Anda di halaman 1dari 48

P

Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemdikbud


tentang ilmu ini diuraikan dalam konteks kepentingan tim penatar gratifikasi Kemdikbud. Tim akan melakukan diseminasi/sosialisasi peraturan gratifikasi di 33 provinsi. Untuk membuat penyampaian informasi menjadi lebih jelas bagi audiens maka tim penatar gratifikasi perlu menguasai ilmu retorika. Tulisan lain tentang integritas adalah Reformasi Birokrasi. Pemahaman yang dipersepsi pegawai tentang makna reformasi birokrasi dirasakan kurang tepat. Pegawai pada umumnya memaknai reformasi birokrasi sebagai remunerasi. Sesungguhnya makna yang lebih tepat tentang reformasi birokrasi adalah perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Dengan menerapkan reformasi birokrasi secara efektif, maka organisasi akan menjadi lebih produktif dan pegawai akan menjadi lebih berintegritas. Ada tiga opini yang diwacanakan dalam edisi Forwas ini. Pertama, opini tentang Perspektif Akuntabilitas Pengawasan dalam konteks Administrasi Pendidikan. Opini ini mengemukakan pemikiran bahwa pengawasan merupakan bagian dari manajemen yang sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan organisasi. Kedua, opini tentang Audit Elektronik. Pemikiran tentang audit berbasis teknologi informasi memang sudah tidak dapat dihindari lagi karena era globalisasi ini sangat mengandalkan pada internet. Oleh karena itu audit Inspektorat Jenderal harus mengantisipasi penggunaan teknologi informasi. Ketiga, opini tentang pengaruh Zero Growth terhadap Honorer. Dalam edisi ini terdapat tiga artikel lepas. Pertama, artikel tentang Kodering Temuan Hasil Pemeriksaan. Artikel ini menyajikan informasi yang sangat penting karena akan melakukan perubahan yang sangat signifikan terhadap kodefikasi temuan hasil pemeriksaan dari 10 kodefikasi menjadi 3 kodefikasi yaitu Temuan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan, Temuan Sistem Pengendalian Intern, dan Temuan 3 E. Kedua, artikel tentang Penulisan Menjaga Kualitas Hasil Audit. Ketiga, artikel tentang SDM yang berkualifikasi S3. Bagi pembaca yang berminat untuk mengirimkan tulisan atau gagasan yang konstruktif dan inovatif seputar pengawasan pendidikan dapat menyampaikan ke redaksi Forwas, Gedung B, Kantor Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat.

embaca yang budiman, pada edisi kali ini Forwas mengangkat tema Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Upaya-upaya yang dilakukan Inspektorat Jenderal sudah cukup intensif, sistematis, dan komprehensif. Inspektorat Jenderal telah memprakarsai pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini menjadi catatan prestasi tersendiri karena hingga saat ini baru Kemdikbud yang mempunyai UPG. Selain itu Inspektorat Jenderal juga telah banyak melakukan sosialisasi tentang Integritas dan Gratifikasi melalui penyelenggaraan workshop dan pelatihan. Di samping itu dalam menjalankan fungsinya sebagai Konsultan, Inspektorat Jenderal juga menerbitkan buku Gratifikasi dan Bagaimana Mengenalnya untuk dijadikan sebagai rujukan bagi seluruh pegawai Kemdikbud. Tulisan lain yang menarik untuk disimak adalah tentang Pendidikan Anti Korupsi yang merupakan ringkasan dari paparan Inspektur Jenderal yang disampaikan dalam forum Konferensi Pelajar ASEAN di hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 3 April 2013. Tulisan ini mengetengahkan wacana tentang peran yang dapat dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa ASEAN dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Tulisan ini menggugah pelajar dan mahasiswa ASEAN untuk berbuat lebih banyak bagi bangsanya dalam rangka menegakkan integritas negara. Edisi ini juga menyajikan liputan tentang penyelenggaraan Workshop Program Revitalisasi Integritas Mental Aparatur (PRIMA). Workshop ini difasilitasi langsung oleh Tim Divisi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama berlangsungnya workshop dilakukan proses pembelajaran, diskusi, dan praktik yang sangat dinamis untuk menjadikan peserta sebagai Komite Pelaksana Integritas di lingkungan Kemdikbud. Komite ini diharapkan dapat melakukan langkah-langkah yang konstruktif dalam membangun integritas pegawai Kemdikbud berdasarkan pada nilai kepedulian, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab. Selanjutnya dalam edisi ini juga dimuat tulisan tentang retorika atau Public Speaking yaitu ilmu Seni Berbicara yang efektif di hadapan khalayak ramai. Ulasan

Daftar Isi
3 6 10 13 17

Tolak Gratifikasi dan Harus Berani Jujur Pendidikan Anti Korupsi Workshop PRIMA Pentingnya Retorika Bagi Tim Penatar Gratifikasi Reformasi Birokrasi Perspektif Akuntabilitas Pengawasan dalam Konteks Administrasi Pendidikan E- Audit Pengaruh Zero Growth terhadap Honorer Kodering Temuan Hasil Pemeriksaan Menjaga Kualitas Hasil Audit SDM berkualifikasi S3

21 28 33 36 41 43

SUSUNAN REDAKSI
Penanggung Jawab : Haryono Umar, Hindun Basri Purba Redaktur Pelaksana : Zarkoni, Agam Bayu Suryanto Penyunting : Ahmar Hads, Hodden Simarmata, Photografer : Abdul Rohim, Dewi Septaviani Tarigan Design Gras : Yusron Nurrachim, Mulyaningsih Sekretariat : Awan Syarif, Suryati, Asep Saefudin, Yanto Susanto, Ferry Hasan, Fanny Budiman, Alamat Redaksi : Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jl. Jend. Sudirman Senayan, Jakarta 10270
Kotak Pos 4403JKT 12044 Telp. (021) 5737104, 5737138 ISSN : 0856-4209

M. Affan Hasibuan, Fi Novianti, Tri Astuti, Irawati Rohsehatni, Tri Puji Legowo

Redaksi Menerima Tulisan Maupun Artikel

Karyaningsih dan Agam Bayu Suryanto


Dalam rangka Mewujudkan Tata kelola yang Baik (Good Governance) banyak barometer yang ditetapkan menjadi ukuran keberhasilan institusi pemerintah. Ukuran paling populer selama ini adalah kemampuan instansi pemerintah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian atas laporan keuangan dan nilai baik atas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Belakangan ini ukuranukuran yang menilai berhasil atau tidaknya kinerja instansi pemerintah semakin Pendidikan Anti Korupsi merupakan contoh dari ukuran-ukuran kontemporer tersebut. Inspektorat Jenderal sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) yang menjalankan peran sebagai Penjamin Mutu dan Konsultan mengambil prakarsa untuk mengkoordinasikan upaya-upaya yang sistematis oleh segenap komponen Kementerian dalam mencapai predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Pelaksanaan TOT Gratifikasi Dalam melaksanakan Program Pengendalian Gratifikasi, Inspektorat Jenderal telah melaksanakan Training of Trainer (TOT) Penguatan Unit Gratifikasi pada tahun 201 2 d e n g a n menghadirkan nara sumber dan fasilitator dari Komisi Pemberantasan Korupsi. TOT tersebut memakan waktu selama 7 hari penuh dengan mengikutsertakan auditor dan staff sekretariat yang akan dipersiapkan sebagai anggota Satuan Tugas Pengendalian Gratifikasi. Dalam TOT ini dilakukan diskusi secara intensif tentang makna dan ruang lingkup gratifikasi. Makna gratifikasi pada hakekatnya adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara dan PNS merupakan budaya yang sudah lama diterapkan sebagai tanda mata dan buah tangan atau kenang-kenangan. Namun demikian gratifikasi dapat menjadi embrio cikal bakal munculnya motif untuk melakukan korupsi apabila
FORWAS EDISI I / 2013

ber tambah. Inisiatif Anti Korupsi, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Sistem Pengaduan Masyarakat (Whistleblower System), dan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), Sistem Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), dan

nilai gratifikasi tersebut tidak wajar, terlalu besar, dan berlebihan. Ada tiga kriteria utama bagi pemberian sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Pertama, pemberian tersebut bersifat langsung dan personal. Kedua, pemberian itu ditujukan kepada penyelenggara negara dan Pegawai Negeri Sipil. Ketiga, pemberian itu bersifat untransactional. Penerbitan Buku Gratifikasi dan Bagaimana Mengenalnya Pada tahun 2012 Inspektorat Jenderal telah menerbitkan dan menyebarluaskan buku Gratifikasi dan Bagaimana Mengenalnya kepada segenap pegawai di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku tersebut telah dijadikan pedoman bagi satker dalam memahami gratifikasi dan telah digandakan oleh masing-masing satker untuk disebarluaskan di internal satuan kerjanya. Penerbitan Buku Saku Memahami Gratifikasi Penerbitan buku saku dinilai sebagai

salah satu metode penyebarluasan informasi yang menjadi bagian dari peranan Inspektorat Jenderal sebagai lembaga konsultansi. Pemberian advis nasehat dan penjelasan tentang makna dan ruang lingkup gratifikasi dapat dilakukan Inspektorat Jenderal baik melalui pemberian konsultasi langsung di kantor Sekretariat Satuan Tugas Pengendalian Gratifikasi maupun konsultasi tidak langsung berupa penyebarluasan buku saku. Penerbitan buku saku tersebut dimaksudkan untuk menyediakan buku saku praktis tentang gratifikasi yang dapat dibawa-bawa secara mudah sehingga bisa dibaca pada saat senggang. Metode ini dipandang dapat memberikan efek penyebaran informasi yang lebih luas cakupannya. Pembentukan Satuan Tugas Pengendalian Gratifikasi Sejak tahun 2012 Kemdikbud telah membentuk Satuan Tugas Pengendalian Gratifikasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 72 Tahun 2012. Satuan Tugas ini memberikan layanan jasa konsultasi dan pemberian informasi tentang gratifikasi serta menerima laporan penerimaan gratifikasi. Laporan yang diterima Satuan Tugas akan diproses lebih lanjut dan diteruskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendapatkan penilaian. Hasil penilaian KPK akan memutuskan apakah barang tersebut masuk dalam kategori gratifikasi atau bukan. Apabila barang tersebut masuk dalam kategori gratifikasi sebagai barang milik negara yang harus diserahkan ke KPK untuk diteruskan ke Kementerian Keuangan dan selanjutnya diproses lelang, atau barang tersebut sebagai gratifikasi kedinasan untuk dapat digunakan di instansinya sendiri, atau bukan gratifikasi sehingga dapat dikembalikan pada si pelapor. Penilaian barangbarang tersebut ditetapkan dengan Keputusan Ketua KPK. Selanjutnya agar dapat dijadikan contoh teladan maka SK KPK tersebut diedarkan kepada seluruh pimpinan satker. Untuk dapat dijadikan peringatan dan contoh maka Inspektorat Jenderal juga menyiapkan Lemari Gratifikasi yang digunakan untuk menyimpan seluruh barang-barang gratifikasi yang sudah dilaporkan baik dalam bentuk aslinya untuk gratifikasi kedinasan maupun berupa foto

4 FORWAS EDISI I / 2013

untuk gratifikasi yang menjadi barang milik negara. Dalam rangka membangun kejujuran telah dibentuk Kantin Kejujuran yang tidak ada penjaganya, jadi setiap pembeli dapat mengambil barang yang dibeli dan meletakkan uang pembayaran di tempat yang telah disediakan tanpa ada yang melayani. Workshop Pembangunan Zona Integritas menuju WBK Inspektorat Jenderal telah menyelenggarakan Workshop Pembangunan Zona Integritas menuju WBK pada tahun 2012 di empat regional mencakup DI Yogyakarta, Medan, Makassar, dan Palembang. Dalam keempat workshop tersebut telah disosialisasikan langkah-langkah yang harus dilakukan Kementerian untuk mencapai predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) berdasarkan Permenpan RB nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas menuju WBK dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Pada saat ini juga sekaligus menyebarkan stiker TOLAK GRATIFIKASI dan HARUS BERANI JUJUR ke seluruh satker Kemdikbud. Workshop Rencana Aksi Kemdikbud menuju WBK Pada tahun 2013 Inspektorat Jenderal melanjutkan Workshop Pembangunan Zona Integritas di tahun 2012 dengan menyelenggarakan Workshop Rencana Aksi Kemdikbud. Dalam workshop ini didiskusikan langkah-langkah praktis dan sistematis yang dapat dilakukan pihak-pihak Kementerian untuk mencapai predikat WBK. Pada tahun 2013 ini juga akan dilakukan kegiatan pemantauan untuk mengetahui sejauh mana komitmen satuan-satuan kerja Kemdikbud dalam mengimplementasikan rencana aksi yang telah disusun pada workshop ini. Workshop PRIMA (Program Revitalisasi Integritas Mental Aparatur) Pada tahun 2013 Inspektorat Jenderal telah menyelenggarakan Workshop PRIMA dengan peserta sebanyak 20 orang dari pejabat esselon 2, esselon 3, dan esselon 4 dari Unit Utama, Ditjen Dikti, Badan Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Biro Kepegawaian, Pusbangtendik, dan Inspektorat Jenderal. Untuk mengikuti workshop PRIMA, sebelumnya telah dilakukan seleksi melalui interviu oleh tim KPK pada tanggal 8 Mei 2013 di Itjen Kemdikbud dengan jumlah peserta yang diundang sebanyak 62 orang dari seluruh unit utama, yang hadir dan mengikuti interviu sebanyak 42 orang. Sosialisasi dan Diseminasi Peraturan Gratifikasi Pada tahun 2013 Inspektorat Jenderal akan melakukan Sosialisasi dan Diseminasi Peraturan Gratifikasi kepada seluruh satker Kemdikbud pada 33 provinsi dengan mengikutsertakan pejabat struktural dari Unit Utama Kemdikbud dan auditor sebagai nara sumber. Pada saat ini juga akan dibagikan Buku Saku Memahami Gratifikasi dan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2012 t e n t a n g Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kemdikbud.

