Anda di halaman 1dari 29

1. Manfaat dan tujuan yang diharapkan.

Manfaat dari Pendidikan Kewarganegaraan Apa manfaatnya jika kita menguasai pendidikan kewarganegaraam? Dengan menguasai pendidikan Kewarganegaraan, kita dapat mengembangkan kemampuan-kemapuan sebagai berikut: 1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menghadapi berbagai masalah kewarganegaraan; 2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup secara berdampingan dengan sesama; 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memenfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (sumber buku : Abdulkarim, Aim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas XII SMA. Bandung: Media Grafindo Generasi penerus melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Pengembangan nilai, sikap, dan kepribadian diperlukan pembekalan kepada peserta didik di Indonesia yang diantaranya dilakukan melalui Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Alamiah Dasar (sebagai aplikasi nilai dalam kehidupan) yang disebut kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam komponen kurikulum perguruan tinggi. Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan

hak asasi manusia sungguhsungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya seharihari. Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang : 1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai nilai falsafah bangsa 2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. 4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara. 5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisa, dan menjawab masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan citacita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 . Dalam perjuangan non fisik, harus tetap memegang teguh nilainilai ini disemua aspek kehidupan, khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri. 1. Pentingnya Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Mahasiswa. Setiap kali kita mendengar kata kewarganegaraan, secara tidak langsung otak merespon dan mengaitkan kewarganegaraan dengan pelajaran kewarganegaraan pada saat sekolah, dan mata kuliah kewarganegaraan pada saat kita kuliah. Bisa jadi kata kewarganegaraan di dalam memori otak tersimpan kuat karena setiap tahun dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas ada pelajaran kewarganegaraan yang harus dipelajari, dan ternyata saat kuliah juga ada. Dan di dalam bangku perkuliahan kita akan mempelajari lebih dalam seberapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Kewarganegaraan menjadi mata pelajaran setelah terpecah dari PPKn ataupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pada awalnya di gabung menjadi satu, karena isi dari Pendidikan Kewarganegaraan sendiri besumber dari Pancasila itu sendiri. Selanjutnya di pecah menjadi mata pelajaran sendiri karena

Pendidikan Kewarganegaraan dianggap penting untuk di ajarkan kepada siswa dan dalam Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan materi kewarganegaraan yang lebih luas dan tidak hanya bersumber langsung dari Pancasila. Mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan bagi sebagian mahasiswa tidak ubahnya mempelajari Pancasila tahap dua, atau bahkan tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila dan Sejarah Bangsa. Beberapa materinya memang berkaitan ataupun sama. Itulah mengapa Pendidikan kewarganegaraan selalu dianak tirikan dalam percaturan dunia pendidikan. Menurut orang kebanyakan, lebih penting belajar matematika daripada PKn. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa. Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang di mana pada masanya nanti bibit ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan moral dan akademis yang akan menunjang sosok pribadi mahasiswa. Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip diri. Negara, masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu Negara. Negara yang akan melangkah maju membutuhkan daya dukung besar dari masyarakat, membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas, dengan semangat loyalitas yang tinggi. Negara didorong untuk menggugah masyarakat agar dapat tercipta rasa persatuan dan kesatuan serta rasa turut memiliki. Masyarakat harus disadarkan untuk segera mengabdikan dirinya pada negaranya, bersatu padu dalam rasa yang sama untuk menghadapi krisis budaya, kepercayaaan, moral dan lain-lain. Negara harus menggambarkan image pada masyarakat agar timbul rasa bangga dan keinginan untuk melindungi serta mempertahankan Negara kita. Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah sarana tepat untuk memberikan gambaran secara langsung tentang hal-hal yang bersangkutan tentang kewarganegaraan pada mahasiswa. Pendidikan kewarganegaraan sangat penting. Dalam konteks Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu berisi antara lain mengenai pruralisme yakni sikap menghargai keragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreatifitas. Pendidikan itu mengajarkan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional. Seperti yang pernah diungkapkan salah satu rektor sebuah universitas, tanpa pendidikan kewarganegaraan yang tepat akan lahir masyarakat egois. Tanpa penanaman nilai-nilai kewarganegaraan, keragaman yang ada akan menjadi penjara dan neraka dalam artian menjadi sumber konflik. Pendidikan, lewat kurikulumnya, berperan penting dan itu terkait dengan strategi kebudayaan.

Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara. Sehingga dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi ilmu tentang tata Negara, menumbuhkan kepercayaan terhadap jati diri bangsa serta moral bangsa, maka takkan sulit untuk menjaga kelangsungan kehidupan dan kejayaan Indonesia. Dijen Dikti Depdiknas pada tahun 2006 memutuskan bahwa kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengantarkan peserta didik menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis dan berkeadaban dan menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktid dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila (Kardiyat, 2008 : 6). Jadi dapat dismpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan diberikan dengan tujuan untuk mempersiapkan warga negara agar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat dapat mengembangkan kehidupan pribadi yang memuaskan, menjadi anggota keluarga yang berbahagia, menjadi warga negara yang berkesadaran kebangsaan yang tinggi serta bertanggung jawab pada NKRI yang bersendikan Pancasila

Kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan antara lain agar mahasiswa mampu menjadi warga negara yang memiliki pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM, agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai, agar mahasiswa memilik kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama, dan nilai-nilai universal, agar mahasiwa mampu berpikir kritis dan objektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM, dan demokrasi, agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik, agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban). Pendidikan Kewarganegaraan lah yang mengajarkan bagaimana seseorang menjadi warga negara yang lebih bertanggung jawab. Karena kewarganegaraan itu tidak dapat diwariskan begitu saja melainkan harus dipelajari dan di alami oleh masing-masing orang. Apalagi negara kita sedang menuju menjadi negara yang demokratis, maka secara tidak langsung warga negaranya harus lebih aktif dan partisipatif. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus memepelajarinya, agar kita bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi negara. Garda kokoh yang akan terus dan terus melindungi Negara walaupun akan banyak aral merintang di depan.

Kita semua tahu bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan bagaimana warga negara itu tidak hanya tunduk dan patuh terhadap negara, tetapi juga mengajarkan bagaimana sesungguhnya warga negara itu harus toleran dan mandiri. Pendidikan ini membuat setiap generasi baru memiliki ilmu pengetahuan, pengembangan keahlian, dan juga pengembangan karakter publik. Pengembangan komunikasi dengan lingkungan yang lebih luas juga tecakup dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun pengembangan tersebut bisa dipelajari tanpa menempuh Pendidikan Kewarganegaran, akan lebih baik lagi jika Pendidikan ini di manfaatkan untuk pengambangan diri seluas-luasnya. Rasa kewarganegaraan yang tinggi, akan membuat kita tidak akan mudah goyah dengan iming-iming kejayaan yang sifatnya hanya sementara. Selain itu kita tidak akan mudah terpengaruh secara langsung budaya yang bukan berasal dari Indonesia dan juga menghargai segala budaya serta nilai-nilai yang berlaku di negara kita. Memiliki sikap tersebut tentu tidak bisa kita peroleh begitu saja tanpa belajar. Oleh karena itu mengapa Pendidikan Kewarganegaraan masih sangat penting untuk kita pelajari. Oleh karena itu Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting manfaatnya, maka di masa depan harus segera dilakukan perubahan secara mendasar konsep, orientasi, materi, metode dan evaluasi pembelajarannya. Tujuannya adalah agar membangun kesadaran para pelajar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakan sebaik-baiknya dengan cara demokratis dan juga terdidik. LANDASAN HUKUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Adapun landasan hukum yaitu sebagai berikut: 1. UUD 1945 o Tujuan dan aspirasi bangsa indonesia tentang kemerdekaan yang tercantum pada alenia kedua dan keempat Pembukaan UUD 1945. o Hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara yang tercantum pada pasal 30 ayat (1) UUD 1945. o Hak setiap warga negara untuk memperoleh pengajaran yang tercantum pada Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. 2. Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam (Pangab) Nomor 0221U/1973 Tanggal 8 Desember KEP/B43/XIII/1967 Keputusan tersebut menetapkan realisasi pendidikan bela Negara melalui jalur pengajaran/pendidikan khususnya pendidikan tinggi. 1. UUD No.20/1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara republik Indonesia dalam lembaran Negara 1982 No. 51 TLN 3234 2. Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam

Nomor061U/1985 Tanggal 1 Februari KEP/002/II/1985 1. UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000 3. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2000 1) Undang-Undang Dasar 1945 a) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan alinea kedua tentang cita-cita mengisi kemerdekaan dan alinea keempat khusus tentang tujuan negara, yaitu keamanan dan kesejahteraan. b) Pasal 27 (3) (II), setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 30 ayat (1) (II), tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 31 ayat (1) (IV), setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 28 A-J tentang Hak Asasi Manusia. 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 Undang-undang No. 20/1982 adalah tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara 1982 No. 51, TLN 3234). a) Pasal 18 Hak dan Kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional b) Pasal 19 ayat (2) Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu: (1) Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan Pramuka. (2) Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan pada tingkat Pendidikan Tinggi. 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta Nomor 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi atau kelompok program studi. 4) Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43 Tahun 2006 Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI/2006 tentang Rambu-Rambu

Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan a. Landasan Ilmiah 1. Dasar Pemikiran PKn Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Objek Pembahasan PKn Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formal. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara. Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut: 1) Pengantar PKn a. Hak dan kewajiban warga negara b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara c. Demokrasi Indonesia d. Hak Asasi Manusia 2) Wawasan Nusantara 3) Ketahanan Nasional 4) Politik dan Strategi Nasional 3. Rumpun Keilmuan PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara, sosiologi, dsb. 4. a. Landasan Hukum 1) UUD 1945, Alinea kedua dan keempat, Pasal 27 (1), Pasal 30 (1), Pasal 31

(1). 2) UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI (jo. UU No. 1 tahun 1988). 3) UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4) Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/kep./2000 tentang penyempurnaan kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) PKn pada PT di Indonesia.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan 1. Tujuan Umum. Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara, hubungan antara warganegara dengan warganegara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. 2. Tujuan Khusus. Agar mahasiswa memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai Warganegara Republik Indonesia yang terdidik dan bertanggung jawab. a. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasi dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. b. Agar mahasiswa memiliki sikap perilaku sesuai nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa. Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa, Tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman Hak Dan Kewajiban Warga Negara a. Hak warga negara. Hakhak asasi manusia dan warga negara menurut UUD 1945 mencakup : Hak untuk menjadi warga negara (pasal 26) Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum (pasal 27 ayat 1) Hak atas persamaan kedudukan dalam pemerintahan (pasal 27ayat 1) Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) Hak bela negara (pasal 27 ayat 3) Hak untuk hidup (pasal 28 A) Hak membentuk keluarga (pasal 28 B ayat 1) Hak atas kelangsungan hidup dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak (pasal 28 B ayat 2)

Hak pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1) Hak untuk memajukan diri (pasal 28 C ayat 2) Hak memperoleh keadilan hukum (pasal 28 d ayat 1) Hak untuk bekerja dan imbalan yang adil (pasal 28 D ayat 2) Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3) Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28 D ayat 4) Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (pasal 28 E ayat 1) Hak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai denga hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2) Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28 E ayat 3) Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F) Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda (pasal 28 G ayat 1) Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia (pasal 28 G ayat 2) Hak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28 G ayat 2) Hak hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28 H ayat 1) Hak mendapat kemudahan dan memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama (pasal 28 H ayat 2) Hak atas jaminan sosial (pasal 28 H ayat 3) Hak milik pribadi (pasal 28 H ayat 4) Hak untuk tidak diperbudak (pasal 28 I ayat 1) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1) Hak bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28 I ayat 2) Hak atas identitas budaya (pasal 28 I ayat 3) Hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan (pasal 28) Hak atas kebebasan beragama (pasal 29) Hak pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1) Hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1) b. Kewajiban warga negara antara lain : Melaksanakan aturan hokum Menghargai hak orang lain. Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhankebutuhan masyarakatnya. Melakukan kontrol terhadap para pemimpin dalam melakukan tugastugasnya Melakukan komuniksai dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal dan pemerintah nasional.

