Anda di halaman 1dari 26

Skenario B Blok 14 Tahun 2013 Tn.

D, 65 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena tidak sadar sejak 3 jam yang lalu. Menurut keluarganya, pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. Menurut keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. D merasa dingin, berkeringat, jantung berdebar-debar, badan lemas dan merasa cemas setelah minum obat sebelum makan pagi. Pemeriksaan fisik: Kesadaran : koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124x/menit, suhu 360 C. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dL. A. Klarifikasi Istilah 1. DM tipe 2 : Salah satu dari dua jenis utama diabetes melitus yang ditandai dengan onset yang bertahap dan beberapa gangguan gejala metabolik 2. Obat glibenklamid : Merupakan senyawa golongan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan sebagai obat antidiabetik oral yang merupakan pilihan pengobatan awal untuk DM tipe 2 3. Cemas : tidak tenteram hati karena khawatir, dan takut 4. Koma : Suatu keadaan tidak sadarkan diri yang dalam hingga penderita tidak dapat dibangunkan bahkan dengan rangsangan yang kuat 5. Glukosa darah sewaktu : Hasil pengukuran gula darah yang dilakukan seketika waktu itu tanpa ada puasa 6. Glukometer : Alat yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa B. Identifikasi Masalah 1. Tn. D, 65 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena tidak sadar sejak 3 jam yang lalu. Menurut keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. D merasa dingin, berkeringat, jantung berdebar-debar, badan lemas dan merasa cemas setelah minum obat sebelum makan pagi. (Chief Complaint) 2. Menurut keluarganya, pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. 3. Pemeriksaan fisik: (Main Problem) Kesadaran : koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124x/menit, suhu 360 C. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dL. C. Analisis Masalah 1. Tn. D, 65 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena tidak sadar sejak 3 jam yang lalu. Menurut keluarganya, sebelum tidak sadar, Tn. D merasa dingin, berkeringat, jantung berdebar-debar, badan lemas dan merasa cemas setelah minum obat sebelum makan pagi.

a. Apa ciri-ciri seseorang dikatakan tidak sadar? b. Bagaimana mekanisme dari keluhan: (sesuai kasus) merasa dingin berkeringat jantung berdebar-debar badan lemas merasa cemas c. Bagaimana hubungan antar keluhan tersebut? d. Mengapa keluhan baru terjadi sekarang? (setelah minum obat sebelum makan pagi) 2. Menurut keluarganya, pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. a. Apakah etiologi dari diabetes melitus tipe 2? b. Apakah faktor risiko dari DM tipe 2? c. Bagaimana patofisiologi DM tipe 2? d. Apa saja manifestasi klinis DM tipe 2? e. Bagaimana penegakan diagnosis DM tipe 2? f. Apa saja diagnosis banding? g. Apa saja komplikasi DM tipe 2? h. Bagaimana penatalaksanaan penderita DM tipe 2? i. Bagaimana prognosis penyakit DM tipe 2? j. Bagaimana farmakodinamik obat glibenklamid? k. Bagaimana farmakokinetik obat glibenklamid? l. Apa saja efek samping obat glibenklamid? m. Apa saja indikasi dan kontraindikasi obat glibenklamid? 3. Bagaimana dosis, cara, dan waktu pemberian obat glibenklamid? Pemeriksaan fisik: Kesadaran : koma, TD 90/40 mmHg, nadi 124x/menit, suhu 360 C. Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dL. a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik? b. Bagaimana cara pemeriksaan gula darah dengan glukometer? c. Apa kemungkinan penyakit yang diderita Tn. D menurut hasil pemeriksaan fisik? d. Apakah faktor risiko dari kelainan ini? e. Bagaimana patofisiologi dari kelainan ini? f. Apakah komplikasi dari kelainan ini? g. Bagaimana penatalaksanaan kelainan ini?

