Anda di halaman 1dari 85

i

Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN: 1411-2531



JURNAL
PENDIDIKAN MIPA
Wahana informasi hasil penelitian pendidikan matematika dan ilmu
pengetahuan alam serta sains






















Jurusan Pendidikan MIPA
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
UNIVERSITAS LAMPUNG


JPMIPA Vol.3 No.1 Hal. 1-78
Bandar Lampung
April 2003
ISSN 1411-2531

ii
Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531

Jurnal Pendidikan MIPA


Alamat Readaksi: Jurusan Pendidikan MIPA, Gedung G FKIP Universitas Lampung
Jalan Prof. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung
Kode Pos 35145. Telepon (0721) 701609



SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Pembina :
Penangung Jawab:
Ketua Pennyunting:
Sekretaris:
Dewan Penyunting:



Penyunting Pelaksana:




Tata Usaha :
Dekan FKIP Universitas Lampung
Ketua Jurusan Pendidikan MIPA
Chandra Ertikanto
Arwin Akhmad
Budi Kustoro (Universitas Lampung)
Cucu Sutarsyah (Universitas Lampung)
Purwiro H. (Universitas Muhammadiyah Metro)
Aty Nurdiana (STKIP PGRI Bandar Lampung)
Eko Suyanto
Dewi Lengkana
Rini Asnawati
Chansyanah D.
Kartini Herlina
Staf Tata Usaha Jurusan Pendidikan MIPA








Jurnal pendidikan MIPA diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan MIPA FKIP
Universitas Lampung. Pernerbitan dua kali dalam setahun, pada bulan April dan
bulan September. Dewan redaksi hanya menerima naskah hasil penelitian
bidang Pendidikan MIPA dan Sains (Ilmu murni: Matematika, Fisika, Kimia, dan
Biologi), yang telah diringkas, untuk dipertimbangkan pemuatannya.

iii
Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531

Jurnal Pendidikan MIPA



PENGANTAR REDAKSI

Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Pendidikan MIPA (JPMIPA)
dapat diterbitkan untuk penerbitan volume 3 nomor 1 April 2003.

Perlu disampaikan bahwa Jurnal Pendidikan MIPA (JPMIPA) adalah Jurnal yang
diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung. Jurnal ini,
terbit dua kali setahun yaitu pada bulan April dan bulan September. Naskah yang
dapat dipertimbangkan untuk dimuat adalah ringkasan hasil suatu penelitian
pada bidang Pendidikan MIPA atau Sains (Ilmu murni: Matematika, Fisika, Kimia,
dan Biologi). Naskah yang disampaikan kepada dewan redaksi paling lambat dua
bulan sebelum penerbitan, atau akhir bulan Januari dan akhir bulan Juni pada
setiap tahunnya.

Untuk segala keterlaksanaan yang telah dijalankan dewan redaksi sangat
mengharapkan masukan dari segala fihak agar sempurnanya jurnal ini, untuk hal
tersebut kami ucapkan terimakasih. Begitu pula kepada para penulis naskah
disampaikan ucapan terimakasih.



Bandar Lampung, April 2003


Dewan Redaksi














iv
Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531

Jurnal Pendidikan MIPA


DAFTAR ISI

Halaman

HUBUNGAN TINGKAT KERUSAKAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN INDEKS
VEGETASI MENGGUNAKAN DATA SATELIT LANDSAT THEMATIC MAPPER
MULTI-TEMPORAL
Agus Suyatna ...... 1 - 6

PERILAKU HARIAN MENTOK RIMBA (Cairina scutulata Muller) DI RAWA
ULUNG-ULUNG RESORT WAY KANAN TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS
LAMPUNG TIMUR
Apri Dahlia, Arwin Achmad, dan Arwin Surbakti .. 7 - 12


PROSENTASE PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP UNSUR, SENYAWA,
CAMPURAN, MOLEKUL, ANGKA INDEKS DAN KOEFISIEN
Dwi Yulianti . ... 13 - 18

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DAN PEMAHAMAN KONSEP
TENTANG LARUTAN MELALUI METODE DEMONSTRASI DI SMU YP UNILA
BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2000-2001
Ila Rosilawati . 19 24

PENERAPAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS UNTUK MENGETAHUI
STRUKTUR GEOLOGI DAN POTENSI AIL TANAH DI PERUMAHAN BATARANILA
LAMPUNG SELATAN
I Wayan Distrik . 25 - 32

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIIKA MELALUI CERITA
PARA MATEMATIKAWAN (Studi Pada Kelas III SDN Se- Tanjungkarang Barat)
Maksum .... 33 38

AMOBILISASI ELEKTRODA ENZIM GLUKOSA OKSIDASE (GOD)
Ratu Betta Rudibyani ..... 39 44

KESULITAN MAHASISWA DALAM MENERAPKAN BILANGAN INDEKS PADA
PERHITUNGAN KIMIA
Ruli Meiliawati . 45 - 50

KARAKTERISTIK KOROSI PADA PERMUKAAN BAJA (STEEL) OLEH KARBON
DIOKSIDA (CO2)
Simon Sembiring dan Pulung Karo-Karo ... 51 56

TUTORIAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PENGAJARAN
KALKULUS I (Studi pada Mahasiswa Pendidikan Kimia PMIPA Tahun 2001/2002
Sri Hastuti Noer .. 57 - 62
v
Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531

Jurnal Pendidikan MIPA


KESULITAN SISWA SMU MEMAHAMI KONSEP REAKSI REDOKS
Suandi Sidauruk ... 63 68

PEMBUATAN KATALIS OKSIDA LOGAM GANDA TiO2MoO3 DALAM
PENGEMBAN KARBON AKTIF MELALUI METODA BERTAHAP
Sunyono .... 69 78




































vi


Hubungan Tingkat Kerusakan .... (Agus Suyatna) 1
HUBUNGAN TINGKAT KERUSAKAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN INDEKS
VEGETASI MENGGUNAKAN DATA SATELIT LANDSAT THEMATIC MAPPER
MULTI-TEMPORAL

Oleh
Agus Suyatna *)

ABSTRACT

The fast and accurately information of forest fire damage level was important role in
forest management decision making. Accurate forest fire damage mapping plays an
important role in forest management decision making. The goal of study was to see the
correlation of forest fire damage level with the Normalised Vegetation Index (NDVI).
The Natural Pseudo Colour Composite image enhancement techniques and supervised
classification method with maximum likelihood algorithm classification rule used to identify
the areas of forest fire damage in four damage level. The NDVI of both images before
fire and after fire calculated by using the formula: (band 4- band 3)/(band 4 + band 3).
The NDVI mean calculated for each class of forest fire damaged levels. The area of each
class based on classification result of image after fire. The conclusion are as follows: (1)
there were the differences between NDVI before and after fire, (2) the decreases of NDVI
correlated to the increases of level of forest fire damage.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Kegiatan-kegiatan perlindungan kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga tahap
yaitu pra-pemadaman, pemadaman, dan analisis sesudah kebakaran (Paine, 1993).
Analisis sesudah kebakaran dimaksudkan untuk penaksiran kerusakan yang meliputi
jumlah luas yang terbakar, tingkat kerusakannya, dan perhitungan kerugian yang di-
alami. Pemetaan kerusakan hutan yang terbakar sangat penting untuk membuat ke-
putusan dalam pengelolaan hutan termasuk untuk perencanaan upaya pemulihan ke-
rusakan hutan. Informasi yang akurat dan cepat mengenai tingkat kerusakan dan luas
hutan yang terbakar sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan teknik-teknik pengumpulan
data, analisis data, dan pemetaan yang akurat dan cepat

Data dan teknik penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi luas dan
tingkat kerusakan hutan yang terbakar. Menggunakan data Satelite Landsat Thematic
Mapper multi temporal dapat diidentifikasi luas dan tingkat kerusakan kebakaran hutan
dengan menganalisis perubahan tutupan lahan (Change detection) sebelum dan setelah
hutan terbakar.

Informasi lokasi, distribusi, dan jumlah perubahan tutupan lahan menjadi fokus perhatian
para ilmuwan dan praktisi pengelola sumberdaya lahan, perencana guna lahan, dan
kaum bisnis (Stow, 1999). Penggunaan data penginderaan jauh untuk mengakses per-
ubahan tutupan lahan merupakan keberhasilan implementasi dari penginderaan jauh
(Singh, 1989). Registrasi spasial yang akurat merupakan hal yang sangat penting dalam
pengolahan citra untuk mengakses perubahan tutupan lahan (Stow, 1999).

Pada studi kasus di hutan Mediterranean, dengan membandingkan hutan sebelum ter-
bakar dengan sesudahnya melalui citra satelit multi-temporal terlihat perbedaan pola
bentuk lahan. Hutan yang terbakar mengalami pengurangan landscape diversity atau
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

2
hutan terlihat menjadi lebih homogen (Chuvieco, 1999). Penambahan tingkat homo-
genitas setelah kebakaran juga dikemukakan oleh Briggs dan Nellis (1991)

Tujuan dari studi ini yaitu untuk melihat hubungan antara tingkat kerusakan kebakaran
hutan dengan indeks vegetasi ternormalisasi (NDVI=Normalised Vegetation Index), se-
hingga melalui indeks vegetasi ternormalisasi dapat diidentifikasi luas dan tingkat ke-
rusakan hutan akibat kebakaran.

METODE PENELITIAN

Daerah Studi
Daerah studi terletak di Sumatera Selatan seluas 45,48 x 30,36 km atau sekitar 139,9 ha.
Daerah studi merupakan hutan rawa, dengan demikian daerahnya relatif datar. Selama
bulan September 1997 telah terjadi kebakaran hutan di daerah studi, yang menghancur-
kan hutan hujan yang sangat luas dan asap yang ditimbulkannya menyebabkan masalah
kesehatan serta menutup sebagian besar wilayah Indonesia dan negara tetangga untuk
beberapa bulan. Dikarenakan tanahnya berupa tanah gambut, menyebabkan api ke-
bakaran juga merambat di dalam tanah. Sehingga walaupun batang pohonnya belum
terbakar namun akar-akar pohonnya sudah terbakar, mengakibatkan pohon menjadi
kering atau rubuh.

Data
Data penelitian berupa data satelit, peta topografi, dan data lapangan daerah studi. Data
satelit daerah studi berupa data dijital Landsat Thematic Mapper V yang diambil dalam
dua kurun waktu, sepuluh bulan sebelum terjadi kebakaran (12 November 1996) dan
sepuluh bulan setelah terjadi kebakaran (27 Juni 1998). Masing-masing data terdiri dari
enam band yaitu band 1-5 dan band 7, dengan resolusi spasial 30 m. Pada citra sebelum
kebakaran, daerah studi 7% tertutup awan, sedangkan pada citra setelah terjadi kebakar-
an, daerah studi 11% tertutup awan.

Peta Topografi yang digunakan yaitu peta berskala 1 : 50.000, menggunakan sistem ko-
ordinat UTM yang dibuat berdasarkan kepada foto udara tahun 1969. Peta diterbitkan
oleh Jawatan Topografi TNI AD pada tahun 1976.

Data lapangan tutupan lahan tahun 1996 didasarkan pada hasil sementara Proyek In-
ventarisasi dan Monitoring Hutan yang pengambilan data lapangannya diambil pada
tahun 1996. Sedang data lapangan tutupan lahan tahun 1999 diambil secara langsung
pada bulan Juli-Agustus 1999, menghasilkan 100 data pada seratus titik koordinat, tetapi
titik yang terpakai sebanyak 70 buah, selebihnya daerah tertutup awan.

Pembagian Tingkat Kerusakan Kebakaran Hutan
Tingkat kerusakan kebakaran hutan dalam penelitian ini dibedakan dalam empat tingkat
sebagai berikut:
a. Kerusakan rendah: Kebakaran berakibat pada sebagian kecil pohon, beberapa pohon
mati (kurang dari 20%)
b. Kerusakan sedang: Kebakaran hanya terjadi pada pohon-pohon yang besar, tetapi
beberapa vegetasi tidak rusak, beberapa tajuk yang hijau masih terlihat diantara
pohon-pohon yang terbakar. Pohon yang mati antara 20%-50%.
c. Kerusakan tinggi: Lebih dari 50% pohon mati, tetapi batang pohon masih bisa dipakai
untuk kayu.
d. Kerusakan parah: Semua pohon mati, batang pohon tidak bisa digunakan untuk kayu
karena telah menjadi arang.

Hubungan Tingkat Kerusakan .... (Agus Suyatna) 3
Teknik Pengolahan Data
Citra satelit Landsat Thematic Mapper V tanggal 12 November 1996 dan 27 Juni 1998
dikoreksi radiometrik maupun geometrik. Koreksi geometrik pada kedua citra meng-
gunakan peta topografi sebagai acuan. Pada proses ini dipakai 40 buah titik kontrol
lapangan. Metode yang digunakan adalah Transformasi Polinomial Affine orde pertama.
Hal ini dipilih karena daerah penelitian relatif datar. Koreksi radiometrik pada kedua citra
dilakukan dengan haze correction. Citra satelit Landsat Thematic Mapper V tanggal 27
Juni 1998 terkoreksi selanjutnya dipertajam menggunakan teknik penajaman citra Natural
Pseudo Colour Composite dan diklasifikasi menggunakan metode klasifikasi terselia dan
algoritma maximum likelihood. Proses training site dilakukan dengan cara memilih
contoh pixel untuk setiap kelas didasarkan kepada kesamaan kenampakan dengan data
pixel untuk daerah yang sudah diketahui tutupan lahannya berdasarkan hasil kunjungan
lapangan. Training site diulang beberapa kali sebelum ditentukan, hal ini dilakukan untuk
meningkatkan daya pisah kelas (separability of classes) dan untuk memperoleh matriks
kontingensi yang paling baik. Citra diklasifikasi dalam lima kelas yaitu, hutan tidak ter-
bakar, hutan terbakar dengan tingkat kerusakan rendah, sedang, tinggi, dan parah.

Untuk membuktikan bahwa tingkat kerusakan kebakaran hutan berkorelasi denganNDVI,
dilakukan analisis sebagai berikut.
1. Menghitung NDVI Citra satelit Landsat Thematic Mapper V tanggal 12 November 1996
(TM 96) dan citra satelit tanggal 27 Juni 1998 (TM 98). Persamaan untuk menghitung
NDVI adalah sebagai berikut. NDVI=(band 4 - band 3)/(band 4 + band 3). Band 4
adalah julat panjang geombang inframerah dekat (760nm-900nm). Pada julat panjang
gelombang ini, pantulan spektral oleh daun dominan. Dengan demikian nilai refleksi
oleh kanopi tinggi. Band 3 adalah julat panjang geombang merah (630nm-690nm).
Pada julat panjang gelombang ini, serapan oleh pigmen daun dominan. Dengan
demikian nilai refleksi oleh kanopi rendah (Jensen, 1986)
2. Menghitung rata-rata nilai spektral masing-masing citra NDVI 1996 dan NDVI 1998
untuk masing-masing kelas yang bersesuaian dengan tingkat kerusakan kebakaran
hutan. Penentuan daerah untuk masing-masing kelas didasarkan kepada hasil
klasifikasi citra satelit Landsat TM 1998.
3. Menyajikan grafik yang membandingkan NDVI 1996 (sebelum kebakaran) dengan
NDVI 1998 (setelah kebakaran)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM 1998
Teknik penajaman citra yang digunakan adalah Natural Pseudo Colour Composite. Citra
Komposit ini dibentuk dari band 5(1,55-1,75m), band 4(0,76-0,90m) , dan band 3(0,63-
0,69 m) , dan berturut-turut sebagai layer merah, hijau, dan biru. Pada citra ini tampak
perbedaan spektrum hutan yang rusak akibat kebakaran. Kerusakan ekstrim terlihat ber-
warna merah gelap, kerusakan tinggi terlihat merah, kerusakan sedang tampak berwarna
kecoklatan, kerusakan ringan tampak berwarna merah terang, dan daerah tidak terbakar
tampak berwarna hijau dan hijau gelap tergantung kepada jenis tutupan lahannya.