Membayar pajak Menjadi saksi di pengadilan Bersedia untuk mengikuti wajib militer dan lainlain. c. Tanggung jawab warga negara Tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (right) dan kewajiban (duty) sebagai warga negara dan bersedia menanggung akibat atas pelaksanaannya tersebut. Bentuk tanggung jawab warga negara : Mewujudkan kepentingan umum Ikut terlibat dalam memecahkan masalahmasalah bangsa Mengembangkan kehidupan masyarakat ke depan (lingkungan kelembagaan) Memelihara dan memperbaiki demokrasi d. Peran warga Negara Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembagalembaga negara. Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, mela- kukan pembinaan kepada fakir miskin. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar. Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa. Menciptakan kerukunan umat beragama. Ikut serta memajukan pendidikan nasional. Merubah budaya negatif yang dapat menghambat kemajuan bangsa. Memelihara nilainilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll). Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. Menjaga keselamatan bangsa dari segala macam ancaman. SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA Sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan negara. Secara historis, epistemologis dan pedagogis, pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-

Bangsa (Somantri, 1969:7). Istilah Civics tersebut secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun 1946. Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan. Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298) Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97) Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept

development (Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97). Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut : (a) Kewarganegaraan (1956) (b) Civics (1959) (c) Kewarganegaraan (1962) (d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968) (e) Pendidikan Moral Pancasila (1975) (f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994) (g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)

Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Pembelaan negara bukan semata-mata tugas TNI, tetapi juga segenap warga negara yang sesuai kemampuan dan profesinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 27 ayat 3 UUD 1945, bahwa usaha bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara. Hal ini menunjukkan adanya asas demokrasi dalam pembelaan negara yang mencakup dua arti. Pertama, bahwa setiap warga negara turut serta dalam menentukkan kebijakan tentang pembelaan negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundangundangan yang berlaku. Kedua, bahwa setiap warga negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing. Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui: a. Pendidikan Kewarganegaraan b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib c. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela dan secara wajib d. Pengabdian sesuai profesi (UU No.3 tahun 2002) Usaha pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warganegara akan hak dan kewajibannya. Kesadaran bela negara perlu ditumbuhkan secara terus menerus antara lain melalui proses pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah dengan memberikan motivasi untuk mencintai tanah air dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Motivasi untuk membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga negara memahami kelebihan atau keunggulan dan kelemahan atau kekurangan bangsa dan negaranya.

Selain itu dalam bidang pengabdian masyarakat mahasiswa dan TNI saling bekerja sama, misalnya: - TNI masuk desa, membantu masyarakat terpencil dalam upaya mempercepat pembangunan. - Bersama TNI menanggulangi kerusakan akibat bencana alam. Selain itu salah satu bentuk keikutsertaan mahasiswa dalam upaya bela negara yaitu mampu mengikuti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Pendidikan Kewarganegaraan yang dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah maupun pendidikan di luar sekolah akan dihasilkan warga negara yang cinta tanah air, rela berkorban bagi negara dan bangsa, yakin akan kesaktian kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses menuju kepada kualitas manusia yang lebih baik, yakni manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dimasa depan yang dapat menjamin tetap tegaknya identitas dan integritas bangsa. Pendidikan kewarganegaraan bertujuan memupuk jiwa dan semangat patriotik, rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, dan sikap menghargai jasa para pahlawan. Melalui pendidikan kewarganegaraan, setiap warga negara mampu memahami, menganalisis, dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan sejarah nasional. Hal tersebut sesuai dengan misi dari pendidikan kewarganegaraan, yaitu membentuk warga negara yang baik. Tidak sulit untuk bela negara, contoh kecilnya adalah melestarikan budaya, belajar dengan rajin bagi para pelajar, taat akan hukum dan aturan-aturan negara. Kesadaran bela negara sangatlah penting karena ini adalah salah satu cara untuk memajukan Bangsa Indonesia, sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia. Beda pendududk bukan pendududk Rakyat suatu negara dapat dibedakan atas hal-hal berikut ini. a. penduduk,yaitu orang-orang yang berdomisili secara tetap dalam wilayah suatu negara untuk jangka waktu yang lama. penduduk dalam suatu negara ini dapat dibedakan lagi menjadi Warga Negara:yaitu orang-orang yang secara sah menurut hukum menjadi anggota suatu negara,dengan status kewarganegaraan warga negara asli atau warga negara keturunan asing;

