Anda di halaman 1dari 12

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Nata 1. Pengertian Nata Nata berasal dari bahasa Spanyol yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi natare yang berarti terapung-apung (Susanti, 2005). Nata termasuk produk fermentasi, seperti halnya yoghurt. Starter yang digunakan adalah bakteri Acetobacter xylinum, jika ditumbuhkan di media cair yang mengandung gula, bakteri ini akan menghasilkan asam asetat dan lapisan putih yang terapung-apung di permukaan media cair tersebut. Lapisan putih itulah yang dikenal sebagai nata (Sumiyati, 2009). Nata dikembangkan pertama kali di negara Filipina. Percobaan pengembangan di Indonesia dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian Bogor tahun 1975 (Warisno, 2004). Kandungan terbesar dalam nata adalah air 98% (Susanti, 2005). Nata sangat baik dikonsumsi terutama oleh mereka yang diet rendah kalori atau diet tinggi serat, kandungan air yang tinggi berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme tubuh. Serat nata di dalam tubuh manusia akan mengikat semua unsur sisa hasil pembakaran yang tidak diserap oleh tubuh, kemudian dibuang melalui anus berupa tinja atau bolus (Kusharto, 2006). 2. Karakteristik Nata Kenampakan nata adalah seperti sel, warna putih hingga abu-abu muda, aroma asam, rasa tawar atau agak manis, tembus pandang dan teksturnya kenyal seperti kolang-kaling (daging buah enau muda). Dalam keadaan dingin, nata agak berserat dan agak rapuh pada saat panas (eBookPangan, 2006). Nata siap santap biasanya disajikan dalam bentuk potonganpotongan kecil berupa dadu dan bervariasi ukuran, seperti 1,5 x 1,5 cm.

5 Karena rasanya tawar, nata biasanya ditambahkan air sirup/air gula sebagai pemanis. Agar nata awet, biasanya ditambahkan natrium benzoat. Nata dapat digunakan sebagai makanan penyegar (pencuci mulut), yaitu dihidangkan dalam bentuk campuran dengan buah-buahan (cocktail). Produk ini juga dapat dihidangkan secara dingin, dicampur dengan es, campuran kue, atau sebagai pengisi es krim, pengisi jelly dan sebagainya sesuai selera (Suratiningsih, 1997). 3. Pembuatan Nata Pembuatan nata menurut Warisno (2004) adalah sebagai berikut : a) Persiapan starter Air kelapa disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus sampai mendidih, ditambahkan urea, gula pasir dan asam cuka, kemudian sampai larutan memikiki pH 4. Larutan yang masih panas dituang ke dalam botol yang sudah disterilkan sebanyak dua pertiga bagian botol. Botol ditutup dengan kertas koran dan diikat kuat, disimpan diruang inkubasi selama satu minggu. Setelah satu minggu, terbentuk lapisan berwarna putih, starter siap digunakan. b) Proses Fermentasi Bahan dasar nata didiamkan sampai kotoranya mengendap, disaring dengan kain kasa, kemudian direbus sampai mendidih selama 15 menit. Pupuk ZA, gula pasir, dan asam cuka dimasukan, diaduk sampai tercampur rata. 1 liter larutan yang masih panas tersebut dimasukan ke dalam loyang plastik atau baki. Loyang ditutup kertas koran dan diikat kuat, kemudian dibiarkan dingin. 100 ml starter dimasukan ke dalam loyang, kemudian fermentasi selama satu minggu. c) Pemanenan nata Nata siap dipanen setelah diinkubasi selama 8-14 hari. Kertas koran penutup dibuka, nata diambil dan dikumpulkan dalam satu wadah. Saat memanen nata, ada bagian yang tidak bisa dipanen yaitu cairan atau padatan. Cairan merupakan sisa media nata, sedangkan padatan berupa nata yang busuk, rusak, berjamur, atau nata yang bentuknya tidak teratur. Nata yang telah disortir selanjutnya dicuci

