Anda di halaman 1dari 9

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Harga Diri
Harga diri termasuk salah satu dari lima komponen konsep diri, yaitu gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ideal diri (Stuart and Sundeen, 1998). 1. Harga diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991). Frekuensi mencapai tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi. Sebaliknya jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali kemampuan orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain serta menghalami ketidakmampuan pada dirinya dan juga sebaliknya (Kelliat, 1992). 2. Pencetus Stressor Pencetus stressor mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal. a. Terutama seperti penyaringan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan.

b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengklaimnya sebagai frustrasi. Ada tiga jenis transisi peran: transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap

perkembangan dalam kehidupan individu atau kelurga dan norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan untuk penyesuaian diri. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh: kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan (Stuart and Sundeen, 1998).

B. Tingkat kecacatan kusta


1. Definisi Kecacatan adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutu terhadap sesuatu hal kurang baik. Tingkat kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta ( Depkes, 2000 ). Penyakit kusta adalah suatu infeksi granulomatosa menahun pada manusia, yang menyerang jaringan superfisial, khususnya kulit, saraf tepi (Isselbacher, dkk, 1999). Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman

Micobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, kulit mukosa, sistem pernapasan, tulang dan testis (Harahap, 1998). 2. Tingkat Kecacatan Kusta a. Batasan istilah Menurut Djuanda, dkk (1997) batasan istilah dalam cacat kusta adalah: impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik, misalnya leproma, madarosis, ulkus dan asorbsi jari, disability: segala keterbatasan atau ketidakmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Disability ini merupakan obyektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuanya dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri, handicap: kemunduran seorang individu (akibat disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks dan faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi dan budaya. b. Jenis Cacat Kusta Menurut Tjokronegoro (1997), cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: kelompok cacat primer ialah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringhan terhadap kuman Leprae.

Termasuk cacat primer ialah: cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesia, fungsi saraf motorik misalnya claw-hand, wist drop, foot drop, claw toes dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit keriput dan tidak elastis, cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendo, ligamen, sendi, tulang rawan, testis dan bola mata. Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer teutama akibat adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat agoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas kulit berkurang. Akibatnya kulit mudah retakretak dan dapat terjadi infeksi sekunder.

10

c. Derajat cacat kusta Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari adalah mata, tangan, dan kaki, maka derajat kusta dibagi dalam tiga tingkatan: Cacat pada tangan dan kaki: Tingkat 0: tidak ada anestesi dan kelainan anatomis, tingkat 1: ada anestesi, tidak ada kelainan anatomis, tingkat 2: terdapat ke;lainan anatomis. Cacat pada mata: tingkat 0: tidak ada kelainan pada mata, tingkat 1: ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang, tingkat 2: ada legoftalmus dan visus sangat terganggu. (Depkes, 1997). 3. Pencegahan Cacat pada Kusta Tujuan pencegahan cacat pada kusta: a. Mencegah timbulnya cacat (disability atau deformitas) pada saat diagnosis kusta ditegakan dan diobati. Untuk tujuan ini diagnosis dini dan terapi yang rasional perlu ditegakan dengan cepat dan tepat. b. Mencegah agar cacat yang telah terjadi menjadi lebih berat. c. Mencegah agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi Pencegahan terjadinya transisi dari disability dari handicap dapat dilakukan antara lain penyuluhan, adaptasi sosial dan latihan. Pencegahan cacat, kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis dari pada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan

11

keluarganya. Disamping ini perlu mengubah pandangan yang salah dari masyarakat antara lain bahwa kusta identik dengan deformitas atau disability (Tjokronegoro, 1997). Upaya pencegahan cacat terdiri atas: upaya pencegahan cacat primer yang meliputi: diagnoisi dini, pengobatan secara teratur dan diagnosis dini serta penatalaksanaan reaksi. Upaya pencegahan cacat sekunder antara lain: perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjainya kontraktur. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. Perawatan mata, tangan dan kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan.

