Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi


Purkon Hidayat*
*Peneliti pada World Service IRIB Vali Asr st. Jam-e Jam st Tehran Republik Islam Iran. Email: melayuradio@irib.ir, phone: +(98) (21) 22162769, Fax : +(98) (21) 22053273

Abstract
This paper is developed from a model of religious democracy in response to Huntington's thesis that assesses the principles of democracy are incompatible with Islam. It is begun by exploring the idea of classical Islamic political system "Madinah Fadhilah"of Farabi and furthermore it shows that the implementation of Wilayatul Faqih in Iran offers a modern political system that "revise democracy" by adopting the noble values of Islam. By reviewing the distribution of power in the Iranian Constitution, the study presents an answer to critics who consider the Islamic Republic is not a democratic system, particularly with regards the process of Islamic revolution leader and head of state selection. keywords: Religious Democracy, Flawed Democracy, Wilayatul Faqih, Islamic Political System.

Latar Belakang Bola salju protes rakyat yang menggelinding kencang di Afrika Utara dan Timur Tengah menandai sebuah fenomena penting bagi transformasi dunia, terutama di negara-negara Arab yang mayoritas berpenduduk muslim. Jika diamati lebih cermat, ada pola yang hampir sama terkait gelombang protes rakyat tersebut. Demokratisasi menjadi sebuah ikon yang paling nyaring digembargemborkan sebagai tuntutan rakyat. Mereka menuntut hak-haknya yang telah lama dipasung penguasa, sekaligus menghendaki pembatasan kekuasaan rezim yang nyaris tanpa batas. Fenomena ini mengingatkan kita pada peringatan keras dari Lord Acton, ketika mengirim surat pada Mandell Creighton dua abad lalu, Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Dengan kata lain, rakyat menuntut kekuasaan penguasa dibatasi dan hak-hak mereka lebih terangkat melalui proses demokratisasi. Menyikapi fenomena ini setidaknya terdapat dua arus besar. Tesis pertama disuarakan insan media mainstream dan sejumlah pejabat negara Barat yang menilai gelombang protes 49

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai arus deras menuntut sebuah tatanan baru, demokratisasi di negara muslim tanpa campur tangan agama. Sebuah kebutuhan terhadap negara sekuler menyeruak karena penguasa muslim alih-alih memenuhi tuntutan rakyatnya sendiri, justru menjadi rezim ototiter, despotik dan tiranik. Dalam tataran wacana, pandangan seperti ini membenarkan klaim Huntington dalam karyanya, The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century, bahwa Islam adalah ideologi yang sulit menerima atau bahkan dapat mengancam eksistensi demokrasi liberal. Pengusung teori The Clash of Civilizations ini membangun teorinya berdasarkan karakteristik nilai-nilai yang dianggap berbeda, bahkan saling bertabrakan antara demokrasi liberal dan ajaran Islam. Namun klaim Huntington ini dibantah keras oleh Robert W. Hefner dengan menunjukkan kontribusi besar Islam dalam perkembangan nilai-nilai demokrasi. Hefner bahkan mengklaim demokrasi memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai terdalam dari Islam. Hefner, dalam karyanya Islam, Pasar, Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi(2000) menegaskan bahwa tesis Hungtinton dibangun dari proposisi superioritas Barat atas non-Barat yang merupakan mitos menyesatkan dan anti demokrasi Pada kenyataannya, Barat yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi telah menerapkan standar ganda dengan memaksakan satu bentuk demokrasi. Proyek Timur Tengah Baru ala Washington yang menerjemahkan konsepsi democracy without adjectives ala Huntington dengan ruh liberalisme merupakan contohnya. Ironisnya, para diktator Arab semacam Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir telah berkuasa selama puluhan tahun berkat dukungan negara-negara Barat yang berteriak nyaring menyuarakan demokratisasi di dunia. Demi menyelamatkan kepentingannya di kawasan Timur Tengah, ketika gelombang protes rakyat menjadi kekuatan masif yang tidak bisa diberangus penguasa despotis, Barat belakangan berbalik 180 derajat. Inilah bentuk standar ganda Barat yang nyata menusuk mata. Berbeda dengan tesis pertama, arus kedua menilai gelombang deras protes masyarakat di Afrika Utara dan Timur Tengah menunjukkan sebuah tuntutan rakyat yang mayoritas muslim terhadap adanya sebuah pemerintahan demokratis yang tetap mengadopsi nilai-nilai lokal dari keyakinan dan sistem sosial masyarakat berupa agama maupun budaya masyarakat setempat. Persis seperti saran Hefner, demokrasi seharusnya mengadopsi kearifan lokal yang tumbuh dari keyakinan masyarakat, dan tidak dipaksakan dari luar. Sejumlah kalangan membaca perlawanan rakyat Timur Tengah menghadapi rezim tiranik sebagai gelombang revolusi Islam. Meningkatnya tuntutan pembukaan gerbang Rafah 50