E. Keterkaitan Antar Masalah Tn. D berumur 50 tahun menderita DM tipe 2 Mengkonsumsi obat Glibenklamid sebelum makan pagi

Koma, nadi meningkat, TD dan GDS menurun pada pemeriksaan fisik

Dingin, berkeringat, jantung berdebar, dan perasaan cemas

F. Learning Issue 1. Metabolisme Glukosa 2. DM Tipe 2 3. Obat Glibenklamid 4. Syok hipoglikemik G. Hipotesis Tn. D, 65 tahun mengalami syok hipoglikemik karena mengonsumsi obat glibenklamid setelah minum obat sebelum makan pagi. H. Sintesis Masalah 1. Metabolisme Glukosa Metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus dijelaskan oleh keberadaan hormon insulin. Penderita diabetes mellitus mengalami kerusakan dalam produksi maupun sistem kerja insulin, sedangkan in sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi metabolisme karbohidrat. Akibatnya, penderita diabetes mellitus akan mengalami gangguan pada metabolisme karbohidrat. a. Definisi Insulin Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel pankreas. Insulin terdiri atas dua rantai polipeptida. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida. Insulin disekresi sebagai respon atas meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma darah. Konsentrasi ambang

untuk sekresi tersebut adalah kadar glukosa pada saat puasa yaitu antara 80-100 mg/dL. Respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa yang berkisar dar 300500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Umur insulin dalam aliran darah sangat cepat. waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit. b. Reseptor Insulin

Hubungan antara insulin, reseptor insulin dan alat pengangkut glukosa atau Glucose Transporter- 4 (GLUT 4) Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,insulin disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah Insulin reseptor merupakan reseptor transmembran yang diaktifasi oleh insulin. Struktur reseptor insulin terdiri atas 2 subunit dan 2 subunit . Subunit melewati membran sel dan diikat oleh ikatan disulfida. c. Transduksi Sinyal oleh Insulin Ikatan ligan insulin dan reseptor insulin menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada bagian sitoplasma subunit dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi dengan protein substrat reseptor insulin yang disebut IRS-1 atau Insulin Receptor Substrate 1 (berperan sebagai second messenger). Sejumlah protein penambat (docking protein)

mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS, SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran plasma.

Kemudian GLUT-4 menepi dan berdifusi dengan dengan plasma membran yang memungkinkan glukosa untuk ditranspor ke dalam sel. Tanpa insulin dan aktivasi reseptornya, GLUT-4 tetap berada didalam sitoplasma dan tidak berfungsi untuk mentranspor glukosa. GLUT-4 di membran luar jaringan, responsif terhadap insulin seperti sel otot dan jaringan lemak, sehingga meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel. Jika kadar insulin menurun atau reseptor insulin tidak lagi teraktivasi, Glut-4 akan kembali ke sitoplasma. d. Gen pengkode reseptor insulin (second messenger) Reseptor insulin dikode oleh gen yang disebut gen IRS 1. Protein inilah yang berperan sebagai second messenger. Gen IRS 1 ini terletak pada kromosom 2q35 36.1 yang terdiri 2 ekson yang mengandung 64538 basa. Kodon 927 terletak pada ekson 1. Molekul protein IRS 1 terdiri atas 1242 residu asam amino dengan berat molekul 131.592 kDa. Fungsi gen IRS 1 menyandi sintesis protein IRS 1 yang diekspresikan secara luas pada jaringan yang peka insulin yaitu otot skelet, hepar, jaringan adiposa dan sel beta pancreas.

e. Metabolisme glukosa oleh insulin Pengaturan metabolisme glukosa oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang efek nettonya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Ada 3 mekanisme yang terlibat yaitu : 1. Meningkatkan difusi glukosa ke dalam sel Pengangkutan glukosa ke dalam sel melalui proses difusi dengan bantuan protein pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik kloning molekular. Ada 5 jenis protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1 merupakan pengangkut glukosa yang ada pada otak, ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2 terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus dan ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT4 terletak di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5 bertanggung jawab terhadap absorpsi glukosa dari usus halus. Insulin meningkatkan secara signifikan jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan oleh insulin menarik pengankut glukosa ke tempat yang aktif pada membran plasma. Translokasi protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi serta tidak bergantung pada sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati. 2. Peningkatan aktivitas enzim Pada orang yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakan diubah menjadi energi lewat glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis ataupun lipogenesis akan terhalang. Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan. termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa-6fosfatase yaitu enzim yang ditemukan di hati dan berfungsi mengubah glukosa

menjadi

glukosa

6-fosfat.

