Anda di halaman 1dari 9

Diagnosis PPOK PPOK secara klinis dapat diagnosis terhadap pasien dengan gejala dyspnea, batuk kronis dengan

dahak serta terpajan terhadap beberapa faktor risiko seperti pada tabel di bawah.1 Tabel 1.Faktor Utama Indikasi Klinis PPOK Usia Sesak napas Lebih dari 40 tahun Dengan tanda: progresif (memburuk) Semakin parah dengan exercise Menetap Dapat bersifat intermiten dan juga bisa tidak berdahak Bervariasi dan adanya sputum dapat mengindikasikan PPOK Merokok tembakau Asap dari hasil bahan bakar rumah tangga dan asap kendaraan bermotor Debu lingkungan kerja dan zat-zat kimia dengan

Batuk kronik Produksi sputum batuk kronis Pajanan terhadap faktor risiko

Terdapat PPOK

riwayat

keluarga

Dalam diagnosisnya, dibutuhkan pemeriksaan menggunakan spirometri setelah pemberian bronkodilator, dan jika hasil VEP1/KV < 0,7 maka menunjukkan adanya hambatan persisten aliran udara sehingga mengarah pada PPOK. Sebelumnya, diagnosis juga memerlukan pengukuran menggunakan spirometri sebelum dan kemudian setelah pemberian

bronkodilator, namun saat ini sudah tidak direkomendasikan. Cara tersebut digunakan untuk mengetahui derajat reversibilitas setelah pemberian bronkodilator, namun ternyata tidak pernah diperhitungkan untuk diagnosis, diagnosis banding seperti asma ataupun prediksi terapi jangka panjang menggunakan bronkodilator ataupun kortikosteroid.1 Diagnosis dini PPOK terhadap populasi umum kini juga tidak dianjurkan, karena penemuan dini pada pasien yang belum memiliki gejala tidak memberikan penatalaksanaan yang jauh berbeda dan outcome setelah penatalaksanaan juga tidak jauh berbeda. Oleh karena itu dalam rekomendasi Global Initiative for Chroninc Obstructive Lung Disease (GOLD) lebih merekomendasikan pencarian kasus secara aktif dan tidak melakukan skrining.1 Penggunaan spirometri sebagai alat diagnostik PPOK lebih sering ditemukan pada pasien lansia dibandingkan pada dewasa muda ataupun yang berusia <45 tahun. Pasien dewasa muda cenderung memiliki gejala klinis yang ringan, dan penetapan batas bawahnya lebih sering diambil 5% nilai terbawah dari populasi normal, untuk dikategorikan sebagai abnormal. Nilai batas bawah tersebut tergantung pada nilai VEP1 namun belum diteliti lebih lanjut makna klinisnya pada pasien dengan rokok bukan sebagai faktor risiko utama. Pada

akhirnya spirometri adalah salah satu indikator untuk menegakkan diagnosis klinis PPOK selain gejala dan faktor risiko pada pasien.1

Gejala PPOK Temuan yang paling sering terhadap kecurigaan PPOK adalah batuk kronis, progresif dan produksi sputum yang bervariasi tiap harinya. Namun pada kasus dengan penyempitan saluran napas yang signifikan, batuk kronis dan produksi sputum sering tidak ditemukan. Batuk kronis adalah gejala awal yang muncul pada pasien PPOK, terutama akibat konsumsi rokok dan pajanan kronis di lingkungannya. Awalnya batuk akan bersifat intermiten, dan kemudian berubah menjadi terus-menerus tiap harinya. Penyempitan yang signifikan pada aslauran napas dapat tidak disertai keluhan batuk. Batuk kronis bukanlah satu satunya gejala yang mengindikasikan PPOK, kondisi lain yang menyebabkan batuk kronis disebutkan dalam tabel 2. Sedangkan untuk sputum yang diproduksi pasien PPOK biasanya berjumlah sedikit setelah batuk yang keras. Batuk dengan sputum biasanya menetap selama 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun (tanpa penyakit lain). Evaluasi sputum sulit dilakukan karena pasien sering menelan sputum dibandingkan mengeluarkannya. Sputum yang banyak terkadang mengindikasikan adanya bronkiektasis pada pasien. Sputum purulen menunjukkan adanya peningkatan reaksi inflamasi dan bisa sebagai akibat dari eksaserbasi diikuti infeksi bakteri. Gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan eksaserbasi adalah dyspnea (gejala kardinal) dengan kesulitan bernapas (memerlukan usaha berlebih), gasping, dan lapar udara.1 Tabel 2. Penyebab Batuk Kronis1 Intratorakal PPOK Asma Kanker paru Tuberkulosis Bronkiektasis Gagal jantung kiri Interstitial lung disease Fibrosis kistik Batuk idiopatik Ekstratorakal Rinitis alergi kronis Upper airway cough syndrome (UACS) Gastroesophageal reflux Pengobatan (akibat ACE-i)

