Anda di halaman 1dari 7

Dari Mana Datangnya Presiden?

-Perbandingan Indonesia dan Amerika Serikat-

Pemilu sudah di ujung mata. Walaupun pemilu legislatif (pileg) lebih duluan,
tetapi pemilu presiden (pilpres) tampaknya lebih besar gaungnya, lebih hot, dan
lebih mengundang spekulasi.
Itu wajar saja. Pileg memilih 12 parpol dan lebih 500 orang wakilnya untuk
menduduki kursi DPR di Senayan. Pilpres hanya memilih satu orang, Sang
Nahkoda Republik, untuk menduduki satu kursi kekuasaan tertinggi eksekutif.
Satu orang. Satu tokoh di Istana Merdeka, dengan kekuasaan pemerintahan yang
secara potensial mampu menentukan apakah Indonesia akan tumbuh gilang-
gemilang di masa depan, atau sebaliknya, terpuruk dan gamang dalam era global
ini.
Sebenarnya, sampai sekarang belum ada kandidat yang dapat dikatakan sebagai
calon presiden (capres). Yang ada barulah “balon” presiden, bakal calon presiden.
Resminya, capres baru muncul sesudah pemilu legislatif. Ia harus mendapat
dukungan dari satu atau gabungan partai yang memperoleh minimal 25 persen
suara nasional atau 20 persen kursi DPR. Melihat fakta fragmentasi politik dalam
masyarakat, persyaratan ini akan menjadi alat penyaring yang ampuh. Sebagian
besar partai akan gigit jari, tidak akan mampu memiliki capresnya sendiri. Yang
akan muncul paling-paling dua atau tiga capres resmi dari partai-partai besar yang
ada.
Tetapi semua itu tidak mengurangi antusiasme untuk menjadi balon-balon
presiden. Cukup banyak tokoh yang kini sedang berusaha meningkatkan
popularitas dan menaikkan elektabilitasnya, mengatur strategi agar bisa menjadi
kandidat capres papan atas. Dari situ, tinggal selangkah lagi bagi Sang Kandidat
untuk melaju ke Istana Merdeka.
Dari segi jumlahnya, lumayan banyak tokoh yang kini muncul. Hampir setiap
partai mempunyai satu atau lebih nama balon presiden. Bahkan salah satu partai
muncul dengan 10 nama, yang kini bersaing dalam konvensi. Balon presiden ini
datang dari berbagai latar belakang. Ada jenderal purnawirawan, ada anggota
parlemen, menteri dan mantan menteri kabinet, gubernur, mantan hakim,
diplomat, pengusaha, investment banker, pemilik media, akademisi, bahkan artis
dan penyanyi. Siapa di antara mereka yang akan muncul sebagai capres betulan?
Siapa di antara mereka yang akan menjadi Presiden RI ke-7? Kita tunggu tanggal
mainnya.
Dari segi latar belakang atau asal-usul presiden kita, ada beberapa hal yang bisa
dikatakan. Bung Karno adalah seorang insinyur, aktivis, dan seniman sekaligus.
Pak Harto, jenderal dan akrab dengan dunia petani. Presiden Habibie, insinyur,
profesor, mantan manajer perusahaan besar Jerman, serta mantan menteri kabinet.
Gus Dur, ulama besar, budayawan, penulis, aktivis, mantan pendiri partai, dan
bisa juga disebut humoris. Ibu Megawati, mantan anggota parlemen, aktivis, ketua
umum partai, dan mantan wapres. Pak SBY, jenderal, mantan menteri kabinet,
dan pendiri partai.
Enam presiden dengan beragam latar belakang yang berbeda. Polanya belum
terlalu kelihatan, mungkin karena masih terlalu sedikit, maklum Indonesia masih
muda, baru 68 tahun.
Karena itu, mungkin menarik jika Indonesia kita bandingkan dengan Amerika
Serikat yang telah berusia 237 tahun. Siapa tahu kita akan mendapat gambaran ke
depan tentang tokoh-tokoh yang akan memimpin negeri kita.
