Hasbullah Thabrany Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Universitas Indonesia Juni 2003
Bab I Pendahuluan
Status kesehatan penduduk Indonesia selama 30 tahun pembangunan kesehatan, mengalami kemajuan yang cukup pesat. Namun demikian, status kesehatan Indonesia yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti angka kematian bayi dan angka kematian ibu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan status kesehatan penduduk negara-negara tetangga. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina (36), Srilanka (18) dan Malaysia (11)1. Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan dalam World Health Report 2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai korelasi yang kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO tersebut menempatkan kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49), Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai tukar yang berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun. Sementara negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah menghabiskan berturut-turut sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133. Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita Filipina tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per kapita Indonesia yaitu US$ 670.2 Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investasi Indonesia memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara tetangga tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan Indonesia yang rendah tersebut, baik yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersumber dari pemerintah, diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama dua puluh tahun terakhir. Banyak laporan menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi
sebesar 20-30% dari pembiayaan kesehatan secara keseluruhan (Gani, 3; Malik, ).4 Sementara pembiayaan kesehatan oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan pengeluaran yang dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket, OOP) kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002)5. Tingginya pengeluaran OOP ini bersifat regresif, yakni semakin berat dirasakan oleh mereka yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan tinggi. Sistem pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai sistem pembiayaan yang tidak adil (unfair) dalam konsep equity egalitarian karena justru memberatkan penduduk golongan bawah. Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000)6 menunjukkan bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar dari penduduk 10% termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade dan tanpa upaya yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus berlangsung. Untuk melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan indeks keadilan pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks inilah Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil dengan memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik. pada 16% penduduk (Thabrany, 2002)7. Setelah terjadinya krisis nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai pihak, baik pemerintah Indonesia, organisasi donor bilateral maupun multilateral dan masyarakat sendiri. Terjadinya krisis telah mengundang banyak pihak memikirkan jalan keluar pembiayaan kesehatan dan memelihara pencapaian akses dan status kesehatan yang ada, misalnya melalui Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) yang dibiayai Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia.8 Namun demikian program JPSBK bersifat sementara dan didanai dari uang pinjaman yang tidak sustainable. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan peta dan tren pembiayaan kesehatan di Indonesia untuk kemudian mencari solusi sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin ekuitas dan efisiensi yang sustainable sehingga tujuan pembangunan kesehatan dapat Sayangnya, cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih rendah yaitu berkisar
lebih cepat tercapai. Tim peneliti telah melakukan telaah berbagai literatur yang ada dan menganalisis data Susesas 2001 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang pembiayaan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan di Indonesia. Hasil Penelitian tersebut disajikan dalam laporan ini.
penduduk akan pelayanan kesehatan. Perlu disadari bahwa fasilitas yang telah dibangun tersebut tidak sepenuhnya bisa dibiayai pemerintah, pusat maupun daerah, dalam penyelenggaraan pelayanan sehari-hari. Retribusi ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing guna menjamin kesinambungan pelayanan. Namun demikian, retribusi dapat menjadi hambatan finansial bagi penduduk di dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Jika hambatan finansial tidak ada, sebenarnya tidak diperlukan asuransi kesehatan, baik dalam bentuk JPKM maupun dalam bentuk asuransi kesehatan tradisional. Dari sisi input, pembangunan sektor kesehatan yang dilakukan selama ini memang menunjukkan banyak hasil yang telah dicapai. Hal itu antara lain dapat dilihat dari meningkatnya jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun baik berupa rumah sakit, Puskesmas, Puskesmas pembantu, Polindes, dan sebagainya, maupun jumlah tenaga kesehatan. Tetapi bagaimana jika dilihat dari sisi output dilihat dari tingkat pemanfaatan sarana tersebut? Atau dari sisi dampak (outcome) morbiditas maupun mortalitas? Apakah pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama ini sudah cukup menjamin penduduk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya atau justru menemui tantangan yang makin besar? Tabel 2.1. Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan di Indonesia Fasilitas 1996 1997 1998 1999 Puskesmas 7.110 7.175 7.181 7.195 Puskesmas 20.765 20.889 21.503 21.417 Pembantu RSU Pemerintah 523 522 525 517 RSU Swasta 329 335 351 363 Jumlah Total RSU 851 857 876 880 Jumlah Total TT 100.388 102.042 103.886 105.787 Sumber: Departemen Kesehatan, Profil Kesehatan Indonesia 2000 2000 7.237 21.267 520 370 890 107.537
Hasil yang dicapai dari sisi input (baik berupa perkembangan fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan) dapat dilihat pada Tabel 2.1. yang memperlihatkan perkembangan jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Indonesia. Dari tabel tersebut tampak bahwa dalam kurun waktu lima tahun (1996-2000) jumlah rumah sakit
Asuransi Kesehatan Nasional
umum bertambah dengan 39 buah (dari 851 rumah sakit menjadi 890 rumah sakit) atau sekitar 18 rumah sakit per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah tempat tidur di rumah sakit umum juga meningkat sebesar 7.149 tempat tidur (dari 100.388 pada tahun 1996 menjadi 107.537 tempat tidur pada tahun 2000). Demikian juga dengan jumlah Puskesmas dan Puskesmas pembantu yang dalam kurun waktu enam tahun meningkat secara signifikan. Selama kurun waktu lima tahun jumlah Puskesmas meningkat hanya 127 buah (dari 7.110 Puskesmas pada tahun 1996 menjadi 7.237 Puskesmas pada tahun 2000). Selama kurun waktu yang sama jumlah Puskesmas pembantu meningkat 502 buah. Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan tersebut diikuti dengan makin menurunnya angka kematian penduduk. Angka kematian kasar (crude death rate) menurun secara signifikan dari sekitar 18,7 kematian per 1.000 penduduk pada tahun 1971 menjadi sekitar 7,5 kematian per 1.000 penduduk dalam kurun waktu 1990-1995. Angka Kematian Balita juga mengalami penurunan secara berarti dari 111 per 1.000 kelahiran hidup pada ahun 1981 menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1993. Angka kematian bayi (infant mortality rate) juga mengalami penurunan tajam dari 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967 (SP, 1971) menjadi sekitar 54 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1996. Angka harapan hidup (life expectancy at birth) penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan secara berarti yang pada tahun 20002005 diperkirakan akan mencapai 68,23 tahun (Depkes, 1997). Kemajuan yang dicapai tersebut tidak terlepas dari makin meningkatnya anggaran pembangunan sektor kesehatan, khususnya anggaran Departemen Kesehatan. Dalam kurun waktu lima tahun (1994/1995-1999/2000) anggaran Departemen Kesehatan (baik anggaran pembangunan maupun anggaran rutin) meningkat secara signifikan dari Rp 1,6 trilyun pada tahun anggaran 1994/1995 menjadi Rp 2,7 trilyun pada tahun 1999/2000 (Depkes, 1998 dan 1999). Meskipun secara absolut jumlah anggaran Departemen Kesehatan meningkat tajam, tetapi jumlah peningkatan tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan tantangan yang harus dihadapi baik pada saat ini maupun pada masa mendatang. Pergeseran demografis yang tercermin dalam jumlah maupun komposisi penduduk mencerminkan makin besarnya tantangan yang dihadapi.
Meskipun dari sisi dampak, tingkat mortalitas penduduk Indonesia mengalami penurunan namun tetap perlu dicatat bahwa penurunan tingkat mortalitas tersebut tidak semata-mata dicapai karena pembangunan kesehatan melainkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (multi factorial). Perlu dicatat, bahwa penurunan tingkat mortalitas tersebut masih belum cukup mengingat tingkat mortalitas penduduk Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkankan dengan tingkat mortalitas beberapa negara lain di Asia. Meskipun angka kematian bayi (IMR) Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas sudah mengalami penurunan secara berarti sehingga pada tahun 1996 IMR Indonesia 54 per 1.000 kelahiran hidup, tetapi angka tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkankan dengan beberapa negara lain seperti Myanmar (49), Vietnam (38), Filipina (34), Thailand (32), apalagi jika dibandingkan dengan IMR Malaysia dan Singapura yang masing-masing pada tahun yang sama adalah 11 dan 4 per 1.000 kelahiran hidup. Demikian juga dengan angka kematian Balita Indonesia yang pada tahun 1993 sebesar 81 per 1.000 kelahiran hidup masih relatif tinggi jika dibandingkankan dengan negara-negara lain seperti Filipina (59), Cina (43), Thailand (33), Srilangka (19), apalagi dibandingkankan dengan Malaysia (17) dan Singapura (6). Yang menjadi masalah besar adalah angka kematian ibu (maternal mortality rate, MMR). MMR Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MMR beberapa negara lain di kawasan ASEAN. Dalam kurun waktu 1980-1992 MMR Indonesia diperkirakan 390 per 100.000 kelahiran, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara seperti Vietnam (120), Filipina (100), Cina (95), Srilangka (80), Malaysia (59), Thailand (50) dan Singapura (10) (Depkes, 1997). Dalam hal pola penyakit, Indonesia juga menanggung beban ganda (double burden) dimana penyakit-penyakit infeksi belum sepenuhnya dapat diatasi tetapi sudah muncul penyakit-penyakit degeneratif yang menjadi penyebab utama kematian penduduk. Dalam hal kualitas pelayanan kesehatan, tantangan juga makin besar dengan meningkatnya aspirasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu. Meningkatnya tingkat pendidikan penduduk dan makin menyebarnya informasi diduga berkaitan dengan makin meningkatnya tuntutan penduduk terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Tantangan lain yang juga amat penting untuk diatasi adalah dalam hal pembiayaan kesehatan. Dari aspek pembiayaan kesehatan, terdapat tantangan yang cukup besar dimana masih banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk membiayai kesehatannya. Terbatasnya dana pembangunan kesehatan relatif jika dibandingkankan dengan tantangan yang dihadapi mendorong untuk diciptakannya sistem pembiayaan kesehatan yang efisien. Dalam kaitan itu, amat penting untuk mewujudkan sistem pembiayaan kesehatan yang memungkinkan terjaminnya seluruh penduduk, yang antara lain dilakukan melalui pengembangan sistem jaminan/asuransi kesehatan. Sayangnya, cakupan jaminan kesehatan di Indonesia masih rendah. Beberapa studi mengungkapkan bahwa total cakupan jaminan kesehatan di Indonesia masih rendah. Thabrany (1999) mengestimasi jumlah penduduk yang tercakup dalam jaminan kesehatan di Indonesia baru sekitar 15 persen atau sekitar 27-30 juta jiwa. Jumlah cakupan jaminan kesehatan sebesar itu sudah termasuk pegawai negeri dan keluarganya, pensiunan ABRI, karyawan swasta dan keluarganya yang sudah menjadi peserta Jamsostek dan sebagian kecil dalam bentuk asuransi kesehatan konvensional (Thabrany, H., 1999). Hasil pengolahan data IFLS I (Indonesia Family Life Survey 1993) juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan adalah sekitar 13 persen (Mundiharno, 1999). Masih sedikitnya jumlah penduduk yang tercakup dalam jaminan kesehatan merupakan suatu tantangan serius dalam pembiayaan kesehatan penduduk di Indonesia mengingat: Pertama, diduga akan banyak penduduk yang mengalami kesulitan dalam pembiayaan kesehatan dengan pola pembiayaan tunai (out of pocket). Kedua, akibat kesulitan dalam pembiayaan kesehatan maka derajat kesehatan penduduk juga menjadi rendah. Uraian berikut akan menunjukkan perbedaan status kesehatan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
selama satu bulan terakhir sebelum survai. Analisis probabilitas tersebut dikelompokkan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan menurut karakteristik sosial demografi. Yang dimaksud dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dalam analisis ini adalah penduduk yang memiliki asuransi kesehatan, Astek/Jamsostek, memperoleh bantuan biaya kesehatan dari perusahaan, atau yang memiliki bentuk asuransi lainnya. Sayangnya, pertanyaan tentang kepemilikan jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan yang terdapat pada data Susenas 1998 berbeda dengan yang terdapat pada data Susenas 1995. Pada Susenas 1998, ada pertanyaan khusus yang menanyakan kepemilikan jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan oleh responden. Sedangkan pada Susenas 1995, tidak ada pertanyaan yang secara khusus menanyakan hal tersebut. Oleh karena itu, pengelompokkan penduduk yang memiliki jaminan didekati dari (a) jenis pekerjaan (pegawai negeri atau bukan pegawai negeri), dan atau (b) sumber pembiayaan rawat jalan/rawat inap mereka; apakah sumber pembiayaannya berasal dari Askes, Astek/Jamsostek, perusahaan, atau asuransi lainnya. Susenas (baik Susenas 1995 dan 1998) menanyakan tentang apakah responden dalam satu bulan terakhir mempunyai keluhan kesehatan? Ada sejumlah keluhan kesehatan yang ditanyakan yaitu panas, batuk, pilek, asma, sesak napas, diare, campak, telinga berair, sakit kuning, sakit kepala, kejang-kejang, lumpuh, pikun, kecelakaan, sakit gigi, dan lainnya. Jika responden mengalami salah satu atau lebih dari berbagai keluhan kesehatan tersebut maka dikategorikan mengalami gangguan kesehatan. Secara keseluruhan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan mempunyai probabilitas mengalami gangguan kesehatan (selama sebulan terakhir) lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Hal itu terlihat baik untuk tahun 1995 maupun 1998. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, 272 dari 1.000 orang (tahun 1998) mengalami gangguan kesehatan, sementara pada penduduk yang tidak mempunyai jaminan kesehatan jumlah tersebut lebih besar yaitu 281 per 1.000 orang. Temuan ini konsisten dengan berbagai hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa status kesehatan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan pada umumnya lebih
baik dibandingkan status kesehatan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Temuan ini memperkuat argumen tentang perlunya upaya pengembangan jaminan kesehatan ke masyarakat yang lebih luas. Makin luas cakupan jaminan kesehatan akan makin meningkatkan status kesehatan penduduk. Namun jika dibandingkan antara penduduk yang memiliki dana/kartu sehat dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, kondisinya justru terbalik. Pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan, yaitu 283 per 1.000 orang, sedikit lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki jaminan kesehatan (281 per 1.000 orang). Hal ini bisa dimengerti karena pada umumnya penduduk yang memiliki kartu sehat adalah penduduk miskin. Jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan menurun, baik pada yang memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan kesehatan mengalami penurunan dari 278 per 1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 272 per 1.000 orang pada tahun 1998. Sedangkan pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan kesehatan menurun dari 287 per 1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 281 per 1.000 orang pada tahun 1998.
10
sama, baik pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat (298 per 1.000 orang pada kelompok decile 1 dan 264 per 1.000 orang pada kelompok decile 10) maupun pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan (297 per 1.000 orang pada kelompok decile 1 dan 263 per 1.000 orang pada kelompok decile 10) Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik status kesehatan mereka. Hal ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi tinggi juga memiliki status gizi yang baik dan mampu memelihara kesehatannya.
11
Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara mengalami gangguan kesehatan relatif hampir sama dengan penduduk di luar pulau Jawa.
12
pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 284 per 1.000 orang.
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, unmet need pada tahun 1995 dialami oleh 67 per 1.000 penduduk, sedangkan pada tahun 1998 jumlahnya menurun menjadi 62 per 1.000 penduduk. Hal ini mengindikasikan terjadinya perbaikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Probabilitas orang yang mengalami unmet need pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang
Asuransi Kesehatan Nasional
13
tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 orang yang memiliki jaminan kesehatan, 62 orang di antaranya mengalami unmet need. Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, jumlah orang yang mengalami unmet need lebih besar lagi, yaitu 69 per 1.000 penduduk (tahun 1998). Gambar 2.1. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang , Susenas 1995 dan 1998
Jaminan Non-jaminan
75
80 75 70 65 60 55 1995 1998
67 62
69
Temuan ini memperkuat lagi argumen tentang pentingnya jaminan kesehatan dalam memelihara kesehatan penduduk, khususnya untuk mengatasi masalah unmet need yang dihadapi penduduk. Hal lain yang menarik adalah, ternyata probabilitas unmet need yang terbesar justru terjadi pada kelompok penduduk yang memiliki dana/kartu sehat. Tampaknya pemilikan kartu sehat (yang umumnya dimiliki penduduk miskin) bukan satu-satunya cara dalam memperbaiki akses pelayanan kesehatan. Hal ini diduga karena bagi penduduk miskin persoalan biaya kesehatan tidak saja terbatas pada biaya pelayanan/pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga berkaitan dengan biaya transportasi dan biaya obat. Sementara biaya transportasi tidak dicakup dalam pelayanan kartu sehat. Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga Probabilitas penduduk yang mengalami unmet need menurut kelompok
Asuransi Kesehatan Nasional
14
pengeluaran rumah-tangga. Sebagaimana disampaikan di muka, pengeluaran rumahtangga ini dapat dijadikan sebagai proksi terhadap penghasilan rumah-tangga atau status ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi pengeluaran diduga makin tinggi pula penghasilan rumah-tangga, yang berarti makin tinggi status ekonomi rumah-tangga. Semakin tinggi penghasilan rumah-tangga makin kecil kemungkinannya mengalami unmet need, baik pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, probabilitas unmet need kelompok pengeluaran decile 1 jauh lebih besar (80 per 1.000 orang) dibandingkan dengan unmet need kelompok decile 10 (53 per 1.000 orang). Gambar 2.2. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
85 80 75 70 65 60 55 50 45 Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
83 80 77 74 74 71 71 68
Jaminan Non-jaminan
70 66
68 65
66 63
64 61
61 58
56 53
Lebih tingginya probabilitas unmet need pada kelompok penghasilan rendah dibandingkan dengan kelompok penghasilan tinggi juga terjadi pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, perbedaan unmet need antara kelompok pengeluaran terendah (decile 1) dengan kelompok pengeluaran tertinggi (decile 10) adalah sebanyak 28 per 1.000 orang. Perbedaan yang sama juga terjadi pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan
15
bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik akses mereka pada pelayanan kesehatan. Hal ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi tinggi memiliki kemampuan membayar pelayanan kesehatan lebih besar.
Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan Perbedaan probabilitas unmet need menurut jenis pekerjaan penduduk tidak
begitu mencolok. Dibandingkan jenis pekerjaan yang lain, petani merupakan kelompok penduduk yang memiliki probabilitas tertinggi mengalami unmet need. Sementara pegawai negeri dan pedagang merupakan jenis pekerjaan yang memiliki probabilitas
unmet need terendah. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (tahun 1998), 69
per 1.000 petani mengalami unmet need. Sementara pada pegawai negeri, probabilitas
unmet need-nya lebih rendah, yaitu 61 per 1.000 orang. Pada penduduk yang memiliki
dana sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, petani juga merupakan jenis pekerjaan yang paling rentan mengalami unmet need. Banyaknya petani yang mengalami unmet need relatif dibandingkan jenis pekerjaan lain diduga terkait dengan rendahnya tingkat kesejahteraan mereka.
16
Gambar 2.3. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
72
Jaminan
66 61
Non-jaminan
68 62
Petani
Pedagang
Lain-lain
Perbedaan Antar Wilayah Perkiraan jumlah orang yang mengalami unmet need per seribu penduduk
menurut wilayah tempat tinggal responden. Dari data tersebut tampak bahwa jumlah penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta yang mengalami unmet need merupakan yang terendah dibandingkan dengan penduduk di wilayah/propinsi lain. Sementara yang paling banyak mengalami unmet need adalah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa (kecuali Jabar/DKI Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara. Hal lain yang menarik adalah, ternyata penduduk yang tinggal di Papua/Maluku, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi justru mengalami unmet need lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di Pulau Jawa.
Perbedaan Antar Desa-Kota Penduduk yang mengalami unmet need diduga berbeda menurut tempat tinggal
mereka (desa-kota). Penduduk yang tinggal di perdesaan lebih besar kemungkinannya mengalami unmet need dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan. Perbedaan tersebut antara lain terkait dengan ketersediaan fasilitas kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan di daerah perkotaan pada umumnya lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
Asuransi Kesehatan Nasional
17
Jumlah penduduk perkotaan yang mengalami unmet need lebih rendah dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan, baik pada mereka yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada penduduk perkotaan yang memiliki jaminan kesehatan, dari setiap 1.000 penduduk terdapat 61 orang yang mengalami unmet need, sedangkan di perdesaan jumlahnya lebih besar lagi, yaitu 66 per 1.000 orang. Sementara itu, dari setiap 1.000 penduduk perkotaan yang tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat 65 orang yang mengalami unmet need, sedangkan di pedesaaan yang mengalami unmet need mencapai 72 per 1.000 orang.
Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap probabilitas terjadinya unmet need?.
Apakah makin tinggi pendidikan makin kecil mengalami unmet need?. Gambar 2.4. menunjukkan bahwa probabilitas penduduk mengalami unmet need berbanding terbalik (hubungan negatif) dengan tingkat pendidikan penduduk, baik pada mereka yang memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah penduduk berpendidikan tinggi yang mengalami unmet need lebih kecil dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.
Gambar 2.4. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
75
72
Jaminan Non-jaminan
70
70 65 60 55 50 TS/TT-SD
65
66 63 62 64 62 60 59
SD
SLTP
SLTA
PT
18
Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, kelompok penduduk berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami unmet need sebanyak 59 per 1.000 orang. Sementara pada penduduk tidak sekolah/tidak tamat SD yang mengalami unmet need jumlahnya lebih besar, yaitu 65 per 1.000 orang. Perbedaan unmet need antar kelompok pendidikan pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan juga hampir serupa. Penduduk berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami unmet need sebanyak 60 per 1.000 orang, sementara pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 72 per 1.000 orang.
19
Gambar 2.5. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
20
16
19 14 12
15 10 5 0 1995
1998
Jaminan
Non-jaminan
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.6. tampak bahwa RS Pemerintah lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke RS Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah kunjungan rawat jalan ke RS Pemerintah pada penduduk berpenghasilan tertinggi sekitar 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berpenghasilan terendah. Dengan temuan ini dapat diartikan bahwa subsidi terhadap pelayanan rawat jalan RS Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, subsidi terhadap pelayanan di RS Pemerintah sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas kesehatan melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi kelompok sasaran.
