Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan

pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3 Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6 Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat). Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (pesta

minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat. Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik

tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis. Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan

hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sistem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor. Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7 Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan persiapan preoprasi, intraoprasi dan postoperasi..

BAB II PEMBAHASAN 2.1.Diabetes Melitus? DEFINISI DIABETES MELITUS Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2005, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Faktor risiko terjadinya diabetes adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2. Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.11,12 KLASIFIKASI12 Tabel klasifikasi etiologis DM Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut: Autoimun Idiopatik

Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain

Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pancreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes melitus gestasional

Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)13 Bukan DM Belum DM Kadar Glukosa Darah Sewaktu Kadar Glukosa Darah Puasa Plasma vena Darah kapiler Plasma vena Darah kapiler (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2006) Kriteria Diagnosis DM: 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl <90 90-199 >100 <100 100-199 > 126 <90 90-199 > 200 <100 100-199 > 200 Pasti DM

atau 3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl 2.3. Patofisiologi Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbedabeda, yang terkecil adalah 50. sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 . Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel yang mensekresi insulin , dan sel-sel yang membuat somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butirbutir diantara sel-sel . Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor adrenergik.5,9 Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I

dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9 Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Dianggap bahwa kegemukan akan :


Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor - Transport glukosa berkurang - Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa: - Bertambahnya penimbunan lemak - Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh - Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak) - Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9 Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi. Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9

PENATALAKSANAAN11,12,13 Tujuan : 1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati,

mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM. 3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. 4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Langkah-langkah penatalaksanaan penyandang diabetes: 1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi: Riwayat penyakit o gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu termasuk A1c, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM o pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan o riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda o pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap o pengobatan yang sedang dijalani o riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi,

hipoglikemi) o riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis o gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik o faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan riwayat penyakit keluarga Pemeriksaan fisik o Pengukutan TB dan BB o Pengukuran tekanan darah o Pemeriksaan funduskopi o Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid o Pemerksaan jantung o Evaluasi nadi secara palpasi maupun engan stetoskop o Emeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari o Pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis o Tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain. Evaluasi laboratoris/penunjang lain o Glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP) o A1c o Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) o Kreatinin serum

o Albuminuri o Keton, sedimen dan protein dalam urin o Eletrokardiogram o Foto sinar-x dada Tindakan rujukan o Ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut o Konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif o Konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi o Konsultasi dengan edukator diabetes o Konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau spesialis lain sesuai indikasi 2. Evaluasi medis secara berkala Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam sesudah makan sesuai dengan kebutuhan Pemeriksaan A1C dilakukan setiap 3-6 bulan Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan: o jasmani lengkap o mikroalbuminuri o kreatinin o albumin/globulin dan ALT o kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida o EKG o foto sinar-x dada o funduskopi

Pilar utama pengelolaan DM : Edukasi - Perencanaan makan - Latihan jasmani - Obat-obatan Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2 Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit menghambatnya.12

Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan kelainan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pancreas, baru akan terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria DM.11,12,13 Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola DM tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut seperti: Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati Kenaikan produksi glukosa oleh hati Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas

Macam-macam obat anti hiperglikemik oral 1. Golongan insulin sensitizing Biguanid Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%. Efek samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak digunkaan apada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin >1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada lansia.11,12,13 Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa

oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh. Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak menyebabkan hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik bisa terjadi akibat pengaruh sulfonilurea. Pada keadaan tunggal metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan sulfonilurea. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal. Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan kadar glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi insulin dengan metformin lebih baik daripada hanya insulin saja. Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal metformin dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga ber[pengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan darah dan plasminogen activator inhibitor (PAI-I). Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone. Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk

sebanding dengan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid, maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan DM pada orang gemuk dengan dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila monoterapi tidak berhasil, dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.

Glitazone Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo. Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di dalam jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia (GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll. Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.

