Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

Lambung berfungsi sebagai tempat menerima dan penyimpanan makanan. Fungsi utama lambung adalah untuk bertindak sebagai reservoir, untuk memulai proses pencernaan, dan melepaskan isinya ke duodenum dengan cara yang terkontrol. Kapasitas lambung pada orang dewasa adalah sekitar 1,5-2 liter, dan lokasi dalam perut memungkinkan untuk dapat meregang dengan cukup. Motilitas lambung diatur oleh sistem saraf enterik, yang dipengaruhi oleh persarafan ekstrinsik dan oleh hormon. Perubahan dalam anatomi lambung setelah operasi atau gangguan pada persarafan ekstrinsik (vagotomi) dapat menimbulkan efek pada pengosongan lambung. Efek ini disebut sindrom postgastrektomi. Operasi saluran cerna dapat menyebabkan beberapa kondisi yang tidak diinginkan dan sekuele kronis. Sindrom dumping mengacu pada gejala gastrointestinal dan vasomotor yang muncul setelah makan pada pasien paska pembedahan lambung. Angka kejadian dan keparahan dari gejala terkait sindrom dumping memiliki korelasi dengan jenis pembedahan lambung. Sindrom dumping muncul pada sekitar 15% - 20% pada pasien setelah dilakukan gastrektomi parsial. Sementara pasien yang dilakukan vagotomi memiliki angka kejadian sebanyak 6% - 14 %. Sindrom dumping secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sindrom dumping awal dan lanjut. Sindrom awal muncul beberapa menit setelah makan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Sedangkan sindrom lanjut muncul 1-3 jam setelah makan dimana tampilan klinis seperti pasien hipoglikemia. Sindrom dumping dapat menimbulkan komplikasi yang dapat mengganggu pasien. Komplikasi jangka pendek berupa keluhan-keluhan mual, cepat kenyang, cepat lapar, jantung berdebar dan gejala lainnya. Komplikasi jangka panjang meliputi sitofobia (takut makan atau pada makanan), malnutrisi, difisiensi vitamin-vitamin, zat besi, asam folat hingga anemia. Oleh karena itu sindrom dumping perlu penanganan yang tepat dan adekuat sehingga keluhan pasien dapat teratasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindrom dumping adalah suatu kumpulan gejala yang ditimbulkan akibat dari pengosongan lambung yang terlalu cepat. Sindrom dumping sering dikaitkan dengan adanya perubahan anatomi dari lambung setelah operasi lambung dimana pengosongan lambung terlalu cepat.

2.2 Etiologi Penyebab dari sindrom dumping adalah multifaktorial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya sindrom dumping selain oleh karena perubahan anatomi oleh karena proses pembedahan seperti reseksi atau bypass pylorus, dapat juga seperti makanan lebih cepat masuk langsung ke usus halus dimana menghasilkan penurunan tekanan darah dan peningkatan aliran darah ke usus, usus halus yang membentang, dan makan makanan tertentu yang dapat mencetuskan terjadinya sindrom dumping.

2.3 Patofisiologi Pathogenesis dari sindrom dumping masih kurang dimengerti oleh karena penyebabnya yang multifaktorial. Perubahan anatomi lambung setelah pembedahan, seperti reseksi dan bypass dari pylorus terbukti berefek pada kecepatan pengosongan lambung. Daya akomodasi dan kontraktilitas siklik lambung terkait adanya distensi menghilang, menyebabkan isi lambung segera memasuki usus halus. Hal ini terjadi setelah operasi gastrektomi parsial. Percepatan pengosongan lambung tersebut yang menjadi dasar pathogenesis sindrom dumping. Pengisian cepat dengan jumlah yang besar dari chime hiperosmolar menuju usus halus menyebabkan distensi dan hipermotilitas usus. Pengosongan lambung dipengaruhi oleh tonus fundus, mekanisme antropilorus, dan feedback duodenum, yang diregulasi oleh system saraf enteric dan hormone gastrointestinal dalam sirkulasi darah. Kontraksi volume intravascular dan hemokonsentrasi muncul oleh karena pergeseran cairan osmotik dari kompartemen intravascular menuju lumen usus. Nadi yang cepat, peningkatan hematokrit, dan turunnya volume plasma diobservasi pada pasien terkait dengan
2

hiperosmolaritas yang terjadi pada dumping awal. Hal ini menyebabkan lepasnya hormone gastrointestinal vasoaktif yang memiliki peran dalam vasodilatasi splenik dan gejala-gejala vasomotor seperti pusing, takikardi, pipi memerah. Tingginya kadar hormone usus post prandial seperti polipetida pancreas, enteroglukagon, peptide YY (PYY), ), vasoactive intestinal polypeptide(VIP), neurotensin and glucagon-like peptide
(GLP) teridentifikasi pada pasien dengan sindrom dumping. Neurotensin, VIP, dan PYY menunda motilitas traktus GI bagian atas dan mengurangi sekresi lambung dan usus. Pada kondisi hiperglikemia akibat pengosongan lambung terlalu cepat, dapat menstimulasi keluarnya insulin, selanjutnya dapat menyebabkan hipoglikemi reaktif. Sementara itu, GLP dan GLP-1 yang diproduksi di usus halus dan kolon diyakini menjadi mediator dari sindrom dumping tipe lanjut. Pelepasan GLP-1 menyebabkan respon hiperinsulinemia dan hipoglikemia lanjut. Tetapi sampai saat ini masih belum jelas mengapa hanya beberapa pasien yang menjadi sindrom dumping sementara pasien lain asimtomatis paska operasi.