dan bukan warga negara,yaitu mereka yang menurut hukum tidak diakui atau bukan menjadi warga suatu negara. status kewarganegaraan mereka adalah warga negara asing. DiIndonesia,penduduk yang memiliki status kewarganegaraan disebut sebagai Warga Negara Indonesia(WNI),Yaitu Orang- orang Indonesia,atau Warga Negara Asing(WNA),seperti orang asing yang bekerja dan menetap dinegara Indonesia. Keberadaan mereka harus dapat di buktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi yang telah berusia 17 tahum ke atas. B.Bukan penduduk,yaitu mereka yang berada dalam suatu negara tidak secara menetap atau tinggal di suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu. Warga Negara dari suatu negara tidak selalu menjadi penduduk negara itu.misal nya,seorang WNI yang bekerja di arab saudi tetap merupakan warga negara indonesia lagi. Misal nya,seorang belanda yang menetap di indonesia merupakan warga belanda. pengertian rakyat dapat diterang kan secara sosiologis dan secara hukum.secara sosiologis,rakyat adalah sekumpulan manusia yang di persatu kan oleh rasa persamaan. Menurut UU ini Berdasarkan Pasal 26 UUD 1945, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah : 1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI 2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI 3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya 4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut 5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI 6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI 7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin 8. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir

tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya. 9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui 10. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya 11. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan 12. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Sejarah Timbulnya Hak Asasi Manusia (HAM) <p>Your browser does not support iframes.</p> 1. Pengertian HAM Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Senada dengan pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia (HAM) yang dikemukakan oleh John Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak

yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan. Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Sejarah Singkat Timbulnya Hak Asasi Manusia (HAM)

Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban Eropa muncul, HAM telah populer di masa kejayaan Islam. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja, seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat oleh peraturan yang mereka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta pada tahun 1215, raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan memepertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlelen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan undang-undang, Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan penguasa kepada hukum dan pertanggungjawaban kekuasaan mereka kepada rakyat. Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris, pada masa itu pula muncul istilah equality before the law, kesetaraan manusia di muka hokum. Pandangan ini mendorong timbulnya wacana negara hukum dan negara demokrasi pada kurun waktu selanjutnya. Menurut Bill of Right, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus diwujudkan betapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan selanjutnya Amerika: kontrak sosial (J.J. Rousseau), trias politica (Montesquieu), Teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas Jefferson).

Pada 1789, lahir Deklarasi Perancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip presumption of innocent adalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Perinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia (the four freedoms) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak itu adalah: hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak bebas dari kemiskinan; dan hak bebas dari rasa takut. Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadelphia 1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apa pun ras, kepercayaan, dan jenis kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) pada tahun 1948. Menurut Universal Declaration of Human Right, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu:

Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); Hak sipil dan politik; Hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); dan Hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Perlindungan HAM bukan sekedar state obligation tapi bagian dari mencapai tujuan negara Hak Asasi Manusia by cekli Oleh Cekli Setya Pratiwi (Dosen MK Hukum dan HAM FH-UMM) Salah satu ciri dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh negara kepada warga negara. Makna jaminan perlindungan di sini adalah bahwa negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to fulfill), memastikan (to ensure) HAM. Pertama, mempromosikan artinya bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan pentingnya perlindungan HAM serta berbagai peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HAM semakin meningkat. Kedua, melindungi artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap warga negara tanpa didasarkan atas diskriminasi agama, ras, suku, etnik, dsb. Negara tidak hanya memiliki kewajiban untuk proaktif memberikan perlindungan HAM setiap warga negaranya, namun juga negara tidak dobenarkan melakukan pembiaraan (act by ommission) terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat. Ketiga, menjamin perlindungan HAM artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah. Keempat, memenuhi artinya terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dan menimbulkan korban, negara memiliki kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban dengan segera dan proporsional dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi tertentu. Kelima, memastikan artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan. Tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah mencakup tiga hal, yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.[1]