2. Golongan sekretagok insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid. Sulfonilurea Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan DM dimulai. Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin. Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan

merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.Golongan ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersmpan. Karena itu hanay bermanfaat pada pasien yang masih dapat mengeluarkan insulin. Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan asupan makanan yang kurang dan jika digunakan bersama obat sulfa. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%) daripada glukosa setelah makan (21%). Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi. Bila kadar glukosa darah sangat tinggi dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam satu minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa yang cukup bermakna Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi bertahap

setelah 1-2 minggu sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan jam sebelum makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang diberikan satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan porsi besar. Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.

Glinid Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonilurea. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur dengan sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3 x/hari. Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa paruhnya singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.

3. Penghambat alfa glukosida Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat meurunkan penyerapan glukosa dan menurukan hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin. Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpajang peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi respon insulin plasma. Ebagai monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak menyebabkan hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti meteorismus, flatulence dan diare.

Penggunaan

dalam

klinik

bisa

digunakan

sebagai

monoterapi

atau

kombinasidengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk efek maksimal, obat harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi dengan acarbose menurunkan rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20 mg/dl, A1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan lebih banyak A1c sebesar 0,30,5% dan rata-rata glukosa post prandial 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau langerhans pankreas. Isulin dibentuk dari proinsulin yang kemudian distimulasi terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah. b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin juga menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati. c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas sedangkan insulin eksogen adalah insulin yang disuntikka dan merupakan suatu produk farmasi.

Indikasi terapi insulin a. b. Semua orang dengan DM tipe 1. Orang dengan DM tipe 2 tertentu mungkin memerlukan insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah atau bila mengalami stres fisiologis seperti pada tindakan pembedahan. c. Orang dengan DM gestasi membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.

d. e.

Pada DM dengan ketoasidosis. Pasien DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin

f.

Pada pasien DM dengan komplikasi akut berupa koma hiperosmolar non ketotik

Tipe-tipe insulin 4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal kerja, puncak kerja dan lama kerjanya: Sediaan insulin Awal kerja (jam) Insulin analog, kerja sangat cepat (ultra-rapid-acting) Insulin glulisin (Apidra) Insulin aspart (Novo rapid) Insulin lispro (Humalog) Insulin kerja menengah (intermediate-acting) NPH Insulatard Humulin N Insulin kerja pendek (short-acting) Reguler (Human) Humulin R/actrapid Insulin kerja panjang (long-acting) Insulin glargine (lantus) Insulin detemir (levemir) 1-3 1-3 Tanpa puncak 0,5-1 2-3 1,5-4 4-10 0,2-0,5 0,2-0,5 0,2-0,5 0,5-2 0,5-2 0,5-2 Puncak kerja (jam) Lama kerja

Insulin campuran Kerja cepat dan menengah 70% NPH/30% reguler (Mixtard, 0,5-1 Humulin 70/30) 70% NPH/30% analog rapid (Novomix) 0,5-1 3-12 3-12

Memulai alur pemberian insulin Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Pada pasien ini terapi yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel untuk mencapai kendali kadar glukosayang baik. Selain itu pemberian bisa juga dilakukan dengan pompa insulin. Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006, sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1c>6,5%) dalam jangka awaktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin.

2.2. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien ini sebelum operasi Pemeriksaan penunjang yang umum harus dilakukan sebelum dilakukan operasi dan teknik anastesi adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan elektrokardiogram pada pasien yang berusia diatas 50 tahun.3 Karena pada pasien terdapat riwayat diabetes mellitus maka diperlukan pemeriksaan darah lengkap terutama GDS, ureum, creatinin. 2.3. Anastesi regional dan teknik anastesi spinal Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus pituitary adrenal, sementara anetesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.3

