Anda di halaman 1dari 3

Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Handrianto, Tiar Anwar Bachtiar.

KAMIS, 24 OKTOBER 2013

23

Oleh Arif Wibowo


Direktur Pusat Studi Peradaban Islam Solo

Islamisasi dan De-Islamisasi Bahasa Indonesia


en Holandsche Kwajongen, kurang lebih artinya Begajul Belanda , adalah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis oleh Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis / Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Artikel tersebut merupakan protes atas pernyataan Profesor Eggens, yang menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia (yang saat itu disebut Bahasa Melayu) merupakan bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu. Menurut Syafruddin pendapat itu tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar, apalagi Prof. Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam. Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof Zeylemaker, Syafruddin disuruh meminta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersedia meminta maaf jika Prof. Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia, khususnya (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83). Keberpihakan terhadap Bahasa Melayu juga diperlihatkan oleh Haji Agus Salim. Cendekiawan yang menguasai 7 bahasa, dan sangat fasih berbahasa Belanda ini, lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Melayu, saat berpidato di sidang Voolkstraad, meskipun oleh pimpinan sidang diminta untuk menggunakan Bahasa Belanda. (http:/m/republika.com/berita/khazanah/12/04/24/m2 yi6c-haji-agus-salim-sang-pembelakebenaran). Bahasa Melayu pada saat itu memang merupakan bahasa yang dibenci oleh penguasa kolonial Belanda sebab identik dengan bahasa umat Islam. Bahasa Melayu Islam.

Bahasa Melayu Islam


Agama Hindu yang berkembang di Kepulauan Nusantara merupakan Hindu bersifat estetik dan ritualistik. Unsurunsur saintifik yang menekankan unsur rasional, intelektual, analisa sistematis dan logis ditolak. Sehingga penyajian Hindu di Indonesia lebih merupakan renungan para penyair bukan perenungan para pemikir dan filsuf (Al Attas, Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung : Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan /PIMPIN, 2011:214). Oleh karena itu, seiring dengan perpindahan massal keagamaan masyarakat di kepulauan Nusantara kepada Islam, maka bahasa masyarakat setempat mengalami Islamisasi dengan cepat. Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islam yang sangat membutuhkan penalaran logis dan rasional dalam pemahamannya, sehingga Islam itu sendiri sering dikategorikan sebagai scientific religion. Keharusan Islamisasi Bahasa untuk keperluan pemahaman Al Quran ini dapat dilihat dari pernyataan Syed Naquib Al Attas bahwa. Bahasa pertama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Dimana bahasa Arab setelah turunnya Al Quran menjadi bahasa arab baru dan tersempurnakan, yang memuat konsep-konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial (Al attas, Ibid: 56). Istilah Islamisasi Bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripada Arabi-

sasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa lokal variabel utamanya adalah upaya untuk mendalami Al Quran. Itu seperti dikemukakan oleh A.H. Johns: Kitab suci Al Quran memiliki peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh sebab itu, menyalin Al Quran, mengajarkan aturan melafalkannya, serta menerjemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan. (Lihat, A.H. Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009). Terjemahan pertama Al Quran dengan tafsirnya ke dalam Bahasa Melayu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur, yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang sebelumnya tidak berlaku di Kepulauan MelayuIndonesia (Al Attas, Ibid: 217). Karya yang bersifat rasional dan filosofis pun bermunculan, seperti Tarjuman al Mustafid karya Abd al-Rauf al-Singkili (1615 1693) yang merupakan saduran terbuka dari Tafsir Jalalayn. Kitab al-Aqaid alNasafiya karya Njm al-Din Al-Nasafi diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Aceh di tahun 1590 dan masih banyak karya penerjemahan lain yang akhirnya memperkaya Bahasa Melayu Islam. Denis Lombard, memperkirakan ada 3.000 peristilahan Melayu yang berasal dari bahasa Arab dan Arab-Parsi (Lombard, 2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Braginsky, Jalinan dan Khazanah Kutipan, Terjemahan Dari Bahasa Parsi Dalam Kesusasteraan Melayu, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, dan Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, Buku I, Batas-Batas Pembaratan (cet. IV), (Jakarta : Gramedia, 2008). Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar 15 20 persen (Johns, Ibid, 2009:49). Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan besar, dimana, ia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh Kepulauan Melayu (Al Attas, Ibid, 216). Huruf sebagai wujud perlambangan bilangan, nada atau ujaran juga mengalami perubahan seiring Islamisasi Bahasa ini. Huruf Pallawa dan Pranagari tidak lagi mampu menampung peristilahan yang masuk ke dalam Bahasa Melayu, dan akhirnya memunculkan Huruf Arab Jawi sebagai medium dalam penulisan Bahasa Melayu. Proses ini berlangsung mulai abad ke 11, sesuai bukti arkeologis yang ditemukan di Pahnrang, pesisir tengah Vietnam, yang berasal dari tahun 1.050 M. Selain itu batu nissan Raja-Raja Pasai (1237 M) dan prasasti Batu Trengganu (1303) menunjukkan pemakaian huruf Arab dalam penulisan Bahasa Melayu. Pada pada tahun 1600, huruf Arab Jawi merupakan satu-satunya huruf yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu (Johns, Ibid, 51). Satu-satunya wilayah yang belum menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi adalah sebagian wilayah Jawa, yakni Mataram.

kukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada masyarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Quran, tata cara beribadah dan ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam. Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Quran, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu, juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halaqah). Kitabkitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam. (Lihat, Mahmud Yunus, Prof, Dr. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1996) Sayangnya, rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunojoyo. Ketergantungan militer pada VOC menyebabkan penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusatpusat Studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogykarta : LKiS, 2008:16-17). Stagnasi proses Islamisasi di bumi Mataram ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan eksperimen Nativisasi Kebudayaan, yakni mengembalikan Jawa kepada peradaban pra-Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang menemukan, mengembalikan dan memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Beland. (Lihat, Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997:7). Lembaga ini akhirnya berhasil menciptakan sebuah kultur menjadikan Islam sebagai unsur asing dalam budaya Jawa.

De-Islamisasi bahasa
Translation bukan sekedar proses mengartikan secara leksikal dan gramatikal adalah proses mengungkapkan makna suatu ajaran, buku atau puisi ke dalam bahasa lain (Johns, 2009 : 49). Kesamaan huruf tentu lebih memudahkan proses asimilasi, adapsi dan adopsi konsep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal. Dan Pemerintah Kolonial memahami betul akan hal ini. Oleh karena itu, untuk menjalankan apa yang disebut sebagai oleh mantan Zending consul Van Randwijk sebagaiStrategi Memangkas Islam maka pengajaran bahasa Melayu harus dihentikan, dengan jalan memunculkan dialek daerah pra Islam (Lihat, Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian...

Jawa, Sebuah Anomali


Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, mela-

1995 :144). Karel Frederick Holle misalnya, di tahun 1865 menerbitkan buku cerita rakyat Sunda yang dibagikan kepada penduduk, dengan tulisan Sunda yang merupakan varian artifisial tulisan Jawa. Padahal, Holle sendiri mengakui bahwa masyarakat Sunda lebih mengenal huruf Arab daripada huruf Sunda. Tetapi bahasa dan huruf Arab harus dibatasi karena akan memperkuat pengaruh orang yang fanatik terhadap agama (Steenbrink, Ibid, 107). Selain itu juga dilakukan politik bahasa dengan menjadikan huruf Latin sebagai huruf resmi di administrasi pemerintahan, perdagangan dan lembaga pendidikan. Dengan demikian bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi makin terkucil dari masyarakat. Proses Latinisasi huruf ini, pada dasarnya adalah proses westernisasi dan de-Islamisasi yang sejalan dengan politik asosiasi oleh Belanda. Dampak dari Romanisasi huruf ini menurut Al Attas adalah kebingungan dan kesalahan dalam memahami Islam. Sebab Romanisasi bahasa yang semula berhuruf Arab menjadi latin, secara berangsur-angsur terjadi pemisahan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan Sumber Islam. (Al-Attas, Ibid, 156-157). Proses latinisasi ini akan menceraikan hubungan pedagogi antara kitab Suci Al Quran dengan bahasa setempat. Terjadilah proses deislamisasi, dimana terjadi penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka (Al-Attas, Ibid, 57). Puncak tragedi ini, di Indonesia adalah ketika ditahun 1970, pemerintah Orde Baru yang ketika itu masih didominasi pemikir sekuler, melarang pengajaran huruf arab Jawi di sekolah-sekolah umum. Akhirnya, huruf ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salafiyah. Dampaknya bisa kita lihat saat ini, dimana umat Islam mengalami semacam gegar intelektual. Kosa-kata asing yang berasal dari dunia Barat tidak lagi bisa dibendung. Istilah-istilah baru yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat muslim datang silih berganti. Idiomidiom pluralisme, multikulturalisme dipaksa masuk menggantikan konsep kemajemukan masyarakat yang sudah mapan dan tidak mengundang kontroversi. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku agama Islam sudah meninggalkan kedisplinan dalam transliterasinya. Sebagai contoh, Al Quran ditulis Kuran (hal. 616), ibadah sholat ditulis Salat (hal. 983). Hal ini merupakan kesalahan fatal, sebab sebagai agama wahyu, Islam sangat disiplin menjaga kemurnian baik istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan maupun pemaknaannya. Sayangnya saat ini, di internal umat Islam sendiri abai menjada bahasanya, agar tetap seiring dan senafas dengan Islam. Wacana Islam politik, relasi agama dan negara, tampil sangat dominan dengan segala variannya. Sementara wacana relasi agama dan bahasa semakin menghilang dari rak-rak kepustakaan kaum muslimin. Padahal agama dan bahasanya keduanya merupakan variabel utama pembentuk kebudayaan dan peradaban. Wallahu alam bish shawab.