Mengi dan rasa sesak dada adalah gejala nonspesifik yang dapat bervariasi tiap harinya. Suara mengi bisa didengarkan pada daerah laring tanpa auskultasi, baik saat inspirasi maupun ekspirasi. Sedangkan rasa sesak dada diakibatkan oleh kontraksi otot, terutama kontraksi isometrik dari otot interkostal. Rasa sesak dada akan diikuti usaha napas berlebih, dan tidak dapat dilokalisasi.1

Temuan lain pada kondisi yang sudah berat adalah kelelahan, penurunan berat badan, anoreksia. Tanda-tanda ini juga bisa menunjukkan kemungkinan adanya penyakit lain seperti TB paru maupun kondisi keganasan. Dalam kondisi ekstrem juga dapat terjadi sinkope setelah batuk yang lama dikarenakan terjadi peningkatan intratorakal yang cepat. Pada pasien dengan korpulmonal juga dapat ditemui edema pada tungkai. Pasien biasanya juga akan terlihat gelisah dan depresi akibat kondisi klinis berisiko eksaserbasi dan kondisi umum buruk.1 Riwayat Medis1 Pada pasien dengan PPOK, juga perlu diketahui riwayat medusnya, sebagai berikut: Pajanan terhadap faktor risiko seperti asap rokok, dan pajanan lingkungan dan tempat tinggal lainnya, Riwayat penyakit dulu termasuk asma, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran napas saat kanak-kanak ataupun penyakit respirasi lainnya, Riwayat penyakit keluarga khususnya PPOK, Pola perkembangan penyakit: pada pasien PPOK biasanya muncul pada usia dewasa dan secara sadar membutuhkan usaha lebih untuk bernapas dan akan berlangsung bertahun-tahun sebelum akhirnya berobat, Riwayat eksaserbasi ataupun riwayat dirawat di rumah sakit akibat penyakit respirasinya, Komorbiditas yang ada pada pasien seperti penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal dan keganasan yang berakibat pada restriksi aktivitas fisik, Dampaknya bagi kehidupan pasien termasuk batasan aktivitas, dampak sosial ekonomi, kegiatan di rumah bersama keluarga, rasa cemas dan depresi, Dukungan keluarga dan lingkungan sosial terhadap pasien, Kemungkinan mengurangi pajanan terhadap faktor risiko seperti berhenti merokok.

Pemeriksaan fisik pada pasien PPOK sering tidak spesifik dan sensitif terutama yang menunjukkan batasan aliran udara. Namun dalam pemeriksaan fisik tersebut dapat ditemukan tanda klinis sebagai berikut:2 Inspeksi

Pursed lips breathing (mulut setengah terkatup atau mencucu serta ekspirasi memanjang, sebagai mekanisme tubuh mengeluarkan retensi CO2 akibat dari gagal napas kronik)

Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding) Adanya tambahan kerja otot bantu napas Otot bantu napas hipertrofi Pelebaran sela iga Terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai apabila terjadi gagal jantung kanan

Penampilan pink puffer (gambaran khas emfisema, pasien terlihat kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing) dan blue bloater (khas bronkitis kronis terdapat edema tungkai, pasien gemuk dan sianosis sentral dan perifer, ronki basah di asal paru)

Palpasi Sela iga teraba melebar dan dapat ditemukan fremitus yang melemah pada emfisema. Perkusi Terdengar hipersionor pada emfisema dan batas jantung mengecil, serta letak diafragma yang lebih rendah serta hepar terdorong ke bawah.

Auskultasi Napas terdengar vesikular dan melemah Ronki dan atau mengi saat bernapas biasa ataupun ketika ekspirasi paksa Ekspirasi memanjang Bunyi jantung terdengar jauh.

Spirometri Spirometri adalah alat ukur objektif yang dapat mengukur puncak aliran udara ekspirasi. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan berbagai pertimbangan seperti pada Tabel 3. Dalam pemeriksaan spirometri mengandung nilai kapasitas vital paru paksa (KV), yaitu total udara yang dapat diekspirasi secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan jumlah udara yang dikeluarkan sal prosedur ini pada detik pertama, disebut sebagai volume ekspirasi paksa (VEP1), serta rasio dari kedua variabel tersebut VEP1/KV. Dari rasio tersebut, ditentukan cutoff 0,7. Penggunaan nilai batas normal dalam pengukuran ini harus memperhatikan jenis kelamin, ras, tinggi badan dan usia.1

Tabel 3. Pertimbangan yang harus Diperhatikan pada Spirometri Persiapan Harus dikalibrasi secara berkala Dapat mencetak hasil pemeriksaan ataupun display digital dari prosedur yang dilakukan sehingga diketahui ada tidaknya kesalahan prosedur Pemeriksa berlatih untuk mengetahui performa efektif dari spirometri yang bersangkutan Usaha maksimal dari pasien dibutuhkan untuk menghindari nilai yang terlalu rendah ataupun error Bronkodilatasi Dosis protokol yang diberikan adalah 400mcg 2 agonis, 160 mcg antikolinergik ataupun keduanya dikombinasi. VEP1 harus diperiksa 10-15 menit setelah konsumsi 2 agonis jangka pendek ataupun 30-45 menit setelah antikolinergik jangka pendek ataupun kombinasi. Performa Pelaksanaan spirometri harus sesuai standar Grafik volume udara ekspirasi terhadap waktu tidak boleh ireguler Rekaman yang dilakukan harus cukup lama sampai volume puncak dicapai, yang pada penyakit yang sudah parah dapat berlangsung sampai 15 detik Baik VEP1 dan KV adalah nilai terbesar yang diperoleh dari 3 kali percobaan, dan tidak boleh bervariasi 5% atau 150 ml untuk volumenya. Rasio VEP1/KV harus diambil dari nilai rata-rata terbesar dari asing-masing komponen Evaluasi Pengukuran spirometri dievaluasi dengan perbandingan terhadap usia, jenis kelamin, ras dan tinggi badan Adanya hasil VEP1/KV <0,7 setelah pemberian bronkodilator menunjukkan adanya limitasi aliran udara. Berdasarkan batasan aliran udaranya, PPOK dibagi menjadi beberapa klasifikasi, sesuai dengan tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Derajat Keparahan pada PPOK GOLD 1 GOLD 2 GOLD 3 GOLD 4 Diagnosis Banding PPOK Pada pasien dengan asma kronik sulit dibedakan dengan PPOK baik menggunakan pemeriksaan penunjang radiografi maupun pemeriksaan lain. Banyak ahli berpendapat bahwa asma kronik dan PPOK tersebut ditemukan bersamaan secara klinis. Sedangkan diagnosis banding lainnya, sering kali lebih mudah dibedakan dengan PPOK, seperti yang dijelaskan secara ringkas dalam tabel 5. Pasien dengan VEP1/KV < 0,70 Mild VEP1 > 80% nilai prediksi Moderate 50% < VEP1 < 80% nilai prediksi Severe 30% < VEP1 < 50% nilai prediksi Very severe VEP1 < 30% nilai prediksi

Tabel 5. PPOK dan Diagnosis Banding Diagnosis PPOK Tanda klinis Onset usia pertengahan Gejala klinis progresif secara lambat Riwayat merokok tembakau ataupun terpajan jenis asap hasil pembakaran zat lainnya Asma Onset di usia muda (sering pada anak-anak) Gejala bervariasi dari hari ke hari Gejala memberat ketika malam ataupun pagi hari Alergi, rinitis, ataupun ekzema juga ditemukan Riwayat keluarga asma Gagal jantung Rontgen toraks menunjukkan jantung dilatasi dan edema kongestif pulmonal Tes fungsi paru menunjukkan restriksi volume namun tidak ada restriksi aliran udara Bronkiektasis Banyak volume sputum purulen Sering dikaitkan dengan sputum purulen Foto toraks menunjukkan dilatasi bronkial dan penebalan dindingnya Tuberkulosis Onset pada semua usia Foto toraks menunjukkan infiltrat paru Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan sputum (BTA) Terdapat prevalensi tinggi di lingkungan sekitar Bronkiolitis obliteratif Onset di usia muda dan bukan perokok Dapat memiliki riwayat rheumatoid arhtitis ataupun pajanan akut asap Diketahui setelah transplantasi paru ataupun sumsum tulang CT saat ekspirasi menunjukkan area hipodens Parabronkiolitis difus Terutama terlihat pada pasien ras Asia Sebagian besar pasien laki-laki bukan perokok Hampir semua pasien menderita rinosinusitis kronik Rantgen dada dan HRCT menunjukkan nodul sentrilobular berukuran kecil dan difusi, opak dan hiperinflasi Beberapa penyakit lain yang dapat dijadikan diagnosis banding dengan PPOK adalah:2 Sindroma obstruksi pascatuberkulosis (SOPT) yaitu suatu obstruksi saluran napas ditemukan pada pasien setelah infeksi tuberkulosis dan lesi parunya minimal. Penumotoraks yang menunjukkan adanya dada mengembang dan cembung di sisi yang mengalami kelainan, perkusi hipersonor serta auskultasi saluran napas melemah, Destroyed lung.

Komplikasi PPOK

Komplikasi PPOK yang tidak sepenuhnya reversibel yang dapat ditemukan adalah:2 Gagal napas Gagal napas kronik Pada keadaan ini didapatkan hasil analisis gas darah, PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dengan pH normal, penatalaksanaannya adalah: Menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2 Pemberian bronkodilator yang adekuat Terapi oksigen baik saat aktivitas dan tidur secara adekuat Pemberian antioksidan Latihan pernapasan pursed-lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, dengan pertanda sesak napas dengan atau tanpa sianosis; sputum yang semakin banyak dan semakin purulen; terdapat demam; dan kesadaran menurun

Infeksi berulang Infeksi berulang dapat terjadi karena produksi sputum berlebih yang menunjang koloni kuman untuk tumbuh, selain itu pada pasien PPOK imunitasnya juga rendah dan kadar limfosit turun, sehingga infeksi menjadi lebih mudah terjadi.2

Kor pulmonal Pada pemeriksaan EKG akan tampak P pulmonal menunjukkan adanya pembesaran atrium kanan karena peningkatan tekanan yang berasal dari paru. Pada pemeriksaan hematokrit dapat ditemukan kadar >50%.2

Adanya PPOK pada suatu individu akan meningkatkan rentannya seseorang mengidap penyakit lainnya, bisa diakibatkan karena kesamaan faktor risiko seperti merokok, ataupun adanya kerentanan gen yang sama pada pasien tersebut.1 Tata laksana dokter umum terhadap kasus PPOK2 PPOK (penyakit paru konstruktif kronis) merupakan daftar penyakit paru dengan tingkat kompetensi 3B untuk dokter umum, yang berarti harus diketahui diagnosis, tata laksana awal, dan merujuk pasien tersebut. Rujukan yang dilakukan pada pasien PPOK tersebut sesuai dengan tingkatan kemampuan dokter umum adalah saat pasien gawat darurat ataupun tidak. Dalam penatalaksanaannya di layanan kesehatan primer, seperti puskemas, dapat dilakukan diagnosis yang tepat dengan menggunakan bantuan kuesioner seperti clinic COPD questionnaire (CCQ) serta jika memungkinkan terdapat alat spirometri, maka tenaga

