Anda di halaman 1dari 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENINGITIS TUBERKULOSIS Meningitis adalah peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh selaput otak (meningen) yang ditandai dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal. Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Kliegman, et al. 2004). Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007)

PATOFISIOLOGI Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang (Darto Saharso, 1999). Skema patofisiologi meningitis tuberkulosa BTA masuk tubuh Tersering melalui inhalasi Jarang pada kulit, saluran cerna Multiplikasi Infeksi paru / focus infeksi lain Penyebaran hematogen Meningens Membentuk tuberkel BTA tidak aktif / dormain Bila daya tahan tubuh menurun Rupture tuberkel meningen Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid Meningitis.

17

Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis: 1. Araknoiditis proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian

18

III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel

19

mononuklear dan perubahan fibrin (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).

Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu: 1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier; 2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang difus; 3. Acute inflammatory caseous meningitis Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid 4. Meningitis proliferatif Terlokalisasi, pada selaput otak Difus dengan gambaran tidak jelas Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.

20

MANIFESTASI KLINIS Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga stadium: 1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal) Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis

Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah * nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut * sakit kepala * tidur terganggu * mual, muntah * konstipasi * apatis * irritable Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.

2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik) Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri.

21

Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi. Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.

Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis

menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Gejala: * Akibat rangsang meningen utama) * Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak: - disorientasi - bingung - kejang - tremor - hemibalismus / hemikorea - hemiparesis / quadriparesis sakit kepala berat dan muntah (keluhan

22

- penurunan kesadaran * Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII Tanda: - strabismus - diplopia - ptosis - reaksi pupil lambat - gangguan penglihatan kabur 3. Stadium III (koma / fase paralitik)

Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama 2-3 minggu Gangguan fungsi otak semakin jelas. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau

strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.

Gejala: * pernapasan irregular * demam tinggi

* edema papil * hiperglikemia * kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. * nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur * hiperpireksia * akhirnya, pasien dapat meninggal. Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu

23

sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu. Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat (Darto Saharso, 1999., Kliegman, et al. 2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

Grade meningitis tuberkulosa menurut Medical Research Council of Great Britain 1. Grade 1 Tidak ada gejala dan tanda yang spesifik, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada defisit nurologik 2. Grade 2 Perubahan derajat kesaradaran ringan dengan defist neourologik fokal seperti hemiparese dan kelumpuhan saraf kranial 3. Grade 3 Penurunan kesadaran berat (sopor atau koma) dengan defisit neurologik yang berat KRITERIA DIAGNOSIS 1. Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik),

24

adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus) 2. Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun (Herry Garna dan Nataprawira., 2005).

Pemeriksaan Rangsangan Meningeal a. Pemeriksaan Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. b. Pemeriksaan Tanda Kernig Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

25

c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher) Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.

d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

3.

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari penyuntikan

kuman Mycobacterium

tuberculosis. Lokasi

uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,

26

disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter daripembengkakan (indurasi) yang terjadi. Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux : 1. Pembengkakan (Indurasi) : 04 mm uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada

infeksiMycobacterium tuberculosa. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 39 mm uji mantoux

meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang

dengan Mycobacterium atypic atau setelah vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : 10 mm uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa (www.mediastore.com., 2008) 4. Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Gurin) terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium

tuberculosis (tbcindonesia.or.id., 2008).

27

3.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium Darah: - anemia ringan Peningkatan laju endap darah pada 80% kasus (Darto Saharso

1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005). o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) :

- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila

penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis. - Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3. - Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna

xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang laba-

28

laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002). - Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa darah. - Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun - Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman (Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). Tabel interpretasi lumbal pungsi Tes Meningitis Bakterial Tekanan LP Warna Jumlah Sel Jenis sel Protein Glukosa Meningkat Keruh 1000 ml Predominan PMN Sedikit meningkat Normal/menurun Meningitis Virus Biasanya Normal Jernih < 100/ml Predominan MN Normal/meningkat Bervariasi Predominan MN Meningkat Meningitis TBC Bervariasai Xanthochromi

29

Biasanya normal

Rendah

Indikasi pungsi lumbal: 1. Setiap penderita dengan kejang atau twitching. 2. Adanya paresis atau paralysis 3. Koma 4. Ubun-ubun besar mononjol 5. Kaku kuduk dengan penurunan kesadaran 6. Tuberkulosis miliar 7. Leukemia 8. Spndilitis tuberkulosa

Kontraindikasi pungsi lumbal:

a.

Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.

b.

Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.

c. d.

Kelainan pembekuan darah. Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan memasukan jarum pada ruang interspinal.

4. Dari pemeriksaan radiologi: - Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.

30

- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis

tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). Kriteria diagnosis Menurut Ogawa (1987) Defenitif : kultur mycobacterium tuberculosis (+) pada LCS atau diagnosa dari otopsi atau terdapat keduanya Probable : gambaran pleositosis, kultur bakteri atau jamur negatif dan disertai satu dari : 1. uji tuberkulin positif 2. terdapat TB ekstra SSP atau TB aktif atau paparan TB yang bermakna sebelumnya 3. glukosa cairan serebrospinal kurang dari 40 mg/dl 4. kadar protein serebrospinal lebih dari 60 mg/dl

31

Menurut Thwaites (2005) 1. Denitif meningitis TB Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal) Ditemukan baktei tahan asam di LCS dan atau kultur M. Tuberkulosa positif

2. Probable meningitis TB Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal) Sekurang- kurangnya 1 dari kriteria Suspek TB paru aktif berdasarkan foto rontgen dada Ditemukan bakteri tahan asam pada sediaan lain selain LCS Suspek bukti klinis TB ekstra paru

3. Possible menigitis TB Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal) Sekurang- kurangnya 1 dari kriteria Riwayat TB Dominasi limfosistik di LCS Sakit lebih dari 5 hari Rasio glukosa LCS : darah < 0,5 LCS kuning (xanthochromic) Tanda neorologis fokal

32

DIAGNOSIS BANDING Meningitis virus Meningitis bakterial Stroke

PENGOBATAN Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis (Darto Suharso. 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni: Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis: 1. Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasukliquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa,

33

dan memilikiadverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 2. Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke

34

jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 3. Pirazinamid Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 4. Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

35

pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistenttuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 5. Etambutol Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP,

36

demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

KOMPLIKASI Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf

37

otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin (Darto Suharso. 1999).

PROGNOSIS Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya (Darto Suharso. 1999).

38

Anda mungkin juga menyukai