Anda di halaman 1dari 10

B.

PERILAKU NON VERBAL DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya; bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih. Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpamenyadari bahwa pesanpesan tersebut bermakna pada orang lain. Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial; di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial. Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amrika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurangsopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya. Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.

Konsep Waktu Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Kebanyakan budaya Barat memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan dengan ruang dan tempat. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebaliknya, sukuIndian Hopi tidak begitu memperhatikan waktu. Mereka percaya bahwa setiap hal apakah itu manusia, tumbuhan, atau binatang memiliki sistem waktunya sendiri-sendiri. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banayak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi. Penggunaan Ruang Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antar-personal disebut proksemika (proxemics). Proksemika tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab dan orang-orang Amerika Latin cenderung berinteraksi lebih dekat kepada sesamanya daripada orang-orang Amerika Utara. Penting disadari bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila kita berbicara dengan orang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran apa yang bakal terjadi, menghindari pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan. Kita mungkin mengalami perasaan-perasaan yang sulit kita kontrol; kita mungkin menyangka bahwa orang lain tidak tahu adat, agresif, atau menunjukkan nafsu seks ketika orang itu berada pada jarak yang dekat dengan kita, padahal sebenarnya tindakannya itu merupakan perwujudan hasil belajarnya tentang bagaimana menggunakan ruang, yang tentu saja dipengaruhi oleh budayanya. Kita juga cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Duduk di belakang meja sambil berbicara dengan seseorang yang sedang berdiri biasanya merupakan tanda hubungan atasan-bawahan, dan orang yang duduk itulah atasannya. Perilaku yang serupa juga dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan, kekurangajaran, atau penghinaan, bila orang melanggar norma-norma budaya. Kesalahpahaman mudah terjadi dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya ketika dua orang, masingmasing berperilaku sesuai dengan budayanya masing-masing, tak memenuhi harapan pihak lainnya. Bila kita tetap duduk sedangkan kita diharapkan berdiri, kita dikira orang melanggar norma budaya dan menghina pribumi atau tamu, padahal kita tidak menyadari hal tersebut. Menurut Tubbs and Moss (1996), sistem komunikasi non verbal berbeda dari satu budaya ke budaya lain seperti juga sistem verbal. Di beberapa negara, suatu anggukan kepala berarti tidak, di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Petunjuk-petunjuk non verbal ini akan lebih rumit lagi bila beberapa budaya memperlakukan faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda.

Isyarat-isyarat vokal seperti volume suara digunakan secara berbeda dalam budaya-budaya yang berbeda, begitu juga dengan ekspresi emosi. Misalnya, orang Italia dan orang Inggris lebih terbiasa mengekspresikan kesusahan dan kemarahan daripada orang Jepang, karena bagi orang Jepang merupakan suatu kewajiban sosial untuk tampak bahagia dan tidak membebani teman-teman mereka dengan kesusahan. Menurut Gudykunst dan Ting Tommey (1988), dalam beberapa budaya penampilan emosi terbatas pada emosi-emosi yang positif dan tidak mengganggu harmoni kelompok. Liliweri (2003) mengatakan bahwa ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa faktor dari pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada beberapa bentuk perilaku non verbal yakni: (1) kinesik; (2) okulesik, dan (3) haptiks; (4) proksemik; dan (5) kronemik. 1. Kinesik, adalah studi yang berkaitan dengan bahsa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambarang tubuh, dll. Tampaknya ada perbedaan anatara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan tersebut. 2. Okulesik, adalah studi tentang gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan satu makna tertentu, seperti kasih sayng, marah, dll. Orang Amerika Utara tidak membenarkan seorang melihat wajah mereka kalau mereka sedang berbicara. Sebaliknya, orang Kamboja yakin bahwa setiap pertemuan didahului oleh pandangan mata pertama, namun melihat seorang adalah sesuatu yang bersifatprivacy sehingga tidak diperkenankan memandang orang lain dengan penuh nafsu. 3. Haptik, adalah studi tentang perabaan atau memperkenankan sejauh mana seseorang memegang dan merangkul orang lain. Banyak orang Amerika Utara merasa tidak nyaman ketika seseorang dari kebudayaan lain memegang tangan mereka dengan ramah, menepuk belakang dan lain-lain. Ini menunjukkan derajat keintiman: fungsional/profesional, sosial dan sopan santun, ramah tamah dan baik budi, cinta dan keintiman, dan daya tarik seksual. 4. Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana dikategorikan oleh Hall pada tahun 1973, kecenderungan manusia menunjukkan bahwa waktu orang berkomunikasi itu harus ada jarak antarpribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh. Makin dekat artinya makin akrab, makin jauh arinya makin kurang akrab. 5. Kronemik, adalah studi tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalu suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradaban maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktukemudian menghailkan pengertian tentang orang malas, malas bertnggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu. 6. Tampilan, apperance cara bagaimana seorang menampilakn diri telah cukup menunjukkan atau berkolerasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita pada orang lain. Dalam sebagian masyarakat barat, jas dan pakaian formal merefleksikan profesionalisme, karen itu tidak terlihat dalam semua masyarakat.

7. Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Kalau orang Jawa dan orang Timor (Dawan) merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan yang orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila berhadapan dengan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan. 8. Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan komunikasi yang merupakan gabungan anatara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam komunikasi antarbudaya. Contoh, orang Amerika yang berbicara terlalu keras acapkali oleh orang eropa dipandang terlalu agresif atau tanda tidak bersahabat. Orang Inggris yang berbicara pelan dan hati-hati dipahami sebagai sekretif bagi Amerika. 9. Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif beberapa di antarnya adalah simbolisme warna dan nomor. Di Amerika Utara, AS dan Canada, warna merah menunjukkan peringatan, daya tarik seks, berduka, merangsang. Sedangkan warna kuning menggambarkan kesenangan dan kegembiraan. Warna biru berarti adil, warna bisnis sehingga dipakai di perkantoran. Warna hitam menunjukkan kematian, kesengsaraan, dosa, kegagalan dalam bisnis dan seksi. Sebaliknya warna merah di Brazil adalah yang menunjukkan jarak penglihatan, hitam melambangkan kecanggihan, kewenangan, agama dan formalitas. Dilihat dari fungsinya,perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi.Paul Ekman dalam Mulyana (2007) menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal,seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata,yakni sebagai : - Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan symbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal.Kedipan dapat mengatakan,Saya tidak sungguh-sungguh.illustrator.Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan. - Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka.Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.Penyesuai.Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan.Itu merupakan respon tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangikecemasan. - Affect Display. Pembesaran manik mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi.Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut ,terkejut,atau senang. Lebih lanjut lagi Mulyana (2007) merumuskan,dalam hubungannya dengan perilaku verbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut. - Perilaku nonverbal dapat mengulagi perilaku verbal,misalnya anda menganggukan kepala ketika anda mengatakan ya,atau menggelengkan kepala ketika mengatakan tidak, atau menunjukan arah (dengan telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.

- Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal.Misalnya Anda melambaikan tangan seraya mengucapkan Selamat Jalan, Sampai jumpa lagi,ya, atau Bye bye,;atau anda menggunakan gerakan tangan ,nada suara yang ninggi,atau suara yang lambat ketika Anda berpidato hadapan khalayak.Isyarat nonverbal demikian itulah yang disebut affect display. - Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal,jadi berdiri sendiri,misalnya Anda menggoyangkan tangan Anda dengan telapak tangan mengarah ke depan (sebagai pengganti: kata Tidak)ketila seorang pengamen mendatangi mobil tau Anda menunjukkan letak ruang dekan dengan jari tangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun,kepada seorang mahasiswa baru. - Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.Misalnya Anda sebagai mahasiswa mengenakan jaket atau membereskan: buku-buku,atau melihat jam tangan Anda menjelang kuliah berakhir,sehingga dosen segara menutup kuliahnya. - Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal.Misalnya,seorang suami mengatakan Bagus! Bagus! ketika diminta komentar oleh istrinya mengenai gaun yang dibelinya,seraya terus membaca surat: kabar atau menonton televisi; Jika terdapat pertentangan antara pesan verbal dan pesan nonverbal,kita biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal,yang menunjukkan pesan sebenarnya,karena pesan nonverbal lebih sulit dikendalikan daripada pesan verbal.Kita dapat mengendalikan sedikit perilaku nonverbal; namun kebanyakan perilaku nonverbal di luar kesadaran kita.Kita dapat memutuskan dengan siapa dan kapan berbicara serta topiktopik apa yang akan kita bicarakan,tetapi kita sulit mengendalikan ekspresi wajah senang, malu, ngambek, cuek; anggukkan atau gelengan kepala; kaki yang mengetuk-ngetuk lantai; dan sebagainya.Anda sulit menyangkal komentar seorang pendengar bahwa Anda sangat gugup ketika Anda berpidato, karena tangan Anda terlihat gemetar dan wajah Anda berkeringat dalam pidato Anda. Klasifikasi Pesan Nonverbal Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap-muka adalah nonverbal,sementara menurut Albert Mehrabian, 93% dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari isyarat isyarat nonverbal (Mulyana 2007).Dalam pandangan Birdwhistell,kita sebenarnya mampu mengucapkan ribuan suara vokal,dan wajah kita dapat menciptakan 250.000 ekspresi yang berbeda. Perilaku nonverbal kita terima sebagai suatu paket siap pakai dari lingkungan sosial kita, khususnya orangtua.Kita tidak perna mempersoalkan mengapa kita harus memberi isyarat begini untukmengatakan hal lain.Sebagaimana lambing verbal,asal-usul isyarat nonverbal sulit dilacak meskipun adakalanya kita memperoleh informasi terbatas mengenai hal itu,berdasarkan kepercayaan agama,sejarah,atau cerita rakyat (folklore). Kita dapat mengklasifikasikan pesan-pesan nonverbal ini dengan berbagai cara.Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat nonverbal menjadi tiga bagian.Pertama,bahasa tanda (sign language)acungan jempol untuk numpang mobil secara gratis;bahasa isyarat tuna rungu ;kedua,,bahasa tindakan (action language)-semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan

sinyal,misalnya,berjalan;dan ketiga,bahasa objek (object language)-pertunjukan benda,pakaian,dan lambang nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan,bendera,gambar(lukisan),musik (misalnya marching band),dan sebagainya,baik secara sengaja ataupun tidak. Secara garis besar Larry A.Samovar dan Richard E. Porter (1991)membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar yakni,:pertama,ekspresi wajah,kontak mata,bau-bauan dan parabahasa;kedua,ruang,waktu,dan diam. Meskipun tidak menggunakan pengkategorian di atas,kita akan membahas berbagai jenis pesan nonverbal yang kita anggap penting,mulai dari pesan nonverbal yang bersifat perilaku hingga pesan noverbal yang terdapat dalam lingkungan kita. Isyarat Tangan Kita sering menyertai ucapan kiita dengan isyarat tangan.Perhatikanlah orang yang sedang menelepon.Meskipun lawan bicaratidak terlihat,is menggerak-garakan tangannya.Isyarat tangan atau berbicara dengan tangan termasuk apa yang disebut emblem,yang dipelajari,yamg punya makna dalam suatu budaya atau subkultur.Meskipun isyarat tangan yang digunakan sama,maknanya boleh jadi berbeda;atau,isyarat fisiknya berbeda,namun maksudnya sama. Untuk meunjuk diri-sendiri (Saya! atau Saya?),seperti juga orang Kenya dan orang Korea Selatan,orang Indonesia menunjuk dadanya dengan telapak tangannya atau telunjuknya,sedangkan orang Jepang menunjuk hidungnya dengan telunjuk. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya.Meskipun di beberapa Negara.telunjuk digunakan untuk menunjukkan sesuatu,hal itu tidak sopan di Indonesia,seperti juga dibanyak negeri Timur Tengah dan Timur Jauh.Tentu saja selalu ada kekecualian.Orang Batak,seperti orang Amerika,biasa menunjuk dengan telunjuk tanpa bermaksud kasar kepada orang yang dihadapinya.Begitu juga orang Betawi,yang tidak jarang menunjuk dengan memonyongkan mulut,sambil berucap,Ke sonono!Beberapa suku Afrika yang menunjuk dengan mencibirkan bibir bawah menganggap cara menunjuk Amerika sebagai kasar. Gerakan kepala Di beberapa Negara,anggukan kepala malah berarti tidak seperti di Bulgaria,sementara untuk isyarat ya di Negara tesebut adalah menggelengkan kepala.Orang Inggris seperti orang Indonesia menganggukan kepala untuk menyatakan bahwa mereka mendengar,dan tidak berarti menyetujui.Di Uni Emirat Arab,menggelengkan kepala itu juga berarti ya.maka seorang TKW Indonesia bernama Kartini pun dituduh telah melakukan perzinahan dengan seorang pekerja asal India dan dinyatakan bersalah karena ia menggelengkan kepalanya ketika ia ditanya oleh jaksa dan hakim.Dalam sidang itu Kartini tidak didampingi penterjemah,sementara kemampuan berbahasa Arabnya pu ala kadarnya.Semua pertanyaan dijawabnya dengan gelengan kepala yang berarti tidak,padahal di Negara itu gelengan kepala berarti ya.