Penumpukan

glukosa 6-fosfat

dalam

sel

mengakibatkan retensi glukosa yang mengarah pada diabetes mellitus tipe 2. Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan mempengaruhi reaksi fosforilasi dan dfosforilasi protein yang selanjutnya mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin dilaksanakan dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase lain atau meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi

meningkatkan aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini memungkinkan terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut. Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin pada enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase. 3. Menghambat kerja cAMP Dalam menghambat atau meransang kerja suatu enzim, insulin memainkan peran ganda. Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi terbentuknya cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Insulin meransang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin mengurangi kadar cAMP dalam darah. 4. Mempengaruhi ekspresi gen Kerja insulin yang dibicarakan sebelumnya semuanya terjadi pada tingkat membran plasma atau di dalam sitoplasma. Di samping itu, insulin mempengaruhi fosfoenolpiruvat berbagai proses spesifik dalam tahap nukleolus. yang Enzim

karboksikinase

mengkatalisis

membatasi

kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis. Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin dengan demikian glukoneogenesis akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan laju sintesis enzim ini.

Penderita diabetes mellitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat rendah, terutama pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini diperparah pula dengan peranan insulin pada pengaturan metabolisme glukosa. Glikolisis dan glikogenesis akan terhambat akan enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Sedangkan tanpa insulin, jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan glukosa diransang terutama oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus baik tipe I atau tipe II kurang dapat menggunakan glukosa yang diperolehnya melalui makanan. Glukosa akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia). Penderita dengan kadar gula yang sangat tinggi maka gula tersebut akan dikeluarkan melalui urine. Gula disaring oleh glomerolus ginjal secara terus menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan ke dalam sistem aliran darah melalui sistem reabsorpsi tubulus ginjal. Kapasitas ginjal mereabsorpsi glukosa terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar glukosa amat tinggi, filtrat glomerolus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk direabsorpsi. Akibatnya kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urine. Gejala ini disebut glikosuria, yang mrupakan indikasi lain dari penyakit diabetes mellitus. Glikosuria ini megakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar. Kadar glukosa yang amat tinggi pada liran darah maupun pada ginjal, mengubah tekanan osmotik tubuh. Secara otomatis, tubuh akan mengadakan osmosis untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Ginjal akan menerima lebih banyak air, sehingga penderita akan sering buang air kecil. Konsekuensi lain dari hal ini adalah, tubuh kekurangan air. Penderita mengalami dehidrasi (hiperosmolaritas) bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia). Gejala yang diterima oleh penderita diabetes tipe I biasanya lebih komplek, karena mereka kadang tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Akibatnya gangguan metabolik yang dideritanya juga mempengaruhi

metabolisme lemak dan bahkan asam amino. Penderita tidak dapat memperoleh energi dari katabolisme glukosa. Energi adalah hal wajib yang harus dimiliki oleh sel tubuh, sehingga tubuh akan mencari alternatif substrat untuk menghasilkan energi tersebut. Cara yang digunakan oleh tubuh adalah dengan merombak simpanan lemak pada jaringan adiposa. Lemak dihidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak dan gliserol. asam lemak dikatabolisme lebih lanjut dengan melepas dua atom karbon satu persatu menghasilkan asetilKoA. Penguraian asam lemak terus menerus mengakibatkan terjadi penumpukan asam asetoasetat dalam tubuh.Asam asetoasetat dapat terkonversi membentuk aseton, ataupun dengan adanya karbondioksida dapat dikonversi membentuk asam -hidroksibutirat. Ketiga senyawa ini disebut sebagai keton body yang terdapat pada urine penderita serta dideteksi dari bau mulut seperti keton. Penderita mengalami ketoasidosis dan dapat meninggal dalam keadaan koma diabetik. Ketidaksediaan glukosa dalam sel juga mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis secara berlebihan. Sel-sel hati akan meniungkatkan produksi glukosa dari substrat lain, salah satunya adalah dengan merombak protein. Asam amino hasil perombakan ditransaminasi sehingga dapat menghasilkan substrat atau senyawa antara dalam pembentukan glukosa. Peristiwa berlangsung terus-menerus karena insulin yang membatasi glukoneogenesis sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Glukosa yang dihasilkan kemudian akan terbuang melalui urine. Akibatnya, terjadi pengurangan jumlah jaringan otot dan jaringan adiposa secara signifikan. Penderita akan kehilangan berat tubuh yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori normal atau meningkat. Penderita diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu kadar trigliserida dan VLDL dalam darah yang tinggi. Hipertrigliseridemia terjadi karena VLDL yang disintesis dan dilepaskan tidak mampu diimbangi oleh kerja enzim lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah enzim ini diransang oleh rasio insulin dan glukagon yang tinggi. Defek pada produksi enzim ini juga mengakibatkan hipersilomikronemia, karena enzim ini juga dibutuhkan dalam katabolisme silomikron pada jaringan adiposa.

