Anda di halaman 1dari 10

KOTA dan ALAM1

Karlina Supelli
STF Driyarkara
Rangkaian Studium Generale

KOTA DAN ALAM Di manakah tempatku? Di dalam


kosmoskah? Ironisnya, untuk menjawab
pertanyaan itu, manusia melepaskan diri
dari alam sehingga ia tidak bisa lagi
mengatakan, ‘Aku adalah bagian dari
dunia dan dikelilingi olehnya’ (Max
Scheler, 1928: 88-89).

Pada awal tahun 2007, 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir
dengan kedalaman mulai beberapa puluh sentimeter sampai 5 meter di
Oleh:
beberapa lokasi. Korban meninggal, termasuk di Bekasi dan Tanggerang,
Karlina Supelli mencapai 80 orang. Sekitar 82.150 meter-persegi jalan di DKI Jakarta rusak,
serta lebih dari 1.500 rumah hanyut dan rusak akibat banjir mengakibatkan
lebih dari 250.000 orang mengungsi (WHO, 2007). Gubernur DKI Jakarta
yang menjabat waktu itu menegaskan bahwa sebagai fenomena alam, banjir
akan surut dengan sendirinya (BBC, 2007).
Komentar serupa kita dengar setiap kali banjir melanda kota-kota di
Indonesia. Tidak mengherankan jika dalam entri ‘Banjir Jakarta 2007’,
Wikipedia versi Indonesia kemudian juga menyebut gejala alam sebagai
“sebab” utama banjir tersebut. Dalam hal ini, “curah hujan yang tinggi”.
Wikipedia versi Inggris menambah faktor “deforestasi di kawasan selatan
kota, dan tersumbatnya saluran-saluran air oleh sampah”. Hujan deras
sepanjang musim hujan di Indonesia adalah peristiwa alam, tetapi bahwa
terjadi banjir di dalam kota pada musim hujan adalah perkara lain.
Kerjasama
Goethe-Institut Jakarta dan STF Driyarkara
Jakarta, 20 Agustus 2009 1 Disampaikan dalam Studium Generale ‘Philosophy in the City’, Goethe-Institut

Jakarta, Jakarta, 20 Agustus 2009.

1 2
Kota menjadi gambaran kontras antara kebudayaan dan alam. Di satu Sebaliknya, bagi Rousseau, penyebab bencana Lisbon harus
sisi, kota seolah-olah menjadi cermin bagi keharusan (imperatif) kebudayaan ditimpakan kepada manusia yang telah menjadi rakus. “Bukan alam yang
atas alam yang liar dan tidak terkontrol. Di lain sisi, kota dan peradaban membangun dua puluh enam ribu rumah yang bertingkat-tingkat”. Bencana
urban dipandang sebagai penghancuran atas segala sesuatu yang alami itu tidak akan memakan korban begitu banyak seandainya penduduk kota
yang pada dirinya dinilai tidak lebih rendah daripada peradaban. Faktanya, tidak berjejal-jejal membangun rumah, dan seandainya mereka segera
kota-kota tumbuh menjadi kawasan ambigu keberadaban sekaligus menyingkir begitu getaran pertama terasa, bukannya malah panik
ketidakberadaban. Tulisan ini secara ringkas menelusuri akar pemikiran menyelamatkan barang-barang milik mereka (Masters & Kelly, 1992, 110).
yang mendua ini sekaligus menunjukkan tantangan yang tidak mudah Baik sajak Voltaire (dan kemudian novelnya yang senada, Candide,
dijawab: bagaimana memahami kota sebagai suatu sistem ekologis. 1759) maupun tanggapan Rousseau sama pentingnya dalam perdebatan
Bagaimana memahami kota bukan saja bagian dari lingkungan, tetapi intelektual zaman itu, sebagaimana juga peristiwa gempa bumi itu sendiri
terkendala oleh lingkungan, pembentuk sekaligus penampung proses- yang berlangsung di salah satu pusat kebudayaan Eropa.
proses lingkungan.
Voltaire mempertanyakan optimisme Pencerahan (abad ke-18) yang
Tidak ada kota yang tidak berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa fisik
dipandu oleh dua keyakinan. Pertama bahwa segala sesuatu baik adanya
alami, sebagaimana juga tidak ada peristiwa-peristiwa alam di kota yang
dan kedua, tujuan manusia untuk menjadi mahluk pengetahu segala-
tidak terlebih dulu melewati penyaringan rumit kekuatan-kekuatan sosial,
galanya (omniscient being) pasti akan tercapai (lihat Berlin, 1956, 14).
ekonomi dan politik. Mungkin tepat apa yang dikatakan Simmel (dalam
Mampukah orang bertumpu di atas optimisme itu ketika ia justru bungkan,
Frisby, 1984, 131) bahwa kota bukan suatu entitas meruang (spatial)
tidak mampu menjelaskan mengapa yang berjalan tegak di muka Bumi
dengan konsekuensi sosiologis, namun entitas sosiologis yang meruang.
justru malapetaka keji, baik akibat tindakan alam, hewan maupun manusia?
Dalam tanggapannya, Rousseau mau menunjukkan bahwa sebuah
Hukum Alam vs Hukum Manusia
peristiwa menjadi bencana bergantung siapa yang menilainya. Dengan kata
Kemenduaan itulah yang dikemukakan dengan tegas oleh Rousseau lain, cuaca kultural memilih siapa yang paling terkena dampak peristiwa itu
dalam sepucuk surat kepada Voltaire, 18 Agustus 1756 (dalam Masters & lalu memutuskan apakah itu bencana atau bukan. Simaklah potongan
Kelly, 1992, 110). Sesudah gempa bumi dan tsunami, disusul dengan lima suratnya kepada Voltaire,
hari kebakaran yang meluluhlantakkan kota Lisbon, Portugal, Voltaire
menulis sebuah sajak (1755). Ia menggugat doktrin teologi Leibniz yang
populer pada masa itu, yaitu bahwa Tuhan menciptakan bagi manusia dunia “Mungkin engkau mengharap gempa terjadi di tengah belantara liar
terbaik dari yang mungkin ada. Dengan getir Voltaire mengolok-olok para daripada di Lisbon ... Namun kita tidak membicarakannya karena tidak
mengakibatkan orang-orang kota cedera, satu-satunya [kumpulan] orang
filsuf dan teolog pengikut Leibniz, yang kita perhitungkan” (Masters & Kelly, 1992, 110).