Proses training site dilakukan dengan cara memilih contoh pixel untuk setiap kelas di-
dasarkan kepada kesamaan kenampakan dengan data pixel untuk daerah yang sudah
diketahui tutupan lahannya berdasarkan hasil kunjungan lapangan. Untuk memudahkan
proses training site, masing-masing data lapangan (ground truth) untuk masing-masing
kelas ditampilkan pada citra. Training site diulang beberapa kali sebelum ditentukan, hal
ini dilakukan untuk meningkatkan daya pisah kelas Sampel pixel masing-masing kelas
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

4
dipilih berdasarkan kenampakan paling mirip dengan data pixel lapangan. Pada be-
berapa kelas, pengambilan sampel dilakukan dengan pengambilan sub kelas terlebih
dahulu kemudian baru digabung menjadi satu kelas. Hasil training site disajikan pada
Tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Matriks kontingensi hasil training site citra Landsat TM 1998
Data terkelaskan
(%)
Tidak
Terbakar
Kerusakan
Rendah
Kerusakan
Sedang
KerusakanTi
nggi
KerusakanP
arah
Tidak Terbakar 94 0 0 0 0
Kerusakan
Rendah
2 94 0 0 5
Kerusakan
Sedang

4

0

96

0

0
Kerusakan
Tinggi
0 0 4 100 0
Kerusakan
Parah
0 6 0 0 95

Pada Tabel 1 tampak hasil training site menunjukkan hasil yang baik. Pemilihan sampel
hutan tidak terbakar mencapai kebenaran 94%. 2% tergolongkan ke hutan kerusakan
rendah dan 4% tergolongkan ke hutan kerusakan sedang. Pemilihan sampel hutan ter-
bakar dengan tingkat kerusakan rendah mencapai kebenaran 94%, sedangkan 6% ter-
golongkan ke hutan kerusakan parah. Pemilihan sampel hutan terbakar dengan tingkat
kerusakan sedang mencapai kebenaran 96%. Dan 4% tergolongkan ke hutan kerusakan
tinggi. Pemilihan sampel hutan terbakar dengan tingkat kerusakan tinggi mencapai ke-
benaran 100%. Pemilihan sampel hutan terbakar dengan tingkat kerusakan parah men-
capai kebenaran 95%, sedangkan 5% nya tergolongkan ke hutan kerusakan rendah.
Proses klasifikasi menggunakan algoritma Maximum Likelihood atau kemiripan paling
besar. Ketelitian hasil klasifikasi citra Landsat TM tahun 1998 mencapai 69,2%. Hasil
perhitungan tingkat ketelitian setiap kelas disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil perhitungan tingkat ketelitian setiap kelas citra Landsat TM 1998
Nama kelas Total
Referensi
Total
terkelaskan
Jumlah yg
benar
Ketelitian yg
dihasilkan
Ketelitian
Pengguna
Tidak
Terbakar
33 27 21 64% 78%
Kerusakan
Rendah
18 26 15 83% 58%
Kerusakan
Sedang

5

4

3

60%

75%
Kerusakan
Tinggi
7 8 6 86% 75%
Kerusakan
Parah
7 5 3 43% 60%
Total 70 70 48

Hubungan Tingkat Kerusakan .... (Agus Suyatna) 5
Akurasi ini tidak tinggi, tetapi hasil ini yang tertinggi dari yang pernah dicoba. Hal ini di-
sebabkan sangat sukar untuk mengidentifikasi perbedaan kenampakan kerusakan ke-
bakaran hutan yang dilakukan satu tahun setelah kebakaran. Dalam waktu satu tahun
telah terjadi penebangan hutan yang tidak terbakar sehingga ketelitian yang dihasilkan
hanya mencapai 64%. Demikian juga pada hutan yang mengalami kerusakan parah telah
ditumbuhi semak belukar sehingga hutan yang rusak dengan tingkat kerusakan parah,
sukar dibedakan dengan daerah yang terbakar dengan tingkat kerusakan sedang.

Perubahan NDVI
Indeks vegetasi ternoralisasi digunakan untuk menemu kenali tutupan vegetasi hijau
(green cover). Pada hutan yang terbakar daerah tutupan hijau tentu telah mengalami
perubahan sesuai dengan tingkat kerusakan kebakarannya. Di bawah ini ditunjukkan
rata-rata NDVI citra satelit Landsat TM hutan, sebelum dan setelah terbakar.
Tabel 3. Perbandingan rata-rata NDVI citra hutan sebelum dan setelah terbakar
Tingkat kerusakan hutan Rata-rata NDVI TM 1996
(sebelum kebakaran)
Rata-rata NDVI TM 1998
(setelah kebakaran)
Tidak Terbakar 0,3055 0,4141
Kerusakan Rendah 0,3174 0,3079
Kerusakan Sedang 0,3016 0,1721
Kerusakan Tinggi 0,2770 0,1285
Kerusakan Parah 0,2744 0,0064
Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaan rata-rata yang sangat jelas untuk setiap tingkat
kerusakan kebakaran hutan. Tampak semakin parah tingkat kerusakan hutan, rata-rata
NDVI-nya semakin kecil. Pada hutan yang tidak terbakar, rata-rata NDVInya bervariasi
tergantung kepada jenis tutupan lahannya. Namun dikarenakan hampir semua tutupan
lahan terdiri dari hutan maka perbedaan rata-rata NDVInya tidak besar. Perbanding rata-
rata NDVI sebelum dan setelah terbakar disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
1 2 3 4 5
Tingkat Kerusakan
I
n
d
e
k
s

V
e
g
e
t
a
s
i
Sebelum kebakaran
Setelah kebakaran

Gambar 1. Perbandingan rata-rata NDVI sebelum dan setelah terbakar
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

6
Pada Gambar 1, selain dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara rata-rata NDVI se-
belum dan setelah terbakar, juga dapat dilihat penurunan rata-rata NDVI berkorelasi
dengan tingkat kerusakan kebakaran hutan.
Rata-rata NDVI setelah terbakar tampak lebih kecil dari pada rata-rata NDVI sebelum
terbakar, kecuali untuk daerah yang tidak terbakar. Hal ini dapat disebabkan pada saat
daerah studi di ambil datanya terdapat perbedaan iklim. Citra satelit TM 1996 diambil
datanya pada bulan November 1996 yaitu pada musim kemarau sedangkan Citra satelit
TM 1998 diambil datanya pada bulan Juni 1996 yaitu pada musim hujan. Pada musim
hujan, hutan akan tampak lebih hijau dibandingkan dengan pada musim kemarau. Oleh
karena itulah maka untuk daerah hutan tidak terbakar rata-rata NDVI TM 1998 lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata NDVI TM 1996.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan rata-rata NDVI hutan sebelum dan setelah terbakar. Hutan
setelah terbakar mengalami penurunan rata-rata NDVI
2. Penurunan rata-rata NDVI berhubungan dengan tingkat kerusakan hutan. Semakin
parah tingkat kerusakan hutan, semakin rendah rata-rata NDVI-nya.

Saran
Untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan kebakaran hutan dapat dilihat melalui peta
NDVI hutan terbakar.
DAFTAR PUSTAKA

Briggs, J., and Nellis, D., 1991, Seasonal variation of heterogeneity in the tallgrass
prairie: a quantitative measure using remote sensing. Photogrametric Engineering
and Remote Sensing, No. 57, 407-411
Chuvieco, E. 1999. Measuring change in landscape pattern from satellite images: short-
term effect of fire on spatial diversity. International Journal of Remote Sensing , No.
12, 2331-2346
Jensen, John R. 1986. Introductory Digital Image Processing, A Remote Sensing
Perspective. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey
Richard. 1995. Remote Sensing Digital Image Analysis. An Introduction. 2-nd ed.
Springer-Verlag. Berlin. 340 p.
Stow, D. A., 1999. Reducing the effects of misregistration on pixel-level change detection.
International Journal of Remote Sensing , No. 12, 2477-2483
Singh, A., 1989. Digital change detection techniques using remotely-sensed data.
International Journal of Remote Sensing,No. 6, 989-1003


Perilaku Harian Mentoh .... (Apri Dahlia, dkk.) 7
PERILAKU HARIAN MENTOK RIMBA (Cairina scutulata Muller) DI RAWA ULUNG-
ULUNG RESORT WAY KANAN TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS
LAMPUNG TIMUR

Oleh
Apri Dahlia
1)
, Arwin Achmad
2)
, dan Arwin Surbakti
2)

ABSTRACT

Study on daily behavior of this bird was conducted in their niche. The aspects of daily
behavior studied were duration and frekuency of eating habit, local migration, and resting
time. Environmental factors such as local climate, wind speedy , water turbidity, depth
and water temperature of swamp also were observed. The method used were directly
technical survey and scan technique which was making note completely to the bird
behavior within interval 10 minute during observation. Data was analyzed descriptively.
The data showed that duration of eating habit was 10 hour 23 minutes with frequency
3.62 times. The action of eating habit were looking for food, pulling of leaf, catching and
eating food. Duration of migration were 11 hour 11 minute with frequency of 2.92 times.
The action of migration observed involved sweeming, flying and walking. Duration of
resting time was 10 hour 48 minutes with frequency 4,77 . The resting action involved
were resting with moving wing and tail, and not moving at all.

1)
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.
2)
Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Taman Nasional Way Kambas dikukuhkan sebagai Taman Nasional berdasarkan surat
keputusan Menteri Kehutanan nomor: 14/Menhut-II/1989, merupakan salah satu kawas-
an pelestarian yang kaya dengan jenis satwa. Salah satu jenis satwa yang hidup di sana
adalah Mentok Rimba (Cairina scutulata), yang merupakan burung air langka dan ter-
ancam punah. Oleh karena itu Mentok Rimba merupakan salah satu jenis burung yang
dilindungi (keputusan Menteri Pertanian No. 327/kpts/um/7/1972) dan kemudian di-
kukuhkan dengan Undang-undang No. 5 /1990 tentang konservasi sumber daya alam
dan ekosistemnya. Akan tetapi perlindungan Mentok Rimba belum menjamin kelestari-
annya di alam, jika habitatnya tidak turut dilindungi (Rudyanto, 1993).
Selain jumlahnya sangat sedikit, data lain dari burung ini juga belum banyak didokumen-
tasikan secara memadai. Terutama data mengenai durasi dan frekuensi perilaku makan,
berpindah, dan istirahat, yang sangat penting untuk diketahui sebagai usaha pelestari-
annya. Perilaku makan pada burung biasanya dengan cara menggerakan kepala serta
paruh untuk mengambil makanannya. Perilaku berpindah merupakan salah satu contoh
dari perilaku burung yang berulang-ulang pada interval tertentu yang meliputi aktivitas
berjalan, berenang dan terbang. Perilaku istirahat pada Mentok Rimba meliputi ber-
tengger dan diam (Green, 1992). Sehubungan dengan itu telah dilakukan penelitian
perilaku harian Mentok Rimba di Resort Way Kanan TNWK. yang diharapkan dapat
memberikan sumbangan informasi ilmiah.


JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

8
2
2 1
X X
METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di rawa Ulung-ulung Resort Way Kanan Taman Nasional Way
Kambas Lampung Timur pada tanggal 25 Mei sampai dengan 5 Juni 2002.

Alat-alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan adalah teropong Binokuler ukuran 8 x 25 versi nicon, teropong
binokuler ukuran 7 x 50 versi night vision pegassus, kamera zoom, keping Secchi, ther-
mometer, anemometer, tali, speed boat, dan alat tulis.

Teknik Pengamatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Perilaku harian di-
amati dengan metode Scans technique yaitu pencatatan terhadap perilaku yang me-
nyertai aktivitas Mentok Rimba dengan selang waktu 10 menit (Anonim,1981). Pengukur-
an faktor kimia dan fisik meliputi (1) kecepatan angin diukur dengan menggunakan ane-
mometer,(2) kecerahan air diukur dengan keping secchi yang telah diberi tali berskala
tiap satu meter yang dimasukkan ke dalam air sampai piringan tepat hilang dari peng-
lihatan lalu dicatat kedalamannya, selanjutnya dicari rerata kedua pembacaan tersebut.
Pengukuran dilakukan pada saat matahari tepat tengah hari pada pukul 11.30 13.30
WIB, sebanyak 10 kali ulangan.

Perhitungan kecerahan air digunakan rumus :
Kecerahan :


Keterangan : X
1
= panjang tali pada saat lempeng secchi diturunkan sehingga
tampak remang-remang
X
2
= panjang tali pada saat lempeng secchi ditarik sehingga
tampak remang-remang

(3) Pengukuran kedalaman air dilakukan dengan menggunakan tali yang diberi pem-
berat. Setiap panjang 1 m, tali diberi tanda. Pengukuran dilakukan dengan cara me-
nurunkan tali sampai pemberat menyentuh dasar air, dan (4) pengukuran suhu dengan
termometer yang dicelupkan ke dalam air dan didiamkan selama 10 menit kemudian
skala dibaca. Pengukuran dilakukan 10 kali pada pukul 05.00 07.00, 11.00 13.00
dan 16.00 18.00 WIB.

Analisis Data
Data perilaku harian Mentok Rimba dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif me-
rupakan penguraian secara umum dan penjelasan secara garis besar tentang perilaku
harian Mentok Rimba yang meliputi durasi dan fekuensi perilaku makan, berpindah, dan
beristirahat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap perilaku Mentok Rimba di rawa Ulung-ulung Way Kanan di-
sajikan dalam tabel 1. Frekuensi hasil perjumpaan tiap perilaku harian rata-rata paling
tinggi adalah fre-kuensi perilaku harian istirahat dengan rata-rata 4,77 sedang yang
terendah adalah frekuensi perilaku harian berpindah dengan rata-rata 2,92.

Perilaku Harian Mentoh .... (Apri Dahlia, dkk.) 9
Tabel 1. Frekuensi perjumpaan perilaku harian Mentok Rimba di rawa Ulung-ulung
Resort Way Kanan
WAKTU
Frekuensi ( selama 10 hari pengamatan )
Makan Berpindah Istirahat
05.00 - 05.50 2 5 8 15
06.00 - 06.50 9 2 1 12
07.00 - 07.50 4 4 1 9
08.00 - 08.50 8 3 1 12
09.00 - 09.50 2 4 4 10
10.00 - 10.50 3 5 2 10
11.00 - 11.50 2 1 5 8
12.00 - 12.50 2 2 7 11
13.00 - 13.50 1 1 10 12
14.00 - 14.50 2 1 9 12
15.00 - 15.50 1 1 10 12
16.00 - 16.50 4 5 3 12
17.00 - 17.50 7 4 1 12
47 38 62 147
SD
3,62 + 2,69 2,92 + 1,66 4,77 + 3,61 11,31 1,75

Selanjutnya hasil pengamatan terhadap kondisi lingkungan disajikan pada tabel 2. Dari
tabel 2 tersebut diketahui bahwa dari keadaan faktor fisik lingkungan yang diamati
diperoleh rata-rata kecepatan angin 0,70 m/det, kecerahan air 0,45 m, kedalaman air
0,88 m dan suhu air adalah 28,81
o
C.