C. Tingkat Kecacatan dengan Permasalahan yang ditimbulkan


Santoso (2004) dalam penelitiannya melaporkan bahwa seseorang yang mengalami kecacatan pada salah satu anggota tubuh, biasanya seseorang malu berinteraksi dengan orang lain. Salah satu ciri seseorang dengan harga diri rendah adalah kurang / malu berinteraksi dengan orang lain. Harga diri dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya usia, pekerjaan, sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan lain-lain.Stressor pada setiap perubahan adalah: perubahan ukuran tubuh: berat badan yang turun akibat penyakit, perubahan bentuk tubuh: tindakan invansif, seperti operasi, injeksi, infus. Perubahan struktur: sama dengan perubahan bentuk tubuh disertai dengan pemasangan alat

12

dalam tubuh. Perubahan fungsi: berbagai penyakit yang dapat merubah sistem tubuh. Keterbatasan: gerak, makan. Makna dan obyek yang sering kontak: penampilan berubah, pemasangan alat bantu untuk tubuh klien. Seperti telah diketahui sebelumnya, pasien kusta yang mengalami kecacatan sampai dengan tingkat 2, maka akan bermanifestasi klinis diantaranya: lagoftalmus visus yang sangat mengganggu, ulkus, jari keriting (claw hand), kaki semper (drop foot), jari kaki keriting (claw toes), reaksi ENL (Eritema Nodul Lepromatosus) dan reaksi muka singa (facies leonima). Dan juga yang harus dilakukan tindakan invansif seperti debridement pada ulkus yang memburuk, amputasi yang nantinya memakai alat bantu protesa seperti kaki palsu atau kruk penyangga. Maka pada keadaan tersebut dapat menjadi stressor pada setiap perubahan yang merubah harga diri pada pasien kusta. Perubahan tersebut haruslah diintervensi oleh para klinis termasuk perawat, agar tidak menjadi masalah kejiwaan bagi pasien kusta di kemudian hari. Prinsip tindakan yang diberikan adalah pemecahan masalah yang terlihat dari kemajuan klien meningkat dari satu tingkat ke tingkat berikutnya (Kelliat,1992). Adapun tindakan tersebut dibagi 5 tingkat: 1. Memperluas keadaan diri (expanded self-awareness) prinsipnya:

meningkatkan keterbukaan hubungan saling percaya, bekerja dengan klien pada tingkat kemampuan yang dimiliki klien, maksimalkan peran serta klien dalam hubungan terapeutik.

13

2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-exploration) prinsipnya: membanmtu klien unutk menerima perasaan dan pikiran nyata, menolong klien untuk menjelasakan gambaran dirinya dan hubungan dengan orang lain melalui keterbelakangannya, memberi respon empati, bukan simpati dan tekankan bahwa kalimat untuk berubah ada pada klien sendiri. 3. Mengevaluasi diri (self-evaluation) prinsipnya: membantu klien untuk menetapkan masalahnya secara jelas, teliti koping klien yang adaptif. 4. Perencanaan yang realistis (Realistic planning) prinsipnya: bantu kien mengidentifikasi alternatif pemecahannya, bantu klien mengkonseptualisasi tujuan yang jelas. 5. Tanggung jawab bertindak (commitment to action) prinsipnya: bantu klien melakukan tindakan yang perlu untuk merubah respon maladaptif dan mempertahankan yang adaptif. D. Kerangka Teori Kerangka Teori Penyakit kusta Stressor: 1. Ukuran 2. Bentuk 3. Struktur 4. Fungsi 5. Keterbatasan 6. Obyek penampilan Bagan 1: Kerangka teori (Djuanda, dkk, 1997 dan Stuart and Sundeen, 1995).

Tingkat kecacatan: 1. Impairment 2. Disability 3. Handicap

Harga +++++ diri

14

E. Kerangka Konsep
Tingkat kecacatan pasien kusta Harga diri pasien kusta

Usia Pekerjaan

Gambar 2: Kerangka Konsep : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

F. Variabel Penelitian
Variabel terbagi menjadi dua yaitu: 1. Variabel independent (bebas) Variabel independenya adalah tingkat kecacatan kusta. 2. Variabel dependent (terikat) Variabel dependenya adalah harga diri pasien kusta.

G. Hipotesa
Rumusan hipotesa pada penelitian ini adalah: Ada hubungan antara tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta.

Anda mungkin juga menyukai