Anda di halaman 1dari 9

Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin baik pada wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian, tetapi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya (Depkes RI, 2005). Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori merupakan spesies cacing filaria yang ditemukan di dunia. Penyebarannya tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara tropis dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik Barat (Sudomo, 2008). Badan dan Kesehatan Dunia (WHO), mengumumkan bahwa beberapa negara berkembang seperti India, Nigeria, Bangladesh dan Indonesia, masih rawan terhadap perkembangan penyakit Filariasis atau Kaki Gajah. WHO mencermati bahwa penyakit Kaki Gajah ini masih harus diwaspadai karena diperkirakan sekitar 120 juta orang yang berada di negara tropis dan subtropis terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit kaki gajah termasuk jenis penyakit menular dan berbahaya serta bisa menimbulkan cacat fisik bagi sipenderita. Dalam dunia kesehatan, penyakit Kaki Gajah dikenal sebagai Filariasis, yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia, penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat

berperan

sebagai

vector

penular

penyakit

kaki

gajah.

Cara Penularan : Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil (mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair. Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). Diagnosis Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria. Pencegahan ; adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah. Pengobatan : secara massal dilakukan didaeah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1 tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai < 1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus. Filariasis Limfatik

Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing yang menyerang jaringan viscera ( deeper tissue ), pa-rasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family onchorcercidae. Menurut lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan filariasis, yaitu yang menimbulkan kelainan pada saluran limfe ( filariasis limfatik ) dan jaringan subkutis (filariasis subkutan). Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori; sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang oleh Brugia malayi disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp.,Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Filariasis limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat utama.Pada tahun 1997, diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia dibawah 15 tahun, 115 juta oleh W. bancrofti dan 15 juta oleh Brugia spp. Penyakit ini tidak dijumpai lagi di Amerika Utara, Australia, Jepang, dan di beberapa negara termasuk China. Di Indonesia, filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Di Jawa Barat, hingga November 2008, sebanyak 875 orang telah positif terjangkit filariasis, bahkan 420 orang di antaranya termasuk penderita kronik,dengan penyebab utama W.bancrofti.Pada beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan ( urban lymphatic filariasis ) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita di perkotaan akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut. Tabel dibawah menunjukkan berbagai karakteristik penyebab filariasis dan manifestasi klinis utama yang ditimbulkannya. Spesies Penyebaran Vektor Tempat Tempat Manifestasi hidup hidup klinis utama cacing mikrofilaria dewasa Wuchereria Negara Tropis Nyamuk Saluran Darah Limfangitis bancrofti limfe Elefantiasis Hidrokel Brugia malayi Brugia timori AsiaSelatan,Timur, dan Nyamuk Tenggara Nyamuk Di beberapa pulau di Indonesia Afrika Tengah dan Barat Chrysops spp. Saluran limfe Jaringan ikat Kulit Darah Limfangitis Elefantiasis Calabar Sweeling Dermatitis, nodula,lesi mata Saluran limfe Darah Limfangitis Elefantiasis

