Anda di halaman 1dari 4

TINJAUAN PUSTAKA

Sick Building Syndrome


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Gedung-gedung tinggi dibangun dengan struktur lebih tertutup dan umumnya dilengkapi sistim sirkulasi udara serta pendingin buatan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Udara luar yang masuk ke dalam sistim ventilasi gedung akan berkurang bahkan mencapai titik nol, hanya udara resirkulasi yang digunakan untuk bernapas. Hal tersebut menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality atau IAQ) dan terdapat banyak radikal bebas bersumber dari asap rokok, ozon dari mesin fotokopi dan printer, perabotan, cat serta bahan pembersih.1 Sick building syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun 1970. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah kesehatan akibat lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara, IAQ dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Health Organization (WHO) tahun 1984 melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2 juta di antaranya akibat indoor air pollution atau polusi udara di dalam ruangan.1 Sick building syndrome terjadi akibat kurang baiknya rancangan, pengoperasian dan pemeliharaan gedung. Gejala yang dapat terjadi berupa iritasi kulit, mata dan nasofaring, sakit kepala, lethargy, fatique, mual, batuk, dan sesak. Gejala tersebut akan berkurang atau hilang bila pekerja tidak berada di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.2,3 DEFINISI Sick building syndrome adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit2 dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung serta kualitas udara. Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997 menyebutkan 52% penyakit pernapasan terkait dengan SBS akibat buruknya ventilasi gedung dan kinerja air conditioner (AC) akibat jarang dibersihkan.4 Penelitian terhadap 350 karyawan dari 18 kantor di Jakarta selama 6 bulan (Juli-Desember 2008) menunjukkan penurunan kesehatan pekerja dalam ruangan akibat udara ruangan tercemar radikal bebas (bahan kimia), berasal dari dalam maupun luar ruangan dan 50% orang yang bekerja dalam gedung perkantoran cenderung mengalami SBS.5 Penelitian Occupational Safety and Healthy Act (OSHA) mendapatkan dari 446 gedung, penyebab polusi udara dalam gedung karena ventilasi tidak adekuat (52%), alat/bahan dalam gedung (7%), polusi luar gedung (11%), mikroba (5%), bahan bangunan/alat kantor (3%), dan tidak diketahui (12%). Gejala yang terjadi tidak spesifik, berupa nyeri kepala, iritasi membran mukosa, mata serta nasofaring, batuk, sesak, rinitis dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak diketahui dengan jelas.6 PATOFISIOLOGI Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia bahwa volatile organic compounds (VOCs) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon monoksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas. Hipotesis ke dua adalah hipotesis bioaerosol; penelitian cross sectional menunjukkan bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah faktor pejamu, yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.7 Stres karena pekerjaan dan faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS. Building related illness (BRI) berbeda dengan SBS, adalah suatu penyakit yang dapat didiagnosis dan diketahui penyebabnya berkaitan dengan kontaminasi udara dalam gedung.8 LINGKUNGAN KANTOR Konsep lingkungan kantor terbagi 2 yaitu lingkungan fisis terdiri dari faktor-faktor fisis, kimia dan lingkungan sosial terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma; keduanya berpengaruh pada kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi antara penerangan, suhu, kelembaban, kualitas udara dan tata ruang. Hubungan antara pekerja dengan lingkungan kantor dapat menimbulkan keluhan fisik (objektif) dan mental (subjektif). Sick building syndrome disebabkan multifaktor termasuk faktor fisik, kimia,

Dian Yulianti, Mukhtar Ikhsan, Wiwien Heru Wiyono

CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012

21

TINJAUAN PUSTAKA
biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara baik maka lingkungan kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja.8 Di beberapa kantor pekerjanya dapat mengalami gangguan kesehatan karena ketidakimbangan lingkungan kantor. Sistim pendingin merupakan penyebab terbanyak SBS karena tidak terjadi pertukaran udara optimal dan menjadi sumber infeksi mikroorganisme serta menambah kontaminasi tempat kerja. Melius (1984), Collet dan Sterling (1988)6 mendapatkan SBS 50-68 % berhubungan dengan kondisi ventilasi buruk dan polusi udara.
Relief Outdoor Air Roof Return Air Hendling Unit Supply Exhaust

Tabel 1. Asal polusi dan polutan yang mempengaruhi IAQ lingkungan kantor 3
Asal polusi
Polusi dari luar gedung Lalu lintas Industri Polusi dari dalam gedung Alat tulis kantor Pembersih Bahan lembab Konstruksi gedung Sistim HVAC Ventilasi Pemanas Pelembab Penghuni gedung Mempengaruhi distribusi dan dilusi polutan Mempunyai efek pada suhu Berpotensi sebagai sumber mikroba Virus, bakteri, asap rokok NOX, CO,SO2, partikel NOX, CO, SO2, partikel formaldehid (VOCs) formaldehid (VOCs) jamur Mempengaruhi penetrasi dan dilusi dari luar ke dalam gedung