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.3,6 Pembagian anestesi regional yaitu : a. Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan. Neuroaksial blok akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris ( tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi lokal). b. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intraven dan lain lain. Keuntungan anestesi regional antara lain Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relative lebih murah, Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh) karena penderita sadar, Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi, Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anastesi dan Perawatan post operatif lebih ringan. Sedangkan kerugian anestesi regional antara lain tidak semua penderita mau dilakukan anastesi secara regional, membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit diterapkaan pada anak anak, tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional dan terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.8 Persiapan anestesi regional Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yang bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi. Misalnya obat anestesi spinal/ epidural masuk ke pembuluh darah maka akan terjadi kolaps kardiovaskuler sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan anastesi umum3,6,8. Anastesi spinal

Anestesi spinal adalah pemberian obat anetetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis subkutis ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum ligamentum flavum ruang epidural durameter ruang subarachnoid.3,6,8

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis diikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/ analgesi spinal dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.3,6,8 Indikasi anastesi spinal antara lain bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rectum perineum, bedah obstetric ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum ringan. Sedangkan kontra indikasinya terdiri atas kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relative. Untuk kontra indikasi absolut antara lain pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia berat (syok), koagulapatia atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial meningkat, fasilitas resusitasi minim dan kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Kontra indikasi relative antara lain infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri punggung kronik.3,6,8

Persiapan analgesia spinal Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal hal dibawah ini 3: - Informed consent : kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anastesi spinal. - Pemeriksaan fisik : untuk mengetahui adanya kelainan tulang punggung. - Pemeriksaan laboratorium : Hb,Ht,PT(protrombin time), PPT ( Partial Tromboplastin Time)

Peralatan analgesia spinal - Peralatansi monitor : tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll - Peralatan resusitasi - Jarum spinal yaitu jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil point whitecare)

Anastetik lokal untuk analgesia spinal Berat jenis cairan serebrospinal pada 37 derajat selsius adalah 1.003 1.008. anastetik local dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal

dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.5 Anestetik lokal yang paling sering digunakan : 1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20 100mg 92-5ml). 2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7,5% : berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20 50 mg (1-2ml). 3. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam air : berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5 20mg (1-4ml). 4. Bupivakaine (markaine) 0,5% dalam dextrose 8,25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml).

Teknik analgesia spinal Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.3,5 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, missal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1 L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol. 4. Beri anestesi lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (quincke-babcock) irisan jarum (bevel) harus

sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas dan kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dimasukkan pelan pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Bila yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,maka putar arah jarum 90 derajat dan biasanya likuor akan keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter. 6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum flavum dewasa 6 cm.

2.4. Premedikasi apa yang seharusnya dilakukan pada pasien Premedikasi menurut tinjauan pustaka adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya3 : 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan 2. Memperlancar induksi anesthesia 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik 5. Mengurangi mual muntah pasca bedah 6. Menciptakan amnesia 7. Mengurangi isi cairan lambung 8. Mengurangi refleks yang membahayakan Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Maka dari itu ,pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat operasi dan pengobatan yang dapat berpengaruh terhadap anastesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik tertentu)5.

Karena pada pasien tersebut, pasien dalam keadaan tenang, tidak cemas dan kooperatif maka tidak diperlukan pemberian premedikasi untuk menghindari kecemasan. Akan tetapi,menurut tinjauan pustaka untuk mengurangi mual

muntah pasca bedah dapat ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5 5mg atau ondansetron 2-4 mg. Maka sebaiknya pada pasien ini diberikan premedikasi untuk menghindari muntah pasca pembedahan.2 2.5. Pengaruh Anastesi pada Pasien Dengan diabetes mellitus

Efek pembedahan dan pembiusan pada metabolisme Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada

pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh: 1. Sepsis 2. Neuropati autonomik 3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer) 4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7 Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7

Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7 Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi

sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8 Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu

ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi

insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7 Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regional pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

2.6. Obat obat anastesi apasaja yang berpengaruh pada pasien diabetes melitus?

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4 Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah

kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7 Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7 Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamikpituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7 Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;

pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan hiperglikemia, gula darah.4,6,7 Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan insulin dalam merespon

tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama

anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar

untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7 Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7 Obat anastesi yang digunakan pada pasien ini diantaranya : - Bupivakain ( Marcaine, seorcaine) Bupivakain merupakan obat anestetik lokal kerja panjang yang biasanya digunakan untuk blok saraf, persalinan dan dalam anestesi regional. Bupivakain merupakan kelompok amino amida yang merupakan anaestesi lokal yang menghambat generasi dan konduksi impuls saraf.2,3 Indikasi dan penggunaan bupivakain yaitu untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf, epidural dan intratekal anestesi. Bupivakaine sering diberikan melalui suntikan epidural sebelum artroplasti pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa dan fentanil untuk epidural.2,8 Kontra indikasi penggunaan bupivakaine yaitu pada pasien dengan alergi terhadap obat golongan amino amida dan anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut, hati hati terhadap pasien dengan gangguan hati, jantung, ginjal, hipovolemik, hipotensi dan pasien usia lanjut.

Farmakologi Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik nyeri suhu raba propriosepsi- tonus otot skelet. Awitan aksi cepat wajar dan lamanya secara bermakna lebih panjang daripada dengan anestetik lokal lain yang lazim digunakan. Penambahan epinefrin memperbaiki kualitas kualitas analgesia tetapi hanya meningkatkan lama efek konsentrasi bupivakaine 0,5% secara marginal. Hipotensi disebabkan oleh hilangnya tonus simpatik seperti pada anestesi spinal atau epidural. Dibandingkan dengan amida lain contohnya lidokain atau mepivakain, suntikan intravascular dari bupivakain lebih banyak berkaitan dengan kardiotoksisitas. Keadaan ini disebabkan oleh pemulihan yang lebih lambat akibat blokade saluran natrium yang ditimbulkan bupivakaine dan depresi kontraktilitas dan hantaran jantung yang lebih besar. Pada kadar bupivakain plasma yang tinggi timbul vasokontriksi uterus dan penurunan aliran darah uterus. Kadar plasma seperti ini ditemukan pada blok paraservikal tetapi tidak ditemukan pada blok epidural atau spinal8. Farmakodinamik Bupivakain adalah anestesi lokal yang sering digunakan untuk injeksi spinal pada tulang belakang untuk anestesi total bagian pinggul kebawah. Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung myelin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung myelin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivakain mempunyai lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anestesi lokal lainnya. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toksik pada jantung dan sistem saraf pusat. Pada

jantung dapat menekan konduksi jantung dan rangsangan yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel dan henti jantung dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP seperti gugup, kesemutan disekitar mulut, tinnitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, kejang dan diikuti oleh mengantuk, hilangnya kesadaran, depresi pernafasan dan apneu.2,8 Farmakokinetik Awitan aksi : infiltrasi 2-10 menit, epidural 4-17 menit, spinal. Efek puncak : infiltrasi dan epidural, 30 45 menit ; spinal 15 menit Lama aksi : infiltrasi/epidural/spinal, 200 400 menit (diperpanjang dengan epinefrin); intrapleura, 12 48 jam. Interaksi/ toksisitas : kejang, depresi pernapasan dan sirkulasi timbul pada kadar plasma yang tinggi; bersihan yang menurun pada penggunaan obat obatan penyekat beta dan simettidine secara bersamaan; benzodiazepine, barbiurat dan anestetik volatil meningkatkan ambang kejang; pengurangan dosis diperlukan pada pasien hamil; lama anestesi lokal atau regional diperpanjang oleh obat obatan vasokontriktor (epinefrin), agonis alfa 2 (klonidin) dan narkotik (fentanil); alkalinisasi meningkatkan kecepatan awitan dan potensi anestesi lokal atau regional. Penggunaan kloroprokain epidural sebelumnya mengantagonisir efek bupivakain epidural. Pedoman / peringatan - Tidak disarankan untuk blok paraservikal obstetrik. Obat dapat menyebabkan bradikardi atau kematian janin. - Gunakan dengan hati hati untuk anestesi regional IV. kadar plasma yang tinggi dapat terjadi setelah pelepasan torniket dan menimbulkan henti jantung refrakter dan kematian.

