Anda di halaman 1dari 6

PERJAMUAN ILMIAH Tentang Membangun Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia

Yogyakarta, 16 17 Juni 2010

MAKALAH

INSTITUSI-INSTITUSI PERLINDUNGAN HAM


Oleh: M. Busyro Muqoddas (Ketua Komisi Yudisial)

INSTITUSI-INSTITUSI PERLINDUNGAN HAM*


Pengantar Pelanggaran HAM semakin mengalami diversifikasi pola, cara dan wujudnya dengan sejumlah akibat multidimensional. Pelakunya bertambah dengan sejumlah aktor baru. Jenis tindakan pelanggarannya sulit dijangkau oleh peraturan hukum positif sehingga berjalan law dengan enforcement lancar. mengalami sifat kelemahan dan keterbatasan. Sementara pola-pola baru pelanggaran HAM ini Sesuai dasarnya, peraturan perundangan selalu tertinggal dan tertatih di banding dengan dinamika sosial yang didalamnya diikuti dengan perubahan persepsi masyarakat tentang nilai (values) : agama, etika, moral, kepantasan,keadilan, harkat martabat kehormatan manusia dst. Pelanggaran diluar HAM yang didalamnya untuk pasti terdapat unsur pelanggaran nilai-nilai diatas, tidak atau jarang dijadikan faktor hukum (heuristik) menerobos elemen-elemen esensial terdalam di dalam undang-undang HAM. Pasti, hal ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya kesungguhan, kepekaan dan daya intelektualisme aparat penegak hukum dan pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR). Pandangan dan sikap permisifistik masyarakat (termasuk kalangan kampus dan profesi) menjadi andil terjadinya penggerusan dan pengaburan makna agama, etika dan moral. Nilai-nilai fundamental yang humanis, liberatif dan transenden yang sesungguhnya menjadi basic need manusia. Akhirnya
* Oleh : M. Busyro Muqoddas (Ketua Komisi Yudisial) Disampaikan dalam acara Perjamuan Ilmiah tentang Membangun Komitmen dan Kebersamaan untuk Memperjuangkan HAM untuk para Dekan FH (Negeri&Swasta Se-Indonesia) yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerjasama dengan NCHR. Yogyakarta, 17 Juni 2010

kampus makin redup dan tidak lagi menampakkan jati dirinya sebagai centre of leadership development untuk mengatasi permasalahan bangsa, bahkan menjadi salah a part of the problem. Tanpa survey bisa diasumsikan bahwa mayoritas mutlak pelaku korupsi dan pelanggar HAM adalah produk kampus. Inilah inti problem fundamental perguruan tinggi. Jika sifat dan watak ke-guruan tidak lagi mensifati dosen, pada hakekatnya sudah bukan perguruan lagi. Perguruan Tinggi merupakan komunitas guru/guru besar dengan misi utama pendidikan dan pengajaran. Pembentukan karakter menjadi salah satu misi. Termasuk karakter menjadi pendidik dan penegak hukum yang mendidikan nilai-nilai luhur di atas. Pelanggaran HAM, berkaitan dengan perubahan persepsi atas nilai, permisivitas massif, lemahnya konsep keilmuan, tidak fahamnya masyarakat, lemahnya posisi dan peran masyarakat madani, menguatnya peran, wewenang dan tindakan-tindakan negara, lemahnya sistem perundangan, dan lumpuhnya aparat penegak hukum serta proses law enforcementnya. Faktor-faktor ini menyebabkan terbentuknya budaya masyarakat yang menyuburkan munculnya akselerasi pelanggaran HAM dalam berbagai jenisnya. Dalam situasi budaya seperti sekarang ini, lembaga-lembaga perlindungan hukum menghadapi beban dan tantangan berat dan memerlukan solusi pada tataran bangunan filosofi, ideologi, paradigma, konsep, strategi hingga action plan serta gerakan-gerakan progresifnya pada tataran praksis. I Posisi Institusi Perlindungan HAM : Problematis. Semua institusi ini mengidap problem internal dan eksternal sebagai berikut :