MISYKAT

Makna Bahasa
alah satu bukti adanya suatu pikiran seseorang adalah dari tutur katanya. Tutur kata menggunakan bahasa yang setiap katanya mengandung makna atau makna-makna. Setiap makna mengandung konsep dan konsep-konsep itu terajut dalam sebuah jaringan yang membentuk worldview. Ketika bangsa Melayu tidak memiliki istilah, aql, qalb, nafs, fahm, ilm, yaqin, jahl, sabab, musabbab, aqibah, ruh, sadr dan sebagainya mereka pinjam dari bahasa Islam (Arab). Dari bahasa Islam itu digunakanlah istilah akal, kalbu, nafas, faham, ilmu, yakin, jahil, sebab, musabab, akibat, roh, sadar dan sebagainya. Generasi bangsa Melayu abad ke dua puluh tidak lagi sadar mereka telah menggunakan kendaraan bahasa Islam ketika mengungkapkan pikiran mereka. Sila-sila dalam Panca Sila menggunakan istilah adil, keadilan, beradab, rakyat, hikmat, permusyawaratan, perwakilan. Lembaga tertinggi Negara Indonesia menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyaratan Rakyat, seluruhnya menggunakan bahasa Arab. Pertanyaan yang logis: apakah bangsa ini tidak punya istilah sendiri sehingga harus menggunakan bahasa Islam? Apakah bahasa Indonesia adil, beradab, hikmat, musyawarat, Majelis dsb.? Masuknya istilah-istilah suatu bangsa kedalam bahasa bangsa yang lain adalah sesuatu yang biasa dalam ranah peradaban. Namun jika istilah-istilah yang masuk itu sangat asasi dan sentral dalam world-

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi


Direktur INSISTS

view bangsa itu maka yang satu telah menguasai yang lain. Berarti masuknya istilah-istilah Islam yang sangat asasi dan sentral ke dalam bahasa Melayu bisa diartikan penguasaan Islam terhadap bahasa dan bangsa Melayu. Kata-kata ada yang berarti menjadi, meng-ada atau sesuatu yang ada, sebelum Islam datang hanya menunjukkan sesuatu yang material, atau fisik yang meruang dan mewaktu. Setelah Islam datang kata-kata ada berubah secara radikal karena mendapatkan makna baru dari kata-kata wujud dari Islam. Katakata bahasa Arab wujud, yang menunjukkan makna suatu konsep yang abstrak yang sekaligus juga suatu realitas Being atau sesuatu yang ada (being), tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Bahasa Melalyu ada akhirnya menjadi kaya arti yaitu mengejawantah secara zahir tapi juga yang tersembunyi secara batin. Karena kata-kata baru itu bukan sekedar kata, tapi mengandung makna dan bahkan konsep, maka Islam telah merubah cara pandang bangsa Melayu dalam berbagai hal melalui bahasa. Itulah yang kemudian diamati oleh Prof. Naquib alAttas dan ia jadikan teori Islamisasi worldview bangsa Melayu. Apa yang ia maksud teori Islamisasi worldview itu adalah transformasi dari worldview Hindu-Buddha kepada worldview Islam. Namun alAttas menggaris bawahi bahwa hanya sekedar pengertian dasar kata-kata saja tidaklah penting, yang penting adalah pengertian lain yang berhubungan den-

