Anda di halaman 1dari 36

BAB I

KASUS
A. IDENTITAS PASIEN

Nama

Tn. B

Umur

10 - 12- 1989 ( 24 tahun )

JK

Laki-Laki

RM

643511

MRS

25 Desember 2013

B. ANAMNESIS
Keluhan utama

: Nyeri Perut

Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 45 menit sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan lalu
lintas. Pasien mengeluh sakit pada sekitar perut bagian kanan dan menjalar ke
belakang. Mekanisme trauma. Pasien saat itu sedang mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan tinggi lalu menghantam mobil yang berhenti tiba-tiba
didepannya. Perutnya membentur gagang setir motor saat itu.
Tidak ada riwayat sakit perut sebelumnya. Riwayat hipertensi tidak ada. Riwayat
diabetes tidak ada. Tidak ada riwayat asma dan alergi sebelumnya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey

Airway: paten.

Breathing : dada simetris, P 32 x/menit, Rh-/-, Wh-/-, Bunyi pernapasan


vesikuler, tipe pernapasan thoracal.

Circulation: TD 80/40 mmHg, N 120 x/menit, regular, lemah.

Disability: pasien tampak agitasi dengan kesadaran menurun hingga GCS 12


(E4M5V3), pupil isokor 2,5 mm/2,5 mm, Reflex cahaya +/+

Environment: suhu axilla 35,80 C.

Secondary Survey
Kepala :
- Mata

: Konjungtiva kedua mata anemis, sklera tidak ikterus,


perdarahan subkonjungtiva (-).

- Telinga

: Otore (-), perdarahan (-)

- Hidung

: Rinorhea (-), epistaksis (-)

- Bibir

: Tidak tampak sianosis, bibir kering/ terkelupas (-).

- Lidah

: Kotor (-), candidiasis (-)

Leher :
- Inspeksi

: Warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak massa


tumor.

- Palpasi

: Nyeri tekan (-), kaku kuduk (-), DVS +2 cmH2O

Thorax :
- Inspeksi

: P: 32x/menit, simetris kiri=kanan, thoracal type,


normochest, edema (-), hematome (-).

- Palpasi

: Nyeri tekan (-), krepitasi (-), vocal fremitus (+) kedua


hemithorax

- Perkusi

: Sonor. Batas paru hepar ICS V kanan.

- Auskultasi

: Vesikuler. BT: Wh-/-, Rh-/-

Jantung
- Inspeksi

: Iktus kordis tidak tampak

- Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba

- Perkusi

: Pekak, batas jantung medioclavicularis sinistra.

- Auskultasi

: Bunyi jantung I/II dalam batas normal, bising (-)

Abdomen
2

- Inspeksi

: Datar, ikut gerak napas, darm contour (-), darm


steifung

(-).

Tampak

hematom

pada

region

hipokondrium kanan.
- Auskultasi

: Peristaltik (+) kesan menurun.

- Palpasi

: Nyeri tekan (+), defans muscular (-), massa tumor (-),


Hepar/lien tidak teraba.

- Perkusi

: Timpani (+), nyeri ketok (+), shifting dullness (-).

Vertebra
- Inspeksi

: Alignment tulang baik, tidak tampak massa tumor.


warna kulit sama dengan sekitarnya.

- Palpasi

: tidak teraba massa tumor.

Ekstremitas Superior dan Inferior : tampak luka lecet pada siku kiri dan kedua
kaki. Memar (+) darah (+)
Organ Genitalia
-

Inspeksi

: dalam batas normal

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cr
WBC
15.14

1,5

PH

7,47

RBC

2.75

Na

134

pCO2

38,5

HGB

8,4

5,2

SO2

99,6

HCT

24,7

Cl

113

PO2

329,1

PLT

149

CT

730

HCO3

28,2

GDS

110

BT

230

Ct O2

7,9

GOT

337

PT

15,3 (10,2)

BE

4,6

GPT

328

INR

1,28

ALB

2,1

APTT

30,8 (22,7)