6 bersih dan dipotong-potong sesuai selera. Aroma masam dihilangkan dengan cara mencuci dan merendam nata dengan air bersih minimal dua kali setelah itu direbus selama 5 menit. B. Nata de Cassava 1. Singkong (cassava) Singkong (cassava) sudah lama dikenal diseluruh dunia yang merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi dan digunakan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Singkong berperan cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai industri makanan (Rukmana, 1999). Singkong merupakan tanaman yang dapat hidup di dataran rendah sampai dataran tinggi yang kurang dari 1300 m dpl, pada udara yang hangat dan suhu rata-rata 20C serta curah hujan 500-5000 mm (Hasbullah, 2000). Singkong memiliki banyak kandungan zat gizi, seperti tersaji pada Tabel 1: Tabel 1 Kandungan gizi singkong dalam 100 g (Mahmud,dkk, 2009). Zat gizi Kalori Air Karbohidrat Lemak Protein Serat Kandungan (g) 154 61,4 36,8 0,3 1 0,9

Kandungan karbohidrat singkong cukup tinggi, yaitu 36,8 g dalam 100g bahan sehingga singkong dapat dijadikan sebagai bahan dasar dalam proses pembuatan produk nata. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas nata antara lain: 1) Pemilihan Bahan Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan nata harus memenuhi kualitas baik, hal ini bertujuan agar nata yang dihasilkan kualitasnya baik. Apabila bahan-bahan yang digunakan kualitasnya kurang baik, maka akan mempengaruhi kualitas nata

7 secara keseluruhan, baik warna, rasa, aroma, dan tekstur yang kurang disukai. Kriteria singkong yang baik dalam pembuatan nata adalah singkong dalam keadaan segar, utuh, tidak cacat, dan singkong berumur 8-11 bulan karena penundaan panen singkong sampai umur lebih dari 12 bulan dapat menurunkan kualitas singkong (Rukmana, 1997). 2) Bahan Pembantu Kandungan nutrisi sari singkong yang dibuat nata de cassava masih perlu diperkaya agar bakteri nata produktif dalam menghasilkan nata. pH diatur sesuai dengan persyaratan tumbuh optimal bakteri tersebut. Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan nata adalah : a) Gula Pasir Gula berfungsi sebagai sumber karbon (sumber energi). Sumber karbon bisa menggunakan glukosa, sukrosa maupun maltosa. Produsen nata biasanya menggunakan sukrosa (gula pasir) karena mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Dosis pemakaian 30 gr per liter air sari cassava. b) Amonium sulfat Amonium sulfat juga disebut urea berfungsi sebagai sumber nitrogen untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Selain senyawa ini, bisa juga menggunakan ekstrak khamir, pepton, kalium nitrat dan amonium fosfat. Produsen nata menggunakan amonium sulfat karena harganya lebih murah dan mudah diperoleh. Kandungan nitrogen urea antara 20,521 persen, sedang wujudnya berupa kristal atau umumnya berwarna putih. Dosis penggunaan urea (ZA) sebanyak 5 gram per liter air sari cassava. c) Asam asetat glasial Asam asetat glasial atau cuka biang berfungsi untuk mengatur derajat keasaman (pH) media fermentasi.

