Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

Nama NIM Stase

: Dani Sahirul Alim : 20060310174 : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

A. PENGALAMAN Seorang pria, Tn.W usia 67 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Muntilan dengan keluhan rasa gatal pada kedua kaki. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih 4 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya pasien menyiasati rasa gatal tersebut dengan cara merendam kedua kaki nya pada air hangat yang dicampur dengan garam. Namun, rasa gatal justru bertambah dan akhir-akhir ini terdapat juga rasa nyeri. Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi, namun mengakui bahwa sebelumnya pernah menderita sakit serupa dan sembuh dengan sendirinya. Tidak ada anggota keluarga ataupun tetangga yang memiliki penyakit serupa. Pasien merupakan seorang petani yang bekerja tanpa menggunakan alas kaki. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit patch eritem berbatas tidak tegas pada dorsum pedis multiple lokalisata dengan permukaan permukaan rata, tampak fisura pada plantar pedis. Tampak skuama dan likenifikasi pada digitalis pedis. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, dokter kemudian mendiagnosis pasien dengan Dermatitis Kontak Alergika karena pajanan yang lama dan sering terhadap air garam. Dan diberikan terapi Metyl Prednisolone oral, Dexametasone Injeksi dan Klobetasol propionat topical.

B. MASALAH YANG DIKAJI 1. Bagaimana Patofisiologi Dermatitis Kontak Alergi? 2. Penegakan Diagnosis pada kasus Dermatitis Kontak Alergi? 3. Bagaimana Perbedaan Dermatitis Kontak Alergi dengan Dermatitis Kontak Iritan?

C. ANALISIS MASALAH 1. Patofisiologi Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu : a. Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 1824 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk

mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat

ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik. b. Fase elisitasi Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan

dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.

2. Penegakan Diagnosis Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti

edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritem dan edema lebih domina daripada vesikel Pada yang kronis terlihat kulit kering,

berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis.

Kriteria diagnosis DKA antara lain: a. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa. b. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak. c. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dengan gejala klinis lebih ringan serta timbulnya lebih lambat. d. Rasa gatal. e. Uji tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif. Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitifitas kulit ketika kontak dengan suatu zat. Dasar teori dari uji tempel ini ada memicu respon imun dengan memberikan sejumlah alergen kepada orang

yang sudah tersensitisasi dan menilai derajat respon yang timbul. Terdapat banyak allergen yang dapat menyebabkan DKA sehingga tidak mungkin untuk menguji seseorang dengan semua alergen tersebut. Riwayat yang jelas dan Observasi pola dermatitis, lokalisasi pada tubuh, dan tahap perkembangan penyakitnya sangat membantu dalam menentuka penyebab. Uji tempel dapat digunakan untuk

menegakkan diagnosis, namun harus disertai dengan riwayat penyakit dan gejala klinis penyakitnya.

Cara Uji tempel Uji tempel perlu dikerjakan untuk memastikan penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang udah ada bahan tes tempel yang sudah standar dan disebut unit uji tempel; unit ini terdiri atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan di atas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester. Hasil : 0 : bila tidak ada reaksi.

+ : bila hanya ada eritema. ++ : bila ada eritema dan papul. +++ : bila ada eritema, papul dan vesikel. ++++ : bila ada edema, vesikel.

3. Perbedaan Dermatitis Kontal Alergi dengan Dermatitis Kontak Iritan

NO 1 2 Penyebab Permulaan penyakit 3 Penderita

DKI Iritan primer Kontak pertama

DKA Alergen = sensitizer Kontak berulang

Semua orang

Orang alergis

yang

sudah (memiliki

riwayat alergi) 4 Kelaina Kulit Hebat, bula, tegas 5 Uji Tempel eritem, Ringan, tidak akut,

berbatas eritem, erosi, batas tidak tegas

Bila uji tempel Bila uji tempel diangkat, diangkat berkurang reaksi reaksi menetap atau

bertambah

REFERENSI

1. Thaha MA. 1997 Gambaran Klinik Dermatosis Akibat Kerja. In Kumpulan Makalah Simposium Dermatosis Akibat Kerja dalam Rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan IV PERIDOSKI, Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Vol. 9, Agustus 1997 No. 2. 1997: 73-76 2. Trihapsoro, Iwan. 2002. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Diakses dari Http://Library.Usu-

.Ac.Id/Download/Fk/Kulit-Iwan.Pdf pada 20 November 2011. 3. Sularsito, S. A., dan Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2005. hal:129-153.

Muntilan, 24-11-2011 Dokter muda Pembimbing

Dhani Sahirul Alim

dr. Rani Satiti Sp.KK

Anda mungkin juga menyukai