Di banyak Negara,orang yang duduk sambil menegakkan kepala dihadapan orang yang berbicara berarti memperhatikan si pembicara.Di Australia,pembicara akan menyangkan Anda kecapekan atau mengantuk bila Anda memejamkan mata Anda.Akan tetapi,orang Jepang yang tampak tertidur mata terpejam dan kepala menunduk-ketila pebisnis asing sedang melakukan presentasi,sebenarnya sedang menyimak presentasi tersebut dengan sungguh-sungguh. Postur Tubuh dan Posisi kaki Postur tubuh sering bersifat simbolik.Beberapa postur tubuh tertentu diasosiasikan dengan status sosial dan agama tertentu.Selama berabad-abad rakyat tidak boleh berdiri atau duduk lebih tinggi daripada (kaki) raja atau kaisarnya.Mereka harus berlutut atau bahkan bersujud untuk menyembahnya.Penaganut Shinto di Jepang berlutut di depan altar di luar rumah sebelum mereka membuat sajian dan berdoa.Paus Yohanes Paulus II yang memimpin umat katolik sedunia lazim bersujud mencium bumi begitu ia turun dari pesawat dalam lawatan internasionalnya.Orang Islam secara rutin menampilkan perilaku serupa,sebagai bagian dari salat mereka,namun sering di dalam ruangan daripada di luar ruangan. Cara berdiri atau duduk juga sering dimaknai secara berbeda di tiap Negara.tamu harus menundukkan kepala ketika bertemu dengan Dalai Lama di Tibet,jangan menatap matanya,jangan menyentuhnya,dan baru bicara setelah Dalai Lama bicara. Status seseorang juga dapat terlihat lewat cara meletakkan tangannya ketika berdiri dan berbicara dengan orang lain.Di Negara kita,orang yang berbicara dengan merapatkan kedua tangannya (telapak tangan menghadap ke dalam) dan meletakkannya di depan selangkangannya hampir bisa dipastikan adalah orang yang jabatannya lebih rendah daripada orang yang berdiri dengan meletakkankedua tangannya di samping atau di belakang punggungnya.Perhatikanlah situasi semacam ini ketika para pejabat Negara berkumpul di istana,sehabis pelantikan pejabat tinggi misalnya. Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata Para dramawan, pelatih tari Bali, dan pembuat topeng di negara kita paham benar mengenai perubahan suasana hati dan makna yang terkandung dalam ekspresi wajah, seperti juga pengarah, pemain, dan penari Kabuki di Jepang. Masuk akal bila banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak berbicara adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut tidak berkatakata. Anda bisa membuktikan sendiri bahwa ekspresi wajah, khususnya mata, paling ekspresif. Cobalah anda saling memandang dengan orang lain, baik dengan pria atau dengan wanita. Anda pasti takkan kuat memandangnya terus-menerus. Anda kemungkinan akan tersenyum atau tertawa, atau melengos. Perilaku mata sedemikian penting dalam budaya Korea sehingga orang Korea mempunyai kata khusus (nuichee) untuk menekankan pentingnya perilaku itu. Orang Korea percaya bahwa mata adalah jawaban sebenarnya mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan seseorang.

Kontak mata punya dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, fungsi pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah anda akan melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Kedua, fungsi ekspresif, memberi tahu orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pria menggunakan lebih banyak kontak mata dengan orang mereka sukai, meskipun menurut penelitian, perilaku ini kurang ajeg dikalangan wanita. Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekpresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal :kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan, dan minat. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap murni, sedangkan keadaan emosional lainnya (misalnya : malu, rasa berdosa, bingung, puas) dianggap campuran, yang umumnya lebih bergantung pada interpretasi. Sedikit kekecualian atau variasi memang harus diantisipasi. Misalnya seperti lazimnya- orang Amerika menunjukkan keterkejutan dengan mulut ternganga dan alis yang naik, sedangkan orang-orang Eskimo, Tlingit, dan Brazil menunjukkan hal yang sama dengan menepuk pinggul mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa makna ekspresi wajah dan pandangan mata tidaklah universal, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya. Lelaki dan perempuan mempunyai cara berbeda dalam hal ini. Perempuan cenderung lebih banyak senyum daripada lelaki, tetapi senyuman mereka sulit ditafsirkan. Dalam suatu budaya pun terdapat kelompok-kelompok yang menggunakan ekspresi wajah secara berbeda dengan budaya dominan. Pearson, West, dan Turner melaporkan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita menggunakan lebih banyak ekspresi wajah dan lebih ekspresif, lebih cenderung membalas senyum dan lebih tertarik kepada orang lain yang tersenyum. Ekspresi wajah boleh sama, namun maknanya mungkin berbeda. Sentuhan Sentuhan, adalah perilaku nonverbal yang multimakna, dapat menggantikan seribu kata. Kenyataannya sentuhan ini bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabatan tangan), rabaan hingga sentuhan lembut sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan dengan sentuhan. Konon, menurut orang muda, seseorang dapat merasa seperti terkena strum ketika disentuh oleh lawan jenisnya yang disenanginya. And when I touch you I feel happy inside kata John Lennon dan Paul McCartney. Itu sebabnya Islam punya aturan ketat mengenai sentuh-menyentuh di antara lelaki dan perempuan untuk menghindari konsekuensinya yang menjurus pada perbuatan negatif. Menurut Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang sangat impersonal hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut.

Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat dingin dan berorientasi-bisnis, misalnya pelayan took membantu pelanggan memilih pakaian. Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh pengharapan, aturan dan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabatan tangan.

Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab, misalnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah. Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut; orang yang sepenuhnya memeluk orang lain; dua orang yang bermain kaki di bawah meja; orang Eskimo yang saling menggosokkan hidung. Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.

Parabahasa Parabahasa, atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vokal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara sengau, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, siulan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita. Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan, atau ketakutan. Riset menunjukkan bahwa pendengar mempersepsi kepribadian komunikator lewat suara. Tidak berarti bahwa persepsi mereka akurat; alih-alih mereka memperoleh persepsi tersebut berdasarkan stereotip yang telah mereka kembangkan. Wanita dengan suara basah (misalnya sebagai penyiar radio) dipersepsi lebih feminim dan lebih cantik daripada wanita tanpa suara basah. Sedangkan pria dengan nada suara tinggi atau melengking dianggap kewanita-wanitaan. Padahal boleh jadi wanita bersuara basah berlebihan berat badan dan pria bersuara melengking adalah petinju kelas berat. Salah satu kelebihan lagu-lagu kelompok Peterpan yang populer pada dekade pertama abad ke-21 di Indonesia adalah karena suara penyanyinya, Ariel, dianggap seksi, terutama oleh kaum wanita penggemarnya. Penampilan fisik Perhatian pada penampilan fisik tampaknya universal. Sekitar 40.000 tahun yang lalu orang-orang purba menggunakan tulang untuk dijadikan kalung dan hiasan tubuh lainnya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak saat itu orang-orang sangat peduli dengan tubuh mereka. Mereka mengecatnya, mengikatkan sesuatu padanya, dan merajahnya untuk terlihat cantik. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna), dan juga ornament lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya. Di Amerika orang menghargai wanita yang tinggi dan ramping. Di Jepang wanita yang kecil justru paling menarik. Tetapi di Cina secara tradisional kecantikan wanita justru diasosiasikan dengan gaya rambut sederhana (dengan satu atau dua kepang) yang tidak berusaha menarik perhatian dengan selendang berwarna-warni, perhiasan atau make-up.

Busana Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan, semua itu mempengaruhi cara kita berdandan. Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim yang berbeda menandai perubahan musim itu dengan perubahan cara mereka berpakaian. Pada musim dingin dengan udara di bawah 0 derajat Celcius misalnya, tidak ada orang yang hanya mengenakan T-shirt dan celana pendek di luar rumah. Banyak subkultur dan komunitas mengenakan busana yang khas sebagai simbol keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Orang mengenakan jubah atau jilbab sebagai tanda keagamaan dan keyakinan mereka. Dibanyak negara seperti Jepang dan Meksiko, juga di Indonesia, pakaian seragam amat populer. Polisi, tentara dan anak sekolah senang berpakaian seragam untuk menunjukkan afiliasi kelompok. Tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan nonverbal tersebut, kita bias gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita cenderung menganggap budaya kita, dan bahasa nonverbal kita sebagai standar dalam menilai bahasa nonverbal orang dari budaya lain. Bila kita langsung berkesimpulan tentang orang lain berdasarkan perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka kita terjebak dalam etnosentrisme (menganggap budaya sendiri sebagai standar dalam mengukur budaya orang lain). http://belajar-komunikasi.blogspot.com/2010/12/perilaku-verbal-dan-non-verbal-pada.html

Anda mungkin juga menyukai