbagai kalangan, baik kalangan akademisi maupun kalangan
pemerintahan dan lembaga legislatif serta aparat penegak hukum. Hal tersebut dapat
dapat diketahui dari masih sangat minimnya tulisan-tulisan ilmiah, produk perundang-
undangan bahkan berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yang membahas dan memberikan perlindungan terhadap permasalahan korban
tindak pidana. Kurangnya perhatian yang diberikan terhadap permasalahan korban
tindak pidana dalam suatu proses pidana, dapat juga disebabkan atau mungkin lebih
tepat sebagai konsekuensi dari adanya berbagai pentahapan prioritas dalam menyoroti
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses pidana.
Dalam suatu fase kehidupan manusia, tidak ada pengalaman dalam
kehidupannya yang dapat disetarakan seramnya apabila berada didalam suatu fase
ancaman kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut dapat ditujukan kepada harta benda,
tetapi yang lebih fatal akibatnya apabila ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap
jiwa manusia dalam bentuk tindak pidana penganiayaan yang bisa mengakibatkan
korban mendertita. Dalam siatuasi yang demikian kerugian yang nampak bukan saja
41
dalam bentuk fisik, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang bahkan tidak dapat
dinilai dengan materi.
Walaupun peran korban dalam mewujudkan suatu tindak pidana penganiayaan
berat yang sedang menimpanya yang disebut oleh Schafer (1968: 66-68) sebagai
interpersonal relationship antara pelaku dan korbannya memang ada, maka tidaklah
bijaksana untuk menyatakan bahwa semua korban tindak pidana penganiayaan berat itu
adalah demikian adanya.
Kecenderungan umum yang mengatakan bahwa menjadi korban dari suatu
tindak pidana kekerasan adalah merupakan bagian dari korban yang telah baku dan
normal seperti dikemukakan oleh Reiff (1977: 4), maka selayaknaya tidak mempengaruhi
pendirian kita untuk memberi stigma lebih awal terhadap korban penganiayaan berat.
Terlihat disini betapa korban dari suatu kejahatan itu pada umumnya dan penganiayaan
berat pada khususnya mendapat simpati yang tulus dari anggota masyarakat.
Hubungan antara korban dan kejahatan yang menimpa seseorang dipandang
sebagai suatu hubungan hukum sipil daripada sesuatu yang harus dipecahkan oleh
hukum pidana. Stookey (1977:19) menulis, bahwa sudah basi dan sia-sia untuk
menyatakan bahwa korban adalah pihak yang terlupakan dalam peradilan pidana.
Selanjutnya dikemukakan bahwa para sarjana yang mencoba membahas tentang
peradilan pidana umumnya hanya memusatkan perhatian pada tersangka dan terdakwa.
Walaupun pembahasan itu terkait dengan peranan jaksa, polisi ataupun hakim, tetapi
pembahasannya selalu bertalian dengan bagaimana agar aparat dari birokrasi peradilan
pidana ini memperlakukan tersangka atau terdakwa dengan seadil mungkin.
Sistem peradilan pidana yang seharusnya menjadi wadah penyelamat dan
pemulihan penderitaan korban pada akhirnya memang harus diakui masih terlalu banyak
berorientasi pada pemulihan akibat negatif dari suatu tindak pidana yang melekat pada
pelakunya. Terlebih lagi apabila ditelaah lebih mendalam maka peraturan perundang-
undangan yang ada, seorang korban dari suatu tindak pidana yang menyerahkan
persoalannya kepada proses peradilan pidana untuk mendapatkan perlindungan, tidak
mustahil justru menambah penderitaannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Reiff
(1979) dengan post crime victimization.
view), karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan.
Sholehuddin (2003) mengemukakan tentang ide dasar sanksi pidana dan
tindakan, serta bagaimana implementasinya dalam kebijakan legislasi (produk
perundang-undangan). Pokok permasalahannya studi dengan keseluruhan kaitannya itu,
membutuhkan sejumlah kerangka konsepsional yang perlu dirangkaikan menjadi satu
kesatuan untuk membentu mendeskripsikan dan menjelaskan keseluruhan pokok
permasalahan tersebut.
‘Double track system‘ merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum
pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain.
Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan sering
agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki berbedaan mendasar,
keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber dari ide
dasar: ‘mengapa diadakan pemidanaan’; sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide
dasar: ‘untuk apa diadakan pemidanaan itu’. Dengan perkataan lain, sanksi pidana
sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan
lebih bersifat antipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan
pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan
agar yang bersangkutan menjadi jera; sedangkan focus sanksi tindakan lebih terarah
pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
Jelas bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan).
Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan
pembinaan atau perawatan si pembuat.
tersebut yang merupakan patron atau “kerangka batas” menurut von Benda-Beckman
(1983) dari setiap individu atau aktor-aktor yang ada di dalam institusi tersebut. Dasar
pemikiran Friedman (1977) selanjutnya adalah kultur atau budaya hukum yang lebih
lanjut diartikan sebagai ideologi, harapan dan opini tentang hukum. Dasar pemikiran
yang ketiga ini merupakan kunci dari berjalannya sistem hukum, yaitu bagaimana
substansi hukum yang berlaku dijalankan oleh struktur yang ada dan di dalam struktur
tersebut ada individu atau aktor-aktor yang dipengaruhi oleh budaya hukum yang terdiri
dari ideologi, harapan dan opininya terhadap substansi hukum yang berlaku.
Dalam pada itu Hikam (1990) mencoba untuk menelaah perspektif-perspektif
teoritis tentang kepatuhan dan perlawanan. Hikam mengemukakan tentang adanya dua
kecenderungan teoritis dalam literatur, pertama yang berusaha menjelaskan tentang
fenomena kepatuhan dan perlawanan dari pandangan mengenai otoritas moral sebagai
basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial; kedua yang sebagian besar dianut
oleh kaum strukturalisme yang mendasarkan penjelasannya pada adanya keharusan
struktural yang menentukan tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku individual, termasuk
kepatuhan atau perlawanannya terhadap kekuasaan. Namun pada bagian terakhir dari
tulisan Hikam (1990) ini menganjurkan tentang adanya proses dialektik dari struktur dan
agen serta kesadaran sebagai pendekatan untuk memahami proses kepatuhan sosial
dan perlawanan.
Apabila telaah teoritis dari Hikam ini diterapkan pada individu (Friedman, 1977)
atau agen (Hikam, 1990), maka dalam penelitian ini individu dapat dibagi menjadi dua
pihak, pihak yang satu adalah individu yang berperkara – terdiri dari pelaku dan
keluarganya serta korban dan keluarganya; sedangkan pihak lainnya adalah para
penegak hukum. Seluruh ‘stake-holder’ ini mempunyai ideologi, harapan dan opini yang
berbeda tentang substansi hukumnya. Hal ini menurut Hikam (1990) disebabkan oleh
kepatuhan dan perlawanannya masing-masing. Dari pihak penegak hukum, kepatuhan
dan perlawanannya dipengaruhi oleh struktur dari institusinya masing-masing;
sedangkan individu yang membutuhkan keadilan juga dipengaruhi oleh struktur sosial
yang ada di sekelilingnya. Hal ini tidak berarti bahwa individu yang ada di institusi
penegak hukum tidak terpengaruh oleh struktur sosial yang ada di masyarakat, tapi
pengaruh struktur sosial di tempat kerja lebih besar sehingga seringkali tindakannya
disesuaikan dengan struktur di tempat kerja tersebut; atau dengan perkataan lain dia
lebih punya kepatuhan terhadap struktur sosial yang ada di tempat kerjanya.
2.6. Persepsi
Kepatuhan dan perlawanan tehadap struktur social dapat diungkap lebih lanjut
dengan mencermati pendapat para ahli mengenai persepsi orang dalam menangkap
gejala sekelilingnya. Beberapa sarjana pada prinsipnya memberikan arti bahwa persepsi
merupakan respon terhadap stimuli dan atau obyek yang pernah ditangkap oleh panca
indra manusia dalam batas-batas sadarnya, dan kemudian menafsirkannya. Maskovitz
[1969] mengemukakan bahwa:
‘perception there is a global or wide range response to set a stimuli or set of
stimuli, a response which utilizes and integrates information beyond that contained
in the stimulus it self’.
penerima stimuli pada saat itu. Dari dua pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa
persepsi mencakup dua proses kerja yang saling berkaitan; pertama, menerima pesan
melalui penglihatan dan sentuhan alat indrawi, yang kedua, menafsirkan atau
menetapkan arti atas pesan (stimuli) tadi.
Pandangan lain dikemukakan oleh Berlyne, yang menjelaskan melalui teori
kognitif, dimana ada empat faktor yang perlu mendapatkan perhatian pada masalah
persepsi:1) hal-hal yang diamati dari sebuah rangsangan yang bervariasi tergantung
pada pola dari keseluruhan di mana rangsangan tersebut menjadi bagianya; 2) persepsi
bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu; 3) persepsi bervariasi
bergantung dari arah alat-alat inderawi; 4) persepsi cenderung kearah tertentu sesuai
dengan pengalaman dan kemampuan yang memberikan persepsi.