Berbeda dengan penderita diabetes tipe I, pada penderita diabetes tipe II, ketoasidosis tidak terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol. Namun, pada terjadi hipertrigliseridemia yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa disertai hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan sintesis de novo dari asam lemak tidak diimbangi oleh kecepatan penyimpanannya pada jaringan lemak. Asam lemak yang dihasilkan tidak semuanya mampu dikatabolisme, kelebihannya diesterifikasi menjadi

trigliserida dan VLDL. Hal ini diperparah oleh aktivitas fisik penderita diabetes mellitus tipe II yang pada umumnya sangat kurang. Akibatnya kadar lemak dalam darah akan meningkat. Pada penderita yang akut, akan terjadi penebalan pada pembuluh darah terutama pada bagian mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan kebutaan Kelainan tekanan darah akibat kadar glukosa yang tinggi menyebabkan kerja jantung, ginjal dan organ dalam lain untuk mempertahankan kestabilan tubuh menjadi lebih berat. Akibatnya pada penderita diabetes akan mudah dikenai berbagai komplikasi diantaranya penurunan sistem imune tubuh, kerusakan sistem kardivaskular,kealinan trombosis, inflamasi, dan kerusakan sel-sel endothelia serta kerusakan otak, yang biasanya ditandai dengan penglihatan yang kabur. 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan lain-lain. Walaupun demikian

pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi fokus utama.

a. Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekrasi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glikosa. b. Faktor Risiko Orang-orang Asia Selatan, Afrika, Afrika-Karibia, Polinesia, dan Timur Tengah keturunan Amerika-India yang lebih besar beresiko diabetes melitus tipe 2, dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Orang yang gemuk, tidak aktif atau mempunyai riwayat keluarga juga mengalami peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2. Sindrom metabolik dianggap sebagai awal diabetes melitus tipe 2. Hal ini kurang jelas dan merupakan koleksi heterogen untuk berbagai kecenderungan diabetes melitus. Ia telah mengemukakan bahwa intervensi gaya hidup dan memperlakukan manifestasi metabolik negara ini pra-diabetes dapat mengurangi kemungkinan perkembangan diabetes murni dan risiko komplikasi faktor genetik yang kompleks dan berinteraksi dengan faktor lingkungan dengan cara yang kurang dipahami.

c. Patofisiologi Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas. Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas : 1. Genetika Toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetika. Oleh karena itu DM tipe 2 merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut. Konkordansi genetika untuk DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%.

2. Resistensi terhadap insulin Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada diabetes melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe 2. Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin. Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi. Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu

penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas. 3. Defek sekresi insulin Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus tipe 2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun, sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea. Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu, defek yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut. 4. Produksi glukosa hati Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi peningkatan

glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas. Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.

d. Patogenesis

Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas pulau dalam menanggapi postprandial kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis menekan hati. Ada kenaikan bolak dan jatuh di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi untuk mempertahankan homeostasis glukosa. Glukosa toleransi, kemampuan untuk mempertahankan euglycemia, tergantung pada tiga peristiwa yang harus terjadi dengan cara yang ketat terkoordinasi, yaitu: 1. Stimulasi sekresi insulin 2. Penindasan yang dimediasi insulin endogen (terutama hati) produksi glukosa, dan 3. Insulin-mediated stimulasi serapan glukosa oleh jaringan perifer. Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi insulin dan sekresi insulin cacat. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa, tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi daripada di

nondiabetiks. Pada jaringan otot, ada cacat dalam fungsi reseptor, jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan fosforilasi glukosa, sintesis glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi. Kedua cacat sama berkontribusi untuk berlebihan kadar glukosa postprandial serum.