2.4 Manifestasi klinis Manifestasi klinis sindrom dumping meliputi gejala GI dan vasomotor. Sindrom dumping dibagi menjadi tipe awal dan lanjut tergantung dari kaitan antara gejala dengan waktu setelah makan. Gejala yang timbul dapat berbeda-beda tiap pasien. Gejala dumping awal muncul antara 10-30 menit setelah makan. Hal ini terjadi akibat pengosongan lambung yang terlalu cepat dengan isi hiperosmolar menuju usus halus atau usus dua belas jari, diikuti pergeseran cairan dari kompartemen intravascular menuju lumen usus. Hal ini menyebakan distensi usus halus dan peningkatan kontraktilitas usus, yang diyakini 3

menyebabkan gejala GI seperti mual, kembung, dan diare eksplosif. Kebanyakan pasien mengalami dumping awal dan menderita gejala GI dan vadsomotor. Sementara itu, dumping lanjut muncul sekitar 1-3 jam setelah makan, dan ditandai oleh gejala vascular sistemik meliputi muka memerah, pusing, palpitasi, dan keinginan untuk terus berbaring. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perubahan ortostatik meliputi tekanan darah rendah dan peningkatan nadi. Dumping lanjut muncul pada sekitar 25% pasien. Kebanyakan pada dumping lanjut muncul gejala vasomotor lebih dominan. Dumping lanjut muncul akibat hipoglikemia reaktif oleh karena pelepasan cepat dari insulin. Sindrom dumping yang parah dan tidak terkontrol dapat menyebabkan sitofobia (takut pada makanan atau takut makan) dan penurunan berat badan oleh karena malnutrisi.

2.5 Diagnosis Diagnosis sindrom dumping ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala-gejala setelah makan pada pasien yang sebelumnya melakukan operasi pada lambungnya atau dengan tes provokasoi dumping. Uji laboratorium jarang membantu dalam penegakan diagnosis. Pada pasien malnutrisi yang sudah parah dapat ditemukan anemia ataupun hipoalbuminemia. System scoring diagnostic telah dikembangkan oleh Sigstad. Indeks scoring ini sangat membantu dalam penilaian respon terhadap terapi. Indeks skor diatas 7 dicurigai kea rah sindrom dumping. Tes provokasi glukosa oral dan tes nafas hydrogen dapat berguna ketika diagnosis masih diragukan. Gejala dumping awal dapat diperoleh dari tes glukosa oral. Peningkatan nadi 10 kali per menit atau lebih dalam satu jam pertama setelah tes glukosa oral diikuti 4

puasa selama 10 jam merupakan diagnosis. Tes ini ditemukan sangat sensitive dan spesifik dimana angka sensitivitasnya 100% dan spesifisitasnya 92%. Tes nafas hydrogen setelah makan glukosa dilaporkan 100% sensitive untuk dumping awal. Diagnosis dumping lanjut dapat dipastikan dengan sampling darah rutin setelah provokasi dengan glukosa oral. Pada responnya diharapkan terjadi peningkatan level glukosa plasma dalam 60 menit pertama dan penurunan kadar glukosa plasma 1-2 jam setelahnya. Tetapi induksi gejala setelah provokasi glukosa lebih akurat untuk mendiagnosis dumping lanjut. Evaluasi anatomi traktus GI atas dan fungsinya cukup penting dalam konfirmasi dumping, karena gejalanya mirip dengan sindrom post gastrektomi. Skintigrafi pengosongan lambung dapat menunjukkan pengosongan lambung yang cepat. Endoskopi atau studi barium dapat membantu mengeksklusi ulkus atau obstruksi lainnya.