Negeri Paman Sam telah memiliki 44 presiden. Kecuali beberapa kasus, semua
Presiden AS terpilih dalam pilpres secara langsung, lewat perwakilan electoral
college yang agak sedikit rumit. Semuanya juga dicalonkan partai politik, kecuali
Presiden George Washington, sebagai Presiden AS yang pertama. Pemilihan
Bung Karno sebagai presiden mirip dengan George Washington: keduanya
dianggap sebagai Bapak Pendiri Bangsa, dan karena itu, sewaktu pemerintahan
pertama terbentuk pasca-revolusi, keduanya tidak perlu berjuang merebut atau
berkompetisi lewat pemilu dalam bentuk apapun, tetapi diminta, dimohon, atau
didorong untuk menduduki posisi terhormat tersebut.
Pada masa-masa awal, presiden AS datang dari generasi founding fathers, tokoh-
tokoh yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, perumusan
konstitusi, serta diplomasi luar negeri melawan Inggris. Setelah George
Washington, posisi terhormat itu berturut-turut diduduki oleh John Adams,
Thomas Jefferson, dan James Madison. Selain pejuang kemerdekaan, perumus
konstitusi dan politisi, tokoh-tokoh awal ini juga dikenal luas sebagai intelektual,
filsuf, natural scientists, pengacara, dan penulis yang cemerlang.
Dari segi ini, sejarah AS agak mirip juga dengan sejarah kita: Bung Karno, Hatta,
Sjahrir, Agus Salim, dan banyak lagi yang layak disebut sebagai the Indonesian
founding fathers: mereka adalah kaum intelektual, pemikir dan penulis yang
piawai (dalam soal ini, karena tulisannya yang mengalir, tajam, dan dengan
kalimat-kalimat yang mudah dimengerti, Bung Karno adalah primus interpares di
antara mereka. Kalau tidak menjadi presiden, atau kalau tidak terlalu sibuk
membidani lahirnya sebuah bangsa, tokoh asal Blitar ini pasti bisa menjadi
penulis lebih banyak lagi buku yang cemerlang).
Bedanya adalah, kursi kekuasaan terlalu lama diduduki oleh presiden pertama dan
presiden kedua kita. Kalau George Washington hanya 8 tahun menjadi presiden
dan John Adams hanya 4 tahun, masa kekuasaan Bung Karno dan Pak Harto
secara berurutan berlangsung praktis hampir setengah abad. Akibatnya adalah,
tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya tidak sempat menduduki jabatan tersebut.
Hatta hanya sempat menjadi wapres. Memang, ada beberapa yang menjadi
perdana menteri (posisi tertinggi eksekutif waktu itu), seperti Sjahrir. Tapi karena
pergolakan politik zaman itu, posisi ini hanya diduduki secara singkat, bahkan ada
yang memimpin hanya dalam hitungan bulan.
Kembali ke soal latar belakang dan asal-usul presiden, sosok yang juga cukup
dominan di AS adalah para jenderal dan pahlawan perang, baik perang
kemerdekaan, perang saudara, perang di perbatasan, maupun perang dunia.
George Washington adalah jenderal perang, disusul oleh Andrew Jackson,
William Harrison, dan Ullyses S. Grant. Tokoh terakhir ini adalah jenderal besar
yang membantu Presiden Abraham Lincoln menaklukkan pemberontakan negara-
negara bagian di selatan yang terus berusaha mempertahankan sistem perbudakan.
Grant kemudian menjadi sangat populer dan terpilih menjadi presiden AS pada
pemilu 1868.
Di abad ke-20, jenderal terkenal dan paling dicintai rakyat AS yang kemudian
menjadi presiden adalah Dwight D. Eisenhower, panglima tertinggi sekutu yang
berhasil mengalahkan Hitler dan menaklukkan Eropa. Rupanya, keterlibatan
dalam perang, baik sebagai prajurit biasa maupun perwira menengah, juga
menjadi daya tarik tersendiri bagi publik AS. John F. Kennedy adalah perwira
menengah di US NAVY, angkatan laut AS, dan dianggap sebagai pahlawan muda
yang heroik dalam Arena Perang Pasifik melawan Jepang. Jimmy Carter pernah
bertugas sebagai perwira kapal selam nuklir. George HW. Bush adalah penerbang
tempur dalam Perang Dunia II.
Daftar seperti ini masih bisa diperpanjang lagi. Tapi esensinya adalah, keterlibatan
dalam perang, karir militer, serta heroisme dalam membela negara adalah resume
yang penting bagi seseorang untuk menapak tangga politik hingga ke puncak.
Dalam hal ini, barangkali Indonesia juga hampir sama. Pak Harto dan Pak SBY
adalah jendral yang dalam masa mudanya pernah terlibat dalam perang. Pak Harto
dalam perang perjuangan, Pak SBY dalam perang di Timor Timur. Sekarang pun,
dari banyak balon presiden yang ada, sebagian berlatar belakang militer (Wiranto,
Prabowo Subianto, dan Pramono Edhi Wibowo). Apakah latar belakang militer
sekarang ini masih memiliki daya tarik yang kuat di masyarakat kita seperti pada
zaman Pak Harto dulu? Wallahu a’lam bissawab.
Selain militer dan perang, latar belakang yang juga menonjol di Negeri Paman
Sam adalah profesi hukum dan pengacara. Mayoritas presiden AS pernah
berprofesi sebagai pengacara atau meniti karir di dunia hukum, sejak Thomas
Jefferson, Abraham Lincoln, sampai Bill Clinton dan Barrack Obama. Profesi
hukum tampaknya menjadi modal besar untuk mengetahui berbagai seluk beluk
ketatanegaraan. Ia juga menjadi arena yang tepat untuk melatih kemampuan
seseorang dalam berdebat, menyajikan argumen yang tajam dan trengginas dalam
mempengaruhi pikiran orang lain. Karena itu, profesi ini sering dijadikan sebagai
pintu masuk ke dunia politik, mulai di tingkat lokal, sampai tingkat nasional.
Di luar itu, profesi dan latar belakang lainnya adalah dunia akademis, seperti
Woodrow Wilson, guru besar ilmu tata negara dan rektor universitas paling
bergengsi di AS, Princeton University (tempat Albert Einstein mengajar dan
menghabiskan sisa hidupnya).
Di Indonesia, profesi hukum dan karir di universitas memang belum menjadi latar
belakang yang menonjol dari balon-balon presiden yang ada. Mungkin karena
usia sistem demokrasi kita masih muda. Dari tokoh-tokoh yang ada, hanya dua
nama yang mengemuka, yaitu Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
dan akedemisi dari UII Jogja, serta Anies Baswedan, Rektor Universitas
Paramadina. Kita tunggu kiprah dan langkah keduanya dalam menapak karir
politik sampai ke puncak. Barangkali bukan untuk pemilu kali ini, tapi untuk
pemilu pada lima tahun berikutnya.
Di AS, menjadi anggota parlemen, baik di kongres maupun di senat, adalah salah
satu jalan yang efektif untuk menjadi presiden. Umumnya presiden AS pernah
menjadi anggota parlemen, termasuk Presiden Obama. Posisi sebagai anggota
parlemen memberi kesempatan kepada seseorang untuk dikenal publik,
membangun dukungan politik, serta menguasai masalah-masalah pemerintahan.
Indonesia tampaknya demikian pula. Ibu Megawati pernah menjadi anggota
parlemen. Pak SBY juga sempat duduk sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR.
Banyak dari balon presiden kita sekarang adalah anggota atau mantan anggota
parlemen, seperti Hatta Rajasa, Suryadharma Ali, Anies Matta, Hidayat Nur
Wahid, Marzuki Alie, Hayono Isman.
Tren lain yang juga mulai muncul di negeri kita yang sudah menjadi tren umum di
AS adalah pentingnya karir sebagai gubernur. Posisi gubernur di AS adalah salah
satu anak tangga terbaik untuk sampai ke Gedung Putih. Dari enam presiden yang
terakhir, empat di antaranya adalah mantan gubernur: Jimmy Carter (Georgia),
Ronald Reagan (California), Bill Clinton (Arkansas), dan George W. Bush
(Texas).