Ur

39

HBSAG

NON-REAKTIF

USG ABDOMEN : Ruptur Hepar dengan hemoperitoneum

E. RESUME
Seorang laki-laki masuk rumah sakit

45 menit yang lalu akibat

kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluh sakit pada sekitar perut bagian kanan dan
menjalar ke belakang. Mekanisme trauma, pasien saat itu sedang mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan tinggi lalu menghantam mobil yang berhenti tibatiba didepannya. Perutnya membentur gagang setir motor saat itu.
Primary survey : airway paten, frekuensi nafas 32x/menit simetris, TD
80/40 mmHg, Nadi 120x/menit, regular, lemah. Kesadaran menurun (GCS 12
E4M5V3).
Secondary survey : mata tampak anemis. Pada abdomen didapatkan luka
hematom pada regio hipokondrium kanan. Nyeri tekan (+), defans muscular (+).
Nyeri ketok (+).
F. DIAGNOSIS
Trauma Tumpul Abdomen susp ruptur hepar
G. TERAPI
Airway

: O2 10-12 lpm via NRM

Breathing

: spontan

Circulation

: IVFD RL 20 cc/kgBB sampai hemodinamik stabil untuk


dilakukan laparatomi emergensi. Dan tansfusi darah

Drug

: Ceftriaxon 1gr/12 j/IV,


Keterolac 30 mg/jam/sp

Ranitidin 50 mg/8 jam/iv


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Syok Hemoragik
Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang
menyebabkan suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan
inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang
menyebabkan kurangnya oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam
keadaan syok.6
2.2 Patofisiologi Syok Hemoragik
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi.
Tubuh secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital
dan dengan demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah.
Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat
rangsang baroreseptor di aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang
mengakibatkan teraktivasinya saraf simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya,
denyut jantung meningkat, terjadi vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organorgan nonvital, seperti di kulit, saluran cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem
hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini, dimana akan terjadi pelepasan
hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan betaendorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin, yang akan
meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin,
menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron
dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat
perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat
akibat pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi

yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat.
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik
mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak
dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean
Arterial Pressure). Ginjal juga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90%
dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun
karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini
pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh
tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.6
2.4 Gejala Klinis Syok Hemoragik
Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa
mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya
aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan
lama pendarahan, karena pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana
selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila
pendarahan terjadi di rumah atau di lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang
hilang.
Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari
rektum atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari
saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rectum

harus

diduga adanya perdarahan hebat, sampai dibuktikan sebaliknya.


Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga
pleura, kavum abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah
dalam jumlah yang sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan
trauma eksternal bisa ditaksir secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas
emergensi medis. Laserasi kulit kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam

jumlah besar. Fraktur multipel terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah
yang cukup besar.
Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan
Lokasi
Fr. Femur tertutup
Fr.Tibia tertutup
Fr. Pelvis
Hemothorax
Fr. Iga (tiap satu)
Luka sekepal tangan
Bekuan darah sekepal
Pemeriksaan klinis

Estimasi Perdarahan
1.5-2 liter
0.5 liter
3 liter
2 liter
150 ml
500 ml
500 ml
pasien syok hemoragik

dapat

segera

langsung

berhubungan dengan penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat


ringannya darah yang hilang bisa terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada
pasien penyakit dalam dan pasien trauma. Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya
ditegakkan dan ditangani secara bersamaan.
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh,
seperti: hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran.
Kumpulan gejala tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari
gagalnya sirkulasi tubuh. Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme
kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia dan penggunaan obat tertentu, kadang
dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya dalam batas normal. Oleh
karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan dilepas pakaiannya
harus tetap dilakukan.
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat
dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase
awal nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja
masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang
terdapat pada anemia kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat
kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk
7

mengevaluasi apakah terdapat gejala hematothoraks, dimana suara nafas akan turun,
serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.
Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki,
yang dapat mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah
perdarahan di kulit kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi
bahkan sebelum pemeriksaan lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan
faring.
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri
palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang
mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi dan
ekimosis mengindikasikan adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula
kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi atau instabilitas mengindikasikan
terjadinya fraktur pelvis dan ini dapat mengancam jiwa karena perdarahan terjadi
pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis adalah pecahnya
aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis yang bisa
mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran
skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan ekstremitas
bawah dan lemahnya nadi femoralis.
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat
fraktur. Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk
mencegah perdarahan di sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan t erutama fraktur femur,
karena dapat mengakibatkan hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus
segera diimobilisasi dan ditraksi secepatnya . Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan
untuk menyingkirkan perdarahan yang mungkin terjadi di intratorakal, intraabdominal,atau retroperitoneal.6
Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila
ada darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat
8

jarang curigai perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi
portal. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap,
dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan
penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat
perhatian khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti
syok neurogenik.
Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya
Perdarahan

