Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada dua masalah yaitu penyakit menular yang belum banyak tertangani dan penyakit tidak menular. Perubahan tata nilai kehidupan (perubahan psikososial) yang berpengaruh pada kesehatan banyak dipengaruhi oleh globalisasi, modernisasi, informasi, industrialisasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Sunaryo, 2004). Dispepsia merupakan salah satu penyakit tidak menular. Dalam Konsensus Roma III (2006), dispepsia (uninvestigated dyspepsia) didefinisikan sebagai one or more of the following bothersome postprandial fullness or early satiation, or epigastric pain and/or epigastric burning (salah satu atau lebih dari rasa penuh yang menyusahkan setelah makan, atau cepat merasa kenyang, atau nyeri epigastrium dan atau rasa terbakar di epigastrium). Kriteria tersebut dipenuhi dalam 3 bulan terakhir dengan onset gejala tidak kurang dari 6 bulan sebelum diagnosis (Aro et al., 2009). Dispepsia merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas dan bila tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal (Gustin, 2011). Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum, didapatkan bahwa 1530% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di negara barat, didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis. Angka insiden dispepsia diperkirakan antara 1-8% (Djojoningrat Dharmika, 2006). Di Asia, terdapat 8-30% penderita uninvestigated dyspepsia dan 8-23% penderita dispepsia fungsional. Di Jepang, terdapat pasien uninvestigated dyspepsia yang sesuai dengan Konsensus Roma III sebanyak 10% (Ghoshal et al., 2011).

Dispepsia merupakan masalah kesehatan pencernaan yang paling sering terjadi. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek dokter umum dan 60% pada praktek dokter spesialis bagian pencernaan merupakan kasus Dispepsia (Djojoningrat Dharmika, 2006). Dispepsia sangat berdampak pada pasien dan pelayanan kesehatan, walaupun tidak meningkatkan kematian (Ghoshal et al., 2011). Kebanyakan pasien, gejala dispepsia mempengaruhi kualitas hidup mereka. Pengaruh tersebut dikarenakan masalah yang selalu berulang (sering kambuh) dan adanya keluhan yang kronis yang terkait dengan pengobatan yang hanya mengurangi sebagian dari gejala yang dirasakan. Menurut Jones (2003), beban penyakit dispepsia terhadap kualitas hidup dan ekonomi sangat tinggi. Di Inggris, biaya sosial untuk dispepsia mencapai 1 milyar ($1,46 milyar) dalam satu tahun. Hal tersebut tidak jauh berbeda untuk diagnosis dan penanganan dispepsia di Amerika Serikat. Di Swedia, biaya langsung untuk penanganan dispepsia mencapai 26 juta setahun untuk 8 juta orang dan untuk biaya tidak langsung mencapai 10 kali lipatnya. Hal tersebut diakibatkan adanya rata-rata kehilangan lebih dari 26 hari produktif dikarenakan dispepsia. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menurunkan kualitas hidup. Talley et al (2005), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dari 288 orang dewasa di RS yang menderita dispepsia, yang diikuti selama satu tahun, didapatkan 61% menggunakan obat-obatan untuk mengurangi gejala dan 43% menjalani prosedur gastrointestinal yang mengindikasikan penggunaan yang intensif dari tindakan medis. Faktor psikis dan emosi dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi fungsi saluran cerna, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri. Pasien dispepsia umumnya menderita ansietas, depresi dan neurotik lebih jelas dibandingkan orang normal (Mudjaddid, 2006).

Aspek psikososial dari gangguan fungsional saluran pencernaan, terdiri dari 3 observasi secara umum yaitu bahwa stres psikologis memicu kejadian gejala gastrointestinal, faktor psikososial merubah pengalaman sakit dan cara mencari pelayanan kesehatan, dan gangguan fungsional gastrointestinal merupakan konsekuensi dari keadaan psikososial (Drossman, 2006) Hasil penelitian dari Gustin (2011), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian gastritis pada pasien. Adapun menurut Kaplan et al. (2010), ulkus lambung juga merupakan salah satu bentuk dari gangguan psikosomatik. Pasien dispepsia umumnya menderita ansietas, depresi dan neurotik lebih jelas dibandingkan orang normal (Mudjaddid E, 2006). Kecemasan mayor (skor skala kecemasan dan depresi 11), menurut penelitian Aro et al. (2009), berhubungan secara signifikan dengan kejadian uninvestigated dyspepsia (OR 3,01), dispepsia fungsional (OR=2,56) dan Postprandial Distress Syndrome/PDS (OR=4,35). Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan suatu perubahan emosional yang dialami oleh individu yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis. Hasil dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI (2008) dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Quesioner) menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah untuk Kabupaten Tegal sebesar 7,3% yang menduduki urutan keduapuluhlima dari seluruh kabupaten di Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental emosional meningkat dengan bertambahnya umur, pada perempuan, pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, pada kelompok yang tidak bekerja, di pedesaan dan tingkat pengeluaran perkapita yang lebih rendah. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, selama 3 tahun berturut-turut sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, Gastritis/Tukak Lambung, yang merupakan salah satu jenis dari dispepsia, termasuk dalam 5 besar penyakit di puskesmas di wilayah Kabupaten Tegal. Pada tahun 2011, terdapat sebanyak 8,1% pengunjung puskesmas di wilayah Kabupaten Tegal yang terdiagnosa

