Anda di halaman 1dari 2

Terhitung semenjak reformasi 1998, pemilihan pemimpin dengan menjaring partisipasi publik sebesar-besarnya semakin melekat dalam keseharian

masyarakat Indonesia. Perkembangan politik itu turut pula mewarnai perpolitikan kampus. Di berbagai kampus di Indonesia, saat ini sudah jamak dikenal adanya Pemilihan Raya Mahasiswa atau biasa disingkat dengan istilah PEMIRA. Begitu pula halnya dengan kampus Universitas Gadjah Mada. Di UGM, cikal bakal pemira sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 1987. Namun PEMIRA dengan sistem kepartaian baru digunakan pada tahun 1997. Hal yang cukup menjadi gebrakan ketika itu, mengingat sistem Pemilihan Umum di tingkat nasional sendiri selama puluhan tahun hanya mempunyai tiga partai sebagai kontestan. Dalam PEMIRA, mahasiswa memilih secara langsung calon Presiden Mahasiswa dan Partai Mahasiswa. Presiden Mahasiswa yang terpilih akan memimpin Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM untuk periode selanjutnya. Partai Mahasiswa akan mengirimkan wakilnya untuk masuk dalam struktur Dewan Perwakilan Mahasiswa. Sistem PEMIRA terus berkembang. Mulai tahun 2006, dalam PEMIRA UGM dilakukan pula pemilihan Dewan Perwakilan Fakultas, mengadaptasi pemilihan Dewan Perwakilan Daerah yang mulai dilaksanakan pada PEMILU nasional tahun 2004. Selain PEMIRA tingkat universitas, mahasiswa masing-masing fakultas juga melaksanakan pemilihan umum untuk memilih ketua-ketua lembaga, dengan variasi sistem yang disesuaikan kondisi fakultas. Banyak pihak yang terlibat dalam perhelatan PEMIRA, mulai dari Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA), Badan Pengawas PEMIRA (Banwasra), Mahkamah PEMIRA, para konstestan PEMIRA, dan mahasiswa secara umum. Dengan kemajemukan elemen dan banyaknya kepentingan, munculnya permasalahan dalam proses pelaksanaan PEMIRA memang tidak menjadi hal yang aneh. KPRM memang tidak perlu terlalu pusing akan terjadi kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena data mahasiswa aktif lebih pasti daripada data penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih. Namun, seperti halnya di PEMILU nasional, permasalahan mengenai kontestan PEMIRA dan hal-hal seputar kampanye pasti akan muncul. Konflik memang bukan hal yang diharapkan terjadi, namun dari situ mahasiswa bisa belajar lebih tentang dinamika politik dan belajar menyikapinya dengan dewasa. Permasalahan lain yang mirip dengan yang terjadi di PEMILU nasional juga bisa muncul pada pelaksanaan PEMIRA. Misalnya saja, selalu ada pihak yang akan mempertanyakan representasivitas hasil PEMIRA. Pada PEMIRA 2008, dengan kerja keras panitia dan kontestan PEMIRA, terjadi lonjakan pengguna hak pilih hingga mencapai sekitar satu per tiga dari total mahasiswa S1 dan D3 UGM yang jumlahnya 35.000 orang. Gaung golongan putih juga muncul dalam proses PEMIRA, dengan menggunakan dalih hasil PEMIRA tidak representatif. Ada baiknya jika menggunakan sudut pandang konstruktif dalam menyikapi hal ini. Daripada menghujat hasil yang tidak representatif, kenapa tidak turut memperbaiki sistem dan proses ini hingga mencapai kondisi lebih ideal? Pertanyaan lain akan muncul pasca pelaksanaan PEMIRA. Apakah PEMIRA hanya akan menjadi ritual tahunan? Maka jawabannya, seharusnya tidak. PEMIRA adalah titik awal tiap tahunnya untuk pembelajaran politik bagi mahasiswa. Dan semestinya pembelajaran itu terus berlanjut. Tidak cukup hanya belajar mengelola, menjadi kontestan, menggunakan hak pilih, atau jenis partisipasi lain dalam proses pemilihan. Bagi para mahasiswa yang terpilihentah sebagai Presiden Mahasiswa, anggota DPM, atau anggota DPFharus pula belajar mempertanggungjawabkan keterpilihannya dengan melaksanakan amanah yang diembannya sebaik-baiknya. Partai peserta PEMIRA juga semestinya belajar mengelola partainya

sehingga tidak hanya menjadi mesin politik insidental yang hidup menjelang PEMIRA dan mati suri sepanjang sisa tahun berikutnya. Dan tak ketinggalan, mahasiswa secara umum juga bisa belajar untuk turut mengawasi segala proses itu, mulai dari pelaksanaan PEMIRA hingga jalannya kepengurusan selama setahun setelahnya. Para mahasiswa pembaharu yang dulu menginisiasi sistem PEMIRA di awal reformasi, tentu berharap mahasiswa kampus ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia bagaimana sebaiknya berdemokrasi. Mahasiswa masa kini tinggal memilih, akan tetap setia memberi contoh baik ataukah mencontoh mentah-mentah lika-liku politik negeri ini, hingga permasalahnnya pun diadaptasi.
http://antivetsin.wordpress.com/2009/11/24/pemilihan-raya-mahasiswa-mencontoh-dan-membericontoh/

Anda mungkin juga menyukai