8 3) pH / Keasaman Metabolisme Acetobakter xylinum selama fermentasi

dipengaruhi oleh keasaman media. Hal ini disebabkan membran sel bakteri bersifat permeabel terhadap ion hidrogen maupun ion hidroksil, sehingga perubahan keasaman media fermentasi akan mempengaruhi sitoplasma sel bakteri. pH optimum pembuatan nata berkisar antara 45. Penambahan asam asetat berfungsi untuk menurunkan pH media fermentasi dan digunakan oleh bakteri untuk membentuk asam glukonat. Penambahan asam asetat 25% persen sebanyak 5 ml merupakan kondisi optimum untuk pembentukan nata. 4) Suhu Suhu yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah suhu kamar (28C - 31C). Suhu yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menghasilkan nata yang kurang berkualitas atau aktifitas Acetobacter xylinum terhambat (Pambayun, 2002) 5) Kebutuhan Oksigen Bakteri nata Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan atau hambatan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Wadah yang digunakan untuk fermentasi nata tidak boleh ditutup rapat untuk mencukupi kebutuhan oksigen. Udara yang secara langsung mengenai produk nata, dapat menyebabkan terjadinya kegagalan proses pembuatan nata (Pambayun, 2002). 6) Penutup untuk pembuatan nata Penutupan dilakukan menggunakan media kertas bersih untuk menghindari kontaminasi dan mendapatkan pertukaran oksigen (Rony Palungkun, 1993). Selama proses fermentasi wadah harus tertutup rapat agar kotoran yang terbawa udara luar tidak dapat mencemari proses fermentasi. 7) Sumber Cahaya Menurut Luwiyanti (2001), pembuatan nata pada ruang gelap akan mempercepat pembentukan struktur nata dan lapisan nata yang

9 dihasilkan akan tebal. Ruang gelap yang dimaksud adalah ruang gelap yang tidak mendapatkan cahaya matahari secara langsung ataupun cahaya lampu. 8) Lama Fermentasi Pada kondisi yang sesuai, lapisan nata terbentuk dipermukaan media akan terlihat pada hari ketiga sampai keempat pemeraman. Secara perlahan-lahan dalam jangka waktu 8-14 hari lapisan tersebut semakin menebal. Pemanenan nata dilakukan setelah lebih dari 8 hari pemeraman. Jika setelah 14 hari tidak dilakukan pemanenan, maka akan terdapat lapisan tipis yang terpisah di bawah lapisan nata yang akan menjadi kurang asam sehingga nata menjadi busuk, akhirnya nata menjadi turun. Selama fermentasi berlangsung media nata tidak boleh digoyang-goyangkan ataupun digerakkan karena akan mengakibatkan pecahnya struktur lapisan nata yang terbentuk sehingga didapat lapisan nata yang tipis dan terpisah satu sama lainnya. 9) Sanitasi Bekerja dengan mikroorganisme dituntut adanya tingkat sanitasi yang tinggi. Sanitasi meliputi : sanitasi perorangan, lingkungan dan

peralatan, harus dikontrol dan dijaga agar bakteri tidak terkontaminasi. C. Starter Nata Starter nata atau disebut biang adalah Acetobacter xylinum. Penggunaan starter merupakan syarat yang sangat penting, yang bertujuan untuk memperbanyak jumlah bakteri Acetobacter xylinum yang menghasilkan enzim pembentuk nata, disamping itu starter juga berguna sebagai media adaptasi bakteri dari media padat (agar) ke media cair (Lazuardi, 1994). Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah yang memadai dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi. Media starter biasanya identik dengan media dalam fermentasi nata (Anonymous, 2004). Pembentukan nata memerlukan starter sebanyak 10-20% dari volume media sebagai starter mikroba (Saragih, 2004). Dengan adanya jumlah stater yang sesuai, maka bakteri dapat mencapai pertumbuhan secara optimum.

10 Umur kultur Acetobacter xylinum yang digunakan dalam fermentasi berpengaruh terhadap pembentukan nata. Bakteri asam asetat termasuk mikroorganisme penghasil nata yang dapat membentuk asam asetat melalui proses oksidasi metil alkohol menjadi asam asetat dan mampu mengoksidasi komponenkomponen organik lain, termasuk asam asetat sendiri. Sutarminingsih (2004), menyebutkan bahwa bakteri Acetobacter xylinum dapat diklasiflkasikan dalam golongan: Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : : : : : : Protophyta Schizornycetes Pseudomonnales Paseudomonas Acetobacter Acetobacter xylinum