Polutan

Keterangan tabel: NOX: nitrogen oksida, CO: karbon monoksida, SO2: sulfur dioksida

Gambar 1. Ventilasi gedung 1 Ventilasi gedung dan sumber polusi Sistim pendingin gedung dirancang dan dioperasikan tidak hanya untuk pendinginan tetapi juga untuk mencukupi pertukaran udara dari dalam dan luar gedung. Masalah timbul saat sistim pendingin

tidak dapat membawa udara luar ke dalam gedung, hal ini menyebabkan kualitas udara dalam gedung menjadi buruk. Buruknya ventilasi dapat juga terjadi jika sistem pemanasan atau heating, ventilasi dan air conditioning (HVAC) tidak efektif mendistribusikan udara dan menjadi sumber polusi udara dalam ruangan, menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan para pekerja.9 American Society of Heating, Refrigerating and Air-conditioning Engineers (ASHRAE) menganjurkan ventilasi dalam gedung minimum 15 m3/me-

nit dan sampai dengan 20 m3/menit pada tempat-tempat tertentu, misalnya ruang khusus untuk merokok. Sumber polusi dalam ruangan antara lain berasal dari karpet, perekat (lem), mesin fotokopi dan bahan pembersih yang mengandung gas toksik dan mudah meng uap seperti formaldehid atau volatile organic compounds (VOCs).8,9 (Tabel 1). Identifikasi dan mekanisme iritasi senyawa atau zat dalam ruangan yang dapat menimbulkan SBS masih belum diketahui dengan jelas. Para pekerja kantor juga merupakan sumber polutan dalam gedung. Virus, bakteri, karbon dioksida, karbon monoksida, aseton, alkohol, dan gas organik lain merupakan polutan yang dapat dikeluarkan oleh pekerja kantor melalui pernapasan dan keringat. Partikel yang melekat pada pakaian yang berasal dari luar dapat disebarkan ke dalam lingkungan kantor. Asap rokok merupakan sumber terbesar partikel kimia iritatif di dalam gedung.10 Ooi dkk.8 mendapatkan faktor stres secara signifikan berpengaruh pada terjadinya SBS. Suhu dan kelembapan udara dalam gedung Manusia dapat bekerja nyaman pada suhu 20-26C dengan kelembapan 40-60%. Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung saraf sensorik membran mukosa dan kulit serta dapat memberikan respons neurosensoral secara tidak langsung yang mengakibatkan perubahan sirkulasi darah.

Gambar 2. Sumber polusi udara dalam ruangan 8

22

CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012

TINJAUAN PUSTAKA
Kelembapan dapat mempengaruhi gejala SBS dan terdapat hubungan signifikan antara udara kering, lembap, suhu dengan gejala pada membran mukosa.11 Polutan kimia dan partikel pada kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata serta saluran napas dan kelembapan di atas 60% menyebabkan kelelahan dan sesak. Perubahan tingkat kelembapan dan suhu mempengaruhi emisi dan absorpsi VOCs. Akumulasi uap pada konstruksi gedung menyebabkan kelembapan dan pertumbuhan mikroba. Perubahan warna, pengelupasan permukaan meterial, noda basah, perlekatan dan bau jamur merupakan tanda kelembapan. Sumber kelembaban berasal dari air hujan, air permukaan, air tanah, air lokal yang tidak terdrainase baik dan mengalami kondensasi.12 Harrison dkk.13 melaporkan prevalensi gejala SBS berkaitan dengan derajat polutan bakteri dan jamur di udara pada gedung perkantoran di Inggris. Dermatophagoides pteronyssinus dan D farinae adalah tungau debu rumah yang sering ditemukan pada gedung lembap dan menyebabkan sensitisasi alergi. Beberapa pekerja kantor pada 19 gedung di Taiwan menunjukkan keluhan pada mata, batuk dan letargi yang dikaitkan dengan kelembapan dan jamur. Aspergilus, Stachybotrys, Penicillium spesies merupakan jenis jamur yang sering ditemukan pada pemeriksaan udara dalam gedung.14 GEJALA DAN DIAGNOSIS Terdapat dua komponen diagnosis SBS, pertama apakah gejala terjadi pada satu atau beberapa pekerja dalam gedung yang sama dan kedua adalah gejala muncul saat berada di dalam gedung dan menghilang bila berada di luar gedung. Sick building syndrome bukan penyakit tunggal yang dapat didiagnosis segera pada pekerja di dalam gedung. Asma, rinitis dan konjungtivitis alergi adalah penyakit alergi yang mempunyai gejala sama dengan SBS. Sakit kepala dan lethargy merupakan gejala nonspesifik yang dapat terjadi pada sebagian besar penyakit dan dapat berkaitan dengan pajanan okupasi.15 Pengenalan gejala, pemeriksaan fisis serta laboratorium bila tersedia merupakan langkah awal dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan SBS bertujuan untuk menyingkirkan kondisi lain yang mempunyai gejala sama (Tabel 2). Tabel 2. Gejala dan tanda SBS 5
Kelainan
Iritasi membran mukosa Gejala neurologis