Sebagai suatu proses maka persepsi menurut Berrelson dan Steiner (1982)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: asumsi dasar yang berasal dari pengalaman
masa lalu, latar belakang budaya motivasi, suasana hati, dan sikap-sikap. Jadi individu
yang berasal dari limgkungan sosial budaya yang tidak sama, akan mempunyai persepsi
yang berbeda terhadap suatu fenomena yang sama.
Suatu yang perlu ditegaskan dalam pembahasan mengenai persepsi adalah
dalam perananya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sikap sekaligus perilaku.
Seperti apa yang dikemukakan oleh F.E. Kast (1970) yang berpendapat bahwa:
‘potential influences filter through personal attitudes via perception, cognition and
motivation’. Maksudnya adalah bahwa pengaruh yang potensial dalam menumbuhkan
sikap seseorang adalah melalui persepsi, kognisi dan motivasi. Sejalan dengan hal ini
Gibson (1950) menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku.
Oleh karena itu sikap berhubungan dengan persepsi kepribadian dan motifnya.
Dalam pembahasan yang lebih terinci, Chung dan Leon (1981) menggambarkan
proses persepsi seseorang sebagai berikut:
perceptual perceptual
input mechanism
perceptual
output:
selection interpretation *attitudes behavior
behavior *opinion
*feeling
object
events organization
Selain itu Thoha (1983) menambahkan bahwa persepsi timbul karena adanya dua
factor, yakni: faktor internal dan faktor eksternal .faktor internal bergantung pada proses
pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan
tanggapan terhadap hasil yang dicapai. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan.
Kedua faktor ini mnimbulkan persepsi karena didahului oleh suatu proses yang dikenal
dengan komunikasi. Komunikasi timbul karena seseorang ingin menyampaikan informasi
kepada orang lain. Informasi ini dapat membuat orang lain sama pengertiannya dengan
pemberi informasi bisa pula tidak. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan
46
BAB III
METODE PENELITIAN
3.4. VARIABEL
Variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Pendidikan formal
b. Pelatihan: gender
kekerasan terhadap perempuan
c. Umur
d. Jenis kelamin
e. Pengalaman dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT
f. Pengetahuan: gender
kekerasan terhadap perempuan
KDRT
kriminologi – pelaku KDRT
victimologi – korban KDRT
penologi – pelaku KDRT
g. Pemahaman: gender
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. IDENTITAS
Dalam mendeskripsikan identitas penegak hukum yang menjadi responden dalam
penelitian, pertama-tama akan dideskripsikan umur mereka, berikutnya jenis kelamin,
kemudian berturut-turut pendidikan, lama kerja, pengalaman kerja di instansinya masing-
masing, pengalaman pelatihan di dalam maupun di luar instansinya.
JENIS KELAMIN
Perempuan 18 29,5 9 37,5 3 16,7 6 31,6
Laki-laki 43 70,5 15 62,5 15 83,3 13 68,4
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Pendidikan
SMA 19 31,1 19 79,2 0 0,0 0 0,0
S1 33 54,1 5 20,8 14 77,8 14 73,7
S2 9 14,8 0 0,0 4 22,2 5 26,3
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
LAMA KERJA
Di bawah 10 tahun 12 19,7 4 16,7 7 38,9 1 5,3
10-15 16 26,2 7 29,2 4 22,2 5 26,3
16-20 16 26,2 5 20,8 3 16,7 8 42,1
21-25 14 23,0 6 25,0 3 16,7 5 26,3
25 lebih 3 4,9 2 8,3 1 5,6 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
51
PENGALAMAN DI INSTANSI
1-2 kali 11 18,0 8 33,3 3 16,7 0 0,0
3-4 kali 34 55,8 11 45,8 11 61,1 12 63,2
5 kali lebih 16 26,2 5 20,9 4 22,2 7 36,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
PELATIHAN DI INSTANSI
1-2 kali 53 86,9 20 83,3 17 94,4 16 84,2
3-4 kali 8 13,1 4 16,7 1 5,6 3 15,8
5 kali lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
PELATIHAN DI LUAR
1-2 kali 49 80,3 21 87,5 14 73,8 14 73,7
3-4 kali 8 13,1 2 8,3 3 16,7 3 15,8
5 kali lebih 4 6,6 1 4,2 1 5,6 2 10,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005
4.1.1. Umur
Rata-rata umur responden adalah 40,9 tahun, dengan minimum umur 25 tahun
dan maksimal 56 tahun. Apabila dirinci lebih lanjut, maka yang terbesar persentasenya
adalah yang berumur antara 41-50 tahun, yakni setengah dari seluruh jumlah penegak
hukum, ranking keduanya adalah penegak hukum yang berumur 31-40 tahun, yakni
37,7%, sisanya ada di kategori umur muda (di bawah 30 tahun) dan tua (di atas 50
tahun). Dari kategori umur para penegak hukum ini dapat dirinci berdasarkan instansi
masing-masing sebagai berikut:
Kepolisian punya pola yang hampir sama dengan seluruh penegak hukum,
yakni kebanyakan ada di kategori umur 31-40 tahun dan 41-50 tahun (masing-masing
41,7%), sisanya ada di kategori umur di bawah 30 tahun. Hanya saja bedanya pada
instansi kepolisian tidak terdapat polisi yang berusia 50 tahun lebih. Berbeda dengan
kepolisian, instansi kejaksaan tidak terambil responden yang berumur kurang dari 30
tahun, kategori 31-40 tahun terbesar persentasenya, yakni 61,1% dan 33,3% pada
kategori umur 41-50 tahun. Yang terkecil persentasenya adalah jaksa yang berumur 50
tahun lebih, yakni hanya seorang saja. Terakhir, di pengadilan, hampir sama polanya
dengan kejaksaan. Tidak ada hakim yang berumur kurang dari 30 tahun, tapi yang
terbesar persentasenya bukan hakim yang berumur 31-40 tahun melainkan yang
berumur 41-50 tahun, yakni 73,7%, baru yang berumur lebih dari 50 tahun sebesar
15,8% dan terakhir 10,5% untuk yang berumur 31-40 tahun.
Dengan deskripsi yang demikian ini, maka dapat disimpulkan bahwa instansi
kepolisian yang rata-ratanya paling muda, kemudian diikuti dengan kejaksaan dan
terakhir, pengadilan atau hakimnya.
pengadilan, ada 31,6% responden yang berjenis kelamin perempuan. Kesimpulan dari
deskripsi ini adalah kepolisian yang terbanyak perempuannya, disusul dengan hakim dan
terakhir jaksa. Hal ini dapat dimengerti karena di hampir seluruh kabupaten atau kota di
Jawa Timur ada Ruang Penanganan Khusus (RPK) yang digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang korbannya perempuan dan anak. Dengan program
yang demikian ini, kebanyakan yang menjadi personil di RPK kebanyakan adalah
perempuan, sehingga wajar kalau yang terambil sebagai responden perempuan
4.1.3. Pendidikan
Pendidikan penegak hukum yang dimaksud adalah pendidikan formal yang
ternyata dari data yang ada di tabel, mulai dari SMA, S1 atau Akademi yang
dikategorikan sama dengan S1 dan S2. Hanya di instansi kepolisian yang berpendidikan
SMA, sedangkan di instansi kejaksaan dan hakim tidak, semua yang masuk menjadi
jaksa dan hakim harus lulus S1 dari Fakultas Hukum.
Secara keseluruhan, penegak hukum yang S1 yang persentasenya terbesar,
yakni setengah lebih, kemudian disusul dengan yang berpendidikan SMA sebesar 31,1%
dan terakhir, yang berpendidikan S2 sebesar 14,8%. Dari variasi yang demikian itu, di
instansi kepolisian dapat dideskripsikan sebagai berikut: (1) 31,1% berpendidikan SMA;
(2) 54,1% berpendidikan S1 dan (3) sisanya sebesar 14,8% berpendidikan S2.
Sedangkan untuk instansi kejaksaan dan pengadilan, punya pola yang sama, besar
persentasenya di S1 (77,8% jaksa; 73,7% hakim) dan sedikit di S2 (22,2% jaksa; 26,3%
hakim).
Dengan deskripsi yang demikian ini, nampaknya kepolisian cukup besar
persentasenya yang tidak dididik di fakultas hukum. Pada hal menurut sistem peradilan
pidana, instansi kepolisian adalah instansi terdepan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pidana umumnya dan kasus-kasus KDRT khususnya. Walaupun pelatihan untuk
menjalankan tugasnya selalu dilakukan, tetapi tetap tidak banyak yang dapat memahami
teori-teori tentang kriminologi, victimologi, penologi; kecuali untuk responden yang
melanjutkan kuliah S1 setelah menjadi polisi, jadi kerja sambil kuliah. Sisanya 5 orang
atau 20,8% berpendidikan S1.