gannya. Sebab kata-kata itu tidak berdiri sendiri tapi memiliki konteks tertentu dan bidang semantiknya sendiri Apakah Islam kemudian bisa disebut agama pendatang? Benar Islam dan juga agama-agama lain di dunia Melayu, seperti Hindu, Buddha, Katholik, Protestan, Kong Hu Chu adalah pendatang. Bahkan agama Kristen di Eropah, Amerika, Australia adalah agama pendatang. Namun, Islam datang ke dunia Melayu melalui proses transformasi yang alami. Tidak ada peperangan, tidak ada paksaan dan tidak ada intimidasi. Pembawa konsep-konsep worldview Islam juga bukan raja-raja perkasa atau para sultan adidaya. Pembawanya adalah para dai, para saudagar dan para sufi yang saleh, santun yang ikhlas semata dan tidak memiliki kekuatan menekan atau memaksa. Selain karena cara damainya, worldview Islam diterima karena membawa pandangan baru yang sifatnya yang lebih rasional, ilmiyah dan universal. Di zaman modern ini istilah-istilah baru dari Barat masuk ke dalam bahasa umat Islam melalui disiplin ilmu, budaya, hiburan, media massa dan sebagainya. Istilah-istilah seperti sains, infotainment, kultur, feminisme, demokrasi, ideologi, politik, karakter, moral dan sebagainya telah menjadi bahasa umat Islam. Ini dapat pula disebut dengan Westernisasi melalui bahasa. Sebab makna-makna yang masuk kedalam pikiran umat Islam itu berasal dari worldview Barat. Hanya saja istilah Barat itu tidak seperti istilah Islam

yang dapat mengganti dan membaratkan worldview Islam. Tentu ini karena kekuatan konsep Islam dalam pikiran bangsa Melayu. Selain itu istilah-istilah dari worldview Barat itu seringkali rancu. Bahkan akhir-akhir ini ditemukan bahwa makna dalam masyarakat Barat saat ini mengalami krisis yang akut. Makna dari berbagai istilah-istilah di sana itu tidak lagi tetap dan pasti. Setiap masyarakat dapat memahami dengan sistim nilai masing-masing. Peter L Berger dan Thomas Luckman pengusung faham pluralisme itu lalu menulis buku berjudul Modernity, Pluralism and The Crisis of Meaning. Dalam buku ini ia menggambarkan bahwa di dalam masyarakat modern yang plural sistim nilai dan khazanah maknanya tidak lagi menjadi milik umum. Individu-individu dalam masyarakat tumbuh dengan tata nilai masing-masing dan tidak dapat digunakan untuk mensikapi makna kehidupan secara umum. Arti pernikahan bagi pasangan suamiistri, misalnya, sudah berbeda dari, atau malah bisa bertentangan dengan makna yang dipegang oleh masyarakat umum. Yang lebih serius lagi adalah ketika masyarakat tidak lagi memiliki standar nilai kehidupan, sehingga tidak dapat membedakan antara adalah dan seharusnya, katanya. Inilah yang disebut Peter Berger krisis makna (crisis of meaning). Itulah sebab Muslim yang menggunakan makna-makna dan konsep-konsep dari Barat mengalami kebingungan intelektual dan kegelisahan spiritual.

24

REPUBLIKA

KAMIS, 24 OKTOBER 2013

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Bahasa Melayu dan Penyatuan Nusantara


bahasa Pengantar. Inilah salah satu bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kepulauan Nusantara.Ini juga menunjukkan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara tidak terjadi secara asalasalan, tetapi dirancang dengan matang dan sungguh-sungguh.Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan serius oleh para orientalis penjajah Belanda.Dua langkah dilakukan penjajah, yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader cendekiawan sekuler. Snouck Hurgronje, misalnya. Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. Snouck Hurgronje juga mendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi. Sebuah suratnya yang tertanggal: Leiden 28 Januari 1889 beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia isinya menunjukkan bahwa Snouck menyetujui pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha Kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah. (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke 19. (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1984), hal. 241 242). Sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kalangan Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya. Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: Melayu tak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia.Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009).