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

pasca tumbangnya Hosni Mubarak di Mesir, desakan kuat pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel dan upaya pemulihan hubungan dengan negara Islam seperti yang dirintis pejabat KairoTehran, menjadi deretan fakta yang memperkuat tesis kedua ini. Di luar perbedaan cara pandang kedua arus tersebut, di level teoritis, dua tesis ini menuntut pembacaan lebih dalam terhadap persoalan krusial model pemerintahan demokratis yang menjadi harapan rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara yang mayoritas muslim. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan mendasar mengenai model sistem pemerintahan yang ideal dan dibutuhkan rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara. Sebuah sistem yang mengambil karakter terbaik dari demokrasi dan menyempurnakannya dengan mengadopsi nilai-nilai dari sistem pemikiran, keyakinan dan sosial masyarakat kawasan yang mayoritas muslim itu. Lalu, bagaimana pola distribusi kekuasaan sistem politik tersebut sehingga bisa memenuhi harapan rakyat di saat demokrasi yang diterapkan dewasa ini mengandung sejumlah kelemahan mendasar yang harus disempurnakan dengan mengadopsi nilai-nilai lokal? Berangkat dari pertanyaan tersebut, makalah ini berupaya menawarkan sebuah sistem pemerintahan demokrasi religius dengan menggali gagasan filsafat politik Islam klasik dan penerapan praksisnya dewasa ini. Makalah ini menggunakan qualitative approach dengan metode content analysis. Melalui metode tersebut, pandangan para filosof yang relevan dengan objek kajian dianalisis dan diberi interpretasi. Tentu saja, dengan menjaga tiga syarat seperti yang disarankan Lindzey dan Aronson (1982) yang dikemukakan kembali oleh Noeng Muhadjir (2000:68-71), yaitu: objektivitas, sistematis dan generalisasi. Tulisan ini berupaya melacak konsepsi pembangun distribusi kekuasaan dari kacamata filosof Muslim sekaligus berupaya menguji konsep Wilayah Faqih yang diterapkan di Iran dengan parameter demokrasi dalam ilmu politik modern. Di sisi lain, tulisan ini berupaya menggali benang merah basis teoritis sistem politik Islam dari pemikiran klasik Madinah Fadhilah Farabi hingga konsep Wilayatul Faqih yang diterapkan di Iran, dan menawarkannya sebagai sebuah revisi demokrasi. Melacak Basis Teoritis Filsafat Politik Islam Melacak jejak pemikiran politik Islam tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Ab Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Frbi (870950). Betapa tidak, pemikiran politik Farabi, terutama gagasan alMadinah al-Fadhilah hingga kini masih menjadi acuan sistem pemikiran politik Islam. Sebagai seorang filosof muslim, pandangan 51

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

politik Farabi banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafatnya. Dengan demikian, epistemologi Farabi berpengaruh langsung terhadap filsafat politiknya. Meski demikian, Farabi tidak bisa disebut sebagai teolog politik (Haghighat, Sadeq, 1381 Hs: 220-221). Sebab meski mengakui kedudukan wahyu, namun ia meninjaunya dari kacamata rasionalitas filosofis. Walaupun masih diperdebatkan apakah Farabi Sunnah atau Syiah, namun pandangan filsafat politiknya lebih dekat dan dipengaruhi doktrin teologis Syiah. Ia juga tidak segan-segan menggunakan sejumlah terma seperti Imam al-Abrar untuk menyebut pemimpin utama. Lebih dari itu, gagasan politik Farabi relatif seirama dengan ajaran pemikiran politik Syiah seperti Imamah dan Wilayah. Achmad Khodori Soleh (2007:8-9) menyebut filsafat politik Farabi sangat dekat dengan konsep kepemimpinan Imamah ala Syiah, dari pada Sunnah. Bahkan, Anwarudin Harahap (1981)) dalam Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam menyebut Madinah Al-Fadhilah mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah. Meskipun tidak terlalu penting membahas mazhab apa yang dianut Farabi, namun setidaknya hal tersebut bisa membantu memetakan arus pemikiran filosof klasik muslim dan kontribusinya dalam pemikiran politik Syiah sampai terbentuknya pemerintahan Syiah di Iran. Ide besar sistem pemerintahan Farabi dituangkan dalam karyanya al-Madinah al-Fadilah yang menilai standar sebuah masyarakat ideal diukur berdasarkan kebahagiaan. Dalam karyanya itu, Farabi mengupas dua pembahasan utama tentang metafisika dan persoalan sosial politik. Pembahasan metafisika terdiri dari 15 sub-bab, antara lain meliputi masalah tentang Tuhan, malaikat, alam indera, binatang dan lainnya. Selain itu, ia juga membahas emanasi (faidh) dari Tuhan hingga terwujudnya alam indera, juga mengupas jenis akal dan tingkatannya. Adapun bagian kedua membahas masalah politik yang terdiri dari 12 sub-bahasan meliputi kehendak sosial manusia, persyaratan seorang pemimpin, pemimpin alMadinah al-Fadilah dan kebahagiaan. Pemimpin Ideal Sebelum lahir konsep kontrak sosial yang digulirkan Rousseau (1712-1778), Farabi mengemukakan teori tentang fitrah sosial yang merupakan sumbangan penting dalam ilmu politik. Farabi menilai setiap manusia memiliki fitrah sosial yaitu fitrah untuk berinteraksi dan hidup bersama dengan orang lain. Dari fitrah inilah lahir apa yang disebut sebagai masyarakat dan negara. 52