Loa-loa

Darah

Onchorcerca valvulus

Afrika,Yaman, Amerika Simulium spp. Tengah dan Selatan

Kulit

Siklus hidup. W.bancrofti dan Brugia spp. merupakan nematode yang berbentuk seperti benang ( threadlike nematodes ), yang dalam pertumbuhannya memiliki 5 stadium yaitu stadium dewasa dan larva stadium 1-4 (beberapa ahli menyebutkan hanya terdapat 3 jenis larva yaitu stadium 1 3 ) . Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah ( inguinal dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki ( epididimidis, testis, korda spermatikus ). Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 ( bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun. Patologi Infeksi oleh mikrofilaria dapat asimtomatik dan dapat memberi gejala yang bervariasi, mulai dari bentuk ringan sampai bentuk berat ( elefantiasis ). Kebanyakan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan patologi anatomi berhubungan dengan cacing dewasa dan lokasi kelenjar limfe yang terkena. Patogenesis filariasis belum sepenuhnya diketahui, dari berbagai penelitian ditemukan 2 bentuk sindroma yaitu : Acute filarial lymphangitis (AFL). Kelainan yang timbul diakibatkan oleh matinya cacing dewasa baik secara alami maupun setelah pengobatan. Kelainan yang terjadi berupa limfadenitis dan limfangitis lokal yang menyebar kearah distal, disertai dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil, sakit kepala, mialgia, artralgia, dan kadang-kadang disertai dengan delirium. AFL dapat disertai limfedema seperti hidrokel akut, namun bersifat ringan dan menghilang dalam waktu singkat. Acute Dermatolymphangiodenitis (ADLA). Dilatasi saluran limfe (limfektasi) merupakan lesi utama, ditemukan pada hampir semua penderita , baik yang mengalami mikrofilaremia maupun amikrofilaremia, baik yang tidak atau yang menunjukan manifestasi klinis. Cacing dewasa memiliki kemampuan untuk merangsang sel endotel saluran limfe dan menimbulkan dilatasi saluran tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri Wolbachia spp., sejenis riketsia yang banyak terdapat di dalam cacing W. bancrofti dan Brugia malayi, diduga berperan penting dalam proses reproduksi dan perkembangan filaria, serta kelainan yang ditimbulkannya. Simbiosis antara bakteri tersebut dengan filaria disebut sebagai endosimbiosis. Beberapa penelitian awal mengenai pemberian doksisiklin pada

fila-riasis, menunjukkan beberapa keuntungan. Limfektasi menimbulkan gangguan fungsi saluran limfe sehingga menimbulkan limfedema di daerah yang terkena, kulit di atasnya menjadi mudah terkena infeksi sekunder oleh berbagai mikroba,sehingga menimbulkan kelainan yang disebut sebagai Acute Dermatolymphangiodenitis (ADLA ). ADLA yang berulang akan menimbulkan limf-edema kronis ( chronic lymphatic filariasis) . Pada bentuk kronis ini dapat terjadi hidrokel yang masif sehingga dapat mengganggu aktifitas seperti berjalan kaki dan sebagainya. Pada umum-nya testis berisi cairan jernih atau kuning pucat, pada beberapa kasus berisi cairan yang mengandung darah atau cairan limfe. Kadang-kadang mikrofilaria dapat ditemukan dari cairan tersebut. Elefantiasis merupakan bentuk limfedema kronis yang berat dan sering ditemukan, biasanya asi-metris dan dimulai dari bagian distal. Chyluria terjadi akibat pecahnya pembuluh limfe kedalam pelvis ginjal atau kandung kemih, dapat terjadi pula gangguan drainase saluran limfe kedalam intestinal. Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran nafas yang disebut sebagai Tropical Pulmonary Eosinophilia ( TPE ), pada keadaan ini terjadi hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan IgG terhadap antigen filaria dan IgE, disertai dengan peningkatan hebat dari eosinofil dalam darah perifer. Biopsi paru menunjukkan foki inflamasi disekitar mikrofilaria yang dihancurkan. Penemuan ini disertai dengan tidak ditemukannya mikrofilaremia dalam darah penderita TPE, memperkuat asumsi bahwa peng-hancuran mikrofilaria terjadi dalam paru dengan melibatkan sistim imunitas. Manifestasi klinis Manifestasi klinis filariasis sangat bervariasi bisa berupa asimtomatik, subklinis ( seperti ditemukannya hematuri atau proteinuri mikroskopis, limfektasi skrotal pada pemeriksaan ultrasonografi, atau dilatasi pembuluh limfe pada pemeriksaan scintigrafi), sampai manifestasi klinis berat. Manifestai klinis akut : Demam filaria Penderita filariasis dapat mengalami episode demam akut yang self-limited, tanpa disertai tanda tanda infeksi kelenjar limfe. Pola demam tidak jelas, kadang-kadang sulit dibedakan dengan malaria. Adenolimfangitis akut Sering merupakan manifestasi klinis pertama dari filariasis pada penderita remaja. Penderita mengalami demam yang tinggi, timbul mendadak, disertai dengan malaise dan kadang-kadang disertai menggigil. Demam disertai dengan timbulnya pembengkakan dan rasa nyeri dari kelenjar limfe ( limf-adenitis ). Limfadenitis diikuti dengan limfangitis, limfangitis dimulai dari tempat kelenjar limfe yang membengkak dan kemudian menyebar ke perifer ( retrograd ), pola ini membedakan dengan adenolimfangitis akibat infeksi bakteri. Kelenjar limfe regional seperti inguinal, obturator, aksila, dan epitrochlea sering ikut membengkak. Adenolimfangitis dapat mengenai ekstremitas atas dan bawah, serta daerah genital. Adenolimfangitis genital ditemukan pada filariasis yang disebabkan oleh W.bancrofti, hampir tidak pernah pada filariasis yang disebabkan oleh Brugia spp., manifestasi klinis bisa berbentuk funikulitis, epididimidis, dan nyeri daerah skrotum. Penyembuhan spontan dapat terjadi dalam waktu satu minggu, namun serangan ini dapat berulang 1-3 kali dalam satu tahun. Dermatolymphangiodenitis ( DLA )

