Anda di halaman 1dari 2

NU Online

Negara Islam, Adakah Konsepnya?


Kamis, 20/03/2014 11:01
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai
seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang
ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran
tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada.
Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari'ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah
penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan
Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak
memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal
pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar -tiga hari
setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana
kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang
menggantikan Rasulullah Saw melalui bai`at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan
dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan
kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah
ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil
Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu`luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (
electoral college - ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih
menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala
pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah
mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian,
sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah
Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para Islam politik dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu
saja sebagai sebuah formula Islami.
***
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah
tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium
dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam
berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah
negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang
berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara
dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon
Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti
membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut
di Iran, antara para pemimpin moderat seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini.
Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama Islam itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham
tentang jenis Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, Haruskah Islam Syi`ah atau sesuatu yang lebih universal?
NU Online
Kalau harus mengikuti paham Syi`ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka?
Bukankah syi`isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?
***
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum
muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya
belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut,
adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut
agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan
diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan menghukum kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir
muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia
sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus
bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta:
The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 18-April 2002.

Anda mungkin juga menyukai