Gastritis. Adapun jumlah pasien Gastritis di puskesmas Kabupaten Tegal pada tahun 2009 2011 dapat dilihat pada gambar 1.

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal 2011 Gambar 1. Jumlah Pasien Gastritis di Puskesmas Kabupaten Tegal Tahun 2009 2011 Berdasarkan gambar 1 di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kasus Gastritis di puskesmas Kabupaten Tegal pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 22% jika dibandingkan dengan tahun 2010. Data dari RSUD Dr. Soeselo Slawi, Kabupaten Tegal, menyebutkan bahwa selama 4 tahun berturut-turut dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012, penderita dispepsia berada pada urutan 15 besar penyakit rawat jalan maupun rawat inap. Adapun pada tahun 2012, penderita dispepsia yang menjalani rawat inap menduduki urutan kelima dari penyakit terbanyak rawat inap. Jumlah pasien Dispepsia yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di RSUD Dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal pada tahun 2009 2012 dapat dilihat pada gambar 2.

Sumber : RSUD Dr. Soeselo Slawi, Kabupaten Tegal (2012) Gambar 2. Jumlah Pasien Dispepsia Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal Tahun 2009 2012 Dari gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah kasus Dispepsia di RSUD Dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal pada tahun 2012, jika dibandingkan dengan tahun 2011, terdapat peningkatan kasus penderita Dispepsia sebanyak 53% penderita yang menjalani rawat jalan dan 200% penderita yang menjalani rawat inap. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan stres dengan kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) di Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) berhubungan dengan stres di Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum penelitian yaitu untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) di Kabupaten Tegal.

2. Tujuan khusus penelitian yaitu untuk mengetahui dan menganalisa hubungan kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) dengan stres di Kabupaten Tegal. D. Manfaat 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal Memberikan masukan untuk pengambilan keputusan dalam menyusun kebijakan program-program pelayanan kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kesakitan, khususnya penyakit tidak menular di Kabupaten Tegal 2. Bagi Masyarakat Memberikan informasi tentang kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) yang berhubungan dengan adanya stres, sehingga masyarakat dapat mengelola stres psikologis yang dialami di dalam kehidupannya dengan baik, agar terhindar dari penyakit fisik. 3. Bagi Peneliti Sebagai dasar untuk pengembangan penelitian yang lebih spesifik tentang faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian Dispepsia (Uninvestigated Dyspepsia) di Kabupaten Tegal E. Keaslian Penelitian 1. Khademolhosseini et al (2010), judul penelitian Prevalence of Dyspepsia and its Correlation with Demographic Factors and Lifestyle in Shiraz , Southern Iran. Subyek penelitian adalah 3.600 orang di 17 distric di Shiraz, Iran bagian selatan. Rancangan penelitian adalah studi potong lintang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 592 subyek (29,9%) menderita dispepsia. Terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan (p=0,001), stress psikologis (p=0,001), sakit kepala yang berulang (p=0,001), kecemasan (p=0,001), mimpi buruk (p=0,001), riwayat penyakit gastrointestinal di masa lampau (p=0,001), konsumsi asinan (p=0,004), konsumsi serat (buah dan sayuran) (p=0,035), water pipe (p=0,003), lamanya makan (p=0,004) dan obat Anti Inflamasi Non