Dengan rincian yang demikian itu dapat disimpulkan bahwa kepolisian dan
kejaksaan ada responden yang telah punya pengalaman kerja selama lebih dari 25
tahun. Tapi kebanyakan mereka telah bekerja antara 10-25 tahun.
4.1.6. Pelatihan
Pelatihan yang diambil datanya adalah pelatihan yang dilaksanakan di dalam
instansinya dan di luar instansinya. Masing-masing data yang didapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Pelatihan yang dilakukan di dalam instansinya yang terbesar persentasenya
ada pada pelatihan yang dilakukan 1-2 kali saja, yakni 86,9%, sisanya punya
pengalaman lebih dari 3-4 kali hanya 13,1%. Apabila dilihat pada masing-masing
instansinya, punya pola yang sama.
Untuk pelatihan yang dilakukan oleh lembaga lain di luar instansinya, polanya
juga tidak jauh berbeda, hanya saja, ada penegak hukum yang punya pengalaman lebih
dari 5 kali, demikian pula di instansi masing-masing, polanya sama, variasinya ada pada
besar persentasenya.
gender adalah suatu konsep yang menginginkan adanya suatu kesetaraan hak antara
perempuan dan laki-laki dalam hukum, terutama dalam perlindungan korban.
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa 4,9 % responden penegak hukum tidak setuju
mengenai konsep gender karena dianggap terlalu membela perempuan. Bagi sebagian
penegak hukum yaitu sebanyak 4,9%, gender merupakan suatu informasi baru. Ternyata
13,1% penegak hukum dapat mengubah persepsinya tentang gender setelah mendapat
informasi mengenai kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam gender. Hal tersebut
juga menjadikan 27,9 % responden menganggap penting pengetahuan gender tersebut
untuk pekerjaan mereka. Sedangkan sebanyak 49,2% responden tidak menjawab
tentang pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai gender.
Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. media 19 31,1 5 20,8 7 38,9 7 36,8
2. seminar 9 14,8 2 8,3 3 16,7 4 21,1
3. pelatihan, workshop 7 11,5 4 16,7 2 11,1 1 5,3
4. dari instansinya masing-masing 6 9,8 5 20,8 1 5,6 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 9 14,8 0 0,0 2 11,1 6 31,6
6. dari kuliah 3 4,9 1 4,2 1 5,6 1 5,3
7. tidak menjawab 8 13,1 6 25,0 2 11,1 0 0,0
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 32 52,5 13 54,2 11 61,1 8 42,1
2. punya 29 47,5 11 45,8 7 38,9 11 57,9
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
selisihnya lebih besar, yaitu sekitar 10%, lebih besar lagi kejaksaan (22,2%). Berbeda
dengan kepolisian dan kejaksaan, hakim ternyata yang memiliki buku atau makalah
jumlahnya lebih besar dari yang tidak mempunyai (yang punya 57,9%). Yang menarik
adalah data tentang dari mana buku atau makalah itu didapat, maka persentase terbesar
ada pada membeli (29,5%), berikutnya didapat dari instansinya (16,4%) dan terkecil
didapat dari LSM atau Perguruan Tinggi (9,8%). Pola yang ada pada seluruh penegak
hukum ini diikuti pada instansi kepolisian, walaupun persentase terbesarnya bukan ada
pada yang membeli melainkan ada pada “didapat dari instansinya sendiri”, sedangkan
pada instansi kejaksaan dan pengadilan persentase terbesar ada pada kategori membeli.
Dari deskripsi data yang demikian itu dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian
besar responden telah pernah mendengar dan tahu tentang gender. Pengetahuan ini
mereka dapatkan dari media, seminar, pelatihan atau workshop dan membaca buku.
Kepolisian sebagian besar mendapatkan pengetahuan dari media, seminar, pelatihan
dan workshop, sedangkan kejaksaan medapatkan pengetahuan dari media dan hakim
mendapatkan pengetahuannya dari media dan membaca buku yang mereka beli.
Data yang ada pada tabel menunjukkan bahwa responden secara keseluruhan
85% telah memilih jawaban yang benar antara 3-5, untuk pilihan jawaban perempuan
dan sekitar 75% untuk pilihan jawaban laki-laki. Pencermatan lebih lanjut menunjukkan
bahwa jawaban responden untuk pertanyaan apakah sel telur dan bisa hamil itu kodrat,
hampir seluruhnya benar, demikian pula untuk sperma bagi laki-laki. Jawaban yang
kadang-kadang salah adalah pilihan jawaban untuk pertanyaan lemah, berpikir dengan
perasaannya dan memasak bagi perempuan dan pemimpin, pencari nafkah, selalu
menggunakan rasionya dan kuat bagi laki-laki. Pada masing-masing instansi pola
persentasenya juga tidak jauh berbeda, kebanyakan responden menjawab benar antara
3-5.
Tabel 5: Sikap penegak hukum tentang gender, pendidikan bagi anak dan kewajiban istri
Sikap PENEGAK POLISI JAKSA HAKIM
HUKUM
Pendidikan bagi anak n % n % n % n %
1. setuju 10 16,4 5 20,8 2 11,1 3 15,8
2. tidak setuju 51 83,6 19 79,2 16 88,9 16 84,2
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kewajiban istri n % n % n % n %
1. setuju 4 6,6 3 12,5 0 0,0 1 5,3
2. tidak setuju 57 93,4 21 87,5 18 100,0 18 94,7
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Sumber: data primer, 2005
4.3. PERSEPSI DAN SIKAP PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KDRT
Dengan hasil analisis tentang perspektif gender aparat penegak hukum
sebagaimana yang dikemukakan pada bagian sebelumnya (4.1.), yakni bahwa mereka
kebanyakan setuju dengan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun
dari kebanyakan yang setuju itu hanya setengahnya yang berpersepsi bahwa pelaku
KDRT dihukum dan penghukuman ini akan bermanfaat untuk menyelesaikan kasus.
Sisanya tidak menjawab (ini jumlahnya cukup besar) dan tidak setuju karena menurutnya
KDRT itu hanya merupakan problem keluarga saja. Persepsi yang demikian itu
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengalaman kehidupan mereka dari kecil
hingga sekarang, ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman yang masuk dalam
58
pikiran mereka, serta identitas pribadinya. Terakhir, baru dideskripsikan tentang sikap
penegak hukum terhadap kejahatan KDRT serta pngaruh persepsi terhadap sikap.
Dalam mendeskripsikan membahas data hasil penelitian tentang persepsi dan
sikap penegak hukum, seperti juga dalam mendeskripsikan identitasnya akan dipaparkan
tentang distribusi frekuensi seluruh penegak hukum terlebih dahulu kemudian dipaparkan
masing-masing instansi yang dimulai dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan atau
para hakim.
Dalam pada itu, berdasarkan teori persepsi, Braca (1955) mengemukakan bahwa
persepsi merupakan reaksi yang diorientasikan terhadap stimuli dan persepsi
ditentukan oleh pengalaman sejarah dan sikap penerima stimuli pada saat itu. Dari dua
pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa persepsi mencakup dua proses kerja
yang saling berkaitan; pertama, menerima pesan melalui penglihatan dan sentuhan alat
indrawi, yang kedua, menafsirkan atau menetapkan arti atas pesan (stimuli) tadi. Suatu
yang perlu ditegaskan dalam pembahasan mengenai persepsi adalah dalam
peranannya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sikap sekaligus
perilaku. Seperti apa yang dikemukakan oleh F.E. Kast (1970) yang berpendapat
bahwa: ‘potential influences filter through personal attitudes via perception, cognition and
motivation’. Maksudnya adalah bahwa pengaruh yang potensial dalam menumbuhkan
sikap seseorang adalah melalui persepsi, kognisi dan motivasi. Sejalan dengan hal ini
Gibson (1950) menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku.
Oleh karena itu sikap berhubungan dengan persepsi kepribadian dan motifnya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dalam penelitian ini, maka data
yang diambil untuk menganalisis persepsi para penegak hukum adalah: persepsi
penegak hukum yang kemudian juga dipaparkan stimuli (pengetahuan yang didapat) dari
persepsinya dan pengalaman sejarah kehidupannya (life historynya). Tahap berikutnya
akan dipaparkan tentang pemahaman dan setelah itu sikap penegak hukumnya. Jadi
pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman sejarah kehidupannya tersebut
menentukan persepsi dan kemudian membentuk sikapnya.
Dalam memaparkan dan menganalisis tentang persepsi dan sikap, maka pertama-
tama mendeskripsikan tentang persepsi dan sikap penegak hukum terhadap tindak
pidana KDRT, baru setelah itu mencermati faktor-faktor yang menunjang persepsinya,
antara lain: gender, pelaku dalam perspektif kriminologi; korban dalam perspektif
victimologi dan pemidanaan.
