Anda di halaman 1dari 5

KAJIAN KENAIKAN TARIF TENAGA LISTRIK

Tanggal 21 Desember 2010, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2012 tentang Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perusahaan Listrik Negara. Dalam Peraturan Menteri tersebut akan dilakukan penyesuaian TTL sebesar 15 persen untuk pelanggan dengan daya diatas 900 VA secara bertahap. Kebijakan ini telah berlaku per 1 Januari 2013 yang lalu. LANDASAN KEBIJAKAN ABSURD Pemerintah merasionalisasikan bahwa postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terlalu didominasi oleh subsidi, termasuk subsidi listrik. Memang secara nominal terlihat bahwa subsidi listrik yang dikucurkan oleh pemerintah memiliki tren yang meningkat. Tercatat pada tahun 2012, anggaran subsidi listrik dalam APBN-P mencapai Rp 64,9 Triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2007, anggaran yang dialokasikan untuk subsidi listrik sebesar Rp 33 Triliun. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 49 persen. Akan tetapi, jika kita bandingkan subsidi listrik terhadap total belanja APBN, maka tidaklah benar jika anggaran yang dikucurkan untuk subsidi listrik terus mengalami peningkatan. Faktanya bahwa dari tahun 2007 hingga 2012, subsidi listrik hanya berkisar 5 persen, kecuali di tahun 2008 yang mencapai 8 persen.[1] Rasionalisasi lain yang diungkapkan pemerintah dalam mengambil kebijakan kenaikan TTL ini adalah harga listrik Indonesia paling murah di ASEAN yakni sekitar Rp 632/kWh. Singapura menempati posisi pertama sebagai Negara dengan harga listrik termahal se ASEAN, yakni sekitar Rp 1.453/kWh. Kemudian disusul oleh Filiphina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Secara nominal memang benar anggapan tersebut, namun menjadi berbeda ketika dibandingkan dengan pendapatan perkapita dari masing-masing Negara. Singapura memiliki pendapatan per kapita sebesar US$ 50,714, sedangkan Indonesia hanya US$ 3,469. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu Negara. Jelas hal ini juga mempengaruhi mampu tidaknya daya beli masyarakat terhadap listrik. Dalam segala aspek mengenai kebijakan pengurangan subsidi, pemerintah selalu mengaitkannya terhadap pengalokasian anggaran untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program prioritas lainnya untuk rakyat. Ini adalah salah satu landasan kebijakan yang paling sulit dicerna oleh akal sehat karena masih besarnya inefisiensi dalam belanja APBN. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir terjadi penyerapan anggaran yang kurang maksimal. Jika realisasi pembiayaan melebihi kebutuhan pembiayaan, maka akan terjadi sisa lebih pembiayaan anggaran yang disebut SiLPA. Dalam rentang waktu tahun 2009 hingga 2011, SiLPA mengalami tren yang meningkat, yakni masing-masing sebesar Rp 24 Triliun, Rp 44,7 Triliun, dan Rp 46,5 Triliun.[2]

KONSISTENSI INEFISIENSI PLN Dalam pengertian skema pengendalian subsidi listrik, secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yakni Biaya Pokok Produksi (BPP) + margin dengan harga jual listrik kepada konsumen yang biasa disebut pendapatan. Subsidi listrik merupakan selisih antara keduanya. Pendapatan diperoleh melalui TTL yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk BPP, lebih banyak dipengaruhi dalam perspektif asumsi ekonomi makro, yaitu : (1) Harga biaya energi primer termasuk harga minyak mentah. Hal ini dikarenakan sumber energi primer yang digunakan untuk pembangkitan masih dipengaruhi oleh BBM. Dalam hal ini, harga minyak mengikuti harga Internasional yang menggunakan ICP, yakni harga rata-rata minyak mentah Indonesia. (2) Kurs Dollar. Hal ini menjadi indikator harga yang berpengaruh terhadap pembelian bahan baku impor. (3) Bauran energy (energy mix). Bermacam-macamnya energi primer yang digunakan seperti batu-bara, gas, dan BBM memiliki harga yang berbeda-beda. Hal ini dapat mempengaruhi biaya produksi. Sedangkan margin adalah jaminan atau pinjaman (modal) yang diberikan oleh pemerintah. Tujuannya agar PT. PLN (Persero) memiliki fleksibilitas dalam mencari dana untuk keperluan investasi dalam rangka meningkatkan kapasitas pasokan dan memperluas jaringan listrik di Indonesia. Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam pengendalian subsidi listrik dapat dilakukan dengan menaikkan TTL atau menekan BPP. Dalam konteks komposisi BPP tenaga listrik, dominasi sekitar 71 persen merupakan bahan bakar dan pembelian tenaga listrik yang masing sekitar 53 pesen dan 18 persen. Besarnya biaya bahan bakar ini dikarenakan PLN masih bergantung dengan penggunaan BBM yang memiliki harga mahal. Menurut skema pemakaian bahan bakar dalam statistik PLN 20032011, ditunjukkan bahwa bauran energi PLN didominasi oleh batu-bara dengan pemakaian 27.434.163 ton, kemudian BBM dengan pemaikaian 11.466.851 kilo liter, dan disusul gas 285.722 MMSCF. Namun jika kita konversikan dalam bentuk biaya dengan mengacu harga satuan bahan bakar rata-rata pada tahun 2003-2011, maka pembelian BBM masih memberikan pengaruh paling besar yakni sekitar Rp 93 Triliun. Kemudian disusul oleh batu bara dan gas yang masing-masing sekitar Rp 19 Triliun dan Rp 11 Triliun.[3] Memang harus diakui bahwa tren pemaakain BBM mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan PLN terus mendorong pemakaian batu bara dan gas untuk menggantikan peran BBM. Potensi gas yang ada di Indonesia sebenarnya mampu menjadi opsi yang bagus dalam pemenuhan energi primer untuk pembangkitan. Pasalnya, selain ketersediaannya yang cukup melimpah, harganya pun 20% lebih murah dibandinkan BBM. Namun pada kenyataannya, kebutuhan gas alam untuk pembangkitan listrik di Indonesia tidak selalu terpenuhi. PLN menghadapi persoalan ini hampir diseluruh pembangkitnya yang berbahan bakar gas. Pasokan gas ke pusat pembangkit PLN pada kenyataannya mengalami penurunan, ketidakpastian, bahkan kelangkaan pasokan dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor : 30 / Auditama VII / PDTT / 09 / 2011 tertanggal 16 September 2011 menemukan bahwa kebutuhan gas PT. PLN (PERSERO) pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing tidak terpenuhi. Kemudian pembangkit-pembangkit tersebut harus di suplai dengan BBM. Akibatnya, terjadi inefisiensi yang menyebabkan kerugian PT. PLN kurang lebih 37 Triliun pada tahun 2010 dan 2011. Bukti lain memaparkan pula bahwa dalam produksi gas