- Konsentrasi di atas 0,5% berkaitan dengan reaksi toksik dan henti jantung refrakter. Konsentrasi seperti ini merupakan kontraindikasi untuk analgesia dan anesthesia obstetric - Sindrom kauda ekuina dengan defisit neurologik yang permanen dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan >15mg larutan bupivakaine 0,75% dengan teknik spinal kontinu. - Akses intravena penting selama blok regional mayor. - Gunakan dengan hati hati pada pasien dengan hipovolemia, gagal jantung kongestif berat, syok dan semua bentuk blok jantung. - Pada blok intravena regional. Kempeskan manset setelah 40 menit dan tidak kurang 20 menit. Antara 20 dan 40 menit, manset dapat dikempiskan, dikembungkan dengan segera dan akhirnya setelah 1 menit dikempiskan untuk mengurangi absorpsi mendadak dari anestetik ke dalam sirkulasi sistemik. - Merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap anetetik lokal tipe amida. - Volume yang disarankan untuk blok pleksus brakialis konsisten dengan data yang ada mengenai kadar plasma (subtotik) setelah blok pleksus brakialis. Risiko toksisitas sistemik dapat dikurangi dengan menambahkan epinefrin pada anestektik lokal dan menghindari suntikan IV, yang dapat menimbulkan reaksi toksik segera. - Kadar bupivakaine plasma toksik ( contohnya, akibat suntikan intravascular aksidental/ kecelakaan) dapat menyebabkan kolaps kardiopulmonal dan kejang. Tanda dan gejala prapemantauan bermanifestasi sebagai rasa tebal dari lidah dan jaringan sirkumoris, rasa logam, gelisah, tinnitus dan tremor. Dukungan sirkulasi ( cairan IV, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1-2mEq/kg untuk mengobati toksisitas jantung (blockade saluran natrium), bretilium IV 5mg/kg) kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler) dan mengamankan

saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100%) merupakan hal yang penting. Thiopental (0,5 2 mg/kgBB IV), midazolam (0,02-0,04 mg/kgBB iv) atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan atau pengobatan kejang.

Efek samping Kardiovaskuler Pulmoner SSP Alergi : hipotensi, aritmia, henti jantung : gangguan, henti pernapasan : kejang, tinnitus, penglihatan kabur : urtikaria, edema angioneurotik, gejala anafilaktoid

Epidural/kaudal/spinal : spinal tinggi, hipotensi, retensi urin, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah, kehilangan kontrol sfingter, sakit kepala, nyeri punggung, kelumpuhan saraf cranial, perlambatan persalinan.

BAB III PENUTUP 4.1.Kesimpulan

Pada kasus ini dapat diambil kesimpulan bahwa teknik anestesi regional spinal memiliki pengaruh pada pasien dengan diabetes mellitus yaitu terutama pasien diabetes yang telah memiliki komplikasi. Anestesia regional memiliki risiko lebih besar pada DM dengan neuropati autonomik Selain itu pembedahan dapat menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,

peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Dan menurut beberapa penelitian ternyata mortalitas dan morbiditas pada pasien diabetes mellitus meningkat dibandingkan dengan pasien normal maka dari itu saat akan dilakukan pembedahan perlu dilakukan pemeriksaan lengkap terutama pemeriksaan laboratorium selain gula darah, diperlukan pemeriksaan ureum dan kreatinin serta elektrokardiogram untuk mengetahui apakah sudah terdapat komplikasi pada pasien tersebut. Komplikasi pasca bedah yg dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus diantranya infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Sedangkan untuk penggunaan obat obat anestesi pada pasien diabetes mellitus harus berhati hati karena beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah dan beberapa obat dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat.

1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in A Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 9951004. 2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671. 3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.

Anda mungkin juga menyukai