Tabel. 2. Rata-rata keadaan faktor fisik lingkungan hidup Mentok Rimba di Rawa Ulung-
ulung Resort Way Kanan Taman Nasional Way Kambas

Hari
Ke-
Cuaca
Kondisi lingkungan

Kecepatan Angin
(m/dt)

Kecerahan
Air (m)
Kedalaman
air (m)
Suhu air
(
0
C)
1 Cerah 0,87 0,37 0,94 29,0
2 Cerah 0,93 0,42 0,80 29,7
3 Cerah 0,60 0,51 0,98 28,7
4 Cerah 0,57 0,45 0,92 28,0
5 Gerimis 0,40 0.31 1,01 27,7
6 Cerah 0,70 0,54 0,85 28,7
7 Cerah 0,90 0,50 0,78 29,7
8 Cerah 1,07 0,47 0,77 29,3
9 Gerimis 0,33 0,29 0,97 28,3
10 Cerah 0,67 0,62 0,82 29,0
SD
0,70 + 0,24 0,45 + 0,10 0,88+ 0,09 28,81+ 0,67

Perilaku Harian Mentok Rimba
Pengamatan perilaku harian Mentok Rimba di rawa Ulung dilakukan mulai dari pukul
05.00 17.50 WIB selama 10 hari berturut-turut dengan selang waktu 10 menit, sehingga
diketahui lama Mentok Rimba beraktivitas rata-rata 10 jam 83 menit. Dalam penelitian
ini, aktivitas dikelompokkan menjadi aktivitas berpindah, istirahat dan makan. Dari tiap
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

10
kelompok aktivitas kemudian diamati perilakunya. Frekuensi perilaku perjumpaan rata-
rata berpindah dan makan lebih kecil daripada frekuensi perilaku istirahat. Hal ini diduga
karena pada saat pengamatan keadaan cuaca pada hari ke lima dan ke sembilan gerimis
sehingga mempengaruhi perilaku istirahat.Pada saat gerimis atau hujan Mentok Rimba
tampak lebih banyak melakukan istirahat sepanjang hari di atas pohon rengas. Untuk
frekuensi perilaku makan rata-rata 3,62 kali dengan durasi 14 jam 23 menit, berpindah
rata-rata 2,92 kali dengan durasi 17 jam 11 menit dan frekuensi perilaku istirahat rata-
rata istirahat 4,77 kali dengan durasi 10 jam 48 menit.

Perilaku Makan
Pada waktu makan, posisi dilakukan dalam keadaan berdiri kadang-kadang dilakukan
sambil berenang. Perilaku makan ketika pengamatan meliputi kegiatan mencari, me-
nemukan dan memasukan makanan ke dalam mulut.

Makanan Mentok Rimba berupa tumbuhan rumput teki (Cyperus rotundus) dan rumput
teri (Paspalum sp) di darat. Faktor fisik seperti keadaan cuaca pada hari ke-5 dan ke-9
gerimis, tampak mempengaruhi Mentok mencari rumput. Pencarian rumput teki dan
rumput teri, oleh Mentok Rimba memilih terlebih dahulu di antara tumbuhan yang lain,
setelah menemukannya, maka Mentok Rimba mengambil daun dan bunga. Pemetikan
daun dari batang rumput teki atau rumput teri, Mentok menggunakan ujung paruhnya.
Helaian daun dipetik dari tangkai dengan ujung paruh kemudian daun beserta tangkai
dijatuhkan ke darat. Hal ini dilakukan oleh Mentok untuk me-lepaskan daun dari tangkai.
Helaian daun dipatok-patok kurang lebih tiga kali, setelah tangkai terlepas, daun diambil
dengan ujung paruh lalu ditelan. Makanan Mentok, selain daun juga memakan bunga
rumput teki dan rumput teri. Bunga lang-sung diambil dari tangkai dengan ujung paruh
kemudian ditelan.

Selain tumbuhan, Mentok Rimba juga memakan siput, keong dan insekta terbang.
Makanan berupa siput diperoleh dari rawa pada hari pengamatan ke-2,3,4,6 dan 7 pukul
06.00 06.50, 08.00 08.00 dan 16.00 16.50 WIB sebanyak delapan ekor siput.
Husain dan Haque (Rudyanto, 1993) melaporkan bahwa di Bangladesh Mentok Rimba
mencari makan di kolam-kolam dangkal dan memakan siput air (Vibria sp), tumbuhan
Hydrilla sp, ikan-ikan kecil, serangga, laba-laba akuatik, biji-bijian, cacing, katak, siput,
algae dan rumput-rumputan. Diduga Mentok Rimba bersifat Omnivora, jenis makan-
annya antara lain siput, insekta terbang, insekta air, cacing dan ikan kecil. Untuk di
daerah Sumatera Mentok Rimba diduga memakan biji-bijian dari sejenis rumput padi-
padian.

Dari pengamatan pada saat mencari siput, Mentok melakukannya dengan cara ber-
enang, mata mencari-cari sambil paruh di masukkan ke dalam air. Hal ini sesuia dengan
pendapat Sibua dan Wisnu (1977) bahwa Mentok Rimba memiliki paruh yang digunakan
untuk mencari makanan di dalam air. Setelah menemukan siput, Mentok terlebih dahulu
membawanya ke tepi rawa dengan cara berenang menuju darat dan paruh menjepit siput
untuk dipecahkan cangkangnya rawa dengan ujung paruh di tepi. Cara memecah cang-
kang dilakukan dengan dipatok-patok kurang lebih empat kali. Setelah cangkang pecah
isi siput diambil dengan ujung paruh kemudian ditelan.

Kecerahan air di rawa sangat membantu Mentok untuk mendapatkan siput. Bila rawa
dalam keadaan keruh seperti pada hari kesembilan, kecerahan air 0,29 m dan kedalam-
an air 0,97 m, ternyata cukup mengganggu Mentok dalam mencari makanan berupa
siput karena air rawa menjadi keruh.


Perilaku Harian Mentoh .... (Apri Dahlia, dkk.) 11
Jika makanan berupa insekta terbang, maka Mentok Rimba menangkapnya dengan cara
terbang menuju sasaran sambil menggerakkan kepala dengan cepat ke arah sasaran.
Pada saat mendekati mangsa paruh dibuka kemudian mangsa dijepit di antara paruhnya.
Insekta yang ditangkap dibunuh terlebih dahulu dengan jepitan ujung paruhnya, setelah
itu dijatuhkan ke darat, selanjutnya Mentok terbang menuju darat dimana mangsa di-
jatuhkan. Setibanya di darat Mentok berjalan ke arah mangsa yang dijatuhkan. Dan
setelah menemukannya, lalu mengambilnya dengan ujung paruh dan memakannya Hal
ini sesuai dengan pendapat Davies dan Houston (Drickamer, 1996) bahwa untuk me-
nangkap serangga yang terbang, burung akan menangkapnya kemudian dijatuhkan ke
darat dan ini merupakan salah satu dari perilaku makan burung.

Perilaku Berpindah Tempat
Perpindahan dari satu tempat ketempat lain dilakukan dengan cara terbang, berjalan dan
berenang pada pukul 05.00 17.50 WIB. Berpindah terbang dilakukan pada saat ada
ancaman atau gangguan dari predator seperti burung elang yang muncul pada hari
keenam pengamatan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi terbang adalah kecepatan
angin

Saat terbang dilakukan dengan cara mengepakkan sayap, kepala digerakkan kekanan
dan ke kiri, kaki sejajar dengan ekor. Pada saat bersamaan Mentok Rimba juga menge-
luarkan suara yang khas yaitu ngook-ngook. Suara terutama dikeluarkan oleh Mentok
jantan untuk memberi tanda pada Mentok Rimba yang lain bahwa di sekitar rawa ada
predator. Hal ini sesuai dengan pernyataan Green (1992) bahwa Mentok Rimba akan
mengeluarkan suara yang keras pada saat terbang apabila ada ancaman.

Perpindahan dengan berjalan setelah berenang dilakukan untuk menuju ke darat,
disertai gerak kepala ke kanan dan ke kiri. Terkadang berjalan dilakukan setelah terbang
sebelum Mentok menuju ke rawa. Terlebih dahulu Mentok hinggap di darat dengan cara
kaki ditapakkan ke darat dan sayap direntangkan. Kemudian berjalan dari pinggir rawa
menuju ke tengah rawa untuk berenang.

Mentok melakukan kegiatan berenang setelah istirahat di tepi rawa. Faktor fisik se-perti
suhu air yang tinggi pada hari ke-2, 7, dan ke-8 yang berkisar 29,7
0
C, mempengaruhi
Mentok berenang, karena pada suhu tersebut air rawa menjadi panas. Dari tepi rawa
menuju rawa dilakukan dengan cara berjalan, kemudian berenang dengan badan di atas
air, paruh sesekali dimasukkan ke dalam air. Menurut Sibua dan Wisnu (1977) kegiatan
memasukkan paruh ke dalam air dilakukan oleh Mentok dalam rangka mencari makan di
tempatnya melakukan kegiatan berenang. Pada saat pengamatan tampak bahwa se-
telah terbang, Mentok Rimba kemudian berenang. Hal ini dilakukan dari udara langsung
menuju ke tengah-tengah rawa dengan cara sayap dikepak-kepakkan, kaki ditapakkan
ke permukaan rawa, dan kepala diluruskan ke depan lalu Mentok mendarat di per-
mukaan rawa kemudian berenang.

Perilaku istirahat
Mentok Rimba melakukan istirahat disela-sela waktu makan dan berpindah. Istirahat
paling tinggi dilakukan pada pukul 13.00 15. Hasil pengamatan meliputi istirahat diam
diikuti dengan istirahat menggerakkan sayap dan istirahat menggerakkan ekor. Hal ini
sesuai dengan pernyatan Anonim (1991) bahwa istirahat terdiri atas istirahat diam,
istirahat menggerakkan sayap dan istirahat menggerakkan ekor.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

12
Mentok melakukan istirahat diam sesudah kegiatan makan atau berenang di tengah ra-
wa, kemudian berenang menuju tepi rawa, selanjutnya berjalan mencari tempat istirahat.
Faktor fisik seperti keadaan cuaca pada hari ke-5 dan ke-9 yang gerimis, membuat
Mentok melakukan istirahat diam di tepi rawa. Istirahat diam dilakukan dengan cara me-
ngeram, kedua kaki tertutup oleh badan, mata dipejamkan, kepala kadang-kadang miring
ke kanan atau ke kiri, sayap dan ekor tidak digerakan. Selain kegiatan istirahat diam,
dari hasil pengamatan Mentok Rimba juga melakukan isti-rahat di tengah rawa sambil
menggerakkan sayap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (1995) bahwa tempat-
tempat yang umum digunakan oleh Mentok Rimba untuk beristirahat adalah di pinggir
dan di tengah rawa. Jika istirahat di rawa, maka dilakukan dengan cara sayap dikepak-
kepakkan kurang lebih dua sampai lima kali, kepala dan badan digoncang-goncangkan.
Kepakan sayap diduga bertujuan untuk membersihkan bulunya. Istirahat sambil meng-
gerakkan ekor dilaku-kan Mentok setelah melakukan kegiatan makan di rawa. Ekor di-
gerakkan ke kanan dan ke kiri disertai dengan gerakan lain seperti kepala dimiringkan ke
kanan dan ke kiri, serta mata dipejamkan.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu ada perbedaan durasi dan frekuensi pada setiap
perilaku harian (makan, berpindah, dan beristirahat) dari Mentok Rimba. Durasi perilaku
makan adalah 14 jam 23 menit dengan frekuensi perjumpaan rata-rata 3,62 kali, durasi
berpindah 17 jam 11 menit dengan frekuensi perjumpaan rata-rata 2,92 kali, dan durasi
beristirahat selama 10 jam 48 menit dengan frekuensi perjumpaan rata-rata 4,77 kali.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1981. Primata. Tria Pustaka. Jakarta.

Anonim. 1991. Bebek Hutan Bersayap Putih. Himbio Universitas Padjajaran. Bandung.

Anonim. 1993. The White-Winged (Cairina scutulata) in the Way Kambas. Bogor.

Drickamer, C. 1996. Animal Behavior. Fourt Edition. Times Mirror Higher Education
Group, Inc.

Green, A.J. 1992. The Biology of The White-Winged Wood Duck (Cairina scutulata).
Froktail. Slimbridge. UK.

Rudyanto. 1993. Mentok Rimba (Cairina scutulata) di Indonesia. Asian Wetland Bureau
dan PHPA. Bogor.

Sibua dan Wisnu. 1977. Survey White-Winged Wood Duck (Cairina scutulata) di Taman
Nasional Berbak Jambi dan Sekitarnya. Wetlands International Indonesia Program
dan PHPA. Bogor.




Prosentase Pemahaman Siswa .... (Dwi Yulianti) 13
PROSENTASE PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP UNSUR, SENYAWA,
CAMPURAN, MOLEKUL, ANGKA INDEKS DAN KOEFISIEN

Oleh
Dwi Yulianti *)

ABSTRACT

The research was caried out to obtain undertanding of student class 1 SLTPN 4 Malang
on conceps elemen, compound, mixed, molecule, index and coeffisien. To get the proper
data, the students were grouped with the member of 4 person each. Among member in
each group were positively depend on to each other and studied cooperatively to get the
highest score. Teaching activity was ended by giving tests to the students. The given test
was multiple choice consists of 25 item. The data , score of the test, was analyzed in
precentage (%) . The result indicated that the student undertanding on element concep
compound, mixed, molecule concep were good , while on index numerik and coefficien
were fair.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran kelompok dengan anggota setiap
kelompok terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa. Setiap kelompok terdiri dari anggota-
anggota dengan kemampuan yang beragam. Inti dari pembelajaran kooperatif adalah
masing-masing anggota kelompok saling bergantung secara positip dan saling
membelajarkan untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari (Lundegren, 1994).
Tanpa terciptanya ketergantungan positip antara siswa yang belajar, maka pembelajaran
kelompok tidak dapat dikatakan pembelajaran kooperatif.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif mampu me-
ningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari, seperti di-
ungkapkan oleh Kurniawan (2000) pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan
prestasi belajar fisika siswa SLTP kelas III. Hal senada diungkapkan oleh Purwati (2001)
pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan prestasi belajar siswa SLTP kelas II pada
mata pelajaran fisika. Hasil penelitian oleh Kurniawan (2000) dan Purwati (2001) tersebut
didukung pula hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Action Research
Probolinggo (2000) pada mata pelajaran bahasa inggris dan Lonning (1993) meng-
ungkapkan pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk
memahami konsep-konsep yang dipelajari.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaporkan antara lain oleh Kurniawan, Purwati,
Tin Action Research Probolinggo dan Lonning, maka pembelajaran kooperatif me-
mungkinkan untuk meningkatkan kemampuan siswa SLTP kelas 1 memahami konsep
unsur, senyawa, campuran, molekul, angka indeks dan koefisien.

METODE PENELITIAN

Ada 4 kelas yang digunakan untuk mendapat data yang dibutuhkan, 2 kelas digunakan
sebagai kelas eksperimen sedangkan 2 kelas yang lain digunakan sebagai kelas kontrol.
Penetapan kelas eksperimen dan kontrol ditentukan melalui undian. Pada kelas
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

14
eksperimen siswa mengalami pembelajaran kooperatif sedangkan pada kelas kontrol
siswa mengalami pembelajaran konvensional. Untuk mendapat data persentase pe-
mahaman siswa terhadap konsep unsur, senyawa, campuran, molekul, angka indeks dan
koefisien maka siswa yang mengalami pembelajaran konvensional tidak dikelompokkan
sedangkan pada kelas eksperimen siswa dikelompokkan dengan anggota setiap ke-
lompok terdiri dari 4 orang dengan kemampuan yang beragam. Setelah siswa di-
kelompokkan, langkah berikutnya setiap siswa anggota kelompok mendapatkan modul
pembelajaran kooperatif yang berisi materi konsep unsur, senyawa, campuran, molekul,
angka indeks dan koefisien. Antara siswa anggota kelompok saling bergantung secara
positip dan saling membelajarkan untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari.
Pembelajaran diakhiri dengan pemberian tes kepada setiap siswa belajar. Tes yang
diberikan adalah tes dalam bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 25 soal, dengan rincian
6 soal materi konsep unsur, 5 soal materi konsep senyawa, 5 soal materi konsep
campuran, 5 soal materi konsep molekul, 4 soal materi konsep angka indeks dan
koefisien. Data yang diperoleh dari hasil tes kemudian dianalisis dengan rumus per-
sentase sebagai langkah awal untuk mengetahui kriteria persentase pemahaman siswa.

Langkah-langkah analisis data
Memberi skor setiap butir jawaban siswa dari setiap konsep pada pembelajaran
kooperatif dan pembelajaran konvensional.
Menentukan persentase yang diperoleh siswa dari setiap konsep pada pembelajaran
kooperatif dan pembelajaran konvensional.
Rumus yang digunakan:
% 100
soal x siswa
x
skor
Persentase


Memberi predikat persentase pemahaman siswa dari setiap konsep pada
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional
Memberi predikat persentase pemahaman rata-rata yang diperoleh siswa pada
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional.

Bagan Prosedur Pelaksanaan Penelitian

KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL

Pembentukan Kelompok Belajar Tanpa Pembentukan Kelompok Belajar

Pemberian Modul Pemberian Modul

Proses Pembelajaran Kooperatif Proses Pembelajaran Konvensional

Tes Tes

Data Data

Analisis Data Analisis Data

Pembahasan Pembahasan

Kesimpulan Kesimpulan


Prosentase Pemahaman Siswa .... (Dwi Yulianti) 15
Kriteria yang digunakan untuk mengetahui persentase pemahaman siswa merujuk
kepada Arikunto (1996) yaitu:
1. Persentase antara 0-30 termasuk kategori persentase pemahaman kurang sekali.
2. Persentase antara 31-55 termasuk kategori persentase pemahaman kurang.
3. Persentase antara 56-65 termasuk kategori persentase pemahaman cukup.
4. Persentase antara 66-79 termasuk kategori persentase pemahaman baik.
5. Persentase antara 80-100 termasuk kategori persentase pemahaman baik sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase pemahaman dan kriteria persentese pemahaman siswa yang mengalami
pembelajaran kooperatif terhadap konsep unsur, senyawa, campuran, molekul, angka
indeks dan koefisien sebagaimana di muat pada tabel 1.

Tabel.1 Persentese Pemahaman Siswa pada Pembelajaran Kooperatif dan Pada
Pembelajaran Konvensional Sub Pokok Bahasan Unsur dan Senyawa
Pembelajaran
Konsep
Eksperimen Kontrol
% Kriteria % Kriteria
Unsur 66,0% Baik 60,1% Cukup
Senyawa 57,0% Cukup 43,0 Kurang
Campuran 76,0% Baik 61,6% Cukup
Molekul 71,0% Baik 59,6% Cukup
Angka Indek & Koefisien 65,0% Cukup 55,6% Cukup

Ada beberapa faktor yang menyebabkan persentase pemahaman siswa yang
mengalami penbelajaran kooperatif terhadap konsep-konsep yang dipelajari lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran
konvensional. Faktor pertama adalah penilaian pada pembelajaran kooperatif me-
nerapkan penilaian dimana setiap nilai yang dicapai atau diperoleh individu akan
berpengaruh terhadap nilai kelompok, sistim penilaian seperti ini disebut sistim penilaian
kooperatif (Hamalik.1996). Penilaian kooperatif berbeda dengan penilaian pada
pembelajaran konvensional, pada pembelajaran konvensional sistim penilaian yang
dipakai adalah sistim penilaian kompetitif atau individual. Pada sistim penilaian kompetitif
siswa akan dianggap berhasil jika siswa lain tidak berhasil sedangkan pada sistim
penilaian individual keberhasilan siswa tidak ditentukan dari keberhasilan siswa lain
dengan demikian siswa akan kompetisi untuk mencapai hasil sebaik-baiknya tanpa
memperdulikan siswa yang lain, sehingga pada akhirnya penguasaan siswa yang tinggi
akan memenangkan kompetisi dan penguasaan siswa yang rendah tidak akan me-
menangkan kompetisi. Sistim penilaian seperti ini akan mematahkan motivasi siswa
kelompok bawah dalam berusaha untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari lebih
lanjut (Hamalik.1996). Mencermati pendapat Ibrahim (2000) mengatakan sistim penilaian
kooperatif akan membuat siswa kelompok bawah merasa tidak tertekan, timbul motivasi
dan terbantu oleh siswa kelompok atas untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari,
sedangkan bagi siswa kelompok atas dengan seringnya memberi penjelasan pada
anggotanya yang membutuhkan retensi terhadap konsep-konsep yang dikuasai akan
melekat lebih lama.

Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan penerapan sistim penilaian
kooperatif akan meningkatkan motivasi belajar siswa, rasa tidak tertekan siswa kelompok
bawah, retensi penguasaan konsep siswa kelompok atas akan lebih lama yang
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

16
berpengaruh terhadap peningkatan penguasaan siswa yang mengalami pembelajaran
kooperatif terhadap konsep-konsep yang dipelajari dibanding-kan penguasaan siswa
yang mengalami pembelajaran konvensional. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini,
dimana persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif secara
umum sebesar 67,0% dengan kriteria persentase pe-mahaman baik, sedangkan
persentase pemahaman secara umum siswa yag mengalami pembelajaran konvensional
sebesar 55,7% dengan kriteria persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran
kooperatif lebih tinggi dibanding dengan persentase siswa yang mengalami pembelajaran
konvensional.

Kedua selama proses pembelajaran kooperatif berlangsung siswa-siswa yang terlibat
proses pembelajaran menggunakan bahasa yang biasa mereka pakai sehari-hari dalam
menjelaskan, bertanya atau berkomunikasi. Dengan menggunakan bahasa keseharian
ini, membuat penjelasan-penjelasan dan komunikasi dapat berjalan baik dan mudah
diterima atau dimengerti oleh sesama siswa yang terlibat dalam pembelajaran kooperatif,
hal ini akan menyebabkan pemahaman pada konsep-konsep yang dipelajari akan lebih
mudah dan lebih baik seperti diungkapkan oleh Ibrahim (2000) bahwa pembelajaran
kooperatif mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai konsep-konsep
yang diberikan karena siswa yang terlibat selama pembelajaran berlangsung akan meng-
gunakan bahasa mereka sehari-hari, penggunaan bahasa keseharian mereka dalam
berinteraksi akan memudahkan siswa untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari.
Dampak positif yang diharapkan dapat ditimbulkan adalah adanya peningkatan ke-
mampuan siswa yang terlibat pembelajaran untuk memahami konsep-konsep yang
dipelajari. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana persentase pemahaman
siswa yang pengalami pembelajaran kooperatif secara umum sebesar 67,0% dengan
kriteria persentase pemahaman baik, sedangkan persentase memahaman secara umum
siswa yang mengalami pembelajaran konvensional sebesar 55,7% dengan kriteria
persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa persentase
pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan
dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran konvensional.

Ketiga, pada pembelajaran kooperatif siswa-siswa yang terlibat pembelajaran di-
kelompok-kelompokkan dengan kemampuan anggota kelompok yang heterogen.
Diharapkan dengan kemampuan yang heterogen secara tidak langsung akan terjadi
transfer akademik antara siswa yang terlibat pembelajaran dalam kelompok terutama dari
siswa berkemampuan tinggi kepada siswa berkemampuan rendah atau sedang.
Mencermati pendapat Rahayu (1996) yang mengatakan perkembangan konseptual
terjadi melalui aktivitas kolaboratif melalui pertukaran pendapat dengan orang lain.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa saling tukar pendapat antara siswa yang
terlibat pembelajaran kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan
anggota kelompok yang beragam, menunjukkan saling tukar pendapat antara siswa telah
terjalin dengan baik. Dengan terjalinnya saling tukar pendapat yang baik antara siswa
yang terlibat pembelajaran, menyebabkan terjadinya transfer pengetahuan antara siswa
yang terlibat pembelajaran. Dampak positip yang diharapkan dapat terjadi adalah adanya
peningkatan pemahamn siswa yang terlibat pembelajaran terutama siswa yang ber-
kemampuan rendah. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana persentase
pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih tingggi dibandingkan
dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran konvensional.
Persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif secara umum
sebesar 67,0% dengan kriteria persentase pemahaman baik, sedangkan persentase

Prosentase Pemahaman Siswa .... (Dwi Yulianti) 17
pemahaman secara umum siswa yang mengalami pembelajaran konvensional sebesar
55,7% dengan kriteria persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih
tinggi dibandingkan dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajar-
an konvensional.

Keempat, siswa yang terlibat pembelajaran kooperatif akan terlibat dalam pembelajaran
secara aktif dan memiliki usaha yang lebih besar untuk mencapai tujuan pembelajaran
seperti diungkapkan oleh Rahayu (1996) dan Ibrahim (2000) bahwa dalam pembelajaran
kooperatif siswa dalam kelompok akan terlibat secara aktif dan memiliki usaha yang lebih
besar dalam mencapai tujuan. Dengan terlibatnya siswa secara aktif, menurut Noornia
(2000) siswa akan memiliki konsentrasi yang lebih baik dibandingkan dengan keterlibatan
siswa pada pembelajaran dimana kedudukan siswa lebih banyak hanya sebagai pen-
dengar. Konsentrasi ini tumbuh karena selama proses pembelajaran, waktu pembelajar-
an lebih banyak digunakan untuk mensistensis dan menginterprestasikan berbagai
konsep yang terdapat pada meteri pembelajaran. Mencermati pendapat Rahayu, Ibrahim
dan Noornia ini menunjukkan bahwa kemampuan pembelajaran kooperatif dalam pe-
ningkatan penguasaan siswa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa disebabkan
karena pada pembelajaran kooperatif dirancang agar siswa yang terlibat pembelajaran
dapat berperan secara aktif untuk menyelesaikan tugas secara kooperatif, dalam hal ini
tugas telah ditetapkan guru dan tercantum dalam modul. Hasil pengamatan dan
penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum siswa terlibat dalam pembelajaran,
aktifnya siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa yang antusias mengikuti
pembelajaran, siswa aktif mengemukan pendapat-pendapat dalam diskusi, bertanya,
memberi penjelasan kepada anggota kelompok yang membutuhkan. Hal-hal ini me-
nyebabkan setiap siswa yang terlibat pembelajaran akan memiliki konsentrasi yang lebih
baik dan usaha yang lebih besar untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami
pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan persentase pemahaman siswa yang
mengalami pembelajaran konvensional.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah
Persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif terhadap
konsep-konsep yang dipelajari lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pemahaman
siswa yang mengalami pembelajaran konvensional

Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian ini maka diajukan saran-saran yaitu:
a. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang mampu
meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari, hal ini
telah dibuktikan pada penelitian ini khususnya pada pembelajaran sub pokok
bahasan unsur dan senyawa. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti
menyarankan kepada guru-guru bidang studi fisika di SLTP untuk mencoba
menggunakan pembelajaran kooperatif pada pokok-pokok bahasan yang lain.
b. Sub pokok bahasan unsur dan senyawa merupakan sub pokok bahasan yang
mempelajari konsep-konsep dasar untuk memahami konsep-konsep kimia lebih
lanjut. Selain mempelajari sub pokok bahasan unsur dan senyawa, siswa SLTP
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

18
mempelajari pula konsep-konsep tentang atom. Konsep atom merupakan pula
konsep dasar untuk memahami konsep-konsep kimia lebih lanjut. Oleh karena itu
disarankan untuk dilakukan penelitian tentang persentase pemahaman siswa yang
mengalami pembelajaran kooperatif pada konsep-konsep atom, dan persentase
pemahaman siswa pada konsep-konsep atom dan konsep yang terkait dengan
konsep atom.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
Press

Kurniawan. 2000. Studi Kasus Pembelajaran Kooperatif di SLTP. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Lonning, Robert A. 1993. Effect Of Cooperative Learning Stretegies On Student Verbal
Interaction and Achievement During Conceptual Change Instruction In 10 th Grade
General Science. Journal Of Research In Science Teaching: A Wiley Interscience
Publication, 9 (30): 31-39.

Lundgren, Linda. 1994. Cooperative Learning In The Scince Classroom. New York :
Glencoe.

Noornia, Anton. 2000. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Model STAD di kelas
VI SD Almaarif 02 Singosari. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM.

Purwati. 2001. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Berbasis Aktivitas Terhadap
Ketrampilan Kooperatif IPA Siswa Kelas II SLTPN yang Berkemampuan Rendah di
Malang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Rahayu, Sri. 1996. Pembelajaran Kooperatif Pada Mata Pelajaran IPA. Jurnal Chimera, 2
(4): 117-122

Tim Action Research Probolinggo. 2000. Pembelajaran Kooperatif Dengan Kelompok
Heterogen Pada Matapelajaran Bahasa Inggris Siswa SLTP Kelas 1 Cawu 1 Di
Probolinggo. Jurnal Genteng Kali, 3 (3): 9-14.


















Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 19
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DAN PEMAHAMAN KONSEP
TENTANG LARUTAN MELALUI METODE DEMONSTRASI DI SMU YP UNILA
BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2000-2001

Oleh
Ila Rosilawati *)

ABSTRACT

The action research was conducted to finf out (1) students activity during teaching
process using demontration method, on topic solution (2) students comprehension on the
given topic. The data was obtained by observing the subject and giving tests . The data
was analyzed in procentage (%). The research concluded that (1) The teaching process
on topic solution using demontration method could enhance students learning activity.
The increasing activity were showed from the first cycle to the second and getting better
thereafter (2) Teaching process on concept of solution using demonstration method
could enhance students comprehension of the concept, the method, however, was
unproper to be used for teaching on calculating chemistry problem .
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Dalam proses pendidikan ada tiga komponen yang saling berinteraksi dan harus diper-
hatikan, yaitu guru, siswa dan materi pelajaran. Interaksi ketiga komponen ini melibatkan
sarana prasarana seperti metoda mengajar dan media, sehingga tercipta belajar me-
ngajar yang memungkinkan terciptanya cara belajar siswa aktif (CBSA). Keberhasilan
suatu pengajaran dapat ditinjau dari sudut proses (by procces) dan hasil yang dicapai-
nya (by product).

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru-guru bidang kimia di SMU YP
Unila tahun 2000 ditemukan data sebagai berikut :
1. Umumnya siswa yang masuk ke SMU YP Unila mempunyai NEM rendah dengan
nilai (hasil belajar) pembelajaran kimia rata-rata masih di bawah 6,0.
2. Pembelajaran kimia di kelas oleh guru bidang kimia umumnya dimulai dengan me-
nerangkan konsep, memberi contoh-contoh soal hitungan dan dilanjutkan dengan
siswa mengerjakan soal-soal terutama soal-soal dalam LKS yang berkaitan dengan
perhitungan. Selama guru menerangkan, siswa cenderung dengan kegiatan masing-
masing dan mengobrol dengan teman sehingga tidak memperhatikan pelajaran yang
diberikan dan suasana kelas menjadi ribut dan ramai. Siswa tidak memiliki motivasi
belajar, siswa tidak mencoba mengerjakan soal-soal hitungan yang diberikan guru.
Jumlah siswa perkelas rata-rata 50 orang (kelas besar).
3. SMU YP Unila hanya mempunyai satu ruangan laboratorium yang digunakan ber-
sama untuk kimia, fisika dan biologi. Laboratorium ini belum maksimal digunakan
oleh guru bidang kimia dalam proses pembelajaran kimia, karena tidak ada laboran
yang membantu dan jumlah jam mengajar yang banyak sehingga tidak ada waktu
untuk mempersiapkan bahan praktikum .

Atas dasar fakta di atas dan keinginan mengimplementasikan kurikulum1994 yang meng-
hendaki pelajaran IPA khususnya mata pelajaran kimia diajarkan melalui keterampilan
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

20
proses, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimanakah keaktivan siswa selama pembelajaran larutan dengan metode
demonstrasi?
2. Apakah pembelajaran larutan dengan metode demonstrasi dapat meningkatkan pe-
mahaman siswa tentang konsep-konsep larutan?
Belajar dan mengajar adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Belajar menunjukkan pada apa yang dilakukan seseorang sebagai subjek yang meneri-
ma pelajaran (siswa) dan mengajar menunjuk pada apa yang dilakukan oleh guru seba-
gai pengajar.

Sujarwo (1989:47) menyatakan Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku
pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkung-
annya. Sudjana (1989:29) menyatakan bahwa Mengajar adalah proses memberikan
bimbingan/bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai suatu pengetahuan yang memegang peranan
penting dalam kemajuan teknologi sekarang ini di dalam proses belajar mengajarnya
sangat membutuhkan perhatian baik dari pihak guru sebagai penyampai pengetahuan
IPA maupun anak didik sebagai penerima pengetahuan IPA. Kurikulum 1994 menghen-
daki pengajaran IPA khususnya mata pelajaran kimia diajarkan melalui keterampilan
proses.

Menurut Karso (1993), pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan
proses sangat penting dilakukan karena (a) anak didik akan berperan aktif dalam kegiat-
an belajarnya, (b) anak didik mengalami sendiri proses untuk mendapatkan konsep dan
rumus-rumusnya, (c) memungkinkan anak didik mengembangkan sikap ilmiahnya dan
merangsang rasa ingin tahu pada anak didik, (d) anak didik akan mampu menghayati
secara benar, karena anak didik sendiri yang menemukan konsep dari hasil pekerjaan-
nya, (e) anak didik akan merasa puas dengan penemuannya sebagai salah satu factor
menumbuhkan motivasi pada diri anak didik.

Penggunaan metode mengajar yang tepat sangatlah penting dalam proses belajar me-
ngajar. Menurut Sudjana (1989:83), metode demonstrasi merupakan metode mengajar
yang sangat efektif, sebab membantu siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sen-
diri berdasarkan fakta (data) yang benar,

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan terhadap siswa kelas II
2
SMU YP Unila Bandar Lampung ta-
hun ajaran 2000/ 2001 dengan jumlah siswa 50 orang.

Data penelitian ini berupa: (1) data kuantitatif, yaitu data pemahaman siswa tentang
konsep larutan dan (2) data kualitatif, yaitu data aktivitas siswa dan kemampuan guru
mengajar selama proses belajar mengajar. Data kemampuan guru mengajar adalah
variabel kontrol.

Teknik pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut:
1) Data pemahaman siswa tentang konsep larutan diambil dengan menggunakan tes
formatif pada setiap akhir siklus I, II dan III.
2) Data aktivitas siswa diambil dengan menggunakan format observasi yang berisikan

Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 21
a) Kesiapan siswa menerima pelajaran yang terdiri dari tiga aspek yaitu : membawa
buku referensi, membawa buku catatan dan membawa alat tulis.
b) Proses kegiatan belajar mengajar yang terdiri dari lima aspek yaitu : aktif
mengikuti demonstrasi, aktif mengajukan pertanyaan, aktif menjawab pertanyaan
guru, aktif mencatat keterangan guru dan aktif mengerjakan soal latihan.
Kriteria aspek aktif menjawab pertanyaan guru yaitu pertanyaan guru yang
mengarahkan siswa untuk mengembangkan keterampilan proses, yaitu
menafsirkan data, menarik kesimpulan, meramalkan, menerapkan konsep.
3) Data kemampuan guru mengajar diambil dengan format abservasi. Aspek yang
diamati yaitu memotivasi siswa, penguasaan materi, teknik bertanya, pengelolaan
waktu pengajaran, membimbing siswa membuat rangkuman, menguasai penggunaan
perangkat demonstrasi.

Data pemahaman siswa tentang konsep larutan setiap siklus dihitung dengan rumus
( Sudjana, 1989 )
X
n
Keterangan : X
n
= nilai rata-rata siklus ke n
X
n
= X
n
= jumlah nilai siklus ke n
N N = jumlah siswa
n = 1, 2, dan 3

Data aktivitas siswa setiap siklus dihitung dengan rumus ( Sudjana, 1989 )
Skor aktivitas
Persentasi aktivitas = X 100 %
Skor total aktivitas

Indikator pada penelitian ini adalah berhasil jika memenuhi
a) 85 % siswa mencapai nilai tes formatif 6,5.
b) Aktivitas siswa terkategorikan baik

Pengembangan siklus tindakan ini akan dilaksanakan dalam 3 siklus
1. Siklus I, terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a) Tahap Perencanaan
1) Membuat satuan pelajaran (SP), rencana pembelajaran , LKS demontrasi dan
alat evaluasi, lembar observasi.

2) Merencanakan skenario pembelajaran
b) Tahap Pelaksanaan Skenario
c) Tahap Observasi
Tahap ini dilaksanakan pada saat pelaksanaan tindakan kelas. Sebagai observer
adalah dosen mitra.
d) Tahap Refleksi
Data yang diperoleh dari siklus I baik data kualitatif maupun kuantitatif dianalisis
bersama guna memperoleh gambaran keberhasilan serta kekurangan dan
kelebihannya. Kemudian dicari strategi proses pembelajaran pada siklus ke II.
2. Siklus II, merupakan pengembangan siklus I.
3. Siklus II, merupakan pengembangan siklus II.

HASIL DAN PEMBAHASAN

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

22
Data hasil observasi aktivitas siswa dan data pemahaman siswa tentang konsep larutan
ditunjukkan pada tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Pemahaman siswa tentang konsep larutan
No. S u b j e k S i k l u s
I II III
1. Rerata nilai tes formatif siswa 6,52 6,86 6,72
2. Jumlah siswa yang mendapat nilai 6,5 (orang) 29 42 33
3. Persentase siswa yang mendapat nilai 6,5 (orang) 58,00 84,00 66,00

Data tabel 1 menunjukkan pemahaman siswa tentang konsep larutan meningkat dari
siklus I ke siklus II dan dari siklus II ke siklus III menurun.

Tabel 2. Frekuensi aktivitas siswa pada siklus I, II dan III
I II III
No. Aspek yang diamati Pertemuan
1 2
I. Kesiapan menerima pelajaran
1. membawa referensi 42 43 45 49
2. membawa buku catatan 45 50 50 50
3. membawa alat tulis 50 50 50 50
J u m l a h 137 143 145 149
Persentase 91,33 95.33 96,66 99,33
II. Proses pembelajaran
1. aktif mengikuti demonstrasi 35 41 43 46
2. aktif mengajukan pertanyaan 9 11 13 15
3. aktif menjawab pertanyaan guru 12 15 15 20
4. aktif mencatat keterangan guru 45 50 50 50
5. aktif mengerjakan latihan soal 45 50 50 50
J U M L A H 146 167 171 181
PERSENTASE 58,40 66,80 68,40 72,40

Data tabel 2 menunjukkan aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II dan dari siklus II ke
siklus III meningkat. Aktivitas siswa dari siklus I sampai siklus III semakin baik. Dari tabel
2 dapat dilihat bahwa kesiapan siswa menerima pelajaran pada siklus I ter-kategori baik,
walaupun masih ada siswa yang tidak membawa buku referensi (16 %) dan buku catatan
(10 %). Rerata % keaktifan siswa waktu proses pembelajaran berlangsung pada siklus I
adalah 58,40 %, terkategorikan cukup. Keaktifan siswa mengajukan per-tanyaan (18 %)
dan keaktifan siswa menjawab pertanyaan (24 %) masih sangat kurang, sehingga perlu
ada perbaikan dalam proses belajar mengajarnya. Secara keseluruan aktivitas siswa
pada siklus I terkategorikan baik (rerata % aktivitas siswa = 74,87 %), se-hingga perlu
dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi.Data nilai rata-rata tes formatif pada siklus I
(6,52), tingkat pemahaman siswa pada siklus I dikategorikan baik. Tetapi jika dilihat dari
persentase siswa yang mendapat nilai 6,5 (58,00 %), maka proses belajar mengajar
siklus I belum mencapai target. Hal ini, kemungkinan diakibatkan oleh (a) siswa kurang
aktif bertanya kepada guru apa yang dia tidak pahami. Siswa pasif hanya menerima apa
yang diberikan guru (b) siswa kurang diberi soal-soal latihan yang bervariasi


Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 23
Memperhatikan hasil pelaksanaan siklus I, maka pada siklus II akan ditingkatkan upaya
kesiapan siswa dalam menerima pelajaran dengan tugas membaca di rumah; me-
motivasi siswa untuk lebih berminat dalam belajar, sehingga aktif dalam menjawab
pertanyaan guru dan aktif bertanya kepada guru apa yang siswa belum pahami.

Dari table 2 terlihat bahwa kesiapan menerima pelajaran selama siklus II semakin baik,
meningkat 4,67 %. Rerata persentase kesiapan siswa menerima pelajaran pada siklus II
adalah 96,00 %, terkategorikan sangat baik. Proses pembelajaran siklus II menunjukkan
adanya peningkatan aktivitas siswa sebesar 9,24 %. Rerata proses pembelajaran pada
siklus II adalah 67,60 %, terkategorikan baik. Secara keseluruan aktivitas siswa pada
siklus II terkategorikan baik (rerata % aktivitas siswa = 81,80 %). Jika dibandingkan de-
ngan aktivitas siswa pada siklus I, maka terjadi peningkatan aktivitas siswa sebesar 6,93
%. Nilai rata-rata tes formatif sub pokok bahasan asam-basa pada siklus II adalah 6,86;
terkategorikan baik. Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata tes formatif pada siklus I,
maka pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rata-rata formatif sebesar 0,34.

Pada siklus II ini terjadi peningkatan baik aktivitas siswa maupun hasil pemahaman
siswa (hasil belajar). Kesiapan siswa untuk menerima pelajaran semakin baik. Begitu
pula dalam proses pembelajarannya. Minat siswa untuk belajar semakin baik. Ini dapat
dilihat dari peningkatan aktifitas siswa dalam mengikuti demostrasi, menjawab pertanya-
an guru dan aktif bertanya apa yang siswa tidak pahami. Pada siklus III akan lebih di-
tingkatkan upaya kesiapan siswa dalam menerima pelajaran dengan tugas membaca di
rumah; memotivasi siswa untuk lebih berminat dalam belajar, dan memberi latihan soal
yang lebih bervariasi.

Kesiapan siswa untuk menerima pelajaran pada siklus III semakin baik, yaitu sebesar
99,33 % (terkategorikan sangat baik). Jika dibandingkan dengan siklus II, maka terjadi
peningkatan kesiapan siswa untuk menerima pelajaran sebesar 3,33 %. Proses kegiatan
pembelajaran pada siklus III semakin baik, yaitu sebesar 72,40 % (terkategorikan baik).
Jika dibandingkan dengan siklus II, maka aktivitas pada proses pembelajaran terjadi
peningkatan sebesar 4,80 %.

Secara keseluruan aktivitas siswa pada siklus II terkategorikan baik (rerata % aktivitas
siswa = 81,80 %). Jika dibandingkan dengan aktivitas siswa pada siklus II, maka terjadi
peningkatan aktivitas siswa sebesar 4,06 %. Nilai rata-rata tes formatif sub pokok
bahasan asam-basa pada siklus III adalah 6,72 (terkategorikan baik). Jika dibandingkan
dengan nilai rata-rata tes formatif pada siklus II, maka pada siklus III ini terjadi penurunan
nilai rata-rata formatif sebesar 0,34. Pada siklus II ini terjadi peningkatan aktivitas siswa,
semakin baik daripada siklus I dan II. Jika dilihat dari rerata nilai formatif siklus III, yaitu
6,72 (skala 0-10), maka tingkat pemahaman siswa tergolong baik. Tetapi jika dilihat per-
sentase siswa yang mendapat siswa yang mendapat nilai 6,5 (66,00 %), maka ber-
dasarkan indikator kerja penelitian ini proses belajar mengajar tidak memenuhi target.
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh lemahnya siswa dalam penerapan konsep ter-
hadap soal-soal hitungan pH asam-basa. Kendala waktu yang terbatas pada proses
belajar mengajar siklus III ini menyebabkan kurang terbimbingnya siswa secara ke-
seluruhan dalam latihan menyelesaikan perhitungan kimia.

Metode demostrasi sangat membantu untuk peningkatan pemahaman konsep pada
siswa. Tetapi untuk penerapan konsep terutama pada perhitungan, metode demonstrasi
kurang cocok dalam proses belajar mengajarnya. Kemungkian penerapan konsep pada
perhitungan akan lebih baik jika diajarkan dengan metode drill (latihan).

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

24
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data pada hasil observasi dan tes formatif, maka dari peneliti-
an ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode demostrasi dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu konsep kimia, khusus
konsep larutan .
2. Metode demontrasi tidak tepat digunakan dalam proses belajar mengajar yang lebih
menekankan pada penerapan konsep, terutama pada perhitungan-perhitungan kimia.

Peneliti yang tertarik untuk melanjutkan penelitian ini disarankan untuk memaksimalkan
aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran materi larutan, baik
pada pokok bahasan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit maupun pokok bahasan
larutan asam basa, sebaiknya menggunakan variasi metode mengajar, diantaranya
variasi metode demonstrasi dengan metode driil (latihan).


DAFTAR PUSTAKA

Karso. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan Kimia. Dep. Dik. Bud. Jakarta
Semiawan. 1988. Pendekatan Keterampilan Proses. Gramedia. Jakarta
Sudjana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru. Bandung
Sudjarwo,S. 1989. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar . Mediatama Sarana
Perkasa. Jakarta.

























Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 25
PENERAPAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS UNTUK MENGETAHUI
STRUKTUR GEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH DI PERUMAHAN BATARANILA,
LAMPUNG SELATAN

Oleh
I Wayan Distrik *)

ABSTRACT

Geoelectrical method utilizes resistivity variation to characterize geological structure of
the subsurface, therefore it can be applied to locate water reservoir, ground water
pollution and geothermal exploration. The research was carried out in Bataranila east
Lampung with cofiguration Schlumberger. The research aim to know geological structure
of the subsurface and ground water aquefer in area Bataranila. The result show that
geological structure of the subsurface consist four layer, i.e. soil, Limestone, tuff and
sandstone. Ground water aquefer be structure of the subsurface 10 19 metre, the
resistivity between 11 52 ohm.metre.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Keberadaan air tanah bagi warga Perumahan Bataranila , merupakan masalah yang
sangat penting untuk menentukan letak sumur baik sumur galian maupun sumur bor.
Kebanyakan sumursumur yang dibuat airnya pasang surut, yaitu sumur tersebut penuh
dimusim hujan dan kering dimusim kamarau. Hal ini karena posisi sumus tidak tepat di
bawah akifer air tanah. Sehubungan hal tersebut di atas, maka penelitian ini berupaya
menentukan letak akifer air tanah dengan mengenali struktur geologi daerah setempat
dengan menggunakan alat geolistrik tahan jenis.

Geolistrik tahanan jenis adalah salah satu cabang geofisika yang dapat digunakan untuk
mengetahui struktur geologi dan potensi air tanah, dengan menganggap bumi sebagai
resistor. Geologi menurut Katili (1959), bahwa pengetahuan bumi yang menjelaskan
tentang lapisan-lapisan batuan yang ada dalam kerak bumi atau geologi adalah penge-
tahuan tentang susunan zat serta bentuk bumi. Struktur geologi adalah keadaan lapisan-
lapisan batuan yang ada di bawah permukaan.

Kebutuhan akan ilmu geologi menurut Verhoef (1994) diperlukan dalam mempertimbang-
kan , melaksanakan dan mengontrol kegiatan yang langsung dilakukan diatas atau di
dalam kerak bumi. Kebutuhan akan ilmu geologi dalam bidang air tanah tidak hanya
pada lapisan-lapisan teratas tetapi juga hingga kedalaman antara 40-300 meter dibawah
permukaan tanah.

Air menempati rongga atau porositas dan ruang dalam tanah. Air tanah ditemukan pada
formasi geologi tembus air (permeable) yang dikenal sebagai aquifer yang memungkinkan
jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada kondisi lapangan biasa.
Lapisan pasir dan campuran batu yang relatif berbutir pada umumnya bertindak sebagai
aquifer (Foth, 1998).

Aliran listrik di dalam batuan dapat terjadi melalui konduksi secara elektronik, elektrolitik
dan dielektrik. Konduksi secara elektronik terjadi jika batuan mempunyai elektron bebas
yang jumlahnya banyak. Terjadinya konduksi secara elektrolitik jika batuan bersifat porus
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

26
dan pori-pori tersebut terisi cairan elektrolitik, sehingga arus listrik dibawa oleh ion-ion
elektrolitik. Sedangkan konduksi secara dielektrik dapat terjadi jika batuan bersifat di-
elektrik terhadap aliran arus listrik yaitu terjadi polarisasi pada saat batuan dialiri arus
listrik. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan perbedaan nilai tahanan jenis setiap batuan.
Telford dkk (1990).

Menurut Foth (1998) Tahanan jenis batuan pada umumnya bergantung pada fluida
pengisi pori, besar struktur dan distribusi pori serta konektivitas antara pori batuan
kecuali pada formasi dimana mineral penyusun batuan bersifat konduktivitas seperti
lempung.

Metode geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metode yang dimanfaatkan untuk
mengetahui struktur geologi di bawah permukaan bumi. Metode ini digunakan untuk me-
ngukur respon terhadap arus listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi. Respon berupa
potensial yang dapat mencerminkan sifat fisis (tahanan jenis) bawah permukaan. Pada
metode geolistrik tahanan jenis besaran yang diukur adalah potensial dan kuat arus,
sedang yang dihitung adalah tahanan jenisnya.

Metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger metode sounding biasa di-
kenal sebagai tahanan jenis drilling, probing dan sebagainya. Hal ini karena pada metode
ini bertujuan untuk mempelajari variasi tahanan jenis batuan bawah permukaan bumi
secara vertikal (Hendrajaya. 1990).

Karena dalam kasus ini terdapat dua buah elektroda arus yang dipakai untuk mengalir-
kan arus listrik kedalam lapisan bumi , maka harus diketahui dahulu bentuk permukaan
ekipotensialnya. Misalnya lapisan bumi merupakan medium homogen isotropis, jika ke
dalam bumi itu diinjeksikan arus listrik melalui satu buah elektroda , maka berdasarkan
perhitungan potensial dititik sejauh r dari elektroda tersebut adalah

( )
r 2
I
V
r
=
dengan I = arus listrik (Ampere)
= tahanan jenis medium (Ohm meter)
V
(r)
= potensial di titik sejauh r dari sumber arus (Volt)

Kemudian jika pada permukaan bumi tersebut ada dua sumber arus yang polaritasnya
saling berlawanan (melalui dua buah elektroda arus), maka besarnya potensial disuatu
titik P adalah

( )
2 1
p
2
I
2
I
V
r r

+ =
|
|
.
|

\
|
=
2 1
p
r
1
r
1
2
I
V
Dengan V
(r)
= potensial dititik sejauh r dari sumber arus (V)
= tahanan jenis medium (m)
r
1
= jarak dari titik P ke sumber arus positif
r
2
= jarak dari titik P ke sumber arus negatif
I = arus listrik (A)


Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 27









Gambar 1. Permukaan ekipotensial dan arah aliran arus listrik akibat dua sumber arus
(I dan -I) di permukaan bumi homogen

Di titik P arus bernilai positif ( +I ) artinya arus masuk kepermukaan bumi sedangkan di
titik Q arus bernilai negatif ( -I ) yaitu arus keluar dari permukaan bumi. Dari gambar 2.2
dapat dilihat bahwa arah aliran arus listrik selalu tegak lurus terhadap permukaan eki-
potensial. Permukaan ekipotensial yang terletak ditengah-tengah kedua sumber arus
berupa bidang setengah lingkaran. Pengukuran potensial dilakukan di permukaan bumi
dengan menggunakan dua buah elektroda potensial seperti pada gambar 2.3.









Gambar 2. Letak elektroda arus dan potensial di permukaan bumi

Dari gambar tersebut, besarnya beda potensial antara titik M dan N adalah

(

+ =
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2
I
V
sehingga

I
V
K
I
V
X
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2

=
(

+
=
(Hendrajaya. 1990)
I
- I
P Q
I
V
A M N
A
B
A
V
I
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

28

( ) ( ) ( ) ( )
)
`

)
`

=
|
.
|

\
|
+
=
X L
1
X L
1
X L
1
X L
1
2
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2
K
s


( )
2X
X L
K
2 2
s

=
dengan
= Resistivitas / tahanan jenis semu (Om)
AV = Beda potensial (V)
I = Kuat arus yang terukur (A)
K = Faktor geometri elektroda (m)
L = Jarak antara titik sounding dengan titik tancap elektroda arus (m)
X = Jarak antara titik sounding dengan titik tancap elektroda potensial (m)

Pada konfigurasi ini, jarak elektroda potensial relatif jarang diubah-ubah. Hanya harus
diingat bahwa jarak elektroda arus harus jauh lebih besar dibanding jarak antar elektroda
potensial selama melakukan perubahan jarak spasi elektroda. Misalnya untuk kasus
aturan elektroda Schlumberger simetri, jarak L harus jauh lebih besar daripada X, adalah
L > 5X (Telford dkk, 1990). Dalam hal ini, selama pembesaran jarak elektroda arus jarak
elektroda potensial tidak perlu diubah, hanya jika jarak elektroda arus cukup besar ,
maka jarak elektroda potensial perlu diubah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan n di daerah Tempat pembuangan sampah pasir impun.
Pengukuran dilakukan dengan konfigurasi Wenner. Daerah yang diukur meliputi 4 line
disekitar daerah tempat pembuangan sampah. Alat-alat yang diperlukan yaitu
- Seperangkat alat resistivity meter.
- Kabel secukupnya
- Akki
- Elektroda
- Martil
Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data resistivitas listrik,
diperoleh melalui pengukuran arus dan potensial.

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. menetukan batas-batas pengukuran
2. Menyusun rangkaian alat resistivity meter
3. Memasang elektrode sesuai dengan konfigurasi Wenner
4. Mengaktifkan resistivity meter, kemudian mengalirkan arus listik ke dalam tanah
5. Mencatat arus listrik yang mengalir (I), potensial diri (V
sp
), dan beda potensial
antara dua titik elektroda.

Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 29
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data Resty di lintasan satu









Hasil pengolahan data Resty di lintasan dua








Hasil pengolahan data Resty di lintasan tiga








Berdasarkan hasil pemodelan resty, perlapisan struktur geologi di titik sounding dapat
ditafsirkan seperti pada tabel berikut




JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

30
Tabel 4. Data tahanan jenis dan ketebalan lapisan dari 3 lintasan di Perumahan
Bataranila
No Lintasan dan lokasi
Tahanan Jenis
lapisan (Ohm-m)
Ketebalan
Lapisan (m)
Perkiraan Medium
1 1. Perumahan
Bataranila
1). 240
2). 70
3). 40
4). 12
5). 30
1). 1
2). 3
3). 8
4). 17.5
5). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Tufa Pasiran
Batu Pasir
Batu Pasir
2 2. Perumahan
Bataranila
1). 300
2). 63
3). 35
4). 11
5). 52
1). 1
2). 2.5
3). 4
4). 10
5). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Tufa Pasiran
Batu Pasir
Batu Pasir
3 3. Perumahan
Bataranila
1). 220
2). 50
3). 11
4). 33
1). 2.4
2). 5.5
3). 19
4). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Batu Pasir
Batu Pasir

Pembahasan
Data hasil pengukuran tahanan jenis di lintasan 1(satu) Perumahan Bataranila (tabel 1)
menunjukkan harga tahanan jenis yang ada berkisar antara 18.9 238.64 ohm meter.
Nilai tahanan jenis terendah 18.9 ohm-meter terletak pada kedalaman 25 meter dan nilai
tahanan jenis tertinggi 238.64 ohm meter terletak pada kedalaman 1 m. Sedangkan
untuk hasil pengukuran di lintasan ke 2 (tabel 2) nilai tahanan jenis berkisar antara 18.21
- 302 ohm meter, nilai tahanan jenis terendah 18.21ohm meter terletak di kedalaman 15
meter dan nilai tahanan jenis tertinggi 302 ohm meter terletak di kedalaman 1 m. Dan
untuk hasil pengukuran di lintasan ketiga (tabel 3) nilai tahanan jenis berkisar antara
15.4 221.89 ohm meter, nilai tahanan jenis terendah 15.4 ohm meter terletak pada ke-
dalaman 25 meter dan nilai harga tahanan jenis tertinggi 221.89 juga ada di kedalaman 1
meter. Nilai tahanan jenis pada kedalaman 1 meter rata-rata merupakan nilai tahanan
jenis yang tertinggi disebabkan pada umumnya di kedalaman 1 meter ini lapisan tanah
masih memiliki sifat resistivitas yang relatif tinggi, karena semakin rendah kandungan air
dalam medium , maka tahanan jenis yang dihasilkan akan semakin besar.

Resistivity dan Depth pada hasil pemodelan Resty diinterpretasikan menjadi perkiraan
medium yang didasarkan pada tabel data tahanan jenis batuan dan sedimen (Telford
dkk, 1990) yang ada pada lampiran, serta informasi pola perlapisan yang teramati dari
sumur gali warga. Pada lintasan 1 terdiri dari 5 lapisan berupa tanah penutup (soil) di
lapisan pertama dengan tahanan jenis 240 ohm meter, kemudian di lapisan kedua berupa
batu gamping dengan tahanan jenis 70 ohm meter, tufa pasiran dengan tahanan jenis 40
ohm meter di lapisan ketiga dan batu pasir dengan tahanan jenis 12 ohm meter untuk
lapisan keempat dan lapisan kelima juga merupakan batu pasir dengan tahanan jenis
yang naik dari 12 ohm meter menjadi 30 ohm meter. Nilai Relative R.M.S Error untuk
lintasan satu adalah 0.0809.

Perbedaan jumlah lapisan untuk masing-masing lintasan dipengaruhi oleh perbedaan
nilai tahanan jenis hasil pengukuran lapangan dari masing-masing lintasan dan nilai

Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 31
Relative R.M.S Error yang dihasilkan harus lebih kecil dari 0.1000. Perubahan naik
turunnya nilai tahanan jenis lapisan dipengaruhi oleh nilai tahanan jenis hasil pengukuran
dan bentuk grafik yang dihasilkan oleh pemodelan dari tinggi ke rendah dan pada
akhirnya tahanan jenis akan tinggi kembali. Tanda tak hingga (~) yang ada pada
ketebalan lapisan di tiap-tiap lapisan terakhir untuk masing-masing lintasan merupakan
nilai tak tentu yang akan memiliki nilai pasti jika pengukuran dilanjutkan menjadi lebih
panjang dari 150 meter.

Data pada tabel 4 merupakan data hasil penentuan lapisan pada pemodelan resty
masing-masing lapisan. Hasil penafsiran dari ketiga lintasan tersebut dapat kita simpul-
kan, nilai tahanan jenis lapisan bervariasi antara 11 300 ohm meter. Lapisan atas
adalah tanah penutup (soil) di tunjukkan oleh nilai tahanan jenis tinggi berkisar 220 300
ohm meter dengan ketebalan lapisan dari 1 2.4 meter. Dibawah tanah penutup diper-
kirakan merupakan batu gamping yang mempunyai tahanan jenis yang bervariasi antara
50 - 70 meter dengan ketebalan lapisan 2.5 5.5 meter. Pada lapisan ketiga merupakan
tufa pasiran dengan ketebalan 4 8 meter dengan nilai tahanan jenis 35 - 40 ohm meter.
Lapisan selanjutnya adalah lapisan batu pasir , lapisan ini bersifat permeabel dan mem-
punyai porositas yang tinggi sehingga mampu meloloskan dan menampung air dalam
jumlah yang besar. Untuk mendapatkan suplai air tanah yang tidak di pengaruhi musim
maka harus membuat sumur hingga lapisan dengan tahanan jenis antara 11 52 ohm
meter dengan kedalaman antara 10 - 19 meter dari permukaan. Lapisan ini diperkirakan
tersusun oleh partikel-partikel pasir atau batu pasir yang mengandung volume air cukup
besar.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis
konfigurasi Schlumberger sounding dan pengolahan data dengan menggunakan program
Resty, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
1. Struktur geologi di Perumahan Bataranila pada umumnya terdiri atas 4 (empat) lapis-
an yaitu lapisan pertama adalah tanah penutup(soil), lapisan kedua merupakan batu
gamping, lapisan ketiga berupa tufa pasiran dan lapisan keempat adalah batu pasir.
2. Lapisan yang berpotensi mengandung air tanah atau lapisan yang bisa bertindak se-
bagai akuifer adalah lapisan batu pasir dengan kedalaman berkisar antara 10 meter
hingga 19 meter dengan tahanan jenis berkisar antar 11 ohm meter hingga 52 ohm
meter. Kedalaman ini termasuk kategori rendah karena pengambilan data dilakukan
saat musim hujan.

DAFTAR PUSTAKA

Foth, Henry. D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Hendrajaya,Lilik; Idham Arif. 1990. Geolistrik Tahanan Jenis. Laboratorium Fisika Bumi
Jurusan Fisika FMIPA ITB. Bandung.

Katili,1959. Pengantar Geologi Umum. Balai Pendidikan guru. Bandung.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

32
Rustadi. 2002. Penerapan Geolistrik Tahanan Jenis untuk Menafsirkan Struktur Geologi
dan Akuifer Air Tanah di Gunung Terang Kodya Bandar Lampung. Dalam: Jurnal
Pendidikan MIPA Vol 2 No 2 Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Lampung..

Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Diterjemahkan oleh Sentot Subagyo.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Telford.W.M., L.P. Geldart., R.E.Sherif. Key. D.A. 1990. Applied Geophysics. Cambridge
University Press.














Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 33
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA
MELALUI CERITA PARA MATEMATIKAWAN
(Studi Pada Siswa Kelas III SDN se Tanjungkarang Barat Bandar lampung)

Oleh
Maksum *)

ABSTRACT

This research was conducted on students of State Elementary School (SDN) of the third
year in west Tanjungkarang District. The sampel of the research consisted of 9 schools,
which was devided into three quality categories, that is good, fair, and low, therefore the
technique used was stratified sample. The population was 262 pupils, 102 taken from
good quality school, 81 pupils from fair quality and low quality 79 pupils. From each
quality group was taken one class (as sample unit) to be given treatment. The treatment
were giving history of mathematician one times per week, one times per two weeks, and
none giving history as control class. Data was analyzed using variance analysis and
LSD test. The analyzing data showed that the mean of the highest students score was
6,9706 which is the treatment of giving history once in a week. This research concludes
that (1) there is influence of giving history of mathematicians on the pupils learning
echievement, (2) giving history once a week is more effective compared with giving
history one time every two weeks.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Matematika tersusun menurut hierarki yang kuat, dengan demikian, matematika men-
janjikan harapan secara umum bahwa apabila penguasaan matematika SD baik, maka
dengan berpegang pada banyak asumsi sampai ke jenjang pendidikan berikutnya akan
baik pula, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, perbaikan penguasaan mate-
matika yang lebih mendasar adalah perlunya diupayakan perbaikan matematika di
tingkat SD. Motivasi belajar adalah persoalan psikis yang memegang peranan penting
dalam mewujudkan gairah belajar. Siswa yang termotivasi dengan baik akan mampu
menggunakan banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. (Pujiati, 1996) me-
nyatakan: motivasi belajar mempunyai pengaruh kuat terhadap prestasi belajarnya.