Pertama, sejak negara Indonesia menyatakan kemerdekaannya, negara Indonesia bertekad akan melindungi negara tanah air dan seluruh warga negara Indonesia baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Artinya bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak setiap warga negara Indonesia dari segala bentuk tindakan yang melanggar hak warga negara tersebut. Dalam mewujudkan upaya demikian tentunya sangat wajar jika dalam konstitusi negara Indonesia terdapat pasal-pasal yang menjamin hak-hak warga negara Indonesia. Meskipun jika dibandingkan dalam sejarah perjalanan Indonesia pernah diberlakukan 3 (tiga) jenis konstitusi yaitu UUD 1945, RIS 1949, dan UUD 1950, dimana banyak para pakar yang menilai bahwa UUDS 1950 adalah satu-satunya UUD yang pengaturan HAM-nya paling lengkap bahkan dibandingkan UUD 1945. Namun, setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, maka UUD NRI Tahun 1945 (baca: UUD 1945 setelah amandemen) terdapat banyak kemanjuan dimana pengaturan dan jaminan HAM sangat lengkap dan jelas, baik yang menyangkut hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya.[2] Hal ini berarti negara sungguh-sungguh berkehendak untuk mewujudkan tujuan yang pertama yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Sebagai negara yang meratifikasi CCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, maka berdasarkan Pasal 2 (1) CCPR, disebutkan bahwa: Each State Party undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the Covenant, without discrimination of any kind. Artinya, negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik warga negaranya sebagaimana hak-hak yang diakui dalam CCPR tanpa diskriminasi.[3] Kedua, negara Indonesia berkehendak Mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika dikaitkan dengan usaha untuk mencapai tujuan negara yang pertama sebagaimana tersebut di atas, yaitu menjamin adanya perlindungan hak setiap warga negara, maka dalam usaha memberikan jaminan perlindungan tersebut akan sulit diwujudkan jika kondisi masyarakat masih dibawah garis kemiskinan atau pendidikan masyarakat masih rendah. Sebagaimana prinsip-prinsip HAM dalam Islam tentang perlindungan hak akal dan pikiran, maka hak kebebasan berpendapat dan hak atas pendidikan merupakan hak yang juga dijamin pemenuhannya dalam HAM. Ketiga, usaha-usaha untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mensejahterakan serta mencerdakan bangsa, tentunya tidak dapat dilakukan sendiri melainkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia perlu menjalin hubungan serta bekerjasama dnegan negara lain. Olehkarena negara Indonesia turut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia untuk kepentingan bersama baik dalam bentuk ikut serta sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyepakati berbagai konvensi Internasional. Jika ditinjau dari upaya bangsa Indonesia dalam memberikan jaminan perlindungan HAM dalam berbagai peraturan PerUUan dapat dikatakan mengalami berbagai kemajuan. Pertama, di dalam konstitusi, pasal-pasal yang mengatur tentang HAM