Manifestasi klinis berupa demam tinggi, menggigil, mialgia dan sakit kepala. Demam disertai dengan timbulnya lesi kulit yang berbatas tegas, pada lesi tersebut dapat ditemukan vesikel, ulkus dan hiperpigmentasi. Manifestasi klinis Kronis Elefantiasis Elefantisasis biasanya unilateral, ekstremitas bawah lebih sering terkena. Pada filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti, limfedema mengenai seluruh ekstremitas bawah, sedang bila penyebabnya Brugia spp. pada umumnya limfedema hanya mengenai daerah dari lutut kebawah. Pada beberapa penderita, kulit diatas daerah edema mengeluarkan cairan serosa seperti cairan limfe. Hidrokel. Jarang terjadi sebelum masa remaja, biasanya unilateral, tidak disertai rasa sakit kecuali bila di-sertai dengan epididimidis atau funikulitis. Kulit skrotum menebal, kadang-kadang disertai dengan ditemukannya rembesan cairan limfe atau disertai dengan lesi verukosa. Penis dapat mengalami distorsi sehingga mengalami perubahan bentuk ( ram horn penis ). Pembengkakan payudara Pada penderita wanita kadang-kadang timbul pembengkakan payudara baik uni maupun bilateral. Hal ini harus dibedakan dengan mastitis kronis oleh sebab lain. Chyluria. Urin penderita filariasis dapat berwarna putih seperti susu ( milky appearance ), chyluria ini dapat berakibat buruk terhadap status nutrisi penderita karena sejumlah besar lemak dan protein keluar melalui urin. Tropical Pulmonary Eosinophylia ( TPE ) TPE merupakan kondisi yang menyerupai asma, lebih sering mengenai laki-laki ( rasio 4 : 1 ), pada umumnya lebih sering dijumpai pada penderita usia 30-an tahun. Gejala dan tanda TPE biasanya berupa batuk dan mengi yang bersifat paroksimal terutama pada malam hari, berat badan turun, demam ringan, limfadenopati, peningkatan IgE dan IgG terhadap antigen filaria,dan peningkatan hebat eosinofil dalam darah perifer ( lebih dari 3000 eosinofil/ml ). Foto toraks bisa dalam batas normal, namun pada umumnya terlihat penambahan corakan paru, kadang-kadang disertai dengan terdapatnya lesi kecilkecil yang bersifat radio opaq yang tersebar di lobus paru tengah dan bawah. Pada penderita TPE tidak terjadi mikrofilaremia. Pemberian obat anti filaria diethylcarbamazine citrate ( DEC ) pada penderita TPE memberikan perbaikan klinis yang bermakna disertai dengan penurunan jumlah eosinofil dalam darah perifer dan kadar IgE plasma.Bila tidak diobati dengan segera, TPE dapat mengakibatkan penyakit paru restriktif. Diagnosis Didaerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas disertai dengan kelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi. Pemeriksaan laboratorium dapat berupa : Identifikasi mikrofilaria dari darah, cairan hidrokel atau walau sangat jarang dari cairan tubuh lain. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test. Identifikasi cacing dewasa pada pembuluh limfe skrotum dan dada wanita dengan memakai high