Ketika mendeskripsikan pengetahuan, maka diambil pula datanya tentang dari
mana pengetahuan tersebut didapat, apakah di seminar-seminar, pelatihan, workshop,
media atau di tempat kerja punya buku atau makalah tentang gender serta dari mana
asalnya. Selain itu, pengalaman sejarah kehidupan responden dideskripsikan untuk
mendapatkan gambaran tentang proses terbentuknya persepsi, walaupun untuk itu
hanya 3 (tiga) responden yang diwawancara lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan
paradigma konstruktivisme yang digunakan dalam penelitian ini.
KDRT merupakan kekerasan yang terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan,
ketimpangan usia dan ketimpangan gender (Fakih, 1996; 12-17). Pendapat Fakih ini
ditunjang dengan “data base” yang dikumpulkan oleh LBH-APIK Jakarta dan WCC-Rifka
Anisa di Yogyakarta, dimana dari data tersebut dikemukakan bahwa korban KDRT
hampir seluruhnya perempuan dan anak.
Setelah ada ide untuk membuat undang-undang baru yang diharapkan dapat
menghapuskan KDRT untuk menggantikan KUHP, dan para pemerhati perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga dan lembaga-lembaga bantuan hukum serta
krisis-krisis senter menyatukan diri dalam Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan
59
Terhadap Perempuan (Jangka PKTP), maka RUU dibuat oleh jaringan kerja ini. Sejalan
dengan pembuatan RUU ini yang dalam prosesnya selalu dikonsultasikan ke publik di
banyak provinsi, maka issue KDRT menjadi issue nasional. Apalagi ketika DPR-RI
membahas usulan RUU tersebut serta ketika pengesahan undang-undang dilakukan
pada bulan September 2004. Keadaan ini berimbas pada pengetahuan dan pemahaman
serta persepsi penegak hukum tentang tindak pidana KDRT, karena seminar, lokakarya,
sosialisasi serta diikuti oleh media cetak maupun elektronik juga memuatnya dalam
berita. Bagian berikut mengungkapkan persepsi responden.
ketahuan hamil, pacarnya akan ditinggal. Makanya jadi perempuan harus hati-
hati.
Setelah SMP saya sekolah sekolah yang kuat sekali mendisiplin siswanya.
Tapi saya senang, karena kalau saya tidak dilatih disiplin seperti itu, mungkin
saya tidak dapat seperti sekarang ini, jadi saya bersyukur karena itu. Tapi waktu
SMA saya disekolahkan di SMEA, karena ibu saya ingin saya langsung bekerja
setelah lulus SMA, supaya orang tua kami dapat membiayai saudara-saudara
saya yang lain, terutama yang laki-laki. Menurut orang tua kami, laki-laki harus
mendapatkan pekerjaan, karena dia yang wajib membiayai jalannya suatu
rumah tangga. Maklum, dulu ‘kan tidak ada sosialisasi gender, dan pendapat
yang seperti orang tua kami meurpakan pendapat umum yang ada saat itu. Jadi
saya juga berpendapat semacam itu ketika belum menjadi polisi dan belum
mendapatkan pengetahuan gender.
Tapi alangkah bahagia ketika saya ketika mendaftar menjadi Polwan
diterima. Orang tua saya juga kaget, tapi mereka juga senang. Menjadi apa saja
tidak masalah, asal bekerja yang mendapatkan uang halal untuk membiayai
kehidupan rumah tangga. Sebelum saya menikah, maka sebagian besar uang
saya habis untuk membantu menyekolahkan adik-adik saya, eshingga beberapa
dari mereka (2 (dua) dari 3 (tiga) laki-laki dapat lulus dari perguruan tinggi, satu
swasta satu dari negeri). Setelah kawin, bantuan sudah tentu saya kurangi.
Untung adik saya yang masih perlu biaya tinggal satu orang.
Hubungan saya dengan suami biasa-biasa saja, dia bekerja di perusahaan
swasta, pendidikannya sarjana, tapi dia sangat menghormati saya. Mungkin
karena saya polwan ya. Di rumah saya mendidik anak-anak (laki-laki dan
perempuan) sama, karena saya pikir zaman sekarang perempuan juga harus
pintar supaya tidak ditipu laki-laki dan bisa mendidik anak-anaknya sebaik-
baiknya. Demikian pula laki-laki.
Pada tahun 1986 itu saya dididik 11 bulan di Scaba Polwan, macam-
macam tugas kepolisian harus dipelajari di sana, tapi tidak ada diberikan tentang
gender, atau victimologi dan penologi, kalau kriminologi pernah dibahas,
walaupun tidak detail. Saya mendapat pengetahuan dan memahami KDRT,
trafikinf, anak sebagai korban kekerasan dari beberapa seminar, sosialisasi,
lokakarya, dll. pada tahun 2004 sampai sekarang (Polwan dari RPK; 2005)
saya. Saat pelulusan SMA, saya pernah mencoba menempuh UMPTN di salah
satu Universitas Negeri di Jawa Timur, tapi tidak lolos dalam tes tersebut.
Dengan segala keterbatasan dana yang dimiliki oleh orang tua kami saat itu,
maka saya mendaftar dan kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Merdeka di Pasuruan. Dengan segala daya upaya saya waktu itu, pada tahun
1983 saya menjadi Sarjana Muda Ilmu Hukum.
Setelah sarjana muda, saya berkenalan dengan seorang perempuan yang
membuat saya ingin menikah, maka kami kemudian menikah sambil
melanjutkan sekolah untuk memperoleh gelar sarjana. Dengan dia saya
mempunyai 2 (dua) orang anak, keduanya perempuan. Isteri saya bekerja di
kantor pemerintah. Hal ini yang mungkin dapat mengubah pola pikir saya
mengenai perempuan.
Anak saya yang satu sudah berkeluarga saat ini. Pernah beberapa waktu
yang lalu, anak perempuan saya ini mengangis dan kembali ke rumah saya.
Sebagai orang tua yang baik, maka saya juga menasehati dia untuk menjaga
keutuhan rumah tangganya. Beberapa saat kemudian suaminya datang, saya
ingatkan atas janjinya pada saat dia meminang anak saya dulu. Setelah itu saya
menyerahkan anak saya untuk kembali kepada suaminya. Dan semenjak saat
itu anak saya tidak pernah lagi datang ke rumah untuk membawa masalahnya
kepada kami. Anak saya yang nomer 2 (dua), juga perempuan, saat ini sedang
menuntaskan kuliah di fakultas hukum Universitas Merdeka di Pasuruan.
Jadi kalau ada suami memukul isteri, kalau tidak parah, maka harus didamaikan
dulu, karena kalau tidak, nanti akan terjadi perceraian. Kalau pembantu itu ‘kan
bukan anggota keluarga, maka menurut saya sebaiknya menggunakan KUHP
saja, saya belum membaca UU Penghapusan KDRT, sih, kalau memang
undang-undang yang khusus ini mengatur seperti itu, ya saya akan
menggunakannya. Kalau seorang ibu memukuli anaknya, jangan langsung
diproses, tapi harus diingatkan terlebih dahulu (Jaksa (laki-laki), 2005).
Perjalanan hidup hakim ini dipenuhi dengan berbagai hal yang membuatnya
menjadi seperti saat ini, diawali dengan didikan keras dari keluarga terutama masalah
agama membuatnya menjadi sosok yang cukup tegas terutama untuk istri dan anak-
anaknya. Budaya patriarki yang ada dalam lingkungannya menjadikan hakim ini memiliki
pemikiran bahwa seorang laki-laki merupakan kepala keluarga dan hal tersebut tidak
akan bisa tergantikan oleh perempuan meskipun dengan adanya persamaan gender
yang sedang marak dibicarakan saat ini. Namun apapun yang dipikirkan oleh hakim
tersebut, ia tetap melakukan apapun yang memang menjadi tugasnya sebagai seorang
penegak hukum. Dalam hal adanya UU PKDRT hakim ini akan tetap memperjuangkan
terlaksananya UU tersebut meskipun ia merasa ada hal-hal dalam UU itu yang kurang
sesuai dengan pemahamannya.
dalam penanganan kasus, yaitu hampir 40% pada seluruh responden, 25% pada
kepolisian, 55,5% pada kejaksaan dan 42,1% pada pengadilan. Persentase berikutnya
sebagai sumber pengetahuan adalah 24,6% (responden seluruhnya) dari instansi
masing-masing, 50% bagi kepolisian, hanya 16,7% dari kejaksaan dan tidak satupun dari
pengadilan. Ketiga, sumber pengetahuan dari media (21,3%) secara keseluruhan yang
terinci dalam instansi kepolisian 12,5%; kejaksaan 5,6% dan pengadilan 47,4%.
Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. menangani kasus 24 39,3 6 25,0 10 55,5 8 42,1
2. media 13 21,3 3 12,5 1 5,6 9 47,4
3. instansi masing-masing 15 24,6 12 50,0 3 16,7 0 0,0
4. sosialisasi, seminar 2 3,3 2 8,3 0 0,0 0 0,0
5. dari LSM 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
6. tidak menjawab 6 9,8 1 4,2 3 16,7 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 14 23,0 5 20,8 2 11,1 7 36,8
2. punya 34 55,7 16 66,7 9 50,0 9 47,4
3. tidak menjawab 13 21,3 3 12,5 7 38,9 3 15,8
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
kebanyakan pernah dilatih di instansinya 1-2 kali, tapi hanya sebagian kecil yang pernah
dilatih oleh lembaga di luar instansinya. Dengan identitas yang demikian itu maka tabel
berikut memaparkan persepsi responden berdasarkan identitasnya
PENDIDIKAN FORMAL n % n % n % n % n % n %
1. SMA 0 0,0 11 18,0 1 1,6 0 0,0 0 0,0 7 11,5
2. S1 1 1,6 9 14,8 0 0,0 0 0,0 2 3,3 21 34,4
3. S2 0 0,0 2 3,3 0 0,0 1 1,6 1 1,6 5 8,2
LAMA KERJA n % n % n % n % n % n %
1. Di bawah 10 tahun 0 0,0 6 9,8 0 0,0 1 1,6 1 1,6 4 6,6
2. 10-15 1 1,6 5 8,2 0 0,0 0 0,0 2 3,3 8 13,1
3. 16-20 0 0,0 6 9,8 0 0,0 0 0,0 0 0,0 10 16,4
4. 21-25 0 0,0 5 8,2 1 1,6 0 0,0 0 0,0 8 13,1
5. 25 lebih 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 4,9
Dari data di atas menunjukkan bahwa perempuan lebih sepakat bahwa pelaku
KDRT dihukum dari pada penegak hukum yang laki-laki. Sedangkan pendidikan tidak
terlalu variatif karena jumlah yang SMA, S1 maupun S2 hampir sama jumlah mereka
yang sepakat dengan penghukuman pelaku atau menganggap pelaku KDRT hanya
merupakan problem keluarga. Demikian pula halnya dengan lama kerja. Jadi data yang
terpapar dalam tabel dapat disimpulkan bahwa hanya jenis kelamin yang dapat
menunjukkan perbedaan persepsi, sedangkan yang lainnya, yakni umur dan lama kerja
respondennya tidak berbeda persepsinya.
Data yang dikumpulkan dan ditampilkan pada tabel menampakkan bahwa antara
penegak hukum yang berpendapat bahwa seorang ibu yang memukuli anaknya
merupakan pelaku itndak pidana yang harus diproses atau hal itu hanya merupakan
problem keluarga, oleh karenanya ibu yang melakukan perutan itu hanya diperingatkan
saja; persentasenya tidak terpaut banyak. Separuh di antara mereka mempunyai sikap
memahami UU Penghapusan PKDRT, sehingga mereka melaksanakannya dengan baik
dan separuh lainnya hanya mau memberikan peringatan saja. Jadi pendapat bahwa
kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan tindak pidana, melainkan hanya
problem keluarga, apalagi kalau seorang ibu yang memukuli anaknya, ini diartikan
sebagai pendidikan orang tua terhadap anak. Hal yang seperti ini sesuai dengan
pendapat Fakih (1996) yang mengatakan bahwa KDRT terjadi karena ketimpangan
kekuasaan, usia dan gender, dalam kasus ibu memukuli anak ini merupakan
ketimpangan usia.
Selanjutnya sikap penegak hukum ketika dikemukakan kasus yang kedua dalam
kuesioner, lebih baik karena antara 50-75% dari seluruh responden maupun pada
masing-masing instansi menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan delik aduan. Ini
sesuai dengan UU Penghapusan KDRT pada pasal 44 ayat (4) sebagai kekerasan fisik
ringan, atau pasal 49 yang mengatur tentang kekerasan psikis. Tetapi ada 2 (dua)
penegak hukum yang mengatakan bahwa itu bukan tindak pidana.
Dengan deskripsi dan analisis yang seperti itu dapat diambil kesimpulan bahwa
walaupun kebanyakan penegak hukum mengatakan tahu tentang KDRT, tapi belum
seluruh responden yang mengatakan tahu tersebut memahami KDRT dengan baik,
paling tidak memahami KDRT sesuai dengan pasal-psal yang ada dalam UU
Penghapusan KDRT. Keadaan yang demikian ini menjadikan sikap penegak hukum
masih setengah-setengah. Setengah punya sikap yang teguh untuk melaksanakan UU
Penghapusan KDRT, setengah yang lainnya tidak.
Catatan:
Persepsi:
1 = Karena tindak pidana dilakukan di RTG korban harus dilindungi, diselamatkan
2 = Pelaku KDRT harus dihukum, ini bermanfaat untuk menyelesaikan kasus
3 = Didamaikan dulu kalau tidak bisa, diproses, karena pelaku pencari nafkah
4 = Merupakan problem keluarga, untuk mendidik isteri
5 = Terlalu melindungi isteri, pada hal suami punya kewajiban mendidik isteri
6 = Tidak menjawab
Persepsi ternyata berpengaruh pada pembentukan sikap Penegak Hukum. Hal ini
terbukti dengan beberapa data di atas. Para penegak hukum rupanya lebih senang tidak
melanjutkan proses hukum ibu yang memukul anaknya, seberat apapun pukulan itu,
karena pada dasarnya urusan pukul memukul dalam keluarga merupakan suatu
kewajaran. Begitupun dengan penanganan kasus suami yang menyiram air panas pada
istrinya. Meskipun tindakan itu bukan delik aduan, tapi para penegak hukum sebagian
besar berpendapat bahwa tanpa laporan ataupun pengaduan, penegak hukum
cenderung tidak menanggapinya.
Dari data sekunder yang didapat dari Polres dan Pengadilan Negeri Kabupaten
Pamekasan, terdapat 4 kasus KDRT yang telah ditangani setelah Januari 2005. Semua
kasus telah diproses dan diputus dengan menggunakan UU No.23 Th.2004 tentang
Penghapusan KDRT. Kasus pertama, tentang suami yang menuduh istrinya melakukan
perselingkuhan, kemudian dipukuli sampai wajah, pipi dan tangannya mengalami
pembengkakan. Pasal 44 ayat (1) yang digunakan untuk menuntut pelaku cukup
memadai, dan sebenarnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan, namun oleh korban sebagai
pelapor dicabut, dan oleh jaksanya diperbolehkan. Keadaan yang semacam ini sering
terjadi. Penegak hukum sering melakukan kesalahan menginterpretasikan pasal 44 ayat
(1), pasal ini sama sekali bukan delik aduan, pasal 51 mengemukakan bahwa yang delik
aduan hanya pasal 44 ayat (4) saja, ayat-ayat yang lain merupakan delik biasa. Jadi
dalam kasus yang pertama ini, seharusnya jaksa yang menangani kasus ini melanjutkan
ke pengadilan, tidak menghentikan perkaranya karena korban pelapor mencabut
laporannya.
Kasus kedua, sama dengan kasus sebelumnya, hanya saja penyebab suami
memukul istrinya bukan karena menuduh istrinya melakukan perselingkuhan, melainkan
karena tersinggung atas ucapan si istri. Kasus ini diproses sampai selesai, tapi hukuman
yang dikenakan ringan, jauh dari maksimal ancaman hukuman pasal 44 ayat (1), yakni 5
tahun penjara atau denda 15 juta rupiah. Hukumannya hanya 2 bulan dengan masa
percobaan 4 bulan.
Kasus ketiga, juga penganiayaan suami terhadap istri, karena istrinya dituduh oleh
suaminya telah memarahi ibunya (mertua istri). Tuntutannya 2 bulan, diputus 1 bulan.
Kasus keempat, kasus penelantaran oleh suami terhadap istri, pasal yang
dituduhkan adalah pasal 9 jo pasal 49 huruf a. Tuntutan untuk kasus ini juga sudah tepat,
tapi sama juga dengan yang lain, putusannya ringan, yakni hukuman percobaan.