20
Gambar 2.6. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Penghasilan, Susenas 1998
30 25 20 15 10 5 0
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
10 9 12 11 13 12 14 13 15 14 17 15
Jaminan Non-jaminan
19 17 21 19
27 24 18 16
Gambar 2.7. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
25 20 15 10 5 0 PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
20 19 15 15 13 20 17 19 16
Jaminan
Non-jaminan
21
ke RS Pemerintah per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Sementara penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pedagang justru yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah. Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang terbanyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk perkotaan pada RS Pemerintah lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan, sebab RS Pemerintah umumnya terletak di daerah perkotaan. Pelayanan rawat jalan RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah. Gambar 2.8. tampak bahwa secara keseluruhan besarnya kunjungan rawat jalan ke RS Swasta pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, terdapat 12 kunjungan rawat jalan ke RS Swasta. Sedangkan pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan atau yang memiliki dana/kartu sehat hanya 8 per 1.000 orang.
22
Gambar 2.8. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
Jaminan Non-jaminan
9 8 6 12
14 12 10 8 6 4 2 0
1995
1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.9. tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke RS Swasta, apakah dia memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah kunjungan rawat jalan penduduk berpenghasilan tertinggi (18 kunjungan per 1.000 penduduk) tiga kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5 kunjungan per 1.000 penduduk). Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbandingannya mencapai empat kali lipat. Temuan ini bisa dipahami mengingat biaya pelayanan di RS Swasta umumnya memang tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke RS Swasta.
23
Gambar 2.9. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18 16
5 4
6 6
7 6
8 7
9 8
Desil 1
Desil 2
Desil 3
Desil 4
Desil 5
Desil 6
Desil 7
Desil 8
Desil 9 Desil 10
Gambar 2.10. memperlihatkan perbedaan besarnya jumlah kunjungan rawat jalan ke RS Swasta per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa petani adalah penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta, baik pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki kesehatan. Sementara penduduk yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta adalah mereka yang bekerja sebagai pedagang/pengusaha.
24
Gambar 2.10. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Jaminan
12 12 9
14 12 10 8 6 4 2 0
Non-jaminan
13 10
12 9
PNS
Peg. Swasta
Petani
Pedagang
Lainnya
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta. Dari panel keempat tampak bahwa penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk perkotaan terhadap RS Swasta lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab disamping RS Swasta penduduk pedesaaan. Gambar 2.11. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan RS Swasta menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta. Jumlah umumnya terletak di daerah perkotaan, juga karena penduduk perkotaan umumnya lebih tinggi pendapatannya dibandingkan dengan
25
kunjungan rawat jalan ke RS Swasta pada rumah-tangga yang kepala rumah-tangganya berpendidikan D1-S3 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.11. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
15
Jaminan 11 9 12 11
14 13
10
7 6
9 8
Jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter per seribu penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Gambar 2.12. tampak bahwa secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter lebih besar pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang memiliki dana/kartu sehat maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, terdapat 78 kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter. Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 56 kunjungan per 1.000 orang. Probabilitas berobat jalan ke Praktek Dokter pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih rendah lagi, yaitu 52 kunjungan per 1.000 penduduk.
26
Gambar 2.11. Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
78 62 56 44
80 60 40 20 0 1995
1998
Jaminan
Non-jaminan
Seperti halnya dengan RS Swasta, Gambar 2.12. juga menunjukkan bahwa Praktek Dokter lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter, baik pada mereka yang memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih pada mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Praktek Dokter pada penduduk berpenghasilan tertinggi (decile10) adalah 3-3,5 kali penduduk berpenghasilan terendah (decile 1). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya dengan RS Swasta, biaya pelayanan di Praktek Dokter umumnya juga tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Praktek Dokter.
27
Gambar 2.12. Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
120 80 40 0
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
44 39 50 44 55 48 61 52 66 57
Jaminan Non-jaminan
71 62 79 68 90 79
108
35 30
Gambar 2.13. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan ke Praktek Dokter menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa petani adalah penduduk yang paling sedikit memanfaatkan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, baik pada mereka yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Sebaliknya, pedagang/pengusaha dan pegawai negeri adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan praktek dokter.
28
Gambar 2.13. Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
100 80 60 40 20 0 PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
82
79 59 57 49
87 67
81 62
Jaminan
Non-jaminan
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling banyak berobat jalan ke Praktek Dokter. Sementara yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Dokter adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Tingginya penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Dokter (relatif jika dibandingkan penduduk di wilayah lain) bisa dipahami mengingat rasio dokter dengan penduduk di DKI Jakarta memang tinggi, sehingga memungkinkan penduduk lebih mudah menjumpai Praktek Dokter di DKI Jakarta dibandingkan dengan di wilayah lainnya. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk perkotaan pada Praktek Dokter dan fasilitas kesehatan lainnya lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas kesehatan modern lainnya, pada umumnya Praktek Dokter juga terletak di daerah perkotaan. Gambar 2.14. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Praktek Dokter lebih banyak dimanfaatkan
29
oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter. Jumlah kunjungan ke Praktek Dokter oleh penduduk yang kepala rumah-tangganya berpendidikan D3-S1 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.13. Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Jaminan Non-jaminan
70 62 78 71
94 91
63 47 43 52
TS/TT-SD
SD
SLTP
SLTA
PT
Kunjungan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu per seribu penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Secara keseluruhan jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan yang memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat sebesar 73 kunjungan per 1.000 orang. Sementara pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan hanya 56 kunjungan per 1.000 orang. Hal ini berbeda dengan karakteristik penduduk yang berobat ke Praktek Dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter, RS
30
Swasta, dan RS Pemerintah justru lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Berbeda dengan pemanfaatan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah, seperti tampak pada Gambar 2.14, penduduk yang berobat ke Puskesmas/Pustu lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin banyak yang berobat jalan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu, apakah dia memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Temuan ini bisa dipahami mengingat biaya pelayanan di Puskesmas/Pustu umumnya rendah, relatif jika dibandingkankan dengan Praktek Dokter dan RS Swasta. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan rendahlah yang lebih mungkin berobat ke Puskesmas/Pustu.
Gambar 2.14. Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
120 100 80 60 40 20 0
99 92 84 78
Jaminan Non78 71 73 67 69 63 66 60 62 57
58 53
53 49
45 41
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Gambar 2.15. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Puskesmas/Pustu per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa penduduk yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/Pustu adalah mereka yang bekerja sebagai petani, baik yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Asuransi Kesehatan Nasional
31
Gambar 2.15. Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan,
80 70 60 50 40
Jaminan Non-jaminan
57
75 68 69 63 68 57
55
54
PNS
Peg. Swasta
Petani
Pedagang
Lainnya
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/ Pustu. Sementara yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/Pustu adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Puskesmas/Pustu bisa dipahami mengingat banyaknya pilihan tempat berobat yang dapat dikunjungi penduduk DKI Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI Jakarta memang tinggi dan fasilitas kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di DKI Jakarta. Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/Pustu dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain jika dikaitkan dengan: Pertama, alternatif fasilitas kesehatan selain Puskesmas/Pustu lebih banyak tersedia di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
Kedua, biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas/Pustu pada umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan fasilitas kesehatan modern lainnya, sementara kemampuan membayar penduduk di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Gambar 2.16. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu
32
menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari gambar tampak bahwa pelayanan rawat jalan di Puskesmas/Pustu lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin kecil kemungkinannya berobat jalan ke Puskesmas/Pustu.
Gambar 2.16. Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
80
76
Jaminan
71 64
70 60 50 40 TS/TT-SD
59
Non60
57
55
55
53 50
SD
SLTP
SLTA
PT
Dari uraian di atas tampak bahwa pengguna Puskesmas/Pustu umumnya adalah yang berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan yang tinggal di perdesaan. Temuan ini mengisyaratkan bahwa subsidi pembiayaan kesehatan lebih tepat diberikan kepada Puskesmas/Pustu dibandingkan dengan jika diberikan kepada RS Pemerintah ataupun fasilitas kesehatan lainnya. Jumlah kunjungan ke Poliklinik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kunjungan ke fasiltas kesehatan modern lainnya, seperti Puskesmas/Pustu, praktek dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Dari setiap 1.000 penduduk diperkirakan hanya ada sekitar 6 sampai 7 kunjungan rawat jalan ke poliklinik. Bandingkan misalnya dengan jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu, praktek dokter, dan RS Pemerintah yang jauh 33
lebih besar. Secara keseluruhan jumlah kunjungan ke Poliklinik sedikit lebih besar pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan terdapat 7 kunjungan rawat jalan ke Poliklinik. Sementara pada yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 6 kunjungan per 1.000 orang. Seperti halnya dengan RS Swasta dan Praktek Dokter, penduduk yang berobat ke poliklinik umumnya adalah yang berpenghasilan tinggi. Makin tinggi pendapatan rumahtangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke poliklinik, apakah dia memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke poliklinik pada penduduk berpenghasilan tertinggi (8-9 kunjungan per 1.000 orang) hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5 kunjungan per 1.000 penduduk). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya Praktek Dokter, biaya pelayanan di Poliklinik umumnya juga tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Poliklinik. Perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan Poliklinik adalah mereka yang berprofesi sebagai petani, baik pada yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Poliklinik. Perbedaan pola pemanfaatan pelayanan antar wilayah ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan pelayanan rawat jalan praktek dokter dan RS Pemerintah. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Poliklinik dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk perkotaan pada Poliklinik dan fasilitas kesehatan lainnya lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas kesehatan modern lainnya, Poliklinik umumnya juga terletak di daerah perkotaan. Kekeculian terjadi pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dimana probabilitas penduduk
34
perkotaan dan perdesaan yang berobat jalan ke poliklinik sama saja. Jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok pendidikan. Dari panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Poliklinik lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Poliklinik. Jumlah kunjungan ke Praktek Petugas Kesehatan per seribu penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Yang tercakup dalam kategori petugas kesehatan disini termasuk mantri kesehatan, perawat kesehatan, bidan, dan sebagainya. Dokter tidak termasuk dalam kategori ini, sebab sudah dikategorikan secara tersendiri. Secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan lebih besar pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan yang memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki dana/kartu sehat terdapat 70 kunjungan rawat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan. Sementara pada yang memiliki jaminan kesehatan hanya terdapat 53 kunjungan. Probabilitas ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan rawat jalan ke Puskesmas, dimana probabilitas penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan lebih banyak berobat jalan ke Puskesmas dibandingkan dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Sama halnya dengan Puskesmas/Pustu, penduduk yang berobat ke Praktek Petugas Kesehatan lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan, apakah dia memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa petani merupakan penduduk yang paling banyak berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan. Jika dilihat perbedaan antar wilayah tampak bahwa penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Petugas kesehatan. Sementara yang paling banyak berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya
35
penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan bisa dipahami mengingat banyaknya pilihan tempat berobat yang dapat dikunjungi oleh penduduk DKI Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI Jakarta memang tinggi dan fasilitas kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di DKI Jakarta. Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek Petugas Kesehatan dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena praktek petugas kesehatan (selain dokter) memang lebih banyak dijumpai di daerah perdesaan dibandingkan di daerah perkotaan. Probabilitas berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Seperti halnya dengan pemanfaatan rawat jalan Puskesmas/Pustu, panel tersebut juga memperlihatkan bahwa pelayanan Praktek Petugas Kesehatan lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin kecil kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan. Dari uraian di atas tampak bahwa karakteristik pengguna Praktek Petugas Kesehatan hampir sama dengan karakteristik pengguna Puskesmas/Pustu. Pada umumnya mereka berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan.
36
yang tidak memiliki jaminan kesehatan mengkonsumsi 202 hari rawat. Jumlah hari rawat RS Pemerintah penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 183 hari rawat per 1.000 orang.
Gambar 2.17. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
303 199
1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, Gambar 2.18. tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya rawat inap di RS Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah hari rawat di RS Pemerintah penduduk terkaya sekitar 5,7 kali lipat dari penduduk berpenghasilan terendah. Setiap 1.000 penduduk terkaya (decile 10) yang memiliki jaminan kesehatan menggunakan rawat inap sebanyak 496 hari rawat di RS Pemerintah selama satu tahun, sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya menggunakan rawat inap sekitar 89 hari rawat.
37
Gambar 2.18. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Jaminan Non-jaminan
352 302 218 179 240 200 266 224 254 299
494 422
90 73
135 112
166 137
191 159
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Temuan ini menunjukkan bahwa subsidi pada pelayanan rawat inap RS Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, subsidi pelayanan kesehatan sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas kesehatan melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi kelompok sasaran. Gambar 2.19. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap per 1.000 penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel dan gambar tersebut tampak bahwa petani merupakan penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Sementara penduduk yang berstatus sebagai majikan dan pegawai swasta justru yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Dalam satu tahun, konsumsi rawat inap petani adalah 196 hari rawat per 1.000 orang, sementara konsumsi pegawai negeri mencapai 1,5 kalinya (309 hari rawat). Perbedaan antar kelompok pekerjaan ini konsisten dengan perbedaan antar kelompok penghasilan dimana petani pada umumnya adalah yang berpendapatan rendah dan yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap.
38
Gambar 2.19. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Jaminan
309
Non-jaminan
297
208
220
196 161
PNS
Peg Swasta
Petani
Pedagang
Lainnya
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk kelompok yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah hari rawat penduduk perkotaan (327 hari rawat per 1.000 penduduk) adalah sekitar 40% lebih besar dibandingkan dengan jumlah hari rawat penduduk perdesaan (232 hari rawat per 1.000 penduduk). Sementara untuk penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbedaannya mencapai 60% dimana jumlah hari rawat inap penduduk perdesaan adalah 165 hari rawat dan penduduk perkotaan adalah 262 hari rawat per 1.000 orang. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk perkotaan terhadap RS Pemerintah lebih mudah dibandingkan penduduk perdesaan, sebab RS Pemerintah umumnya terletak di daerah perkotaan. Gambar 2. 20. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat per 1.000 penduduk menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel dan
Asuransi Kesehatan Nasional
39
gambar tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah.
Gambar 2.20. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
Jaminan Non-jaminan
270 171 287 189 304 232 311 268
372 355
TS/TT-SD
SD
SLTP
SLTA
PT
Konsumsi rawat inap di RS Swasta lebih kecil dibandingkan dengan rawat inap di RS Pemerintah. Pada penduduk yang memiliki jaminan misalnya, jumlah konsumsi hari rawat di RS Pemerintah per 1.000 penduduk adalah 303 hari rawat, sedangkan di RS Swasta lebih kecil, yaitu hanya 225 hari rawat. Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah hari rawat di RS Swasta yang digunakan penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Gambar 2.21. tampak bahwa secara keseluruhan konsumsi rawat inap RS Swasta oleh penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 80% lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Konsumsi rawat inap RS Swasta dari setiap 1.000 penduduk adalah 225 hari rawat, sedangkan pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya mengkonsumsi 119 hari rawat. Konsumsi hari rawat di RS Swasta dari penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 102 hari rawat per 1.000 orang. 40
Gambar 2.21. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
250 200 150 100 50 0 1995 1998
Jaminan Non
108
225
119 86
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.22. tampak bahwa pelayanan rawat inap di RS Swasta lebih banyak digunakan oleh penduduk yang berpenghasilan Makin tinggi tinggi dibandingkan pendapatan dengan penduduk makin yang besar berpendapatan rendah. rumah-tangga
kemungkinannya rawat inap di RS Swasta, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Konsumsi hari rawat RS Swasta dari penduduk terkaya adalah 15-16 kali penduduk yang berpenghasilan terendah. Konsumsi rawat inap penduduk terkaya (decile 10) yang memiliki jaminan kesehatan selama satu tahun adalah sebanyak 482 hari rawat per 1.000 orang, sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya sekitar 30 hari rawat.
41
Gambar 2.22. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
500 400 300 200 100 0
30 24 52 38 75 55 94 70 117 86 137 103 163 124 201 153
Jaminan Non-jaminan
261 201
479 373
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Gambar 2.23. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap RS Swasta per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari gambar tersebut tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta adalah mereka yang bekerja sebagai petani. Sementara penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta. Konsumsi rawat inap RS Swasta oleh petani adalah 112 hari rawat per 1.000 orang, sementara konsumsi pegawai negeri mencapai dua kali lipatnya (202 hari rawat).
42
Gambar 2.23. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Jaminan Non-jaminan
267 237
159 112 81
142
Petani
Pedagang
Lainnya
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta. Sementara yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah hari rawat RS Swasta penduduk perkotaan (253 hari rawat per 1.000 orang) adalah 78% lebih besar dibandingkan dengan penduduk perdesaan (142 hari rawat per 1.000 orang). Sementara untuk penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbedaannya mencapai dua kali lipat dimana konsumsi rawat inap penduduk perdesaan hanya sebesar 85 hari rawat per 1.000 orang, sementara konsumsi penduduk perkotaan sebesar 181 hari rawat per 1.000 orang. Dengan demikian, penduduk perdesaan mengkonsumsi rawat inap RS Swasta lebih kecil dan lebih kecil lagi jika mereka tidak memiliki jamiman kesehatan. Gambar 2.24. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat RS Swasta per seribu penduduk menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari
Asuransi Kesehatan Nasional
43
panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Swasta lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta. Untuk kelompok yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah konsumsi rawat inap RS Swasta penduduk yang kepala rumah-tangganya tamat D1-S3 (316 hari rawat) adalah 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak sekolah/tidak tamat SD (182 hari rawat). Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, dimana konsumsi rawat inap penduduk yang kepala rumah-tangganya berpendidikan D1-S3 (318 hari rawat) adalah sekitar tiga kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.24. Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
400 300 200 100 0 TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
186 94 205 107 222 147 231 188
Jaminan Non-jaminan
319 313
44
Apakah beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditanggung masih dapat ditutup dengan oleh penghasilan rumah-tangga atau beban biaya tersebut lebih besar dari penghasilan rumah-tangga selama satu bulan. Studi ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membandingkan rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya yang mengalami sakit dengan ratarata penghasilan rumah-tangga satu bulan. Isu lain yang juga menarik berkaitan dengan pembiayaan kesehatan adalah seberapa besar kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Dari gambaran ability to pay tersebut dapat diperkirakan besarnya premi asuransi kesehatan yang secara potensial dapat dikenakan pada masyarakat menurut karakteristik sosial-demografi penduduk.
Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga Analisis tentang beban biaya kesehatan penting dilakukan untuk melihat besarnya
beban biaya kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang harus ditanggung oleh rumahtangga jika ada anggota rumah-tangganya yang sakit. Apakah beban biaya kesehatan tersebut masih terpikul oleh penghasilan rumah-tangga. Selanjutnya dapat dianalisis pelayanan mana (rawat jalan atau rawat inap) yang dari sisi risiko biayanya perlu dicakup dalam paket asuransi. Beban biaya kesehatan rawat jalan disini dihitung dari rata-rata (median) biaya rawat jalan yang dikeluarkan oleh rumah-tangga yang selama sebulan lalu ada anggota keluarganya yang berobat jalan. Sedang beban biaya rawat inap dihitung dari rata-rata (median) biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga yang selama satu tahun terakhir ada anggota keluarganya yang dirawat inap. Besarnya biaya rawat jalan dan rawat inap yang dikeluarkan oleh rumah-tangga menurut karakteristik sosial-demografi. Gambar 2.25. tampak bahwa secara keseluruhan (total) rata-rata pengeluaran rumah-tangga mengalami peningkatan, dari Rp 233.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp 335.000,- pada tahun 1998. Sementara rata-rata biaya rawat jalan yang dikeluarkan menurun tajam dari Rp 30.000,- pada tahun 1995 menjadi sekitar separuhnya tajam dari Rp 345.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp 573.000,- pada tahun 1998. Besarnya biaya rawat jalan yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 16.000,-) hanya
Asuransi Kesehatan Nasional
Rp
16.000,- Tetapi rata-rata biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga meningkat
45
sekitar 4,8 persen dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000,-). Dengan demikian beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga tidak terlalu besar. Artinya, risiko finansial akibat rawat jalan secara umum masih bisa diatasi dari penghasilan rumah-tangga. Sebaliknya, besarnya biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 573 .000,-) sekitar 1,7 kali lebih besar dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000). Besarnya biaya rawat inap tersebut menggambarkan bahwa biaya rawat inap jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan rumah-tangga. Jika ada anggota rumah-tangga yang harus dirawat inap, beban biayanya tidak bisa dicukupi dari penghasilan rumah-tangga sebulan.
Gambar 2.25. Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga (% Pengeluaran RT), Susenas 1995 dan 1998
600000
Pengeluaran RT Biaya Rajal Biaya Ranap
344954 233189 334912 572574
170%
400000 200000
15%
30270 16203
0 1995 1998
Temuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk memilih pelayanan mana (rawat inap atau rawat jalan) yang secara finansial mendesak untuk dicakup dalam paket pelayanan asuransi. Besarnya beban biaya rawat inap dibandingkan dengan penghasilan rumah-tangga mengindikasikan tentang perlunya memprioritaskan jaminan pelayanan rawat inap dibandingkan dengan jaminan pelayanan rawat jalan. Untuk biaya pelayanan rawat jalan data di atas menunjukkan bahwa rumah-tangga masih mampu membiayainya dari penghasilannya sendiri, sedangkan biaya rawat inap tidak dapat dicukupi dengan
Asuransi Kesehatan Nasional
46
penghasilan rumah-tangganya. Jika dilihat menurut kelompok penghasilan, pada Gambar 2.26. tampak bahwa beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditaggung rumah-tangga miskin lebih besar/berat dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Meskipun rata-rata biaya rawat jalan rumah-tangga termiskin (decile 1) secara absolut adalah yang paling kecil (Rp 8.000,-), namun karena penghasilannya juga kecil maka beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga tersebut menjadi besar. Beban biaya rawat jalan pada kelompok penghasilan terendah (decile 1) adalah sekitar 6,5 persen dari penghasilan rumah-tangga. Sebaliknya pada rumah-tangga terkaya (decile 10), meskipun nilai absolut biaya rawat jalannya adalah yang terbesar (Rp 31.000,-), tetapi karena penghasilan rumah-tanggaya juga besar (Rp 937.000,-) maka beban biaya rawat jalan dibandingkan dengan penghasilan rumah-tangga mereka menjadi kecil. Pada kelompok penghasilan terbesar (decile 10) besarnya biaya rawat jalan hanya sekitar 3,4 persen dari penghasilan rumah-tangga.