1. Pada Komisi-komisi dan sejenisnya, struktur organisasi, anggaran, SDM, dan legalitas hukumnya merupakan faktor yang sangat menbatasi ruang geraknya. 2. Komitmen negara pada eksekutif, legislatif dan yudikatif sangat minimalis. Spirit UUD yang mengakomodir HAM bersifat tekstual. Tataran konteks dan implementasi teramat lemah dan tidak diapresiasi dengan jujur dan sungguh-sungguh. Penyebabnya: Krisis kepekaan, lemah basic falsafah dan mindsetnya, dan diperparah dengan konflik interes. 3. Politik legislasi yang tercerabut dan menguap dari komitmen the rule of law, democracy dan human rights. Disebabkan karena tuna nurani, miskin konsep dan konflik interes. 4. Lemahnya elemen CSO (PT, NGO dan Ormas) dalam mengangkat dan mendorong issu-issu ekosob). 5. Dominannya tekan pemodal asing dan dalam negeri terutama dalam pengelolaan SDA dan aset publik lainnya. 6. Dibendungnya gerakan-gerakan pengungkapan kasus pelanggaran HAM Berat dan lemahnya respon publik. 7. Lemahnya materi HAM pada dakwaan dan vonis hakim. II. Arah Politik Hukum Kedepan. Penegakan Hukum HAM masih sangat bergantung pada aspek politik sebagai faktor determinan. Sementara aspek politik oleh : masih mencerminkan budaya politik feodal dan patronase. Dengan demikian arah politik hukum terkendala HAM (sopil-

1. Meningkatnya mobilitas vertikal kaum muda kearah politik praktis (politik melalui parpol) dari pada melalui pendidikan politik. Gejala ini menumbuh suburkan minat ke parpol jauh lebih menarik dari pada minat ke ormas dan organisasi profesi, apalagi ormas keagamaan dan NGO 2. Proses kaderisasi parpol yang lemah secara ideologis dan metodologis. Akibatnya menimbulkan perilaku politicking dari pada memperjuangkan platform dan ideologi parpol. Juga ketidakjelasan core value parpol. Masing-masing berbeda dan perumusannya jarang menempuh uji sahih publik. Tataran implementasi terdapat diskrepansi dengan spirit ideologinya. HAM, sebagai konsep nilai natural right teralienasi di dalamnya. 3. Kontrol publik termasuk dari PT terhadap perilaku parpol tidak terdengar. Akibatnya nilai dan norma HAM justru mengalami pengerdilan oleh dan melalui parpol. Dan produk legislasi tercerabut dari proses-proses politik pusat maupun daerah. III. Peran Strategis Perguruan Tinggi. 1. Evaluasi dan redefinisi peran : Sebagai pusat pendidikan, penyemaian dan pembentukan sumber daya pemimpin; Konsep paradigmatik dan dimensi dimensi kepemimpinan perlu dirumuskan dalam skala nasional. 2. Evaluasi dan perumusan kembali kurikulum dengan muatan HAM konteks nasional dan internasional. Jumlah SKS sebanyak 6 SKS, dibagi 3 SKS HAM I dan 3 SKS HAM II. Argumen untuk ini mudah dibangun.

3. Model perekrutan dosen oleh dan melalui Forum Konsorsium Hukum dan HAM yang perlu segera dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Alokasinya pada muatan lokal/khusus yang bersifat fleksibel. 4. Sharing materi teori, kasus, anotasi dakwaan JPU dan vonis hakim, dosen tamu antar rumpun PT. Model dan metode evaluasi perlu standarisasi. Studi kasus menjadi yang bersifat out door menjadi salah satu model untuk menanamkan dan menumbuhkan unsur kepekaan nurani dan ketajaman akal budi sebagai dua unsur yang teramat penting bagi proses pendidikan yang bermuatan knowledge, afeksi dan psiokomotorik. 5. Jaringan website antar FH untuk pemerataan akses materi yang bersifat up dated.

Jakarta, 17 Juni 2010 M. Busyro Muqoddas

Anda mungkin juga menyukai