2.6 Penatalaksanaan

a. Diet Modifikasi diet diutamakan dalam terapi sindrom dumping. Konsumsi cairan selama makan sebaiknya dihindari. Pasien diinstruksikan menghindari konsumsi cairan selama minimal 30 menit setelah makan makanan keras. Asupan makanan harian sebaiknya dibagi menjadi 6 kali. Asupan karbohidrat sebaiknya dikurangi, ataupun dipilih karbohidrat kompleks dibadingkan dengan simple. Susu dan produk dairy tidak dapat ditoleransi,
5

sebaiknya dihindari. Meningkatkan asupan protein dan lemak direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan energy harian. Konsumsi serat terbukti bermanfaat pada dumping lanjut. Pectin, guar gum, dan glukomanan terbukti efektig menunda absorpsi glukosa dan memperlama waktu transit di usus halus. Pasien-pasien dengan gejala ringan merespon dengan baik terhadap modifikasi diet. Oleh karena itu, KIE yang baik mengenai diet penting diberikan. Pada kasus dengan gejala vasomotor berat, pasien diinstruksikan berbaring posisi supinasi selama 30 menit setelah makan untuk mencegah kemungkinan sinkop dengan memperlambat kecpetan pengosongan lambung dan peningkatan aliran balik vena.

b. Terapi Obat

- Okreotida asetat, sebuah analog somatostatin kerja-panjang, merupakan agen yang paling efektif untuk pengobatan sindrom dumping dengan gejala yang berat. Okreotid memperbaiki kondisi dumping dengan cara memperlambat pengosongan lambung, menghambat pelepasan insulin, dan menurunkan sekresi peptida enterik. Secara umum, okreotid mengurangi simptom pada 90% pasien sindrom dumping yang tidak bereaksi terhadap pengobatan lain. Steatorrhea umum dijumpai pada pasien yang mengonsumsi okreotid karena penghambatan pada sekresi eksokrin pankreas. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan pemberian enzim secara oral. Efek samping lain dari penggunaan okreotid adalah hiper atau hipoglikemia, nyeri di tempat suntikan, dan batu empedu.

- Acarbose, merupakan glucosidase inhibitor. Acarbose bekerja dengan cara memperlambat enzim yang berubah dari karbohidrat menjadi glukosa. Hal ini menurunkan kadar gula dalam darah. Biasanya digunakan pada pasien dengan DM tipe 2. - Suplemen kasium, zat besi, vitamin B12

c. Pembedahan Manajemen konservatif selalu dipilih karena kebanyakan pasien berharap terjadi perbaikan seiring berjalannya waktu. Pasien dianjurkan mengikuti prosedur medis seperti diet, terapi kebiasaan dan obat selama minimal satu tahun sebelum mempertimbangkan prosedur pembedahan korektif. Beberapa prosedur bedah dikembangkan untuk mengatasi gejala dumping dengan tujuan pembedahan yang utama adalah menurunkan kecepatan pengosongan lambung. Pemilihan teknik operasi yang tepat sangatlah penting. Rekonstruksi pylorus merupakan pilihan pertama pada pasien dengan dumping berat setelah piloroplasti. Secara garis besar pembedahan memiliki peran terbatas dalam penatalaksanaan gejala dumping dan tidak selalu bersifat kuratif. Oleh karena itu sangat penting dalam menunda perkembangan sindrom dumping dengan memilih prosedur pembedahan lambung yang memiliki gejala dumping minimal dan kerusakan minimal dari pengosongan lambung. Contohnya seperti pemilihan vagotomi proksimal lambung untuk manajemen ulkus peptikum refrakter. Reseksi lambung juga lebih dipilih daripada gastrojejunostomi atau piloroplasti atau loop gastrojejunostomi.

BAB III KESIMPULAN

Sindrom dumping merupakan komplikasi yang umum dan penting untuk dikenali setelah prosedur pembedahan lambung. Diagnosis sindrom dumping berdasarkan presentasi klinis atau tes provokasi glukosa pada kasus yang cukup sulit. Pada kasus sindrom dumping yang parah dapat meningkatkan angka morbiditas pasien. Terapi yang tepat penting diberikan setelah sindrom dumping dipastikan dari sindrom post gastrektomi lainnya. Kebanyakan pasien merespon dengan baik dengan adanya modifikasi diet. KIE yang tepat merupakan kunci untuk memastikan ketaatan terkait diet. Percobaan dengan obat seperti acarbose dan octreotide sebaiknya diberikan sebagai alternatif yang efektif sebelum mempertimbangkan intervensi pembedahan ulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89. 2. Alan BR Thomson, Julian Katz, et all. Dumping syndrome. 2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/173594-treatment 3. Yamada Tadataka, Alpers David H, Kallo Anthony, Kaplowitz Neil, Owyang Chung, Powell Don W. Textbook of gastroenterology 5th ed. Wiley-Blackwell:2008;1060-3 4. Stenson William F. The esophagus and stomach. Modern nutrition in health and disease 10th ed. Lippincott Williams and Wilkins:2006;1185-1187. 5. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston: textbook of surgery. Edisi 18. USA:Saunders-Elsevier;2008.Hal.1252-3. 6. Barker M Helen. Nutrition and dietetics for health care.Churchill Livingstone.2002;232-3 7. Moore Mary Courtney. Pocket guide to nutritional assessment and care.

Missouri:Elsevier Mosby:2005;314-5 8. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi terapi. Edisi 5. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2007.Hal.296-7 9. Ukleja A, Parrish CR. Dumping Syndrome. Nutrition Issues in Gastroenterology #35. Practical Gastroenterology : February 2006. Page 32-46.

10

Anda mungkin juga menyukai