Gambar 2.26. Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
250 200 150 100 50 0
133 135 135 131 107 45
% Biaya Rajal % Biaya Ranap Penghasilan RT
230
125
120
138
6.5
5.67
5.54
5.11
4.99
5.12
4.35
4.22
4.34 3.35
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Berbeda dengan beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga yang relatif kecil, beban biaya rawat inap jauh lebih besar dibandingkan penghasilan
Asuransi Kesehatan Nasional
47
rumah-tangga. Beban biaya rawat inap rumah-tangga miskin lebih besar/berat dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Beban biaya rawat inap kelompok penghasilan termiskin (decile 1) adalah sekitar 2,3 kali penghasilan rumah-tangga, sementara pada rumah-tangga terkaya (decile 10) besarnya biaya rawat inap tersebut hanya 1,4 kali dari penghasilan rumah-tangga, padahal secara absolut biaya rawat inapnya yang terbesar (Rp 1.300.000,-). Gambar 2.27. memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan antara pengeluaran rumah-tangga petani dengan jenis pekerjaan lainnya. Dibandingkan dengan pengeluaran rumah-tangga pegawai negeri (Rp 533.471,- per bulan) misalnya, pengeluaran rumah-tangga petani (Rp 240.131,- per bulan) kurang dari setengahnya. Perbedaan besarnya pengeluaran rumah-tangga tersebut diduga berpengaruh pula pada perbedaan biaya rawat jalan dan rawat inap yang dikeluarkan. Biaya rawat jalan yang dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 26.642,-) sekitar 2,7 kali lipat biaya rawat jalan yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 9,723). Sementara biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 714.271,-) sekitar 1,7 kali lipat dibandingkan biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 413.305,-). Namun demikian beban biaya rawat inap rumah-tangga petani (sekitar 1,7 kali penghasilan per bulan) lebih besar dibandingkan beban biaya rawat inap yang ditanggung rumah-tangga pegawai negeri (hanya sekitar 1,3 kali penghasilan per bulan).
48
Gambar 2.27. Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
714271
Penghasilan
Biaya Rajal
Biaya Ranap
672503 570690
26642
16371
9723
18558
18975
Petani
Pedagang
Lainnya
Perbedaan besarnya beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut wilayah. Tampak bahwa rata-rata penghasilan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat merupakan yang tertinggi (Rp 450.000,-), namun karena besarnya biaya rawat jalan dan rawat inap di DKI Jakarta/Jawa barat juga besar, maka beban biaya rawat jalan dan rawat inap terhadap penghasilan rumah-tangga di Jawa Barat/DKI Jakarta juga lebih besar dibandingkan dengan beban yang dialami penduduk propinsi lainnya. Rata-rata biaya rawat jalan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 5,5 persen penghasilan rumah-tangga sebulan. Sedangkan biaya rawat inap yang harus ditanggung rumah-tangga DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 2,4 kali rata-rata penghasilan rumah-tangga mereka. Sementara di propinsi yang lain, meskipun rata-rata penghasilan rumah-tangganya kecil tetapi karena rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inapnya juga lebih kecil maka beban biaya kesehatan yang ditanggung rumah-tangga juga kecil. Beban biaya rawat inap yang ditanggung penduduk di Sulawesi, Papua, Maluku, Bali, NTB, dan NTT adalah yang terkecil dibandingkan dengan propinsi lainnya, khususnya propinsipropinsi di Pulau Jawa, yaitu antara 1-1,2 kali penghasilan rumah-tangga mereka sebulan. Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut daerah perdesaan dan
Asuransi Kesehatan Nasional
49
perkotaan. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap di daerah perkotaan (masing-masing Rp 23.000,- dan Rp 678.000,-) lebih besar dibandingkan dengan biaya rawat jalan dan rawat inap di daerah perdesaan (masingmasing Rp 11.000,- dan Rp 448.000,-). Demikian halnya dengan penghasilan rumahtangga di daerah perkotaan (Rp 454.000,-) jauh lebih besar dibandingkan rata-rata penghasilan rumah-tangga di daerah perdesaan (Rp 252.000,-). Adanya perbedaan biaya rawat jalan dan rawat inap yang ditanggung rumah-tangga dan perbedaan penghasilan rumah-tangga antara daerah perdesaan dan perkotaan tersebut berakibat pada perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap antara rumah-tangga di perdesaan dan di perkotaan. Untuk biaya rawat jalan, rumah-tangga perkotaan menanggung beban lebih besar/berat (5,1 persen dari penghasilan rumah-tangga sebulan) dibandingkan dengan rumah-tangga perdesaan (4,4 persen dari pendapatan rumah-tangga sebulan). Sedangkan untuk biaya rawat inap, rumah-tangga perdesaan menanggung beban yang lebih besar (1,8 kali penghasilan rumah-tangga) dibandingkan dengan rumah-tangga perkotaan (1,5 kali penghasilan rumah-tangga). Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut pendidikan kepala rumah-tangga. Beban biaya rawat inap yang harus dipikul oleh rumah-tangga yang pendidikan kepala rumah-tangganya rendah adalah lebih besar/berat dibandingkan dengan yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi. Beban biaya rawat inap rumahtangga yang berpendidikan SD adalah sekitar 2,2 kali penghasilan rumah-tangga sebulan, sementara pada yang berpendidikan tinggi (D1-S3) hanya 1,7 kali penghasilan rumahtangga sebulan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa beban biaya kesehatan lebih tinggi pada kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan. Dengan demikian, dari sisi risiko finansial merekalah yang sebenarnya amat membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan.
Di satu sisi beban biaya kesehatan lebih banyak dirasakan oleh kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan
50
sehingga merekalah yang sebenarnya membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan. Namun di sisi lain, kemampuan membayar kelompok tersebut juga rendah sehingga sulit untuk mampu membayar premi asuransi. Oleh karena itu, kelompok tersebut perlu memperoleh subsidi. Tapi benarkah kelompok tersebut memiliki kemampuan membayar rendah? Tabel 2.13a. memperlihatkan perbedaan kemampuan membayar masyarakat menurut karekteristik sosial demografi rumah-tangga. Secara keseluruhan besarnya ATP masyarakat adalah Rp 41.000,- (atau sekitar 12,2 persen dari total pengeluaran rumah-tangga). ATP masyarakat sebesar Rp 41.000,tersebut termasuk tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata biaya rawat jalan yang harus dikeluarkan jika ada anggota rumah-tangga yang berobat jalan. Kemampuan masyarakat tersebut sekitar 2,5 kali rata-rata biaya rawat jalan. Namun jika dibandingkan dengan biaya rawat inap, ATP tersebut hanya setara 7,2 persen dari rata-rata biaya rawat inap. Temuan ini memperkuat argumen lebih mendesaknya mencakup pelayanan rawat inap dalam paket asuransi kesehatan dibandingkan dengan pelayanan rawat jalan. Artinya, risiko finansial yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya yang dirawat inap adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan jika hanya berobat jalan. Karena risiko finansial rawat inap lebih besar maka jaminan pelayanan rawat inap lebih mendesak untuk dicakup dalam paket asuransi, sebab pada hakekatnya asuransi merupakan mekanisme pembagian risiko (risk sharing), yaitu risiko yang besar jika ditanggung individu akan menjadi kecil jika ditanggung bersama-sama (kelompok). Kemampuan membayar masyarakat (ATP) di sini didefinisikan sebagai pengeluaran kesehatan ditambah pengeluaran non-essensial (pesta/upacara, alkohol, dan tembakau/sirih). Namun perlu pula dicatat bahwa konsep ATP seperti itu mengasumsikan bahwa masyarakat dengan mudah dapat mengubah (switch) alokasi pegeluaran nonesensial (alkohol, tembakau, pesta) untuk biaya kesehatan. Dalam pratek, ada saja masyarakat yang sulit mengurangi biaya pesta atau tembakau untuk biaya kesehatan, meskipun disadari bahwa pengeluaran untuk kesehatan jauh lebih penting dibandingkan dengan pengeluaran untuk pesta, tembakau, apalagi untuk alkohol. Rata-rata pengeluaran untuk membeli rokok (tembakau/sirih, yaitu Rp 17.349,-) lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran kesehatan (Rp 14.664,-). Sementara rata-rata pengeluaran untuk pesta/ upacara sekitar 58 persen dari pengeluaran
51
kesehatan. Dengan demikian, jika gaya hidup masyarakat dapat dibuat menjadi lebih rasional dengan lebih mementingkan aspek kesehatan maka sebenarnya masyarakat memiliki potensi besar untuk membiaya kesehatannya. Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa besarnya ATP berkaitan dengan besarnya penghasilan rumah-tangga. Makin tinggi penghasilan rumah-tangga makin besar pula ATP-nya. Secara absolut nilai ATP kelompok rumah-tangga berpenghasilan tertinggi (decile 10) adalah Rp 118.341,- atau 8,8 kali nilai ATP kelompok rumah-tangga berpenghasilan terendah (decile 1) yang sebesar Rp 13.444,-. Perbedaan ATP menurut jenis pekerjaan penduduk menunjukkan bahwa rumahtangga petani memiliki ATP yang paling rendah dibandingkan dengan rumah-tangga pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, dan lainnya. ATP rumah-tangga petani (Rp 30.769,-) hanya sekitar separuh ATP rumah-tangga pegawai negeri (Rp 58.782,-). Perbedaan ATP menurut wilayah/propinsi. ATP tertinggi dijumpai pada rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat (Rp 49.427,-) dan Kalimantan (Rp 47.012,-). Sedangkan ATP terendah terdapat pada rumah-tangga di Jawa Tengah/DIY (Rp 32.641,-) dan Jawa Timur (Rp 33.458,-). Kemampuan membayar penduduk perkotaan (Rp 52.565,-) sekitar 1,6 kali ATP penduduk perdesaan (Rp 32.965,-). Meskipun secara absolut ATP penduduk perdesaan lebih kecil dibandingkan ATP penduduk perkotaan, namun jika dilihat persentasenya terhadap pengeluaran rumah-tangga, persentase ATP terhadap pengeluaran peduduk perdesaan (13,1 persen) lebih besar dibandingkan dengan persentase serupa pada penduduk perkotaan (11,6 persen). Jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga, ATP tertinggi ada pada rumahtangga yang pendidikan kepala rumah-tangganya D3-S1 (Rp 65.964,-). Sedangkan yang ATP-nya terendah adalah yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD (Rp 25.389,-). Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah-tangga makin besar pengeluaran rumah-tangganya dan makin besar pula ATP-nya. Jika diasumsikan bahwa besarnya ATP ini sama dengan besarnya potensi penduduk membayar premi asuransi kesehatan, maka penduduk yang berpotensi membayar premi tinggi adalah penduduk yang tinggal di perkotaan, yang tinggal di DKI
52
Jakarta/Jawa Barat, dan Kalimantan, yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi, dan yang berpenghasilan tinggi. Sementara penduduk yang memiliki risiko finansial besar dalam menanggung biaya kesehatan adalah penduduk yang tinggal di perdesaan, yang pendidikan kepala rumah-tangganya rendah, dan yang berpenghasilan rendah. Gambaran ini memperkuat perlunya cakupan asuransi yang bersifat universal dan wajib, yang memungkinkan terjadinya subsidi silang (cross subsidy) antara mereka yang mampu (dan karenanya risiko finansialnya kecil) terhadap mereka yang kurang mampu (sehingga risiko finansialnya besar).
Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan Kemauan membayar (Willingness to pay = WTP) disini diartikan maximum actual payment yaitu jumlah tertinggi yang secara nyata telah dibayarkan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang mereka peroleh. Secara keseluruhan besarnya WTP masyarakat untuk pelayanan rawat jalan menurut Susenas 1998 adalah Rp 324.000,-. Sedangkan WTP untuk pelayanan rawat inap adalah sebesar 60 juta rupiah. WTP sebesar Rp 324.000,- untuk rawat jalan dan 60 juta rupiah untuk rawat inap tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ATP mereka. Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa besarnya WTP tidak berkaitan secara konsisten dengan besarnya pendapatan rumahtangga. Rumah-tangga yang berpenghasilan besar tidak selalu memiliki WTP lebih besar. Misalnya, WTP rumah-tangga kelompok pendapatan decile 5 lebih besar dibandingkan dengan kelompok decile 6, decile 7, dan decile 8. Tidak konsistennya hubungan WTP dengan penghasilan rumah-tangga tersebut sejalan dengan sifat inelastis dari komoditas kesehatan. Pada komoditas yang bersifat inelastis, persentase perubahan harga lebih besar dibandingkan dengan persentase perubahan jumlah barang yang diminta. Sifat pelayanan kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai barang primer (essential goods) memungkinkan seseorang untuk terus-menerus berusaha memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya, berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Dalam dunia kesehatan ada fenomena yang dikenal sebagai the
law of medical money, dimana upaya mencari pelayanan kesehatan akan terus dilakukan
sampai dana yang tersedia habis. Jika biaya kesehatan tidak dapat ditutupi oleh 53
penghasilan sebulan, maka kekurangannya akan ditutup dari tabungan. Jika dana tabungan masih juga kurang, maka mereka akan berusaha menjual aset-aset yang dimiliki atau mencari pinjaman dari kerabat/orang lain. Dalam kaitan itulah, maka bisa dipahami jika WTP pelayanan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan membayar (ATP). Perbedaan WTP menurut jenis pekerjaan penduduk. Dari tabel tersebut tampak bahwa pegawai negeri memiliki WTP tertinggi, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Sedangkan kelompok yang memiliki WTP paling rendah adalah petani, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Perbedaan WTP rumah-tangga menurut wilayah/propinsi. WTP untuk pelayanan rawat inap tertinggi adalah di wilayah DKI Jakarta/Jawa Barat (60 juta rupiah), sedangkan yang terendah adalah di wilayah Maluku dan Irian Jaya. Demikian halnya dengan WTP untuk rawat jalan terendah juga terdapat di Maluku dan Irian Jaya. Sementara, WTP terendah baik untuk pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga adalah yang tidak sekolah atau tidak tamat SD.
54
terorganisir1. Jangkauan kepesertaan jaminan kesehatan kepada mereka (yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta) relatif lebih mudah dibandingkan dengan jangkauan kepesertaan kepada kelompok masyarakat lainnya. Sebagian besar target peserta (68,2 persen) merupakan kelompok tidak terorganisir dimana mereka bekerja sebagai petani (30,1 persen), pedagang (11,3 persen), dan jenis pekerjaan lainnya (26 persen). Besarnya kelompok masyarakat yang tidak terorganisir ini menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan. Tantangan tersebut terutama berkaitan dengan cara pengumpulan premi (iuran). Pengumpulan iuran dari kelompok yang tidak terorganisir lebih sulit dibandingkan dengan pengumpulan iuran dari kelompok terorganisir. Dimanakah target peserta berada? Sebagaimana distribusi penduduk Indonesia, target peserta jaminan kesehatan juga sebagian besar tersebar di Pulau Jawa (58,7 persen) dan Sumatera (21,1 persen). Sebagian besar (64,3 persen) dari mereka juga tinggal di perdesaan dan sebagian besar (76 persen) berpendidikan SD ke bawah. Banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berpendidikan rendah tersebut merupakan tantangan lain yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan di Indonesia.
Penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta diasumsikan sebagai kelompok terorganisir, sebab mereka bekerja pada sebuah unit usaha yang memiliki bentuk organisasi yang jelas. 55
56
ini menunjukkan bahwa hambatan finansial masih sangat besar peranannya. Ada yang berpendapat bahwa hal itu sebenarnya tidak terjadi karena pemerintah telah memberikan subsidi kepada rumah sakit umum daerah maupun pusat, khususnya untuk perawatan kelas III. Akan tetapi fakta yang dapat diperoleh dari berbagai survei nasional maupun lokal menunjukkan terdapat kesenjangan akses yang konsisten yang menunjukkan besarnya hambatan finansial. Subsidi pemerintah ke rumah sakit tidak membebaskan orang miskin dari seluruh biaya perawatan termasuk biaya obat dan tindakan lainnya. Program JPSBK yang memberikan dana pengaman sosial melalui subsidi bantuan dana operasional rumah sakit (OPRS) yang dapat digunakan untuk membantu pasien yang tidak mampu, belum memadai untuk menjamin mereka yang tidak mampu dapat terbebas dari biaya rawat inap yang mencekik. Lagi pula, program JPSBK merupakan program temporer yang belum jelas kesinambungannya. Beban biaya rawat inap terasa sangat besar, tidak bagi pada kelompok penduduk termiskin, akan tetapi bagi penduduk yang relatif mampu sekalipun. Jika suatu penyakit menimpa salah seroang anggota keluara, sebuah keluarga harus mengeluarkan biaya rawat inap yang lebih besar dari seluruh pengeluaran/ pendapatan rumah tangga sebulan. Beban biaya rawat inap yang diukur dengan besarnya rata-rata biaya per kali rawat inap dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga (sebagai proksi terhadap pendapatan) dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini. Dari gambar tersebut tampak bahwa pada semua golongan penghasilan, pengeluaran rutin rumah tangga sebulan tidak memadai untuk membayar rawat inap jika salah seorang anggota keluarganya harus menjalani rawat inap. Rumah tangga akan menghabiskan tabungannya, menjual harta benda, meminjam, atau harus mencari bantuan orang lain. Pada kelompok desil I (10% termiskin) beban tersebut jauh lebih besar (2,3 kali belanja rutin rumah tangga sebulan) dibandingkan dengan beban biaya rawat inap bagi kelompok lainnya yang rata-rata hanya sedikit lebih tinggi dari belanja sebulan. Kesenjangan akses dan konsumsi pelayanan rawat jalan memang masih terjadi antara yang kaya dan yang miskin dan antara berbagai golongan pekerjaan penduduk. Namun demikian perbedaan akses dan konsumsi rawat jalan tidaklah sebesar perbedaan akses dan konsumsi rawat inap. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan kesehatan di puskesmas dan puskesmas pembantu telah disediakan dengan harga subsidi dan dengan
57
obat yang cuma-cuma (obat inpres) yang mudah diakses penduduk kota dan desa. Lagi pula, biaya rawat jalan di praktek dokter atau klinik swasta sekalipun relatif masih bisa dijangkau oleh penduduk miskin atau marjinal. Jika mereka tidak mampu membayar jasa dokter dan obat di fasilitas swasta, fasilitas puskesmas pembantu dan puskesmas dapat menyediakan pelayanan substitusi dengan harga sangat terjangkau. Besarnya rata-rata biaya rawat jalan dibandingkan dengan biaya rutin rumah tangga relatif kecil, hanya berkisar antara 5-7% dari pengeluaran total rumah tangga sebulan. Apabila terjadi kebutuhan rawat jalan, rumah tangga masih mampu membiayainya tanpa merusak ekonomi atau belanja rutin rumah tangga. Hal ini tidak terjadi pada pelayanan rawat inap, dimana obat inpres hampir tidak tersedia dan berbagai pemeriksaan penunjang medis masih harus dibayar sendiri oleh penduduk miskin sekalipun. Data dari Susenas menunjukkan bahwa jika terjadi kebutuhan rawat inap, rata-rata rumah tangga Indonesia harus mengelurkan 100-230% dari pengeluaran rutin sebulan. Hal ini berarti, jika tidak ada bantuan dana dari pihak lain, sebuah rumah tangga akan kehilangan uang untuk belanja makan dan belanja rutin lainnya untuk seluruh anggota keluarga selama satu sampai dua bulan. Keadaan ini dapat menghancurkan kehidupan sebuah rumah tangga, jika tidak segera diselenggarakan sistem asuransi kesehatan yang memadai.
Gambar 3.1 Beban biaya rawat inap terhadap Pengeluaran rumah tangga Sebulan, 1998
2,5 2 1,5
Kali
1 0,5 0
10
58
Beratnya beban rawat inap ini tidak hanya tampak dari data kuantitatif akan tetapi sudah sangat dirasakan oleh penduduk. Hal ini tercermin dari ungkapan sebagian besar peserta diskusi kelompok terarah yang memperkuat bahwa seharusnya asuransi kesehatan atau bantuan sosial diprioritaskan pada rawat inap dan berbagai pengobatan atau tindakan medis mahal (major medical, catastrophic illnesses, atau dread diseases). Hal ini memang sesuai dengan teori asuransi atau teori utilitas dimana kemauan masyarakat untuk berkontribusi dalam suatu skema asuransi dapat terjadi pada kejadian yang memiliki resiko finansial besar. Sedangkan kejadian yang memiliki resiko finansial kecil tidak layak untuk dimobilisir dalam bentuk asuransi sosial maupun komersial.