“Katakan apa untung yang didapat/Dari kehancuran menyakitkan


Lisbon?/.../Leibniz tidak dapat mengatakan padaku kenapa/Di dunia
Ia lalu melanjutkan kritiknya. Dengan tajam ia menunjukkan bagaimana
yang ditata oleh hukum paling arif ini/kekacauan tak kunjung henti, bencana itu sebetulnya menyelamatkan banyak orang dari malapetaka yang
kesengsaraan tak pernah berakhir/nikmat yang sia-sia bercampur jauh lebih besar, yaitu orang-orang kota yang “dalam keadaan normal
nestapa/.../Mahluk fana, haruskah ia sengsara/Pasrah, memuja, dan menunggu kematian agar terbebaskan dari nestapa berkepanjangan.
mati” (Redman, 1971, 561, 567). Apakah kematian itu [di bawah retuntuhan] lebih menyedihkan daripada
kematian orang yang menderita akibat perlakuan salah?” Lebih dari itu,
Rousseau terutama mempertanyakan tanggung jawab manusia membangun

3 4
peradaban ketika dunia Barat memasuki tahap urban, “Haruskah ... alam budakmu … mengguncang sampai ke dasarnya … untuk menemukan
yang tunduk pada hukum kita?” (Masters & Kelly, 1992, 110). rahasia yang masih terkunci di dadanya” (dalam Soble, 2000, 195-215).

Lebih dari seabad sebelumnya, pertanyaan serupa sudah diajukan oleh


Francis Bacon dengan nada yang jauh berbeda. Lewat sains, Bacon bercita- Dari Bacon pula lahir dua gagasan lain, yang pada gilirannya, semakin
cita membangun kerajaan manusia (regnum hominis) sesudah kejatuhannya
menegaskan Aphorisme III. Pertama, bagi Bacon alam ada terutama untuk
dari keabadian Firdaus. Namun sebelum mengajukan langkah-langkah
kepentingan manusia, dan kedua, temuan-temuan teknik adalah daya utama
strategis untuk memulai proyek itu, Bacon menegaskan bahwa hanya
penggerak sejarah yang membawa kemajuan dan kemakmuran umat
dengan terlebih dulu mematuhi alam manusia dapat menguasainya. Meski
manusia. Gagasan kedua lebih dikenal sebagai “ide tentang kemajuan” (the
sampai kematiannya proyek raksasa itu, Instauratio Magna, tidak kunjung
Idea of Progress) yang mendominasi pemikiran Barat sejak Revolusi Sains
rampung, Bacon sudah menulis banyak risalah persiapan. Dalam Novum abad ke-17 dan Revolusi Industri abad ke-18. Wujudnya adalah visi
Organum (1620) yang ia maksudkan sebagai Bagian II Instauratio Magna,
instrumentalistik bahwa janji Bacon dapat dicapai melalui dominasi sains
misalnya, ia menulis bahwa sebagai agen dan penafsir Alam manusia
dan teknologi atas alam. Pada aras ideologis, ini melahirkan determinisme
berbuat dan tahu banyak. Akan tetapi, hanya sejauh ia sudah mengamati
teknologis. Inilah paham bahwa perubahan teknologi bukan hanya
dan memikirkan alam; tanpa itu ia tidak tahu apa-apa dan tidak dapat
merupakan (dan akan terus menjadi) penyebab utama perubahan di dalam
berbuat banyak. masyarakat, tetapi juga masalah-masalah masyarakat hanya dapat
Pernyataan itu ia lanjutkan dengan aforisme yang sampai sekarang diselesaikan melalui kemajuan teknologi. Salah satu cirinya adalah
menjadi sangat terkenal persis karena sering dikutip secara tidak lengkap pertumbuhan kota-kota industri pada abad ke-19 – sebuah abad ketika
sebagai “pengetahuan adalah kekuasaan”. Lengkapnya, Bacon menulis, beragam perubahan yang dibawa oleh modernitas memusat di kota (lihat
Clarke, 2003, 78), sekaligus menyebabkan kota juga menjadi pusat
eksploitasi manusia sekaligus alam.
“Pengetahuan manusia itu sendiri adalah kekuasaan, karena
ketidaktahuan akan sebab menggagalkan efeknya. Karena Alam tidak
dapat dikuasai kecuali dengan mematuhinya; dan apa yang di pikiran Manusia vs Alam
adalah sebab, di dalam praktek merupakan kaidah” (Novum Organum, I,
Aphorism III). Keyakinan itu diperkuat dengan konsepsi mekanistik tentang alam yang
diajukan oleh René Descartes, filsuf Prancis yang lahir 35 tahun sesudah
Bacon. Descartes mengajukan visi yang berbeda dari visi Bacon tentang
Dengan kata lain, manusia yang merupakan penafsir alam dapat proyek dunia modern. Jika bagi Bacon manusia dapat menguasai alam
menguasai alam sejauh ia mengerti bagaimana alam bekerja dan tunduk sampai batas-batas tertentu karena di ujung hari ia adalah bagian dari alam
pada kaidahnya. Itupun hanya sejauh menyatukan benda-benda alam dan yang tunduk pada kaidah-kaidahnya, Descartes meletakkan landasan sains
memilahnya; selebihnya alam sendirilah yang akan bekerja (Aphorism IV). modern di atas subyek otonom yang bukan saja mampu melampaui alam,
Meski demikian, dalam karya yang tidak pernah dipublikasi, Bacon juga tetapi terlebih lagi “menjadikan diri kita sebagai penguasa dan pemilik alam”
menganjurkan agar manusia berdamai dan bersatu menghadirkan (Descartes, 1637/1960, Discourse on Method, Part 6). Dorongan ini semakin
kuat menyingkirkan konsepsi abad tengah mengenai alam semesta yang
keramat, yang sudah mulai tergusur oleh konsepsi heliosentris Copernicus
“Masculine birth of time” untuk menundukkan “alam bersama semua dan matematisasi alam Galileo.
anak-anaknya, mengikatnya untuk melayanimu dan menjadikannya