Di Surabaya, dari data sekunder yang diberikan tidak lengkap, sebagian, yakni
dari instansi kejaksaan, kasus posisinya tidak dicantumkan dengan berbagai alasan,
yang dicantumkan hanya nama pelaku dan pasal-pasal yang didakwakan. Sedangkan
data sekunder dari Kepolisian dan Pengadilan Negeri cukup lengkap. Terdapat 11 kasus
yang seluruhnya merupakan kasus-kasus kekerasan fisik yang pelakunya suami dan
korbannya istri. Walaupun Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur, yang
Pemerintah Provinsinya punya program penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
yang tentunya apabila dihubungkan dengan banyaknya perguruan tinggi, LSM dan
lokakarya, workshop dan pelatihan yang sering diadakan, tapi penegak hukum masih
menggunakan pasal-pasal dari KUHP. Sebagian dari kasus-kasus tersebut memang ada
yang ditambah dengan pasal-pasal yang ada dalam UU No.23 Th.2004 tentang
Penghapusan KDRT, tapi sebagian yang lain tidak. Hanya satu kasus, yakni kasus
seorang pembantu rumah tangga yang menculik anak majikannya, digunakan pasal 83
UU No.23 Th.2003 tentang Perlindungan Anak, tapi masih juga disertai dengan pasal
328 KUHP.
Saudara sepupu, korban disekap dalam kamar lalu celana Ps 82 UU PA, Lanjut ke JPU
dalamnya dibuka lalu duburnya dimasuki kemaluan pelaku ps 285, 287,
dan setelah itu kemaluan korban dimasuki kemaluan pelaku 290 (2e) KUHP
Paman menyetubuhi keponakan (20-4-2005). Pelaku 14 Ps 81 (2) UU Lanjut ke JPU
tahun, korban 8 tahun. PA jo ps 287
(1) (2) KUHP
Persetubuhan antar keluarga (2005) Ps 290 (1) ke 2 Vonis 9 bulan
KUHP penjara
Ibu membunuh bayinya (27-7-2005) Ps 341 KUHP Vonis 4 bulan
penjara
Suami terhadap istri dan anak sampai lebam (kekeasan fisik) Ps 44 (1) dan Vonis 6 bulan
dalam rumah tangga (10-8-2005) (2) UU PKDRT penjara
Suami melakukan KDRT terhadap istri dan anak (11-7-2005) Ps 44 (2) UU Dalam proses
PKDRT jo ps sidang
351 (1) KUHP
Suami melakukan kekerasan terhadap istri dan anak (28-9- Ps 44 (1) UU Dalam proses
2005) PKDRT dan ps sidang
2 (1) UU no.12
Darurat th. 51
Suami menganiaya istri sampai kepala lecet dan pipi memar Ps 356 (1) ke 9 bulan penjara
(23-2-2005) 1e KUHP
Sumber: Data sekunder dari Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Jember, 2005
Dari tabel tersebut nampak bahwa terdapat 12 kasus KDRT, yang terdiri dari
kasus-kasus suami istri, paman dan keponakan, antar sepupu, dan ibu anak. Dari 12
kasus tersebut hampir seluruhnya menggunakan dasar hukum campuran antara KUHP
dengan UUPA dan UU PKDRT, hanya sau kasus yang menggunakan pasal 44 ayat (1)
dan (2) UUPKDRT. Di antara 12 kasus tersebut 6 kasus masih ada di Kejaksaan, 2
kasus dalam proses sidang dan 4 kasus telah diputus. Di antara 4 kasus yang telah
diputus tidak satupun yang diputus satu tahun penjara, semuanya maksimal 9 bulan
penjara, walaupun tuntutan Jaksa pasal 44 ayat (1) dan (2).
untuk kasus kekerasan seksual antara seorang ayah dan anak tirinya, dan pasal 49 huruf
(a) untuk penelantaran ekonomi.
Kesulitan UUPKDRT adalah adanya perbedaan pada pasal 44 ayat (1) dan ayat
(2) yang membedakan ancaman hukuman antar pelaku. Ada kasus dimana
suami, mertua dan adiknya menganiaya istrinya. Jaksa mau mendakwa suami
pasal 44 ayat (2) sedangkan untuk pelaku pembantu pasal 44 ayat (1), sehingga
ancaman hukumannya suami hanya maksimal 4 bulan sedangkan pelaku
73
Deskripsi dari data sekunder dan primer yang ada di 6 (enam) daerah penelitian
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Sebagian penegak hukum (2 dari 6 lokasi) telah
menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT, yakni kabupaten
Pamekasan dan Tulungagung.
b. Sebagian yang lain, Kota Surabaya, Kabupaten Jember,
Bondowoso, dan Ponorogo masih menggunakan KUHP. Ada yang menggunakan
KUHP saja, ada pula yang ditaruh dalam dakwaan subsider serta ada pula yang
digunakan dengan juncto.
c. Kesimpulan ini sesuai dengan pengetahuan penegak hukum
yang walaupun banyak yang tahu, tapi dalam memahami belum seluruh responden
yang dapat memahami dengan baik, dengan keadaan itu, maka wajar kalau hanya
setengah dari penegak hukum yang dengan teguh mau melaksanakan UU PKDRT,
sisanya selalu mempertimbangkan kelanjutan ekonomi keluarga.
74
Pendapat responden ini merupakan pendapat umum, dimana kalau istri yang
dituduh selingkuh, mereka memastikan bahwa hal itu benar-benar terjadi, ini
sesuai dengan pendapat Schafer (1968: 66-68) yang mengatakan bahwa korban
punya peran dalam terjadinya suatu tindak pidana penganiayaan berat yang
sedang menimpanya. Andaikata memang benar bahwa istrinya selingkuh, tetap
suami tidak punya hak untuk melakukan kekerasan yang demikian itu. Seharusnya
penegak hukum mengkaitkannya dengan HAM, bahwa setiap orang punya hak
untuk tidak mendapatkan kekerasan. Kalau memang istri selingkuh, dibicarakan,
diperingatkan dan kalau tidak bisa mereka dapat bercerai. Kemarahan suami lebih
pada ketersinggungan seseorang yang berkuasa dan dikhianati sebagaimana
yang dikemukakan oleh Fakih (1996: 12-17) bahwa KDRT terjadi karena
ketimpangan kekuasaan (suami-istri). Andaikata yang melakukan selingkuh suami,
jarang sekali istri memukuli suaminya.
Faktor berikutnya adalah salah menginterpretasikan pasal 44 ayat (1) UU
Penghapusan KDRT. Isi ayat (1) ini tidak satu katapun yang dapat
diinterpretasikan bahwa tindak pidana yang dikategorikan ayat (1) merupakan
delik aduan. Yang jelas, hanya pasal 44 ayat (4) yang dikategorikan delik aduan
melalui pasal 51. Dengan demikian keadaan ini sesuai dengan hasil wawancara
dari kuesioner tentang pemahaman dan sikap penegak hukum yang baru
setengah dari mereka yang memahami dan menyikapi kasus KDRT dengan
benar.
75
(3) Kasus kedua dan ketiga (lihat tabel 19) hampir sama, walaupun berbeda motifnya.
Kasus kedua karena suami tersinggung ucapan istri, kasus ketiga karena istrinya
dituduh memarahi mertuanya (ibu pelaku). Walaupun kasus dilanjutkan,
hukumannya ringan sekali, pada hal ancaman hukuman maksimal pasal 44 ayat
(1) cukup berat yaitu 5 (lima) tahun penjara atau denda 15 juta rupiah. Data hasil
wawancara dengan hakim sebagaimana yang ada dalam box berikut:
(4) Kasus keempat (lihat tabel 19) merupakan kasus penelantaran. Kasus ini juga
merupakan kasus baru, karena sebelumnya banyak orang yang ditelantarkan tapi
tidak satupun yang melaporkan sebagai suatu tindak pidana. Penegak hukum
menjadi gamang dan ragu-ragu dalam memproses kasus ini. Karena itu menurut
hakim hukuman terbaik adalah hukuman percobaan dengan maksud supaya
keluarga menjadi damai kembali. Tapi maksud penegak hukum tersebut tidak
kesampaian karena setelah putusan hakim mengurus proses perceraian mereka.
penegak hukum yang menangani kasus ini tidak merasa yakin dengan hanya
menggunakan dasar hukum undang-undang yang baru, karena itu mereka masih
menggunakan KUHP. Tapi kasus yang kedua, mereka hanya menggunakan pasal
44 UU PKDRT, tapi tidak ditulis dalam data sekunder ayatnya yang berapa, tapi
melihat dua-dua kasus itu dihentikan karena korban mencabut laporannya, maka
pasal yang dikenakan pasal 44 ayat (4). Sedangkan kasus ketiga dan keempat
juga hanya menggunakan pasal 356 KUHP saja, tapi yang ini dilanjutkan.
(d) Kasus ini pemukulan suami terhadap terhadap istri kedua, pasal
yang digunakan 351 KUHP. Ini agak mengherankan, karena tidak menggunakan
UU PKDRT, apakah karena istri kedua, dianggap tidak satu rumah dengan suami,
hal yang demikian tidak mungkin. Kemungkinan yang lebih mendekati dengan
kenyataan adalah tidak merasa yakin bahwa kasus tersebut buktinya memenuhi
pasal 44 ayat (1-4), karena sejak mereka diangkat menjadi penegak hukum KUHP
merupakan undang-undang yang selalu mereka pakai, jadi faktor penyebabnya
mereka masih belum terbiasa, perlu waktu. Hanya saja ada kasus yang
menggunakan undang-undang baru, ada yang di junctokan dan ada yang hanya
KUHP. Setelah ditanyakan kepada bagian pidana umum, maka dia terus terang
bahwa penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun hakim yang
menangani kasus-kasus KDRT, lebih paham dengan isi pasal dalam KUHP, kalau
menggunakan UU PKDRT takut tidak terbukti dan lepas..