59
Punya asuransi (%) JENDER Laki-laki Perempuan UMUR 0-4 5 -18 19-54 55+ PENDIDIKAN AYAH SD SLTP SLTA D1-S3 PENDAPATAN Desile-1 Desile-2 Desile-3 Desile-4 Desile-5 Desile-6 Desile-7 Desile-8 Desile-9 Desile-10 TEMPAT TINGGAL Kota Desa NASIONAL 12,74 11,65 9,46 10,45 14,52 9,14 5,09 18,75 43,49 69,85 3,60 5,59 6,26 8,72 10,81 12,92 15,92 17,52 22,62 29,20 21,73 6,32 12,19
Dana/ Kartu Sehat (%) 1,85 1,87 2,02 2,05 1,61 2,32 1,96 1,53 1,39 0,83 2,36 1,68 1,77 1,78 1,72 1,95 1,69 1,95 1,79 1,84 1,42 2,14 1,86
Tidak punya asuransi (%) 85,41 86,48 88,53 87,50 83,87 88,54 92,95 79,72 55,12 29,32 94,04 92,73 91,98 89,50 87,46 85,14 82,39 80,53 75,59 68,96 76,85 1,54 85,95
Total (%)
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
60
61
hambatan finansial, maka harus diupayakan suatu sitem pembiayaan yang dapat menghilangkan hambatan tersebut. Kebutuhan akan sistem pembiayaan yang egaliter, sudah dirasakan sejak lama di lingkungan kesehatan maupun di luar kesehatan. Di lingkungan kesehatan, dapat kita baca berbagai publikasi Departemen Kesehatan dari mulai Sistem Kesehatan Nasional di awal tahun 1980an sampai dokumen Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2000)16. Dengan keterbatasan dana pemerintah dan keinginan agar setiap penduduk mengambil peran dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, maka hanya sistem asuransilah yang dapat mengurangi kesenjangan diatas. Kebutuhan asuransi kesehatan dirasakan pada semua kelompok pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. Sesuai dengan ideologi bangsa yang menginginkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sistem asuransi yang tepat untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan tersebut adalah sistem asuransi sosial kesehatan. Kebutuhan akan asuransi kesehatan tidak selalu diiringi oleh permintaan asuransi kesehatan, meskipun secara potensial untuk penyakit yang memiliki resiko finansial besar permintaan akan asuransi kesehatan dapat tumbuh. Dalam prakteknya, negara-negara maju yang telah menyelenggarakan asuransi kesehatan secara luas tidak mengandalkan pada permintaan (demand) akan tetapi lebih melihat pada kebutuhan (needs). Itulah sebabnya bentuk asuransi kesehatan yang dilaksanakan di semua negara maju (kecuali Amerika) adalah asuransi kesehatan sosial. Karena besarnya kesenjangan informasi, maka biasanya permintaan asuransi kesehatan jauh lebih kecil dari kebutuhan. Oleh sebab itu, apabila suatu negara mengandalkan tumbuhnya permintaan yang dapat dipenuhi melalui penawaran asuransi kesehatan secara sukarela (komersial), maka asuransi kesehatan hanya akan menjangkau sebagian kecil masyarakat. Di Indonesia kini terdapat berbagai bentuk asuransi kesehatan yang masingmasing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan masingmasing sistem jaminan tersebut, ditinjau dari aspek pemerataan keadilan (equity), efisiensi, mutu, dan sustainabilitas dapat dilihat dari matriks berikut ini.
62
Elemen
Apakah equity dapat tercpai jika sistem terkait berkembang dan mendominasi asuransi kesehatan di Indonesia?
JPK PNS
Dapat tercapai tetapi kurang optimal Secara teoritis telah terdapat elemen equity karena besarnya premi proporsional terhadap gaji pokok. Akan tetapi karena porsi gaji pokok untuk premi terhadap pendapatan (take home pay) jauh lebih kecil pada golongan III dan IV dibandingkan dengan golongan I dan II, maka beban premi terhadap pendapatan lebih besar pada golongan I dan II. Dari sisi rancang bangun, sudah lebih baik dan dapat memfasilitasi equity. Paket yang diberikan jauh lebih komprehensif dari yang lain, meskipun dalam prakteknya pelayanan promotif dan preventif masih minimal. Kini mulai diterapkan iur biaya (cost sharing) yang dapat diterima untuk efisiensi, tetapi dapat memberatkan peserta karena tidak ada maksimum iur biaya Karena pelayanan dengan sistem locked in/closed panel, anggota yang tinggal di pedalaman tidak mendapatkan akses yang sama dengan yang tinggal di kota,
JPK Jamsostek
Dapat tercapai, kurang optimal Secara struktural elemen equity telah masuk disini dengan premi proporsional terhadap upah (bukan gaji pokok). Namun karena adanya ceiling pendapatan Rp 1 juta dan opsi tidak ikut JPK, maka terjadi adverse selection yang membatasi subsidi silang pada kelompok bawah (gaji di bawah Rp 1 juta); sementara perusahaan yang membayar gaji rata-rata diatas Rp 1 juta memilih opt out dengan membeli askes komersial yang tidak bisa memberikan equity egaliter Paket yang diberikan lebih terbatas dibandingkan dengan paket JPK PNS. Hal ini menimbulkan inequity ketika anggota menderita, misalnya, gagal ginjal atau kanker, maka beban biaya anggota tersebut menjadi besar sekali karena harus membayar dari kantong sendiri. Sistem closed panel juga menghambat anggota yang tinggal di tempat terpencil untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya, meskipun mereka membayar premi yang sama.
Apakah rancangan paket jaminan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan penduduk yang merupakan hak asasi penduduk?
Secara teori paket JPKM harus komprehensif, tetapi dalam prakteknya pengertian komprehensif hanya basa-basi. Tidak ada produk JPKM yang benar-benar komprehensif Paket yang ditawarkan oleh para bapel berijin adalah paket yang memiliki limit pelayanan/biaya rendah atau banyak eksklusi. Tidak banyak beda dengan paket Askes tradisional, kecuali bahwa disini digunakan sisem locked in. Biaya medis besar justeru tidak ditanggung sehingga tidak memungkinan peserta mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya, justeru pada saat mereka tidak mampu membiayai sendiri.
63
Paket asuransi kesehatan tradisional umumnya terbatas sesuai dengan permintaan pasar, yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis
No 3
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Dalam teori tidak boleh ada. Dalam praktek, batasannya sangat bervariasi dari yang sangat rendah sampai cukup tinggi. Dalam Permenkes 527, justeru paket jaminan rawat inap disebutkan 5 hari. Paket askes tradisional memang tidak harus komprehensif, akan tetapi ada yang menjual paket komprehensif dengan berbagai limitasi. Sering batas maksimum ditetapkan sebagai besar biaya yang ditanggung
JPK PNS Ada masalah batasan anak kedua dan usia anak yang ditanggung tanpa klausul pengecualian. Jika anggota keluarga pada saat itu sedang membutuhkan pelayanan medik yang mahal, misalnya menderita gagal ginjal atau mengalami persalinan patologis, beban biaya menjadi sangat berat untuk peserta. Di era otonomi daerah, RS dibernarkan menarik selisih biaya yang ditanggung dan yang ditagih RS. Jumlah biaya sendiri bisa menjadi lebih besar dari yang ditanggung Terdapat perbedaan akses yang besar antara mereka yang tinggal di perkotaan/kota besar dan yang tinggal di kota kecil karena tidak meratanya fasilitas di seluruh wilayah.
JPK Jamsostek Pembatasan lebih banyak dibangingkan dengan paket Askes: batas rawat inap 60 hari, tidak menanggung hemodialisis dan pengobatan kanker. Usia pensiun tidak ditanggung justeru pada saat tenaga kerja tidak sanggup menanggung sendiri biaya pengobatan karena telah pensiunan. Sama dengan Askes, ada batasan anak 3 dan usia anak yang ditanggng tanpa pengecualian
Apakah terdapat akses merata pada anggota untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas PPK yang memadai kualitas dan jenis pelayanannya
Umumnya yang dijual bapel berijin berada di kota besar (mengambil perushaan yang opt-out JPK Jamsostek). Jadi akses relatif sama bagi semua anggota. Asuransi kesehatan tradisional pada umumnya juga memfokuskan pada pasar di kota besar. Selain itu, biasanya asuransi kesehatan tradisional tidak memberikan batasan PPK, karena peserta bebas memilih PPK yang disukai/kehendaki
Akses relatif tidak merata karena sebaran fasilitas yang tidak merata. Namun karena kebanyakan perusahaan berada di daerah perkotaan maka perbedaan akses relatif tidak sebesar perbedaan akses bagi peserta JPK PNS
64
No 5
Elemen Efisiensi makro/alokatif. Jika sistem ini berkembang, apakah secara nasional kita dapat mengendalikan biaya kesehatan?
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Model ini tidak akan menghasilkan efisiensi makro. Bapel JPKM dan asuradur yang banyak dan for profit akan berkompetisi merancang dan menjual produk yang paling menguntungkan. Biaya riset, pemasaran, dan tuntutan laba menyebabkan biaya premi akan mahal. Pooling yang relatif kecil (karena produk yang bervariasi dan hasil jual yang kecil) menyebabkan biaya profit margin dan contigency margin menjadi besar.17
JPK PNS Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran. Pooling yang besar (13,8 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil. Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga.
JPK Jamsostek Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran. Pooling yang besar (potensi 100 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil. Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga. Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Dengan kombinasi sifat asuransi sosial, model ini menjanjikan efisiensi tertinggi. Seperti juga JPK PNS model ini adalah model managed social health insurance/social managed care.
Efisiensi mikro/teknis
Model pembayaran kapitasi pada JPKM secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Namun dibandingkan dengan sistem asuransi sosial efisiensi ini tidak lebih tinggi18 karena tidak kuatnya efek price leader
Secara teori JPKM menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang
Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Ditambah dengan regulasi tarif dan bentuk asuransi sosial, model ini sangat menjanjikan efisiensi tertinggi akan tetapi perlu berbagai perbaikan. Ini adalah model managed social health insurance/ social managed care Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal
Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal
65
belum sadar pencegahan dalam hal ini dan keperluan mendesak jaminan pengobatan
ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan JPK PNS Keharusan menggunakan puskesmas sebagai gate keeper menimbulkan rendahnya pemanfaatan rawat jalan, kecuali untuk minta rujukan. Kini sedang diuji coba penggunaan dokter partikelir yang dapat meningkatkan persepsi terhadap mutu. Akan tetapi hal ini akan meningkatkan biaya, relatif terhadap biaya puskesmas. Secara umum mutu pelayanan medis dipersepsi masih belum memuaskan.20 Sustainabilitas tinggi karena dijamin/dimiliki pemerintah. Akan tetapi bentuk PT Persero tidak sesuai dengan misi dan tujuan asuransi sosial. Perlu perombakan menjadi bapel nirlaba.
ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan JPK Jamsostek Tidak ada keharusan menggunakan puskesmas dan tidak ada standar tarif. Akan tetapi karena rendahnya besaran premi yang dikumpulkan, besaran kapitasi yang kecil lebih banyak menarik dokter yunior. Dengan demikian PPK I JPK ini lebih bermutu dibandingkan dengan JPK PNS dan percontohan JPKM. Namun secara umum, masih dipersepsi belum memenuhi standar kelas menengah (kepesertaan masih sangat terbatas)21. Sustainabilitas sedang karena adanya ancaman adverse selection tetapi dimiliki pemerintah. Seperti juga pada PT Askes, bentuk PT Persero tidak sesuai dengan tujuan dan misi asuransi sosial yang diemban PT Jamsostek. Memenuhi kebutuhan medis menengah, cukup sustainabel, tetapi mutu perlu ditingkatkan
No
Elemen Kualitas
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Secara teori, pelayanan yang diberikan JPKM haruslah berkualitas. Dalam praktek, khususnya dalam bapel percontohan, menggunakan puskesmas dan RSU yang oleh masyarakat menengah dinilai inferior. Akibatnya, JPKM menimbulkan stigma sistem pelayanan kelas rendah (inferior goods) dan karenanya tidak menarik kelas menengah keatas19. Bapel JPKM swasta menggunakan dokter partikelir dan rumah sakit yang cukup memadai mutunya. Demikian juga dengan askes tradisional Sustainabilitas sangat beragam. Sustainabilitas dapat dinilai dari paket yang memenuhi kebutuhan, pembayaran PPK yang wajar, kualifikasi tenaga, permodalan, dan cara pengumpulan premi otomatis dari pekerjaan yang sinambung. JPKM di daerah, atau yang diusahakan JPSBK, tidak sustainabel. JPKM swasta relatif lebih sustainabel, tetapi sulit untuk jangka panjang karena modal mereka umumnya relatif kecil. Bervariasi dari yang sangat inferior (tidak sustainabel) ke yang relatif baik. Askes tradisional cukup memenuhi kebutuhan
Sustainabilitas bapel
Sustainabilitas, paket
66
No
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Bervariasi dari yang tidak sustainabel (puskesmas) di desa, sampai yang relatif baik (di kota). Pembayaran yang kecil menyebabkan pelayanan tidak optimal dan pada akhirnya akan menurunkan persistensi. Askes tradisional cukup sustainbel karena mampu membayar PPK pada tarif pasar yang berlaku
JPK PNS Pembayaran kepada PPK pemerintah, khususnya, RS swadana yang sering dikeluhkan jauh di bawah cost, mengancam pelayanan yang bermutu. Meskipun untuk daerah kecil, pembayaran rumah sakit dapat lebih besar dari tarif Perda, kekecewaan RS swadana dapat membawa dampak lebih besar karena mereka lebih vokal. Sejauh privatisasi RSU tidak meluas dan tidak ada degradasi skema, sustainabilitas masih baik Pengmpulan premi otomatis oleh Departemen Keuangan menjanjikan sustainabilitas yang tinggi. Namun besarnya premi dan persepsi paket dan prosedur dapat mengancam sustainabilitas ini. Dengan kontribusi pemerintah, sesuai .
JPK Jamsostek Pembayaran PPK relatif lebih baik daripada JPK PNS. Namun demikian, JPK ini tidak mempunyai buying power yang sama kuat dengan JPK PNS. Sejauh kenaikan biaya PPK, baik dalam bentuk kapitasi atau FFS, sejalan dengan kenaikan upah, sustainabilitas masih cukup baik.
Sustainabilitas premi
Sistem sukarela yang dijual kepada perusahaan sebagai opsi JPK Jamsostek menjanjikan sustainbalitas yang mantap. Sistem sukarela yang dikembangkan sebagai uji coba, termasuk JPKM JPSBK tanpa target penduduk yang jelas, tidak sustainabel. Askes tradisional juga mengambil pasar tenaga kerja yang cukup sustainabel.
Pengumpulan premi melalui perusahaan menjanjikan sustainabilitas yang memadai. Namun biaya operasional pengumpulan premi ini relatif lebih tinggi dari JPK PNS. Paket dan prosedur yang belum memenuhi kebutuhan banyak tenaga kerja juga mengancam sustainabilitas
67
No
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Hanya beberapa bapel JPKM yang telah memiliki tenaga yang pernah mengikuti pendidikan managed care HIAA. Sisanya ada yang memiliki tenaga lulusan D3 asuransi kesehatan FKMUI. Sebagian besar tidak memiliki tenaga yang mendapat pendidikan managed care yang memadai. Pelatihan yang diberikan oleh Depkes, tidak memadai untuk membekali pengelola dengan baik.
JPK PNS Banyak tenaga profesional yang telah mendapat pelatihan asuransi kesehatan komersial maupun sosial di dalam dan di luar negeri. Banyak di antara mereka yang telah memperoleh sertifikat Managed Healthcare Professional dari HIAA. Sistem ini paling sustainabel ditinjau dari kesiapan tenaga profesionalnya. Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.
JPK Jamsostek Sebagian tenaga profesi telah mendapatkan pelatihan atau pendidikan sistem jaminan sosial. Masih sangat sedikit yang memiliki pengetahuan khusus managed care. Namun demikian, perhatian perusahaan terhadap pengelolaan JPK tidak sebesar perhatiannya terhadap pengelolaan JHT. Sustainabilitas program ini cukup baik, tetapi kurang baik dibandingkan dengan JPK PNS. Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.
Modal/aset/solv abilitas
Penjamin/reasur adur
Pada umumnya bapel-bapel berijin tidak memiliki modal dan aset yang memadai. Berbagai perusahaan asuransi yang menjual produk JPKM atau askes tradisional memiliki modal dan solvabilitas yang memadai. Tidak ada reasuradur pada bapel JPKM. Hal in lebih mengancam sustainabilitas. Askes tradisional telah memiliki reasuradur yang memadai
Pemerintah sebagai penjamin. Akan tetapi tidak secara spesifik bersifat sebagai reasuradur. Karena volume besar, tanpa asuradur sebenarnya JPK PNS cukup memadai
Pemerintah. Tetapi pemerintah tidak secara spesifik sebagai reasuradur. Sustainabilitas tidak sebaik JPK PNS karena volume anggota yang masih kecil
68
No
Elemen Portabilitas
JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya Tidak ada sama sekali. Hal ini memberatkan peserta yang pindah tempat atau pindah kerja
JPK Jamsostek Tidak tentu. Jika anggota pindah kerja dan majikan baru mendaftarkannya pada Jamsostek, ada portabilitas. Jika tidak, jaminan terputus.
69
belum bisa dibuktikan oleh penyelenggaraan JPKM yang sekarang berlangsung. Hal ini menimbulkan skeptisisme tentang kesinambungan konsep JPKM. Lagi pula pembayaran kapitasi model managed care Amerika tidak banyak dilakukan di Amerika, karena memang tidak disukai peserta dan PPK. Dalam rancangan UU JPKM yang baru, penyelenggaraan JPKM akan berubah besar. Hal ini akan dibahas kemudian. Pada umumnya dalam menetapkan premi para bapel tidak ditetapkannya secara cermat dan berdasarkan perhitungan aktuarial yang memadai. Kesepatakan harga premi,
70
tidak bisa dilakukan berdasarkan tarif komunitas, akan tetapi lebih merupakan hasil negosiasi kepada perusahaan, seperti halnya penyelenggaraan askes tradisional. Hambatan utamanya adalah tiadanya data yang terkumpul berdasarkan pengalaman individual bapel maupun gabungan bapel secara kolektif. Meskipun data kolektif dapat dikumpulkan, ketidak-sebandingan paket menyebabkan penggabungan data pengalaman tidak ada artinya bagi perhitungan premi. Pada berbagai percontohan dan program yang diklaim sebagai JPKM, meskipun sebenarnya merupakan program dana sehat, premi ditetapkan terlalu kecil berdasarkan pendapat politis. Penggunaan pendapat politis untuk suatu program yang berbasis ekonomi tentu saja tidak tepat dan menimbulkan kekacauan manajemen. Oleh karenanya, program-program tersebut kemudian tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Bahkan kini sebuah bapel berijin di Jakarta sedang menghadai tuntutan hukum karena tidak mampu membayar kewajibannya kepada rumah sakit. Kegagalan semacam ini mengancam sustainabilitas bapel bahkan sustainabilitas program JPKM secara keseluruhan. Modal yang dimiliki para bapel pada umumnya sangat kecil sehingga tidak mampu menghadapi pasang surut pasar dan utilisasi. Dari 20 bapel yang berijin dana deposito yang disetor sebagai jaminan hanya sebesar Rp 1,14 milyar.xxii Dengan mengacu standar Permenkes yang mengharuskan menyetor dana 25% kebutuhan operasional setahun dan dana pembayaran PPK selama 3 bulan, berarti bahwa rata-rata tiap bapel hanya memiliki anggaran operasional sekitar Rp 200 juta setahun. Dengan jumlah pesera pada awalnya permohonan ijin yang hanya 140 ribuan, berarti tiap bapel rata-rata hanya memiliki 7.000 anggota, suatu jumlah yang sangat kecil untuk bertahan dalam bisnis jaminan kesehatan. Bahkan menurut data Profil Kesehatan 1999 yang diterbitkan Depkes terdapat bapel yang hanya memiliki 400 anggota. Kecilnya modal dan sedikitnya peserta sangat tidak menjamin sustainabilitas bapel JPKM.
71
JPK, dan hal itu sudah dibuktikan dalam proyek JPKM Klaten ronde pertama. Efek anti seleksi ini telah dikenal lama di berbagai negara maju sejak puluhan tahun yang lalu dan telah banyak dibahas dalam literatur asuransi dan ekonomi kesehatan. Kesukarelaan juga telah dibuktikan tidak akan mampu menarik peserta dalam jumlah yang cukup memadai kecuali ada insentif lain seperti premi yang bersifat tax deductible. Jika model Amerika yang mau dicontoh, sukarela memilih HMO atau askes tradisional, maka bukti-bukti telah nyata bahwa di Amerika kini ada 43 juta penduduk yang tidak memiliki asuransi kesehatan, meskipun biaya kesehatan per kapita telah melewati batas tertinggi di dunia yang melebihi US$ 4.000 per kapita per tahun dan AS telah menghabiskan hampir 15% PDBnya untuk belanja kesehatan. Tanpa insentif pajak, pangsa pasar sukarela ini akan jauh lebih kecil dan kemungkinan besar bisa menyebabkan 200 juta penduduk Amerika tanpa asuransi kesehatan sama sekali. Di lain pihak, JPK PNS yang bersifat wajib telah mampu mengumpulkan premi dari seluruh pegawai negeri secara kontinyu selama lebih dari 30 tahun. Meskipun banyak pegawai negeri, khususnya golongan atas, merasa kecewa dan tidak menggunakan haknya, akan tetapi mereka yang pernah menderita sakit berat sudah merasakan manfaatnya. Para pensiunan PNS banyak sekali yang menggunakan fasilitas Askes. Bahkan golongan pensiunan ini dapat mengancam solvabilitas PT Askes karena utilisasi yang tinggi. Jika kita amati pasien di pusat-pusat hemodialisa, sekitar 70% pasiennya adalah pasien Askes (bandingkan dengan proporsi peserta Askes terhadap total penduduk yang hanya mencapai 7% saja). Sementara yang tidak memiliki Askes telah lama meninggal sehingga prosentasenya sangat kecil. Ini berarti bahwa peserta Askes memiliki akses hemodialisa 10 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat umum. Hal ini menunjukkan manfaat besar yang dapat diterima PNS dari penyelenggaraan JPK PNS. Seluruh PNS dapat dijamin atau sudah otomatis menjadi peserta.