5 6
Bagi Descartes, dunia terbangun atas dua substansi yang tidak berhasil. Atomisme yang dilahirkan Leukippos (abad ke-2 SM) dan
berhubungan. Di satu sisi, ada kesadaran yang aktif, bertujuan, dan mampu Demokritos (460-370 SM) serta menjadi populer melalui De Rerum Natura
memahami dunia. Inilah “Aku yang berpikir” (Descartes, 1637/1960, karya Lucretius († 50 SM), menemukan bentuk baru pada abad ke-17. Pada
Meditation I) yang kemudian lebih dikenal sebagai Cartesian ego. Di lain sisi masa itu, atomisme tumbuh menjadi gagasan yang meyakini bahwa satu-
ada materi yang pasif, tidak-hidup, dan tidak-bertujuan yang ia definisikan satunya cara untuk memahami segala sesuatu adalah dengan
semata-mata berdasarkan keluasannya di dalam ruang dan waktu membelahnya menjadi bagian-bagian terkecil, dan bagian-bagian terkecil itu
(Meditation V). Dalam konsepsi ini, alam bekerja sepenuhnya berdasarkan dapat dinyatakan semata-mata oleh ukuran dan bentuk.
prinsip-prinsip mekanistik – semacam jam mekanik raksasa. Manusia, yang Semua hubungan ditinjau melalui kaca mata tatanan dan ukuran
secara dualistik2 berada di luar dunia itu, mempelajari hukum-hukum fisika sehingga selalu dicari urut-urutan dan ukuran segala sesuatu, termasuk
untuk memanipulasi alam demi memenuhi segala kebutuhan dan untuk hal-hal tidak terurutkan dan tidak terukur. Implikasinya adalah
kepentingannya. penyingkiran hal-hal yang tidak terukur dari dunia obyektif sains, yang
Pokok utama yang melandasi epistemologi Cartesianis adalah realitas kemudian dikategorikan sebagai elemen sekunder (subyektif) dibanding
terutama terdiri atas materi dan gerak. Dengan demikian, beragam gejala yang primer (obyektif-terukur).
dipahami sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari karakter universal Bersamaan dengan itu, analisis menduduki hierarki tertinggi sebagai
materi. Segala perkara, apakah astronomi, fisiologi, maupun biologi metode universal. Proyek Leibniz menyusun matematika bagi tata kualitatif,
kemudian sama-sama direduksi ke kerja hukum alam. Konsekuensinya misalnya, terletak di jantung pemikiran zaman itu. Atomisme, dengan
adalah determinisme filosofis: jika distribusi dan kecepatan materi diketahui, demikian, menawarkan jaminan bahwa alam dapat dipahami melalui cara
seluruh masa depan tinggal soal kalkulasi. yang sederhana, meski kemudian menjadi jelas bahwa pemahaman itu tidak
Pandangan dunia Cartesianis berpengaruh kuat pada kebanyakan lain adalah perkara menyederhanakan alam ke elemen-elemen terkecilnya
bidang ilmu dan cara berpikir Barat pada umumnya. Pemilahan antara res (Bdk. Midgley, 2006, 82).
cogitans dan res extensa memungkinkan para ilmuwan Cartesianis Kendati secara matematis Newton-lah yang berhasil mewujudkan
selanjutnya memperlakukan materi sebagai barang mati yang terpisah sama impian Descartes tentang alam semesta mekanis, ia menolak dunia
sekali dari manusia, dan alam semesta dipandang sebagai kumpulan mekanistik absolut Cartesianis. ‘Kaidah Bernalar dalam Filsafat’ yang
beragam obyek yang terakit menjadi sebuah mesin raksasa. Dan mesin tercantum dalam Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686)
pada dasarnya ada di bawah kontrol manusia serta dapat dipelajari menurut tampaknya ia ajukan untuk menggantikan ‘Prinsip-prinsip Filosofis’
bagian-bagiannya. Descartes yang terbit 1644.3 Bagi Newton, sistem mekanis bukan doktrin
Meski tidak semua filsuf mekanistik sekaligus juga penganut atomisme, ataupun penjelasan final tentang alam semesta sebagaimana secara
pada abad ke-17 gagasan atomisme-mekanis mengemuka melalui Robert metafisis diyakini Descartes. Hanya saja, ketika Newton mati cita-citanya
Boyle yang ingin menunjukkan bagaimana reduksi mekanistik dapat
3 Lihat Pengantar oleh Andrew Janiak dalam Isaac Newton, Philosophical Writings
(Cambridge Texts in History of Philosophy). ed. A. Janiak (Cambridge: Cambridge
2 Dualistik di sini berarti bahwa sejauh menyangkut tubuh yang hakikatnya adalah University Press, 2004), xvii n. 13. Dalam Prinsip-prinsip Filsafat, Descartes menulis,
keluasan – res extensa, manusia tunduk pada sistem mekanik tersebut; tetapi “Saya tidak menerima atau menghendaki prinsip di dalam Fisika selain prinsip
sebagai kesadaran – res cogitans – manusia adalah substansi sama sekali berbeda Geometri dan Matematika abstrak, karena semua gejala alam dapat dijelaskan
yang kebal terhadap hukum alam. Descartes juga menyimpulkan bahwa banyak melalui [prinsip tersebut]” (Descartes, 1637/1960, ‘Principles of Philosophy’).
fungsi di dalam tubuh manusia tidak bergantung sama sekali pada kesadaran Sementara bagi Newton, pendekatan matematis hanya merupakan langkah
sebagaimana “dihasilkan mesin” (dalam Descartes, 1637/1960, ‘Fourth Set of metodologis tanpa mengandaikan absolutisme matematis atau andaian adanya
Replies’). korelasi utuh antara aspek fisika alam semesta dan pengejawantahan matematisnya.