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

Dengan konsep kebahagiaan yang diadopsi dari pemikiran Plato dan Aristoteles itu, Farabi membagi masyarakat dalam dua kategori berdasarkan aspek kemampuannya mengatur diri dan mencapai keutamaan, yaitu masyarakat sempurna (al-Mujtama alKamil) dan masyarakat belum sempurna (al-Mujtama ghair al-Kamil). Masyarakat sempurna yang dimaksud Farabi adalah masyarakat yang mampu mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk mencapai keutamaan tertinggi. Sedangkan masyarakat belum sempurna adalah masyarakat yang belum mampu mengatur dan membawa dirinya sendiri mencapai keutamaan tersebut. Yang dimaksud kebaikan dan keutamaan tertinggi adalah tercapainya kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi jiwa dan pikiran (Wafa dalam Soleh, 2007: 6-7). Dari pembagian ini, Farabi menegaskan urgensi mewujudkan sebuah pemerintahan utama yang tercapai ketika terbentuk sebuah sistem pemerintahan yang bersifat hierarkis dan sempurna. Bagi Farabi, pemerintahan seperti struktur organ-organ dalam tubuh manusia yang bersifat hierarkis dan sempurna. Tindakan anggota badan seperti tangan dan kaki, diperintah oleh akal dan hati. Demikian pula, masyarakat diperintah oleh pemimpin maupun pemerintah. Karena itu, Farabi memberikan persyaratan ketat bagi pemimpin negara utama antara lain: 1. Memiliki kematangan kejiwaan dan spiritualitas sebagai representasi manusia sempurna yang telah mencapai tahap akal aktif yang mampu menangkap dan menerjemahkan isyarat-isyarat ilahi. 2. Terbukti mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji. 3. Memiliki keunggulan dari segi kecerdasan dalam representasi imajinatif. 4. Bersikap bijaksana dalam mengambil dan menjalankan kebijakan serta mampu mengatasi persoalan yang dihadapi. Selain itu memiliki keunggulan persuasif serta sikap tegas dan lugas dalam menghadapi penyelewengan dan ketidakadilan. 5. Dari sisi manajerial, memiliki keunggulan dalam retorika sehingga bisa menjelaskan persoalan-persoalan penting dengan baik dan mudah dipahami masyarakat (ibid). Selain memiliki kelima persyaratan tersebut, seorang pemimpin negara utama juga harus memiliki kreteria lainnya, yaitu antara lain: 1. Mengerti dan memahami hukum-hukum atau ketetapan sebelumnya untuk kemudian mampu merevisi dan menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. 2. Memahami strategi dan pertahanan negara, karena ia berkewajiban untuk menjaga kedaulatan dan integritas bangsa dan negara (ibid). 53