telah mengalami amandemen dan pada amandemen keempat pengaturan HAM dalam konstitusi semakin lengkap dan jelas (tidak menimbulkan banyak multitafsir). Indonesia juga telah memiliki produk hukum yang mengatur dan melindungi HAM. Misalnya pada tahun 1999 Indonesia juga telah memiliki UU khusus mengenai HAM yaitu UU Nomor 39 tahun 1999. Pada tahun 2005, Indonesia sekaligus meratifikasi kovenan Internasional penting tentang HAM yaitu The International Covenant on Civil and Political Rights melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 dan The International Covenant on Economical, Social and Cultural Rights melalui UU Nomor 11 Tahun 2005. Selian itu, berbagai kovensi Internasional di bidang HAM juga telah diratifikasi oleh Indonesia diantaranya adalah The International Convention on Elimination of All Discrimination Againts Women/ CEDAW telah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, The The International Convention on the Rights of the Child/CRC diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, The International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, Degrading Treatment or Punishment/CAT diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1998, The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD diratifikasi melalui UU No. 29 of 1999. Selain itu terdapat berbagai UU yang juga dinilai memberikan jaminan perlindungan HAM yaitu: UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Berekspresi di Muka Umum, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pertanyaannya, cukupkan berbagai Peraturan PerUUan tersebut menjadi bukti bahwa HAM dijamin perlindungannya di Indonesia? Pertama, Indonesia masih dinilai belum sepenuhnya memahami makna ratifikasi secara benar. Ratifikasi seharusnya dimaknai sebagai suatu tindakan secara sadar untuk mengesahkan dan menerima sebuah norma hukum yang bersifat internasional untuk kemudian diadobsi kedalam hukum nasional. Konsekuensi yuridis dalam ratifikasi adalah pertama menjadikan isi perjanjian internasional sebagai hukum positif. Dalam hal ini, berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia sebagaimana tersebut di atas harus diterima sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Artinya, isi perjanjian Internasional tersebut mengikat tidak hanya kepada seluruh warga negara Indonesia namun juga seluruh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), pejabat negara serta aparatur pemerintahan. Namun ralitas di lapangan, berbagai konvensi HAM yang telah diratifikasi dan menjadi hukum positif di Indonesia jarang sekali atau hampir tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan bagi aparat penegak hukum (hakim, jaksa, pengacara) [4] dan pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. [5] Kedua, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelaraskan seluruh peraturan PerUUan yang telah ada dengan isi perjanjian internasional. Artinya, jika setelah ratifikasi masih terdapat berbagai peraturan PerUUan baik ditingkat pusat maupun daerah yang bertentangan dengan isi dari perjanjian internasional tersebut, maka

pembuat UU/ peraturan wajib segera menyesuaikan dengan berbagai macam mekanisme diantaranya mencabut atau menyatakan tidak berlaku ketentuan yang lama dengan lahirnya ketentuan yang baru, atau menguji secara materiil UU melalui Mahkamah Konstitusi untuk ditinjau kembali.[6] Ketiga, segera membuat peraturan PerUUan yang diperlukan guna menyesuaikan dengan isi dari perjanjian Internasional. Dalam hal peraturan PerUUan yang diperlukan belum ada, maka negara Indonesia wajib segera membuat UU yang dimaksud untuk menghindari kekosongan hukum. Saat ini tentunya masih merupakan tantangan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia untuk dapat membuktikan bahwa berbagai UU tersebut telah efektif dijalankan mengingat berbagai UU tersebut sebagian besar baru saja terbentuk, sehingga masih diperlukan kerja keras untuk mensosialisakan dan mengimpelemtasikan isinya. Jika ditinjau dari aspek isi, maka sekalipun berbagai PerUUan di atas memberikan berbagai jaminan perlindungan di bidang HAM, namun jika peraturan pelaksana yang dikehendaki oleh UU tersebut belum segera terbentuk, maka akan menjadi aspek penghalang tersendiri dalam implementasinya. Oleh karena itu jika negara gagal menjamin perlindungan HAM warga negara maka negara tidak saja gagal memenuhi kewajibannya state obligation sebagai bagian dari negara beradab civilized nation namun lebih dari itu, negara juga telah gagal mencapai tujuan negara dari didirikannya negara tersebut.

[1] Lihat Pembukaan UUD 1945 Alenia 4 [2] Pasal 28 yang semula terdapat 2 ayat setelah Amandemen yang keempat ditambah menjadi 28 Huruf A sampai J yang masing-masing huruf terdiri dari beberapa ayat. [3] Manfred Nowak, The International Covenant On Civil and Political Rights, Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction to the International Protection of Human Rights, A Textbook, second revised edition, Institute for Human Rights, Abo Akademi University, 2004. [4] Lihat berbagai pertimbang hukum yang dibuat oleh Hakim dalam setiap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa, tidak pernah menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang HAM. Hanya Mahkamah Konstitusi yang menurut hemat Penulis yang memiliki keberanian untuk merujuk berbagai Konvensi HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. [5] Lahirnya berbagai produk peraturan di tingkat pusat dan daerah yang kontroversial menunjukan bahwa pembuat kebijakan dan pembentuk UU belum mengindahkan berbagai ketentuan di bidang HAM. Tidak jarang produk tersebut