7 8
untuk menyelamatkan alam semesta dari mekanisasi berlebihan Descartes pengetahuan tetapi gamang menjalin simpul-simpul itu menjadi sebuah
juga ikut terkubur. Melalui problem paling rumit masa itu, yaitu deviasi orbit jejaring hidup yang faktanya kita alami sehari-hari. Yang penting ilmu-ilmu
Jupiter dan Saturnus, Pierre-Simon Laplace (1773) melahirkan doktrin dapat “memadukan semua fakta sosial ke dalam ikatan keniscayaan abadi
mekanistik yang menolak semua bentuk penjelasan yang tidak didasarkan melalui hukum-hukum yang tidak berubah, tidak bisa dilawan, dan tidak bisa
atas prinsip gerak dan bentuk terukur. dihindari” (Gide & Rist, 1947, 2). Dengan kata lain, ilmuwan hanya perlu
Padahal Newton sendiri mengingatkan pembaca Principia akan makna meletakkan hukum dasar, selebihnya akan dilakukan oleh alam.7 Brian
konsep-konsep yang ia maksudkan,4 agar pembaca tidak menyamakan Easlea menyebut periode pengadopsian pandangan dunia mekanistik ke
dunia (ruang-waktu) yang diformulasikan secara matematis dengan dunia dalam berbagai bidang kehidupan itu sebagai bentuk radikal de-mothering
pengalaman sehari-hari. Sejak awal, Newton sudah memilah secara alam, yang merupakan langkah persiapan bagi dominasi pendekatan teknis
ontologis hal-hal yang matematis dari yang fisis.5 Ruang absolut Newton, terhadap alam (dikutip dalam Midgley 1992, 86).
misalnya, adalah ruang matematis-abstrak yang dibangun untuk keperluan
mekanikanya. Namun, karena reduksi mekanistik memungkinkan ilmu-ilmu
Dunia yang Terbelah
alam maju pesat sejak abad ke-17, banyak pemikir dan ilmuwan dari
berbagai bidang berharap bahwa bidang-bidang kehidupan lainnya akan Bagaimanapun, sistem pengetahuan yang dominan di suatu zaman
mencapai keberhasilan yang setara jika menerapkan metode yang sama, tidak semata-mata ditentukan oleh logika otonom yang melekat di dalam
tanpa memasalahkan lagi apakah gagasan utama Newton dipahami secara tubuh pengetahuan itu sendiri, dan tidak juga oleh kerja individual pemikir-
tepat atau keliru (Berlin, 1980, 144). pemikir cemerlang yang sudah disebut di atas. Pengetahuan dibentuk oleh
Bagi Newton, dunia matematis yang merupakan abstraksi tidak sama jejaring hubungan dan kepentingan, yang memungkinkan masyarakat suatu
dengan dunia sehari-hari. Abstraksi adalah langkah pokok dalam penalaran zaman serta kepekaannya akan hal-hal tertentu mengenali adanya tatanan
ilmiah, tetapi menyatakan bahwa yang benar adalah yang sudah dipilah, berbeda di belakang gejala (lihat Foucault, 1972; Bdk. Kuhn, 1962). Inilah
disaring, dan dirampatkan dari dunia kehidupan sehari-hari, adalah hal lain yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 ketika akhirnya disadari bahwa
lagi. Ketika sebuah sarana konseptual (abstraksi) diperlakukan sebagai yang manusia dan dunianya tak mungkin sepenuhnya direduksi ke dalam
real, pengalaman kongkret terciutkan ke dalam persenyawaan macam- representasi matematis.
macam skema yang isinya prinsip-prinsip umum. Ambil contoh kekayaan. Kekayaan masih merupakan representasi
Ilmuwan Newtonianis membangun upaya raksasa untuk memahami seseorang yang dapat dikuantifikasi. Akan tetapi, bersama dengan apa yang
realitas dan mengumpulkan berbagai definisi tentang pengalaman manusia, terkuantifikasi itu mengemuka pula kerja. Dan kerja adalah suka-duka,
namun lupa bahwa sumber pengalaman ilmiah adalah justru dunia bahkan hidup-mati seorang manusia.8 Contoh lain adalah bahasa. Bahasa
pengalaman kongkret.6 Akibatnya, mereka punya banyak sekali simpul

4 Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Sciences dalam Mortimer J. Adler metode sebagai ‘ada’ yang sesungguhnya – sebuah metode yang dirancang untuk
(ed.) Great Books of the Western World Vol. 32 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, perbaikan terus menerus.”
1996), hlm. 5-13, 270-271 .
7 Ini merupakan keyakinan Montesquieu dalam The Spirit of the Laws (1748). Bagi
5Merujuk Ke “Definition VIII” dan “Scholium” dalam Principia (1996, hlm. 8). Montesquieu monarki semacam sistem alam yang dipaparkan Newton dalam
Sekalipun pemilahan ini juga nantinya bukan tanpa risiko penciutan segala yang real Principia. Determinasi sistem Newton juga mempengaruhi Perpetual Peace Kant dan
ke yang terukur. The Wealth of Nations Adam Smith.

6Saya mengacu ke refleksi Edmund Husserl (1986, 51-52) mengenai sumber krisis 8Ketika saya membeli emas seharga Rp100.000,- per gram, saya membayar bukan
sains (Eropa), “...kita memperlakukan apa yang sebetulnya merupakan sebuah hanya untuk emas sebagai logam mulia, tetapi juga keringat buruh tambang, waktu

9 10
merupakan representasi ide, benda, pengetahuan dan perasaan. Namun, di demikian, pemikiran yang sudah mengendap selama dua abad kepalang
balik bahasa bersembunyi daya-daya kultural yang menentukan identitas menjadi keras kepala.
seseorang, kekerabatan dan juga individualitasnya yang bahkan merupakan Di satu kutub kita menemukan pemikir dan juga aktivis lingkungan yang
landasan bagi sejarah yang lebih luas (lihat Foucault, 1977, 231). Dari melihat alam sebagai entitas yang terpisah dari manusia (dan kebudayaan).
situlah terungkap realitas yang tergusur sepanjang dua abad, yakni obyek Alam diterima sebagai entitas tersendiri yang perlu dimerdekakan, dihormati,
yang tak pernah sepenuhnya dapat di-obyek-kan, yang meletak di tepi dan dinilai berdasarkan dirinya sendiri sebagaimana terungkap, misalnya,
pengalaman, di luar pengetahuan, namun merupakan syarat bagi dalam pemikiran John Passmore (1974) atau Holmes Rolston (1988). Di lain
pengetahuan. kutub, kita menemukan pemikiran yang menerima manusia sebagai bagian
Rasionalitas dan hubungan-hubungan yang tertangkap oleh dari alam tetapi memiliki keistimewaan untuk menggunakan, mengolah serta
pengalaman ternyata bertumpu di atas landasan yang tak mungkin merawat alam yang pada hakikatnya liar dan memerlukan penataan.
sepenuhnya diketahui. Puncaknya tercapai pada pemikiran Sigmund Freud Misalnya, dalam pendekatan keilmuan yang mengadopsi Darwinisme. Hal
yang mengemukakan gagasan bahwa bukan alam yang merupakan lawan serupa juga berlaku untuk pemahaman tentang kota. Di satu kubu kita
pertarungan abadi manusia, melainkan kodrat dirinya yang menciptakan menemukan pemikir-pemikir urban yang membayangkan kota sebagai
sebuah kawasan tak-sadar. Jauh di bawah kesadaran rasional yang entitas atomistik atau sebagai organisme, dan di lain kubu yang
sedemikian dibanggakan para Cartesianis, dan yang diyakini sebagai satu- membayangkan kota sebagai bagian dari proses evolusi, atau bahkan
satunya elemen yang membedakan manusia dari alam, diam-diam kecelakaan sejarah dalam proses evolusi masyarakat dan lingkungan.
bersembunyi kekuatan ampuh yang tak masuk ke dalam analisis rasional:
Pengkutuban di atas tentu terdengar ekstrim, karena di antara dua
the unconscious.
kutub itu berkembang gagasan yang oleh Castell (2001, 127) diistilahkan
Para pemikir masa itu mulai yakin bahwa gejala dapat diketahui, tetapi
sebagai “sains kehidupan”, untuk melawankannya dengan “kehidupan di
tidak substansinya; hukum diketahui tetapi tidak esensinya; keteraturan
bawah sains”. “Sains kehidupan” adalah pemikiran ekologis yang mau
diketahui tetapi tidak demikian dengan manusia yang mematuhinya. Ilmu-
mendefinisikan kembali, secara sekaligus, dua landasan pokok materialitas
ilmu manusia (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu sosial) ternyata punya
kehidupan: ruang dan waktu. Daripada menyuguhkan definisi, contoh yang
ketahanannya sendiri terhadap reduksi mekanistik impersonal. Sebuah
diajukan Castell kiranya cukup membantu untuk menjelaskan istilah yang
reduksi yang membidani lahirnya dunia yang tidak lagi mengenali manusia.
maksudnya melibatkan evolusi spatiotemporal. Contoh pertama adalah
Sebuah kosmos, yang dalam refleksi Michael Polanyi (1964, 140) tempat
gerakan anti-nuklir yang melandaskan kritiknya pada efek jangka panjang
kita tak lagi ada di dalamnya.
(waktu) limbah radioaktif, selain persoalan keselamatan lingkungan (ruang).
Implikasi kecenderungan reduktif itu yang mungkin membuat penyair Gerakan ini mau melindungi lingkungan, sekaligus menjembatani generasi
William Blake meratap, “May God us keep/From Single vision and Newton’s yang akan lahir ribuan tahun dari sekarang yang terbebani dengan warisan
sleep!” (1802, larik 87-88). Gerakan romantik, vitalisme, maupun organisme limbah manusia masa kini. Contoh kedua adalah gerakan menghormati dan
yang muncul sejak pertengahan abad ke-18, disusul systems thinking yang melestarikan kebudayaan penduduk asli (indigenous) dan artefak sejarah.
lebih baru (Bertalanffy, 1974) merupakan perlawan terhadap pendekatan Gerakan ini merentang ke masa lalu sekaligus ke masa depan, melibatkan
reduksionistik atas berbagai problematik kehidupan. Gerakan itu menjelma semua bentuk eksistensi manusia yang pernah ada dan akan ada, sekaligus
secara beragam dalam dunia kehidupan sehari-hari, mulai dari gerakan menegaskan bahwa kita adalah mereka dan mereka adalah kita (Ibid, 126).9
kembali ke alam sampai ke paham pembangunan berkelanjutan. Meski

yang habis selama proses penambangan dan produksi, bahkan risiko kematian 9 Jika dikaitkan dengan etika lingkungan, “Sains Kehidupan” yang diutarakan oleh
buruh. Saya juga membayar untuk laba pemilik modal dan pajak produksi. Castell hanya mungkin apabila dibangun di atas Etika Tanggung Jawab yang
imperatifnya adalah, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat

11 12
Dengan cara berbeda dari pengkutuban yang diajukan di atas, Castell mempertimbangkan kendala lingkungan dan daya tampung alam. Dengan
(2001, 112-113) membedakan antara environmentalisme dan ekologi. Yang kata lain, kota adalah perkara keselamatan manusia dan kesejahteraannya,
pertama ia maksudkan sebagai semua bentuk perilaku kolektif yang dalam bukan perkara ekosistem (Martin, 2009). Ideal Pencerahan yang
wacana maupun praktek bertujuan mengoreksi relasi antara tindakan menekankan rasionalitas juga meruntuhkan apa yang sampai awal
manusia dan lingkungan alami-nya. Sedangkan yang kedua menunjuk ke Renaisans masih dipandang sebagai kekeramatan alam yang tersisa di
keyakinan, teori, maupun proyek yang melihat manusia sebagai bagian dari kota, seperti pepohonan dan sungai.
ekosistem dan bertujuan mempertahankan keseimbangan sistem melalui Pembangunan kota terbagi berdasarkan fungsi dan tujuan bangunan-
dinamika evolusi.10 bangunannya. Kalau orang mau membangun pusat komersial lengkap
dengan perhitungan fungsionalnya, para ekonom-lah yang akan
Kota yang Terbelah menyumbang pemikiran. Jika pembangunan kota memerlukan analisis
lingkungan, ahli botani, klimatologi, dan geografi yang akan terlibat. Dalam
Sikap rasional terbelah ini juga mengendap dalam teori-teori lingkungan
kajian masa depan, matematika-lah yang menyuguhkan perhitungan-
dan kajian urban, yang pada gilirannya melahirkan cara pandang yang
perhitungan yang dinilai penting dan mendasar. Namun, apakah kota
terbelah antara alam dan kota. Ilmu-ilmu sosial yang menjadi landasan bagi
sekadar penjumlahan index dan fakta, variabel dan parameter, deskripsi,
kajian urban kepalang memilah-milah realitas secara analitik dan
kumpulan semua fakta, serta analisis yang demikian terpilah-pilah? Bisakah
menganalisis potongan-potongannya sebagaimana ilmu-ilmu alam. Masing-
dari sains yang berdiri sendiri-sendiri itu dihasilkan sebuah sains tentang
masing dengan bidang dan metodenya sendiri-sendiri. Masing-masing
kota? (Ibid, 95). Juga seandainya berlangsung kajian multidisiplin, tiap-tiap
bidang tentu menyumbang bagi kajian tentang kota, namun sebagaimana
ilmu masih menggunakan asumsi dan pendekatannya sendiri-sendiri.
pernah dicatat oleh Lefebvre (2000, 94), misalnya, yang mengemuka adalah
‘sebuah proyek’ manakala masing-masing ahli bicara tentang kota. Banyak masalah-masalah kota muncul karena ada jurang epistemik
yang dalam, yang menjauhkan realitas ekonomi-politik dari arah kebijakan
Di belakang pembangunan kota-kota modern, bersembunyi ideal
publik. Realitas ekonomi-politik sekarang ini sudah berubah (simak
Pencerahan dan semua asumsinya mengenai rasionalitas, efisiensi, dan
paradigma kekuasaan yang tidak lagi monolit, interpertasi cairs atas
universalisasi ruang sehingga kota dapat dibangun di mana saja tanpa
‘kepentingan bersama’, dlsb), tetapi arah kebijakan masih bertumpu di atas
paradigma lama berdasarkan rasionalitas yang membatasi diri pada
tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi di Bumi!” rasionalitas teknis. Dengan kata lain, administrasi kepentingan publik
(Hans Jonas (1984, 28 ). Titik tolak bagi etika ini adalah “heuristik ketakutan”, yaitu dijalankan menurut pendekatan mekanistik ilmu-ilmu positif, dengan
kita wajib membayangkan sepenuh-penuhnya bahwa kita sedang menuju ke penekanan pada kemampuan kontrol melalui kalkulasi rasional-matematis,
malapetaka universal apabila kita membiarkan dinamika kemajuan teknologi dan sistematisasi pola-pola makna, dan pencapaian cara hidup yang metodis-
pembangunan sebagaimana sekarang terus berlangsung. Contoh bentuk ketakutan sistematis. Pendekatan inilah yang lalu dirumuskan secara kuantitatif ke
ini pernah dirasakan oleh Harold Urey, pemenang Nobel kimia 1934 yang juga dalam model perencanaan (planning).
mengepalai proyek Manhattan (pembuatan bom atom 1945). Enam bulan setelah
bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, ia mengatakan, “Saya menulis ini Akibatnya, ada pemikir yang membayangkan kota bukan dihuni oleh
untuk menakut-nakuti Anda. Saya sendiri ketakutan. Semua ilmuwan yang saya manusia-manusia urban, melainkan oleh warga-kota yang seolah-olah
kenal merasa takut – takut akan hidup mereka – dan akan hidup Anda” (dalam bebas membentuk dan menata komunitas tanpa pembagian kerja, tanpa
Weart, 1989, 114). kelas sosial, tanpa jender dan primordialitas suku maupun agama. Atau,
yang berusaha mengawinkan konsep keselarasan kota-alam untuk
10 Pembagian ini tidak membuat Castell melawankan keduanya. Bagi Castell, mengatasi penurunan kualitas lingkungan kota akibat urbanisasi, tetapi
environmetalisme adalah ekologi dalam praktek, sedangkan ekologi adalah mendefinisikan relasi antar manusia menurut konsep selaras itu. Tujuannya
environmentalisme dalam teori.