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

Lalu, bagaimana jika pemimpin utama sebagaimana dalam persyaratan tersebut tidak ada. Di sini, negara akan dipimpin oleh gabungan orang yang mensinergikan kualifikasi-kualifikasi tertentu yang disebut pemimpin terpilih (al-Ruasa al-Akhyar). Farabi dalam karyanya, Ara ahl al-Madinah al-Fadilah menegaskan bahwa pada tahap pertama pemimpin haruslah seorang hakim, dan setelah itu seorang faqih. Namun pengertian faqih yang disebutkan Farabi berbeda dengan terma yang dipakai selama ini, dan lebih dekat maknannya dengan agamawan yang memiliki pengetahuan yang lebih luas dari definisi fiqih, sekaligus memiliki kemampuan berijtihad. Tampaknya, Farabi berhasil menawarkan sebuah teori sistem pemerintahan utama, al-Madinah al-Fadhilah dengan menekankan pada karakter pemimpin ideal. Tapi gagasan besar ini bukannya tanpa kritik. Sejumlah kalangan menilai pemerintahan utama yang mengadopsi pemikiran Republik ala Plato dan konsepsi kebahagiaan Aristoteles itu menuai sejumlah kritik. Pertama, secara langsung Farabi tidak menyinggung distribusi kekuasaan yang merupakan isu sentral ilmu politik sebagaimana dibahas dalam terma politik modern. Kedua, dalam bentuknya yang ideal, gagasan ini sulit dijalankan. Bahkan Soleh (2007:8-9) menyebutnya sebagai utopis. Abd Wahid sendiri, penulis ringkasan al-Madinah al-Fadhilah mengakui bahwa gagasan negara utama Farabi sangat sulit dilaksanakan untuk tidak dikatakan isapan jempol belaka. Cacat Demokrasi Selain menjelaskan teori al-Madinah al-fadhilah, negara utama, Farabi mengungkapkan konsepsi mengenai negara Jahiliyah yang terdiri dari empat kategori. Pertama, rezim Timokrasi yang Kedua sistem mengutamakan kehormatan dan kewibawaan. Plutokrasi yang mendasarkan kekuasaan atas dasar kekayaan. Sistem ini mengutamakan kepentingan kelompok elit konglomerat berdasarkan kalkulasi besarnya kekayaan. Ketiga, sistem tirani yang mengutamakan pemimpin tiran, militer. Keempat, demokrasi yang mengutamakan perwakilan mayoritas. Meskipun Farabi menyebut keempat model sistem pemerintahan tersebut sebagai sistem yang buruk, namun demokrasi dipandang sebagai paling baik dari ketiga lainnya yang buruk. Di tengah pusaran pasar global,demokrasi yang disuarakan dengan lantang oleh negara-negara Barat dewasa ini dimaknai dengan spirit kapitalisme, bukan yang lain. Demokrasi dalam prinsipnya yang universal seperti kebebasan (liberty), dan

54

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

kesetaraan (equality) diartikulasi dalam bingkai kepentingan negara maju terhadap dunia ketiga. Pada tahun 1989, Bank Dunia mengorbitkan terma good governance, sebagai doktrin pembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang sejalan dengan arah demokrasi liberal. Good governance sebagai anak ideologis demokrasi liberal menjadi agenda baru pembangunan negara di berbagai belahan dunia, terutama dunia ketiga. Riset Fika Monika (2009) membenarkan tesis Leftwich (1993) Gibson (1993), Hadenius dan Uggla (1990) yang menilai good governance sebagai tipe demokrasi baru untuk mengintervensi negara tertentu. Inilah kemasan paling ampuh yang dilakukan kelompok kapitalisme liberal untuk memasukkan agenda terseumbunyi ke negara tujuan, dengan menggusur "peran negara", dan menggantikannya dengan "pasar" yang tersembunyi lewat terma "masyarakat sipil". Dalam kasus Indonesia, buah getir dari agenda tersembunyi tersebut adalah intervensi asing di berbagai sektor, termasuk proses pembuatan undang-undang di DPR. Badan Intelijen Negara atau BIN melaporkan bahwa proses pembuatan 79 undang-undang di DPR dikonsep oleh konsultan asing (Beritasatu, 2001). Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Eva Kusuma Sundari mengakui bahwa campur tangan asing dalam proses pembuatan undang-undang kebanyakan menyangkut regulasi di sektor strategis. Antara lain undang-undang di sektor minyak dan gas, energi dan pertanian. Selain itu, demokrasi juga melahirkan politik uang yang berbiaya mahal dan memicu korupsi. Seorang yang mencalonkan diri menjadi bupati atau wali kota diperkirakan membelanjakan dana antara Rp 7,5 miliar hingga Rp 25 miliar. Untuk gubernur, percalon diperkirakan membelanjakan dana antara Rp 25 miliar hingga Rp 75 miliar. Di sebuah kabupaten kecil di Sumut, seorang calon Bupati membelanjakan Rp 15 miliar untuk terpilih, padahal Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut hanya Rp5 miliar. Bagaimana mungkin kepala daerah akan fokus memikirkan pembangunan daerahnya, jika ia harus terlebih dahulu mengembalikan modal yang dikeluarkannya sebelum memikirkan nasib rakyat (Politikana, 2011). Tocqueville benar, Demokrasi membawa musuh dalam keretanya sendiri Wilayah Faqih: Sebuah Revisi Demokrasi Jika Farabi masih hidup hingga saat ini, ia barangkali akan merevisi dan menyempurnakan pandangannya mengenai al-Madinah al-Fadhilah. Kemenangan Revolusi Islam Iran menandai sebuah 55