frequency ultrasound dan teknik Doppler, cacing dewasa terlihat bergerak-gerak ( filaria dance sign ) dalam pembuluh limfe yang berdilatasi. Pemeriksaan ini selain memerlukan peralatan canggih juga sulit mengidentifikasi cacing dewasa di tempat lain. Identifikasi antigen filaria ( circulating filarial antigen / CFA ) dengan teknik : ELISA, Rapid Immunochromatography Card. Pemeriksaan ini memberikan nilai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi Identifikasi DNA mikrofilaria melalui pemeriksaan PCR Identifikasi antibodi spesifik terhadap filaria : sedang dikembangkan lebih lanjut karena hasil dari penelitian awal menunjukkan nilai spesifitas yang kurang. Penelitian mengenai deteksi antifilaria IgG4 memberi perbaikan akan kinerja uji identiifikasi antibodi terhadap filaria karena reaksi si-lang terhadap antigen cacing lain relatif kecil. Perbaikan kinerja juga diperlihatkan bila reagen yang dipakai berupa antigen rekombinan yang spesifik untuk filaria. Uji identifikasi antibodi ini penting untuk menapis penderita filariasis yang disebabkan oleh Brugia spp. karena uji identifikasi antigen untuk jenis cacing tersebut belum ada yang memuaskan. Pengobatan. Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit. Obat antifilaria berupa Diethylcarbamazine citrate ( DEC ) dan Ivermectine, DEC memiliki khasiat anti mi-krofilaria dan mampu membunuh cacing dewasa, Ivermectine merupakan anti mikrofilaria yang kuat tapi tidak memiliki efek makrofilarisida. Bidang penelitian mengenai pengobatan filariasis yang men-janjikan adalah pemberian antibiotik yang ditujukan terhadap bakteri Wolbachia spp. Penelitian dengan pemberian doksisiklin selama 6 8 minggu mempengaruhi kehidupan cacing dewasa, mikrofilaria, dan perbaikan patologi. Diethylcarbamazine citrate ( DEC ) Diethylcarbamazine merupakan senyawa sintetis turunan piperazine, dipasarkan dalam bentuk senyawa garam sitrat ( DEC ).DEC tidak memiliki efek mematikan yang langsung terhadap mikrofilaria tetapi dengan merubah struktur permukaan larva sehingga mudah dikeluarkan dari jaringan tubuh dan membuatnya lebih mudah dihancurkan oleh sistim pertahanan tuan rumah. Efek mematikan terhadap cacing dewasa secara in vivo dapat ditunjukkan melalui pemantauan ultrasonografi, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Dosis 6 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis, setelah makan, selama 12 hari, pada TPE pengobatan diberikan selama tiga minggu. Pengobatan dapat diulang 6 bulan kemudian bila masih terdapat mikrofilaremia atau masih menunjukkan gejala. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi terhadap DEC dapat berupa sakit kepala,malaise,anoreksia,rasa lemah,mual,muntah, dan pusing. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacing dewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal. Reaksi sistemik dapat berbentuk demam,sakit kepala,nyeri badan,pusing,anoreksia,malaise dan muntahmuntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas infeksi. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,abses,dan transien limfedema. Pada Bancroftian filariasis dapat terjadi funikulitis, epididimidis, dan hidrokel. Perdarahan retina, bronkospame, dan ensefalopati walaupun sangat jarang namun pernah dilaporkan. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik. Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis , sehingga obat tersebut tidak diberikan