FORWAS EDISI I / 2013

Pendidikan AnTi KOrupsi


oleh : Inspektur Jenderal Kemdikbud

Dok. Itjen Kemdikbud

Inspektur Jenderal Kemdikbud Prof. Dr. H. Haryono Umar, M.Sc, Ak berpartisipasi sebagai salah satu penyaji materi dalam Konferensi ASEAN mengenai Mendidik Masyarakat ASEAN tentang Integritas (Educating ASEAN Societies for Integrity) yang diselenggarakan pada tanggal 1 s.d 3 April 2013 di Hotel Borobudur, Jakarta. Inspektur Jenderal menyajikan materi yang berjudul Pendidikan Anti Korupsi pada tanggal 3 April 2013 pukul 15.45 s.d 16.45 di ruang Banda A. Konferensi ini diorganisir oleh Kementerian Luar Negeri dan LSM Tiri yang bergerak di bidang integritas. Konferensi ini dihadiri oleh 150 pengajar dan pelajar dari negara-negara anggota ASEAN. Materi yang disampaikan Inspektur Jenderal secara umum dapat disarikan sebagai berikut. Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.508 pulau (6.000 yang memiliki penduduk). Luas Indonesia sangat luas dengan area sebesar 1.904.569 km2 yang terdiri dari tanah
6 FORWAS EDISI I / 2013

seluas 1.811.569 km2 dan air seluas 93.000 km2. Indonesia terdiri dari 33 provinsi dengan 500 kabupaten/kota. Hutan Indonesia sangat luas mencakup 69% dari area tanah. Dengan kondisi yang ada sebenarnya Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya energi. Tapi kenyataan yang dihadapi Indonesia sangat memprihatinkan. Kondisi Indonesia saat ini menghadapi begitu banyak pengangguran, tingkat kemiskinan yang tinggi dan tersebar ke berbagai pelosok negeri, hutang luar negeri yang semakin besar dan tidak tahu kapan dapat dilunasi secara tuntas, dan kerusakan hutan. Organisasi Transparansi Internasional yang berkantor di Berlin telah menerbitkan Index Persepsi Korupsi Tahun 2012 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke 118 dari 178 negara dengan skor 32. Peringkat tersebut turun dari tahun 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat 100 dari 183 negara. Peringkat ini sejajar dengan negara Madagascar, Mesir, Ekuador dan Republik Dominika. Index ini dilakukan berdasarkan pada bagaimana korupsi pada sektor publik dipersepsikan. Skor suatu negara mengindikasikan tingkatan persepsi pada skala 0-100 di mana 0 berarti bahwa negara tersebut dipersepsikan sebagai negara t e r k o r u p , sedangkan 100 dipersepsikan sebagai negara terbersih. Ada 8 modus tindak pidana kor upsi yaitu : Menimbulkan kerugian negara (pasal 2 UU 31 tahun 1999), Memberi atau
Dok. Itjen Kemdikbud

menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5), Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara (pasal 6), Pengadaan barang/ jasa (pasal 7), Melakukan penggelapan uang dan surat berharga atau membiarkan uang dan surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (pasal 8), Melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9 dan 10), Gratikasi (pasal 12) dan Mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi (pasal 21 UU 31 tahun 1999). Dampak korupsi adalah terciptanya jurang kesenjangan yang semakin besar antara pihak yang kaya dengan pihak yang miskin. Yang kaya menjadi semakin berlimpah kemakmuran dan bergelimang kernewahan, sedangkan yang miskin semakin terpuruk dalam kehidupannya.

FORWAS EDISI I / 2013

Hal inilah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konik sosial. Ada teori tentang segitiga kecurangan (The Triangle of Fraud). Teori ini menyatakan bahwa seseorang terdorong untuk berperilaku curang karena adanya tiga hal yaitu Kesempatan, Merasionalkan, dan Tekanan. Penjelasan singkat dari masing-masing hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kesempatan
Ke s e m p a t a n a d a l a h l i n g k u n g a n y a n g memungkinkan seseorang untuk melakukan halhal yang tidak pantas atau sesuatu yang bersifat menyimpang.

2. Merasionalkan
Kerangka pemikiran atau karakter yang tidak etis. Seseorang merasionalkan tindakan-tindakan yang tidak semestinya dilakukan menjadi suatu hal yang lazim.

Dok. Itjen Kemdikbud

3. Tekanan (Pressure)
Motif atau insentif seseorang untuk mempraktekkan gaya hidup melebihi yang semestinya karena dorongan-dorongan hasrat kehidupan yang ingin serba senang dengan cara cepat tanpa mau bekerja keras. Pengertian anti korupsi adalah segala upaya untuk memerangi, menghapuskan, melawan dan mencegah korupsi. Untuk memberantas korupsi ada tiga cara yaitu dengan mencegah, menindak secara represif, dan memberikan pendidikan. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah meningkatkan sistem, pengendalian, pendekatan bisnis, dan pendekatan ekonomi. Pendekatan represif dilakukan melalui penyelidikan, investigasi, penuntutan, dan eksekusi. Pemberian pendidikan dilakukan melalui pendekatan budaya, pendidikan formal, pelatihan, dan pemberdayaan masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantoro, pendidikan a d a l a h d ay a u p ay a u n t u k m e m a j u k a n

Ki Hajar Dewantoro

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Pendidikan akademik harus dilakukan bersamaan dengan pendidikan karakter untuk mengembangkan perilaku,

8 FORWAS EDISI I / 2013

pengetahuan, dan keterampilan. Pendidikan harus dapat mengeksplorasi, memperkuat, dan memberdayakan. Pendidikan Anti Korupsi telah diberikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi pada mata pelajaran Agama dan Kewarganegaraan. Modul-modul pendidikan anti korupsi juga telah dipersiapkan. Pendidikan Anti Korupsi merupakan bagian dari pendidikan karakter. Muatan pendidikan anti korupsi diserap dari nilai-nilai utama yang telah menjadi praktek-praktek terbaik di dunia meliputi kejujuran, kepedulian, keadilan, dan keberanian. Penanaman nilai-nilai ini dilakukan di sekolah, rumah, dan masyarakat sehingga akan membentuk perilaku anti korupsi. Kegiatan akademik adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Di dalam universitas dikembangkan budaya kehidupan kampus dengan aktivitas mahasiswa di bidang akademik, olahraga, seni, dan sosial sehingga akan membentuk kebiasaan sehari-hari yang baik. Selain itu juga dibangun budaya akademik yang baik bagi mahasiswa agar selalu bersikap jujur dan tidak melakukan contek mencontek serta plagiarisme. Banyak metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pendidikan anti korupsi sehingga kegiatan akademik bisa dilakukan secara variatif. Metode-metode tersebut mencakup diskusi dalam kelas, studi kasus, skenario sistem peningkatan, kuliah umum, diskusi lm, laporan investigasi, ekplorasi tematik, prototipe, dan mengkaji kebijakan pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membentuk Satuan Tugas Pengendalian Gratikasi melalui Keputusan Mendikbud Nomor 72 Tahun 2012. Selain itu juga telah didistribusikan buku saku tentang Gratikasi kepada seluruh unit utama sebagai rujukan untuk memahami gratikasi dengan lebih mendalam. Selanjutnya Inspektorat Jenderal telah membagi-bagikan stiker Tolak Gratifikasi dan Berani Jujur

sebagai upaya pemasyarakatan nilai-nilai anti korupsi kepada seluruh unit utama. Pekerjaan dari Tim Satuan Tugas Pengendalian Gratikasi adalah menyosialisasikan peraturan tentang gratikasi, memantau upaya pencegahan dan pengendalian gratifikasi, mengorganisir pelaksanaan workshop Program Revitalisasi Integr itas Moral Aparatur (PRIMA), dan mengorganisir pelaksanaan workshop Rencana Aksi menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Pelajar dan mahasiswa harus menjadi subjek pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai dengan konsep segitiga pihak-pihak yang berkompeten untuk mewujudkan Tatakelola yang Baik (Good Corporate Governance) dan Pemerintah yang Bersih (Clean Government). Ketiga pihak tersebut mencakup Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat yang di dalamnya termasuk pelajar dan mahasiswa. Hal ini merujuk pada PP Nomor 71 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah peranan aktif dari individu dan organisasi masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi. Pelajar dan mahasiswa dapat berperan sebagai agen perubahan besar sebagaimana telah terbukti di Hamburg, Jerman, Iran pada tahun 1979, Filipina pada tahun 1985, dan Indonesia pada tahun 1998. Ada tiga bentuk upaya pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan pelajar dan mahasiswa. Per tama, upaya pencegahan (Prevention) yang mencakup pendidikan anti korupsi, menerapkan semangat anti korupsi, pendidikan karakter, menghargai nilai-nilai mulia, dan mengkampanyekan ujian nasional bersih. Kedua, upaya membangun opini melalui gagasan, metode pemberantasan korupsi, dan memuat isuisu korupsi lokal dan nasional ke dalam media. Ketiga, melalui gerakan moral meliputi kelompok penekan, kampanye anti korupsi, memimpin dengan keteladanan dalam kehidupan seharihari, berkompetisi secara sehat, mematuhi aturan secara ketat, dan berintegritas.

FORWAS EDISI I / 2013

Workshop Program Revitalisasi Integritas Mental Aparatur (PRIMA)


oleh: Sogol Sugiarto
Inspektorat Jenderal telah menyelenggarakan Workshop PRIMA selama 5 hari sejak tanggal 20 s.d 25 Mei 2013 di Hotel Park, Jakarta. Workshop ini difasilitasi oleh tim dari Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah koordinasi Bapak Asep Chaerulah. Workshop ini diorganisir penyelenggaraannya oleh Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan (PLP) Inspektorat Jenderal. Workshop ini diikuti secara aktif oleh 19 orang yang terdiri dari 6 orang pejabat struktural Inspektorat Jenderal, 4 orang auditor Inspektorat Jenderal, dan 9 orang dari perwakilan unit utama Kemdikbud.
10 FORWAS EDISI I / 2013

Dok. Itjen Kemdikbud

Tujuan Workshop PRIMA adalah untuk 1) membangun kesadaran secara komprehensif untuk menjauhkan diri dari perilaku korupsi; 2) mengetahui 7 pola bahasa sugestif yang mencakup Clause of Time, Perubahan Waktu, Commentary Adjective and Adverb, Tag Questions, Double Bind, Embedded Command, dan Kalimat Tersembunyi; dan 3) mengetahui 7 teknik dasar internalisasi penguatan integritas meliputi Anchoring, Utilisasi, Rileksasi, Amplify, Modality, Asosiasi, dan Sugesti. Seluruh peserta dengan bimbingan dari tim fasilitator telah berkontribusi secara aktif dalam workshop ini. Drs. M. Muhadjir, MA dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa terpilih sebagai ketua kelas. Ke-19 orang peserta workshop dibagi ke dalam 3 kelompok diskusi yang diberi nama Kelompok Berani, Kelompok Jujur, dan Kelompok Hebat. Suasana workshop didominasi dengan diskusi dan presentasi kelompok. Tiap kelompok saling menyajikan presentasi atas topik yang diberikan kepadanya dan saling memberikan masukan dan penilaian skor. Materi utama dalam workshop ini adalah membangun Sistem Integritas N a s i o n a l (SIN) yang diawali dengan pembentukan p r i b a d i berintegritas. Ke t e l a d a n a n pemimpin (Tone o f t h e To p ) menjadi bagian yang sangat penting dari pembangunan SIN ini. Makna integritas didefinisikan

sebagai suatu keutuhan pribadi yang selaras dengan nilai universal, nilai keluarga, nilai lingkungan, nilai organisasi, dan nilai bangsa dan negara. Kelima nilai tersebut dapat diselaraskan dengan harmonis maka akan terwujudlah kebahagiaan. Dengan telah semakin banyaknya dibentuk orang-orang yang berintegritas, maka tindak pidana korupsi diharapkan akan dapat ditekan semaksimal mungkin. Oleh karena itu perlu dibentuk Tunastunas Integritas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan selalu memberikan pemahaman, memberikan peringatan kepada seluruh pegawai untuk berkomitmen terhadap integritas. Bagian yang paling menarik dalam workshop ini adalah sesi praktek menggunakan teknik internalisasi integritas pribadi dengan pendekatan pembelajaran hipnotis sederhana (Hypno learning). Dalam sesi ini peserta dipasangkan berdua dengan mitranya untuk saling memberikan sugesti positif. Sebagai tindak lanjut dari workshop ini Inspektorat Jenderal akan memfasilitasi pembentukan Komite Pengarah dan Komite

FORWAS EDISI I / 2013 11

Dok. Itjen Kemdikbud

panitia kecil yang diketuai oleh ibu Karyaningsih dengan sekretaris Agam Bayu Suryanto. Pada akhir workshop terpilih beberapa orang yang memperoleh penghargaan atas prestasi selama mengikuti workshop. Dr. Sugiyono dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menerima penghargaan sebagai peserta terbaik dan Harsono, S.IP , M.Si terpilih sebagai peserta teraktif. Dalam penutupan workshop, Inspektur Jenderal Kemdikbud, Prof. Dr. H. Haryono Umar, M.Sc, Ak berkenan memberikan paparan tentang integritas. Inspektur Jenderal memberikan penekanan bahwa perlunya membangun komunitas penegak kebenaran di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lebih lanjut Inspektur Jenderal berpesan bahwa seseorang tidak perlu merisaukan kehilangan harta benda, tetapi kalau ia sudah kehilangan nilai-nilai integritas berarti ia sudah kehilangan segalanya.

Dok. Itjen Kemdikbud

Pelaksana Integritas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan memfasilitasi proses pembangunan integritas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk mengkoordinasikan pembentukan komite tersebut maka dibentuk

12 FORWAS EDISI I / 2013

Dok. Itjen Kemdikbud

oleh Hindun Basri Purba

ada tanggal 6 Mei 2013 dalam kegiatan Workshop Unit Pengendalian Gratifikasi, diberikan materi Public Speaking (Retorika) kepada para Tim Penatar Gratifikasi oleh trainer Rahmadsyah. Upaya untuk melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi adalah kerja keras yang sangat mulia. Salah satu praktek umum yang biasa dilakukan publik dan bisa berpotensi menjadi embrio (cikal bakal) korupsi adalah pemberian gratifikasi. Oleh karena itu diperlukan penjelasan kepada publik agar mereka dapat lebih memahami tentang gratifikasi. Untuk dapat memberikan penjelasan gratifikasi kepada publik dalam jumlah yang banyak sehingga lebih menjangkau banyak pihak, maka perlu dilakukan kegiatan diseminasi atau penataran kecil. Dalam rangka membantu supaya penjelasan tentang gratifikasi dapat lebih mudah dipahami, dibutuhkan metode penyampaian penjelasan yang dikenal dengan istilah ilmu Retorika atau Public Speaking.
Secara umum makna Retorika adalah Seni Berbicara (The Art of Speech) yang berarti kemampuan mengolah kata, meracik kalimat menjadi rangkaian susunan yang bermakna. Ada juga yang berpendapat bahwa Retorika adalah ilmu Berpidato atau Presentasi. Hal ini dipertegas dengan digunakannya istilah Speaking daripada Talking yang walaupun keduanya sama-sama berarti berbicara, tetapi Speaking lebih menekankan pada aspek Seni. Yang dimaksud dalam hal ini sebagai suatu Seni adalah Berbicara yang bukan asal bicara, namun harus mengandung suatu pesan yang jelas atau

Dok. Itjen Kemdikbud

FORWAS EDISI I / 2013 13

Dengan penguasaan retorika, maka tim penatar gratifikasi dapat menjadi orator yang mumpuni
informasi yang bermakna dengan nada suara bervariasi serta bahasa yang baik. Seseorang yang ahli beretorika sering disebut dengan istilah Orator. Retorika dapat membantu untuk mencapai suatu tujuan baik tujuan mulia maupun tujuan tercela. Orator-orator terkenal dari Indonesia antara lain adalah Presiden Soekarno, Bung Tomo, dan KH. Zaenudin MZ yang tentu saja mempunyai tujuan mulia dalam beretorika yaitu ingin membangun bangsa menjadi lebih berkarakter. Dalam contoh lain kita melihat pemimpin Jerman Adolph Hitler yang dengan pidatonya yang berapi-api mampu menggerakkan organisasi Nazi hingga menimbulkan Perang Dunia. Dengan penguasaan retorika, maka tim penatar gratifikasi dapat menjadi orator yang mumpuni dalam menyampaikan pesan tentang gratifikasi. Selanjutnya diharapkan pemahaman yang benar tentang gratifikasi di kalangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat lebih meningkat dan semakin tersebar luas.

berupa informasi. Makna informasi adalah data yang sudah diolah menjadi makna yang lebih berarti (meaningful). Pesan utama yang ingin kita sampaikan adalah makna dan ruang lingkup gratifikasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar penerima pesan (audience) dapat memahami secara tepat dan jelas tentang gratifikasi.

2. Keselarasan

Hal lain yang sangat ditekankan dalam definisi tersebut adalah keselarasan. Pidato atau presentasi yang baik harus harmonis antara bahasa verbal (kata-kata yang diucapkan) dengan bahasa non verbal (bahasa tubuh atau gerak gerik/gesture).

3. Vokal

Suara yang jelas, intonasi yang bervariasi namun sesuai dengan materi dan konteks pembicaraan, serta artikulasi pengucapan kata yang jelas merupakan hal ketiga yang sangat ditekankan dalam definisi retorika.

Empat Elemen Retorika


1. Penyaji Informasi
Kesiapan mental penyaji adalah modal awal yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah pidato atau presentasi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kalau seseorang belum mampu untuk melakukan sesuatu yang akan dikatakannya maka sebaiknya ia jangan berpidato atau melakukan presentasi. Sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa seseorang tidak harus menjadi baik dalam segala hal dulu untuk bisa menyampaikan presentasi. Pendapat ini justru menyatakan bahwa bila seseorang sudah berpidato sebenarnya ia telah mempunyai niat baik dan memulai untuk melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Niat yang kuat akan mempengaruhi perbuatan. Penatar gratifikasi harus memiliki motivasi yang kuat sebagai seorang Motor Penggerak Integritas yang memiliki kepedulian tinggi untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik. Kalau bukan kita siapa lagi yang mau peduli. Biarlah semua orang tidak peduli dengan kondisi yang semakin hari terlihat semakin buruk, tetapi kita tetap menjadi pelita yang bisa mencerahkan kegelapan.

Denisi Retorika

Kemampuan komunikasi di depan umum untuk menyampaikan sebuah informasi melalui bahasa verbal dan non verbal dengan nada suara yang selaras. Ada tiga hal yang ditekankan dalam definisi ini yaitu penyampaian pesan, keselarasan, dan nada suara (vokal).

2. Materi
Materi presentasi harus dirancang secara jelas, menarik, dan sistematis. Materi harus jelas pesanpesannya. Kata-kata yang tertuang dalam materi presentasi harus singkat dan padat serta tidak boleh

1. Penyampaian Pesan

Definisi di atas sangat menekankan pada penyampaian pesan (Delivery Message). Pesan harus 14 FORWAS EDISI I / 2013

terlalu panjang seperti sebuah paragraf. Uraian kata yang singkat akan mempermudah audiens dalam memahami pesan. Presentasi harus dibuat semenarik mungkin dengan menyajikan banyak ilustrasi dan gambar-gambar yang menggugah. Ada pakar retorika yang mengatakan bahwa 1 gambar akan lebih berdampak besar terhadap audiens daripada 1000 kata. Materi presentasi harus disusun secara sistematis. Urutannya harus jelas sehingga memudahkan audiens dalam mengikuti alur pikir logika dan rasionalitas pesan. Argumentasi pidato harus jelas penguraian dan pengambilan kesimpulannya. Urutan pidato yang baik secara umum adalah sebagai berikut.

d. Kesimpulan (Conclution) Presenter harus mampu menyajikan penalaran

logis dan rasional sehingga tidak menimbulkan kebingungan audiens. Jangan sampai terjadi antara isi pidato atau presentasi inti dengan kesimpulannya tidak nyambung. Bila hal ini terjadi, maka dapat dinilai bahwa penyampaian presentasi telah gagal dan sia-sia. Presentasi yang baik harus mampu membangun argumentasi yang masuk di akal audiens. Kesimpulan yang disampaikan oleh presenter harus didasarkan pada pengertian audiens terhadap batang tubuh presentasi. Logika ilmiah metode deduktif dari umum ke khusus merupakan cara yang tepat dalam pengambilan kesimpulan presentasi.

a. Kata Pembuka (Opening)

Presenter harus menyampaikan salam kehangatan kepada audiens yang dilandasi dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Presentasi yang disampaikan dengan penuh cinta akan menghasilkan dampak yang lebih besar dan signifikan daripada presentasi yang tidak dilandasi dengan perasaan apa-apa. Presentasi yang tidak didorong rasa cinta hanya akan menghasilkan sesuatu yang hampa dan seperti tidak bernyawa.

e. Kata Penutup (Closing)

b. Pendahuluan (Background)

Presenter yang baik akan menjelaskan latar belakang yang mendasari perlunya presentasi. Latar belakang yang menarik adalah fenomena-fenomena faktual yang benar-benar terjadi pada masyarakat. Presenter harus dapat menghubungkan antara fenomena yang sudah ada dengan materi presentasi yang akan disampaikan. Materi presentasi harus bisa berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi masalah dan memberikan harapan akan timbulnya situasi yang lebih baik. Apabila presenter tidak mampu menguraikan latar belakang yang baik, maka dikhawatirkan presenter akan menjadi PHP (Pemberi Harapan Palsu).

Presenter harus memberikan harapan-harapan kepada audiensnya agar mereka dapat menjadi agenagen perubahan yang bisa menyumbangkan sesuatu dan memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa walaupun apa yang disumbangkannya hanya sedikit. Kata penutup yang baik harus bisa mengandung sugesti positif kepada audiens untuk mau berbuat dan melakukan sesuatu yang konkret menjadi Motor Penggerak Integritas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pakar retorika juga mengajukan alternatif susunan presentasi dengan rumus AIDA yang merupakan akronim dari Attention, Interest, Desire, dan Action.

a. Attention (Meminta Perhatian Audiens)

Presenter dapat menyampaikan tentang Indonesia yang saat ini tergolong ke dalam kelompok negaranegara yang paling korup di dunia.

b. Interest (Menarik Minat Audiens)

c. Batang Tubuh (Substance)

Presenter menyam pai kan gagasan-gagasan pokok dan bunga rampai. Ide-ide pemikiran dari berbagai nara sumber terpercaya dan kompeten harus dikemukakan sebagai dasar argumentasi utama. Ilustrasi dan contoh kasus harus digunakan sebagai penguat gagasan pokok. Bunga rampai adalah penunjang materi utama. Kisah orang besar, pepatah, slogan, dan kata mutiara merupakan contoh bunga rampai. Selingan humor juga diperlukan sebagai pencair suasana tetapi jangan sampai ada unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) serta harus menghindari hal-hal yang dianggap tabu dan pornografi.

Presenter dapat membandingkan antara korupsi dengan kejahatan lainnya sehingga dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (Extra Ordinary Crime).

c. Desire (Membangkitkan Hasrat Audiens)

Presenter harus dapat membangun kesadaran audiens untuk berbuat sesuatu. Presenter harus meyakinkan dan mempengaruhi audiens bahwa mereka semestinya memiliki kepedulian yang tinggi untuk merubah sesuatu keadaan ke arah yang lebih baik.

d. Action (Meminta Audiens untuk Bertindak) sebagai Motor Penggerak Integritas.

Presenter meminta audiens untuk menjadi agenagen perubahan di lingkungannya dengan bertindak

FORWAS EDISI I / 2013 15

3. Audience

Audiens adalah objek presentasi atau pihak yang akan menjadi pemirsa/pendengar/pemerhari presentasi. Audiens dalam kegiatan sosialisasi gratifikasi adalah sebagai berikut. a. Pimpinan Unit Utama Kemdikbud b. Rektor PTN dan jajarannya c. Koordinator Kopertis d. Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan e. Kepala UPT Kemdikbud

4. Penyampaian

Seorang orator harus memiliki gaya yang sesuai dengan penampilannya. Gaya orator tidak dapat diseragamkan. Tiap orator mempunyai gaya masingmasing dengan keunikan tersendiri. Ada dua hal utama dalam gaya penyampaian pidato yaitu Vokal dan Gesture.

a. Vokal yang Impressive (Berkesan Kuat)

Vokal adalah bahasa verbal yang merupakan media utama seorang orator dalam menyampaikan pesan. Ada lima hal tentang bahasa verbal meliputi vokal diafragma, tempo pidato, intonasi, jeda, dan artikulasi.

b. Gesture

Bahasa tubuh (non verbal) harus digunakan secara

maksimal oleh orator untuk mendukung bahasa verbal. Penggunaan bahasa non verbal dengan bahasa verbal harus selaras. Terkadang dalam beberapa kasus tertentu bahasa non verbal mampu menciptakan kesan yang lebih kuat bagi audiens daripada bahasa verbal. Ada lima hal tentang bahasa tubuh yang perlu dipahami orator dengan baik yaitu kontak mata, air muka, gerak gerik, busana, dan sikap badan. Penguasaan ilmu retorika sangat menghajatkan keberanian. Ilmu retorika bukan hanya teori yang harus dikuasai, tetapi lebih dari itu untuk menguasai sepenuhnya ilmu ini maka harus dipraktekkan. Seseorang tidak dapat disebut sebagai ahli retorika hanya dengan kemampuan dalam menguasai materi teori retorika, tetapi ia akan diingat dan diakui sebagai ahli retorika secara mutlak apabila ia bisa melakukan pidato dengan baik. Bagi orang-orang yang sudah biasa melakukan pembicaraan di depan umum tentunya tidak akan terlalu sulit untuk menguasai ilmu retorika, tetapi bagi yang belum banyak pengalaman untuk berpidato atau bahkan belum pernah sama sekali rasanya mungkin akan begitu menakutkan. Perasaan cemas dan khawatir yang berlebihan mungkin akan menghinggapi para orator, namun lagi-lagi tidak ada solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini selain maju ke depan memberanikan diri dan memperbanyak praktek.

Dok. Itjen Kemdikbud

16 FORWAS EDISI I / 2013

REFORMASI BIROKRASI PENGAWASAN INSPEKTORAT JENDERAL


Perubahan Pola Pikir, Pola Sikap, dan Pola Tindak dalam menjalankan Peran sebagai Penjamin Mutu dan Konsultan
oleh: Agam Bayu Suryanto
Di era transparansi ini Inspektorat Jenderal tidak lagi menjalankan peran sebagai pengawas tetapi juga sebagai Penjamin Mutu dan Konsultan. Dalam menjalankan kedua peran barunya tersebut, Inspektorat Jenderal perlu melakukan reformasi birokrasi. Pemahaman terhadap makna reformasi birokrasi di kalangan pegawai masih sangat kurang memadai.
FORWAS EDISI I / 2013 17

Dok. Itjen Kemdikbud

Reformasi birokrasi masih dipahami dalam arti sempit sebatas remunerasi saja, padahal makna reformasi lebih luas dan universal yaitu perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Tulisan ini berupaya menguraikan makna reformasi birokrasi dan hubungannya dengan peranan baru Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Latar Belakang Tuntutan publik di era globalisasi dan teknologi informasi terhadap organisasi untuk menyediakan layanan terbaik sangat tinggi. Hal ini tidak hanya pada organisasi sektor privat tetapi juga berlaku kepada organisasi sektor publik terutama instansi pemerintah. Masyarakat menuntut kepada instansi pemerintah untuk memberikan l a y a n a n b e r k ualitas dengan memenuhi prinsip kesetaraan, keadilan, dan transparansi. Masyarakat bahkan menuntut kepada instansi pemerintah untuk menyediakan saluran pengaduan untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan terhadap layanan publik. Masyarakat dewasa ini juga sangat kaya dengan limpahan informasi dari berbagai sumber. Kecerdasan dan kekritisan masyarakat semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan sorotan masyarakat terhadap kinerja instansi pemerintahan menjadi semakin tajam. Kinerja instansi pemerintah dicermati dengan penuh perhatian. Akuntabilitas instansi pemerintah dalam memanfaatkan anggaran yang telah dialokasikan menjadi perhatian utama publik. Layanan publik yang masih terkesan memiliki mata rantai yang

panjang dan struktur organisasi instansi pemerintah yang tergolong gemuk merupakan permasalahan utama yang membuat instansi belum optimal dalam menyediakan layanan berkualitas dan menyajikan informasi anggaran yang transparan. Oleh karena itu salah satu upaya solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan reformasi birokrasi yang dipercaya akan dapat menyederhanakan mata rantai pelayanan panjang yang berbelitbelit, dan membuat instansi menjadi lebih akuntabel dan transparan.