Tenaga profesional
Tenaga yang mengelola bapel JPKM berijin pada umumnya tidak menguasai bisnis asuransi kesehatan atau managed care. Kebanyakan mereka adalah orang-orang amatiran yang mengira ada peluang besar dalam bisnis jaminan untuk mendapatkan untung, namun mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Beberapa bapel telah memiliki tenaga yang mempunyai kualifikasi pendidikan khusus,
Asuransi Kesehatan Nasional
72
meskipun tidak dalam setting Indonesia. Bebarapa bapel juga mempunyai misi sosial yang kuat, akan tetapi bukan bapel asuransi sosial kesehatan. Banyak tenaga bapel yang memiliki pengalaman di rumah sakit atau di institusi kesehatan lainnya, seperti Dinas Kesehatan, namun bisnis jaminan sangat berbeda dengan bisnis pelayanan kesehatan. oleh karenanya, pengalaman mengelola pelayanan kesehatan tidak memadai untuk mengelola bapel JPKM. Di perusahaan asuransi, tenaga-tenaga yang mengelola pada umumnya sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan di perusahaan bapel. Hal ini terkait dengan keharusan memiliki tenaga profesional, yang umumnya memiliki gelar profesi dari AMAI, PAI, atau lembaga pendidikan asuransi luar negeri, yang telah diatur dalam peraturan asuransi di Indonesia. Keharusan modal yang besar untuk membuka asuransi menyebabkan investor tidak akan secara ceroboh merekrut tenaga yang tidak memenuhi syarat. Dibandingkan dengan perusahaan asuransi patungan atau asing, memang perusahaan asuransi domestik masih kurang profesional. Namun dibandingkan dengan bapel JPKM mereka jauh lebih profesional. Profesionalitas tenaga, yang antara lain ditunjukkan dari gelar profesi dan pengalaman, sangat menentukan sustainabilitas penyelenggaraan asuransi kesehatan. Penyelenggaraan JPKM sesungguhnya merupakan manajemen resiko sakit dan karenanya harus diatur dan dikelola sebagaimana layaknya usaha asuransi. Hal ini terutama sangat penting karena tingginya tingkat informasi asimetri pada produk JPKM maupun asuransi kesehatan tradisional. Kerena itu, ancaman terhadap perlindungan konsumen/peserta yang tidak mengerti berbagai seluk beluk produk, khususnya pada pengelolaan secara komersial atau semi komersial, harus diatur ketat. Salah satu pengaturan penting adalah persyaratan ketenagaan. Seperti halnya perushaan asuransi yang harus memiliki tenaga dengaan kualifikasi khusus, yang diperoleh melalui program pendidikan profesi, penyelenggaraan JPKM yang sukarela seharusnya juga memiliki persyaratan serupa. Namun hal ini belum tertampung dalam JPKM. PT Askes Indonesia telah lama (sejak 1993) mempersiapkan tenaganya untuk mampu mengelola program yang ada dan bersaing dengan perusahaan asuransi. Dengan jumlah tenaga berpendidikan sarjana dan magister yang mencapai hampir 35% dari sekitar 1.800 karyawannya PT Askes telah mendapatkan sertifikat ISO 9002. Banyak
73
tenaga profesionalnya yang dilatih khusus asuransi kesehatan, managed care, atau asuransi sosial di berbagai negara dan di tanah air. Ke-profesionalan ini telah dibuktikan dengan mendapatkan kepercayaan mengelola produk komersial (disebut sukarela oleh PT Askes) dengan jumlah mencapai hampir 750.000 orang dari sekitar 1.800 perusahaan. Dari segi tenaga profesional, PT Askes merupakan satu-satunya perusahaan asuransi kesehatan yang memiliki kemampuan memadai untuk mempertahankan sustainabilitas penyelenggaraan jaminan kesehatan saat ini.
74
dan tidak efisien di kemudian hari. Paling tidak kita bisa melihat dari data diatas bahwa konsumen pada akhirnya membayar pooling resiko hampir sama banyaknya dengan biaya kesehatan jika ia bayar sendiri (rasio klaim 57%). Artinya, jika biaya pelayanan rawat inap yang harus dibayar oleh seseorang sebesar Rp 1 juta, maka untuk mendapatkan jaminan (kepastian) melalui perusahaan asuransi konsumen harus membayar Rp 1,75 juta. Jelas hal ini akan mengancam tujuan efisiensi makro. Pertumbuhan asuransi kesehatan komersial tradisional akan meningkatkan utilisasi dan biaya kesehatan seperti yang telah dialami Amerika. Pertumbuhan yang pesat ini yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan yang pesat asuransi kesehatan terkendali (managed care) akan menambah sulitnya kendali biaya di masa datang. Jika tidak ada suatu skema jaminan sosial yang melindungi penduduk berpendapatan rendah (tidak harus miskin), maka kecendrungan ini dapat menjadi beban berat bagi masyarakat dan pemerintah di kemudian hari. Apalagi penyelenggaraan asuransi kesehatan tradisional sama sekali belum diatur mengenai paket dan berbagai aspek kontrak asuransi lainnya seperti yang kita amati di Amerika. Kekurangan peraturan ini akan sangat mudah merugikan masyarakat banyak. Peraturan rinci tentang paket jaminan, kontrak asuransi, klaim, dan berbagai masalah lainnya tidak perlu secara ketat dilakukan pemerintah jika jaminan sosial bidang kesehatan telah tersedia secara memadai bagi seluruh masyarakat.
75
membedakan pelayanan kesehatan dari pelayanan jasa lain yang dapat dilepaskan pada mekanisme pasar, kecendrungan baru yang didorong oleh orientasi pasar yang dipahami secara bias telah juga merasuk tenaga kesehatan dan kelompok lain. Memang benar beberapa komponen pelayanan kesehatan memiliki karakter yang tidak banyak berbeda dengan jasa lain dan karenanya pantas dilepas pada mekanisme pasar. Akan tetapi sebagian besar tidak. Karena kekurang-fahaman tentang mekanisme pasar sendiri dan ciri pelayanan kesehatan, banyak tenaga kesehatan yang di dalam bereaksi terhadap dorongan pasar dan swastanisasi tidak lagi melihat perbedaan tersebut. Hal ini akan sangat berbahaya karena setelah waktu satu atau dua dekade ke depan, akibat kesalah-fahamanan ini baru akan tampak. Pembenahan pada masa itu, akan sangat sulit. Setelah diskusi mendalam dan berbagai pancingan dilontarkan, pada umumnya peserta DKT akhirnya menyadari ketidak-cocokan pelayanan kesehatan sebagai komoditas privat yang dapat dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Hal serupa juga tampak pada waktu diskusi tentang asuransi kesehatan komersial dan sosial. Pada diskusi lebih mendalam, tampak bahwa pemahaman asuransi sosial umumnya masih dinilai sebagai asuransi untuk golongan ekonomi lemah atau pelayanan derma dengan kinerja manajemen yang buruk. Stigma ini memang tidak lepas dari apa yang mereka amati atau alami dengan pelayanan Askes dan pelayanan Jamsostek pada masa lalu, yang keduanya sebenarnya tidak mendapat dana yang memadai. Kedua program tersebut merupakan asuransi sosial yang terdistorsi oleh kesalah-fahaman masa lalu. Tidak sedikit dari peserta DKT yang berbicara dengan memberikan kesan bahwa JPKM adalah program untuk rakyat miskin. JPKM dinilai sebagai suatu asuransi yang bertujuan sosial yaitu memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat golongan bawah. Padahal konsep JPKM merupakan adopsi konsep HMO yang merupakan integrasi asuransi kesehatan dan pengendalian biaya melalui kontrak dengan PPK. Sama sekali konsep itu tidak terkait dengan pemberian jaminan atau bantuan bagi masyarakat miskin. Pemahaman tentang nirlaba (not for profit) juga umumnya dinilai sebagai suatu bentuk kerja sukarela yang pengelolanya diberi gaji kecil. Segala yang dikelola secara nirlaba seolah tidak bisa memenuhi harapan golongan menengah keatas atau tidak mampu bersaing untuk memberikan pelayanan yang bermutu. Bahwa suatu asuransi atau jaminan sosial harus dikelola secara nirlaba sama sekali tidak terpikirkan oleh
76
kebanyakan peserta. Yang tampak di mata kebanyakan peserta adalah bahwa manajemen perusahaan profesional, seperti hotel Hilton atau Grand Hyaat, mampu memberikan kepuasan tinggi bagi pelanggannya. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa pelayanan profesional dan komersial seperti itu hanya mampu melayani sebagian kecil konsumen yang berkantong tebal. Sementara asuransi sosial lebih mengutamakan pemerataan yang adil. Setelah diskusi mendalam dan pemahaman terbentuk, hampir seluruh kelompok sepakat bahwa pengelolaan asuransi sosial harus dikelola secara nirlaba. Lebih dari separuh kelompok bahkan berpendapat bahwa pemerintahlah yang harus mengelolanya. Begitu juga pemahaman tentang adil dan merata sangat bervariasi sehingga meskipun kata-kata itu telah tercantum di dalam dokumen Indonesia Sehat 2010 dan di berbagai dokumen umum lain seperti bahan ajar Pancasila. Masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam diskusi awal, kebanyakan peserta tidak bisa memberikan defisini yang tepat apa yang dimaksud dengan adil dan merata. Dengan pemberian bantuan/clue, pada umumnya peserta sepakat bahwa untuk paket standar, yang memenuhi kepentingan publik, konsep adil dan merata yang dapat diterima adalah dalam artian equity yang egaliter, yang sesuai dengan jiwa dan budaya gotong royong penduduk nusantara ini. Setelah mereka memahami apa arti egaliter dan liberter, hampir seluruh kelompok sepakat bahwa untuk paket standar harus dikelola guna terselenggaranya asuransi kesehatan yang egaliter. Pengertian paket dasar pada umumnya dikaitkan dengan biaya yang relatif murah/kecil atau pelayanan tertentu yang dibutuhkan banyak orang, bukan dinilai atas dasar kebutuhan dasar (basic needs). Tidak jarang pemahaman tersebut bertambah rancu dengan konsep pelayanan dasar di puskesmas. Setelah diskusi mendalam, pada umumnya peserta menyadari bahwa perawatan mahal, perawatan intensif untuk mempertahankan kehidupan, atau mempertahankan produktifitas sebenarnya merupakan kebutuhan yang lebih mendasar yang seringkali tidak sanggup dipenuhi sendiri oleh penduduk ketimbang kebutuhan rawat jalan. Konsep berat sama dipikul ini pada akhirnya dapat dipahami dan disetujui sebagai paket dasar atau standar. Sebagian peserta mengakui bahwa kebutuhan jaminan untuk rawat inap dan tindakan medis mahal lebih mendesak daripada jaminan komprehensif. Akan tetapi topik ini merupakan topik yang paling kontroversial karena sebagian peserta sudah sangat melekat dengan konsep pencegahan rawat inap, sehingga
77
berpendapat lebih baik rawat jalan yang dijamin dulu agar penduduk tidak perlu dirawat inap. Dalam situasi tertentu hal ini benar, namun demikian tidak semua rawat inap dapat dicegah dengan pemberian rawat jalan yang baik. Setelah diskusi yang panjang, pada umumnya sebagian besar peserta setuju untuk mendahulukan jaminan rawat inap, jika sumber daya yang tersedia belum memadai untuk memberikan jaminan komprehensif. Jaminan komprehensif merupakan jaminan yang dikehendaki semua pihak. Dalam diskusi lebih mendalam dan dengan bahasa awam dapat diketahui bahwa hampir seluruh peserta DKT menyetujui bahwa suatu ketika cakupan universal harus dicapai. Memang cakupan universal diakui tidak berarti semua orang akan mendapatkan pelayanan yang sama banyaknya dan sama kualitasnya (equality). Hampir seluruh peserta setuju bahwa untuk paket standar tertentu, yang mencakup kebutuhan medis yang sangat mendasar (bukan yang murah) harus mampu disediakan untuk seluruh penduduk. Penduduk yang kaya dapat memperoleh kenikmatan yang lebih (aspek private goods) dengan membayar ekstra. Artinya seluruh peserta sepakat perlunya cakupan universal untuk paket standar. Sebagian besar peserta setuju bahwa sistem yang dikembangkan harus berlandaskan keadilan yang egaliter untuk paket standar medik dan liberter untuk paket di atas itu atau untuk paket kenyamanan. Bahkan sebagian besar peserta mempunyai visi bahwa pelayanan standar tersebut harus dikelola secara nirlaba dalam bentuk asuransi sosial dan dikelola pemerintah. Meskipun demikian, peran swasta tetap harus mendapat tempat. Apabila swasta mampu mengelola, pemerintah diharapkan dapat melepas kepada swasta asal prinsip-prinsip dasar terpenuhi. Pemerintah dalam hal itu berfungsi hanya sebagai regulator saja. Mengenai jumlah penyelenggara, hampir seluruh peserta sepakat untuk sedapat mungkin tidak diselenggarakan hanya oleh satu badan untuk seluruh Indonesia. Dari diskusi terarah juga terungkap bahwa budaya bangsa Indonesia, seperti juga bangsa lain pada suatu waktu, belum mengenal belanja resiko dan konsep asuransi. Masyarakat masih tetap menginginkan bahwa jika ia membayar premi dan mereka tidak pernah menggunakan pelayanan, maka pada akhir periode mereka harus menerima uangnya kembali. Atas dasar budaya ini, perusahaan asuransi komersial selalu menawarkan bonus tidak menggunakan atau pengembalian premi (no claim bonus). Sebenarnya yang dikembalikan adalah bagian tabungan yang memang diperhitungkan
78
pada waktu perusahaan menghitung premi. Hal ini sangat perlu diperhatikan di dalam merancang JPK.
79
sistem asuransi kesehatan nasional tetap memberi kesempatan kepada swasta untuk menjual produk private goods, sebagai asuransi suplemen.
Kegagalan pasar
Perbedaan utama dari kebijakan makro pelayanan kesehatan adalah visi dasar/fundamental tentang pelayanan kesehatan sebagai public goods atau private goods dan pengakuan pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Kebijakan publik makro tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu dengan menggunakan mekanisme pasar dan
regulasi.
Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme alamiah dimana pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Disini terjadi persaingan dinamik yang pada akhirnya memberikan manfaat terbesar pada penduduk terbanyak/mayoritas. Peningkatan kapasitas pembeli (demand) tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual (supply) menyebabkan harga naik untuk mutu yang sama. Sebaliknya peningkatan suplai barang tanpa adanya peningkatan demand akan menyebabkan harga barang turun. Mekanisme tersebut adalah mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari mekanisme ini adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan, peningkatan suplai, semakin rendah harga suatu barang dan jasa, dan sebaliknya. Jadi konsumen sebagai penduduk mayoritas akan diuntungkan. Akan tetapi di dalam pelayanan kesehatan,xxvi keluaran persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu dipertanyakan. Apakah benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan akan lebih murah dan lebih berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan kesehatan dapat saja tidak lebih murah akan tetapi kualitasnya lebih baik, dus terjadi efisiensi juga. Untuk mencapai efisiensi tersebut harus ada prasyarat pasar yaitu informasi simetri (perfect information). Dokter sebagai tenaga kunci/utama dalam pelayanan kesehatan berfungsi sebagai agen ganda (double agent) yang berfungsi sebagai konsultan pasien dan sekaligus penjual jasa kepada pasien tersebut. Dengan demikian, demand terhadap pelayanan kesehatan bukan ditentukan oleh pasien/konsumen, akan tetapi oleh produsen. Disinilah mekanisme pasar gagal di dalam pelayanan kesehatan, karena adanya informasi asimetri yang sangat besar. Selain efisiensi yang merupakan keluaran umum yang diharapkan dari suatu
Asuransi Kesehatan Nasional
80
mekanisme pasar, di dalam pelayanan kesehatan yang diakui dunia sebagai hak asasi perlu dipertimbangkan aspek equity (pemerataan) dari mekanisme pasar. Aspek equity sangat terkait dengan golongan ekonomi lemah atau distribusi pendapatan golongan ekonomi lemah. Dalam sektor jasa, salon kecantikan misalnya, para ahli ekonomi dan kebijakan publik tidak perlu mengkhawatirkan aspek pemerataan. Jika ada orang miskin tidak sanggup ke salon, tidak perduli apakah pasar jasa salon kecantikan itu efisien atau tidak, publik tidak akan mempersoalkan. Pemerintah tidak pernah ikut campur untuk menurunkan atau mengatur tarif salon kecantikan. Biarlah mekanisme pasar yang bekerja. Tentu saja hal ini terjadi karena jasa pelayanan kecantikan merupakan private
goods dan bukan hak bagi semua penduduk. Akan tetapi dalam pasar bahan makanan
pokok (barang esensial) misalnya beras, para ahli tentu sangat peduli jika harga beras terlalu tinggi sehingga golongan tidak mampu mungkin dapat menjadi kelaparan. Beras atau makanan pokok sebagai barang esensial harus tersedia dan terjangkau bagi semua orang. Oleh karenanya pemerintah negara manapun melakukan intervensi dengan menjual barang kebutuhan pokok di bawah harga pasar atau memberikan subsidi khusus kepada orang miskin. Mekanisme pasar masih dapat digunakan karena dalam produk makanan pokok ini terdapat informasi seimbang. Akan tetapi di dalam pelayanan kesehatan, aspek equity menjadi pertimbangan mutlak karena adanya informasi asimetri, hak asasi, dan kemanusiaan (humanity). Negara-negara yang berbudaya tidak bisa menerima jika ada penduduknya yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat diberikan di negeri itu. Di dalam mekanisme pasar ada dua aspek penting yang menentukan tercapainya efisiensi dan equity. Pertama adalah aspek pendanaan (health care financing) yang terkait dengan kemampuan keuangan konsumen/penduduk. Yang kedua adalah ketersediaan barang atau jasa, yang didalam pelayanan kesehatan dikenal dengan penyediaan jasa pelayanan (health care delivery). Dalam kebijakan publiknya, negara maju seperti Kanada, Taiwan, dan Jepang paling sedikit menjadikan salah satunya dikelola secara publik. Umumnya pendanaan pelayanan kesehatan yang dikelola secara publik, sementara penyediaan pelayanan diserahkan kepada swasta (publicly financed, privately
delivered) . Amerika dan Inggris merupakan dua negara maju yang sangat berbeda di
81
mekanisme pasar, kecuali untuk kelompok resiko tinggi yang dikelola publik yang pada akhirnya membebani negara dan pembayar pajak. Sementara Inggris menjadikan keduanya, pendanaan dan penyediaan, dikelola publik yang dikenal dengan nama
National Health Service. Kebijakan kesehatan negara maju, secara umum dapat dilihat
Publik Inggris
Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit). Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiyaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial
seperti yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
82
digolongkan asuransi komersial tetapi juga tidak digolongkan asuransi sosial. Perbedaannya hanyalah pada bentuk badan penyelenggaranya yang bukan perusahaan asuransi komersial. Blue Cross-Blue Shield adalah suatu organisasi nirlaba, yang dulunya tidak dikenakan pajak penghasilan badan. Akan tetapi karena belakangan diketahui adanya pembagian dividen, maka pengelola ini tidak lagi digolongkan sebagai organisasi nirlaba, akan tetapi tidak juga digolongkan sebagai perusahaan asuransi. Sementara HMO adalah suatu entitas legal yang diberi ijin menjual produk HMO, yang sangat mirip dengan produk JPKM, akan tetapi badan penyelenggaranya bisa perusahaan asuransi bisa juga bukan, bahkan dapat saja perorangan. Sifat HMO ini dapat sebagai pencari laba (46% dari seluruh HMO, HIAA 1996) dan bisa bersifat nirlaba (pada awal diperkenalkan HMO, 96% HMO bersifat nirlaba. Kaiser Foundation Health Plan merupakan salah satu contoh HMO nirlaba yang mampu berkembang sangat pesat dengan anggota melebihi 9 juta jiwa dan penerimaan premi di tahun 1998 melebihi US$ 15 milyar. Namun demikian produk yang dijual Kaiser bukanlah asuransi sosial. Satu-satunya asuransi sosial kesehatan yang ada di Amerika adalah Medicare part A.
83
dimulai di Jerman pada tahun 1883. Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan pencapaian skala ekonomi yang optimal. Selain itu asuransi sosial mempunyai kemampuan untuk mewujudkan pemerataan dan kedilan (equity). Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)xxviii. Seluruh penduduk Taiwan memiliki asuransi kesehatan. Program Medicare di Amerika hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999)xxix Seluruh pensiunan di Amerika memiliki asuransi kesehatan Medicare. Jadi asuransi sosial kesehatan adalah satu-satunya penyelenggaraan asuransi yang mampu mencapai dua tujuan kebijakan yaitu efisiensi dan equity yang egaliter. Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB pasal 22 dan 25 tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak asasi penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah negara-negara maju mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil dan merata (equity yang egaliter). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam pendanaan/pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu undangundang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba. Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom (terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom. Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) dimungkinkan terselenggaranya cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat. Pada
84
hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah bersama swasta.
85
16 12 8 4 0 1970
1975
1980
1985
1990
1997
Tahun
86
Tabel 3.2 Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai negara maju.