Meskipun tidak dikenal secara langsung, namun para ilmuan matematika oleh pecinta
matematika terasa menimbulkan kekaguman dan rasa hormat yang dalam atas kerja dan
usahanya yang tidak mengenal lelah. Kekaguman dan rasa hormat sedapat mungkin di-
tularkan kepada anak didik, dengan harapan dapat menggugah semangat belajar yang
optimal. S. Wirawan S (1984; 118) menyatakan : Dalam teori belajar sosial dan tiruan,
pihak lain akan menyesuaikan tigkah lakunya dan akan tergantung pada pihak yang lebih
mampu dan lebih pintar. Dengan demikian, mengenalkan siswa pada sejarah para
matematikawan memberi harapan bahwa anak termotivasi tingkah lakunya sehingga
mau berupaya secara tekun dan ulet di dalam mengkaji ilmu matematika. Ditambahkan
oleh Gazalba (1981; 60) bahwa : Secara nyata atau tersirat sejarah itu mengandung
pelajaran dan pendidikan. Selanjutnya, dikatakan pula (- ; 24 ) bahwa : Pribadi-pribadi
besar di masa silam merupakan pribadi-pribadi sejarah yaitu menggerakkan peristiwa
penting di masa lalu atau sekarang. Dengan demikian, menampilkan tokoh sejarah
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

34
matematika kepada siswa diharapkan dapat menggerakkaan hati dan minatnya untuk
merenungi dan membayangkan upaya dan usaha mereka dibidang matematika minimal
tergerak untuk menekuninya.

Selanjunya Gottscalk (1985; 5) menyatakan bahwa : Sejarah itu berdimensi tiga, karena
mempunyai sifat ilmu, seni, dan filsafat. Sebagai suatu metode, sejarah berpegangan
pada aturan-aturan yang keras untuk menetapkan fakta yang dapat diverifikasi; sebagai
penyajian dan cerita sejarah menuntut adanya imajinasi, selera sastra dan ukuran-ukuran
kritis; sebagai interpretasi mengenai hidup, menuntut adanya wawasan dan pertimbangan.

Pada penelitian ini sejarah didudukkan sebagai cerita sehingga diharapkan akan timbul
imajinasi siswa tentang tokoh idola yang pantas diteladani. Perilaku dan karya yang di-
hasilkan oleh para tokoh matematikawan diharapkan akan dapat membangkitkan kemauan
yang keras dari siswa dalam upaya mempelajari matematika. Padmopoespito dalam
buku Gazalba ( 1981; 206) menyatakan: Sejarah mewariskan kebudayaan. Pewarisan
itu dilakukan dengan penanaman kebiasan. Kebiasan berkembang menjadi adat. Adat
membentuk sifat, dan sifat merupakan pola cara berpikir. Dengan demikian, guru yang
mengajarkan sejarah para matematikawan mempunyai harapan kepada siswanya agar
supaya siswa bangkit pola berpikir kritisnya, dan memiliki sifat tekun dalam berupaya,
serta berprilaku yang mendukung terciptanya pengajaran matematika yang konduksif.

Selanjutnya, pada sistem pengajaran dewasa ini sangat dianjurkan pemakaian media se-
bagai alat bantu pengajaran. Hamidjoyo dalam bukunya Mulyana (1986.h.119) menyata-
kan : Media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang sebagai penyebar ide,
sehingga gagasannya sampai pada penerima. Selanjutnya, ditambahkan pula pendapat
lain yang senada yang dikemukan oleh Blake dan Horalsen dalam bukunya Mulyana
(1986; 119) bahwa : Media adalah saluran komunikasi atau perantara yang digunakan
untuk membawa atau menyampaikan sesuatu pesan dimana perantara ini merupakan
jalan atau alat untuk lalu lintas suatu pesan antara komunikator dengan komunikan.

Pendapat di atas memberi kejelasan bahwa media pendidikan dapat berupa software
atau hardware. Dengan demikian cerita sejarah para matematikawan dapat dikategorikan
sebagai media pada penyampaian matematika kepada siswa, karena diharapkan siswa
termotivasi dengan adanya cerita tersebut. Dari uraian di atas memberi penjelasan
bahwa guru sebagai pengajar dan pendidik dapat memanfaatkan peristiwa sejarah dalam
melaksanakan tugasnya.

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III SDN yang ada di wilayah
kecamatan Tanjungkarang Barat yang berjumlah 39 sekolahan tersebar di sembilan
kelurahan. Teknik sampling yang digunakan adalah startifaid random sampling yaitu
dengan mengambil sampel dari masing-masing kelompok SD yang bermutu baik, ber-
mutu sedang dan bermutu kurang sebanyak 3 SD dan masing-masing satu kelas, se-
hingga secara keseluruhan SDN yang terpilih menjadi sampel berjumlah 9 sekolahan.
Data tentang penguasaan matematika siswa diperoleh melalui tes matematika yang
dirancang sesuai kurikulum yang berlaku. Adapun tes dilaksanakan sesudah selesai per-
lakuan. Selanjutnya, dibuat daftar analisis ragam untuk keperluan pengujian hipotesis
dengan uji F. Jika ada perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dilanjutkan
dengan uji BNT untuk menentukan perlakuan yang paling efektif.

Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 35
HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dari masing-masing kelompok mutu setelah dilakukan prosedure penentuan per-
lakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Tabel Frekuensi Perlakuan Pada SDN Terpilih
No Nama SDN Mutu Banyaknya
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
SDN 2 Gedong Air
SDN 7 Gedong Air
SDN 8 Gedong Air
SDN 4 Gedong Air
SDN 2 Gunung Terang
SDN 1 Segala Mider
SDN 3 Gunung Terang
SDN 2 Rajabasa
SDN 3 Surabaya
Bik
Baik
Baik
Sedang
Sedang
Sedang
Kurang
Kurang
Kurang
8 x
4 x
0 x
8 x
4 x
0 x
8 x
4 x
0 x


Setelah selesai dilakukan perlakuan, maka dilakukan tes matematika dan dilaksanakan
serentak untuk semua SD. Data perolehan nilai hasil tes dikelompokkan berdasarkan
frekuensi perlakuan sehingga setiap kelompok mewakili SD yang bermutu baik, sedang,
dan kurang. Sebelum dilakukan uji pengaruh maka perlu diuji terlebih dahulu apakah
sampel tersebut berasal dari populasi yang memiliki varian antar kelompok yang sama
dengan rumus Bartlett Dengan derajat kepercayaan 95 % maka diperoleh
hit
= 1,92879
dan lebih kecil dari
tab
= 9,21 dengan demikian varian ketiga kelompok adalah sama.
Selanjutnya, dengan analisis varian dilakukan uji pengaruh dan digunakan uji F untuk
melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan yaitu pemberian cerita sejarah terhadap
prestasi belajar matematika siswa ). Dari hasil uji tersebut terlihat bahwa dengan derajat
kepercayaan 99% didapat F
hit
= 5,75137 yang ternyata lebih besar dari F
tab
= 4,71 de-
ngan demikian ada pengaruh yang berarti dari perlakuan terhadap prestasi belajarnya.

Untuk melihat perlakuan yang manakah lebih efektif diantara pemberian cerita sejarah
dengan frekuensi 8 kali atau tiap minggu sekali, 4 kali atau tiap dua minggu sekali, dan
frekuensi 0 kali yaitu tidak dilakukan perlakuan maka dilakukan uji BNT. Hasil rerata
hitung dari nilai masing-masing kelompok atau nilai tengah berturut-turut 6,9706, 6,6025
dan 6,4181. Selanjutnya, hasil uji beda nyata terkeci antar dua kelompok dari tiga ke-
lompok tersebut adalah sebagai berikut. Perbandingan nilai tengah antar kelompok 1
dan 2 menunjukkan bedanya 0,3681 lebih besar dari beda terkecil tabel dengan ke-
percayaan 99% yaitu 0, 038516. Jadi perbedaan nilai antara kelompok yang diberi
cerita sejarah setiap minggu sekali dengan setiap dua minggu sekali sangat berarti atau
pemberian cerita sejarah dengan frekuensi setiap minggu sekali lebih baik dibandingkan
dengan frekuensi setiap dua minggu sekali.

Perbandingan nilai tengah antar kelompok 1 dan 3 menunjukkan bedanya 0,5525 lebih
besar dari beda terkeci tabel dengan kepercayaan 99% yaitu 0,038787. Jadi perbedaaan
nilai antara kelompok yang diberi cerita sejarah setiap minggu sekali dengan kelompok
yang tidak diberi cerita sangat berarti sekali. Ini berarti pemberian cerita sejarah dengan
frekuensi setiap minggu sekali lebih baik dibandingkan dengan tidak diberi cerita sejarah.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

36
Selanjutnya, perbandingan nilai tengah antar kelompok 2 dan 3 menunjukkan bedanya
0,1844 lebih besar dari beda terkecil tabel dengan kepercayaan 99% yaitu 0, 040923.
Jadi perbedaan nilai antara kelompok yang diberi cerita sejarah setiap dua minggu sekali
dengan kelompok yang tidak diberi cerita sangat berarti. Ini berarti pemberian cerita se-
jarah dengan frekuensi setiap dua minggu sekali jauh lebih baik dibandingkan dengan
tidak diberi cerita sejarah. Dari hasil analisis tersebut di atas memberikan kejelasan ke-
pada kita bahwa pemberian cerita sejarah dengan frekuensi setiap minggu sekali pada
saat apersepsi akan dapat memotivasi siswa untuk belajar sehingga terlihat bahwa
prestasi belajarnya menjadi lebih baik.

Pada bab terdahulu telah disebutkan bahwa tokoh matematikawan meskipun tidak di-
kenal secara langsung, namun para ilmuan matematika tersebut oleh pecinta matematika
terasa menimmmbulkan kekaguman dan rasa hormat yang dalam atas kerja dan usaha-
nya yang tidak mengenal lelah. Kekaguman dan rasa hormat tersebut berkemungkinan
akan mempengaruhi pola tingkah laku ataupun pemikiran para pengagumnya. Dengan
demikian, mengenalkan siswa pasda sejarah para matematikawan memberi harapan bahwa
anak akan termotivasi tingkah lakunya sehingga mau berupaya secara tekun dan ulet
mengkaji ilmu matematika. Pendapat ini sesuai dengan hasil analisis pada bab 4 yaitu
pada uji pengaruh terlihat bahwa dengan derajat kepercayaan 99% didapat F
hit
= 5,75137
yang ternyata lebih besar dari F
tab
= 4,71 dengan demikian ada pengaruh yang berarti
dari perlakuan yaitu pemberian cerita sejarah

terhadap prestasi belajarnya. Sesuai dengan keharusan pelaksanaan proses belajar me-
ngajar, bahwa sebelum guru memulai pelajaran supaya memberikan apersepsi yang ber-
tujuan supaya pelaksanaan pengajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Hal ini
dimungkinkan karena dengan pemberian apersepsi yang baik akan menyebabkan siswa ter-
motivasi sehingga apabila motivasi siswa tinggi maka mereka mau berpikir, berbuat dan
mendengarkan penjelasan dari guru dengan penuh perhatian. Bentuk apersepsi tersebut
di antaranya dapat diisi dengan cerita guru tentang ketekunan, keuletan dan hasil yang
diperoleh dari para matematikawan terdahulu. Pemberian cerita tersebut paling efektif diberi-
kan pada setiap minggu sekali dibandingkan dengan setiap dua minggu sekali. Tidak me-
nutup kemungkinan bahwa semakin seringnya diberikan cerita semacam itu akan meng-
hasilkan prstasi yang maksimal, untuk itu perlu diadakan penelitian yang lain. Sejalan
dengan itu, hasil analisis pada bab 4 tentang uji beda nyata terkecil dari nilai tengah ke-
lompok yang diberi perlakuan berbeda yaitu antara kelompok siswa yang diberi cerita
dengan frekuensi tiap minggu sekali, kelompok siswa yang diberi cerita dengan frekuensi
tiap minggu dua kali, dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa perbedaannya sangat
berarti. Ini memberikan arti bahwa perbedaan rata-rata prestasi dari kelompok yaitu
6,9706; 6,6025; dan 6,4181 disebabkan oleh perbedaan perlakuan yaitu pemberian cerita
sejarah tersebut. Dengan demikian, pemberian cerita sejarah pada saat apersepsi paling
efektif apabila disampaikan pada setiap minggu sekali.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut. (1) Pemberian cerita sejarah para
matematikawan kepada siswa kelas III SDN dapat berpengaruh pada peningkatan
prestasi belajar matematika siswa. (2) Pemberian cerita sejarah para matematikawan
kepada siswa kelas III SDN dengan frekuensi setiap minggu sekali adalah lebih efektif
dibandingkan dengan frekuensi setiap dua minggu sekali.

Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 37
Saran-saran
Penelitian ini memberikan saran-saran sebagai berikut. (1) Kepada guru kelas III SDN
diharapkan sebelum memulai pelajaran matematika supaya mengisi waktu apersepsi
dengan cerita tentang sejarah para matematika-wan, dengan frekuensi setiap minggu
sekali. Hal ini diharapkan akan memotivasi siswa sehingga mereka mau berfikir, berbuat,
dan mendengarkan penjelasan dari guru dengan penuh perhatian. (2) Kepada pemegang
kebijakan agar mempertimbangkan perlunya guru kelas III SDN diwajibkan untuk mengisi
apersepsi dengan cerita sejarah para matematikawan sebelum pelajaran matematika
dimulai minimal setiap minggu sekali.


DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, Louis. Notosusanto,N. (Penterjemah. 1985. Mengerti Sejarah. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.

Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Mulyana, Tatang. 1987. Alat-alat Kalkulasi dan Media Pendidikan Matematika. Proyek
PG Depdikbud. Bandung.

Pujiati. 1986. Pengaruh Motivasi Belajar dan Cara Belajar Terhadap Prestasinya.
Unila. Bandar Lampung.

Wirawan, S. 1984. Teori-teori Psikologi Sosial. Penerbit Rajawali. Jakarta.

Winkel, WS. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Gramedia. Jakarta.












JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

38

























Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 39
AMOBILISASI ELEKTRODA ENZIM GLUKOSA OKSIDASE (GOD)

Oleh
Ratu Betta Rudibyani *)


ABSTRACT

The GOD enzyme electrode has been successfully prepared from platinum wire coated
with membranes which composed of glutaraldehyde, cellulose acetate and GOD enzyme.
It is used for determinating glucose concentration by considering several factors such as
cellulose acetate concentration, thickness of membrane layer, and immerse time in
glutaraldehyde solution. Godjevargova method is used to prepare GOD enzyme layer on
platinum wire, and Lowry method,on the other hand, is used to determine the amount of
GOD enzyme immobilized in cellulose acetate layer. In principle, the potentiometric
method requires two electrodes, such as working electrode and reference electrode
immersed in analytical solution. GOD enzyme electrode is used as working electrode and
AgCl electrode used as compared electrode. The presence of glutaraldehyde on GOD
enzyme electrode layer causes higher sensitivity and longer life time of electrode. The
sensitivity of resulted GOD enzyme electrodes shows that the amount of electrons
involved in glucose oxydation are two. The stability of enzyme electrodes is shown by
short response time.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Pemikiran untuk menggunakan metode potensiometri dalam penelitian ini, dengan per-
timbangan bahwa metode ini lebih menguntungkan, antara lain prosedur analisisnya
sederhana, memerlukan waktu yang singkat, alat-alat relatif sederhana dan mudah di-
kerjakan. Di samping itu untuk pengukuran pada analisis rutin, dapat dilakukan secara
otomatis. Untuk

menentukan

konsentrasi glukosa dalam suatu sampel, elektroda selektif
(ion

atau

molekul) ini tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu. Pada konsentrasi
yang cukup rendah, elektroda ini dapat memberikan hasil yang kuantitatif. Di samping
itu gangguan terhadap kinerja elektroda umumnya tidak banyak dan dapat diatasi. Atas
dasar tersebut penelitian ini akan mempelajari kinerja elektroda enzim yang dibuat dari
kawat platina dilapisi enzim GOD amobil, yang diharapkan dapat menghasilkan potensial
sebanding dengan konsentrasi H
2
O
2
dalam sistem larutan glukosa.