kesehatan layanan primer harus benar-benar terlatih menggunakan alat tersebut. Di puskesmas selain diagnosis awal yang benar yang telah dijelaskan sebelumnya, diperlukan tata laksana yang sesuai di layanan primer, dengan tujuan:2 1. Mengurangi bertambah beratnya penyakit 2. Mempertahankan kestabilan PPOK (masih stabil) 3. Mengatasi eksaserbasi ringan 4. Merujuk pada spesialis paru ataupun rumah sakit 5. Melanjutkan pengobatan dari spesialis paru ataupun rumah sakit rujukan. Dalam penatalaksanaannya tersbeut, maka dibagi penatalaksanaan PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK stabil:2 a. Obat-obatan Obat-obatan ini diberikan dengan hasil rujukan dari rumah sakit rujukan ataupun spesialis paru dengan tujuan mengurangi inflamasi dan mempertahankan bronkodilatasi: Bronkodilator Diberikan dalam bentuk oral dengan kombinasi 2 agonis dengan golongan xantin (dosis suboptimal, sesuai berat badan dan keparahan penyakit). Contoh: dosis pemeliharaan diberikan aminofilin/teofilin 100-150 mg dikombinasikan dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg. Kortikosteroid dalam bentuk inhalasi Ekspektoran, dengan menggunakan obat batuk hitam Mukolitik, gliserol guayakolat diberikan pada sputum mukoid Antitusif hanya diberikan ketika batuk kering dan iritatif.

b. Edukasi dengan tujuan mengurangi keparahan penyakit dengan penggunaan obat yang tepat dan menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Edukasi terhadap pajanan faktor risiko juga dilakukan yaitu mengurangi pajanan terhadap asap rokok, debu pekerjaan, bahan kimia, polusi udara dalam ruangan ataupun luar ruangan. Edukasi dengan kampanye kesehatan juga diperlukan seperti bahaya merokok terhadap perokok aktif dan perokok pasif dan pentingnya lingkungan umum bebas rokok. Edukasi terhadap pemberhentian merokok juga harus dilakukan. c. Nutrisi Diperlukan keseimbangan asupan protein, lemak dan karbohidrat dengan porsi kecil tapi sering, kekurangan kalori pada pasien PPOK akan memperparah derajat sesaknya. d. Rehabilitasi

Mencakup latihan bernapas dengan pursed-lips; latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas. e. Rujukan ke spesialis paru/rumah sakit Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi:2 Dalam penatalaksanaan PPOK eksaserbasi harus diketahui derajatnya, yang dibagi menjadi ringan (diatasi di poliklinik rawat jalan), sedang (obat-obatan perinjeksi dilanjutkan peroral) dan berat (obat-obatan intravena dan kemudian dirujuk ke rumah sakit). Obat-obatan pada pasien eksaserbasi akut: 1. Penambahan dosis dan frekuensi pemberian bronkodilator. Untuk eksaserbasi berat diberikan injeksi subkutan, IV, atau per dril, misalnya: a. Terbutalin 0,3 ml secara subkutan dapat diulang sampai 3 kali tiap 1 jam kemudian dilanjutkan per drip 3 ampul per 24 jam, b. Adrenalin 0,3 mg subkutan secara hati-hati c. Aminofilin bolus 5 mg/kgBB dengan pengenceran secara perlahan selama 10 menit untuk menghindari efek samping dan dilanjutkan per drip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam d. Aminofilin drip dan terbutalin secara bersama-sama dalam 1 botol cairan per infus (cairan infus NaCl 0,9% atau ringer laktat ataupun dektrose 5%) 2. Kortikosteroid dengan dosis 30mg/hari maksimal 2 minggu dan tidak perlu tappering off 3. Antibiotik jika terjadi eksaserbasi 4. Diuretik pada derajat sedang-berat dan menunjukkan adanya gagal jantung kanan ataupun kelebihan cairan. 5. Cairan, yang diberikan harus seimbang dan hati-hati karena sering kali ditemukan kasus korpulmonal. PPOK stabil dapat ditatalaksana di puskesmas dan mendapatkan evaluasi berkala oleh spesialis paru yaitu 3 bulan sekali. Rujukan yang berulang kali dimaksud di atas, umumnya bertujuan untuk memastikan diagnosis dan derajat keparahan PPOK, PPOK eksaserbasi dan rujukan tata laksana jangka panjang.2

Referensi: 1. Barbera JA, Buist AS, Calverley P, Celi B, Elliott MW, Fukuchi Y. Global strategy for the diagnosis Management and Prevention of COPD. GOLD; 2014. 2. Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjnaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi, et al. Diagnosis dan penatalaksanaan PPOK. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

Anda mungkin juga menyukai