Negara
Amerika Australia Austria Belanda Belgia Ceko Denmark Finlandia Inggris Islandia Itali Jepang Jerman Kanada Korea Luksemberg Norwegia Perancis Portugal Selandia Baru Spanyol Turki Yunani
Komersial Sosial Sosial Sosial Sosial Sosial Sosial Sosial Negara, NHS Sosial Sosial Sosial Sosial Nasional Sosial Sosial Sosial Sosial Sosial Nasional Sosial Sosial Sosial
% Pendu duk denga n Askes Sosial 33,3 100 99 72 99 100 100 100 100 100 100 100 92,2 100 100 100 100 99,5 100 100 99,8 66 100
% Pendud uk yang memili ki askes 83 100 99 99 100 100 100 100 100 100 100 100 99,9 100 100 100 100 99,5 100 100 99,8 66 100
Biaya rawat inap per hari (US$, 1997) 1.128 242 109 225 263 75 632 168 320 192 339 83 228 489 110 180 123 284 249 254 343 73 144
Total biaya kesehatan per kapita (US$, 1997) 3.925 1.805 1.793 1.838 1.747 904 1.848 1.447 1.347 2.005 1.589 1.741 2.339 2.095 587 2.340 1.814 2.051 1.125 1.352 1.168 260 974
Ang ka kema tian bayi /100 0 7,8 5,8 5,1 5,2 6,0 6,0 5,2 4,0 6,1 5,5 5,8 3,8 5,0 6,0 9,0 4,9 4,0 4,9 6,9 7,4 5,0 42,2 7,3
Usia harapan hidup (wanita/ pria) 79,4/72,7 81,1/75,2 80,2/73,9 80,4/74,7 81,0/74,3 77,2/70,5 78,0/72,8 80,5/73,0 79,3/74,4 80,6/76,2 81,3/74,9 83,6/77,0 79,9/73,6 81,5/75,4 77,4/69,5 80,0/73,0 81,1/75,4 82,0/74,1 78,5/71,2 79,8/74,3 81,6/74,4 70,5/65,9 80,4/75,1
87
Gambar 3.5 Hubungan antara Angak Kematian Bayi, Biaya Kesehatan, dan Sistem Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju
88
Gambar 3.6 Hubungan antara Biaya Rawat Inap per Hari, Usia Harapan Hidup, dan Sistem Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju
88 84
Usia Harapan Hidup
80 76
Askes sosial Askes komersial
89
90
medis seseorang. Tidak ada pengecualian atau pembatasan, kecuali anggota mencapai usia tertentu atau persalinan anak ketiga atau lebih. Hanya saja pelayanan yang diberikan adalah pada kelas murah (perawatan kelas II untuk golongan I dan II dan rawat jalan di puskesmas). Obat yang ditanggung juga terbatas pada daftar obat yang ditetapkan PT Askes. Jadi paket dasar disini komprehensif dalam artian kebutuhan medis, akan tetapi paket ini tidak mempertimbangkan selera atau kenyamanan. Penetapan paket ini menyebabkan sekitar separuh anggota Askes tidak menggunakan hak rawat jalannya dan sepertiga anggota tidak menggunakan hak rawat inap. Kecilnya pembayaran oleh PT Askes kepada rumah sakit, menyebabkan banyak rumah sakit membebani anggota dengan biaya tambahan, baik itu untuk pelayanan medis dan kenikmatan. Seorang anggota yang memerlukan tindakan jantung di RS Jantung Harapan Kita dapat dipastikan harus membayar lebih dari separuh biaya yang dibutuhkan, karena Rumah Sakit tidak perduli dengan besaran tarif yang ditetapkan Menteri Kesehatan. Beberapa negara maju dan berkembang, seperti Filipina, menerapkan paket dasar dengan mempertimbangkan kebutuhan medis dan kemampuan penduduk membiayainya. Kanada dan Filipina memulai jaminan rawat inap dan tindakan medis mahal lainnya yang menjadi paket dasar yang ditanggung oleh asuransi sosial kesehatan. Prinsipnya sederhana, yang ringan biayanya dimana penduduk mampu membiayai sendiri diserahkan kepada penduduk. Biaya yang besar yang penduduk tidak mampu membiayainya dipikul bersama melalui skema asuransi (berat sama dipikul). Model penetapan paket seperti ini secara ekonomis dan kebijakan publik yang adil adalah lebih rasional. Para oponen penerapan konsep ini berargumen bahwa dengan menanggung perawatan yang mahal saja, akan mendorong biaya besar dan tidak mendidik penduduk untuk melakukan aktifitas promotif/preventif. Akibatnya nanti biaya kesehatan akan menjadi mahal. Buktibukti makro pembiayaan kesehatan tidak terbukti bahwa pada akhirnya beban biaya kesehatan menjadi mahal, apabila hal itu dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial kesehatan. Para pendukung model ini berargumen bahwa di dalam pelayanan kesehatan, kita tidak mungkin melepaskan diri dari kewajiban sosial/komunitas untuk tidak membantu sesama manusia yang membutuhkan pelayanan medis mahal akan tetapi kemampuan ekonominya tidak memungkinkan ia mendapatkannya. Hal ini sangat sejalan dengan sila kemenusiaan yang adil dan beradab. Bahwa promotif dan preventif
91
diperlukan, dapat diterima akan tetapi prioritas tetap pada penangana keadaan yang menyentuh aspek kemanusiaan. Dalam kondisi dana yang memadai, kosep komprehensif memang ideal sekali. Akan tetapi dalam kondisi dana terbatas, maka prioritas utama adalah membantu mereka yang sangat membutuhkan akan tetapi secara ekonomis tidak mampu membiayai sendiri. Pemisahan promotif/preventif antara program kesehatan masyarakat dan pelayanan rumah sakit tampak tercermin dalam konsep JPKM. Ada persepsi bahwa pelayanan promotif dan preventif tidak diberikan apabila paket yang dicakup, misalnya perawatan dan tindakan medis saja. Hal ini sebenarnya tidak benar. Sebab pelayanan promotif dan preventif dapat diberikan pada setiap kondisi, pada orang sehat dan pada orang sakit. Pada orang yang sudah jatuh sakit, pelayanan promotif dan preventif diberikan secara perorangan untuk mencegah berulangnya kejadian sakit dan terjadinya kondisi yang lebih parah. Para dokter klinik sudah sangat terbiasa dengan istilah primary
preventian bagi mereka yang memiliki faktor resiko tertentu, misalnya kadar kolestrol
tinggi terhadap penyakit jantung, akan tetapi belum terkena serangan. Mereka juga mengenl secondary prevention untuk pasien yang pernah menderita serangan, misalnya gangguan jantung, yang telah diobati. Untuk mencegah serangan berulang atau tambah berat, para klinisi memberikan berbagai pelayanan promotif dan preventif. Apabila semua penduduk sudah mendapatkan akses rawat inap dan masyarakat telah merasakan manfaat mengikuti program JPK/asuransi, maka paket pelayanan dapat ditingkatkan hingga mencakup paket komprehensif. Karena selama pemberlakukan paket rawat inap, secara bertahap biaya rawat jalan di rumah sakit umum dan puskesmas dinaikkan mendekati tarif dokter di rumah sakit swasta atau praktek pribadi, maka perlahan-lahan masyarakat akan belajar bahwa resiko finansial untuk berobat jalanpun mulai berat. Maka perluasan paket wajib dapat dilakukan. Alternatif lain adalah membiarkan masyarakat membeli asuransi komersial untuk paket rawat jalan dan paket peningkatan (upgrade) paket rawat inap. Sejauh kebutuhan medis rawat inap sudah dijamin, maka kita tidak menghadapi masalah dilema prikemanusiaan. Tidak ada lagi orang yang menderita sakit berat yang dapat diobati yang tidak mendapatkan perawatan.
92
akan mengatur jaminan sehingga di suatu saat seluruh penduduk memiliki jaminan yang adil dan merata. Meskipun dalam RUU tersebut sudah disebutkan setiap penduduk wajib menjadi peserta JPKM, tidak secara jelas pentahapannya. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan di lapangan, dimana misalnya seorang bupati akan memaksakan seluruh penduduknya mendaftarkan diri sementara sarana belum memadai. Apabila premi dari penduduk yang bekerja pada sektor informal, seperti petani dan pedagang kecil, akan dikumpulkan dari rumah ke rumah maka biaya pengumpulannya akan jauh lebih mahal. Pengumpulan melalui pajak penghasilan atau pajak bumi dan bangunan juga tidak mudah dilakukan. Penduduk seperti itu umumnya belum mempunyai NPWP dan tidak membayar pajak secara reguler. Jika premi akan ditarik melalui PBB yang setahun sekali, jumlah premi yang akan ditarik bisa jadi jauh lebih besar dari PBBnya. Selain itu, banyak masyrakat yang tidak memiliki tanah dan bangunan yang tidak ikut membayar premi. Suatu rancangan UU harus secara spesifik dan bertahap mewajibkan kelompok masyarakat untuk menjadi peserta JPKM. Persyaratan pertama adalah adanya instrumen pengumpulan premi yang jelas, mudah, dan memiliki penghasilan rutin. Hanya kelompok pekerja formal dan anggota koperasi mandiri (bukan koperasi simpan pinjam) dimana anggotanya mendapatkan penghasilan rutin dari koperasi tersebut yang memenuhi persyaratan ini. Yang kedua, kelompok masyarakat tersebut haruslah berada pada jangkauan PPK yang mutunya dapat diterima. Pengertian mutu yang selama ini dikumandangkan dalam JPKM baru merupakan slogan-slogan kosong, yang di dalam prakteknya sama sekali belum terbukti. Hal ini tidak boleh terjadi. Sebab, jika pelayanan PPK tidak dapat diterima oleh peserta, maka insentif peserta untuk terus melanjutkan kepesertaan akan hilang. Ketiga, paket yang diberikan harus cukup signifikan sehingga peserta merasakan benar manfaatnya menjadi anggota JPKM. Apabila peserta ternyata masih harus mengeluarkan biaya sendiri yang cukup besar (relatif terhadap pendapatannya), maka tidak ada insentif bagi mereka untuk terus membayar premi.
93
Akibatnya tidak timbul saling kepercayaan antara dokter dengan bapel. Jika dokter merasa bahwa tarif kapitasi kurang memadai, maka dokter tidak akan memberikan pelayanan prima. Bukti-bukti empirik tentang hal sudah dapat kita lihat di tanah air. Dengan logika bisnis akan sangat mudah kita mengerti bahwa hal itu terjadi. Meskipun sejak lama tarif dokter tidak pernah ditetapkan oleh pemerintah atau profesi, apabila JPKM diharapkan berjalan dengan baik, tarif dokter harus ditetapkan dengan wajar dengan melibatkan organisasi profesi setempat. Besaran tarif dokter umum dan spesialis yang pantas, harus ditetapkan bersama secara terbuka dan adil. Hal ini mungkin akan membuka paradigma baru, dimana untuk waktu yang lama tarif tidak pernah ditetapkan karena alasan hubungan dokter pasien yang sifatnya hubungan pribadi. Dengan bapel JPKM, apalagi jika bapel tersebut bersifat pencari laba, maka besaran tarif kapitasi atau konsultasi dokter spesialis harus ditetapkan. Disini hubungan dokter dengan pasien anggota JPKM sudah menjadi hubungan bisnis antara dokter dengan bapel, bukan lagi hubungan pribadi antara pasien dengan dokternya. Berbagai program JPKM percontohan dan penyelenggaraan JPK Jamsostek menggunakan dokter puskesmas dengan tarif yang jauh di bawah tarif dokter pada praktek pribadi. Kontrak semacam ini sebenarnya tidak cukup sehat bagi kedua belah pihak. Bagi bapel kontrak dengan puskesmas menimbulkan persepsi tidak baiknya mutu pelayanan, dan karenanya akan menurunkan minat sekelompok orang untuk ikut JPKM. Bagi puskesmas yang sebagian besar biaya operasionalnya mendapat subsidi pemerintah daerah, kontrak semacam itu memuluskan salah subsidi. Para karyawan yang ikut atau diikut JPKM oleh majikannya adalah kelompok yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi pemerintah lagi. Mereka seharusnya membayar dengan biaya penuh. Distrosi penyelenggaraan ini harus diubah sehingga, jika puskesmas akan digunakan maka tarif yang disepakati seharusnya tarif yang tidak mendapatkan subsidi. Sebagai konsekuensinya, puskesmas harus membuka pelayanan dari pagi hingga sore dan harus memberikan pelayanan sebagaimana layaknya praktek dokter partikelir. Hal ini membutuhkan perubahan struktural puskesmas, agar puskesmas cukup lentur melakukan kontrak dan menggunakan dana yang terkumpul untuk insentif tenaga medis dan paramedis. Perubahan struktural ini memerlukan otonomi puskesmas, yang saat ini belum pernah terjadi. Suatu proyek percontohan dapat ditempuh di kota besar seperti Jakarta.
94
Pengaturan UU JPKM yang tidak mengatur mekanisme pembayaran dan pelayanan oleh PPK, baik itu dokter praktek perorangan atau rumah sakit, tidak dapat memberikan dorongan berkembangnya program JPKM ini. Apabila program JPKM ini diharapkan bernegosiasi dengan PPK atas dasar mekanisme pasar, maka diperlukan waktu 20-30 tahun untuk mencapai efek kendali biaya.
Kunci keberhasilan
Masalah terbesar di dalam pembangunan kesehatan sekarang ini adalah kurangnya komitmen berbagai sektor terhadap pembangunan kesehatan. Di kalangan pemerintahan, pembangunan kesehatan dilihat hanya sebagai kepentingan atau urusan Departemen Kesehatan. Departemen lain belum menempatkan kesehatan sebagai bidang yang penting. Dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR misalnya, para anggota Dewan mengakui bahwa sulit sekali menggoalkan revisi undang-undang dasar untuk memasukkan kesehatan sebagai salah satu hak penduduk. Berbagai anggota partai politik maupun pemerintah kebutuhan pengaturan kesehatan belum mendesak. Saat ini hal-hal yang perlu dibenahi atau diprioritaskan adalah masalah politik, ekonomi, hukum, dan pemerintahan. Faktor lain yang amat penting dalam keberhasilan sistem JPK di Indonesia adalah komitmen dan Kesadaran Pemerintah dari berbagai sektor untuk memiliki program jaminan yang baik untuk seluruh penduduk. Komitmen ini bukan hanya komitmen Depkes, Depkeu, atau Depnaker saja, akan tetapi komitmen berbagai perangkat
95
pemerintah pusat dan daerah. Selain itu paket jaminan yang layak dan sesuai dengan kemampuan keuangan merupakan faktor lain yang juga esensial. Besaran premi yang apabila dikumpulkan dapat mencukupi kebutuhan biaya medis dan biaya operasional. Selanjutnya pengelolaan yang profesional merupakan syarat mutlak agar sistem ini sustainabel. Sejalan dengan profesionalisme tersebut, keterbukaan manajemen menjadi kunci penting lain.
Manfaat eksternal
Perlu disadari bahwa perluasan JPK tidak hanya sekedar bermanfaat melindungi penduduk dari kesulitan biaya dan kesulitan pemenuhan kebutuhan kesehatannya, akan tetapi sistem jaminan yang baik akan meningkatan produktifitas penduduk yang pada akhirnya akan memberi manfaat besar bagi negara dan masyarakat itu sendiri. Dana yang terkumpul dan belum digunakan dapat menjadi sumber dana pembangunan yang tidak sedikit jumlahnya. Selain itu penyerapan tanaga kerja, khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya akan sangat besar peranannya dalam menurunkan angka pengangguran di tanah air ini. Lebih lanjut, sistem yang baik juga akan mampu meluruskan dan mengurangi beban negara dalam membiaya pelayanan kesehatan bagi penduduk. Rancang bangun JPK yang baik, akan mampu mengendalikan biaya yang dapat membantu pemerintah memusatkan perhatian pada pembangunan lain. Sistem JPK yang baik juga akan eningkatkan solidaritas sosial masyarakat Indonesia. Untuk itulah, alternatif sistem JPK diajukan pada bab berikutnya. Menjadi kewajiban kita bersama untuk memilih sistem yang paling baik bagi masyarakat, bukan bagi pemerintah, pengusaha, atau kepentingan lain.
96
Kurang efisien, egaliter dalam kelom pok, manajemen mudah, risk pool mungkin masalah, sustainabilitas mungkin masalah Kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas Kurang efisien, egaliter dalam kelompok,manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas
Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas
97
Setelah didiskusikan bersama oleh berbagai unsur, alternatif badan penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan kekurangan seperti dapat disajikan dari hasil rumusan sebagai berikut. Unsur
Efisiensi Kualitas, responsif Kualitas, Pelayanan Keterjangkauan Keberlanjutan Subsidi silang Equity Portabilitas Desentralisasi Single payer Nasional Single payer Propinsi Oligo payer Nasional Single collector, multi payer Multi payer district I Multi payer district II
++ ++++ + ++ ++ + ++ ++ ++++
+/++++ +/+/+/+/+/+/++++
Di dalam pengambilan keputusan bentuk apa pun yang paling pas untuk Indonesia, berbagai bentuk di atas bukanlah merupakan yang eksklusif. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan. Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi Nasional meskipun banyak memiliki kelebihan sulit dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Bentuk desentralisasi sampai tingkat propinsi merupakan bentuk yang dinilai oleh tim paling baik, ditinjau dari berbagai aspek tersebut diatas.
Badan Penyelenggara
Status
Oleh karena bentuk pemberian JPK ini merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan bersama (gotong royong), maka Badan Penyelenggara haruslah bersifat nirlaba. Badan ini akan dibentuk oleh Pemerintah Propinsi dengan modal yang disisihkan dari kekayaan propinsi. Tidak tertutup kemungkinan modal dari swasta, apabila ada swasta yang berminat memberikan hibah/donasi kemanusiaan yang berkesinambungan (amal jariah). Bentuk yang ideal
98
adalah suatu badan hukum, yang bukan perusahaan dan bukan BUMN/BUMD. Bentuk usaha mutual (usaha bersama) merupakan alternatif yang mendekati bentuk ideal. Tidak ada pendiri atau pemegang saham yang mempunyai hak veto atau suara mayoritas. Dengan status nirlaba berarti bahwa apabila Badan Penyelenggara memperoleh surplus,
surplus tersebut tidak dikenakan pajak penghasilan badan dan tidak dibagikan kepada
pemegang saham. Sebagian surplus dapat digunakan untuk membayar insentif kepada pengelola. Sisa surplus merupakan hak seluruh anggota, yang karenanya dapat dikembalikan dalam bentuk pengembalian premi, peningkatan fasilitas atau mutu pelayanan, atau pengurangan premi periode berikutnya. Perlu diperhatikan, bentuk badan nirlaba seperti ini belum lazim di Indonesia, akan tetapi preseden badan semacam ini sudah ada, yaitu berdasarkan PP No. 61/1999 tentang universitas sebagai badan hukum. Yayasan yang diatur dalam undang-undang Yayasan yang baru mungkin dapat mengakomodir badan seperti ini dan dapat berfungsi sementara. Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU JPK. Bentuk badan hukum seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat asas dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang-undang tentang JPK ini. Bapel-bapel yang sekarang ada atau pra bapel yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK dapat mengkonversi diri menjadi bapel yang mempunyai wewenang mengelola JPK ini apabila memenuhi syarat dan bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Apabila bapel-bapel tersebut tidak memenuhi syarat atau tidak berkenan, maka mereka dapat menjadi perusahaan asuransi komersial atau menjadi grup PPK yang melakukan kontrak dengan bapel, atau menjadi lembaga manajemen mutu dan utilisasi yang independen.
Struktur organisasi
Di tiap propinsi hanya dapat dibentuk maksimum satu Badan Penyelenggara otonom/independen untuk satu program. Misalnya di Jawa Barat, hanya boleh ada satu badan penyelenggara Jamkeskop yang independen mengelola 95% dana premi yang terkumpul. Sisa dana premi yang 5% akan dipool ditingkat nasional untuk membiayai
99
pelayanan yang sangat mahal, yang tidak mampu ditanggung oleh bapel di tingkat propinsi. besarnya batas bapel nasional menanggung biaya tersebut akan dirumuskan oleh Asosiasi Komite Penetapan Premi yang merupakan organisasi anggota Komite di tingkat Nasional. Pengaturan ini sangat penting untuk menjamin kecukupan pool resiko. Di tiap kabupaten/kota dapat dibentuk kantor cabang sebagai perpanjangan tangan bapel di tingkat propinsi akan tetapi tidak independen.
Tujuan badan penyelenggara ini adalah meningkatkan derajat kesehatan dan
anggotanya dapat terpenuhi tanpa harus memperhatikan kemampuan ekonomi anggota tersebut. Struktur organisasi Badan Penyelenggara paling sedikit terdiri atas:
Wali Amanat/Dewan Asuransi. Wali amanat paling sedikit terdiri atas wakil
peserta, wakil PPK, wakil pemerintah dan direktur utama bapel. Anggota Wali Amanat di luar Direktur Utama dipilih oleh masyarakat setiap lima tahun sekali, bersamaan waktunya dengan Pemilihan Umum.
Komite Penetapan Premi. Anggota komite terdiri atas beberapa orang aktuaris,
wakil peserta, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan sorang direksi bapel. Anggota Komite Penetapan Premi diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil PPK,
wakil organisasi profesi dan seorang direksi bapel. Anggota Komite Penetapan Tarif diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil
pemerintah, arbitrator, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan seorang direksi. Anggota Komite Penyelesaian Perselisihan diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Direksi. Direksi terdiri atas seorang direktur utama dan tiga orang direktur.
Direksi dipilih dan diangkat oleh Wali Amanat atas dasar seleksi yang mencakup pengetahuan dan kemampuan teknis, kejujuran, kepemimpinan dan komitmen. Beberapa Divisi (Kepesertaan, Keuangan, Pelayanan, Pengendalian Mutu dan Divisi Umum). Kepala Divisi diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama.
Beberapa Kepala Cabang. Di tingkat Kabupaten/kota dapat dibentuk sebuah
100
cabang yang dipimpin oleh kepala cabang. Kepala cabang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama. Susunan organisasi tersebut akan dilengkapi dengan unit-unit di bawahnya sesuai dengan kebutuhan
Persyaratan
Badan penyelenggara idealnya didirikan pemerintah dengan modal awal yang memadai sebagai hibah pemerintah. Pihak swasta yang ingin menghibahkan kekayaannya juga dimungkinkan. Modal yang dihibahkan ini akan menjadi milik seluruh peserta. Alternatif lain adalah setiap peserta dipungut iuran modal. Besarnya modal yang diperlukan untuk sebuah bapel propinsi yang independen diperkirakan minimal sebesar Rp. 25 milyar rupiah atau 3% dari premi yang diterima, mana yang lebih besar. Besarnya modal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa bapel akan tetap solven dan mampu mengelola resiko yang besar (risk based capital). Pengurus pada tingkat pengambil keputusan dan manajerial badan penyelenggara (seperti direktur, kepala divisi dan kepala cabang) harus memiliki pendidikan formal atau profesional khusus asuransi kesehatan, untuk menjamin terselenggaranya JPK sesuai dengan tujuan dan misi utamanya.
Tugas pokok
bertangung jawab memastikan bahwa badan penyelenggara selalu melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan dan misinya. Kedudukannya setara dengan pemegang saham. Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan ketua dan anggota komite. Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan seluruh direktur. Wali amanat bertugas memeriksa dan menyetujui anggaran penerimaan, anggaran pengeluaran dan pengembalian premi (premium refund) jika perlu.
Komite Penetapan Premi. Komite Penetapan Premi merupakan badan
kelengkapan Badan Penyelenggara yang berfungsi meyakinkan terkumpulnya dana yang memadai dari para anggota secara adil (egaliter). Komite ini meninjau besaran premi
101
yang diterima dari waktu ke waktu, menghitung besarnya premi komunitas untuk peserta sukarela, menghitung besarnya dana cadangan yang diperlukan dan menghitung besarnya pengembalian premi kepada peserta.
Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini melakukan pemantauan tarif PPK,
melakukan perhitungan tarif prospektif (paket, per diagnosis, per diem) dan menetapkan perubahan tarif PPK.
Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini bertugas menyelesaikan di luar
pengadilan, berbagai perselisihan yang timbul antara badan penyelenggara dengan kelompok peserta, peserta perorangan, PPK dan konflik internal di dalam organisasi badan penyelenggara.
Direksi. Direksi berfungsi melaksanakan berbagai keputusan Wali Amanat dan
Komite serta menjamin tercapainya tujuan dan misi program JPK. Direksi juga mempertanggung jawabkan segala pengeluaran keuangan dan menjamin transparansi. Direksi bertanggung jawab agar bapel selalu memenuhi tingkat solvabilitas tertentu. Laporan kegiatan dan keuangan yang telah diaudit harus dapat diakses (melalui situs Web) oleh para anggota. Direksi dibantu oleh beberapa divisi seperti berikut:
Divisi Kepesertaan. Membantu direksi dalam bidangnya. Divisi Keuangan. Membantu direksi dalam bidangnya. Divisi Pelayanan. Membantu direksi dalam bidangnya.