13 14
adalah membangun enklaf nyaman, dan bahkan romantis, bagi kelompok- yang akan mempengaruhi kondisi status quo mereka.12 Juga seandainya
kelompok terbatas warga kota. Kendati di dalam enklaf itu dibangun situasi kota seluruh kota ditinjau sebagai sebuah ekosistem yang menekankan
alami (mungkin hutan kota, danau, dlsb), pada dasarnya itulah alam yang hubungan rumit antara isu-isu lingkungan dan masalah-masalah urban.
sudah mengalami penyaringan sosial-ekonomi-politik. Tepatnya, alam yang Resistansi semakin kuat dan terdukung seiring kenaikan kelas sosial dan
tampil juga sebagai salah satu bentuk kebudayaan – alam termanufaktur. hubungan-hubungan kekuasaan (uang dan politik) yang dipunyai.
Upaya menghidupkan kembali alam termanufaktur di dalam kota
tentulah merupakan tindakan terpuji.11 Persoalannya, penataan kota Kota, Alam, dan Keberadaban
semacam itu mengandung bias kelas. Kawasan di luar enklaf yang kumuh
Hampir empat abad yang lalu, Shakespeare mengulang dialog antara
dibiarkan menjadi arena tarung warga miskin melawan alam yang juga
Sinicius dan warga kota Roma (Coriolanus, act 3 scene 1). “Apalah kota
sudah melewati penyaringan sosial-ekonomi-politik, namun secara
kalau bukan ‘the people’, ujar Sinicius kepada warga kota Roma. “Benar, the
berkebalikan. Di kawasan itu, warga miskin berusaha bertahan hidup di atas
people adalah kota”, jawab warga. The people saya artikan sebagai warga.
tanah dan air yang tercemar, di antara serbuan nyamuk, tikus, dan lalat.
Apa yang mengemuka dari potongan dialog ini? Kota adalah ruang
Situasinya mirip dengan relokasi industri dari negara-negara maju ke
geografis dan bentuk-bentuk fisis (Latin: urbs) sekaligus civitas –
negara-negara berkembang. Relokasi berlangsung bukan karena negara-
kewargaan.Warga kota atau civis menurunkan pengertian civilitas, yang kita
negara maju murni peduli terhadap lingkungan, melainkan terutama demi
terjemahkan sebagai keberadaban. Dengan pemahaman ini, city, cité, citta,
restrukturisasi ekonomi dan penggusuran ruang tercemar. Dalam konteks
atau kota adalah situs dari civilitas. Ironisnya, pemakaian modern
Jakarta, misalnya, berlangsung relokasi industri ke kawasan-kawasan di luar
melenyapkan makna civilitas dari city, cité, citta, atau kota. Bahkan kata
Jakarta, pengalihan sampah ke mana saja “asal bukan di dalam kota
‘urban’ pun, aslinya mengandung arti kesantunan. Sebutan itu beralih ke
Jakarta”, dan penggusuran pemukimam kaum miskin kota yang dipandang
civitas, konon, ketika Roma, kota sekaligus pusat dunia, kehilangan
merusak keindahan dan keselarasan kota.
prestisenya. Akan tetapi, dalam pemakaian sehari-hari, makna ‘urban’13
Dengan kata lain, niat memberadabkan kota berlangsung melalui cara sudah menjadi sangat terciutkan sehingga urbanisasi kerap dipahami secara
tidak beradab. Ketegangan urban mengemuka ketika kaum miskin kota yang keliru lebih sebagai pertumbuhan penduduk akibat migrasi dari luar ke
terpinggirkan menuntut akses ke lingkungan kota yang lebih baik, mulai dari dalam kota.
pemukiman, sanitasi, air bersih, kesehatan, sampai transportasi, komoditas, Apa yang sangat khas dari pengertian kota dalam artinya yang paling
ruang hijau publik, dlsb. Cukup pasti, di banyak negara termasuk Indonesia, asali adalah ‘keberadaban’. Dan bahwa seluruh infrastuktur kota adalah
distribusi akses ke air bersih dan sanitasi mencerminkan distribusi demi menciptakan keberadaban, termasuk di dalamnya adalah
kekayaan. Laporan UNDP menyebutkan bahwa warga kota yang hidup di mendefinisikan kembali ‘alam’ dan yang ‘alami’ dalam konteks keberadaban
kawasan kumuh Jakarta, Manila dan Nairobi membayar air bersih/unit
antara 5 dan 10 kali lebih mahal daripada yang dibayar oleh warga kota
yang tingal di kawasan menengah ke atas (high-income areas) di London
12Misalnya penolakan penduduk sebuah pemukiman elit Jakarta Selatan atas
pembangunan jalur bus, atau pencabutan portal dalam kompleks perumahan yang
dan New York (Human Development Report, 2006).
menutup jalan-jalan umum.
Tidak terlalu mengherankan jika kebanyakan kelas menengah
merupakan kelompok yang paling resistan terhadap bentuk-bentuk penataan 13 Sekarang ini tampaknya tidak ada lagi hubungan antara kata ‘urban’ yang umum
dipergunakan dan makna klasiknya. Dengan kata lain, perubahan sosial dan sejarah
membuat kata ‘urban’ sekarang ini bisa mengandung apa saja – tergantung siapa
11Masalah muncul jika ini dilangsungkan di kawasan hutan belantara yang jelas yang menggunakan, namun sekaligus juga tidak berarti apa-apa. Kesulitan ini
akan mengganggu keragaman spesies-nya. Hutan Tanaman Industri secara terutama karena sifat tak kasat mata elemen-elemen penting yang mengisi kata
mencolok telah mengubah keseimbangan hayati hutan di banyak kawasan di dunia. ‘urban’ itu sendiri.

15 16
itu. Dengan pemahaman ini, alam dan budaya atau lingkungan alami dan politisi. Politik adalah pokok hidup sehari-hari persis karena setiap hubungan
lingkungan termanufaktur yang terdapat di kota, tidak mungkin dimengerti manusia yang berdampak pada kepentingan warga sebagai keseluruhan,
dan ditangani secara sendiri-sendiri. Alam di kota bukan sempalan dari kota atau ringkasnya kepentingan publik, adalah persoalan politis. Demikian pula
maupun dari keberadaban dan ketidakberadabannya. setiap tindakan yang memungkinkan seseorang ikut ambil bagian dalam
Dikhotomi nature and culture bukan hanya mengalami inflasi sehingga urusan kepentingan publik, adalah tindakan politis. Setiap orang, siapapun
tidak lagi memadai untuk memahami kota, tetapi sebagai konsep pun sudah dia, dapat mengambil sikap politik serta bertindak politis. Masyarakat seperti
kadaluarsa. Demikian halnya dengan pemilahan kota dan desa. Kota-kota ini tentu membuat gatal telinga pihak penguasa dan pemilik modal, tetapi
seringkali berkembang dengan cara merangsek pedusunan di sekitarnya, hanya dengan cara ini warga tidak lagi dapat diabaikan dalam proses
sehingga mengubah kawasan pertanian menjadi daerah pinggiran yang menentukan arah kebijakan kota.
hakikatnya ambigu: masih merupakan bagian dari kota sekaligus juga Kedua, mimpi akan keberadaban kota mengandaikan adanya tata
merupakan dusun. Dalam perkembangannya, kawasan-kawasan peralihan hukum kota yang tidak berpihak. Apa yang secara kultural kita namakan
itupun mengalami pertumbuhan dan perluasan. Akan tetapi, seringkali tanpa sebagai ketakberadaban, dalam konteks bernegara adalah ketiadaan
perencanaan dan perancangan, apalagi kerjasama administratif dengan kota polity/polīteía (tatanegara). Sebagai warga, seseorang bertindak atas dasar
‘asal’ untuk mengelola kawasan antara. konstitusi. Ia punya polity dan karena itu secara kultural, ia civilized –
beradab. Namun ini juga tidak berarti bahwa hukum qua hukum pun sudah
Warga Kota sebagai Masyarakat Politik memadai. Sebuah tatanan mendi beradab bukan karena ada hukum,
Ada dua pertanyaan kecil mengemuka bersama ungkapan melainkan terutama karena ada pemahaman mengenai keutamaan yang
‘keberadaban’ ini. Pertama, apakah ‘keberadaban’ yang dimaksud akan me- akan membawa kebaikan bersama. Pertanyaannya lalu menjadi,
luar-kan orang-orang dusun miskin yang datang ke kota? Di sinilah kita perlu bagaimanakah konstitusi menjelmakan dan merawat kebaikan umum kota
kembali ke pengertian kota. Kota bukan dibentuk menurut budaya orang melalui cara-cara yang beradab?
dusun, tetapi juga bukan oleh budaya kapitalis orang kota. Kota dibentuk Tentu saja, yang kedua ini lebih menurut ‘apa yang seharusnya’. Dan
berdasarkan budaya keadaban kota. Bukankah orang paling mentereng di apa yang seharusnya hanya ada di langit ideal. Padahal sejarah tidak selalu
kota bisa sekaligus merupakan orang yang paling tidak berkeadaban? mengalir mengikuti arus sungai ideal. Faktanya adalah seperti kata Thomas
Kedua, tidakkah upaya pengadaban kembali kota ini merupakan Hobbes, pemikir Inggris dua abad lalu. “Auctoritas, non veritas, facit legem”
gerakan elit? Saya berani menjawab tidak, karena kaum terpinggirkan kota (otoritas, bukan kebenaran, yang membuat hukum). Padahal hukum
seringkali justru memulai gerakan semacam ini. Mereka menunjukkan kehilangan alasan-adanya jika nilai dasarnya gagal terpenuhi sejak awal:
bagaimana evolusi kultural bisa berangkat dari apa yang dipunyai oleh yaitu hukum pertama-tama dilandasi oleh keadilan.
warga miskin, bukan dari apa yang tidak mereka punyai. Beberapa kampung Tinggallah warga kota meratap. Sistem hukum tidak berbeda dengan
di Jakarta yang semula kumuh berhasil menjadi kampung hijau oleh inisiatif jaring laba-laba. Ia menjerat serangga kecil yang lewat tetapi rusak
warganya. Sebut saja dua, yaitu Warakas-Sunter dan Kampung Apung- berantakan oleh burung yang melintasinya (dikutip dari pendapat seorang
Cengkareng. tokoh Lampung, 2004).
Minimal ada dua prasyarat dasar untuk menciptakan kota yang
beradab. Pertama, warga kota mau dan mampu membentuk masyarakat
politis (political society). Inilah masyarakat yang terus menerus Daftar Pustaka
mendiskusikan dan menanggapi hal-hal yang hendak dilakukan atau tidak Bacon, Francis. 2000. The New Organon (Cambridge Texts in the History of
dilakukan oleh pemerintah maupun pemilik modal. Perjalanan politik kota di Philosophy). Eds. Lisa Jardine & Michael Silverthorne. Cambridge:
Indonesia – kalau bukan politik secara menyeluruh – mengajari kita bahwa Cambridge University Press.
politik bukan pokok hidup yang dapat diserahkan begitu saja kepada para