Apa itu Reformasi Birokrasi?

Reformasi birokrasi adalah sebuah proses perubahan ketatalaksanaan (manajerial) instansi pemerintah. Reformasi merupakan sebuah transformasi atau peralihan dari suatu kondisi menuju kondisi lain yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Makna mereformasi diri adalah berproses untuk merubah menjadi lebih baik. Fokus utama dari perubahan ini adalah pada proses bisnis (Business Process). Jadi, pada dasarnya sebuah organisasi harus selalu melakukan upayaupaya reformasi agar menjadi Artikel ini ingin menguraikan semakin lebih baik. makna reformasi birokrasi secara filosofis agar dapat dipahami dengan Perubahan Pola Pikir lebih baik oleh pegawai Inspektorat Pemikiran seorang pegawai harus Jenderal pada umumnya dan auditor dirubah menjadi lebih berorientasi pada khususnya. Banyak pihak pada melayani (To serve) dan yang sering mengaitkan antara bukannya malah dilayani (To be reformasi birokrasi di satu sisi served). Pegawai negeri adalah dengan remunerasi di sisi lain seorang pelayan masyarakat (Public atau bahkan ada pihak-pihak yang servant) dan aparatur abdi negara. justru mempersamakan bahwa Pola pikir (mind set) seorang yang dimaksud sebagai reformasi pegawai harus dibentuk sedemikian birokrasi adalah remunerasi. rupa untuk selalu menyediakan Pemahaman demikian tentang pelayanan prima kepada publik. reformasi birokrasi yang seperti itu masih sangat parsial, maka kita Pegawai harus memiliki gagasan perlu memiliki pemahaman yang kreatif dan terus mengembangkan lebih utuh tentang makna reformasi pemikiran dan ide yang konstruktif birokrasi. dan inovatif agar pelayanan yang

18 FORWAS EDISI I / 2013

diberikan kepada publik dapat terus dikembangkan menjadi semakin berkualitas. Pelayanan publik yang berkualitas tinggi mencakup pemenuhan beberapa kriteria antara lain keramahan aparatur, kelancaran komunikasi, kecepatan pelayanan, kejelasan prosedur, dan kualitas output. Pegawai menyadari tanggungjawab yang diembannya sebagai amanah yang dijalankan dengan sepenuh hati. Pekerjaan dilaksanakan dengan hati gembira dan tidak ada beban. Pegawai tidak perlu dikontrol secara ketat oleh pimpinan karena ia sudah memahami tugas-tugas yang akan dilaksanakan dan hasil pekerjaan yang dikeluarkannya. Ia bekerja dengan disiplin tinggi dan selalu mengambil prakarsa (inisiatif) yang perlu tanpa harus selalu menunggu instruksi atasan. Pemikiran pegawai yang sudah direformasi selalu positif. Dengan semangat antusiasme yang tinggi, ia menuntaskan pekerjaannya sehari-hari. Pemikiran yang positif membuat pegawai selalu berenergi tinggi dan tidak cepat berprasangka buruk apabila sesuatu terjadi di luar yang dikehendakinya. Ia selalu memperlakukan koleganya dengan baik tanpa ada rasa curiga atau berpikiran negatif terhadapnya. Semangat dan energi yang begitu besar tersebut ditularkannya kepada kolega sehingga menjadi kekuatan besar perubahan ke arah yang lebih baik dan terus menjadi semakin baik dari waktu ke waktu secara berkesinambungan. Pengawasan Inspektorat Jenderal pada tahun 2013 mulai diubah dari yang semula berorientasi pada regionalisasi kewilayahan menjadi

substansi fungsi bidang pendidikan. Perubahan orientasi pengawasan ini berpengaruh secara langsung kepada pola pikir auditor. Auditor yang tadinya diposisikan sebagai Auditor Pendidikan yang bersifat generalis kemudian beralih menjadi seorang ahli spesialis. Dengan perubahan pola pikir ini auditor diharapkan dapat mengetahui permasalahan dalam suatu bidang pendidikan secara mendalam dan bisa memberikan rekomendasi perbaikan yang menyentuh akar permasalahan. Perubahan Pola Sikap Sikap pegawai negeri pada masa lalu cenderung digambarkan sebagai malas, kurang berani mengambil inisiatif, dan selalu menunggu perintah atasan. Pegawai sering dicitrakan sebagai orang yang datang agak siang dan pulang sebelum petang. Kegemaran pegawai untuk membicarakan halhal yang tidak perlu dan mengobrol kesana kemari juga mendapat sorotan besar dari publik pemerhati kinerja pegawai. Sikap seperti ini disebabkan oleh ketidakjelasan proses perekrutan pegawai yang tidak diperuntukkan pada jabatan tertentu. Saat ini telah dilakukan proses reformasi birokrasi yang menetapkan seorang pegawai untuk menduduki jabatan yang spesifik. Perubahan ini membuat pegawai dituntut untuk menyesuaikan sikap kerjanya menjadi lebih disiplin. Pegawai yang sudah bereformasi akan memiliki nilai-nilai etika yang mendasarinya dalam bekerja. Kedisiplinan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar oleh pegawai. Kedisiplinan bukan lagi diterjemahkan sebagai kehadiran

yang sesuai dengan jam kerja tetapi lebih dari itu kedisiplinan juga dimaknai sebagai kemampuan dalam mencapai output kerja yang ditargetkan untuk jabatannya. Pegawai akan menjalin kerja sama yang harmonis dan saling m e n g h a rg a i d e n g a n s e s a m a koleganya tanpa memandang suku, agama, dan etnis. Sinergitas antar pegawai akan saling melengkapi dan menutupi kekurangan yang ada. Pegawai akan menyelesaikan masalah dengan mencari solusi terbaik bagi semua pihak terutama bagi publik yang dilayaninya. Masalah akan dihadapi dengan kematangan diri dan tidak bersikap emosional terhadap kendala dan keterbatasan yang ditemuinya. Pegawai saat ini dipacu untuk berprestasi tinggi dan menghasilkan sesuatu output yang bermanfaat bagi publik yang dilayaninya. Pegawai di era reformasi diberikan ukuran-ukuran keberhasilan yang harus dicapai dalam suatu periode. Efektivitas kinerja pegawai akan dinilai berdasarkan kemampuannya dalam mencapai ukuran kinerja sesuai dengan yang ditargetkan. Auditor Inspektorat Jenderal saat ini lebih aktif dalam merumuskan strategi pengawasan dan tidak lagi sekedar berjalan sebagaimana adanya (Business as usual). Auditor diwajibkan untuk menyusun program kerja dan mempresentasikannya sebelum melaksanakan pengawasan. Sekembalinya dari melaksanakan tugas, auditor juga diwajibkan untuk melakukan gelar hasil pengawasan.

FORWAS EDISI I / 2013 19

Perubahan Pola Tindak Tindak tanduk pegawai yang sudah tereformasi akan menunjukkan perilaku yang mulia dengan integritas yang tinggi. Integritas menjadi sumber kekuatan utama seorang PNS. Kekuatan pegawai bukan terletak pada latar belakang pendidikan, pengalaman, atau hubungan koneksinya dengan pejabat teras, tetapi sumber kekuatan itu terletak pada integritas kepribadian yang kokoh dan berkarakter kuat. Makna integritas pada dasarnya adalah kesamaan antara ucapan dengan perbuatan. Tidak ada kontradiksi antara keduanya. Konsistensi merupakan sifat utama dari integritas. Pegawai yang mengucapkan kehendak untuk hidup sederhana tidak akan menggunakan atribut yang mewah dan mahal. Sorotan publik terhadap kinerja pegawai saat ini semakin tajam. Masyarakat sudah semakin cerdas karena adanya berbagai sumber informasi dan beraneka ragam media yang dapat dimanfaatkan untuk menilai kinerja pegawai. Pegawai akan menurun citranya apabila menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan integritas, demikian pula bila yang terjadi sebaliknya. Pegawai yang berintegritas tinggi akan menunjukkan
20 FORWAS EDISI I / 2013

tindakan seba gai seorang profesional. Ia adalah seorang yang ahli dan kompeten di bidangnya. Pekerjaan yang dilakukannya memenuhi standar mutu yang tinggi. Publik yang menerima pelayanan akan merasa puas dengan hasil kerja pegawai. Pegawai tersebut tidak akan menurunkan nilai integritasnya dengan menerima hadiah atau pemberian dari publik yang dilayaninya. Ia sadar bahwa penerimaan hadiah tersebut dapat menjadi cikal bakal (embrio) terjadinya tindak pidana korupsi. Auditor Inspektorat Jenderal saat ini menjadi jauh lebih independen dan meningkat integritasnya dengan adanya pernyataan tertulis dalam surat tugas untuk tidak menerima gratifikasi. Auditor juga dilibatkan dalam satuan tugas pengendalian gratifikasi yang berperan dalam memberikan konsultasi kepada pegawai Kementerian yang ingin mengetahui informasi tentang

gratifikasi dan melaporkan gratifikasi yang telah diterimanya. Inspektorat Jenderal sudah banyak melakukan perubahan dalam rangka reformasi birokrasi. Perubahan pola pikir auditor dari semula adalah generalis menjadi spesialis membuat auditor akan lebih fokus dalam melaksanakan pengawasan. Auditor Inspektorat Jenderal telah lebih aktif dalam menyikapi tugasnya dibandingkan dengan masa lampau yang hanya berpedoman pada kebiasaan yang sudah ada. Auditor juga telah melakukan perubahan besar dalam tindakannya menjadi lebih berintegritas terutama dalam hal penerimaan gratifikasi. Hal ini merupakan bukti yang nyata bahwa reformasi birokrasi di lingkungan Inspektorat Jenderal tidak hanya pada slogan dan tataran konsep belaka, tetapi betul-betul telah diaplikasikan ke dalam program yang riil, konkret, dan nyata.

Dok. Itjen Kemdikbud

Opini

PERSPEKTIF AKUNTABILITAS PENGAWASAN DALAM KONTEKS ADMINISTRASI PENDIDIKAN


Oleh : Dr. Salwin MD, M.Pd

uatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan fungsinya tidak terlepas dari proses dan system administrasi yang dibangun melalui visi, misi dan tujuan organisasi. Dalam kajian ini organisasi yang dibangun adalah organisasi pengawasan program-program pendidikan, yang lembaganya adalah Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasioanl. Sesuai dengan visi institusi pengawasan inspektorat jenderal yaitu Terwujudnya pengawasan yang berkualitas terhadap layanan pendidikan. Visi tersebut dijabarkan dalam misinya antara lain
FORWAS EDISI I / 2013 21

Terwujudnya tata kelola, akuntabilitas, integritas, profesionalitas pengawasan fungsional pendidikan dan kualitas laporan keuangan serta LAKIP Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan demikian peranan adminsitarsi pendidikan dalam mewujudkan visi dan misi lembaga pengawasan inspektorat jenderal kementerian pendidikan nasional, untuk menjalankan program-program pendidikan, cukup strategis dan sangat menentukan terwujudnya pelayanan pendidikan yang amanah dan prima, guna menciptakan sumber daya mansuia yang berkualitas dan memiliki daya saing yang kuat baik di dalam negeri maupun di manca Negara.

ADMINISTRASI PENGAWASAN FUNGSIONAL


Oleh karena administrasi pendidikan sering diartikan sebagai suatu system dan proses kegiatan kerjasama sekelompok individu dalam mencapai efektivitas tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Maka dalam mewujudkan akuntabilitas kegiatan administrasi pendidikan, pada lembaga pengawasan fungsional, proses pengendalian kegiatan individu maupun kelompok tidak dapat dihindarkan dari proses kegiatan 1) perencanaan (planning), 2) pengaturan (organizing); 3) penggerakkan (actuating); dan 4) pengawasan (controlling), sebagai dasar dan pedoman dalam menjalankan visi dan misi guna mencapai tujuan efektivitas organisasi. Menurut pakar administrasi pendidikan berpandangan bahwa dengan kompleksitasnya aktivitas dan saling ketergantungan satu dengan lainnya, maka dapat dikemukakan bahwa administrasi
22 FORWAS EDISI I / 2013

pendidikan merupakan sekumpulan fungsi-fungsi organisasi yang memiliki tujuan utama untuk menjamin efisiensi dan efektivitas pelayanan pendidikan, sebagaimana pelaksanaan kebijakan melalui perencanaan, pengambilan keputusan, perilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumber daya, stimulus dan koordinasi personil, dan iklim organisasi yang kondusif, serta menentukan perubahan esensial fasilitas untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat di masa depan, (Yudha EK, (2009:30) dan Adi Parmono, (2008:21). Pendapat di atas didukung oleh Satori, Djaman (1980:4) menyatakan bahwa administrasi pendidikan dapat dilakukan sebagai keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut Stephen J. Knezeich (1984:9) dalam buku Administration of Public Education mendefinisikan bahwa : Educational administration is a specialized set of organizational functions whose primary purposes are to insure the efficient and effective delivery of relevant educational service as well as implementation of legislative policies through planning, decision making, and ledership behavior that keeps the organizations focused on predetermined