Steroid (AINS) (p=0,001) serta gaya hidup sehat (p=0,001) dengan kejadian dispepsia. Persamaan penelitian terletak pada variabel terikat yaitu kejadian dispepsia dan variabel bebas yaitu faktor risiko stres, jenis makanan, merokok, dan konsumsi alkohol. Perbedaan penelitian pada jenis rancangan penelitian yaitu potong lintang dan variabel bebas yaitu faktor demografi dan gaya hidup serta tempat penelitian. 2. Gustin (2011), judul penelitian Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gastritis pada Pasien yang Berobat Jalan di Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukittinggi. Subyek penelitian adalah pasien yang berobat jalan di Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukittinggi, sebanyak 100 orang. Rancangan penelitian adalah potong lintang. Hasil penelitian menunjukkan 30% pasien mengalami gastritis. Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan (p=0,000) dan tingkat stress (p=0,000) dengan kejadian gastritis. Persamaan penelitian terletak pada variabel bebas berupa tingkat stres, merokok, dan kebiasaan makan, serta variabel terikat yaitu kejadian penyakit saluran pencernaan atas. Perbedaan penelitian terletak pada rancangan penelitian yaitu potong lintang dan variabel bebas berupa tingkat pengetahuan serta tempat penelitian. 3. Nwokediuko et al. (2012), judul penelitian Functional Dyspepsia : Subtypes , Risk Factors , and Overlap with Irritable Bowel Syndrome in a Population of African Patients. Subyek penelitian adalah pasien di RS Enugu, Negeria sebanyak 428 orang. Rancangan penelitian menggunakan cross-sectional prospective study. Hasil penelitian menunjukkan 296 pasien (69,1%) menderita dispepsia. Faktor risiko yang berhubungan dengan fungsional dispepsia sub tipe PDS adalah pada perempuan (p= 0,031), bersamaan dengan Irritable Bowl Syndrome/IBS (p<0,0001), alkohol (p<0,0001) dan merokok (p<0,0001). Analisis multivariate yang berhubungan adalah bersamaan dengan IBS (p=0,001) dan alkohol (p=0,004)

Faktor risiko yang berhubungan dengan fungsional dispepsia sub tipe epigastric pain syndrome (EPS) adalah pada bersamaan dengan IBS (p<0,0001). Analisis multivariate yang berhubungan adalah bersamaan dengan IBS (p<0,001). Faktor risiko yang berhubungan dengan fungsional dispepsia sub tipe PDS dan EPS adalah alkohol (p<0,0001) dan merokok (p<0,0001). Analisis multivariate yang berhubungan adalah alkohol (p<0,0001). Persamaan penelitian terletak pada variabel terikat dan faktor risiko. Perbedaan penelitian terletak pada rancangan penelitian, variabel bebas yaitu sub tipe dan bersamaan dengan IBS, dan tempat penelitian. 4. Aro et al. (2009), judul penelitian Anxiety Is Associated With Uninvestigated and Functional Dyspepsia (Rome III Criteria) in a Swedish Population-Based Study. Subyek penelitian pasien di Swedia bagian utara sebanyak 2860 responden. Rancangan penelitian menggunakan cross-sectional populationbased studi. Hasil penelitian menunjukkan Kecemasan mayor (skor skala kecemasan dan depresi 11), berhubungan secara signifikan dengan kejadian uninvestigated dyspepsia (OR 3,01), dispepsia fungsional (OR=2,56) dan PDS (OR=4,35). Faktor lainnya yang berpengaruh adalah obesitas terhadap uninvestigated dyspepsia (OR=1,86) dan penggunaan obat AINS terhadap dispepsia fungsional (OR=2,49) dan PDS (OR=2,75). Persamaan penelitian terletak pada variabel terikat yaitu dispepsia (uninvestigated dyspepsia) dan variabel bebas tentang masalah psikologis. Perbedaan penelitian terletak pada rancangan penelitian, variabel bebas yaitu obesitas, dan tempat penelitian. 5. Uleng et al. (2011), judul penelitian Hubungan Derajat Ansietas dengan Dispepsia Organik. Subyek penelitian adalah pasien di RS Wahidin Sudirohusodo dan RS Ibnu Sina Makasar sebanyak 93 pasien dispepsia. Rancangan penelitian cross sectional study. Hasil penelitian hasil uji korelasi Gamma terhadap stresor psikososial dengan derajad kecemasan yang menyertai penderita dispepsia organik menunjukkan hasil bermakna dengan koefisien korelasi sebesar 0,786 dan p=0,000.

Persamaan penelitian pada variabel bebas yaitu tentang masalah psikologis dan variabel terikat tentang masalah dispepsia. Perbedaan penelitian pada rancangan penelitian dan tempat.

Anda mungkin juga menyukai