Oleh Dr Adian Husaini


Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor

akar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak awal 1970-an, sudah mengungkap bahwa faktor Islam dan Bahasa Melayu adalah faktor yang paling signifikan dalam proses penyatuan Nusantara. Gagasan itu diungkap al-Attas melalui buku klasiknya, Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan sejumlah karya lainnya. Yang terakhir adalah karya besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction(HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011). Melalui buku ini, al-Attas berhasil memberikan gambaran tentang keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, diIslamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini. Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam,merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.HFF, hal. xvi). Jadi, menurut al-Attas, disamping fakctor agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi,

atau kaum Syiah, secara sambilan atau asal-asalan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para pendakwah Islam yang utamanya adalah para ulama dari Arab. Islamisasi di wilayah seluas ini bukanlah pekerjaan sambilan dan asalasalan, tetapi terencana dengan matang: the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.(HFF,hal. 32).Gambaran ini sangat berbeda dengan paparan umum di sejumlah buku pelajaran yang

Malaka oleh Portugis.Adalah kaum Kristen dan misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu mengantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa MelayuArab.(HFF, hal. 136). Bukti lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramautbukan Persiadalan penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima simbol lima fonem Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab, yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya. Misal, untuk mendapatkan bunyi Nya, yang merupakan bunyi antara huruf Nun dan Ya.Untuk mendapatkan bunyi Nya, dua titik huruf Ya ditambahkan ke huruf Nun, sehingga didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf, maka alfabet Melayu-Arab menjadi 33

Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.
menggambarkan seolah-olah actor utama penyebaran Islam di Nusantara adalah kaum pedagang, yang tidak memiliki rencana yang sistematis untuk meng-Islam-kan wilayah Nusantara. Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi dalam bahasa Melayu misalnya bisa dilihat dari masuknya namanama hari yang dimulai hari kesatu sampai hari ketujuh Ahad, Senin (Isnain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi), Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi). Masuknya kata Minggu, mengantikan Ahad, diduga berasal dari kata Domingo dibaca Dominggoyang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis.Kata Domingomulai digunakan pasca penaklukan huruf. (HFF, hal. 137-138). Keberhasilan Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik dengan Islam.Bahasa Melayu menjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam di wilayah Nusantara.Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu.Kitab-kitab itu pulaun dijadikan pegangan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Nusantara.Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiah dan bahasa persatuan.Ini ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang juga mengunakan bahasa Melayu sebagai

Bahasa Indonesia, Nasibmu Kini


Oleh Nuim Hidayat
Peneliti Insists

ita paham, bahwa salah satu fungsi bahasa adalah alat untuk menyampaikan suatu makna benda atau peristiwa. Bila dua orang atau lebih berkomunikasi, menggunakan sebuah bahasa, mereka saling paham, maka telah cukuplah fungsi bahasa itu. Bahasa bukan untuk bergayagaya atau menghegemoni suatu komunitas/bangsa ke bangsa lain. Raja Ali Haji (1808-1873), ulama besar dan ahli bahasa Melayu menyatakan bahwa tujuan belajar bahasa sebenarnya adalah untuk makrifat kepada Allah, Sang Pencipta alat indera dan alam semesta ini. Bukan seperti yang diungkap oleh Gorrys Keraf, bahasa hanya berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan diri, alat untuk berkomunikasi, alat untuk integrasi atau adaptasi sosial dan alat untuk melakukan kontrol sosial. Prof. Hashim Musa, ahli bahasa dari Universiti Malaya, ketika memberikan pengantar buku Bustaanul Kaatibin, karya cendekiawan besar bahasa Melayu Raja Ali Haji, mengatakan: Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam yang lain, merupakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah dan seluruh kewujudan, memperteguh keimanan dan ketakwaan, dan menyemai adab kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmuimu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik), istidlal (pendalilan), kalam (penghujahan) dan sebagainya. Dalam bukunya yang bermakna Taman para Penulis itu, Raja Ali Haji

