Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup yang jumlahnya banyak

disekitar kita. Bakteri pun berada di mana-mana. Di tempat yang paling dekat dengan kita pun juga terdapat bakteri contohnya saja tas, buku, pakaian, dan banyak hal lainnya. Maka dari itu bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup sering terjadi. Karena banyaknya manusia yang mengabaikan penyakit tersebut karena terkadang gejala awal yang diberikan adalah gejala awal yang biasa saja. Maka dari itu alangkah baiknya jika kita masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara bakteri itu menginfeksi dan gejala-gejala apa yang akan dberikannya. Banyaknya manusia yang mulai tidak begitu peduli dengan gejala awal terjangkitnya bakteri salah satunya adalah pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan adalah saluran yang sangat berperan dalam tubuh. Jika saluran pencernaan terganggu akan cukup mengganggu aktivitas tubuh saat itu. Tapi banyak masyarakat yang tidak peduli dengan penyakit yang ditimbulkan. Misalnya saja penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri ada diare, gejala awalnya ada kondisi perut yang tidak enak gejala awalnya cukup biasa tetapi jika terlalu didiamkan akan membuat kondisi itu menjadi akut dan fatal. Maka dari itu, bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup banyak pada saat ini. Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam, hanya sebagian kecil saja yang merupakan patogen. Patogen adalah organisme atau mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada organisme lain. Kemampuan patogen untuk menyebabkan penyakit disebut dengan patogenisitas. Dan

patogenesis disini adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya mikroorganisme adalah organisme hidup yang berukuran

mikroskopis sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroorganisme dapat ditemukan disemua tempat yang memungkinkan terjadinya kehidupan, disegala lingkungan hidup manusia. Mereka ada di dalam tanah, di lingkungan akuatik, dan atmosfer ( udara ) serta makanan, dan karena beberapa hal mikroorganisme tersebut dapat masuk secara alami ke dalam tubuh manusia, tinggal menetap dalam tubuh manusia atau hanya bertempat tinggal sementara. Mikroorganisme ini dapat menguntungkan inangnya tetapi dalam kondisi tertentu dapat juga menimbulkan penyakit.

1.2TUJUAN. 1. TUJUAN UMUM Untuk mengetahui Definisi Patogenesis dari Bakteri leptospira, Bagaimana Proses Bakteri Dalam Menimbulkan Penyakit, dan cara pengobatannya.

2. TUJUAN KHUSUS Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
a. Definisi Patogenesis Pada bakteri leptospira b. Proses masuknya Bakteri leptospira ke dalam tubuh sampai menimbulkan Penyakit pada penderitannya. c. Diagnosa laboratorium terhadap bakteri leptospira. d. Serta cara pengobatannya

BAB II ISI
2.1 Penyakit Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama penyakit weil, demam icterohemorrhage, penyakit swineherd's, demam pesawah (Ricefield fever), demam pemotong tebu (Cane-cutter fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgart, demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing. Secara garis besar Leptospira dapat dibagi menjadi 2 spesies, yaitu Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang bersifat saprofit, yang terutama ditemukan pada permukaan air tawar, jarang ditemukan pada air laut dan jarang ada kaitannyadengan infeksi pada mamalia. Spesies yang patogen dibagi dalam 16 serogrup dimana tercakup 150 serotip (serovar). Dari banyak strain Leptospira dapat diekstrasi lipopolisakada yang memiliki reaktivitas grup. 2.1.1 Sejarah Penyakit Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. 2.1.2 Morfologi Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat.Salah satu ujung organisme sering bengkok, membentuk kait.Leptospira memiliki karakteristik struktural umum yang membedakan spirochetes dari bakteri lain. Di bawah ini adalah membran luar, lapisan fleksibel heliks peptidoglikan dan membran sitoplasma, ini mencakup isi sitoplasma sel. Struktur dikelilingi oleh membran luar secara kolektif disebut silinder protoplasma Sebuah fitur yang tidak biasa dari spirochetes adalah lokasi flagella, yang terletak antara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Mereka disebut sebagai flagela periplasmic.Flagela periplasmik yang melekat pada silinder protoplasma subterminally di setiap akhir dan memperpanjang menuju pusat sel. Sel terbungkus dalam membran luar tiga sampai lima-lapisan atau amplop.Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 m dan diameter 0,1-0,2 m. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil, panjang dan
3

ramping sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.Organisme ini tidak mudah diwarnai tetapi dapat di impregnasi dengan perak.

Morfologi perbandingan Leptospira, Borrelia, dan spirillum. 2.1.3 Biakan Leptospira tumbuh paling baik dalam keadaan aerobik pada suhu 2830C di dalam pembenihan setengah padat yang kaya protein (Fletcher, Vervoort, Noguchi dan Cox): di sini organisme akan membentuk koloni bulat dengan garis tengah 1-3 mm dalam waktu 6-10 hari. Leptospira juga tumbuh pada selaput korioalantois telur berembrio.dan serum kelinci steril 8-10% yang tidak mengandung anti leptospira.Tumbuhnya aerob, lambat, sampai 4 minggu. Leptospira juga dapat bertahan lama dalam air terutama pada pH alkali. 2.1.4 Distribusi Penyakit Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis.Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer.Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi.Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir. Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis.Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun.Pada saat
4

wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi. Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi. Leptospira mempunyai 175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar..Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan.Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballumdan L. ichterohaemorhagicae. Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis.Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik.Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.