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

babak baru sistem politik Islam modern. Namun hingga kinipun sebagian kalangan masih menilai sistem pemerintahan Republik Islam yang diterapkan di Iran sebagai sistem yang tidak demokratis dan rakyat dinilai tidak punya peran besar dalam perintahan. Namun sebagian lainnya justru berpandangan bahwa Republik Islam Iran dengan sistem Wilayah Faqih-nya merupakan salah satu negara Islam yang menerapkan sistem demokrasi. Makalah ini berupaya menelisik sistem pemerintahan di Negeri Mullah dari sisi distribusi kekuasaan dalam undang-undang dasar. Bashariah (1385 Hs: 60) menilai sistem Republik Islam Iran bukan sistem demokratis. Ia membangun teorinya dengan menyoroti peran politik ulama dan ruhaniawan Islam terutama dalam pembentukan Republik Islam. Sosiolog Politik Iran ini menilai revolusi Islam Iran berutang banyak pada kalangan ulama. Dengan pendekatan sosiologisnya, Bashariah melakukan generalisasi bahwa Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran merupakan tuntutan kelas ruhaniawan sebagai kelas politik yang teroganisir di Iran. Di mata Bashariah, struktur politik Iran pasca kemenangan Revolusi Islam muncul dari superioritas Ulama atas masyarakat awam hingga menjadikannya sebagai kelas elit politik. Ia menilai penerapan sistem Wilayah Faqih di Iran sebagai bentuk penghargaan yang setimpal atas jerih payah ulama dalam menggulingkan rezim despotik Shah dan membangun sistem baru berlandaskan Islam. Dari sejumlah asumsi ini, Bashariah mengambil konklusi bahwa sistem Wilayatul Faqih di Iran sebagai sistem totaliter, bukan demokrasi. Sementara itu, sebagian kalangan lainnya memandang sebaliknya bahwa pemerintahan Islam di Iran sebagai sistem politik demokratis yang disesuaikan dengan struktur bangsa Persia itu. Ali Akhtar Shahr (1390 Hs: 4-11) me-ngemukakan sejumlah kritik sekaligus jawaban atas pandangan Bashariah dengan mengajukan gagasannya yang menempatkan Wilayah Faqih sebagai sebuah sistem pemerintahan demokratis. Akhtar Shah menempatkan gagasannya dalam tiga pandangan besar. Pertama, kedudukan rakyat dalam sistem politik Republik Islam Iran; kedua, kedudukan Pemimpin Besar Revolusi Islam dalam undang-undang dan sistem politik Iran; ketiga peran kepala negara dalam pemerintahan Islam Iran. Kedudukan Rakyat dalam Sistem Politik Iran Berdasarkan sistem Republik Islam Iran, mayoritas rakyat secara sadar dan bebas memilih Islam sebagai agama dan pedoman hidup individu dan sosial. Sesuai kontrak sosial yang disepakati 56

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

mayoritas rakyat Iran, negara dibangun berdasarkan prinsip ajaran Islam. Rakyat pulalah yang menentukan bahwa sistem pemirintahan yang dipilih adalah Republik Islam. Sejatinya, Islam dan rakyat merupakan dua faktor utama kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Undang-undang Dasar Republik Islam Iran merupakan manifestasi hubungan erat dan tidak terpisahkan antara kerakyatan dan keislaman. Untuk itulah sistem yang dipilih oleh mayoritas rakyat dalam referendum pasca kemenangan revolusi Islam Iran adalah Republik Islam, bukan yang lain. Tepat 49 hari pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, mayoritas rakyat Iran menetapkan pilihan politiknya dengan memilih sistem politik yang dianggap paling tepat diterapkan di negara itu. Hasil referendum yang digelar pada tanggal 10-11 Farvardin 1958 Hs menunjukkan bahwa 98,2 persen warga yang memiliki hak pilih memilih Republik Islam sebagai sistem pemerintahan Iran. Sebuah angka fantastis yang menunjukkan besarnya dukungan rakyat terhadap Republik Islam yang berpijak pada sistem Wilayah Faqih. Fakta ini dengan sendirinya menggugurkan pandangan Bashariah dan kalangan lainnya yang menilai Republik Islam Iran didominasi ulama dan melemahkan peran rakyat dalam menentukan pemerintahannya sendiri. Undang-undang dasar Republik Islam Iran menegaskan sebuah prinsip pengawasan publik yang dilakukan oleh dan untuk rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengawasi kinerja aparatur negara. Pasal 8 UUD RII menyatakan,Dalam Republik Islam Iran, seruan melakukan Amr Maruf dan Nahi Munkar sebagai kewajiban kolektif antara rakyat dan pemerintah. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Republik Islam terhadap partisipasi rakyat. Meskipun menjadikan Islam sebagai prinsip berbangsa dan bernegara, namun sistem Republik Islam Iran tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Sejatinya pengawasan menyeluruh seperti ini menunjukkan bahwa keyakinan keagamaan justru memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan bukan sebaliknya sebagaimana dituduhkan berbagai kelangan selama ini. Pengawasan terhadap kinerja masyarakat lahir dari sebuah kesadaran keagamaan individu maupun masyarakat. Dengan demikian, kedudukan rakyat dalam undang-undang dasar Iran bukan unsur sepihak yang lahir dari prinsip demokrasi murni, dari rakyat, oleh, rakyat dan untuk rakyat. Namun lebih jauh dari itu, Republik Islam dari karakter bangsa yang bertujuan menghantarkan rakyat menuju sebuah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