Sifat-sifat bakteri Acetobacter xylinum dapat diketahui dari sifat morfologi, sifat fisiologi dan pertumbuhan selnya. 1. Sifat morfologi Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek yang mempunyai panjang 2 dan lebar 0,2 , dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 68 sel. Bersifat nonmotil dan dengan pewarnaan Grain menunjukkan gram negatif. Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan yang menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose. 2. Sifat fisiologi Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil dan propil alkohol, tidak membentuk senyawa busuk yang beracun dari hasil peruraian protein (indol) dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa sehingga

11 menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. 3. Pertumbuhan sel
Pertumbuhan sel bakteri didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen didalam sel hidup. Umur sel ditentukan segera setelah proses pembelahan sel selesai, sedangkan umur kultur ditentukan dari lamanya inkubasi. Dalam satu waktu generasi, bakteri akan melewati beberapa fase pertumbuhan sebagai berikut :

a. Fase Adaptasi Bakteri Acetobacter xylinum tidak akan langsung tumbuh dan berkembang saat dipindahkan ke media baru. Bakteri akan menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya atau disebut dengan fase adaptasi. Meskipun tidak mengalami perbanyakan sel, pada fase ini terjadi aktivitas metabolisme dan pembesaran sel. Lama fase ni ditentukan oleh medium dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0-24 jam atau 1 hari sejak inokulasi. Makin cepat fase ini dilalui, makin efisien proses pembentukan nata yang terjadi. b. Fase Pertumbuhan awal Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam. c. Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri

Acetobacter xylinum fase ini dicapai dalam waktu antara 1-5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Bakteri Acetobacter xylinum mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. fase ini sangat menentukan tingkat kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata.

12 d. Fase pertumbuhan Lambat


Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi telah berkurang, terdapatnya metabolik yang bersifat toksit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Pada fase ini, pertumbuhan tidak lagi stabil tetapi jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak diproduksi pada fase ini.

e. Fase Pertumbuhan
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksit lebih besar dan umur sel semakin tua. Namun, pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase yang lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

f. Fase menuju kematian Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya. g. Fase kematian Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari fase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat didalamnya. Kecepatan kematian dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan dan jenis bakteri. Untuk A xylinum, fase ini dicapai setelah hari kedelapan hingga kelima belas. Pada fase ini, A xylinum tidak baik apabila digunakan sebagai bibit nata. D. Fermentasi Fermentasi merupakan pengolahan subtrat menggunakan peranan mikroba (jasad renik) sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki (Muhidin, 2001). Bakteri Acetobacter xylinum akan beradaptasi dengan lingkungan (media) selama 3 hari. Tanda awal tumbuhnya bakteri Acetobacter xylinum dapat dilihat dari keruhnya media cair tadi setelah difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Lapisan tipis yang tembus cahaya mulai terbentuk di

13 permukaan media dan cairan di bawahnya menjadi semakin jernih setelah difermentasi selama 36-48 jam (Saragih, 2004). Sintesa polisakarida oleh bakteri sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi dan ion-ion tertentu yang dapat mengkatalisasi aktivitas bakteri. Peningkatan konsentrasi nitrogen dalam substrat dapat meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk, sedangkan ion-ion bivalen seperti Mg2+ dan Ca2+ diperlukan untuk mengontrol kerja enzim ekstraselluler dan membentuk ikatan dengan polisakarida tersebut. Pada fermentasi nata terjadi hubungan saling membutuhkan antara khamir
S.Cerreviceae dengan bakteri

Accetobacter

xylinum

dengan

Gluconobacer. Mekanisme dalam fermentasi nata adalah Adanya kandungan karbon dan nitrogen dalam media menstimulasi khamir S.Cerreviceae untuk
merombak sukrosa menjadi glukosa dan kemudian difermentasi menjadi alkohol, selanjutnya Accetobacter xylinum dan Gluconobacter mengoksidasi alkohol