mengatakan: Adapun kelebihan ilmu dan kalam amat besar sehingganya mengatakan setengah hukama, segala pekerjaan pedang bisa diperbuat dengan kalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidak bisa diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris kalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pedang sekali. Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib al Attas yang kemudian diikuti oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam istilah yang merujuk pada kegiatan penulisanadalah tonggak kebudayaan Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini. Menurut beliau, di bawah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi sebahagian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007). Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan

bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Imperialisme bahasa
Dalam sejarah kita, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebenarnya mengajarkan kepada kita semangat agar bahasa Indonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsa Indonesia. Agar bangsa Indonesia dikemudian hari menjadi bangsa besar dengan bahasa Indonesia; bukan dengan bahasa Belanda yang saat itu banyak dipakai kaum terpelajar Indonesia, karena digunakan di sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Para ulama kita juga merintis penggunaan bahasa Melayu ini dalam karya-karya mereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Melayu mereka tulis dalam karya-karya agung mereka mengenai bahasa, sejarah, biografi, politik, kisah-kisah dan lain-lain. Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Nuruddin ar Raniri, Raja Ali Haji, Hamka, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, A Hassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab Melayu (Arab Jawi). Kini nasib bahasa Indonesia patut diper-

tanyakan. Banyak pejabat dan tokoh publik mengumbar istilah bahasa Inggris, meskipun ada istilah yang lebih tapat digunakan dalam bahasa Indonesia. Tak jarang istilah asing digunakan tidak pada tempatnya. Yang paling buruk, bila bahasa sendiri tidak dihormati, menurut pakar pendidikan Islam, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud Bangsa itu menjadi tidak menghormati karya orang-orang yang cerdas dari bangsa sendiri. Seolah-olah, karya berbahasa lain selalu dianggap lebih bagus dari karya tokoh-tokoh bangsa sendiri, yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Tentu, tidak dipungkiri bahasa asing perlu dikenal. Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi perlu belajar bahasa Inggris untuk lebih mendalami sains, teknologi, komputer dan lain-lain. Sebab, memang tidak dipungkiri sains dan teknologi sekarang ini, banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Permasalahannya, bila bahasa asing ditempatkan lebih terhormat ketimbang bahasa sendiri. Bagi Muslim, masalahnya akan lebih serius, jika istilah-istilah asing itu merusak konsep yang terkandung dalam istilah-istilah penting dalam Islam. Padahal penggantian kata kadang membawa makna yang jauh. Kata murid, yang digulirkan secara cermat oleh cendekiawan/ulama Islam diganti dengan kata siswa. Murid berasal dari kata araadayuriidu-iraadatan-muriidan. Maknanya, orang mempunyai kehendak; punya kemauan (menuntut ilmu). Juga, orang yang mempunyai cita-cita. Sedangkan kata siswa? Apa artinya? Wallahu Aliimun Hakiim.

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

REPUBLIKA

KAMIS, 24 OKTOBER 2013

25

Melayu dan Islam Prakolonialisme


Oleh Kabul Astuti
Santri Pesantren Lir-Ilir Solo, Mahasiswa S2 Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