57

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

Pasal 3 UUD RII menyebutkan setidaknya enam belas tujuan negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa, antara lain : 1. Menciptakan sarana yang kondusif bagi pertumbuhan keutamaan moralitas bangsa dan negara. 2. Meningkatkan tingkat kesadaran publik di berbagai bidang dengan menggunakan seluruh fasilitas yang benar dan tepat seperti media massa dan lainnya. 3. Pendidikan untuk semua dari seluruh lapisan masyarakat serta kemudahan dan layanan untuk mengenyam pendidikan tinggi. 4. Mendukung dan meningkatkan spirit kreativitas dan inovasi di berbagai bidang akademis, teknis, budaya dan agama melalui pendirian berbagai lembaga riset dan memberikan dukungan terhadap para peneliti. 5. Menolak dan memberantas segala bentuk penjajahan dan mencegah dominasi dan hegemoni. 6. Menolak segela bentuk kediktatoran dan menumbuhkan kepercayaan diri bangsa. 7. Menjamin kebebasan politik dan sosial dalam koridor hukum. 8. Menjamin partisipasi publik dalam menentukan nasib politik, ekonomi sosial dan budaya. 9. Menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan memberikan fasilitas yang adil bagi semua warga negara di semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkatan, baik material maupun spiritual. 10. Mewujudkan sistem administrasi negara yang benar dan baik, serta memangkas anggaran yang tidak efektif dan efisien. 11. Menumbuhkembangkan sikap kewiraan dan pertahanan negara melalui pendidikan publik demi menjaga kemerdekaan bangsa dan negara serta tanah air. 12. Menyusun dan menerapkan sistem ekonomi yang benar dan adil sesuai aturan Islam demi mewujudkan kesejahteraan bersama dan pengentasan kemiskinan dengan memberikan jaminan kebutuhan sandang, pangan dan papan, kesehatan, lapangan kerja serta asuransi. 13. Mewujudkan swasembeda di bidang sains dan teknologi di bidang industri, pertanian, militer dan sektor lainnya. 14. Menjamin seluruh hak warga negara tanpa membedakan gender baik laki-laki maupun perempuan dan mewujudkan keamanan yang kondusif dan adil bagi semua lapisan masyarakat yang seluruhnya setara di hadapan hukum. 15. Merekatkan persaudaraan bangsa dan saling bantu antarwarga negara.

58

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

16. Menyusun dan menerapkan sistem kebijakan luar negeri yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, komitmen kebangsaan dan dukungan terhadap kaum tertindas dunia. Kenam belas tujuan negara tersebut menegaskan peran besar rakyat dalam berbangsa dan bernegara yang meruntuhkan tesis Bashariah tentang dominasi dan superioritas ulama di hadapan hukum. Tampaknya keberatan Bashariah terhadap peran ulama dalam politik dipicu oleh kekeliruan membaca peran Ulama dalam masyarakat Iran, terutama dalam struktur politik negara ini. Sistem Politik Iran, Demokratiskah ? Salah satu kritik yang paling santer digelontorkan kepada sistem Republik Islam yang dinilai sebagai tidak demokratik adalah posisi dan proses pemilihan pemimpin Besar Revolusi Islam Iran yang saat ini dijabat oleh Ayatullah Udzma Sayid Ali Khamenei. Pasal 110 UUD RII menyebutkan wewenang dan kewajiban pemimpin tertinggi Iran, sebagai berikut: 1. Menentukan kebijakan umum pemerintahan Republik Islam Iran sesuai undang-undang dasar, setelah bermusyawarah dengan Dewan Penentu Kebijakan Negara (Majma Taskhis Maslahat-e Nezam). 2. Mengawasi penerapan kebijakan umum pemerintahan 3. Mengeluarkan keputusan referendum 4. Sebagai pemimpin tertinggi angkatan bersenjata 5. Mengumumkan keadaan perang dan kondisi darurat 6. Mengangkat, memberhentikan dan menerima pengunduran diri dari ahli fiqih Shura Nagehban (Dewan Garda Konstitusi), ketua mahkamah agung, direktur radio dan televisi, panglima Sepah Pasdaran, komandan tinggi militer dan kepolisian 7. Bertanggung jawab menyelesaikan sengketa antara eksekutif, yudikatif dan legislatif. 8. Menandatangani keputusan pengangkatan presiden yang dipilih secara demokratis oleh rakyat melalui pilpres. 9. Memberhentikan presiden dengan mempertimbangkan kemaslahatan bangsa dan negara, setelah Dewan Tinggi Negara memutuskan presiden melakukan kecurangan dan melanggar undang-undang dasar, atau suara pengambilan suara mayoritas di parlemen menegaskan ketidaklayakan presiden dalam menjalankan tugasnya yang diatur sesuai pasal 89. 10. Memberikan grasi setelah ketua mahkamah agung mengusulkannya.