menjadi asam asetat sebagai metabolit utama. Bakteri Accetobacter xylinum menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata. Aktivitas pembuatan nata hanya terjadi pada kisaran pH antara 3,5-7,5 dengan pH optimum untuk pembentukan nata adalah 4. Suhu yang memungkinkan untuk pembentukan nata adalah pada suhu kamar, dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum maka komponen gula yang terdapat di dalamnya dapat dirubah menjadi suatu subtansi yang menyerupai gel yang tumbuh di permukaan media (Nadiyah, 2005). Efek dari fermentasi akan menghasilkan mikroorganisme pencemar seperti jamur karena sanitasi yang kurang. E. Mutu Fisik Nata yang berkualitas baik dapat dilihat dari dua aspek yaitu, kualitas nata ditinjau dari sifat fisik dan sifat tersembunyi. Sifat fisik yang diukur

14 meliputi indikator, warna, rasa, tekstur, dan aroma. Sedangkan kualitas tersembuyi meliputi nilai gizi, keamanan mikroba, cemaran logam. Berdasarkan sifat fisik ciri-ciri nata dalam kemasan yang berkualitas baik dan berkulitas rendah adalah sebagai berikut : a. Kualitas baik : Tekstur kenyal ( tidak tembus jika ditekan dengan jari), warna putih bersih, permukaan rata, tampak licin dan agak mengkilap, aromanya segar khas nata b. Kualitas rendah : tekstur lembek, tipis dan berlubang-lubang, warna agak kusam dan berjamur, aroma sangat asam. Berdasarkan sifat tersembunyi karakteristik nata yang berkualitas baik diketahui dari SNI (Standar Nasional Indonesia), adapun syarat-syarat mutu nata menurut SNI no. 01-4317-1996 yaitu tentang nata dalam kemasan. F. Serat Serat pangan adalah bagian dari tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Dalam ilmu gizi, serat sayuran dan buah disebut serat kasar (crude fiber). Serat pangan meliputi selulosa, hemiselulosa, pektin, gum dan lignin. Serat dapat dirombak oleh bakteri flora saluran pencernaan terutama dalam kolon. Jumlah serat pangan yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa adalah 20 35 g/hari atau 10 15 g/1000 kkal menu (Kusharto, 2006). Serat pangan sering dibedakan atas kelarutannya dalam air. Serat pangan total (TDF atau Total Dietary Fiber) terdiri atas komponen serat pangan larut air (Seluble Dietary Fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air : etanol dengan perbandingan 1:4. Sedangkan Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan (ebookpangan, 2006). Serat kasar merupakan hasil perombakan gula pada medium fermentasi oleh aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008). Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan gula, kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel. Prekursor ini keluar bersama-

15 sama enzim yang mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa diluar sel. Prekursor dari polisakarida tersebut adalah GDP-glukosa. G. Sifat Organoleptik Organoleptik merupakan pengujian secara subyektif yaitu suatu pengujian penerimaan selera makanan (acceptance) yang didasarkan atas pengujian kegemaran (preference) dan analisa pembeda (difference analysis). Mutu organoleptik didasarkan pada kegiatan penguji (panelis) yang pekerjaannya mengamati dan menilai secara organoleptik (Winarno, 2004). Mutu organoleptik yang diamati meliputi: 1) bau atau aroma misalnya harum, amis, apek dan lain-lain; 2) rasa dengan empat dasar sifat rasa yaitu manis, asam, asin, pahit; 3) warna; 4) tekstur yang dapat berupa sifat lunak, empuk, keras, renyah, dan sebagainya. Penilaian aroma, rasa, warna, dan tekstur memiliki fungsi dan cara penilaian yang berbeda, antara lain: 1) penilaian aroma makanan berkaitan erat dengan kelezatan bahan makanan tersebut, dalam hal aroma (bau) kepekaan indera pembau sangat menentukan; 2) penilaian rasa makanan yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah; 3) penilaian warna makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh indera penglihatan; 4) penilaian tekstur makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh indera lidah atau perasa dan indera kulit, penilaian tekstur biasa digunakan untuk menguji kerenyahan bahan yang diteliti (Winarno, 2004).

Anda mungkin juga menyukai