Anda di halaman 1dari 3

I.

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Gejala yang ditimbulkan mencakup banyak fungsi seperti pada gangguan persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham), penurunan dari proses berpikir dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik (katatonia), gangguan dari pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu merasakan kesenangan (anhedonia). Penyakit ini sangat menyusahkan bagi penderita maupun keluarganya karena onset terjadinya pada saat dewasa muda produktif yaitu dibawah 45 tahun, dan dalam perjalanannya akan mengalami keruntuhan ( deteriosasi) dari taraf fungsi sebelumnya baik fungsi sosial, pekerjaan, dan perawatan diri. Penderita sukar untuk bersosialisasi dan tidak dapat bekerja seperti sebelumnya karena sifat regresif serta kemunduran dalam perawatan diri. Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga per empat dari jumlah pasien

skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Luana, 2008). Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menimbulkan disabilitas yang cukup luas, serta dicirikan oleh suatu siklus kekambuhan dan remisi. Sampai saat ini para ahli belum mendapatkan kesepakatan tentang definisi baku dari kekambuhan skizofrenia. Insiden kambuh pasien skizofrenia adalah tinggi, yaitu berkisar 60%-75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi.2 Robinson juga melaporkan angka yang sama (74%) pada pasien yang tidak teratur minum obat.3 Dari 74 % pasien skizofrenia yang kambuh, 71% di antaranya memerlukan rehospitalisasi (Csernansky, 2002). Beberapa prediktor terjadinya kekambuhan antara lain: pemberian neuroleptik, onset dan previous course (akut/kronis, manifestasi awal, upaya bunuh diri, dan faktor presipitasi), psikopatologi (tipe residual, gejala afektif, sindrom paranoid, halusinasi, gejala negatif), pengalaman hidup (pengalaman traumatik, gangguan psikiatrik dan perkembangan saat anak), social adjustment (status perkawinan, pekerjaan, pengalaman seksual, dan tingkat pendidikan), kepribadian premorbid, situasi emosi keluarga (ekspresi emosi keluarga yang tinggi/rendah), faktor biologi (genetik, pria/wanita, dan umur) dari penderita. Terdapat penelitian yang juga menyebutkan salah satu faktor risiko tinggi terjadinya kekambuhan adalah adanya riwayat keluarga yang kuat dari skizofrenia (Barlow-Stewart, 2007).

Berdasarkan tingginya tingkat kekambuhan atau relaps yang terjadi pada pasien skizofrenia ini, kami melakukan penelusuran literatur terkait pencegahan kekambuhan pada pasien skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai