Anda di halaman 1dari 2

Seorang wartawan menjuluki mereka yang suka menyebarkan informasi yang tidak jel as sumbernya sebagai the clicking

monkeys, tapi celakanya para wartawan sering m enjadi kumpulan monyet semacam itu. Mereka menulis apa saja yang dipungut dari s umber apa saja dan tidak jelas. Sebagian menulis tanpa malu dengan tak mencantum kan asal-usul sumbernya. oleh Rusdi Mathari THE HOAX adalah nama sebuah judul film drama yang dibuat 2005. Film itu berkisah tentang kisah hidup Clifford Michael Irving, reporter investigasi yang cukup te rkenal di Amerika Serikat. Dia juga menulis beberapa buku. Antara lain biografi Howard Hughes, salah satu orang kaya di Amerika. Buku itulah yang kemudian diangkat ke layar lebar meski belakangan diketahui, ba nyak yang ditulis oleh Irving di bukunya dihilangkan atau diubah dan tidak muncu l di The Hoax . Irving kesal dan menganggap film itu penuh kebohongan. Dia kemudian meminta agar namanya tidak dimunculkan di kredit film. The Hoax sejak itu menjadi terkenal. Bukan karena menarik untuk ditonton melainkan karena menjadi istilah baru untuk menyebut suatu kebohongan. Sejak semalam media di Indonesia ramai memberitakan kabar tentang PM Singapura L ee Hsien Loong yang memutuskan untuk tidak berteman dengan Presiden SBY di Faceb ook. Lee dikabarkan juga menghilangkan tag foto SBY di album foto di Facebook-ny a. Berita yang dikutip dari newnation.sg, media Singapura itu, mulanya hanya dik utip oleh satu media lalu seperti biasanya, media di sini beramai-ramai mengekor karena takut dianggap ketinggalan isu. Sayangnya, berita itu adalah berita yang tak jelas kebenarannya. Tak ada verifik asi dari wartawan yang mengutip: apakah akun Lee di Facebook adalah benar milikn ya, begitu juga dengan akun SBY. Kompas.com yang juga menyebarkan berita itu, pa gi ini meralatnya dan menyebut akun SBY di Facebook yang dimaksud adalah halaman para pendukung[fanpage]. Artinya bukan akun pribadi SBY. Berita semacam itu akan tetapi telanjur direspons publik kelas menengah ngehek d i media sosial dengan berbagai reaksi di tengah [konon] memanasnya isu hubungan Singapura-Indonesia. Mereka yang mendaku melek informasi dan teknologi itu, rupa nya lebih suka membaca judul berita dan tak merasa perlu untuk bercapek-capek me ngecek kebenarannya; lalu menyebarkannya di media sosial agar dianggap paling aw al tahu tentang sebuah informasi. Beberapa hari sebelum isu soal Lee, SBY dan Facebook-nya itu, juga muncul berita berjudul USA Takut Gempur NKRI. Ini Alasannya di theglobal-review.com. Tulisan it u memuat pernyataan tiga jenderal di sebuah acara dialog yang kabarnya disiarkan oleh TV ABC 13 Texas tentang kekuatan militer Indonesia. Tulisan dari theglobal -review.com kemudian diunggah ke Facebook dan Twitter dengan berbagai komentar. Saya ikut membacanya, tapi tidak percaya dengan isi tulisan karena beberapa alas an jurnalistik. Pertama, karena sejak awal tulisan tidak disebutkan kapan peristiwa dialog di TV ABC 13 Texas berlangsung. Kedua, theglobal-review.com tidak mencantumkan sumber tulisannya. Ketiga, saya sudah berusaha mencari tahu dengan mengakses situs TV ABC 13 Texas, tapi belum menemukan acara yang dimaksud oleh tulisan itu. Saya ingat, sebelum muncul di theglobal-review.com, saya pernah membaca tulisan itu di salah satu akun Facebook seorang teman. Teman itu meneruskan tulisan yang muncul di halaman pendukung Power of Islamosphere, dan saya kira wartawan thegl obal-review.com memungut apa adanya [copy paste] dari sana dan tanpa malu tidak mencantumkan sumber aslinya. Mereka tampaknya bukan saja malas tapi juga tak ber etika. Desember 2011, pernah juga muncul berita tentang ulama yang melarang perempuan m akan pisang karena katanya dikuatirkan akan membuat mereka terangsang secara sek sual. Berita yang kali pertama dimuat oleh Bikya Masr, sebuah media online dari Mesir itu dilahap oleh Tempo.co yang dicomot dari Daily Mirror, koran gosip dari London; dan berdasarkan berita yang ditulis oleh Tempo.co itu, pengguna media s

osial kemudian menjadikannya bahan olok-olok. Saya tidak tertarik dengan berita itu, hingga Made Tony Supriatma men-tag saya d i Facebook tentang kebohongan berita perempuan dilarang memakan pisang itu. Dia awalnya hanya mendengar dari radio di Amerika yang mengundang Rush Limbaugh, kon servatif republikan dalam sebuah talkshow. Di acara itulah, Limbaugh mengoceh te ntang seorang ulama yang melarang kaum perempuan menyentuh buah pisang sembari d engan girang membuat ejekan-ejekan. Sambil mengesankan berita itu benar, Limbaugh menyebutkan sumber beritanya beras al dari Bikya Masr. Berita itu lalu disiarkan oleh FoxNews, jaringan TV berita t erbesar di Amerika yang dimiliki oleh konglomerat media Rupert Murdoch, yang dik enal konservatif dan sangat bias. Made mencoba mencari tahu kebenaran berita itu, dan dia sampai pada kesimpulan: sumber berita tentang pisang itu tidak jelas sama sekali. Celakanya, berita itu telanjur disebarkanluaskan-ulang oleh media-media konservatif [menurut Made mema ng sangat anti terhadap Islam] untuk memajukan agenda anti-Islam mereka, kendati Bikya Masr belakangan mengakui keteledoran mereka. Di Facebook, Made yang tinggal di Amerika mengkritik dan menyayangkan media seke las Tempo tidak melakukan kontrol jurnalistik yang ketat dan lebih tertarik pada gosip. berita ini adalah slander terhadap Islam dan umat Islam. Untuk saya, pers oalannya menjadi mendesak karena media Indonesia sendiri memuatnya. Sangat tidak sehat untuk jurnalisme dan untuk hubungan sosial di Indonesia. Begitulah kata Ma de dan tidak lupa dia menyertakan tautan tulisan di addictinginfo.org yang memba ntah kebohongan berita yang disebarkan oleh FoxNews. November tahun lalu menyusul isu Jilbab Hitam yang antara lain mempersoalkan kelak uan wartawan Tempo, Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co menulis artikel m enarik berjudul The Clicking Monkeys. Menurut Daru: the clicking monkeys adalah ju lukan untuk orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk me nyebarluaskan hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media s osial. Mereka seperti kumpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Agar tidak ketahuan lugu, biasanya mereka menambahkan kata seperti: Apa iya benar info ini? atau Saya hanya retweet lhoo. Saya sepakat dengan Daru, tapi di sini, mereka yang disebut sebagai the clicking monkeys celakanya justru banyak berasal dari kalangan wartawan. Mereka itulah w artawan pemalas, yang atas nama roda industri pemberitaan dan kebebasan pers, me mungut informasi apa saja tanpa perlu mengukurnya dengan standar dan etika jurna listik lalu mengemasnya menjadi berita dan menyebarkannya tanpa malu. Maka tidak perlu heran, bila orang seperti Benedict Anderson, profesor di Univer sitas Cornell yang menulis banyak buku tentang Indonesia pun, mengaku frustasi m embaca media-media terbitan Indonesia; dan keprihatinannya itu tentulah bukan ho ax.

Anda mungkin juga menyukai