e. Diagnosis Anamnesis a. pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan b. riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda c. pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan diabetes mellitus secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan d. pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani e. riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia) f. riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis g. gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.) h. gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu i. termasuk HbA1C, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait diabetes melitus j. pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah k. faktor resiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit diabetes melitus dan endokrin lain) l. riwayat penyakit dan pengobatan di luar diabetes mellitus m. pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan. Pemeriksaan Fisik a. pengukuran tinggi dan berat badan b. pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik

c. pemeriksaan funduskopi d. pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid e. pemeriksaan jantung f. evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop g. pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari h. pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis i. tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan diabetes melitus tipe-lain Pemeriksaan Penunjang a. glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial b. A1C c. profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) d. kreatinin serum e. albuminuria f. keton, sedimen dan protein dalam urin g. elektrokardiogram h. foto sinar-x dada

f. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan secara khusus dibagi kepada dua yaitu: 1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. 2. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus. Terapi Gizi Medis Pada prinsipnya adalah pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: 1). Menurunkan berat bdan; 2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik; 3). Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki profil lipid; 5). Meningkatkan sensitivitas resepor insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.

Latihan jasmani Olahraga: C: Continyu : 30 menit 3-4 kali seminggu R: Ritmik : jogging, jalan kaki, bersepeda I : Intensitas P: Progresif : dinaikkan bertahap E: Endurance Intervensi farmakologis 1. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion Penghambat glukoneogenesis (metformin) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

Terapi kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.

g. Komplikasi Komplikasi diabetes yang dapat terjadi dibedakan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa koma hipoglikemi, ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar nonketotik. Komplikasi kronik dapat berupa

makroangiopati, mikroangiopati, neuropati diabetik, infeksi, kaki diabetik, dan disfungsi ereksi.

h. Prognosis Kematian adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi di antara orang dengan diabetes tipe 2 dibandingkan pada populasi umum. Sebanyak 75% orang dengan diabetes melitus tipe 2 akan mati karena penyakit jantung dan 15% dari stroke. Angka kematian akibat

penyakit kardiovaskuler hingga lima kali lebih tinggi pada orang dengan diabetes dibandingkan orang tanpa diabetes. Untuk setiap kenaikan 1% pada level HbA1c, resiko kematian dari penyebab diabetes meningkat terkait dengan 21%.

3. Obat Glibenklamid Dikenal 2 generasi sulfonilurea , generasi 1 terdiri dari tolbutamid,

tolazamid,asethoheksimid dan kloropropamid. Generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebihbesar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid. a. Indikasi Diabetes militus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang tidak responsif dengan diet saja.

b. Kontra Indikasi Glibenklamida tidak boleh diberikan pada diabetes militus juvenil, prekoma dan koma diabetes, fungsi gangguan hati, fungsi ginjal berat berat fungsi dan tiroid wanita atau hamil. adrenal.

Gangguan

gangguan

Ibu menyusui, diabetes militus dan komplikasi (demam, trauma, gangren) dan pasien yang sedang operasi.

c. Cara Kerja Obat Glibenklamida adalah hipoglikemik oral derivat sulfonil urea yang bekerja aktif menurunkan kadar gula darah. Glibenklamida bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari pankreas.Oleh karena itu glibenklamida hanya bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin.Pada penggunaan per oral glibenklamida diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstrasel, sebagian besar terikat dengan protein plasma. Pemberian glibenklamida dosis tunggal akan menurunkan kadar gula darah dalam 3 jam dan kadar ini dapat bertahan selama 15 jam. Glibenklamida diekskresikan bersama feses dan sebagai metabolit bersama urin. d. Pola ADME ( Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi) Pemberian glibenklamid secara oral akan diabsorbsi melalui saluran cerna dengan cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi

absorbsi.Kadar optimal dapat dicapai walau tidak harus diminum 30 menit sebelum makan.Hal ini disebabkan masa paruh glibenklamid yang panjang, dengan alasan dalam plasma sekitar 90%-99% terikat dengan protein plasma terutama albumin. Penggunaannya dengan single dose pagi hari yang dapat menstimulir sekresi insulin pada semua glukosa sewaktu makan.Dengan demikian tercapai regulasi gula darah optimal yang mirip pola normal selama 24 jam. Dalam hepar zat ini dirombak menjadi metabolit kurang aktif yang akan diekskresi lewat kemih 25% dan sisanya lewat empedu. Oleh karena glibenklamid dimetabolisme dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal berat. Pada penggunaannya dapat terjadi kegagalan primer dan sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-kira 21% selama 1,5 tahun

e.