Biaya manajemen/administrasi badan penyelenggara harus ditekan se-efisien mungkin dan tidak boleh melebihi 10% dari total biaya penyelenggaraan dan pembiayaan biaya pelayanan kesehatan.
102
sakit bersalin. Dokter keluarga pada periode 10 tahun pertama akan dipusatkan untuk melayani program yang sudah berjalan, yaitu JPK PNS dan JPK Jamsostek yang sudah memjamin pelayanan komprehensif. Sementara untuk program JPK baru yang dimulai dengan pelayanan rawat inap dan tindakan/terapi medis mahal, peran dokter keluarga tidak sebesar perannya pada kedua program diatas. Untuk menjamin pelayanan terstruktur dapat terselenggara dengan memuaskan, PPK yang dikontrak tersebut harus memiliki dokter keluarga binaan dimana PPK tersebut akan mendapatkan rujukan. Rujukan dari dokter keluarga harus diberikan umpan balik oleh PPK agar dokter keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang kurang tepat harus diperbaiki agar tidak terulang kembali. Untuk periode 10 tahun pertama, dokter keluarga mendapat imbalan tunai dari anggota (karena belum dijamin). Setelah paket jaminan ditingkatkan menjadi paket komprehensif, dokter keluarga ini akan menjadi dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Masa transisi 10 tahun tersebut diharapkan dapat membina hubungan dokter keluarga dengan anggota sehingga pada waktu ia menjadi gatekeeper, kepercayaan anggota dan pemahaman tentang pelayanan telah tumbuh dengan baik. Pada propinsi yang cukup mampu, paket jaminan dapat ditingkatkan menjadi paket komprehensif. Apabila hal ini sudah dapat dijalankan, maka bapel harus melakukan kontrak kumpulan dengan grup dokter.
Tugas pokok
Adapun tugas pokok PPK rumah sakit dan RSB adalah sebagai berikut: Memeriksa kelayakan pengobatan anggota pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap. Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif-preventif terhadap pasien, sesuai dengan kebutuhan medis peserta. Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu. Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau mengirimkannya melalui email setiap tanggal 10 untuk utilisasi bulan sebelumnya. Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan kepada dokter primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang anggota dalam rangka memantau derajat kesehatan anggota yang menjadi tanggungannya. Merujuk ke Dinas Kesehatan setiap orang sakit yang belum memiliki JPK tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk
Asuransi Kesehatan Nasional
103
PPK mempunyai hak untuk: 1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan bapel apabila PPK setuju dengan tarif yang telah ditetapkan Komite Tarif dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan manajemen utilisasi. 2) 3) 4) 5) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati. Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, PPK berhak mengajukan permohonan peninjauan tarif atau cara pembayaran. Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di PPK tersebut. Mengambil keputusan medis atas pasien yang dirawat sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi, yang dapat diberikan di PPK tersebut. 6) 7) Ikut serta dalam komite penetapan premi, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan. Mendapatkan informasi tentang kinerja bapel, peraturan-peraturan operasional yang terkait dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta.
104
Pengantar
Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa telah menempatkan kesehatan sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh Konvensi International Labor Organization No 52 tahun 1948 yang memberikan hak tenaga kerja atas sembilan macam jaminan termasuk diantaranya Jaminan Kesehatan. Indonesia sebagai negara yang juga berpihak (yang telah meratifikasi) pada konvensi tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya jaminan kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara. Untuk Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan mereka sejak tahun 1968. Di tahun 1992 Indonesia telah mengeluarkan UU Jamsostek yang cakupan serta manfaatnya masih sangat terbatas. Namun demikian, kedua jaminan tersebut tidak mengalami perbaikan untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup dan kebutuhan kesehatan telah berubah cukup banyak. Cakupan kedua program di atas, yang dapat digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup memadai. Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai daya ungkit yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk merealisir komitmen Global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendir UUD dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial
105
mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat. Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh Prof. Yaumil Agus Achir, Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Kepres tersebut, Tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra di bawah koordinasi Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Ibu Megawati. Dalam rapat-rapat Tim telah menyepakati bahwa sebuah jaminan sosial berdiri atas tiga pilar yaitu: 1. Pilar pertama yang tebawah adalah pilar Bantuan Sosial bagi mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. 2. Pilar kedua adalah pilah Asuransi Sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan 3. dengan membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut. Pilar ini dapat diisi dengan asuransi komersial, tabungan sendiri, atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Tim telah menyepakati untuk mengembangkan (memperluas dan memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada) substansi jaminan sosial yang meliputi jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam hal penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional di Indonesia, Tim telah mempersiapkan naskah akademik dan telah menyepakati bahwa secara kelembagaan Jaminan Sosial Nasional akan terdiri atas tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan suatu Majelis Wali Amanat yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan dan pengawasan yang tidak
106
operasional, satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka panjang (jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan). Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan sektor formal (sektor yang menerima upah/gaji) yang merupakan sektor yang paling mudah dikelola dan penduduk miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara bertahap jaminan akan diperluas kepada sektor informal yang tidak miskin sehingga suatu saat seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif. Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 45 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan 2. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat 3. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak 4. UU No 3/92 tentang Jamsostek 5. PP 69/91 tentang JPK PNS 6. UU No 23/92 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66 7. UU 43/99 tentang pegawai negeri sipil dan PP 28/2003 tentang iuran pemerintah untuk asuransi kesehatan pegawai negeri sipil Dalam dokumen ini hanya akan dibahas subsitem jaminan yang bersifat jangka pendek yang jaminannya diberikan dalam bentuk pelayanan, bukan uang, yaitu yang mencakup sub sitem jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Sebelum pokokpokok pengaturan yang dapat diambil untuk pasal-pasal dalam RUU JSN atau RUU JKN, maka disajikan ringkasan sub sistem di bawah ini.
107
mahal seperti kanker, hemodialisa dan operasi jantung pada program JPK Jamsostek. Selain itu, mereka yang membeli (dibelikan oleh majikan) asuransi kesehatan atau JPKM juga mempunyai manfaat yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan medik penduduk. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan disebabkan karena perundang-undangan yang ada sekarang ini telah lama tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi.
Tujuan dan Manfaat.
Perluasan program JKN bertujuan untuk memperluas cakupan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan yang memadai sehingga mereka memiliki kepastian untuk dapat memenuhi kebutuhan mediknya, terlepas dari kondisi ekonomi mereka. Manfaat bagi penduduk adalah bahwa mereka akan dengan tenang melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga pada akhirnya hal tersebut akan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penghasilan atau pajak penjualan hasil produksi penduduk tersebut.
108
Prinsip dasar
Dari sub sistem JKN adalah penyelenggaraan asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas diantara berbagai penduduk, penyelenggaraan yang efisien dengan menerapkan teknik-teknik kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka pada tahap awal seluruh pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke JKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening JKN. Besarnya iuran adalah antara 5-6% dari gaji (ada usulan 3% untuk tenaga kerja lajang, tapi administrasi menjadi sulit) yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Penduduk miskin akan didaftarkan oleh Dinas Kesehatan setempat yang preminya akan diperhitungkan sebesar rata-rata premi pekerja formal di daerah tersebut. Anggota yang telah terdaftar akan mendapatkan kartu anggota untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang komprehensif di jaringan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang telah mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu yang ditetapkan JKN. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali anggota memerlukan pelayanan, maka anggota harus membayar iur biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besarnya iur biaya bervariasi antara 10-30% tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari beban berat bagi peserta, maka iur biaya dibatasi sampai maksimum sebesar satu bulan UMP. Dana iur biaya merupakan hak PPK yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi PPK, maka JKN akan melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan dan kualitas pelayanan yang dapat diterima oleh anggota.
Strategi pengembangan
Karena pada saat ini jumlah penduduk di sektor formal yang pasti lebih mudah diorganisir masih banyak yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan pada kelompok sektor formal, khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin sebagai pengganti JPSBK. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan PPK untuk melayani jumlah anggota yang besar. Sasaran perluasan terutama ditujukan kepada tenaga
109
kerja yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, penduduk miskin yang tidak mampu membiayai pelayanan medik yang dibutuhkannya akan mendapatkan jaminan dengan premi yang dibayarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Cakupan bagi penduduk sektor informal akan dilakukan pada tahap berikutnya. Untuk menjamin bahwa penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan mediknya, maka pelayanan kesehatan di fasilitas pemerintah masih harus mendapatkan subisi yang ditujukan bagi mereka yang bukan anggota JKN.
Kelembagaan.
Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat, penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Agar penyelenggaraan benar-benar memihak kepada anggota, maka biaya administrasi dibatasi sampai maksimum 5% dari seluruh iuran yang diterima. Pilihan kelembagaan didasarkan pada manfaat terbesar bagi anggota/rakyat.
110
3.
Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan. Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi.
4.
Penyelenggaraan dilakukan dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggung-jawab. Oleh karenya seluruh peserta harus bisa memperoleh informasi akurat tentang penyelenggaraan.
5. 6.
Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi kewajibannya
Prinsip Dasar: Prinsip solidaritas sosial. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan
Jaminan/Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal
coverage) yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang
antara yang kaya kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, dan antara yang sehat kepada yang sakit.
Prinsip efisiensi. Jaminan terutama diberikan dalam bentuk pelayanan yang
terkendali utilisasi dan biayanya dan dalam bentuk santunan uang untuk kondisi tertentu yang akan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam efisiensi sistem (pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar iur biaya (co-insurance) setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan. Iur biaya program JKK ditanggung oleh pemberi kerja.
Prinsip ekuitas. Program JKN diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan
dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran politik, dan status ekonominya, harus memperoleh pelayanan kesehatan sesuai
Asuransi Kesehatan Nasional
111
dengan kebutuhan medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Prinsip komprehensif. Jaminan program JKN bersifat komprehensif sesuai
portabilitas.
Seorang
peserta
tidak
boleh
kehilangan
perlindungan/jaminan bagi dirinya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak bekerja.
Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program JKN diselenggarakan atas
dasar nirlaba. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan badan atas anggaran atau sisa hasil usaha. Karena badan penyelenggara adalah milik anggota, badan penyelenggara tidak membayarkan dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha
Prinsip responsif. Penyelenggaraan JKN harus responsif dengan tuntutan
duplikasi jaminan atau pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik antar program di dalam JKN maupun antara program JKN dengan program asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang diterima oleh anggota
Ketentuan Umum
1.3. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu Sistem perlindungan sosial guna menjamin seluruh rakyat Indonesia mencukupi kebutuhan hidup minimal yang layak sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 28H(3) dan Pasal 34(3). 1.4. Lembaga Jaminan Sosial Nasional adalah Suatu Lembaga di tingkat nasional yang dibentuk Presiden atas dasar Undang-undang Jaminan Sosial Nasional (JSN) yang bertugas menerbitkan Nomor Jaminan Sosial, menerima dan
Asuransi Kesehatan Nasional
112
menyalurkan dana JSN kepada Badan Penyelenggara (Dana Jaminan Sosial, DJS dan Jaminan Kesehatan Nasional, JKN) membuat kebijakan umum JSN yang perlu diatur yang belum diatur oleh UU atau peraturan pemerintah, dan mengawasi DJS dan JKN. 1.5. Badan Penyelenggara DJS adalah badan di tingkat Nasional yang bertugas mengelola dana iuran dan pemberian jaminan hari tua, pensiun, kematian, dan pemutusan hubungan kerja. Badan ini hanya satu, yaitu di tingkat nasional saja. 1.6. Badan Penyelenggara JKN (National Health Insurance) adalah badan di tingkat Nasional yang bertugas mengelola dana iuran jaminan Kecelakaan kerja, jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggotanya 1.7. Peserta adalah mereka yang membayar iuran yaitu tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengan pemberi kerja, penerima pensiun, kepala keluarga pekerja swakarya yang memiliki penghasilan, dan kepala keluarga miskin telah didaftarkan atau mendaftarkan diri ke LJSN atau JKN 1.8. Anggota adalah yang berhak menerima manfaat yaitu istri, suami, anak yang sah, orang tua kandung, dan mertua dari peserta yang belum terdaftar oleh peserta lainnya. 1.9. Pemberi kerja adalah badan hukum usaha, pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau perseorangan yang menjalin hubungan kerja, baik melalui hubungan kerja sama tertulis maupun tidak tertulis, dengan memberi upah atau berpenghasilan tetap atau tidak tetap 1.10. Tenaga kerja adalah setiap orang yang berusia diatas 14 tahun (sesuai dengan UU ketenaga-kerjaan yang berlaku) yang mampu berproduksi secara ekonomis, baik melalui hubungan kerja maupun melalui usaha sendiri (swakarya) 1.11. Pensiunan adalah tenaga kerja yang telah menyelesaikan aktifitas kerja untuk memperoleh penghasilan, dengan memperoleh uang pensiun, dari dana 113
pensiun yang ada pada waktu jaminan sosial ini diundangkan dan atau dari Bapel JSN 1.12. Upah adalah kompensasi yang berupa uang yang menjadi hak tenaga kerja atas pekerjaan/jasa yang dilakukan/diberikan 1.13. Uang pensiun adalah hak pensiun bulanan yang diterima pensiunan dari DJS dan atau dana pensiun pemberi kerja atau dana pensiun lembaga keuangan 1.14. Iuran adalah sejumlah dana yang wajib dibayarkan oleh peserta dan pemberi kerja atau oleh pemerintah untuk penyelenggaraan JKN dan DJS yang besarnya ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan 1.15. Paling lambat pada akhir tahun 2030 setiap penduduk Indonesia harus telah menjadi anggota JKN
Penyelenggaraan JKN
2.1. Untuk menindak-lanjuti amanat rakyat seperti yang telah dicantumkan dalam UUD 45 hasil amendemen II, III, dan IV, maka dibentuk Badan Penyelenggara JKN untuk jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan yang penyelenggaraannya dikoordinir oleh Lembaga Jaminan Sosial Nasional 2.2. Untuk memberikan perlindungan kepada penduduk Indonesia atas kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan jaminan/santunan kecelakaan kerja diselenggarakan jaminan kesehatan nasional 2.3. Untuk memberikan perlindungan dalam bidang kesehatan dan kecelakaan kerja, negara mendirikan Badan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan 2.4. Agar setiap penduduk dapat menerima jaminan setiap saat terjadinya kebutuhan sosial, maka Lembaga Jaminan Sosial Nasional menyusun NOMOR JAMINAN
Asuransi Kesehatan Nasional
maka
114
SOSIAL NASIONAL (SOCIAL SECURITY NUMBER) yang unik yang berlaku seumur hidup yang merupakan nomor identitas penduduk dimanapun ia bekerja, tinggal, atau mendapatkan jaminan sosial 2.5. Untuk memenuhi hak-hak penduduk dan memenuhi kecukupan dana untuk itu setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan tenaga kerja yang dipekerjakannya atau keluarga miskin yang menjadi tanggung jawabnya dan anggota keluarga mereka paling lambat satu bulan sejak hubungan kerja, baik disepakati secara tertulis maupun tidak tertulis.
115
3.4.2.
Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan jangka pendek yang optimal
3.4.3. 3.4.4.
Membayarkan jaminan yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang berwenang atau pemerintah
3.5.Badan Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai tugas dan wewenang 3.5.1. 3.5.2. Mematuhi segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundangan JSN Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan jangka pendek yang optimal 3.5.3. Melakukan kontrak dengan pemberi pelayanan kesehatan (PPK), menjamin anggota mendapatkan pelayanan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan medis dari PPK tersebut dan membayarkan jaminan yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya 3.5.4. Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang berwenang atau pemerintah 3.6.Di tingkat propinsi dapat dibentuk kantor cabang DJS dan JKN yang mempunyai otonomi dalam penyelenggaraan dan pelayanan kepada anggota
3.7.Bentuk dan struktur Lembaga dan Badan Penyelenggara
3.7.1.
yang bersifat otonom dan TIDAK MENCARI UNTUNG 3.7.2. Lembaga JSN merupakan sebuah majelis yang terdiri atas 21 orang ahli atau tokoh masyarakat yang mempunyai integritas nasional tinggi, jujur, tidak pernah terlibat pelanggaran hukum, dan berkompeten melaksanakan tugasnya. Lembaga LJSN dikepalai oleh seorang Kepala
Asuransi Kesehatan Nasional
116
3.7.3.
Badan DJS dan BJKN terdiri atas Majelis Wali Amanat (Board of
Trustees), Badan Eksekutif, Komite Aktuaria dan investasi, Komite
Perselisihan, dan Komite Pelayanan 3.7.4. Majelis Wali Amanat adalah lembaga kebijakan tertinggi di dalam LJSN/JKN yang mempunyai kewenangan menetapkan berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan LJSN/BJKN 3.7.5. Dalam menetapkan kebijakannya MAW mendapatkan masukan dan rekomendasi dari Komite terkait 3.7.6. Anggota MWA terdiri atas 11 orang dengan komposisi sebagai berikut: wakil pemerintah (2 orang), wakil peserta/serikat pekerja (4 orang), wakil pemberi kerja (3 orang), dan wakil ahli/pakar bidang asuransi kesehatan/kecelakaan kerja (2 orang) 3.7.7. Menteri Kesehatan atau Menteri yang bertanggung jawab atas kesehatan atau orang yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan merupakan anggota tetap MWA yang mewakili pemerintah di dalam JKN 3.7.8. Di tingkat Nasional, Anggota LJSN, anggota Majelis Wali Amanat dan Direktur Utama beserta Direktur Executif JSN/JKN dipilih melalui seleksi kompetensi (fit and proper test) oleh tim yang dibentuk oleh Kepala Negara berdasarkan usulan calon dari organisasi masyarakat terkait 3.7.9. Calon anggota MWA diusulkan oleh organisasi terkait dan sekurangkurangnya mendapatkan dukungan tertulis dari paling sedikit 10 organisasi sejenis ditingkat nasional ataupun propinsi sesuai dengan tingkat perwakilan MWA yang diwakilinya 3.7.10. Komite Aktuaria dan Investasi, Komite Perselisihan, dan Komite Pelayanan terdiri atas sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang ketua dan anggota yang merupakan para ahli di bidanganya
117
3.7.11. Komite Aktuaria dan Investasi melakukan penilaian tentang kelayakan premi dan perumusan investasi 3.7.12. Komite perselisihan memantau dan menyelesaikan secara internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran kepada PPK, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, anggota, pemberi kerja, dan atau PPK 3.7.13. Komite pelayanan melakukan penilaian tentang mutu pelayanan PPK, persyaratan mutu pelayanan, dan melakukan telaah (review) terhadap pelayanan yang diberikan kepada anggota 3.7.14. Anggota Komite dipilih dan ditetapkan oleh MWA 3.7.15. Masa bakti anggota MWA dan Komite adalah 5 (lima) tahun. 3.7.16. Tiap anggota MWA dan Komite dapat dipilih/diangkat kembali untuk paling banyak satu periode masa bakti berikutnya 3.7.17. Untuk menjamin kesinambungan kebijakan, penggantian anggota MWA dan Komite dilakukan tiap tengah periode untuk memilih separuh (separuh ditambah satu) anggota, sedangkan separuh (separuh ditambah satu) anggota lainnya diganti pada akhir periode. 3.7.18. MWA mempunyai kewenangan untuk menyusun struktur organisasi Badan Eksekutif yang efisien, mengawasi Badan Eksekutif dan membuat kebijakan umum tentang premi, investasi, pemberian jaminan, dan hal-hal lain yang belum diatur oleh UU JSN atau peraturan pemerintah 3.8.Badan penyelenggara jaminan sosial yang ada pada saat UU JSN ini diundangkan (PT Jamsostek dan PT Taspen) dan aset-aset yang dimilikinya secara bertahap akan dilebur menjadi DJS dalam waktu 5 (lima) tahun sejak UU ini diundangkan dalam lembaran negara
118
3.9.Badan penyelenggara PT Asuransi Kesehatan Indonesia dan Progam JPK Jamsostek dan aset-aset yang dimilikinya secara bertahap dilebur menjadi BJKN dalam waktu 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan dalam lembaran negara
3.10. Pengelolaan Keuangan
3.10.1. Iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja atau peserta ke LJSN secara otomatis dipisahkan untuk akun DJS dan JKN oleh bank penerima iuran 3.10.2. Badan pengelola JKN hanya dapat menggunakan maksimum 15% iuran yang diterima pada 5 tahun pertama, maksimum 10% pada tahun ke 6-10, dan 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya untuk biaya administrasi. 3.10.3. Dana iuran yang terkumpul dalam rekening JKN dan dana cadangan yang belum digunakan dapat diinvestasikan dengan ketentuan sebagai berikut: 3.10.3.1. Paling sedikit 70% dana harus ditanamkan di propinsi/kota/ kabupaten di mana iuran terkumpul 3.10.3.2. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat ditanamkan sebagai penyertaan saham di perusahaan negara atau swasta 3.10.3.3. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat ditanamkan dalam bentuk investasi properti 3.10.3.4. Sedikit-dikitnya 90% dana tersedia harus ditanamkan dalam instrumen deposito di bank pemerintah atau dalam obligasi dana pemerintah pusat maupun daerah 3.10.4. Badan JKN dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan badan atas sisa lebih anggaran pada akhir tahun anggaran
119
3.10.5. Sisa anggaran lebih pada tahun anggaran disimpan atas nama badan sebagai dana cadangan akumulasi dan dikelola oleh Badan Pengelola untuk kepentingan seluruh anggota 3.10.6. Akuntabilitas keuangan JKN diperiksa secara reguler oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan diumumkan kepada publik 3.10.7. Dalam hal tertentu, akuntan publik dapat dimintakan jasanya untuk melakukan pemeriksaan keuangan tambahan 3.11. Paling sedikit 60% Direktur dan manajer pengelola badan penyelenggara harus mempunyai latar belakang pendidikan akademis dan atau profesi yang terkait dengan asuransi kesehatan dan atau jaminan sosial
mempekerjakan satu orang tenaga kerja atau lebih wajib, tanpa kecuali, mendaftarkan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengannya dan seluruh anggota keluarga tenaga kerja yang sah kepada LJSN atau JKN 3.13. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya yang belum
pernah terdaftar pada LJSN atau JKN paling lambat satu bulan setelah peserta berhak menerima pensiun 3.14. Koperasi usaha yang melakukan kegiatan usaha yang merupakan sumber
penghasilan utama para anggotanya diperlakukan sebagai pemberi kerja dan wajib mendaftarkan anggota koperasi beserta anggota keluarganya ke LJSN atau JKN terdekat 3.15. Dinas Kesehatan pemerintah kota/kabupaten wajib mendaftarkan seluruh
anggota keluarga miskin, anak terlantar, dan penduduk berusia 65 tahun atau
120
lebih (lanjut usia) kepada JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU ini dicantumkan dalam lembaran negara 3.16. Penegakan hukum pelaksanaan kewajiban pemberi kerja dilakukan secara
bertahap dengan urutan mulai. 3.16.1. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 10 orang atau lebih harus sudah mendaftarkan seluruh tenaga kerja dan anggota keluarganya kepada LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke lima setelah UU ini dicantumkan dalam lembaran negara 3.16.2. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 5-9 orang harus sudah mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggotanya kepada LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke delapan setelah UU ini dicantumkan dalam lembaran negara 3.16.3. Seluruh pemberi kerja yang mepekerjakan 1-4 orang tenaga kerja wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggota keluarganya kepada LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU ini dicantumkan dalam lembaran negara 3.16.4. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya paling lambat pada akhir tahun ke-10 setelah UU JSN diundangkan 3.16.5. Badan hukum koperasi usaha yang mempunyai usaha yang merupakan sumber penghasilan utama anggota koperasi harus telah mendaftarkan anggotanya paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU JSN diundangkan 3.16.6. Kepada Dinas Kesehatan Kota/Propinsi harus telah mendaftarkan seluruh keluarga miskin dan penduduk lanjut usia yang belum pernah terdaftar dalam LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU JSN ini diundangkan
121
3.16.7. Penduduk swakarya harus dapat mendaftarkan setiap saat dan paling lambat pada akhir tahun 2030 seluruh penduduk swakarya harus sudah mendaftarkan diri ke LJSN/JKN 3.17. Paling lambat satu bulan sejak terjadinya perubahan status anggota
keluarga tenaga kerja, baik karena hubungan pernikahan atau karena kelahiran, pemberi kerja wajib menyampaikan perubahan tersebut kepada LJSN dengan tembusan kepada JKN
Pembayaran iuran
5.1.Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi usaha, dan Dinas Kesehatan wajib menyetorkan iuran peserta ke rekening LJSN dan rekening JKN pada bank pemerintah yang ditunjuk untuk itu. 5.2.Besarnya iuran adalah sebagai berikut 5.2.1. Pemberi kerja wajib mengiur program JHT sebesar 2% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 1% dari upah 5.2.2. Pemberi kerja wajib mengiur program pensiun sebesar 4% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 4% dari upah 5.2.3. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 1% dari upah untuk program jaminan kematian 5.2.4. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 3% dari upah untuk program jaminan pemutusan hubungan kerja 5.2.5. Pemberi kerja wajib mengiur 0,2-1,7% dari upah sesuai dengan tabel kelompok jenis usaha yang ditetapkan oleh surat keputusan presiden untuk iuran progam jaminan kecelakaan kerja 5.2.6. Pemberi kerja wajib membayarkan 6% dari upah tenaga kerja bulanan yang diambil 3% dari upah tenaga kerja dan 3% sisanya merupakan kewajiban pemberi kerja untuk iuran JKN.