(e) Sama 5 kasus lagi kasus KDRT dengan menggunakan pasal 356
sebagai dasar dakwaan, maupun putusan.
(f) Hanya kasus yang satu ini, yakni pembantu rumah tangga yang
menculik anak majikannya yang didakwa dengan pasal 83 UU Perlindungan Anak
(PA).
Pendapat responden mendukung hal tersebut :
Pada kasus yang saya tangani: korban merupakan istri sah dari terdakwa, korban
sering meninggalkan rumah tanpa pamit suaminya dan kalau terima telpun dari
temannya, selalu diterima dengan sembunyi-sembunyi. Korban sudah diingatkan
akan tetapi tetap tidak berubah, sehingga suatu ketika ditempeleng sebanyak 3 (tiga)
kali. Terdakwa terbukti dan dipidana selama 3 (tiga) bulan (Ono, 2005)
Dari hasil analisis tentang faktor-faktor yang mendorong penegak hukum masih
menggunakan KUHP, baik sendiri maupun dijunctokan dengan UU PKDRT atau UU PA,
maka dapat disimpulkan di Kota Surabaya penegak hukumnya ternyata masih gamang
menggunakan undang-undang baru, karena mereka merasa lebih paham dengan KUHP.
Hampir sama dengan di Kota Surabaya, Kabupaten Jember juga sering masih
menggunakan KUHP sendiri-sndiri maupun bersama-sama dengan undang-undang
yang baru, UU Penghapusan KDRT atau UU PA.
Kasus-kasus yang ditangani dapat dianalisis faktor-faktor pendorongnya sebagai
berikut:
(1) Terdapat 2 kasus kekerasan fisik, yang satu dilakukan oleh suami, yang lain
dilakukan oleh keluarga. Yang dilakukan oleh suami menggunakan pasal 44, 45
UU PKDRT dan yang dilakukan keluarga menggunakan pasal 352 dan 365 KUHP.
Tidak cukup informasi dalam posisi kasus pertama sehingga menggunakan pasal
44 dan 45 UU PKDRT tanpa dirinci tentang ayatnya, walaupun subsidernya masih
menggunakan pasal 356 KUHP, sehingga sulit menganalisis faktor-faktor yang
mendorong penegak hukum menggunakan pasal-pasal tersebut. Untuk kasus
yang kedua, pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga digunakan (lihat huruf b:
“orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga …….., yang menetap dalam
rumah tangga”. Sehingga kekerasan yang dilakukan oleh keluarga yang mungkin
pelakunya tidak dalam satu rumah tangga menggunakan KUHP.
(2) Ada 5 (lima) kasus kekerasan seksual, 3 (tiga) kasus antara paman dan
keponakan, satu kasus pelaku sepupunya yang satu lagi pelakunya keluarga. 4
(empat) kasus 3 (tiga) kasus kekerasan seksual antara paman dan keponakan
dan satu kasus antar sepupu, semuanya menggunakan UU PA dan KUHP, karena
semua korbannya anak-anak. Hanya satu yang menggunakan KUHP saja, yakni
kekerasan seksual antar keluarga. Penggunaan dasar hukum ini yang 4 (empat)
kasus sudah tepat, sedangkan untuk kasus kekerasan antar keluarga, lagi-lagi
pasal 2 tentang lingkup rumah tangga merupakan faktor penyebab penegak
hukum masih menggunakan KUHP. Jadi interpretasi restriktif dari pasal 2
merupakan faktor penyebabnya.
(3) Kasus lainnya adalah kasus-kasus kekerasan fisik terhadap istri dan anak, 3 (tiga)
kasus korbannya istri dan anak, satu kasus korbannya istri. Satu kasus
menggunakan UU PKDRT (pasal 44 ayat (1) dan (2)) saja; satu kasus
menggunakan pasal 44 ayat (2) jo pasal 351 ayat (1) KUHP, satu kasus
menggunakan pasal 44 ayat (1) dan pasal 2 ayat (1) UU Darurat Th.1951 tentang
larangan membawa senjata tajam, yang terakhir menggunakan pasal 356 ayat (1)
angka 1e.
(4) Pada kasus pembunuhan bayi oleh ibunya, pasal 341 KUHP yang dijadikan dasar
hukumnya.
Nampaknya penegak hukum di Kabupaten Jember tidak jauh berbeda dengan
penegak hukum yang ada di Kota Surabaya, karena mereka juga masih merasa bahwa
KUHP masih lebih baik digunakan sebagai dasar hukum penuntutan maupun putusan
kasus-kasus KDRT. Kelemahan atau restriksi pasal 2 tentang ruang lingkup rumah
tangga digunakan pula sebagai hal-hal yang mendorong penegak hukum untuk kembali
menggunakan KUHP. Beberapa wawancara berikut menunjukkan hal tersebut.
Saya tidak merasa ada kesulitan dalam menangani kasus-kasus KDRT, kalau sulit
mencari buktinya dalam menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT, maklum
78
masih baru, belum terbiasa, ya saya gunakan KUHP yang bagi saya lebih mudah
untuk mencari buktinya, yang KUHP biasanya dakwaan subsider, kalau primernya
tidak terbukti, dari pada lepas (Herman, 2005).
Hakim itu hanya memeriksa perkara di sidang dengan apa yang didakwakan oleh
jaksa sebagai penuntut umum dalam surat dakwaan, jadi tidak dapat lebih dari itu.
Oleh karena itu perlu sosialisasi kepada polisi dan jaksa serta masyarakat karena
kebanyakan mereka belum tahu (Astuti, 2005).
Jadi pendorong utama dalam hal masih menggunakan pasal-pasal dalam KUHP
adalah ketakutan akan lepasnya pelaku kalau hanya menggunakan pasal-pasal dalam
UU PKDRT yang pembuktiannya menurut para penegak hukum lebih sulit.
(3) Kasus berikutnya adalah kasus seorang bapak yang menganiaya anaknya. Kasus
ini juga dikenai pasal 44 ayat (4), dan tidak dicabut oleh ibu korban yang
melaporkan kasus ini. Hal ini terjadi karena polisi dengan halus memberikan
penguatan kepada ibu tersebut, sebagaimana hasil wawncara berikut:
Box 11:
Untuk kasus-kasus yang delik aduan, saya pribadi biasanya mencoba untuk
menguatkan korban dalam menyelesaikan kasusnya. Mereka memang selalu
ketakutan akan tidak adanya atau berkurangnya nafkah dalam rumah tangga mereka.
Tetapi saya kemukakan tentang pengalaman orang-orang lain yang terkena kasus ini,
biasanya mereka mau melanjutkan kasusnya (Lina, 2005).
(4) Terakhir kasus bapak yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak tirinya
yang telah benar menggunakan pasal 46 UU PKDRT.
Dengan penggunaan dasar hukum yang demikian itu, maka faktor-faktor yang
mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum yang seperti itu di Kabupaten
Tulungagung terutama karena instansi kepolisian punya kecermatan dan ketelatenan
yang lebih dalam menggunakan UU PKDRT. Susah payah merekalah yang mendorong
kasus-kasus di Tulungagung diselesaikan dengan menggunakan dasar hukum undang-
undang yang baru.
Sumber pengetahuan n % n % n % n %
1. media 4 6,6 3 12,5 1 5,6 0 0,0
2. seminar 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
3. pelatihan, workshop 9 14,8 9 37,5 0 0,0 0 0,0
4. dari instansinya masing-masing 30 49,2 3 12,5 15 83,3 12 63,2
5. dari membaca buku/makalah 9 14,8 3 12,5 0 0,0 6 31,6
6. dari kuliah 8 13,1 5 20,8 2 11,1 1 5,3
82
7. tidak menjawab
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 21 34,4 15 62,5 4 22,2 2 10,5
2. punya 30 49,2 6 25,0 9 50,0 15 78,9
3. tidak menjawab 10 16,4 3 12,5 5 27,8 2 10,5
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
polisi dari tamatan SMA, sehingga wajar kalau sumber pengetahuan mereka dari
pelatihan atau workshop, mereka jarang yang kuliah lagi setelah bekerja sebagai polisi.
Tabel yang ada menampilkan data bahwa persentase terbesar ada pada pilihan
jawaban memukul istri walaupun ringan tetap merupakan tindak pidana, baik data yang
ada pada seluruh responden (85,3%), maupun data yang ada pada masing-masing
instansi (87,5% dari kepolisian; 77,8% kejaksaan dan 89,5% pengadilan), walaupun ada
responden yang memilih jawaban membenarkan suami untuk memukul istri tapi
persentasenya kecil. Sikap penegak hukum yang demikian ini karena mereka sangat
mematuhi pengaturan undang-undang, walaupun didalam hatinya tidak setuju, tapi kalau
bunyi undang-udangnya demikian, maka mereka akan mematuhinya secara total. Hal itu
dikuatkan dengan pilihan jawaban dari pernyataan kedua. Pada pernyataan yang kedua,
pilihan jawabannya kebanyakan ada pada pilihan jawaban seharusnya suami istri
dinasehati terlebih dahulu supaya rukun dan tidak memukuli anak-anaknya. Pola datanya
sama, baik responden secara keseluruhan maupun masing-masing instansinya.