Farmakologi Farmakodinamik: Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal. Farmakokinetik: Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan per oral. ;Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama albumin (7099%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).;Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik (84 9%). Glibenklamid diserap sangat baik (84 9%).;Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadar ;dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. ;Masa kerja sekitar 15 = 24 jam;Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.;Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi.;Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan

bersama tinja.; Pada glibenklamid mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam ( bahkan sampai > 20 jam pada pemakaian kronis dengan dosis maksimal ). Karena itu dianjurkan untuk pemakaian sehari sekali.Waktu paruh eliminasi dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam.Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.

f. Penggunaan dalam Klinik Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan masihg - masing 36% dan 21%. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pemberuan sulfonilurea dosis tunggal dapat menurunkan Hba1c sebesar 1,5 - 2 . Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari hipoglikemia. Pada keadaan hiperglikemik dapat diberikan dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang bermakna. Kombinasi sulfonilurea dan insulin ternyata lebih baik daripada insulin sendiri, dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah dan cara kombinasi ini dapat diterima pasien daripada menggunakan insulin multi injeksi.

g. Dosis Dosis awal 1 kaptab sehari sesudah makan pagi, setiap 7 hari ditingkatkan dengan 1/2 - 1 kaptab sehari sampai kontrol metabolit optimal tercapai. Dosis awal untuk orang tua 2.5 mg/hari. Dosis tertinggi 3 kaptab sehari dalam dosis terbagi

h. Efek Samping Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. ;Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung ;Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya;Gejala hematologik termasuk leukopenia,

trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali ;Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang;Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.

i. Interaksi Obat Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol, siklofosfamid, antikoagulan kumarina, inhibitor MAO, fenilbutazon, penghambat beta adrenergik, sulfonamida. Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin, kortikosteroid, tiazida. Obat yang dapat meningkatkan hipoglikemia sewaktu penggunaan

glibenklamid adalah insulin, alkohol, sulfonamid, salisilat dosis besar, anabolic steroid. Propanolol dan penghambat adrenoseptor lainnya menghambat reaksi takikardia, berkeringat dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab termasuk ADO, sehingga keadaan hipoglikemi menjadi lebih hebat tanpa diketahui. Analgetika (azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain) ,Urikosurik:

sulfinpirazona dan Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon, sulfonamida dan trimetoprim): meningkatkan efek sulfonilurea Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu toleransi glukosa Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat

metabolisme); Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma sulfonilurea Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek hipoglikemik sulfonilurea;Hormon steroid: Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek aditif terhadap OHO

4. Syok Hipoglikemia Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal-rendah) terjadi ketika kadar glukosa turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Pada hipoglikemia berat (kadar glukosa darah hingga di bawah 10 mg/dl), dapat terjadi serangan kejang bahkan dapat terjadi koma (koma hipoglikemik). a. Etiologi Hipoglikemia bisa disebabkan oleh: a. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas b.Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya c. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal d.Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati e. Secara umum, hipoglikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat penderita diabetes dan berhubungan dengan obat. b. Patofisiologi Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut. Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma.