faktor kuat terjadinya SBS.17 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan. Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara, membuka jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam gedung, pendidikan dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.18 Laju ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/ orang. Jendela dan atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. Larangan merokok di ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi dan arsitektur gedung yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah lingkungan, merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai penyebab tersering SBS.19 Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS. SIMPULAN 1. Sick building syndrome merupakan kumpulan gejala yang akut pada pekerja di gedung perkantoran dapat berupa nyeri kepala, batuk, sesak, iritasi kulit, membran mukosa dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. 2. Sick building syndrome terjadi karena buruknya kualitas udara dalam ruangan (IAQ). 3. Pengenalan SBS mencakup penilaian terhadap faktor individu dan lingkungan. 4. Pencegahan dan penatalaksanaan SBS bersifat komprehensif, melibatkan pekerja, manager dan organisasi.

Gejala

Gejala menyerupai asma Gangguan kulit Gejala gastrointestinal

Iritasi mata, hidung dan tenggorokan Nyeri kepala Kelelahan Sulit konsentrasi Cepat marah Dada terasa tertekan Wheezing Kulit kering Iritasi kulit Diare

Pekerja dengan SBS lebih sensitf terhadap stimuli dibandingkan dengan pekerja tanpa SBS. Keluhan wheezing dan atau dada tertekan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan peakflow meter atau spirometri sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelainan maka tidak terdapat penyakit. Waktu saat timbulnya penyakit merupakan salah satu faktor penting pada SBS.16 Beberapa metode dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis SBS (tabel 3). Tabel 3. Metode penilaian efek pada SBS 5
Efek
Gejala Iritasi hidung, kemerahan

Metode
Wawancara Nasal lavage Acoustic rhinometry Anterior dan posterior rhinomanometry Conjunctival photography Tear film break-up time Peak flow meter Spirometri Uji metakolin Tes neurofisiologik Pemeriksaan vestibular Pengukuran Ig E spesifik

Iritasi mata Reaktiviti bronkus

Sistim saraf pusat Respons imunologi

Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor penyebab SBS. Stres akibat lingkungan kerja mekanismenya belum jelas diketahui, diduga karena tidak ada keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan.13,16 Stres merupakan gabungan antara beban kerja di kantor dengan lingkungan sosial dan faktor ini dapat memberikan fenomena fisiologis maupun psikologis. Kuantitas kerja dapat menghambat kenyamanan bekerja dan berperan pada iritasi mukosa dan keluhan umum lainnya. Hal ini merupakan indikator tidak langsung akibat stres kerja. Pasila Office Center melaporkan bahwa suasana lingkungan sosial kerja menjadi

CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012

23

TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building sindrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005. 2. Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2009 [cited 2001 Jan 26]; Available from URL: http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm. 3. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation management and prevention. 5th ed. London: WB Saunders;2002.p.241-55. 4. U.S Environmental Protection Agency. Indoor air facts no.4 (revised): sick Building syndrome (SBS). [Online]. 2009. [cited 2004 Jan 14]; Available from: URL: http:// www.epa.gov/cgibin/epaprintonly.cgi. 5. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones 2002;11: 124-31. 6. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med 1997;337:1524-31. 7. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building syndrome headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003;12: 171-2. 8. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stress-related disorder Int J Epidemiol 1997;26:1243-9. 9. Trout D, Bernstein J, Martinez K, Biagini R, Wallingford K. Bioaerosol lung damage in a worker with repeated exposure to fungi in a water-damaged building. Environ Health Perspect 200;109:641-4. 10. Harrison J, Pickering CA, Faragher FB. An investigation of the relationships between microbial and particulate indoor air pollution and the sick building syndrome. Respir Med 1992;86:225-35. 11. Husman T. Health effects of indoor air microorganisms. Scan J Work Environt Health 1996;22:5-13. 12. Sabir M, Shashikiran U, Kochar SK. Building related illness and indoor pollution. J Assoc Physicians India 1999;47:426-30. 13. Muzi G, Dell Omo M, Abbritti G. Objective assessment of ocular and respiratory alterations in employee a sick building. Am J Ind Med 1998;34:79-88. 14. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med 1989;4:607-24. 15. Jaakkola JJK, Heinnonen OP, Seppanen O. Mechanical ventilation in office building and the sick building syndrome: an experimental and epidemiological study. Indoor Air 1991;1:111-21. 16. Sujayanto G. Gedung tertutup bisa menyebabkan sakit. [cited 2001 Sept 12]; Available from: URL:http//www.indomedia.com/intisari/ewi/sept/airud/htm. 17. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med 1989;15:286-92. 18. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health Perspect 2002;110:663-7. 19. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms in relation to chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup Environ Health 2004;77:461-70.

24

CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012

Anda mungkin juga menyukai