< 750 ml

750-1500 ml

1500-2000 ml

>2000 ml

CRT

Normal

Memanjang

Memanjang

memanjang

Nadi

< 100

> 100

> 120

> 140

Tek. sistolik

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Nafas

Normal

20-30 x/m

> 30-40 x/m

>35 x/m

Kesadaran

Sedikit cemas

Agak cemas

Cemas, bingung

Bingung, lesu

Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu


berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia
untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu
beberapa jam. Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia
jaringan. Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan :
a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
organ primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob
dengan produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.

c. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada


organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan
merata,
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai
10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan
yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus
kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya
diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intravaskular), penderita
masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel dan
berakhir kematian.7
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah:
(cardiac output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003)
Unsur cardiac output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan,
maka tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada curah
jantung / cardiac output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh
tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika
eritrosit hilang, total Hb berkurang, curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen
jaringan tidak terganggu. Pada orang normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3
x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb
dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik. Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan
kompensasi dari curah jantung. Dengan mengembalikan volume darah yang telah
hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, maka curah jantung akan mampu
berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung dapat naik
sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian
volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
2.5 Pengaruh Usia Pada Syok Hemoragik

10

Tubuh akan mentoleransi syok hemoragik secara berbeda sesuai derajatnya


dan pada keadaan tertentu sesuai dengan usia pasien. Pasien bayi dan usia lanjut akan
sangat rentan terjadi gagal kompensasi saat tubuh kehilangan volume sirkulasi.
Pasien anak yang memiliki volume darah yang lebih sedikit dibandingkan orang
dewasa sehingga secara proporsional persentase kehilangan darah dan volum
sirkulasi juga akan jauh lebih besar. Anak dibawah 2 tahun pun fungsi ginjalnya
belum sempurna, sehingga produksi konsentrat urin belum baik. Anak usia muda
dalam mempertahankan volume sirkulasinya belum seefektif anak besar. berhatihatilah akan bahaya koagulopati karena proporsi luas permukaan tubuh akan
meningkat sesuai berat badannya dan membuat mudah kehilangan air lewat panas
serta terjadinya hipotermia dini.

Usia

lanjut

memiliki

penurunan

kondisi

fisik

dan

kesehatan

dalam

mempertahankan kehilangan volum sirkulasi. Penyakit arterosklerosis dan


penurunan elastin menyebabkan fungsi dinding arteri menurun, yang akan
menurunkan kemampuan kompensasi kehilangan volume sirkulasi. Menurunnya
aliran arteriolar pada jantung karena vasodilatasi dan penyakit angina atau infark
akan membutuhkan oksigenasi tinggi otot jantung. Pada usia lanjut mekanisme
takikardi untuk respons peningkatan curah jantung melemah karena turunnya
rangsang beta-adrenergik dalam memacu sel miosit di nodul sinoatrial.
Penggunaan obat-obat jantung juga akan mengurangi respons normal tubuh dalam
mengkompensasi syok, terutama penggunaan obat golongan beta-blocker,
nitrogliserin, ca-blocker, dan obat anti aritmia.
Penurunan fungsi ginjal juga berkorelasi dengan bertambahnya usia serta
kemampuan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance) turun pada usia lanjut
dibanding nilai kreatin normalnya. Kemampuan mengkonsentrat urin pun menurun
karena sensitifitas terhadap ADH menurun. Semua gangguan pada jantung,
pembuluh darah dan ginjal ini secara keseluruhan membuat tubuh gagal

11

menjalankan mekanisme kompensasinya di saat kehilangan darah. Faktor


komorbid lainnya pun perlu dipertimbangkan saat melakukan tatalaksana
perdarahan pada usia lanjut.
2.6 Penatalaksanaan Perdarahan
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah
mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat
mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul
akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok
sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat untuk
diagnosis dan terapi.8
Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari
penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera.
Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.8
Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari
kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.8
Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir
semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah penderita menderita
syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh
suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus
dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
a.

Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan lepada diagnosis cedera yang
mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital
awal (baseline recordings) penting untuk memantau respons penderita terhadap
12

terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan
penderita mengijinkan.8
1) Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.8
2) Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
Termasuk dalam

prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang

jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat
dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya
perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan.
Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.8
3) Disability (Pemeriksaan neurologis)
Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik.
Informasi

ini

bermanfaat

dalam

menilai

perfusi

otak,

mengikuti

perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan


fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi
mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan
oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap
berasal dari cedera intrakranial.8
4) Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki
sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat
13

penting dilakukan tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemakaian


penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal
sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.8
5) Dilatasi lambung Dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anak-anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus
yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi
lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.
Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan selang/pipa kedalam
perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk
mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik,
masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.8
6) Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.8
b.

Akses pembuluh darah


Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting
dilakuakan dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral.8

c.

Terapi awal cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial
dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl
fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti
14

yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis
hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang
baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus.
Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak.
Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada
respons ini.8
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar
diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah,
dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan
oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang
secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang
dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma
yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini dikenal sebagai
hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respons
Penderita datang dengan perdarahan
penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ
yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Pasang
infus jarum
besar,jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
Bila, sewaktu
resusitasi,
tekanan darah, nadi,
ambil
sampel darah perfusi organ jauh melebihi Catat
mempertahankan
perkiraan tersebut, maka
perfusi, (produksi urin)
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum
Ringer Laktat atau NaCl
diketahui atau penyebab lain untuk syok.8
0,9% 20ml/kgBB cepat,
ulangi.

1000-2000

ml

dalam 1 jam
Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk

Tekanan sistolik 100, nadi 100


Perfusi hangat, kering

Teruskan cairan 2-4 x

Urin ml/kg/jam

estimated loss

Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk15

Hemodinamik baik

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss),
syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga
terjadi hipoksia jaringan.7
Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur
setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam
keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir
hematokrit 10 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri,

16

memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras


habis.7

2.7 Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan
patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kirakira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai
volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume
darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila
kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume
sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (8090 ml/kg).8
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 70
ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara
dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume yang
hilang.7
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic
Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer
Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi
keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial
Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya.
Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut
telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan

17

terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi
diberikan.7
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka
cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah
karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan
kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai
20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau
hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan
paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9
Tabel 5. Traumatic status dari Giesecke
Tanda

TS I

TS II

TS III

Sesak nafas

Ringan

++

Tekanan darah

Turun

Tak teratur

Nadi

Cepat

Sangat cepat

Tak teraba

Urin

Oliguria

Anuria

Kesadaran

Disorientasi

/ Koma

18

Gas darah

pO2

/ pCO2

pO2

/ pCO2

CVP

Rendah

Sangat rendah

Blood loss % EBV

Sampai 10%

Sampai 30%

Lebih 50%

Tabel 6. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Kehilangan darah (ml)

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Sampai 750

750 - 1500

1500 - 2000

>2000

30% - 40%

>40%

Kehilangan darah (% volume Sampai 15% 15% - 30%


darah)
Denyut nadi

<100

>100

>120

>140

Tekanan darah

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Tekanan nadi

Normal /

Frekuensi pernapasan

14-20

20 -30

30-40

>35

Produksi urin (ml/jam)

>30

20-30

5-15

<5

CNS/Status mental

Sedikit

Agak Cemas

Cemas,

Bingung,

Bingung

Lesu

Kristaloid

Kristaloid

dan darah

dan darah

Cemas
Penggantian cairan
(hukum 3:1)

Kristaloid

Kristaloid

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)


Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti
dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita
yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti.
19

Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan


volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab
lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis.
Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki
keadaan sirkulasi.
2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)
Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi.
Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam
komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat
inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah
perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu
penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan
sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat
kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak jelas
seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan
perubahan kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit
terpengaruh. Aliran air kencing biasanya 20-30 ml/jam untuk orang dewasa.
Kehilangan cairan tambahan dapat memperberat manifestasi klinis dari
jumlah kehilangan darah ini.
3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)
Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir
selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk
takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan
sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu
memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah
20

didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula dan


perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat.
4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)
Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejalagejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk
yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit. Produksi urin hampir
tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat dan teraba
dingin. Penderita ini sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi
pembedahan segera. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita
mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.8
2.8 Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita.
Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda
positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu,
pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan
pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai
peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan.8
Tabel 7. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal

Tanda vital

RESPONS

RESPONS

TANPA

CEPAT

SEMENTARA

RESPONS

Kembali ke normal

Perbaikan sementara,

Tetap abnormal

tensi dan nadi kembali


Dugaan kehilangan Minimal

turun
Sedang, masih ada

Berat

darah
21

(10 - 20%)

(20 - 40%)

(> 40%)

Kebutuhan

Sedikit

Banyak

Banyak

kristaloid
Kebutuhan darah

Sedikit

Sedang-banyak

Segera

Persiapan darah

Specific type dan Specific type

Emergensi

crossmatch
Operasi

Mungkin

Kehadiran dini ahli Perlu

Sangat mungkin

Hampir pasti

Perlu

Perlu

bedah

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran
urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran
urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak
dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin
turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi
yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha
diagnostik.8
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara
berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah
pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan
melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal dapat diketahui
penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan

22

perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui


operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap
perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara
simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi
berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah.
Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada
takikardi, takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih
syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak
menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai. Pola respons yang
potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok: respons cepat, respons sementara,
respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.8
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan
tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian
diperlambat sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya
kehilangan volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus
cairan tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch
nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama
penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8
b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian
cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali
karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup.
Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah.
Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian

23

darah. Respons terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang


memerlukan operasi segera.8
c. Respons minimal atau tanpa respons
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik
pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan
perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai
kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard.
Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8
2.9 Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi
dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan
hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan
dalam memberikan koreksi defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan
titer anti A rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal
ini selalu tersedia di UGD.7
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin,
hydroxy-ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh
plasma expander. Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal
daripada Ringer Laktat (kira-kira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi, baik karena dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini
24

dapat terjadi disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya.
Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal.
Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch darah dan pada dosis lebih
dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.7
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik
dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga
Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.7
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun
pemberian infus IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan
juga setelah cairan interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl
0,45% tidak dapat digunakan.7
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan
keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4
kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular
20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung
selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan
atau tanpa peningkatan volume intrasel.10
Tabel 8. Berbagai Cairan Kristaloid10
Cairan

Ringer

Na+

K+

Cl-

Ca++

HCO3

Tekanan

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

Osmotik

130

190

28*

(mOsm/L)
273
25

Laktat
Ringer

130

154

109

28#

273

308

A
se
ta
t
NaCl

0
*

0,9%

sebagai laktat

sebagai asetat

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan


cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah.11
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia
dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam
larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel.7
Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.
Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.6
Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:

26

1. Cairan rumatan (maintenance).


Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi
cairan intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam
sel. Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline
/ NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada
perpindahan cairan melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 295
mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295
mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat
hipertonik.
2.10 Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada
proses metabolisme atau pada paru.7
Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge
Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada
jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami
kenaikan PCWP 50% yang potensial akan mengalami dekompensasi jantung.7
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio
Qs/Qt. Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata
27

mengalami kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah,
terjadi transient hypoalbuminemia 2,5 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 0,1
mg%. Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4
menjadi 13 + 1,0. Penurunan selisih tekanan COP PCWP tidak selalu menyebabkan
edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman
adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 20 25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar
0,25 -0,50 mg%.7
Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak
nafas akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau
berikan dopamin drip 5 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik
berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP.
Insiden dari pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.7
Asidosis asam laktat
Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis asam laktat
karena syok. Asam laktat dirubah hepar menjadi bikarbonat yang menetralisir
asidosis metabolik pada syok. Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru
menurunkan laktat darah karena perbaikan transport oksigen ke jaringan,
metabolisme aerobik bertambah.7
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah
mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit.
Pemberian Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit,
sedangkan faktor V dan VIII dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal).
Trombosit dapat diberikan sebagai fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyte
concentrate dengan masa simpan kurang dari 6 jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis

28

yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per mm3. Dextran juga dapat
menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.7

29

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Seorang laki-laki umur 24 tahun masuk rumah sakit 45 menit yang lalu
akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluh sakit pada sekitar perut bagian kanan
dan menjalar ke belakang. Mekanisme trauma, pasien saat itu sedang mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan tinggi lalu menghantam mobil yang berhenti tiba-tiba
didepannya. Perutnya membentur gagang setir motor saat itu.
Pasien datang dengan keadaan syok. Maka perlu diperhatikan ABCD dari
pasien. Airway: paten. Breathing & Ventilation: dada simetris, P 32 x/menit, Rh-/-,
Wh-/-, bunyi pernapasan vesikuler, tipe pernapasan thoracal. Circulation: TD 80/40
mmHg, N 120 x/menit reguler. Disability: kesadaran menurun (GCS 12 E4M5V3),
pupil isokor 2,5 mm/2,5 mm. Environment: suhu axilla 36,6 C.
Pada daerah abdomen ditemukan

luka memar (hematom) pada region

hipokondrium kanan. Nyeri tekan (+), defans muscular (+), nyeri ketok (+)
Menurut Traumatic status dari Giesecke, pasien tergolong dalam TS II.
Sedangkan menurut perkiraan kehilangan cairan dan darah, pasien tergolong dalam
kelas III. Dimana kehilangan darah sekitar 15000-2000 ml. Akibat kehilangan darah
sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir selalu menunjukkan tanda klasik
perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan
penting dalam status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan
yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu
menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat
ini hampir selalu memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi
darah didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi
dan oksigenisasi organ yang adekuat.
Tujuan resusitasi cairan pada syok hemorrhagic:

Menuju Normovolum dan Hemodinamik stabil

30

Memelihara adekuat Colloid Oncotic Pressure

Memelihara keseimbangan dan komposisi kompartemen cairan tubuh

Konsep dari Permissive Hypotension

Pasien tetap sadar

SBP 90 mmHg

MAP 50-60 mmHg

SaO2 > 92%

Airway dan Breathing


Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
Termasuk dalam

prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang

jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat
dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya
perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan.
Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.
Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin
Karena pasien seorang laki-laki
TBV = 70 cc x 70 kg = 4900 5000 cc
Perkiraan perdarahan kelas III, Maka :

31

40 % x 5000 cc = 2000 cc
20 cc/kgBB x 70 = 1400 cc 1 jam pertama
Hemodinamik :
TD : 80/50

P : 24 x/i

N : 122x/i

: 35,8

Hemodinamik masih buruk


20 cc/kgBB x 70 = 1400 cc 1 jam kedua
TD : 85/60

P : 20 x/i

N : 104 x/i

: 36,7

Hemodinamik masih buruk


Dilanjutkan dengan pemberian koloid 500 cc (gelofusin)
TD : 95/60

P : 20 x/i

N : 92 x/i

: 36,7

Hemodinamik stabil untuk segera dilanjutkan dengan laparatomi emergensi.


Untuk mengontrol perdarahan intraabdominal, dan diberikan transfuse darah PRC
intraoprasi.
Cairan isotonis konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan
cairan melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 295 mOsm/kg; misal :
NaCl 0,9%, Ringer Laktat, koloid.
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan
keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4
kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular
20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung
selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau
tanpa peningkatan volume intrasel

32

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan


cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien
dengan

kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan

sindroma syok.
Sedangkan cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran,
gelatin, hydroxy-ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan
tinggal lebih lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat
dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh
lebih mahal daripada Ringer Laktat (kira-kira 10x lipat lebih mahal). Reaksi
anaphylactoid dapat terjadi, baik karena dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08%
pemberian). Reaksi ini dapat terjadi disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin
untuk mengatasinya. Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini
dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch darah
dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan
darah.7
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran
urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran
urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak
dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin

33

turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi
yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha
diagnostik.8
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara
berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah
pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan
melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal dapat diketahui
penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan
perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui
operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap
perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara
simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi
berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah.
Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada
takikardi, takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih
syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak
menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock; Israel :

Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the TechnionIsrael Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari :
http://www.wjes.org/content/1/1/14
2. Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran


Universitas Diponegoro; Diunduh dari :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_177T
erapicairandandarah.pdf
3. Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed.
Missouri: Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007;
Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik
Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari :
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan
%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
4. Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed.
Pennsylvania: W.B.Saunders company;: 375-393; Dikutip dari : Hartanto, Widya
W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian
Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran; Diunduh dari :
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan
%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
5. Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung;
Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran; Diunduh dari :
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan
%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf

35

6. Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Shock; New York: Department of Emergency


Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; Diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/19834799/Hemorrhagic-Shock
7. Wirjoatmodjo, Karjadi; 2000; Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
8. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors;
Jakarta : Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
9. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip
dari: Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition
Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
11. Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh
dari :
http://cme.medscape.com/viewarticle/503138

36

Anda mungkin juga menyukai