c. Manifestasi Klinis Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori, yaitu : Otonomik Neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala otonomik terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom melalui pelepasan epinefrin dari medulla adrenal kedalam sirkulasi dan norepinefrin dari ujung-ujung syaraf simfatis postganglionik kedalam jaringan-jaringan target. Dalam keadaan normal, ambang glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada ambangnya bagi induksi gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala neuroglikopenik. Gejala-gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin dapat berupa tremor, muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang melebar dan rasa cemas (ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga umum ditemukan, yang biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkholin. Pada orang dewasa, pengeluaran keringat lebih mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh syaraf-syaraf simfatis kolinergik post ganglionik. Gejala-gejala neuroglikopenik terjadi akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena glukosa merupakan sumber energi utama untuk metabolisme jaringan otak, maka penurunan kadar glukosa darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi bagi otak. Gejala-gejala neuroglikopenik tidak dapat dibedakan dengan gejala-gejala akibat terjadinya hipoksia jaringan otak. Gejala-gejala tersebut antara lain berupa rasa lemas, kelelahan, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapat mengalami letargi, mudah tersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kognitif, gangguan berfikir dan berkonsentrasi, aphasia dan bicara kacau. Disamping itu, hipoglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur, kebutaan, paresthesia, hemiplegi, hipotermi, dan bahkan koma, kejang dan berakhir dengan kematian. Episode hipoglikemi yang lama dan berat dapat menimbulkan kematian sel syaraf, sehingga menyebabkan gangguan fungsi otak yang permanen. Dengan bertambahnya usia, gejala-gejala hipoglikemi menjadi berkurang dan profil gejalapun mengalami perubahan.

d. Klasifikasi

Klasifikasi klinis hipoglikemi Secara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu : 1) Hipoglikemi ringan, yaitu bila gejala-gejala dan tanda-tanda hipoglikemi ringan dan dapat diobati sendiri oleh pasien. 2) Hipoglikemi sedang, yaitu bila gejala-gejala dan tanda-tanda hipoglikemi disertai dengan gangguan kognitif ringan, namun pasien masih bisa menanggulanginya sendiri. 3) Hipoglikemi berat, bila disertai dengan gangguan kognitif berat, bahkan sampai terjadi koma dan kejang sehingga pasien tidak dapat menanggulanginya sendiri.

e. Penegakan Diagnosis Diagnosis hipoglikemi ditegakkan berdasarkan trias Whipple, yaitu : Adanya gejala2 dan tanda-tanda hipoglikemi Kadar glukosa plasma yang rendah Terjadi pemulihan gejala setelah kadar glukosa plasma kembali normal melalui pemberian glukosa eksogen. Dalam praktek sehari-hari, definisi hipoglikemi disesuaikan dengan keadaan klinis. Walaupun tidak ada ketentuan pasti tentang seberapa rendah kadar glukosa darah sebagai patokan mendefinisi-kan hipoglikemi, namun terdapat kesepakatan bahwa kadar glukosa plasma vena antara 45 sampai 60 mg/dl (2,5 3,3 mmol/l) jelas mendukung diagnosis hipoglikemi, dan bila dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l) biasanya sudah menimbulkan gejala klinis yang berat. Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan penderita, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Jika dicurigai suatu hipoglikemia autoimun, maka dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap insulin. Untuk mengetahui adanya tumor penghasil insulin, dilakukan pengukuran kadar insulin dalam darah selama berpuasa (kadang sampai 72 jam).Pemeriksaan CT scan, MRI atau USG sebelum pembedahan, dilakukan untuk menentukan lokasi tumor f. Tatalaksana

Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Penatalaksanaan hipoglikemi di rumah sakit sebaiknya melibatkan kerjasama tim. Pemantauan kadar glukosa darah yang ketat perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan yang efisien dan efektif. Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu dilakukan agar dapat ditentukan apakah pasien masih bisa diberikan terapi oral atau sudah memerlukan terapi parenteral. Setelah kejadian hipoglikemi teratasi, harus segera dicari faktor penyebabnya serta dilakukan penyesuaian dosis OHO atau insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Insulin basal yang dikombinasi dengan OHO aman digunakan pada pasien-pasien DM tipe 2. Dalam suatu review dari beberapa studi klinis acak terkendali, yang membandingkan pemberian insulin monoterapi dan

kombinasi dengan OHO, 13 dari 14 diantaranya tidak menunjukkan perbedaan bermakna dari angka kejadian hipoglikemi. Penggunaan insulin analog terbukti mengurangi angka kejadian hipoglikemi. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa angka kejadian hipoglikemi lebih rendah pada pemakaian insulin glargine dan insulin detemir, dibandingkan dengan insulin NPH. Sebelum dipulangkan, pasien dan keluarganya diberikan edukasi tentang caracara pengenalan dan penanggulangan hipoglikemi, pengaturan makan dan dosis OHO atau insulin.

Anda mungkin juga menyukai