17 18
BBC, 2007 – Martin, Thomas. 2009. ‘The City as Salvific Space: Heterotopic Place and
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/02/070206_jktfloodtu Environmental Ethics in the New Jerusalem’. Society of Biblical
esday.shtml Literature Publications.
Benton-Short, Lisa & John Rennie Short. 2008. Cities and Nature. London: http://www.sbl-site.org/publications/article.aspx?articleId=801
Routledge. Midgley, Mary. 1992. Science as Salvation. London: Routledge.
Berlin, Isaiah Berlin. 1956. The Age of Enlightenment. New York: New Midgley, Mary. 2006. Science and Poetry. London: Routledge.
American Library. Passmore, John. 1974. Man's Responsibility for Nature. London: Duckworth.
Berlin, Isaiah. 1980. Personal Impression. ed. Henry Hardy. London: The Polanyi, Michael. 1964. Personal Knowledge. New York: Harper & Row.
Holograph Press.
Redman, Ben Ray, ed. 1971. The Portable Voltaire. New York: The Viking
Clarke, David. 2003. The Consumer Society and the Postmodern City. Press.
London: Routledge.
Rolston, Holmes. 1988. Environmental Ethics: Duties to and Values in the
Descartes, R. 1637/1960. A Discourse on Method, Meditations on the First Natural World. Indiana: Temple University Press.
Philosophy, Principles of Philosophy. Trans. John Veitch. London:
Scheler, Max. 1928/1962. Man’s Place in Nature. Trans. Hans Meyerhoff.
Everyman’s Library.
New York: The Noonday Press.
Foucault, Michel. 1972. The Archaeology of Knowledge and The Discourse
WHO, 2007 –
of Language. New York: Harper & Row.
http://www.who.or.id/eng/contents/esr/ESR%20(05)%20Floods%20in%
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things. Ed. R.D. Laing. London:
20DKI%20Jakarta%20Province,%20updated%2009%2002%2007.pdf
Tavistock.
Weart, Spencer. 1989. Nuclear Fear: A History of Images. Harvard: Harvard
Frisby, D. 1984. Georg Simmel. London: Routledge.
University Press.
Gide, Charles & Charles Rist. 1947. A History of Economic Doctrines, trans.
Kuhn, Thomas. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago:
R. Richards. New York: D.C. Heath.
Chicago University Press.
Jonas, Hans. 1984. The Imperative of Responsibility, In Seacrh of an Ethics
Castell, Manuel. 1997. The Information Age: Economy, Society and Culture
for the Technological Age. Chicago: The Universit of Chicago Press.
(Vol. II). Massachusetts: Blackwell.
Lucretius. De Rerum Natura. Trans. William Ellery Leonard.
Husserl, Edmund. 1986. The Crisis of European Sciences. Trans. David
http://classics.mit.edu//Carus/nature_things.html
Carr. Evanston: Northwestern University Press.
Masters, Roger D. & Christopher Kelly, eds. 1990. The Collected Writings of
von Bertalanffy, Ludwig. 1974. Perspectives on General System Theory. Ed.
Rousseau, Vol.3. Hanover: The University Press of New England.
Edgar Taschdjian., New York: George Braziller Inc.
Lefebvre, Henri.2000. Writings on Cities. Trans. Eleonore Kofman &
Soble, Alan. 2000. ‘In Defence of Bacon’ dalam Noretta Koertge (ed.) A
Elizabeth Lebas. Massachusetts: Wiley-Blackwell
House Built on Sand. Oxford: Oxford University Press.
Blake, William. 1801. ‘To Thomas Butts’ dalam The Poetical Works of
William Blake.
http://users.compaqnet.be/cn127848/blake/collected/chap-10.html

19 20

Anda mungkin juga menyukai