dalam program pengobatan masal di daerah endemis filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus. Ivermectin. Pemberian dosis tunggal ivermectine 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermectine sama dengan DEC, ivermectine tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau anak anak yang berumur kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermectine harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah. Pengobatan simtomatik Pemeliharaan kebersihan kulit, dan bila perlu pemberian antibiotik dan atau anti jamur akan mengurangi serangan berulang DLA, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis. Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan. Pengobatan operatif Kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif. Pengobatan operatif elefantiasis kaki pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan, ahir-ahir ini dengan memakai lymphovenous procedure diikuti dengan pembuangan jaringan subkutan dan lemak yang berlebihan, disertai dengan drainase postural dan fisioterapi yang adekwat memberi berbagai keuntungan bagi penderita. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Perlindungan terhadap filariasis dapat dilaksanakan melalui penghindaran dari gigitan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria. Metoda yang dapat dilakukan antara lain dengan memakai kelambu, terutama yang mengandung insektisida seperti permethrin. Yang paling ideal adalah melalui pengendalian/ eradikasi vektor nyamuk dilingkungan pemukiman. Namun kedua cara ini di sebagian besar belahan dunia terutama di negara berkembang sulit dilaksanakan sehubungan dengan biaya, perilaku masyarakat, dan fakta yang menunjukkan bahwa infeksi filarial memerlukan waktu yang lama antara 10 20 tahun. Berbagai penelitian berbasis komunitas menunjukkan bahwa pemberian antifilaria DEC setiap tahun dalam dosis tunggal atau melalui garam yang mengandung DEC ( DEC medicated salt ) selama 4 6 tahun menunjukkan penurunan penularan , bahkan bukan tidak mungkin suatu saat dapat mengeradikasi penyakit. Pemberian DEC medicated salt terbukti berhasil dalam pemberantasan filariasis di China dan Taiwan. Pada tahun 1997, World Health Assembly mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan aktifitas dalam upaya pemberantasan filariasis limfatik sebagai salah satu prioritas dalam penanggulangan masalah kesehatan masyarakat. Beberapa tahun kemudian dengan dukungan berbagai fihak termasuk para menteri kesehatan dari negara endemis limfatik filariasis, badan pembangunan nasional dan internasional, institusi pendidikan, beberapa perusahaan farmasi dan WHO, dicanangkan The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis, dengan WHO bertindak sebagai koordinator. Pada intinya program ini memberi bantuan dalam perencanaan program nasional eliminasi filariasis limfatik di negara endemis ( termasuk survey pemetaan daerah endemis ) dan mengkoordinasikan bantuan dalam

bidang finansial, teknik, dan manajemen. Program tersebut memiliki 2 fokus strategi kegiatan yaitu memutuskan rantai penularan penyakit dan penatalaksanaan penyakit guna mengurang angka kecacatan. Dalam upaya memutuskan penularan penyakit, semua penduduk diberi pengobatan masal setahun sekali dengan dosis tunggal Ivermectine 150 ug/kg BB + Albendazole 400 mg di negara-negara benua Afrika yang disertai dengan ko-endemis onchorcerciasis, dan Albendazole 400 mg + DEC 6 mg/kg BB diluar negara-negara tersebut. Dalam laporan yang di publikasikan tahun 2009, WHO menyatakan bahwa filariasis limfatik merupakan penyakit endemis di 81 negara dan 71 negara diantaranya memerlukan pengobatan masal.Pengobatan masal telah dilaksanakan di 51 negara endemis, hasil pengobatan masal setelah 5-6 putaran menunjukkan penurunan angka kejadian mikrofilaremia. Di Burkina Faso angka kejadian mikrofilaremia turun sebanyak 62%-92%, di Comoros, Ghana dan Togo turun 73%-100%, dan di India 81%-93%. Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, pengobatan masal menghindarkan kejadian kecacatan pada 32 juta orang dan sekitar 6.6 juta neonatus dari infeksi filaria. Di Indonesia program pemberantasan filariasis mulai dilaksanakan pada tahun 1975, namun sempat berhenti pada tahun 1987, dalam kurun waktu 1975 1987 program ini berhasil menurunkan prevalensi mikrofilaremia dari 13.3% menjadi 3.29%. Pada tahun 2002, dicanangkan keikut sertaan Indonesia dalam Program Eliminasi Filariasis Global yang dimulai di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan di empat kabupaten/kota lainnya. Direktur Penyakit Bersumber Binatang Departemen Kesehatan Indonesia, menyatakan bahwa sampai tahun 2008 terdapat 316 kabupaten/kota diantara 471 kabupaten/kota yang telah terpetakan secara epidemiologis sebagai daerah endemis filariasis . Pengehntian pengobatan masal memiliki risiko 40 juta penduduk akan terkena filariasis. ( Kaki Gajah : Metode Pemberian Obat Disempurnakan,

Anda mungkin juga menyukai