Dengan menjadi gubernur, seorang tokoh dapat membangun rekam jejak yang
positif dalam pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan kehidupan orang
banyak. Selain itu, karena dipilih langsung, tokoh tersebut sudah terlatih dalam
mengikuti pemilu. Walaupun di tingkat lokal atau regional, pengalaman seperti ini
jangan dianggap remeh. Ia memberikan kepekaan tertentu, melatih seseorang
untuk mengerti apa dan bagaimana merebut hati pemilih, teknik, cara, dan gaya
berbicara yang mudah dipahami oleh rakyat kebanyakan. Singkatnya, dengan
menjadi gubernur, seorang tokoh telah lulus melewati ujian untuk berkompetisi
secara terbuka serta, sebagai hasilnya, memperoleh panggung dan kesempatan
untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang baik dan berhasil.
Tidak heran jika posisi gubernur di Indonesia juga sudah mulai menjadi modal
besar untuk sampai ke Istana Merdeka. Walaupun masih perlu dibuktikan, namun
beberapa nama kini sudah mulai muncul. Sinyo Sarundayang, Gubernur Sulawesi
Utara, adalah salah satu peserta Konvensi Partai Demokrat. Gubernur lain, seperti
Sukarwo (Jatim), Ganjar Pranowo (Jateng), Ahmad Heryawan (Jabar), Syahrul
Yasin Limpo (Sulsel), Alex Noerdin (Sumsel) telah mengisi daftar baru calon-
calon pemimpin nasional, kalau tidak sekarang mungkin di masa-masa
mendatang.
Tentu saja, bintangnya para gubernur sekarang adalah Jokowi, Gubernur Ibukota
RI. Secara tak terduga, dalam waktu relatif singkat, ia melejit dalam berbagai
survei presiden. Ia kini menduduki posisi teratas. Walaupun belum benar-benar
terbukti sebagai gubernur yang berhasil, banyak orang kini menunggu, apakah ia
akan sampai ke puncak gunung? Akankah ia mendapat boarding pass untuk
menjadi capres? Jawabannya ada di tangan Ibu Megawati. To be or not to be!
Apakah dari tangan putri Bung Karno ini akan lahir gubernur pertama yang
menjadi presiden RI? Apakah fenomena Jokowi hanyalah fenomena kaum
selebritas, yang gampang naik tetapi gampang pula turun begitu saja dalam waktu
cepat? What goes up must come down eventually? Sejarah sedang berputar, kita
tunggu saja jawabannya dalam waktu dekat ini.
Jalan lain untuk menjadi presiden yang juga mulai tampak menonjol di Indonesia
adalah sebuah jalan baru, yaitu profesi dan latar belakang sebagai pengusaha
sukses. Di Amerika Serikat sudah cukup lama pengusaha dan keluarga pengusaha
besar mengisi deretan nama tokoh politik berpengaruh, termasuk jabatan presiden.
Franklin D. Roosevelt, salah satu presiden AS yang dianggap paling berhasil,
berasal dari keluarga pengusaha papan atas. Demikian pula John F. Kennedy dan
keluarga Bush.
Selain memiliki modal besar untuk kampanye dan membangun jaringan nasional,
tokoh yang sukses dalam dunia usaha biasanya memiliki karakter yang kuat,
kemampuan yang sudah teruji dalam memimpin banyak orang, kreatif merebut
peluang, serta mengerti bagaimana mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.
Dengan kualitas pribadi seperti ini, tidak heran jika banyak di antara mereka juga
mudah meraih sukses di bidang lain, termasuk dalam bidang politik.
Bintang-bintang baru politik Indonesia banyak yang berasal dari latar belakang
ini. Aburizal Bakrie (ARB), Jusuf Kalla, Surya Paloh, Dahlan Iskan, Harry Tanoe,
Chairul Tanjung, Gita Wiryawan, Rusdi Kirana adalah beberapa nama yang kini
menghiasi daftar panjang tokoh politik nasional. Sebagian dari mereka sudah
menjadi balon presiden. Pak Kalla sendiri sudah pernah menjadi capres dalam
Pemilu 2009, setelah sebelumnya menjadi wapres di bawah Pak SBY.
Siapa di antara mereka yang akhirnya sampai ke Istana Merdeka? Presiden yang
enterpreneur, usahawan sukses yang memimpin mesin pemerintahan: akankah
Pilpres 2014 menjadi tonggak sejarah baru bagi dunia usaha di Indonesia?