59

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dipilih secara demokratis oleh rakyat melalui Majelis Khobregan (Dewan Pakar) yang beranggotakan 80 orang dan dipilih setiap delapan tahun sekali. Majelis Khobregan berkewajiban untuk memilih pemimpin besar revolusi Islam, mengawasi kinerjanya dan memberhentikan jika dianggap tidak lagi memenuhi syarat. Sebagaimana seorang Rahbar (pemimpin tertinggi) bertanggung jawab terhadap Allah swt, ia pun bertanggungjawab terhadap rakyat yang diawasi melalui Dewan Pakar. Dengan demikian, sangat tidak tepat menuding sistem pemerintahan yang dijalankan di Iran tidak demokratis. Sebab, peran rakyat begitu besar dalam pemerintahan, bahkan rakyat juga mengawasi pemimpin tertinggi di Iran melalui mekanisme Dewan Pakar yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilu selama delapan tahun sekali. Berdasarkan UUD RII pasal 107, pemimpin tertinggi ditentukan oleh Dewan Pakar yang dipilih melalui mekanisme demokrasi oleh rakyat. Berdasarkan aturan ini, penentuan siapa pemimpin tertinggi di Iran tetap melibatkan peran besar rakyat. Selain itu, rakyat juga turut mengawasi kinerja Rahbar sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang dasar Iran sebagai berikut: Pembukaan UUD RII menyebutkan kalimat yang menyatakan bahwa rakyat harus memilih pejabat yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas serta bertakwa, dan mengawasi kinerjanya secara aktif. Maksud pejabat dalam kalimat tersebut termasuk Rahbar yang harus dipilih dan diawasi oleh rakyat. Pasal 8 UUD RII menegaskan bahwa dalam pemerintahan Islam Iran, seruan melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan merupakan kewajiban bersama, baik dilakukan negara terhadap rakyat, maupun rakyat terhadap negara. Berdasarkan aturan pasal 114 UUD RII, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang menunjukkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat yang berhak menentukan nasibnya sendiri dalam koridor demokrasi. Selain menegaskan bentuk pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, tanpa mekanisme partai, pasal 114 juga menegaskan periode kekuasaan Presiden yang dibatasi hanya empat tahun dan hanya bisa menjabat maksimal dua periode berturut-turut, jika terpilih pada periode kedua. Pasal 122 UUD RII menyebutkan bahwa presiden mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada rakyat, Rahbar dan parlemen. Pada level pertama, presiden bertanggung jawab langsung terhadap rakyat yang menunjukkan besarnya peran rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. 60

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

Bentuk pertanggungjawaban seorang presiden terhadap rakyat ini diwujudkan dalam sistem pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tanpa mekanisme partai dan pembatasan masa jabatan presiden. Model pemilihan presiden dan pembatasan massa jabatan presiden yang berlaku di Iran jauh berbeda dengan sejumlah negara tetangganya di kawasan Timur Tengah yang kini sedang bergolak dan sebagian sudah terguling. Tumbangnya sejumlah mantan presiden diktator semacam Ben Ali di Tunisia, dan tergulingnya Hosni Mubarak di Mesir yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade dan digulingkan oleh rakyatnya sendiri memberikan pelajaran besar bahwa kekuasaan harus dibatasi dan diawasi, jika tidak akan melahirkan rezim-rezim diktator yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya di atas kepentingan rakyat. Undang-undang dasar Iran menyadari betul realitas tersebut. Belajar dari kepemimpinan monarki despotik yang dijalankan Dinasti Pahlevi, Iran pasca kemenangan revolusi Islam menetapkan pembatasan masa jabatan presiden dan pengawasan yang terbuka, transparan dan aktif yang dilakukan rakyat terhadap presiden. Pada level kedua dan ketiga, pertanggungjawaban presiden kepada Rahbar dan parlemen merupakan mekanisme pengawasan aktif rakyat secara tidak langsung terhadap kinerja presiden. Kesimpulan Dari riset ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemikiran filsafat politik klasik Islam yang ditawarkan Farabi menekankan peran pemimpin adil yang akan membimbing masyarakat menuju kebahagiaan. 2. Sistem Wilayah Faqih yang diterapkan di Iran adalah sistem pemerintahan Republik Islam yang berupaya menyempurnakan kelemahan yang ada pada demokrasi dengan mengadopsi nilai-nilai luhur ajaran Islam. 3. Distribusi kekuasaan dalam pemerintahan Republik Islam Iran membuka pintu selebar-lebarnya dalam partisipasi rakyat di seluruh lapisan masyarakat untuk memantau jalannya proses pemerintahan. Bahkan untuk kelompok minoritas pun ada perwakilannya di parlemen untuk menyuarakan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sama di hadapan hukum dengan yang lain. 4. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dipilih secara demokratis oleh rakyat melalui Majelis Khobregan (Dewan Pakar) yang beranggotakan 80 orang dan dipilih setiap delapan tahun sekali. 61