2.1.5 Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang. Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung.Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus. Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media.Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian
6

Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam. 2.1.6 Perjalanan Penyakit Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi. Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun. 2.1.7 Gejala Klinis Setelah melewati masa tunas antara 10-12 hari, penderita akan tekena demam mendadak dan menggigil, sakit perut dan muntah-muntah. Penderita mengeluh sakit otot, sakit kepala hebat dan epistaksis, mungkin dapat ditemukan konjungtivitis. Hati agak membengkak pada 50% dari kasus dijumpai ikterus pada hari kelima. Pada hepatitis leptospira ini seringkali disertai dengan peningkatan serum, kreatinin fosfokinase (pada hepatitis virus kadarnya normal). Pada minggu pertama sakit, Leptospira dapat dijumpai pada seluruh tubuh penderita. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara inokulasi darah penderita pada marmot. Pada minggu kedua Leptospira mulai menyerang ginjal dan pada akhir minggu kedua dapat ditemukan dalam urin. Leptospira
7

dalam urin dapat dijumpai sampai hari ke-40.Kerusakan pada ginjal dapat berakiat fatal, mungkin perlu dialysis.Jika susunan syaraf pusat terkena, dapat menyebabkan timbulnya gejala meningitis atau ensefalitis.

Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning Pada hewan Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti. Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyebabnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian.Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas. Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar.Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis.Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf.Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis).Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen. Pada Manusia

Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari.Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa.Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif.Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil.Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun.Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik.Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat. Fase Septisemik Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati. Fase Imun Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis.Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi.Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati.Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis.Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun. Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis.Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan.Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien. Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L.pomonaatau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis). Sindrom Weil Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan.Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu.Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik.Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas.Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal.Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

2.2 Diagnosa

10

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairantubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan. Untuk bahan pemeriksaan yang berupa darah dan liquor serebrospinal, Leptospira dapat ditemukan pada minggu sakit yang pertama.Leptospira dapat ditemukan dalam urin mulai minggu pertama sampai hari ke-40.Darah dalam bentuk sediaan tebal dan sedimen urin diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap. Untuk kultur bahan pemeriksaan ditanam dalam perbenihan cair atau semisolid yang mengandung serum kelinci 10% dan ditambahkan 5 fluorourasil sebagai selektif inhibitor. Percobaan binatang dilakukan dengan menginokulasi bahan pemeriksaan pada marmot atau hamster secara intraperitoneum. Setelah 8-14 hari marmot atau hamster akan mati, pada autopsi dapat ditemukan lesi hemoragik dalam berbagai organ yang mengandung Leptospira. Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Titernya akan selalu meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu sakit yang ke-3 atau ke-4. Namun hasil tes serologi bergantung kepada jumlah strain Leptospira yang dipergunakan untuk memeriksa serum penderita. Titernya dimulai dari 1/10.000 ke atas.Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengaglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah . Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen. 2.3 Pengobatan dan Pengendalian Pada Hewan Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatanmasyarakat dan mengoptimalkan
11

perawatan.Antibiotikyang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksinLeptospira. Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae.Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan. Pada Manusia Leptospirosis yang ringan dapat diobatidengan antibiotikdoksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin. Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan.Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya.Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.Selain itu di bidang kedokteran veteriner, vaksinasi dapat di gunakan secara efektif.Vaksinasi juga perlu diberikan kepada orang-orang yang tinggal di daerah endemic.Dengan vaksinasi dapat diperoleh proteksi yang bersifat serovar spesifik. Sebagai kontrol antara lain dapat berupa pencegahan kontak dengan air yang tercemar, misalnya sungai, kolam renang atau tempat penyimpanan air. Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.Fesesternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.

12

BAB III PENUTUP

A. kesimpulan Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi (tabel 1) dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas B. SARAN Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan : A. Bagi Masyarakat 1. Perlu penanganan sampah di rumah secara benar yaitu jangan sampai menginapkan sampah di dalam rumah dan tempat sampah tertutup rapat sehingga tidak menjadi sumber makanan tikus. 2. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar supaya tidak menjadi
13

sarang tikus. 3. Tikus diusahakan diberantas bisa dengan cara diracuni tetapi dianjurkan dengan mouse trap yang tidak mencemari lingkungan. 4. Pada waktu hujan penghuni rumah agar menghindari terkena air becek/tergenang apalagi kalau mempunyai luka terbuka. 5. Selokan selalu dijaga kebersihannya dan aliran mengalir dengan lancar. b. Bagi Dinas Kesehatan 1. Lebih aktif dalam melakukan pengendalian faktor risiko lingkungan dan perilaku terhadap semua penyakit terutama penyakit leptospirosis di daerah rawan. 2. Pada waktu menjelang musim hujan merupakan saat yang tepat bagi dinas kesehatan untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gasem M. H. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. 2. Widarso HS dan Wilfried P. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002 3. http.//adietcandra.files.wordpress.com/2012/03/isi-lengkap-litbang.doc 4.http.// id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis

14

Anda mungkin juga menyukai