Begitu banyak pertanyaan menarik. Tren baru, gejala baru, tokoh-tokoh baru,
semangat baru, serta sejumlah teka-teki baru. Itu baru perbandingan dan telaah
latar belakang menurut pengalaman, profesi, keahlian, dan pekerjaan capres atau
balon presiden yang ada. Kalau kita tarik perbandingan Indonesia-AS ke aspek
lain lagi, katakanlah dalam soal minoritas-mayoritas etnis, suku atau agama, maka
banyak hal yang juga penting dan tidak kalah menariknya, tetapi sudah terlalu
panjang untuk dijelaskan secara lengkap dalam tulisan ini.
Katakanlah dalam aspek kesukuan, agama, atau latar belakang kultural. Kennedy
menjadi presiden pertama di AS yang beragama Katolik, warga minoritas.
Demikian pula Obama dalam soal warna kulit, sebuah persoalan panjang di AS
yang pelik, rumit, dan berdarah. Kedua presiden ini menjadi tokoh historis antara
lain karena mereka menjadi semacam tonggak peralihan yang menandakan bahwa
transformasi yang lebih baik, lebih toleran dan lebih majemuk, telah terjadi dalam
masyarakat.
Dalam hal tertentu, barangkali kita bisa berkata bahwa Indonesia lebih beruntung.
Kennedy dan Obama muncul setelah demokrasi AS berjalan dua abad. Habibie,
yang bukan berasal dari suku Jawa yang mayoritas, telah menjadi presiden saat
demokrasi Indonesia justru baru melangkah. Tentu saja, Habibie tidak dipilih
langsung oleh rakyat, jadi ia bukan ukuran yang sempurna. Tapi fakta bahwa
orang Jawa tidak melancarkan protes kesukuan di bawah pemerintahan Habibie
yang singkat itu menandakan suatu hal yang cukup membesarkan hati.
Fakta lain yang mungkin lebih penting adalah munculnya begitu banyak balon
presiden yang secara kultural betul-betul mewakili spektrum ke-Indonesia-an
yang hampir sempurna. Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, dan Surya Paloh dari
Sumatera, Jusuf Kalla dan Sinyo Sarundayang dari Sulawesi, Harry Tanoe dari
kelompok keturunan China. Daftar ini masih dapat diperpanjang kalau kita
meluaskan kategori kepemimpinan dalam bidang yang lebih luas.
Tentu saja, sekali lagi, kita belum tahu siapa di antara mereka yang akan
mencapai bintang di langit. Tapi terus terang, kalau memikirkan soal itu, kalau
melihat fakta-fakta yang memperlihatkan bahwa pluralisme Indonesia terus
berkembang di tengah demokrasi kita yang masih sangat belia ini, maka selalu
terbersit perasaan bangga di hati saya. I am proud to be an Indonesian.
Mudah-mudahan perkembangan yang baik semacam itu terus berlangsung dengan
cakupan yang lebih luas lagi. Dalam lagu Dari Sabang Sampai Merauke ada
penggalan yang terus kita ingat: “sambung menyambung menjadi satu, itulah
Indonesia…” Dalam soal variasi dan latar belakang kepemimpinan, nampaknya
semangat di balik lagu tersebut terus menjadi inspirasi kebangsaan yang
berkembang semakin baik.
Harapan kita adalah, selain latar belakang yang semakin baik, kualitas tokoh-
tokohnya pun demikian pula. Semakin plural, semakin toleran, tetapi juga
semakin maju dan berkembang: itulah tujuan besar yang kita dambakan.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata John Adams, Presiden AS ke-2,
yang terukir di atas perapian di Gedung Putih: “Saya berdoa agar Allah Yang
Maha Kuasa melimpahkan karunia-Nya atas gedung ini dan semua orang yang
akan menempatinya. Semoga hanya orang-orang yang jujur dan bijaksana yang
memerintah di gedung ini.”
Doa yang sama juga kita panjatkan bagi semua penghuni Istana Merdeka kita.
Amin.

27 Februari 2014
*) Andi Mallarangeng Doktor Ilmu Politik Lulusan Northern Illinois
University, DeKalb, Illinois, AS.

Anda mungkin juga menyukai