Hidayat, P. Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi

5. Sistem demokrasi Religius di Iran menerapkan tiga pilar utama yaitu agama, pemimpin dan rakyat yang mengoreksi sistem demokrasi liberal yang diterapkan selama ini di berbagai belahan dunia. Akhirul kalam, simak komentar Muthahhari (1375 Hs) saat menanggapi kalangan yang mempersoalkan sistem demokrasi religius, Kekeliruan mereka yang membenturkan konsepsi keislaman dengan spirit demokrasi disebabkan karena konsepsi demokrasi yang mereka yakini hanya berkutat pada hak-hak manusia dalam urusan kesejahteraan material seperti sandang, pangan dan papan. Padahal lebih dari itu, manusia membutuhkan sebuah sistem yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan maknawi dan puncak kemanusiaan. Inilah sistem politik yang menempatkan manusia pada kemanusiaannya, bukan robot bernyawa yang hanya mengejar pemenuhan kebutuhan material saja. Daftar Pustaka Abd Wahid, (tt) Mabadi Ara Ahl al-Madinah, 35 Akhatar, Shahr (1390 Hs) Taoziee Ghodrat dar Sakhtar-e Jumhouri Islami-ye Iran. Tehran: Farsnews Agency Bashariah, Hossein (1385 Hs), Dibache-I bar Jameeh Shenasi Siyasi Iran. Tehran: Negah Nou Barataalapour, Mahdi (1385 Hs) Imam Khomeini va jameeh Madani, Tehran: Muasasah Tanzim va nashr asar Imam Khomeini Ghanon Asasi Jomhouri Islami Iran, (1382 Hs) Qom: Jamal Publication Haghighat, Sayyed Sadigh, (1381 Hs) Tauzie Ghodrat dar Andisheye Siyase-e Shiah, Tehran: Hasti Nama Hefner, Robert W (2000). Islam, Pasar dan Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi. Yogyakarta: LKiS Khomeini, Ruhullah (1375 Hs) Wilayat-e Faqih: Hukumat-e Islami, Qom: Muasasah Tanzim va nashr asar Imam Khomeini Khomeini, Ruhullah (1370 Hs), Sahifeh-ye Noor, jilid III, Tehran: Muasasah Tanzim va nashr asar Imam Khomeini Khosro Panah, Abdol Hossein, (1385 Hs) Falsafeh-Haye-Mozaf, Tehran: Pazouhesghah Farhang va Andisheh Islami Lakzayi, Sharif, (1385 Hs) Barasi Tatbighi Nazarieh-haye Vilayat-e Faghih, Qom: Pazouheshgah Olom va Farhang Islami Moalimi, Hassan (1385 Hs) Tarikh falsafe Islami, Qom: Intisharat Markaz jehani Olom Islami Monika, Fika, (2009) Mengkritisi Demokrasi dan Demokratisasi: sebuah Upaya Introdusir Sistem Politik Islam, Jakarta: 62

Jurnal Al-Qurba 2(1):49-63, 2011

Program Pasca Sarjana, Kajian Strategis Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia Motahari, Morteza (1375 Hs) Piramon-e Enghelab Islami, Qom: Sadra Mouminqomi (1384 Hs), Muhammad, Houkumat Hakimaneh: Naqhd Nazarieh Hikmat va Hokoumat, Qom: Misagh Muasasah Tanzim va Nashr Imam Khomeini (1388 Hs) Khodbavari va Khodkafaei az Didghah Imam Khomeini. Tehran: Muasasah Tanzim va Nashr Imam Khomeini Muasasah Tanzim va nashr Imam Khomeini (1387 Hs) Ravabit Bainal Milali az Didghah Imam Khomeini. Tehran: Muasasah Tanzim va Nashr Imam Khomeini Muhadjir, Noeng (2000) Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rakesarasin Soleh, Achmad Khudori (2007) Pemikiran Politik al-Farabi. Malang: Jurnal Psikoislamika, fakultas Psikologi UIN Malang, Vo.IV/no.2 Juli 2007. Suseno, Frans Magniz (1994) Etika Politik. Jakarta: Gramedia Yasrebi, Yahya (1388 Hs) Tarikh Tahlili-Intighadi Falsafe Islami, Tehran: Sazman Intisharat Pazouheshgah Farhang va Andisheh Islami Situs Asing Turut Campur Pembuatan Undang-Undang, Beritasatu.com 16 Agustus 2010. Political Marketing: Memangkas Harga Mahal Demokrasi melalui Public Policy Management, www.politikana.com. 28 Mei 2011.

63

Anda mungkin juga menyukai