Dok. Itjen Kemdikbud

objectives, provides for optimum allocation and most productive uses, stimulates and coordinated professional and other personnel to produce a coherent social system and desirable organizational climat, and facilitates determination of essential changes to satisfy future and emerging needs of student and society. Dengan demikian faktor-faktor efektivitas dan efisien dalam proses kegiatan adminstrasi pendidikan tidak terlepas dari fungsi-fungsi adminsitarsi pengawasan dan pengembangan sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas. Sehingga dalam melaksanakan kegiatan organisasi kegiatan administrasi pendidikan, koordinasi sesama anggota kelompok dalam organisasi tersebut, merupakan kunci keberhasilan kegiatan organisasi tersebut. Dalam kajian ini organisasi dimaksud adalah oeganisasi adiministrasi pengawasan di bidang program-program pendidikan. Selanjutnya Nawawi H (1989:15) mengklasifikasikan kajian administrasi pendidikan ke dalam dua bidang, yakni (1) bidang manajemen administratif, (2) bidang manajemen operatif. Bidang manajemen administratif memfokuskan pada kegiatan; perencanaan; organisasi, bimbingan/pengarahan; koordinasi dan pengawasan serta komunikasi. Adapun manajemen operatif memfokuskan pada kegiatan tata usaha perbekalan, kepegawaian, keuangan dan hubungan masyarakat. Kemudian George R. Terry, (1986 :4), berpandangan bahwa manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: Perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta sumber-sumber daya lainnya. Dari berbagai pendapat dan pandangan yang dikemukaka di atas, dapat dimaknai bahwa fungsi administrasi pendidikan untuk menjalankan suatu organisasi, dalam hal ini organisasi pengawasan fungsional pendidikan, merupakan kegiatan yang tidak dapat dihindari untuk tidak dilaksanakan. Karena ketercapaian visi dan misi organisasi, tergantung dari penerapan fungsi-fungsi adminstrasi dalam organisasi dan juga fungsi pengawasan serta terkoordinasi terhadap system dan proses, sesuai perencaaan dan tujuan organisasi, yang telah ditetapkan sesuai tugas

pokok dan fungsi organisasi tersebut, dalam hal ini lembaga pengawasan fungsional pendidikan. Oleh karena pengawasan merupakan salah satu fungsi dari manajemen, dan sedangkan manajemen merupakan bagian dari administrasi. Maka manajemen sangat penting dan strategis dalam menjalankan suatu fungsi organisasi untuk mencapai tujuannya yang efektif dan efisien. Schermerhon (1984:445) mengemukakan definisi dari pengawasan (controlling) yaitu; the processof monitoring performance and taking actionto ensure desired results. Hal ini dapat dimaknai bahwa tujuan suatu organisasi adalah jaminan dari pengawasan fungsi dalam organisasi sebagai penentu tercapainya tujuan organisasi. Dengan demikian fungsi pengawasan dalam suatu organisasi adalah sebagai control terhadap perencanaan kegiatan organisasi dan sebagai informasi bagi pimpinan dan kelompok dalam organisasi tersebut. Selanjutnya menurut C. Turney (1992 : 240) pengawasan atau Controlling adalah the activities used by manager to ensure that activities of an organization are consistent with plan and organizational objectives with plan and organizational objectives are achieved. Kemudian Louis E. Boone, & David L Kurtz (1984 : 412) mendefinisikan pengawasan sebagai .the process by which manager determine whether organizational objectives are achieved and whether actual operation are consistent with plans. Pendapat tersebut di atas dapat dimaknai bahwa pengawasan merupakan langkah pengendalian pelaksanaan kegiatan organisasi, sesuai dengan yang direncanakan, serta untuk memastikan apakah tujuan organisasi tercapai, karena rencana merupakan patokan atau kriteria penting agar pengawasan dapat terlaksana dengan efektif. Adapun langkah-langkah dalam pengawasan adalah: 1) Establishing standard of performance, 2) Influencing the performance of Staff, 3) Monitoring and evaluating progress, 4) Initiating correrctive action where performance below standard (C.Turney et al, 1992 : 248). Dalam rangka membandingkan antara hasil actual dengan rencana awal kegiatan, diperlukan suatu standar tertentu, agar pengawasan dapat dilakukan secara objektif. Sehingga dapat diketahui apakah hasil kegiatan telah menunjukkan kemajuan atau tidak. Kemudian dari pada itu pengawasan juga
FORWAS EDISI I / 2013 23

perlu dibarengi dengan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan yang akan berdampak pada terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi.

PENGAWASAN SEBAGAI FUNGSI MANAJEMEN


Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen. Fungsi manajemen meliputi: Planning, Organizing, Staffing, Leading, and Controlling (ManagementSkills and Application by Leslie W. Rue and Lloyd L.Byars, The McGraw-Hill, 9th edition,2000). Sedangkan fungsi controlling adalah menciptakan standar atau kriteria, membandingkan hasil monitoring dengan standar, melakukan perbaikan atas deviasi atau penyimpangan, merevisi dan menyesuaikan metoda pengendalian dari kaca mata hasil pengendalian dan perubahan kondisi, dan mengkomunikasikan revisi dan penyesuaian ke seluruh proses pengawasan. Menurut pendapat Dalton E. McFarland seperti dikutif Handayaningrat (1985:143) mengemukakan tentang pengertian pengawasan yakni: pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan yang dilakukan oleh bawahan sesuai rencana, tujuan atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Kemudian Koont dan ODonel seperti dikutip Sarwoto (1986:96) menyebutkan bahwa: Pengawasan adalah penilaian dan koreksi atas pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh bawahan dengan maksud untuk mendapat keyakinan dan menjamin bahwa tujuan dan rencana yang digunakan dapat tercapai. Selanjutnya, Siagian S.P, (1970:107) mengatakan : Pengawasan adalah proses pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semum pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Sedangkan Sujatno (1989:10) mengatakan pendapatnya tentang pengawasan yaitu : Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dengan cermat dan seksama dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai sasaran dan objek yang diperiksa, apakah sesuai dengan semestinya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat
24 FORWAS EDISI I / 2013

dikatakan bahwa pengawasan merupakan suatu proses kegiatan atau aktivitas yang oleh suatu organisasi yang memiliki dasar hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kegiatan proses yang dilakukan oleh lembaga pengawasan dimaksudkan untuk menjamin dan mengetahui suatu kegiatan terlaksana secara efektif dan efisien. Hal ini sesuai dengan tujuan dari aktivitas dan tanggung jawab pengawasan fungsional dalam hal ini fungsional pendidikan. Adapun sasaran pengawasan fungsional pendidikan antara lain mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas dan ketertiban dalam mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi, untuk mengambil suatu kebijakan dalam penetapan kebijakan berikutnya. Pengawasan juga dimaksudkan untuk mengetahui dan menunjukkan kelemahan-kelemahan yang ada pada suatu organisasi, agar dapat diperbaiki dan mencegah terulangnya kelemahan-kelemahan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Fayol yang dikutip Sarwoto (1986:95) yaitu sebagai berikut : Dalam setiap usaha pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatunya tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemhan itu. Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik benda, manusia, perbuatan maupun hal-hal lainnya. Adapun tujuan pengawasan, Kaho (1982:155) mengemukakan bahwa : 1) Untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak; 2) Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan demikian dapat diambil langkah-langkah perbaikan di kemudian hari; 3) Mempermudah atau memperingan tugas pelaksana, karena para pelaksana tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahankesalahan yang dibuatnya karena sehari-hari;

4) Pengawasan bukanlah untuk mencari kesalahan akan tetapi untuk memperbaiki kesalahan. Sementara itu dalam lingkungan aparatur pemerintah, seperti disebutkan oleh LAN dalam Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (1996:160), pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Adapaun sasarannya adalah: 1) Agar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dilakukan secara tertib berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berdasarkan sendisendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai daya guna, hasil guna dan tepat guna yang sebaik-baiknya; 2) Agar pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai dengan rencana dan program pemerintah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan; 3) Agar hasil-hasil pembangunan dapat dinilai seberapa jauh telah tercapai untuk memberi umpan balik berupa pendapat, kesimpulan, dan saran terhadap kebijaksanaan, perencanaan, pembinaan, dan pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan; 4) Agar sejauh mungkin mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang, dan perlengkapan milik Negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasil guna dan berdaya guna. Berdasarkan kedua pendapat mengenai tujuan pengawasan tersebut di atas, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yudha EK, (2009:54) mengemukakan bahwa tujuan pengawasan adalah : 1) Mengetahui apakah pelaksanaan kerja sesuai dengan rencana; 2) Mengetahui apakah segala instruksi telah dilaksanakan; 3) Mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi; 4) Menemukan dan selanjutnya memperbaiki kesalahan.

Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa pengawasan menggambarkan wujud dari kegiatan manajemen, yang dalam hal ini berupa proses penilaian dan koreksi, atau proses mendeteminir serta evaluasi. Selain itu pengawasan yang dilakukan menggambarkan bagian yang hendak dicapai oleh kegiatan pengawasan, intinya berkaitan dengan pencapaian hasil yang telah direncanakan dan ditetapkan. Terdapat beberapa variasi tentang jenis dan macam pengawasan yang dirumuskan para ahli. Handayaningrat (1991:144) mengelompokkan pengawasan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: 1) Pengawasan dari dalam, dibentuk dalam organisasi; 2) Pengawasan dari luar, dilakukan aparat dari luar; 3) Pengawasan represif, dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan; 4) Pengawasan preventif, dilakukan pada saat pelaksanaan pekerjaan, bersifat pencegahan. Kemudian LAN RI (1997:160), menyebutkan bahwa pengawasan dapat dibedakan menurut : 1) Subjek yang melakukan pengawasan Dalam hal ini pengawasan terdapat 4 (empat) macam pengawasan, yaitu: (1) Pengawasan melekat (Waskat), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya; (2) Pengawasan fungsional (Wasnal), ialah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan; (3) Pengawasan legislatif (Wasleg), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat seperti DPR, dan pengawasan ini merupakan politik; (4) Pengawasan masyarakan (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat seperti termuat dalam media massa. 2) Cara pelaksanaan pengawasan Berdasarkan faktor ini, dapat dibedakan antara pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
FORWAS EDISI I / 2013 25

(1) Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan berlangsung, yaitu dengan mengadakan inspeksi dan pemeriksaan; (2) Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilaksanakan dengan mengadakan pemantauan dan pengkajian laporan dari pejabat/satuan kerja yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. 3) Waktu pelaksanaan pengawasan Dalam hal ini : (1) Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai (Desk audit); (2) Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung; (3) Pengawasan yang dilakukan sesudah pekerjaan selesai dilakukan (Post audit). Sebagaimana telah di uraikan di atas, bahwa hasilhasil pengawasan seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh stakeholder, sebagai bahan pertimbangan dalam langkah-langkah yang dipandang perlu, untuk penyempurnaan tehadap kegiatan organisasi di bidang kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan maupun kebijakan operasional. Di samping itu hasil pengawasan juga untuk melakukan tindakan penertiban dan penindakan pada umumnya. Misalnya terhadap perbuatan korupsi, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan tindakan penyelewengan lainnya, baik yang melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku maupun yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah serta menghambat proses pembangunan. Kata pengawasan sering mempunyai konotasi yang tidak menyenangkan, karena dianggap akan mengancam kebebasan dan otonomi pribadi. Padahal organisasi sangat memerlukan pengawasan untuk mencapai tujuannya. Sehingga dalam hal ini tugas manajer atau pimpinan adalah menemukan keseimbangan antara pengawasan organisasi dan kebebasan pribadi atau mencari tingkat pengawasan yang tepat.

LAN RI (1996:163) menyebutkan bahwa prinsipprinsip pengawasan harus mengacu pada : 1) Objektif dan menghasilkan fakta 2) Dalam hal ini pengawasan harus objektif dan harus menemukan fakta-fakta tentang pelaksanaan pekerjaan dan berbagai factor yang mempengaruhinya. 3) Berpedoman pada kebijaksanaan yang berlaku 4) Dalam hal ini pengawasan harus berpangkal tolak dari keputusan pimpinan 5) Preventif 6) Pengawasan harus bersifat mencegah sedini mungkin terjadinya kesalahan-kesalahan, berkembang terulangnya kesalahan-kesalahan. 7) Pengawasan bukan tujuan 8) Pengawasan hendaknya tidak dijadikan tujuan, tetapi sarana untuk menjamin dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan organisasi. 9) Efisiensi 10) Pengawasan harus dilakukan secara efisien, bukan justru menghambat efisiensi pelaksanaan pekerjaan. 11) Menemukan apa yang salah, yaitu : Pengawasan terutama harus ditujukan mencari apa yang salah, penyebab kesalahan, bagaimana sifat kesalahannya. 12) Tindak lanjut yakni hasil temuan pengawasan harus diikuti dengan tindak lanjut. Berkaitan dengan langkah-langkah pengawasan, maka dalam hal ini tersusun atas kegiatan : 1) Penetapan tolak ukur, yang diperlukan untuk dapat membandingkan dan menilai apakah kegiatan-kegiatan sudah sesuai dengan rencana, pedoman, kebijaksanaan, serta peraturan yang mengaturnya; 2) Menetapkan metode, waktu dan frekuensi yang diperlukan untuk melakukan pengukuran kinerja;

26 FORWAS EDISI I / 2013

3) Pengukuran pelaksanaan dan pembandingan. Pengukuran pelaksanaan dan pembandingan yaitu kegiatan penilaian terhadap hasil yang nyata dicapai melalui pembandingan terhadap apa yang seharusnya dicapai sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan; 4) Tindak lanjut, yaitu sebagai hasil penilaian dan pembenahannya dapat berupa penyesuaian rencana dan kebijaksanaan serta ketentuanketentuan, pemberian bimbingan, penghargaan atau sangsi. Dilihat dari subjek yang melaksanakannya, menurut Mardiasmo (2002:208) terdapat perbedaan antara pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan, perbedaan ketiganya, yaitu sebagai berikut : Pengawasan mengacu pada satu bentuk monitoring yang dilakukan oleh pihak diluar eksekutif ; pengendalian merupakan internal control yang berada dibawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) untuk menjamin bahwa strategi dijalankan secara baik, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai ; sedangkan pemeriksaan dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja yang telah dicapai eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Pandangan di atas merupakan konsep-konsep mengenai arti dan makna dari pengawasan secara umum. Sedangkan konsep pengawasan fungsional itu sendiri, menurut R.A Supriyono dan Al Haryono Yusuf (1989:152) menyatakan konsep pengawasan fungsional, yaitu sebagai berikut: Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional (sesuai fungsi) baik intern pemerintah, maupun ekstern pemerintah yang dilaksanakan dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa konsep pengawasan fungsional dalam kajian ini adalah pengawasan fungsional pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan internal pemerintah yaitu Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional. 1. Pengawasan merupakan salah satu fungsi dari manajemen, dan sedangkan manajemen merupakan bagian dari administrasi. Maka

manajemen sangat penting dan strategis dalam menjalankan suatu fungsi organisasi untuk mencapai tujuannya yang efektif dan efisien. Hasil-hasil pengawasan seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh stakeholder, sebagai bahan pertimbangan dalam langkah-langkah yang dipandang perlu, untuk penyempurnaan tehadap kegiatan organisasi di bidang kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan maupun kebijakan operasional. 2. Pengawasan fungsional pendidikan antara lain mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas dan ketertiban dalam mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi, untuk mengambil suatu kebijakan dalam penetapan kebijakan berikutnya. 3. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional (sesuai fungsi) baik intern pemerintah, maupun ekstern pemerintah yang dilaksanakan dengan rencana dan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4. Pengawasan menggambarkan wujud dari kegiatan manajemen, yang dalam hal ini berupa proses penilaian dan koreksi, atau proses mendeteminir serta evaluasi. Selain itu pengawasan yang dilakukan menggambarkan bagian yang hendak dicapai oleh kegiatan pengawasan, intinya berkaitan dengan pencapaian hasil yang telah direncanakan dan ditetapkan.(*adalah Auditor Madya Inspektorat Jenderal Kemdikbud).