Asuransi Kesehatan Nasional
122
5.2.7. DJS dan Dana Pensiun membayarkan 3% uang pensiun utama yang diambil dari uang pensiun yang harus dibayarkan kepada pensiunan. DJS dan Dana Pensiun tidak wajib memberikan kontribusi untuk JKN 5.2.8. Dinas Kesehatan, koperasi, dan pekerja swakarya membayarkan iuran sebesar 110% rata-rata biaya pelayanan per keluarga tahun sebelumnya di suatu kota/kabupaten sesuai dengan tabel biaya pelayanan tahunan yang diterbitkan Komisi aktuaria. 5.3.Besarnya upah dimaksud adalah upah tenaga kerja sebelum dipotong pajak penghasilan dengan jumlah maksimum upah untuk perhitungan iuran asuransi kesehatan pada awal berlakukan JSN ini adalah Rp 5 (10) juta per bulan. 5.4.Iuran JKN yang dibayarkan oleh pemberi kerja dapat diperhitungkan sebagai biaya produksi pemberi kerja 5.5.Tenaga kerja yang mempunyai upah atau penghasilan diatas Rp 50 juta sebulan pada saat JSN ini diundangkan, yang dibuktikan dengan melampirkan surat pemberitahun pajak tahun sebelumnya yang telah dilegalisasi oleh kantor pajak setempat, dapat mengajukan permohonan kepada LJSN atau JKN untuk dibebaskan dari pembayaran iuran JKN akan tetapi yang bersangkutan wajib membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta dan tidak dapat mengikuti JKN pada masa hidup selanjutnya. (alternatif: Mereka yang memiliki jaminan
kesehatan komersial tetap membayar iuran jaminan kesehatan wajib dengan diskon 30%).
5.6.Besarnya upah maksimum untuk perhitungan iuran JKN dan jujmlah upah minimum penduduk yang dibebaskan dari iuran JKN ditetapkan setiap tahun oleh MWA 5.7.Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi, dan Dinas Kesehatan menyampaikan rincian daftar iuran peserta disertai dengan nomor penduduk yang untuk siapa iuran telah disetorkan ke kantor LJSN atau JKN terdekat
123
5.8.Daftar peserta yang iurannya telah dibayarkan disampaikan oleh pemberi kerja kepada kantor LJSN atau JKN terdekat paling paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan 5.9. Tenaga kerja swakarya harus menyetorkan iuran paling lambat tanggal 10 tiaptiap bulan secara tunai ke bank yang ditunjuk atau melalui debet otomatis atas rekening tenaga kerja swakarya
Kewajiban JKN
6.1.JKN wajib memberikan jaminan kepada seluruh anggota sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU JSN dan yang diatur oleh peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, atau MWA 6.2.Dalam hal di suatu daerah terdapat jumlah anggota yang cukup besar namun tidak/belum tersedia fasilitas kesehatan yang memadai, JKN wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para anggotanya sesuai dengan kemampuan keuangan JKN. 6.3.Komite pelayanan wajib melakukan penilaian tentang akses yang wajar kepada fasilitas kesehatan bagi para anggotanya dan penilaian kepuasan anggota secara berkala minimal sekali dalam dua tahun 6.4.Penilaian tentang akses dan kepuasan anggota tersebut dilaksanakan baik oleh pengelola maupun oleh lembaga independen dengan pendanaan dari pengelola yang sifatnya tidak mengikat 6.5.JKN wajib mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan yang telah dicapai pada suatu tahun takwim di paling sedikit 10 media masa nasional paling lambat tanggal 31 Juni tahun takwin berikutnya.
124
6.6.JKN wajib menerbitkan buku saku yang berisi hak-dan kewajiban anggota, tata cara memperoleh pelayanan, paket yang ditanggung, dan paket yang tidak ditanggung kepada seluruh peserta/kepala keluarga. JKN wajib menerbitkan revisi buku saku setiap terjadi perubahan kebijakan iuran, paket, maupun prosedur pelayanan 6.7. JKN wajib melakukan berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap anggota akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah 6.8. Paling lambat akhir tahun takwin ke-lima setelah JSN diundangkan, LJSN wajib menyampaikan laporan rekening tahunan setiap peserta ke alamat rumah masingmasing peserta dan mencantumkan status pembayaran iuran tiap peserta dan dalam website LJSN yang dapat diakses oleh setiap peserta dengan mengisi nomor penduduk peserta.
Hak anggota
7.1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 7.1.1. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta mengalami kecelakaan di dalam menjalankan pekerjaannya atau di dalam perjalanan menuju dan pulang dari tempat kerja 7.1.2. Tenaga kerja yang sedang melakukan magang di perusahaan, murid sekolah atau mahasiswa yang sedang berpraktek kerja di perusahaan atau di laboratorium, perseorangan yang memborong pekerjaan, dan narapidana yang dipekerjakan di perusahaan dimasukan dalam kategori peserta 7.1.3. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta menderita penyakit akibat atau yang terkait dengan pekerjaan peserta
125
7.1.4. Apabila diperlukan perawatan di rumah sakit, maka hak kelas perawatan peserta adalah di ruang perawatan kelas I 7.1.5. Daftar penyakit akibat atau terkait dengan pekerjaan (occupational
diseases) ditetapkan oleh Keputusan Presiden setiap tiga tahun sekali
7.1.6. Jaminan kecelakaan kerja diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang mencakup biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan pemulihan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta yang menjalin kerja sama dengan JKN 7.1.7. Dalam hal diperlukan perawatan di rumah sakit, peserta yang menderita kecelakaan kerja berhak mendapat perawatan di ruang kelas I beserta segala biaya aneka (laboratorium, radiologi, obat yang diperlukan sesuai dengan daftar obat yang dijamin JKN, dan bahan medis lainnya) sejauh dibutuhkan menurut pendapat profesional dokter) 7.1.8. Pemberi kerja wajib mengiur biaya (cost sharing) sebesar 30% dari biaya pelayanan kesehatan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengan pemberi kerja yang mengalami kecelakaan kerja 7.1.9. Apabila kecelakaan kerja menyebabkan terjadinya kecacatan sementara atau tetap, maka peserta berhak mendapatkan kompensasi uang tunai yang jumlahnya ditetapkan oleh MWA setiap dua tahun sekali 7.1.10. Kompensasi uang tunai yang menjadi hak peserta meliputi: 7.1.10.1. Biaya pengangkutan ke dan dari fasilitas kesehatan 7.1.10.2. Santunan sementara tidak mampu berkerja sebagai pengganti upah yang hilang 7.1.10.3. Santunan cacat sebagian anggota badan untuk selama-lamanya
126
7.1.10.4. Santuan cacat total untuk selama-lamanya, baik cacat fisik maupun mental 7.1.10.5. Santunan (disamping pensiun dari JSN) kematian akibat kecelakaan kerja 7.2. Jaminan Kesehatan 7.2.1. Setiap anggota berhak atas jaminan kesehatan manakala ia sakit dan berhak atas pelayanan pencegahan yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh MWA setiap tiga tahun sekali 7.2.2. Pelayanan pencegahan yang menjadi hak peserta meliputi 7.2.2.1. Pelayanan keluarga berencana 7.2.2.2. Pelayanan kehamilan dan pemeriksaan darah rutin selama kehamilan 7.2.2.3. Pemeriksaan medik rutin untuk deteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun 7.2.2.4. Pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan MWA tiap tiga tahun sekali bagi anggota yang berusia 50 tahun atau lebih 7.2.3. Jaminan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta yang menjalin kerja sama dengan JKN 7.2.4. Setiap anggota berhak atas jaminan paling sedikit berupa pelayanan pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan pelayanan perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta yang mencakup biaya pemeriksaan dokter umum dan spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara medik diperlukan menurut standar profesi medik yang secara ilmiah telah dibuktikan efektifitasnya
127
7.2.5. Dalam hal kemampuan propinsi memadai untuk memberikan pelayanan komprehensif, maka pelayanan kesehatan diberikan secara berjenjang melalui dokter keluarga yang dipilih oleh anggota setiap enam bulan sekali. 7.2.6. Anggota dapat memilih pelayanan di rumah sakit yang dikehendaki tetapi harus mendapatkan rujukan dari dokter keluarga yang dipilihnya 7.2.7. Jaminan yang tidak termasuk dalam JKN (eksklusi): 7.2.7.1. Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan, pengobatan, maupun pembedahan 7.2.7.2. Pelayanan kesehatan yang timbul atau yang merupakan akibat dari pemakaian obat terlarang dan penggunaan minuman keras 7.2.7.3. Penyakit yang timbul akibat hubungan seksual 7.2.7.4. Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali upaya pengguguran kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu 7.2.7.5. Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri 7.2.8. Hak perawatan anggota di rumah sakit adalah standar perawatan kelas II (dua) 7.2.9. Untuk setiap perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta, anggota berkewajiban membayar iur biaya sebesar 10% dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan iur biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai 7.2.10. Besarnya iur biaya untuk rawat inap dan untuk pengobatan rawat jalan mahal maksimum sebesar satu bulan UMP dalam satu tahun takwim
128
7.2.11. Untuk pengobatan rawat jalan setiap anggota wajib membayar iur biaya sebesar 30% dari biaya pemeriksaan, pemeriksanaan penunjang medik, biaya obat, dan tindakan rehabilitasi untuk setiap kali kunjungan yang tarifnya telah ditetapkan dengan iur biaya maksium sebesar satu bulan UMP untuk satu tahun takwim 7.2.12. Anggota dapat meminta pelayanan di kelas yang lebih tinggi dengan membayar sendiri atau melalui asuransi kesehatan komersial selisih biaya perawatan yang ditanggung JKN dengan biaya yang timbul akibat peningkatan kelas perawatan.
129
8.4.Sistem pembayaran kepada PPK dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara JKN, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat 8.5.Besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh JKN ditetapkan bersama oleh MWA, Dinas Kesehatan Propinsi, dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan setempat dengan mempertimbangkan pemenuhan biaya produksi operasional PPK 8.6.Dinas Kesehatan setempat berfungsi sebagai lembaga pengawas mutu pelayanan kepada para anggota JKN
Penegakan hukum
8.7.Badan penyelenggara mempunyai kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada perusahaan dan melaporkan setiap pelanggaran perusahaan dalam memenuhi kewajibannya membayar iuran atau melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai dengan ketentutan UU 8.8.Perusahaan yang terlambat membayarkan iurannya dikenakan denda sebesar 3 (tiga) persen dari jumlah iuran yang harus dibayarkan untuk tiap bulan keterlambatan. Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata harian atas dasar besarnya denda bulanan 8.9.Perusahaan yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih dari tiga kali dalam setahun dapat dikenakan denda tambahan sebesar 5% dari iuran yang harus dibayarkan ditambah denda bulanan 3% dari jumlah iuran terhutang 8.10. Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada
waktu yang ditetapkan atau membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan perundangan dikenakan denda minimal lima kali besarnya iuran setahun.
130
8.11.
peraturan yang berlaku dikenakan hukuman kurungan sekurang-kurangnya satu tahun penjara dan selama-lamanya 15 tahun penjara 8.12. Apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dan pernah
dikenakan denda tiga kali berturut-turut dalam kurun waktu lima tahun diancam hukuman pencabutan ijin usaha untuk selama-lamanya 8.13. Dalam hal terjadi kelalaian pada pihak JKN, maka pihak JKN wajib
membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan sebesar 300% dari besarnya kerugian yang diderita oleh perusahaan
Penyelesaian perselisihan
8.14. Apabila terjadi perselisihan mengenai jumlah tenaga kerja, besaran iuran yang disetorkan, atau besarnya denda, maka perusahaan dapat memilih penyelesaian melalui arbitrase atau pengadilan tinggi setempat
Ketentuan Peralihan
8.15. Dalam waktu dua tahun sejak UU JSN dicantumkan dalam lembaran negara, penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang (PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri) harus mempersiapkan diri dan mempersiapkan tenagatenaga manajerial dan staf untuk berhasilnya penyelenggaraan JSN/JKN yang diatur dalam UU ini
131
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan ............................................................................................................ 1 Bab II Kebutuhan Asuransi Kesehatan ............................................................................. 4 Sarana dan Status Kesehatan Yang Telah Dicapai ........................................................ 4 Analisis Data Susenas .................................................................................................... 8 Status Kesehatan Penduduk ....................................................................................... 8 Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga........................................ 10 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan .................................................................... 11 Perbedaan Antar Wilayah ........................................................................................ 11 Perbedaan Antar Desa-Kota..................................................................................... 12 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .................................................................. 12 Akses Pelayanan Kesehatan ......................................................................................... 13 Probabilitas Terjadi Unmet Need............................................................................. 13 Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga.................................... 14 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan ................................................................ 16 Perbedaan Antar Wilayah .................................................................................... 17 Perbedaan Antar Desa-Kota................................................................................. 17 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .............................................................. 18 Probabilitas Berobat Jalan........................................................................................ 19 Probabilitas Mengalami Rawat Inap ........................................................................ 36 Masalah Pembiayaan Kesehatan .............................................................................. 44 Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga ............................................................... 45 Kemampuan Membayar Pelayanan Kesehatan .................................................... 50 Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan ......................................................... 53 Target Peserta Jaminan Kesehatan........................................................................... 54 Bab III Masalah Asuransi Kesehatan Kita ...................................................................... 56 Kebutuhan asuransi kesehatan ..................................................................................... 56 Cakupan Asuransi Kesehatan .................................................................................. 59 Kesenjangan akses karena faktor finansial .............................................................. 61 Matriks Evaluasi berbagai bentuk asuransi kesehatan di Indonesia ........................ 63 Tidak dapat tercapai ................................................................................................... 63 Prediksi ke depan ......................................................................................................... 70 Sustainabilitas .......................................................................................................... 70 Kemampuan menjangkau seluruh penduduk ........................................................... 71 Tenaga profesional ................................................................................................... 72 Asuransi sesehatan tradisional sebagai ancaman ..................................................... 74 Tujuan dan keinginan................................................................................................... 75 Pengalaman negara lain ............................................................................................... 79 Kegagalan pasar ....................................................................................................... 80 Asuransi kesehatan komersial .................................................................................. 82 Asuransi kesehatan sosial ........................................................................................ 83 Kinerja asuransi kesehatan sosial dan komersial ..................................................... 85 Paket dasar: biaya atau need? .................................................................................. 90 Mengatur jaminan bukan bisnis jaminan.............................................................. 92 Pengaturan tarif PPK dan standar pelayanan medis ................................................ 93
Asuransi Kesehatan Nasional
132
Prioritas kelompok yang dapat dikelola (manageable) ............................................ 95 Kunci keberhasilan................................................................................................... 95 Manfaat eksternal ..................................................................................................... 96 Bab IV Alternatif Sistem Asuransi Kesehatan Indonesia ............................................... 97 Badan Penyelenggara ................................................................................................... 98 Status ....................................................................................................................... 98 Struktur organisasi ................................................................................................ 99 Persyaratan ........................................................................................................... 101 Tugas pokok ......................................................................................................... 101 Biaya manajemen/administrasi .......................................................................... 102 Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) ....................................................................... 102 Tugas pokok ......................................................................................................... 103 Hak PPK ............................................................................................................... 104 Bab V Pilihan untuk Indonesia ..................................................................................... 105 Ringkasan untuk sub sistem JKN .......................................................................... 108 Tujuan dan Manfaat. .......................................................................................... 108 Prinsip dasar ....................................................................................................... 109 Strategi pengembangan ...................................................................................... 109 Kelembagaan...................................................................................................... 110 Key Success Factor: ............................................................................................... 110 Prinsip Dasar: ..................................................................................................... 111 Ketentuan Umum ................................................................................................... 112 Penyelenggaraan JKN ............................................................................................ 114 Badan Penyelenggara dan kewenangan badan penyelenggara .............................. 115 Kewajiban Pemberi Kerja ...................................................................................... 120 Pembayaran iuran................................................................................................... 122 Kewajiban JKN ...................................................................................................... 124 Hak anggota ........................................................................................................... 125 Kontrak dan pembayaran provider (Pemberi Pelayanan Kesehatan). ................... 129 Penegakan hukum .................................................................................................. 130 Penyelesaian perselisihan....................................................................................... 131 Ketentuan Peralihan ............................................................................................... 131
133
Daftar Pustaka
WHO. WHR2000 Newsweek, 2001 3 Gani, A. Cari tulisan AG 4 Malik, cari 5 Cari laporan NHA pak Cholik dkk, minta dari Waluyo. 6 Thabrany, H dan Pujianto. MKI, lengkapi 7 Thabrany, 2002. Current health insurance coverage in Indonesia. Paper presented in the Asia-Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002. 8 Ambil laporan JPSBK, tanya Mahlil 9 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta 1999 10 World Health Report 2000. WHO, Geneva, 2000 11 Pernyataan James Marzof, konsultan USAID pada rapat penyusunan RUU JPKM di Depkes tahun 1999. 12 Thabrany, H. Health Insurance and the Demand for Medical Care in Indonesia. Disertation. University of Californita at Berkeley, USA. 1995 13 Getler, P. et. al., Report on the Indonesian Resource Mobilization Study. Rand Corporation, Santa Monica, USA. 1994 14 Melnick, G.; Molynoux, J.; and IFLS 15 Suwondo, P. Disertation, University of California at Los Angeles, Los Angeles, 1997 16 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta, 2000 17 Shalala. D. .. Health Affairs, June/July 1999 18 .. Sistem Asuransi Taiwan. 19 .. Buntu, N. Studi.., Thesis. .. Evaluasi JPKM proyek Klaten, AIM. 20 ..(dari PT Askes) laporan studi kepuasan peserta. Thabrany, H. dkk. Evaluasi Pemanfaatan Pelayanan PT Askes, 92, 95, 98 21 Thabrany, H. dkk. Penatapan Cadangan Teknis JPK Jamsostek, FKMUI, Jakarta 1997. xxii Depkes. Konsep dan pelaksanaan JPKM: Masukan bagi pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta September 2000. xxiii Wahyudin. Laporan Magang Mahasiswa. Program DIII Asuransi Kesehatan. FKMUI, Depok, 2000 xxiv Dewan Asuransi Indonesia. Laporan Kegiatan Usaha Asuransi Tahun 1998. Jakarta, 1999. xxv ) Istilah asuransi kesehatan sosial dan asuransi sosial kesehatan digunakan untuk maksud yang sama. xxvi Pelayanan kesehatan disini mencakup berbagai lingkup pelayanan kesehatan mulai dari promotif sampai rehabilitatif, termasuk obat dan alat medis. Istilah ini digunakan juga untuk pemeliharaan kesehatan. xxvii Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 1999. xxviii Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 xxix Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999
2 1
134
xxx
Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.
135