digugat oleh warga negara dengan mengajukan permohonan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi, Lihat UU Anti Pornografi, UU tentang Pencegahan Penodaan Agama, dsb. [6] Ibid. Lembaga-Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia Di Indonesia Pelaksanaan upaya pelindungan HAM dilakukan oleh lembaga milik pemerintah dan lembaga milik swasta lain yang berwenang, antara lain : 1. Kepolisian Tugas kepolisian adalah melakukan pengamanan dan penyelidikan terhadap setiap berkas perkara pelanggaran HAM yang masuk. 2. Kejaksaan Tugas utama jaksa adalah melakukan penuntutan suatu perkara pelanggara HAM yang telah dilaporkan. Kejaksaan diatur dalam UUD No. 16 Tahun 2004. 3. Komnas HAM Tujuan Komnas HAM adala memberikan perlindungan sekaligus penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 4. Pengadilan HAM di Indonesia Pengadilan HAM khusus diprntukan dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejaksaan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Proses pemeriksaan perkara dalam Pengadilan HAM tidak jauh berbeda dengan prosedur-prosedur pemeriksaan di Pengadilan sipil. 5. Lembaga Bantuan Hukum LBH bersifat membela kepentingan masyarakat tanpa memandang latar belakang suku, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, harta kekayaan, agama dan kelompok. 6. YLBHI ( Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) YLBHI sebagai upaya pnegakan dan perlindungan HAM pada masyarakat menengah kebawah. 7. Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Menangani masalah-masalah pengabdian kepada masyarakat, perselisihan warisan, uang ganti pembebasan tanah. 8. Komnas Anak

seperti

Tugas utama menyelenggarakan perlindungan trhadap hak-hak anak.

1. 1.

Komnas HAM

Komisi nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang KOMNAS HAM (bab VIII, pasal 75 s/d 99) maka komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999. Tujuan Komnas HAM: 1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi Pengkajian Penelitian Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain: 1. Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi. 2. Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. 3. Fungsi Penyuluhan Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, komnas HAM berwenang: 1. Menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya. 3. Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia. 4. Fungsi Pemantauan Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain: 1. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut. 2. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia. 3. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya. 4. Pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan. 5. Peninjauan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu. 6. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan. 7. Pemeriksaan setempat terhadap rumah pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan. 8. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas Ham tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. 9. Fungsi Mediasi Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan: 1. Perdamaian kedua belah pihak 2. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli 3. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. 4. Penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. 5. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti.

Bagi setiap orang satu kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengadilan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.[1] 1. 2. Pengadilan HAM

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Caranya yang dilakukan dalam kejahatan genosida, misalnya: membunuh, tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental, menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya: 1. Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan 2. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa 3. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional. 4. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain secara setara. 5. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari kesamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. 6. Penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang). 7. Kejahatan apharteid (Penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat. 1. 3. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggungjawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat. Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi perlindungan anak Indonesia bertugas: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak 2. Mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak 3. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. 4. 4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan komisi nasional ini adalah upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini bersifat independen dan bertujuan: 1. Menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan 2. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan.. 3. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.

Dalam rangka mewujudkan tujuan diatas, Komisi Nasional ini mempunyai kegiatan sebagai berikut: 1. Penyebar luasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan,. Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. 2. Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap perempuan. 3. Pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada pemerintah 4. Pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.[2] 5. 5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadaan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk: 1. Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran Ham berat di luar pengadilan HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan. 2. Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk menyelesaikan di luar pengadilan HAM. Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan, sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan dalam masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat diwujudkan, mala dapat mewujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang berkepanjangan antara sesama anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala bidang. 1. 6. LSM Pro-Demokrasi dan HAM

Disamping lembaga penegak hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Govermental Organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering disebut sebagai LSM Pro-Demokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Kontras (komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum

dan Hak Asasi Indonesia). LSM yang menangani berbagai aspek HAM sesuai dengan minat dan kemampuannya sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya Komnas HAM. Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakan HAM, LSM tampak merupakan mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Di berbagai daerah pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat dan aspek HAM dan Demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain. Misalnya di Yogyakarta terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM di daerah Yogyakarta ada yang merupakan cabang dari LSM Pusat (Nasional) juga ada yang berdiri sendiri.[3]

Anda mungkin juga menyukai