FORWAS EDISI I / 2013 27

E-AUDIT

Opini

HARAPAN DAN TANTANGAN


Tahun 2013 merupakan tonggak bagi pelaksanaan e-government dalam bidang audit, pada tahun inilah ditargetkan implementasi e-audit secara nasional, setelah sebelumnya pada tahun 2012 Pilot project e-audit dilaksanakan. Diharapkan pada tahun 2014 sistem e-audit mencapai taraf kematangan dalam semua jenis audit yang dilakukan oleh BPK, Pemeriksaan Laporan Keuangan, Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, dan Pemeriksaan Kinerja. Bagaimana sistem e-audit berjalan? Apa saja manfaat yang diperoleh dari e-audit? Dan, apa saja tantangan yang harus dijawab oleh e-audit? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita temukan dalam tulisan ini.
Erna Tyas Dwi Prasetyo & Budi Pranowo

ewasa ini kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesat, potensi pemanfaatannya secara luas membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Dalam proses pemerintahan, pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi diyakini akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tanggal 9 Juni tahun 2003 merupakan dimana Pemerintahan Republik Indonesia menjawab tantangan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dengan diterbitkannya Instruksi Presiden nomor 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-government. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menargetkan implementasi e-government secara nasional dalam proses
28 FORWAS EDISI I / 2013

audit (e-audit) pada tahun 20135. Pilot project e-audit sudah mulai dilaksanakan pada tahun 2012 terhadap enam Pemerintah Provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Dl Yogyakarta dan Jawa Timur. Fondasi awal e-audit telah diletakkan oleh BPK dengan memasukkannya ke dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK Tahun 2011-2015, dan menjadi bagian penting dalam Rencana Implementasi Renstra (RIR) BPK, sehingga secara otomatis melekat pada rencana Reformasi Birokrasi BPK6.

Metodologi E-Audit
E-audit rencananya diterapkan pada semua jenis audit yang dilakukan oleh BPK, Pemeriksaan Laporan Keuangan, Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, dan Pemeriksaan Kinerja. Metodologi yang diguna kan dalam e-audit tidak jauh berbeda dengan metodologi yang diguna kan dalam audit konvensional, perbedaannya terletak pada pelaksanaan

e-audit, auditor tidak bertemu secara langsung dengan auditee. Secara umum metodologi pemeriksaan terdiri dari tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Untuk metodologi Pemeriksaan Keuangan, dalam tahap persiapan terdapat sepuluh kegiatan. Pertama, Pemahaman Tujuan Pemeriksaan dan Harapan Penugasan. Kedua, Pemenuhan Kebutuhan Pemeriksa. Ketiga, Pemahaman atas Entitas. Keempat, Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Sebelumnya. Kelima, Pemahaman atas Sistem Pengendalian Intern. Keenam, Pemahaman dan Penilaian Risiko. Ketujuh, Penetapan Materialitas. Awal dan Tolerable Error. Kedelapan, Penentuan Metode Sampling. Kesembilan,

Substantif Atas Transaksi dan Saldo Akun. Keempat, Penyelesaian Penugasan. Kelima, Penyusunan Konsep Temuan Pemeriksaan. Keenam, Perolehan Tanggapan Resmi dan Tertulis. Dan ketujuh, Penyampaian Temuan Pemeriksaan. Dalam tahap pelaporan, terdapat lima kegiatan yang dilakukan. Pertama, Penyusunan Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan. Kedua, Pe n y a m p a i a n Ko n s e p L a p o r a n H a s i l Pemeriksaan kepada Pejabat Entitas yang Berwenang. Ketiga, Pembahasan Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Pejabat Entitas yang Berwenang. Keempat, Perolehan Surat Representasi. Dan kelima, Penyusunan Konsep Akhirdan Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan.

METODOLOGI PEMERIKSAAN KEUANGAN Ukuran Kinerja Pemeriksaan: Standar Pemeriksaan Panduan Manajemen Pemeriksaan Tujuan dan Harapan Penugasan PERENCANAAN PEMERIKSAAN 1. Pemahaman Tujuan Pemeriksaan dan Harapan Penugasan 2. Pemenuhan Kebutuhan Pemeriksa 3. Pemahaman atas Entitas 4. Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Sebelumnya 5. Pemahaman atas Sistem Pengendalian Intern 6. Pemahaman dan Penilaian Risiko 7. Penetapan Materialitas Awal dan Tolerable Error 8. Penentuan Metode Sampling, 9. Pelaksanaan Prosedur Analitis Awal 10. Penyusunan Program Pemeriksaan dan Program Kegiatan Perseorangan. PELAKSANAAN PEMERIKSAAN 1. Pelaksanaan Pengujian Analitis Terinci 2. Pengujian Sistem Pengendalian Intern 3. Pengujian Substantif Atas Transaksi dan Saldo Akun 4. Penyelesaian Penugasan 5. Penyusunan Konsep Temuan Pemeriksaan 6. Perolehan Tanggapan Resmi dan Tertulis 7. Penyampaian Temuan Pemeriksaan. PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN 1. Penyusunan Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan, 2. Penyampaian Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Pejabat Entitas yang Berwenang, 3. Pembahasan Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Pejabat Entitas yang Berwenang 4. Perolehan Surat Representasi 5. Penyusunan Konsep Akhir dan Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan.

VISI, KENDALI DAN PENJAMINAN MUTU


(Supervision, Quality Control and Assurance)

Pelaksanaan Prosedur Analitis Awal. Dan kesepuluh, Penyusunan Program Pemeriksaan dan Program Kegiatan Perseorangan. Dalam tahap pelaksanaan, terdapat tujuh kegiatan yang dilakukan. Pertama, Pelaksanaan Pengujian Analitis Terinci. Kedua, Pengujian Sistem Pengendalian Intern. Ketiga, Pengujian

Implementasi E-Audit
Untuk melaksanakan sistem e-audit, BPK memerlukan kesiapan aspek-aspek berupa penataan peraturan perundangundangan, penataan tata laksana, penataan organisasi dan penataan manajeman sumber
FORWAS EDISI I / 2013 29

daya. Aspek-aspek tersebut sudah masuk kedalam koridor reformasi BPK. Selain aspekaspek tersebut diperlukan juga infrastruktur teknologi informasi yang kuat dan komitmen bersama dari auditee untuk menyampaikan bukti-bukti audit secara cepat dan akurat, oleh

Reinforcement/penguatan). Model ADKAR ini akan melakukan langkah untuk menciptakan kesadaran terlebih dahulu kepada satuan kerja dan para pegawai BPK maupun auditee bahwa penerapan e-audit ini penting bagi mereka, BPK, dan negara. Jika kesadaran

karena itu implementasi e-audit didahului oleh penandatanganan nota kesepahaman antara BPK dengan pihak auditee. Agar e-audit bisa berjalan sesuai koridor, BPK melakukan dua langkah, yaitu melakukan manajemen perubahan serta monitoring, e v a l u a s i , d an pelap or an. Man ajem e n perubahan dilakukan untuk memastikan agar pihak internal (pegawai dan satuan kerja BPK) maupun eksternal BPK (auditee) mendukung dan berpartisipasi penuh dalam penerapan e-audit. Manajemen perubahan yang dilakukan BPK memakai pendekatan ADKAR (Awareness/ kesadaran, Desire/keinginan, Knowledge/ pengetahuan, Ability/keterampilan, dan
30 FORWAS EDISI I / 2013

tumbuh, akan muncul keinginan mendukung dan berpartisipasi di dalamnya. Jika sudah ada keinginan, mereka perlu pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar bisa mendukung dan berpartisipasi penuh di dalam penerapan e-audit . Jika sudah seperti itu, yang dilakukan kemudian adalah penguatan. Tujuannya adalah agar kondisi perubahan yang terjadi dengan penerapan e-audit dapat diperkuat dan ditingkatkan lagi. Langkah kedua berupa monitoring, evaluasi, dan pelaporan bertujuan agar seluruh tahapan atau kegiatan implementasi penerapan e audit

ini bisa berjalan sesuai rencana dan mencapai tujuan yang diharapkan. Jika langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan BPK tersebut bisa dilakukan secara maksimal, sesuai dengan tujuan awalnya, penerapan eaudit bisa diharapkan untuk menciptakan efisiensi, efektivitas, dan tingkat kefokusan pemeriksaan yang tinggi. Penerapan e-audit juga ditegaskan oleh Ketua BPK, Hadi Purnomo, dapat mencegah korupsi secara sistemik, sebab dilakukan monitoring instansi pemerintah maupun perusahaan negara dengan pengiriman data kepada portal e-audit. Penerapan e-audit juga dipercaya dapat mengoptimalkan penerimaan negara, memaksimalkan efektivitas anggaran, menekan penyelewengan hingga 30%, dan waktu audit lebih efisien hingga 35%. Selain harapan-harapan yang diutarakan oleh internal BPK, terdapat juga nadanada kekhawatiran mengenai penerapan e-audit. Praseno (2012, 21) menuliskan bahwa penerapan e-audit masih mengalami ketidakpastian mengenai manajemen institusi dari lembaga audit negara. Hal ini dikarenakan BPK merupakan lembaga audit eksternal, dengan penerapan e-audit yang mengharuskan intansi pemerintah menyampaikan bukti audit secara rutin, maka BPK berperan juga sebagai unit pengawas yang saat ini diperankan oleh BPKP , Itjen Kementerian, Itjen Provinsi dan Itjen Kabupaten/Kota. Tentu saja hal ini berakibat pada overlapping fungsi pengawasan, hal ini mengakibatkan akan ada kegiatan pengawasan dalam suatu instansi pemerintah dalam waktu yang sama, dan dalam spesifik objek yang sama. Oleh karena itu akan timbul pertanyaan, apakah dengan praktik seperti ini memungkinkan untuk menampilkan manajemen publik yang efektif dan efisien? Indonesia sampai dengan saat ini masih mengalami masalah terkait dengan implementasi e-government, perbaikannya diperlukan perencanaan stratejik jangka

panjang seperti perbaikan infrastruktur, regulasi dan SDM agar e-government dapat kompetitif. Praseno (2012, 41) menambahkan bahwa sampai tahun 2012 di lapangan masih terdapat beberapa masalah terkait audit dalam hal infrastruktur teknologi informasi (IT), oleh karena itu implementasi e-audit dalam tahap ini merupakan tindakan yang kurang bijak. Ditambah studi pendahuluan untuk implementasi e-audit di Indonesia, belum banyak dilakukan. E-audit tidak lebih dianggap hanya sebagai alat untuk merubah dokumen dalam bentuk digital, jalan yang diambil BPK untuk melakukan sentralisasi data tanpa melakukan tindakan kooperatif dengan institusi auditor internal. Hal ini tentu saja menghilangkan efektivitas dan efisiensi dari proses e-audit (Praseno, 2012, 21). Data yang disampaikan ke portal e-audit pun harus diatur oleh regulasi, karena struktur data setiap instansi pemerintah berbeda, termasuk jenis data apa saja yang harus disampaikan oleh auditee. Disini timbul keraguan dalam pengumpulan bukti audit yang memadai, karena bukti audit yang memadai bukan hanya sebatas pada dokumen. Masih terdapat bukti audit lain yang menunjang keberhasilan proses audit seperti pemeriksaan fisik dan pengamatan yang kurang optimal bila didapatkan secara digital. Setelah membaca tulisan seperti diatas timbul pertanyaan sanggup dan perlukah system E-Audit ini dapat diterapkan di Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti kita ketahui Peran Inspektorat jenderal pada kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan kebijakan Pengawasan Tahun 2012 yaitu : 1. Meningkatkan mekanisme pelaksanaan tugas Inspektorat Jenderal kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; 2. M e n g a w a l k e b i j a k a n s t r a t a e g i s Ke m e n t e r i a n Pe n d i d i k a n d a n Kebudayaan dengan berperan sebagai : Pendorong,Pengarah,Pemberi peringatan
FORWAS EDISI I / 2013 31

dini (Early Warning), dan pemberhenti kegiatan yang berpotensi menyimpang; 3. Membangun Wilayah bebas dari Korupsi ( W B K ) d i l i n g ku n g a n k e m e n t e r i a n Pendidikan dan Kebudayaan; 4. Mendorong Pelaksanaan Pendidikan Anti korupsi; 5. Meningkatkan kompetisi SDM Inspketorat Jenderal dan Pemberdayaan Satuan Pe n g a w a s a n i n t e r n d i l i n g k u n g a n Kemdikbud; 6. Mendorong terwujudnya Good Governace dan Clean Government; Sesuai dengan 6 (enam) kebijakan tersebut maka pertanyaan di atas dapat dijawab tapi mungkinkah dapat melakukan E- audit pada Inspketorat Jenderal Kemdikbud mengingat memiliki jumlah Auditor yang belum sepenuhnya memadai baik dari segi kuantitas sebanyak 282 Auditor dan kualitas auditor yang belum seluruhnya memiliki keterampilan untuk mengoperasionalkan system computer dengan piawai walaupun sarana dan prasarana telah tersedia jaringan internet yang dapat di akses oleh para Auditor ditambah dengan tersedianya system Jaringan Pendidikan Nasional ( Jardiknas) yang dikelola oleh Pusat Teknologi dan Informasi (Pustekom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk dapat mengatasi permasalahan dan dapat menerapkan E-Audit memang perlu waktu dan dana tetapi dengan ada kemauan untuk lebih maju dalam hal kepengawasan maka boleh juga kita mencoba memperaktekannya system E-Audit walaupun nantinya baru tahap ujicoba dengan cara meningkatkan kompetensi dari Auditor itu sendiri melalui pendidikan dan latihan khususnya untuk mengoperasionalkan perangkat computer dan menghadirkan para pakar/ahli yang kompeten dalam melaksanakan E-Audit demi memperoleh hasil pengawasan yang Efektif, Efesien dan Ekonomis. Keraguan dan tantangan dalam penerapan e-audit seperti yang telah dijelaskan diatas

dapat disimpulkan sebagai berikut (1) penerapan e-audit menyebabkan overlapping fungsi pengawasan oleh BPK, disamping itu akan ada kegiatan pengawasan dalam suatu instansi pemerintah dalam waktu yang sama, dan dalam spesifik objek yang sama, (2) Indonesia sampai dengan saat ini masih mengalami masalah terkait dengan implementasi e-government, perbaikannya diperlukan perencanaan stratejik jangka panjang seperti perbaikan infrastruktur, regulasi dan SDM agar e-government dapat kompetitif, oleh karena itu implementasi e-audit dalam tahap ini merupakan tindakan yang kurang bijak, (3) studi pendahuluan untuk implementasi e-audit di Indonesia termasuk benchmarking dengan negara yang telah berhasil menerapkan e-audit, belum banyak dilakukan, (4) E-audit tidak lebih dianggap hanya sebagai alat untuk merubah dokumen dalam bentuk digital, jalan yang diambil BPK untuk melakukan sentralisasi data tanpa melakukan tindakan kooperatif dengan institusi auditor internal, (5) keraguan dalam pengumpulan bukti audit yang memadai, karena bukti audit yang memadai bukan hanya sebatas pada dokumen. Masih terdapat bukti audit lain yang menunjang keberhasilan proses audit seperti pemeriksaan fisik dan pengamatan yang kurang optimal bila didapatkan secara digital. Untuk mencapai sistem e-audit yang mencapai taraf kematangan seperti yang direncanakan untuk tahun 2014, tentu saja sistem e-audit harus menjawab semua tantangan yang ada. Dan kita berharap e-audit dapat menjawab semua keraguan sehingga implementasi e-audit dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, mencegah korupsi secara sistemik, mengoptimalkan penerimaan negara, memaksimalkan efektivitas anggaran, menekan penyelewengan hingga 30%, dan waktu audit lebih efisien hingga 35%.