eterkaitan antara bahasa Melayu dengan Islam tidak diragukan lagi, baik oleh para peneliti Indonesia maupun Barat. Francis Xavier yang dikenal bersikap negatif terhadap Islam pun mengakui bahwa peranan Islam terhadap perkembangan dan peradaban Melayu sangat besar. The Malay language, which is spoken in Malaka, is very general here... They write in Malay, and the letters are Arabic, which the Moorish cacizes taught, and teach at present. Before they become Moors they couldnt write. (Lihat, Tatiana A. Denisova. 2011. Sumber Historiografi di Alam Melayu: Koleksi Pribadi John Bastin. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia). Islam mengajarkan tradisi ilmu yang awalnya belum dikenal oleh masyarakat Melayu. Tidak tepat jika dikatakan bahwa tradisi sastra dalam bahasa Melayu mengalami dekadensi sejak kedatangan agama Islam. Pendapat keliru ini dikemukakan oleh R.O. Winstedt dalam A History of Classical Malay Literature (1991), bahwa semua sifat ektetika sastra Melayu yang paling bernilai timbul karena pengaruh Hindu dan Jawa, tetapi tenggelam dalam gurun puritanisme Islam. Reid (1988: 215-225), juga menyebutkan bahwa menurut data cacah jiwa Hindia Belanda tahun 1930, praktek menulis merosot antara abad ke-16 sampai abad ke-20. Hal ini, menurut tafsiran Reid, disebabkan karena sejak kedatangan Islam penulisan sajak kasih sayang dan surat cinta dilarang, budaya tulis hanya terbatas pada bidang agama saja. Bahasa Melayu berkembang sebagai bahasa lingua franca di kepulauan Nusantara, seiring dengan pesatnya perdagangan dan penyebaran agama Islam di kawasan tersebut. Bahasa ini tidak hanya menjadi bahasa perdagangan, melainkan juga bahasa politik, sastra, dan ilmu pengetahuan. Rakyat Melayu memiliki kebanggaan terhadap bahasa yang mereka gunakan. Pada tahun 1615, Sultan Iskandar Muda pernah menulis surat kepada King James I di Inggris, yang dengan sopannya menolak memberi izin kepada para pedagang Inggris untuk mendirikan pos di sepanjang pantai barat Sumatera. Surat yang ditulis dengan bahasa Arab-Jawi tersebut 75% isinya menggambarkan kebesaran dan kekuatan kesultanan Aceh. (Lihat, James T. Collins. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 44).

Salah satu sumbangan terpenting yang diberikan oleh umat Islam kepada bahasa Melayu adalah huruf Arab-Jawi atau huruf pegon. Meskipun sebelumnya masyarakat Melayu telah mengenal huruf Pallawa sebagai media baca-tulis bahasa Melayu, tradisi tulis di kalangan masyarakat baru berkembang pesat setelah kedatangan agama Islam dan huruf Arab-Jawi. Maraknya budaya ilmu ini dapat terlihat dari jumlah naskah Melayu yang tersebar di berbagai negara, termasuk di perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Sejak awal, Islam telah menaruh perhatian besar terhadap masalah kebahasaan karena menyadari bahwa bahasa merupakan media penting untuk melakukan islamisasi. Fenomena islamisasi bahasa Melayu ini mirip seperti yang terjadi dengan bahasa Urdu di India dan bahasa Bangla di Bangladesh.

Kolonialisme dan Deislamisasi


Kebanggaan umat Islam terhadap bahasa Melayu berikut peradaban yang dibangunnya perlahan surut sejak kedatangan kolonialisme. Menurut Collins, kekuatan imperialis berusaha menciptakan bahasa melayu baku yang sesuai dengan negara bangsa yang mereka bangun; mereka memoles bahasa Melayu dan menerbitkan sejumlah buku teks untuk digunakan dalam sistem persekolahan nasional. Selama bertahun-tahun, penelitian yang dibiayai oleh negara dan juga karya wisata, tata bahasa Melayu, kamus, dan sistem ejaan dibakukan; penggunaan bahasa Melayu dibatasi dan disampaikan ke seluruh penduduk penjajahan. Perhatian imperialis sampai ke perencanaan dan pengembangan bahasa dimulai dari awal abad ke-19 dan terus berlanjut hingga tengah pertama abad ke-20. (James T. Collins. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 75). Penjajahan bangsa Belanda atas bangsa Indonesia selama lebih dari tiga abad tidak hanya berhasil menaklukkan mental anak-anak bumiputera tetapi juga meminjamkan banyak kosakata dan mempengaruhi pola pikir, terutama kalangan atas. Huruf Arab-Jawi yang pernah dipakai secara luas tersisih oleh huruf latin sejak kedatangan imperialisme Barat, dan hampir-hampir menghilang pasca kemerdekaan. (The use of jawi reflects the relationship between the script and malay-muslim ethnic identity. Brett J. Mccabe. 2011. From A Script to A Symbol: The Paths of Jawi