Dari pemahaman dan sikap yang demikian itu dapat diambil kesimpulan: (1)
pemahaman penegak hukum tentang teori-teori kriminologi cukup memadai, satu teori
kebanyakan penegak hukum paham dan teori yang lain lebih kecil jumlahnya yang
paham. Dari pengetahuan dan pemahaman yang demikian itu, maka sikapnya juga dapat
memilih jawaban yang seharusnya pada penyataan yang pertama dan sifat patriarkhinya
muncul setelah dipertanyakan sikapnya pada tindakan seorang suami yang karena PHK
memukuli anak-anaknya dan dilaporkan oleh istrinya.
4.6.2. Victimologi
4.6.2.1. Persepsi penegak hukum tentang victimologi
Victimologi adalah suatu ilmu yang membahas tentang hak-hak korban tindak
pidana untuk mendapatkan hak-haknya. Pengetahuan tentang viktimologi diperlukan oleh
penegak hukum agar korban mendapatkan hak-haknya termasuk pemulihan atas
kerugian yang dideritanya, termasuk di dalamnya korban KDRT.
Sumber pengetahuan n % n % n % N %
1. media 8 13,1 5 20,8 3 16,7 0 0,0
2. seminar 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
3. kuliah 21 34,4 2 8,4 12 66,7 7 36,8
4. dari teman 1 1,6 1 4,2 0 0,0 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 10 16,4 2 8,4 0 0,0 8 42,1
6. tidak menjawab 20 32,8 13 54,2 3 16,7 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kepemilikan buku/makalah n % n % n % N %
1. tidak punya 18 29,5 7 29,2 5 16,7 6 31,6
2. punya 16 26,2 1 4,2 6 33,3 9 47,4
3. milik kantor 2 3,3 2 8,4 0 0,0 0 0,0
4. tidak menjawab 25 41,0 14 58,3 7 38,9 4 21,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
87
Data yang didapat dari hasil penelitian nampaknya banyak responden yang
memilih jawaban yang kedua, hal ini dibuktikan dengan selalu lebih besarnya persentase
jawaban kedua dari jawaban pertama, baik responden keseluruhan maupun antar
instansi penegak hukum. Hal yang demikian membuktikan bahwa pendapat Scharf
(1968) dan Reiff (1977) digunakan oleh para penegak hukum di Indonesia untuk
penanganan kasus-kasus KDRT. Apalagi jawaban lain-lain juga tidak jauh dari pilihan
jawaban kedua, lihat kondisi dan situasi (5%) dan kalau korban mengalami luka yang
parah, maka kasus tetap dilanjutkan.
4.6.3. Pemidanaan
4.6.3.1. Persepsi penegak hukum tentang pemidanaan
Penologi adalah suatu ilmu yang membahas mengenai cara-cara pemidanaan
bagi pelaku tindak pidana. Ilmu ini diperlukan oleh penegak hukum agar mereka dapat
menerapkan pidana apa yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Dari data di atas diketahui bahwa 3,3% penegak hukum menyatakan bahwa
penologi baik untuk menambah wawasan para penegak hukum dan hanya 9,8% yang
menyatakan bahwa penology dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus. Sedangkan
90
86, 9 % responden tidak menjawab. Hal ini dimungkinkan bahwa para penegak hukum ini
tidak mengetahui atau belum pernah mendengar istilah penologi atau pemidanaan.
Sumber pengetahuan n % n % N % n %
1. tidak punya 5 8,2 4 16,7 0 0,0 1 5,3
2. dari instansinya 2 3,3 2 8,3 0 0,0 0 0,0
3. kuliah 17 27,9 2 8,3 9 50,0 6 31,6
4. mendengar dari teman 1 1,6 0 0,0 1 5,6 0 0,0
5. dari membaca buku/makalah 6 9,8 0 0,0 2 11,1 4 21,1
6. tidak menjawab 30 49,2 16 66,7 6 33,3 8 42,1
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Kepemilikan buku/makalah n % n % n % n %
1. tidak punya 9 14,8 2 8,3 2 11,1 5 26,3
2. punya 12 19,6 3 12,5 5 27,8 4 21,1
3. tidak menjawab 40 65,6 19 79,2 11 61,1 10 52,6
Jumlah 61 100,0 24 100,0 18 100,0 19 100,0
Data hasil penelitian yang tercantum dalam tabel menunjukkan bahwa jumlah
responden keseluruhan yang belum pernah mendengar dan mengetahui tentang
penologi lebih banyak dari pada yang sudah mengetahui (yang sudah 47,5% dan yang
belum 52,5%). Instansi kepolisian selisih antara yang tahu dan tidak tahu persentasenya
cukup signifikan ( 58,4%), sedangkan kejaksaan selisihnya juga besar (44,4%), tapi yang
tahu lebih banyak dari yang tidak tahu; demikian pula hakim, tapi selisihnya lebih kecil
(15,8%). Untuk sumber pengetahuan mereka maka saat kuliah merupakan persentase
tertinggi pada kolom penegak hukum secara keseluruhan, yang hal ini diikuti oleh
instansi kejaksaan dan pengadilan. Untuk kepolisian wajar karena jumlah personal
kepolisian yang menempuh S1 hanya 5 orang pula.
Dalam hal kepemilikan buku hanya seperlima dari seluruh responden yang
mengemukakan bahwa mereka memiliki buku tentang pemidanaan. Pola seperti itu juga
91
diikuti oleh ketiga instansi penegak hukumnya; sehingga apabila dilihat jawaban atas
pertanyaan asal buku yang dimiliki, maka persentase terbesarnya ada pada kategori
jawaban membeli pada seluruh instansi dan diikuti oleh kejaksaan dan pengadilan,
sedangkan untuk kepolisian tidak seorangpun yang menjawab membeli.
Dengan deskripsi yang demikian itu maka dapat disimpulkan bahwa penologi
masih merupakan terminologi agak baru bagi penegak hukum, walaupun sebagian
responden pernah mendengar dan mengetahuinya. Mereka yang pernah mendengar dan
mengetahui penologi, ternyata sumber pengetahuannya dari kuliah dan membaca buku.
Untuk menguji sikap penegak hukum, maka mereka diminta untuk menyikapi 2
(dua) kasus KDRT. Kasus pertama adalah kasus tentang “marital rape”. Kasus ini
dipertanyakan untuk menguji pemahaman dan sikap penegak hukum tentang gender dan
93
budaya patriarkhi mereka serta sikap mereka terhadap pemidanaan kasus kDRT. Kedua,
kasus yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yakni istri yang mengomeli suami
dan suami memukulinya. Kedua kasus ini cukup menentukan dalam menguji sikap
penegak hukum.
Hasilnya, data yang ada pada tabel menunjukkan bahwa sifat patriarkhi para
penegak hukum masih kental, karena sekitar seperempat dari jumlah responden secara
keseluruhan masih memilih jawaban bahwa tidak ada perkosaan antara suami-istri,
karena seorang istri punya kewajiban untuk melayani suaminya. Namun demikian, jumlah
yang memilih jawaban kedua cukup menggembirakan dilihat dari persentasenya, yakni
antara 40-70% untuk masing-masing instansi dan separuh lebih untuk penegak hukum
secara keseluruhan. Pada pertanyaan yang kedua, nampaknya masing-masing instansi
memilih jawaban kedua (kalau istri melapor, suami harus dihukum) cukup tinggi
persentasenya, antara 50-75%, hanya 10-20% yang memilih jawaban pertama yaitu:
suami tetap harus dihukum. Pada hal dalam UU Penghapusan KDRT, hanya korban
yang mengalami luka ringan yang merupakan delik aduan seperti pada jawaban kedua,
sebaliknya kalau tidak, maka perbuatan suami tersebut merupakan delik biasa yang
tanpa laporan korbanpun kalau ada pihak lain (saudara, tetangga) yang melapor,
penegak hukum wajib memproses kasusnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak
kasus KDRT yang menjadi “hidden criminality”.
Dengan deskripsi dan analisis yang demikian itu, dalam hal penologi dapat
disimpulkan bahwa setengah dari penegak hukum masih belum memahami penologi,
terutama instansi kepolisian, sehingga seringkali menyebabkan kesalahan dalam
menerapkan peraturan, di samping ketidak cermatan membaca isi pasal, juga karena
budaya patriarkhi mereka yang masih kental dalam menjalankan tugasnya.