32 FORWAS EDISI I / 2013

Opini
PENGARUH ZERO GROWTH TERHADAP TENAGA HONORER

Drs. Sudarko, MM

Mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian pasal 2 ayat (3) dinyatakan : Di samping Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai think tetap (PTT); Penjelasan pasal 2 ayat (3): Yang dimaksud dengan pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Dalam perjalanan waktu yang lalu telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS jo PP Nomor 43/2007 jo PP Nomor 56/2012 pada pasal 8 disebutkan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dengan kebijakan pemerintah dimaksudkan kepada pimpinan seluruh instansi pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer, namun apabila kita memang masih
FORWAS EDISI I / 2013 33

Dok. Itjen Kemdikbud

memerlukan tambahan tenaga untuk melaksanakan tugas administrasi (untuk mengatasi kebijakan zero growth dalam formasi pengangkatan pegawai baru di bidang administrasi) dimungkinkan. Selanjutnya menyikapi terhadap kebijakan zero growth tersebut, ada langkah yang perlu dilakukan oleh suatu instansi pemerintah, apabila memerlukan tenaga honorer maka pihak pengembangan Sumber Daya Manusia (Kepega waian) seharusnya dilakukan suatu kajian dengan cara menghitung beban kerja sesuai dengan tugas pokok fungsi dan melakukan analisis jabatan serta analisis kebutuhan pegawai yang dibutukan untuk penentuan kualifikasi ijazah yang diperlukan untuk mengisi tenaga honorer sebelumnya melakukan optimalisasi kinerja PNS yang ada di instansi yang bersangkutan Langkah berikutnya yang diperlukan yaitu melakukan seleksi terhadap tenaga honorer berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan dan
34 FORWAS EDISI I / 2013

Semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

memberikan penjelasan kepada seluruh tenaga honorer yang lulus seleksi bahwa sampai saat ini peraturan bidang kepegawaian belum dapat menjamin bahwa tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS. Untuk mendukung dari peraturan yang telah disebutkan diatas, dilingkungan kementerian pendidikan dan kebudayaan menegaskan dengan diterbitkan Surat Edaran (SE) Sekjen Kemdiknas nomor 49692/A4.1/KP/2011 tanggal 11 Agustus Dok. Itjen Kemdikbud 2011 menyatakan: angka (2.) Pengangkatan Tenaga Honorer di lingkungan Kemdiknas menjadi yang diterbitkan oleh pimpinan instansi tersebut. kewenangan Mendiknas; angka (3.) Sehubungan Sedangkan SK dimaksud dalam suatu instasi yang dengan pernyataan 1 dan 2 di atas seluruh Pimpinan berhak menerbitkan adalah Pejabat Pembina Unit Utama dan Pusat tidak diperkenankan untuk Kepegawaian instansi setempat, dengan tidak adanya SK akan terjadi kerugian bagi para tenaga mengangkat tenaga honorer. honorer terkait dengan surat keterangan tentang Memperhatikan keadaan yang ada saat ini pengalaman kerja, apabila tenaga honorer tersebut dilingkungan instansi pemerintah pada umumnya hendak menggunakan pengajuan lamaran di suatu telah banyak mempekerjakan para tenaga honorer unit kerja baik di instansi pemerintah maupun di dengan dalih atau alasan kekurangan pegawai unit kerja swasta. negeri sipil (PNS), karena adanya pegawai yang Disisi lain yang perlu dipahami bagi para pensiun, mutasi, promosi ke jenjang atau jabatan pembaca yang budiman atas artikel ini yaitu yang lebih tinggi setingkat dari sebelumnya. Namun kondisi ini tentunya akan diikuti dengan Permenkeu Rl Nomor 113/PMK.05/2012 tanggal ketersediaan pendanaan yang telah tercantum 3 Juli 2012 tentang PDDN Bagi Pejabat Negara, dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Pegawai Negeri, dan PTT, Pasal 2 ayat (1) Peraturan hal yang seperti ini tentunya tidak menjadi Menteri ini mengatur mengenai pelaksanaan dan permasalahan. Kenapa tidak menjadi masalah pertanggungjawaban Perjalanan Dinas bagi Pejabat perlu diketahui bahwa instansi tersebut, sudah ada Negara, Pegawai Negeri, dan PTT yang dibebankan dasar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Peraturan ini banyak salah tafsir bagi yang melalui Menteri Keuangan dan mekanisme telah mengikuti prosedur yang berlaku saat dilakukan kurang paham dimana dengan penafsiran bahwa usulan dan pembahasan anggaran antara pihak penugasan terhadap pegawai tidak tetap ini, telah pemerintah dengan pihak dewan perwakilan rakyat menggunakan tenaga non PNS untuk membantu melaksanakan tugas administratif tapi bukan (DPR). penugasan kepada para tenaga ahli/expert. Anda perlu tahu yang menjadi masalah bila Tulisan ini penulis sampaikan dalam rangka suatu instansi pemerintah mempekerjakan tenaga honorer yang tidak dibiayai dari anggaran (DIPA), penyebarluasan informasi bagi yang belum dan kondisi ini banyak terjadi dilingkungan memahami dan dapat digunakan sebagai referensi instansi pemerintah tak terkecuali di lingkungan bagi para pengambil kebijakan di lingkungan instansi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. pemerintah pada umumnya dan Kementerian Keadaan yang memprihatinkan adalah nasib Pendidikan dan Kebudayaan pada khususnya, bagi para tenaga honorer tersebut, karena tidak dengan menyikapi keberadaan tenaga honorer ada landasan hukum yang jelas, mungkin para yang ada saat ini dilingkungan unit kerjanya, salam tenaga honorer tidak memiliki surat keputusan (SK) buat pembaca! terima kasih.
FORWAS EDISI I / 2013 35

Dok. Itjen Kemdikbud

KODERING TEMUAN HASIL PEMERIkSAAN


oleh: Karyaningsih
Pada tanggal 15 Januari 2013 Inspektorat Jenderal menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 42 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Ikhtisar Laporan Hasil Pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Sosialisasi ini dihadiri oleh Inspektur Jenderal, para Inspektur, para Kepala Bagian, dan para auditor. Dalam sosialisasi ini Nara Sumber menginformasikan bahwa berdasarkan pasal 54 PP No 60 Tahun 2008, terdapat kewajiban Inspektorat Jenderal untuk menyampaikan ikhtisar Laporan Hasil Pengawasan kepada Menteri dengan tembusan kepada MenPAN dan RB setahun 2 kali. Selanjutnya MenPAN dan RB akan mengkompilasi laporan-laporan Inspektorat Jenderal menjadi Laporan APIP untuk disampaikan kepada Presiden.

36 FORWAS EDISI I / 2013

Dalam menyusun laporan hasil pengawasan, KemenPAN dan RB selaku koordinator APIP meminta kepada seluruh Inspektorat Jenderal agar menyusun klasifikasi temuan berdasarkan Keputusan BPK Nomor 5/K/I-XIII.2/8/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Petunjuk Teknis Kodering Temuan Pemeriksaan. Setiap temuan dikelompokkan ke dalam kelompok temuan Ketidakpatuhan, Kelemahan SPI, dan 3E dengan kodefikasi sebagai berikut:

(1) Belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif (2) Rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan (3) Kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang (4) Kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang (5) Pemahalan harga (Mark up) (6) Penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi

Kode

Kelompok Temuan

Sub Kelompok Temuan


kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah (kode:101)

Kepatuhan terhadap Ketentuan perUndang-Undangan

potensi kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah (kode:102) kekurangan penerimaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/ daerah (kode:103) Administrasi (kode : 104) Indikasi Tindak Pidana (kode : 105) Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan Kode : 201 TemuanKelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Kode : 202 Kelemahan struktur pengendalian intern Kode : 203 Ketidakhematan/pemborosan/ ketidakekonomisan Kode : 301

Kelemahan SPI

3E

ketidakesienan Kode : 302 Ketidakefektifan Kode : 303

KLASIFIkASI SEBAGAI IDENTITAS TEMUAN TEMUAN KETIDAkpATUHAN Adanya Ketidakpatuhan yang berakibat kerugian, potensi kerugian, kekurangan penerimaan atau bukan salah satu di antaranya (administrasi) a. Temuan kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah Berkurangnya kekayaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

(7) Pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda dan/atau melebihi standar yang ditetapkan (8) Spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak (9) Belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan (10) Pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet (11) Kelebihan penetapan dan pembayaran restitusi pajak atau penetapan kompensasi kerugian (12) Penjualan/pertukaran/penghapusan aset negara/daerah tidak sesuai ketentuan dan merugikan negara/daerah (13) Pengenaan ganti kerugian negara belum/ tidak dilaksanakan sesuai ketentuan (14) Entitas belum/tidak melaksanakan tuntutan

FORWAS EDISI I / 2013 37

(3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Aset dikuasai pihak lain Pembelian aset yang berstatus sengketa Aset tidak diketahui keberadaannya Pemberian jaminan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan Pihak ketiga belum melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan aset kepada negara/ daerah Piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih Penghapusan piutang tidak sesuai ketentuan Pencairan anggaran pada akhir tahun anggaran untuk pekerjaan yang belum selesai

c. Temuan kekurangan penerimaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah


Dok. Itjen Kemdikbud

perbendaharaan (TP) sesuai ketentuan (15) Penghapusan hak tagih tidak sesuai ketentuan (16) Pelanggaran ketentuan pemberian diskon penjualan (17) Penentuan HPP terlalu rendah sehingga penentuan harga jual lebih rendah dari yang seharusnya (18) Jaminan pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak dapat dicairkan (19) Penyetoran penerimaan negara/daerah dengan bukti fiktif b. Temuan potensi kerugian negara/daerah atau potensi kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah Adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya. (1) Kelebihan pembayaran dalam pengadaan barang/jasa tetapi pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya (2) Rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan

Adanya penerimaan yang sudah menjadi hak negara/daerah atau perusahaan milik negara/ daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas negara/daerah atau perusahaan milik negara/ daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. (1) Penerimaan negara/daerah atau denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak ditetapkan dipungut/diterima/disetor ke kas negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah (2) Penggunaan langsung penerimaan negara/ daerah (3) Dana Perimbangan yang telah ditetapkan belum masuk ke kas daerah (4) Penerimaan negara/daerah diterima atau digunakan oleh instansi yang tidak berhak (5) Pengenaan tarif pajak/PNBP lebih rendah dari ketentuan (6) Koreksi perhitungan bagi hasil dengan KKKS (7) Kelebihan pembayaran subsidi oleh pemerintah d. Temuan administrasi Adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset maupun operasional

38 FORWAS EDISI I / 2013

(12) Sisa kas di bendahara pengeluaran akhir Tahun Anggaran belum/tidak disetor ke kas negara/ daerah ( 1 3 ) Pe n g e l u a ra n i nve s t a s i pemerintah tidak didukung bukti yang sah (14) Kepemilikan aset tidak/belum didukung bukti yang sah (15) Pengalihan anggaran antar MAK tidak sah (16) Pelampauan pagu anggaran
Dok. Itjen Kemdikbud

perusahaan, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian atau potensi kerugian negara/daerah atau perusahaan milik negara/ daerah, tidak mengurangi hak negara/daerah, (kekurangan penerimaan), tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana. (1) Pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/tidak valid) (2) Pekerjaan dilaksanakan mendahului kontrak atau penetapan anggaran (3) Proses pengadaan barang/jasa tidak sesuai ketentuan (tidak menimbulkan kerugian negara) (4) Pemecahan kontrak untuk menghindari pelelangan (5) Pelaksanaan lelang secara proforma (6) Penyimpangan terhadap peraturan per-UUan bidang pengelolaan perlengkapan atau barang milik negara/daerah/perusahaan (7) Penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang tertentu lainnya seperti kehutanan, pertambangan, perpajakan, dll. (8) Koreksi perhitungan susbsidi/kewajiban pelayanan umum (9) P e m b e n t u k a n c a d a n g a n p i u t a n g , perhitungan penyusutan atau amortisasi tidak sesuai ketentuan (10) Penyetoran penerimaan negara/daerah atau kas di bendaharawan ke Kas negara/daerah melebihi batas waktu yang ditentukan (11) Pertanggungjawaban/penyetoran uang persediaan melebihi batas waktu yang ditentukan

e. Temuan Indikasi Tindak Pidana Temuan yang mengungkap adanya perbuatan yang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundangundangan dan diancam dengan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan. Kata indikasi digunakan dalam rangka memenuhi asas praduga tak bersalah membutuhkan pembuktian bukan kecurigaan-butuh alat bukti yang kuatminimal 2 alat bukti. Keyakinan auditor audit investigasi setara penyelidikan untuk masuk proses penyidikan-perlu kehati-hatian dalam menyatakan indikasi pidana. pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (1) Indikasi tindak pidana korupsi (2) Indikasi tindak pidana perbankan (3) Indikasi tindak pidana perpajakan (4) Indikasi tindak pidana kepabeanan (5) Indikasi tindak pidana kehutanan (6) Indikasi tindak pidana pasar modal (7) Indikasi tindak pidana khusus lainnya TEMUAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN Auditor mengungkap mengenai kurang/tidak adanya tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan dan seluruh pegawai secara terus menerus untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara/daerah/perusahaan, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. a. Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan (1) Pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat
FORWAS EDISI I / 2013 39