Script and Malay Identity. Thesis. Department Of Anthropology Northern Illinois University. Lihat juga Hamka Pengaruh Huruf atas Bahasa dan Bangsa, Hikmah (16 Februari 1952). Hlm 18-20. Dalam Kevin Fogg. 2012. The Fate of Muslim Nationalism in Independent Indonesia. Hlm 126). Penyebaran huruf Latin didukung oleh berkembangnya industri percetakan. Biaya percetakan dengan huruf Latin yang jauh lebih murah dibandingkan percetakan dengan huruf Arab-Jawi. (Denys Lombard. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia. Hlm 152.) Di pihak lain, para misionaris Belanda berusaha untuk membendung arus penggunaan bahasa Melayu. Tokoh Jesuit Van Lith mendorong orang Jawa untuk menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith berpedoman bahwa sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas dua. Perkataan Van Lith tersebut secara tidak langsung mendiskreditkan bahasa Melayu sebagai bahasa yang tidak memiliki tradisi sastra. Sebagai gantinya, ia menganjurkan penggunaan bahasa Belanda, seperti halnya G.J. Nieuwenhuijs. (Hasto Rosariyanto. 2009. Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Hlm 173.) Bahasa sebagai suatu sistem tanda yang memiliki dua aspek, yaitu signifiant (ungkapan) dan signifie (makna). Ada hubungan timbal balik antara ungkapan dengan makna, dimana makna mengandung konsep yang menayangkan kerangka alam pikiran. Setiap sistem bahasa pada dasarnya adalah alat untuk berpikir. Persoalan yang dihadapi bahasa bukan semata-mata permasalahan bahasa an sich, tetapi juga menyangkut masalah worldview apa yang dibawa dalam bahasa tersebut. Perpindahan dari tulisan Arab ke Latin mempunyai dampak budaya dan agama. Waktu menerima tulisan Arab, orang Melayu sengaja memasuki sebuah komunitas -yang identik dengan agama Islam dan Timur Tengah-, begitupun waktu mereka meninggalkan tulisan Arab dan menerima tulisan latin. Tulisan latin sebaliknya, terkait dengan Eropa dan Kristen. Pilihan itu antara lain berarti memilih simbol modernitas Barat daripada simbol keikutsertaan dalam umat Islam. (Henri ChambertLoir. 2009. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-Jenis Tulisan dalam Sejarah

dalam Henri Chambert-Loir (peny.). Sadur: Sejarah Penerjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia). Kevin Fogg menulis dalam disertasinya, In the independence period, the national language (Bahasa Indonesia, literally Indonesian language) slowly moved away from its religious past and became a secular national language along the lines of European languages. Ia juga berasumsi bahwa pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia mengalami penurunan pasca kemerdekaan yang terjadi akibat standarisasi bahasa Indonesia. (Kevin William Fogg. 2012. The Fate of Muslim Nationalism in Independent Indonesia. Dissertation. United States: Yale University. Hlm 241). Kolonialisme merupakan suatu bagian dari sejarah masa lalu, namun demikian pengaruhnya masih terasa hingga kini. European language as part of the essential socio-cultural determinants of Western power have achieved a great triumph in the third world. (Hassan Abdel Raziq El-Nagar. 1996. Speaking with One Voice: The Politics of Language in The Modern Muslim World dalam Sharifah Shifa Al Attas (ed.) 1996. Islam and The Challenge of Modernity Kuala Lumpur: ISTAC. Hlm 444). Russel Jones mencatat bahwa dari sepuluh bahasa donor terbesar terhadap bahasa Melayu-indonesia, bahasa Sansekerta menduduki tempat pertama disusul oleh bahasa Arab, Persia, dan Hindi secara berturut-turut. Sementara itu, bahasa Inggris hanya berada di urutan kesembilan. Namun, sekarang dominasi bahasa Inggris sangat terasa dalam segala aspek kehidupan. Segala bidang ilmu berkiblat ke Barat, tak terkecuali ilmu agama, yang secara tidak langsung semakin mengukuhkan penjajahan bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia. (Russel Jones. 2008. Loan-Words in Indonesian and Malay. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia). Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan akan terus mengalami dinamika seiring dengan perkembangan masyarakat penuturnya. Namun, dinamika itu tidak bisa dibiarkan berlari begitu saja tanpa suatu mekanisme kontrol. Perhatian umat Islam terhadap bahasa harus dikembalikan. Umat Islam harus belajar untuk memiliki kembali izzah Islam dan bahasa Melayu mereka, sebagaimana Sultan Iskandar Muda yang pernah dengan bangga mengirimkan surat pada Raja Inggris menggunakan bahasa Melayu berhuruf Arab-Jawi.

Anda mungkin juga menyukai