alam, pemerintah lebih mengutamakan ekspor daripada mengutamakan kebutuhan domestik. Tercatat sekitar 53% gas alam di ekspor dan 41,2% adalah untuk kebutuhan domestik.[4] Sekali lagi, pemerintah belum mampu melaksanakan dengan benar UUD 1945 pasal 33 tersebut. Dalam upaya mendorong batu bara sebagai energi primer pengganti BBM, kala itu Presiden menerbitkan Perpres nomor 71 tahun 2006 yang menugaskan kepada PLN untuk melakukan percepatan pembangunan PLTU dengan bahan bakar batu bara. Proyek ini kita kenal dengan mega proyek 10.000 MW. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa proyek tersebut harus sudah siap beroperasi pada tahun 2009. Namun dalam kenyataannya, proyek ini molor dan baru mencapai 64 persen di tahun 2012. Selain permasalahan-permasalahan diatas, hal yang menyebabkan besarnya angka BPP juga dipengaruhi oleh ketergantungan PLN terhadap swasta dalam hal pembelian energi listrik. Sebelum tahun 1997, PLN telah mengadakan perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta yang dikenal dengan istilah Independent Power Producer (IPP). Hingga tahun 2011, terdapat 28 IPP yang sudah beroperasi 16 IPP yang belum beroperasi. Dalam neraca listrik nasional hingga tahun 2011, terlihat bahwa PLN membeli listrik dari IPP sebesar 40.682 GWh atau sekitar 22,17 persen dari total produksi bruto PLN sebesar 183.421 GWh. [5] Orientasi swasta yang murni kepentingan bisnis dan mengejar laba, tentu saja menyebabkan PLN harus membeli listrik dari IPP dengan harga yang lebih mahal. Selain dari sektor hulu, di sektor hilir pun PLN belum dapat dikatakan memiliki manajemen kinerja yang baik. Perlu kita sadari bahwa hakikat dari perseroan adalah mumpuni di bidang teknis. Namun saat ini, PLN cenderung berorientasi lebih kepada manajemen komersil. Sehingga hal-hal yang bersifat teknis lebih banyak ditangani oleh pihak kedua, seperti konsultan atau kontraktor. Manajemen model seperti ini berpotensi mengalami inefisiensi keuangan, terlebih lagi untuk pengadaan barang [6]. Faktor lain yang menunjang tingginya BPP adalah dari biaya pemeliharaan. Jika berbicara tentang pemeliharaan, maka tentu saja korelasinya dengan susut jaringan (losses). Pada tahun 2011, PLN telah berhasil meminimalisir susut jaringan sebesar 0,29 persen dari tahun 2010 sebesar 9,70 persen menjadi 9,41 persen. Dalam skema susun jaringan ini terdiri dari 2,25 persen susut transmisi dan 7,34 persen susut distribusi.[7] Kontribusi besar susut jaringan di distribusi ini disebabkan banyaknya peralatan-peralatan yang efisiensinya semakin menurun karena umur peralatan yang sudah tua. Dalam rentang tahun 2008 hingga 2011, susut jaringan di distribusi cenderung stagnan. Seharusnya margin 7 persen yang diberikan pemerintah, mampu mengoptimalkan pemeliharaan peralatan, sehingga susut di distribusi dapat ditekan. Jelas, dibalik keruwetan upaya dalam menekan BPP karena kebijakan-kebijakan yang kurang tepat sasaran dan terkesan linglung dalam bersikap, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan pragmatis untuk mendapatkan solusi yang instan, yakni dengan menaikkan TTL. Bisa ditebak, rakyat lah yang kembali menjadi korban. Sekali lagi kita disodori naskah kebijakankebijakan siluman yang tentunya membutuhkan kritisisasi kita sebagai mahasiswa. Kebijakan ini cenderung mudah diambil oleh pemerintah karena bukan termasuk dalam kebijakan populis yang dapat menyebabkan resistansi dan tekanan politis yang besar seperti kenaikan BBM.

Namun tanpa terasa kebijakan TTL ini telah membohongi dan membodohi rakyat Indonesia. KEMENTERIAN SOSIAL-POLITIK BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

[1] Data Pokok APBN 2007-2012, Kementerian Keuangan Republik Indonesia [2] Nota Keuangan dan Rancangan APBN Tahun Anggaran 2013 [3] [4] [5] [6] [7]

Statistik Perusahaan Listrik Negara 2011 Statistik Gas Bumi 2012, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Statistik listrik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=2476 diakses tanggal 24 Februari 2013 Annual Report Perusahaan Listrik Negara 2011

Anda mungkin juga menyukai