(2) Proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan (3) Entitas terlambat menyampaikan laporan (4) Sistem Informasi Akuntansi dan Pelaporan tidak memadai (5) Sistem Informasi Akuntansi dan Pelaporan belum didukung SDM yang memadai b. Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja (1) Perencanaan kegiatan tidak memadai (2) Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan serta penggunaan Penerimaan negara/daerah/perusahaan dan hibah tidak sesuai ketentuan (3) Penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja (4) Pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBN/APBD (5) Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat hilangnya potensi penerimaan/pendapatan (6) Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat peningkatan biaya/belanja c. Kelemahan pengelolaan fisik aset Kelemahan Struktur Pengendalian Intern (1) Entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau keseluruhan prosedur (2) SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati (3) Entitas tidak memiliki Satuan Pengawas Intern (4) Satuan Pengawas Intern yang ada tidak memadai atau tidak berjalan optimal (5) Tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai TEMUAN 3E Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya/ pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan mengakibatkan ketidakhematan/ pemborosan/ketidakekonomisan, ketidakefisienan atau ketidakefektifan

a. Ketidakhematan Adanya penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama. (1) P e n g a d a a n b a r a n g / j a s a m e l e b i h i kebutuhan (2) Penetapan kualitas dan kuantitas barang/ jasa yang digunakan tidak sesuai standar (3) Pemborosan keuangan negara/daerah/ perusahaan atau kemahalan harga b. Ketidakefisienan Permasalahan rasio penggunaan kuantitas/ kualitas input untuk satu satuan output yang lebih besar dari seharusnya. (1) Penggunaan kuantitas input untuk satu satuan output lebih besar/tinggi dari yang seharusnya (2) Penggunaan kualitas input untuk satu satuan output lebih tinggi dari seharusnya c. Ketidakefektifan Berorientasi pada pencapaian hasil (outcome), yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. (1) Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran/ tidak sesuai peruntukan (2) Pemanfaatan barang/jasa dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan (3) Barang yang dibeli belum/tidak dapat dimanfaatkan (4) Pemanfaatan barang/jasa tidak berdampak terhadap pencapaian tujuan organisasi (5) Pelaksanaan kegiatan terlambat/terhambat sehingga mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi (6) Pelayanan kepada masyarakat tidak optimal (7) Fungsi atau tugas instansi yang diperiksa tidak diselenggarakan dengan baik termasuk target penerimaan tidak tercapai (8) Penggunaan biaya promosi/pemasaran tidak efektif

40 FORWAS EDISI I / 2013

MENJAGA KUALITAS HASIL AUDIT


Oleh R. Isa Mahdi
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) merupakan instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengawasan intern yang dilaksanakan Itjen Kemdikbud meliputi kegiatan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya (asistensi, sosialisasi serta konsultansi) terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi di lingkungan Kemdikbud dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik.

eraturan Pemerintah no. 60 tahun 2008, menyebutkan bahwa pengawasan yang berupa audit intern di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh pejabat yang mempunyai tugas melaksanakan pengawasan dan yang tela memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor dimana syarat kompetensi keahlian sebagai auditor tersebut dipenuhi melalui keikutsertaan dan kelulusan program sertifikasi yang dilaksanakan oleh BPKP. Atas dasar tersebut, maka audit harus dilaksanakan oleh auditor dengan kompetensinya secara cermat dan seksama. Hasil pengawasan auditor Itjen Kemdikbud harus dapat dimanfaatkan oleh Pimpinan, unit-unit kerja, serta pengguna lainnya dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, sehingga dibutuhkan adanya proses penjaminan mutu untuk menghasilkan laporan pengawasan yang professional, dalam arti laporan tersebut telah memiliki substansi yang bermutu, menggunakan bahasa yang baik, serta mengacu pada ketentuan/standar pelaporan yang berlaku. Oleh karena itu dibutuhkan kegiatan reviu berjenjang atas pelaksanaan audit untuk menghasilkan mutu hasil audit yang lebih baik, berupa temuan audit dan rekomendasi yang berbobot yang akan memberikan kepuasan kepada pengguna jasa audit. Kepuasan tersebut menunjukkan

bahwa mereka percaya kepada auditor, sehingga kehadiran auditor dapat diterima dan tidak menjadi beban mereka. Hingga saat ini belum ada suatu model reviu audit khususnya untuk pelaksanaan audit non keuangan yang secara standar ditetapkan oleh lembaga profesi auditor. Reviu audit yang selama ini diterapkan lebih banyak mengacu kepada literatur-literatur audit keuangan dan pengalaman praktik. Disamping itu, pelaksanaan reviu audit juga didasarkan pada pertimbangan (judgement) pereviu, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat penugasan audit. Reviu berjenjang atas pelaksanaan audit untuk menghasilkan mutu hasil audit yang lebih baik perlu dilakukan secara kritis dan berjenjang. Semua pekerjaan anggota tim audit harus direviu oleh ketua tim, lalu sebelum laporan audit dibuat, semua pekerjaan ketua tim audit harus direviu oleh pengawas audit (pengendali teknis), dan terakhir setelah konsep laporan dibuat, maka Pengendali mutu sebagai penanggung jawab pelaksana pengawasan harus melakukan reviu terhadap konsep laporan sebelum memberikan persetujuan penerbitan laporan. Selain itu pula, dalam praktik di lapangan, tidak tertutup kemungkinan pengendali teknis dapat mereviu pula pekerjaan anggota tim audit.

Tabel Alur Jenjang Reviu Audit

FORWAS EDISI I / 2013 41

Reviu audit dilaksanakan seiring dengan tahapan dalam audit, yaitu sebagai berikut: 1. Perencanaan Audit Pemahaman yang jelas dan kesamaan persepsi antara anggota tim, ketua tim, pengendali teknis, dan penanggung jawab audit akan memperlancar pelaksanaan audit, pembuatan KKA, dan penyusunan Laporan Hasil Audit (LHA). Ketua tim melakukan pembinaan kepada anggota tim untuk memahami tujuan audit, PKA, dan bentuk LHA beserta isi/ informasi yang akan dituangkan di dalam LHA. Hal-hal yang harus direviu oleh ketua tim pada saat sebelum pekerjaan lapangan dilakukan adalah: a. program survai pendahuluan; b. program pengujian sistem pengendalian manajemen (SPM); c. ikhtisar yang mungkin akan diperoleh/ diharapkan setelah survai pendahuluan dan pengujian SPM dilaksanakan. Kemudian berdasarkan informasi dan data yang telah diperoleh, ketua tim melakukan analisis data dan penentuan risiko audit, yang selanjutnya akan menjadi dasar dalam penyusunan PKA kegiatan audit berikutnya. 2. Pelaksanaan Audit Selama audit berlangsung, hubungan antara ketua tim dengan anggota tim harus tetap terjaga dengan baik. Ketua tim harus terus memantau kegiatan yang dilakukan anggota tim secara terus menerus dan bersinambungan. Ketua tim tidak boleh menyerahkan pelaksanaan audit sepenuhnya kepada anggota tim. Anggota tim tidak boleh dibiarkan terlalu lama dalam kesukaran atau kebingungan dalam melaksanakan audit karena adanya hal-hal yang belum dapat mereka putuskan. Audit yang berjalan salah arah akan mengakibatkan kegiatan audit kurang efektif dan pemborosan sumber daya dan dana. Konsultansi atau koreksi dari ketua tim harus dapat dilakukan segera sebelum kesalahan berlarut-larut. Hal-hal yang harus direviu oleh ketua tim pada saat pelaksanaan kegiatan audit adalah sebagai berikut. a. Reviu atas pelaksanaan PKA. b. Reviu pembuatan KKA. c. Reviu atas kecukupan, relevansi, dan keandalan bukti. d. Reviu atas kecukupan dan kecermatan pengujian e. Reviu atas pembuatan simpulan, konsistensi data dan ikhtisar. f. Reviu atas pencapaian tujuan audit dan kegiatan.

g. Reviu atas temuan dan penyajian temuan. h. Reviu atas rekomendasi. Secara teknis pelaksanaan reviu harus pula memperhatikan tingkat keandalan dan relevansi bukti yang dikumpulkan oleh anggota tim, sehingga akan dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga.
Tabel Tingkat Keandalan Berdasarkan Cara Perolehan Jenis Bukti

Tingkat Keandalan Tinggi

Jenis Bukti Audit Hasil pengujian pisik Hasil perhitungan ulang Doku mentasi Konrmasi Pengujian/analisis Hasil wawancara Hasil pengamatan

Menengah

Rendah

3. Penyelesaian Pekerjaan Audit Pada akhir penyelesaian pekerjaan audit, ketua tim harus dapat meyakinkan bahwa: a. semua tujuan audit yang ditetapkan telah dicapai; b. perolehan dan pengujian bukti audit telah cukup dilakukan dengan menggunakan kecermatan dan kemahiran profesional; c. temuan audit telah diperoleh dari simpulan yang rasional, layak, lengkap, dan cermat informasinya; d. rekomendasi telah disusun secara rasional dan dapat diterapkan dalam rangka peningkatan kinerja manajemen; e. persetujuan dan kesanggupan manajemen untuk menindaklanjuti rekomendasi auditor dan bukti penyelesaian tindak lanjut yang telah dilakukan telah diperoleh; f. data dan informasi yang dimuat dalam LHA telah lengkap. Setelah reviu terhadap anggota tim dilaksanakan maka konsep laporan hasil audit disusun oleh ketua tim untuk dilakukan reviu oleh Pengendali Teknis terhadap keseluruhan aspek (aspek fisik, format, maupun substansi) dalam bentuk pengujian kesesuaian antara konsep laporan dengan dokumen pelaksanaan kegiatan audit. Hasil kegiatan reviu tersebut akan berakhir pada persetujuan penandatanganan penerbitan laporan oleh Pengendali Mutu atau penanggung jawab audit dalam bentuk Laporan Hasil Audit/ LHA.

42 FORWAS EDISI I / 2013

SDM BERKUALIFIKASI S3 DI LINGKUNGAN INSPEKTORAT JENDERAL KEMDIKBUD


oleh : Drs. Zarkoni, MM
Dalam 2 tahun terakhir ini secara kelembagaan, Inspektorat Jenderal Kemdikbud telah mendapatkan peningkatan kompetensi SDM-nya dengan berhasilnya penyelesaian studi S3 Sdr. Drs. Salwin MD, M.Pd auditor Inspektorat III bidang Pendidikan Tinggi dan Sdr Agam Bayu Suryanto, SE, MBA, Kasubbag Hukum dan Tatalaksana. Drs. Salwin MD, M.Pd berhasil mempertahankan disertasi dengan judul Akuntabilitas Kinerja Pengawas Fungsional Pendidikan pada tanggal 2 Oktober 2012 di auditorium Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Dalam kesempatan ini Inspektur Jenderal Kemdikbud Prof. Dr. Haryono Umar, M.Sc, Ak juga bertindak selaku salah satu guru besar penguji. Atas keberhasilannya tersebut, Sdr. Drs. Salwin MD, M.Pd diberikan gelar akademik Doktor Kependidikan.
FORWAS EDISI I / 2013 43

Dok. Itjen Kemdikbud

Selanjutnya pada tanggal 2 Mei 2013 di ruang auditorium Universitas Trisakti Jakarta, Sdr. Agam Bayu Suryanto, SE, MBA juga berhasil mempertahankan disertasi berjudul Efek Orientasi Pasar terhadap Persepsi Mutu dan Implikasinya pada Loyalitas Pelanggan melalui Kepuasan Pelanggan. Dengan keberhasilannya tersebut Sdr. Agam Bayu Suryanto, SE, M B A b e r h a k m e nya n d a n g gelar akademik Doktor Ilmu Ekonomi. Dalam kesempatan sidang terbuka ini Inspektur Jenderal Kemdikbud Prof. Dr. Haryono Umar, M.Sc, Ak berkenan memberikan pidato kata sambutan yang pada intinya memberikan pesan agar Sdr Agam Bayu Suryanto senantiasa menjaga integritas yang tinggi.
44 FORWAS EDISI I / 2013

Dengan adanya dua orang Doktor baru maka jumlah SDM yang berkualifikasi S3 di lingkungan Inspektorat Jenderal bertambah dari semula 3 orang menjadi 5 orang. Sebelumnya Inspektorat Jenderal telah memiliki 3 orang Doktor yaitu Prof. Dr. Haryono Umar, M.Sc, Ak dalam bidang Akuntansi, Dr. Amin Priatna dalam bidang Manajemen Pendidikan, dan Dr. Nilam Suri dalam bidang Manajemen Pendidikan. Saat ini ada 3 orang pegawai Inspektorat Jenderal yang tengah menempuh pendidikan S3 yaitu Sdr. Drs. Maralus Panggabean, SE, SH, M.Sc di Universitas Indonesia dalam bidang ilmu Administrasi Publik, Sdr. Fuad Wiyono, SH, MH di Universitas Padjadjaran dalam bidang ilmu

Politik, dan Sdr. Harsono, S.IP, M.Si di Universitas Padjadjaran dalam bidang ilmu Akuntansi. Apabila ketiganya berhasil menamatkan pendidikan, maka Inspektorat Jenderal akan memiliki 8 SDM berkualifikasi S3. Dengan keberadaan tenaga SDM berkualifikasi S3 diharapkan dapat menjadi agen perubahan dan motor penggerak institusi Inspektorat Jenderal Kemdikbud menjadi lebih berwibawa dan disegani oleh para stakeholder serta membuat Inspektorat Jenderal menjadi lebih meningkat produktivitasnya.

Anda mungkin juga menyukai