Bila elektroda enzim GOD direndam dalam sistem larutan glukosa, diharapkan terjadi
perbedaan laju reaksi oksidasi glukosa di dalam larutan dengan di dalam membran.
Transport materi larutan ke dalam membran dan sebaliknya atau dari dalam membran ke
permukaan logam platina diharapkan akan menimbulkan potensial elektroda. Mengingat
enzim yang digunakan hanya enzim GOD, maka spesi yang diduga paling dominan
mampu menimbulkan potensial adalah H
2
O
2
. Harga potensial elektroda tersebut relatif
terhadap potensial elektroda pembanding dan diharapkan sebanding hanya terhadap
konsentrasi glukosa di dalam larutan. Dengan demikian konsentrasi glukosa diharapkan
dapat ditentukan secara tidak langsung melalui deteksi H
2
O
2
secara potensiometri.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

40
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membuat elektroda yang baik adalah ke-
tebalan lapisan membran dan komposisi elektroda, meliputi konsentrasi selulosa asetat,
glutaraldehid dan enzim GOD. Faktor-faktor yang biasa dapat mempengaruhi kinerja
elektroda enzim GOD, antara lain:
- Ketebalan lapisan membran selulosa asetat yang digunakan sebagai matriks tempat
amobilisasi enzim GOD (Riklin, 1995)
- Metode amobilisasi enzim GOD dalam matriks selulosa asetat (Chibata, 1978)
- Kadar protein enzim yang tertahan dalam matriks selulosa asetat (Sakamoto, 1992).
- Selama tidak digunakan, elektroda enzim GOD direndam dalam larutan bufer pH 5,5
pada suhu 4C (Cammann, 1979).
Faktor-faktor tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan peralatan gelas yang biasa digunakan di laboratorium kimia,
juga alat-alat ukur yang relevan bagi pelaksanaan penelitian ini, yaitu kawat platina,
pengaduk magnet tipe Nuova II, Mikrometer skrup, pH meter/ potensiometer tipe 692
dan elektroda Ag/AgCl.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas pro analisis. Bahan-
bahannya adalah aseton, glutaraldehid, tepung selulosa asetat (BM 30.000). Sebagai
larutan analit diperlukan tepung - D-glukosa (Merck) dan bufer pH 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, dan 11. Enzim GOD yang diperoleh dari Sigma, Inggris. Kinerja elektroda dipelajari
berdasarkan pengamatan harga potensial elektroda relatif terhadap elektroda pemban-
ding Ag/AgCl. Kinerja tersebut adalah penentuan sensitivitas, intersep kurva, koefisien
korelasi, batas deteksi dan waktu tanggap (Christian, and Reilly, 1986).

Amobilasi enzim GOD dengan membran selulosa asetat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: enzim GOD langsung teradsorpsi secara fisik dalam pendukung selu-
losa asetat, dan penambahan glutaraldehid. Amobilisasi enzim GOD dengan mengguna-
kan glutaraldehid dapat dilakukan karena sifat glutaraldehid sebagai (a) ikatan pembawa,
yaitu glutaraldehid berfungsi sebagai pereaksi bifungsional antara enzim dengan bahan
pendukung selulosa asetat, (b) ikatan silang, yaitu glutaraldehid berfungsi mengikat
enzim dengan enzim yang lain (4). Reaksi antara glutaraldehid dengan molekul enzim
belum jelas, tetapi diduga bahwa glutaraldehid akan teradsorpsi secara fisik pada per-
mukaan dan pori membran selulosa asetat. Pada keadaan menempel, glutaraldehid
akan mengalami reaksi adisi nukleofilik.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagai material penghantar elektron pada elektroda enzim GOD dibuat dari kawat
platina diameter 0,04 mm dengan panjang kawat seluruhnya 11 cm. Secara singkat
proses pembuatan elektroda tersebut, adalah: Kawat platina yang telah bersih dibilas
dengan akuades dan akhirnya dikeringkan.

Selanjutnya kawat dimasukkan secara perlahan ke dalam kabel koaksial sehingga bagi-
an kawat platina yang tidak tertutup diusahakan 1 cm. Pada bagian ujung kawat yang
lain disolder dengan penghubung arus. Bagian kawat yang tidak tertutup sepanjang 1
cm, dicelupkan dalam larutan homogen selulosa asetat 20% dalam aseton. Segera

Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 41
setelah lapisan selulosa asetat terbentuk, elektroda dicelupkan dalam bak air dingin
berulang-ulang. Selanjutnya, pada bagian kawat yang telah dilapisi membran selulosa
asetat, direndam dalam larutan homogen glutaraldehid 25%, selama 6 jam. Setelah
lapisan selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid terbentuk, elektroda dicuci
dalam larutan bufer pH 7. Akhirnya bagian kawat platina tersebut, direndam dalam
larutan bufer pH 5,6 yang mengandung enzim GOD, selama 16 jam, setelah itu dicuci
dengan larutan bufer pH 7.

Selama tidak digunakan, bagian elektroda tersebut (selanjutnya disebut bagian aktif)
direndam dalam larutan bufer pH 5,6 dan suhu 4C. Profil hasil pembuatan elektroda
enzim GOD diperlihatkan pada Gambar 1 berikut:








Gambar 1. Profil elektroda platina dilapisi selulosa asetat yang mengandung
glutaraldehid dan enzim GOD,

Keterangan: 1. kawat platina diameter 0,04 mm, 2. lapisan kabel koaksial,
3. lapisan selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid dan enzim GOD

(1) Penentuan sensitivitas, intersep kurva, koefisien korelasi dan batas deteksi
elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa
Untuk mengamati reprodusibilitas, elektroda enzim GOD dibuat 3 buah. Pengukuran
potensial dilakukan untuk elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa dengan kon-
sentrasi 10
1
M, 10
2
M, 10
3
M, 10
4
M, 10
5
M, 10
6
M, pada suhu 24C 1C. Hasil
pengukuran potensial, kemudian dirata-ratakan. Data hasil pengukuran potensial elek-
troda enzim GOD, dalam larutan glukosa selengkapnya terdapat pada lampiran A.
Tabel 1 memperlihatkan data pengukuran potensial elektroda enzim GOD dalam larutan
glukosa, untuk penentuan sensitivitas, intersep kurva dan koefisien korelasi. Pada tabel
tersebut, E merupakan selisih pengukuran potensial elektroda yang tercelup dalam dua
larutan dengan perbedaan satu dekade konsentrasi terdekat dan E adalah harga rata-
rata E pada selang pengukuran 10
6
M sampai dengan 10
1
M. Harga E dapat di-
jadikan sebagai perkiraan harga sensitivitas elektroda pada satu dekade konsentrasi
glukosa terdekat, sedangkan E merupakan perkiraan sensitivitas elektroda pada
rentang konsentrasi glukosa antara 10
6
M s.d. 10
1
M. Alur E = f(-log [glukosa] elektroda
tersebut, diperlihatkan pada gambar 2. Alur ini digunakan untuk mengamati secara cepat
linieritas respon elektroda pada konsentrasi glukosa 10
6
M s.d.10
1
M.


3
2
1
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

42
Tabel 1. Potensial elektroda enzim GOD, relatif terhadap elektroda Ag AgCl, dalam
larutan glukosa


Konsentrasi
glukosa (M)


elektroda enzim GOD
E, mV E, mV

10
6
10
5
10
4
10
3
10
2
10
1


301,5 1,4
316,1 1,0
320,2 1,0
340,9 0,1
398,9 0,9
399,7 1,0

-
14,6
4,1
20,7
58,0
0,8


__
E =19,6


y = 21.717x + 270.21
R
2
= 0.8925
275
300
325
350
375
400
425
1 2 3 4 5 6
-log [glukosa]
E
,

m
V

Gambar 2. Kurva E = f (-log [glukosa] elektroda pada konsentrasi glukosa 10
-6
s.d. 10
-1
M

Secara umum terlihat bahwa potensial elektroda relatif dari kedua elektroda yang di-
pelajari tergantung pada konsentrasi larutan glukosa. Terlihat bahwa pada rentang
konsentrasi glukosa 10
6
M sampai dengan 10
1
M, elektroda enzim GOD menghasil-
kan sensitivitas yang cukup besar.

Batas deteksi ditentukan dengan cara membandingkan nilai potensial yang timbul dari
larutan blanko dengan potensial dari berbagai konsentrasi larutan glukosa. Nilai potensial
yang mendekati, menunjukkan konsentrasi batas deteksi elektroda. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan batas deteksi elektroda enzim GOD yaitu 10
-4
M.


Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 43
(2) Penentuan waktu tanggap elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa

Waktu tanggap elektroda enzim GOD ditentukan dengan cara membandingkan data
potensial yang berjauhan dengan rata-rata potensial yang berdekatan dan memperlihat-
kan penyimpangannya. Waktu tanggap elektroda diperlukan untuk mengetahui kestabil-
an elektroda dalam larutan glukosa. Waktu tanggap yang singkat menunjukkan bahwa
elektroda tersebut memiliki karakter yang baik dan stabil. Pengukuran potensial elektroda
enzim dilakukan tiap selang waktu 30 detik untuk tiap konsentrasi glukosa. Pencatatan
diakhiri bila angka potensial yang ditunjukkan relatif tetap. Kurva antara potensial (E,
dalam mV) dengan waktu (menit) yang diperlihatkan pada Gambar 3 Waktu tanggap
elektroda enzim GOD antara 10 hingga 15 menit.










Gambar 3. Kurva waktu tanggap elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa

Elektroda enzim GOD dengan komposisi paling lengkap, yaitu elektroda kawat platina di-
lapisi selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid-enzim GOD yang tercelup dalam
larutan glukosa, memiliki sistem sel, sebagai berikut:

M
1
M
2

Ag|AgCl
(s)
|KCl
(aq)
(a
KCL
)|| glukosa (a
g
) || (SA, Glt., enzim GOD) | Pt

Keterangan:
M
1
:membran padat berbentuk serbuk gelas dari elektroda pembanding Ag AgCl, yang
berinteraksi dengan larutan glukosa, M
2
: membran luar yang melapisi kawat platina.
Membran ini terdiri dari lapisan tipis selulosa asetat (SA) yang di dalamnya terdapat
glutaraldehid (Glt.) dan enzim GOD, Pt: kawat platina.

Interaksi antara enzim GOD dengan substrat glukosa diawali dari enzim GOD memindah-
kan dua buah elektron dan dua atom hidrogen gugus alkohol ( CH
2
-OH) dari glukosa
menjadi gugus aldehid (-HC=O). Sementara itu, dua atom hidrogen diterima oleh kofaktor
FAD membentuk FADH
2
. Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen yang terikat pada
FAD menghasilkan H
2
O
2
. Mekanisme reaksi katalitik enzim GOD sebagai berikut:
-D-glukosa + FAD D-glukono--lakton + FADH
2

D-glukono--lakton + H
2
O asam D-glukonat
FADH
2
+ O
2
H
2
O
2
+ FAD
_________________________________________________________ +
-D-glukosa + H
2
O + O
2
asam D- glukonat + H
2
O
2


180
220
260
300
340
380
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
Waktu, detik
E
,

m
V
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

44
Hasil eksperimen membuktikan bahwa waktu tanggap elektroda enzim GOD sangat
singkat. Dengan demikian enzim GOD yang diamobilkan dalam suatu bahan pendukung
diharapkan dapat selektif terhadap substrat glukosa.

Untuk mengetahui apakah enzim GOD amobil yang terdapat pada elektroda dapat ber-
fungsi sebagai zat aktif (katalis), maka diperlukan analisis hasil pengukuran potensial
elektroda yang diperlihatkan dari respon potensial elektroda enzim GOD yang lebih
besar disebabkan glutaraldehid pada lapisan elektroda GOD dapat berfungsi sebagai
gugus bifungsi yang dapat mengikat enzim GOD dengan bahan pendukung selulosa
asetat (Chibata, 1978, Sternberg, 1988).

Hal ini sesuai dengan teori bahwa glutaraldehid dalam elektroda enzim GOD berfungsi
sebagai gugus bifungsi yang memungkinkan enzim dapat berperan dalam meningkatkan
laju reaksi. Enzim GOD dapat membentuk senyawa antara kovalen basa Schiff melalui
kondensasi senyawa amin (enzim) dan gugus karbonil (substrat) (Loudon, 1995).

Elektroda enzim GOD yang dibuat dari kawat platina dilapisi enzim GOD amobil dalam
polimer pendukung selulosa asetat, memiliki kelebihan antara lain; mudah dibuat, me-
miliki bentuk yang kecil dan ringan serta dalam penggunaannya tidak memerlukan
larutan pembanding dalam.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan, sebagai berikut:
(1) Elektroda enzim GOD dapat dibuat dari kawat platina yang dilapisi dengan selulosa
asetat, dan glutaraldehid. Respon potensial relatif tinggi, sensitivitas yang mendekati
Nerst dan waktu tanggap yang singkat.
(2) Elektroda enzim GOD terbukti dapat digunakan untuk menentukan glukosa melalui
deteksi hidrogen peroksida secara potensiometri.
(3) Kelayakan analisis elektroda enzim GOD dapat dicapai secara optimal pada pH
optimum selulosa asetat (pH = 5 6).


DAFTAR PUSTAKA

Chibata, I., (1978), Immobilized enzymes, Kodansha LTD., John Wiley & Sons Pub.,
New York, 89 - 97.

Christian, G.D. And J. E. OReilly, (1986), Instrumental analysis, Second Edition, Allyn
and Bacon, Inc. Pub., London., 5 39.

Evans, A., (1991), Potentiometry and ion selective electrode, John Wiley & Sons,
Chichester Pub., New York, 198 206.

Ho, M.H., (1986), Immobilized enzyme probes based on fluoride ion detection, Proc. 2
nd

Inc. meeting on chemical sensors, Bordeaux, 630 633.

Mulder, M., (1996), Basic principles of membrane technology, 2
nd
edition, Kluwer
academy publishers, Deedrecht.

Philiph, R., (1994), Electrochemistry, Second edition, Champman & Hall, Inc., Pub.,
London, 72 95.


Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 45
KESULITAN MAHASISWA DALAM MENERAPKAN BILANGAN INDEKS
PADA PERHITUNGAN KIMIA

Oleh
Ruli Meiliawati *)

ABSTRACT

This study eximined students difficulties in understanding subscripts to solve chemical
problems. There were 24 students of chemistry departement of education Palangka Raya
University participated in this study. Data were obtained by giving test to students. The
students faced difficulty in calculating the number of atoms which is (mass/molar mass)
x N and of calculating the number of mass were (the number of atoms/N)x massa molar
without multiplying by subscript.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangka Raya

PENDAHULUAN

Salah satu aspek yang penting pada penelitian pendidikan IPA adalah untuk berhadapan
langsung dan memahami dengan baik kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyebab kesulitan mahasiswa dalam mem-
elajari konsep IPA adalah kurangnya pengetahuan konseptual mahasiswa terhadap
konsep tersebut.

Beberapa penelitian pendidikan dalam bidang kimia membuktikan bahwa sebagian besar
konsep-konsep ilmu kimia sukar dipahami oleh (maha)siswa, seperti pada topik: termo-
dinamika II (Kesidou dan Duit, 1993); elektrokimia (Garnett dan Treagust, 1992); stoikio-
metri (Poole, 1989; Abraham & Williamson, 1994). Selanjutnya, Dierks, Weninger, dan
Herron (1985) menyatakan bahwa konsep mol merupakan materi yang paling sukar di-
pelajari (maha)siswa pada awal pelajaran.

Pendapat ini didukung oleh penelitian Sihombing (1997) yang melaporkan bahwa konsep
mol merupakan konsep yang paling sukar dipahami siswa SMU kelas 1 pada cawu 3
dibandingkan dengan konsep-konsep lainnya. Selanjutnya, Sinaga (1998) melalui ana-
lisis tes kimia buatan gurumelaporkan bahwa hanya 18,7% (dari 267) siswa yang mampu
menentukan jumlah molekul H
2
O bila diketahui massa molekul relatif dan molnya.

Faktor utama kesulitan (maha)siswa dalam menyelesaikan perhitungan-perhitungan
kimia adalah mahasiswa kurang memiliki pengetahuan konseptual yang mendasari per-
hitungan-perhitungan tersebut (Kaput & Clement dalam Bodner, 1986; Staver dalam
Staver dan Lumpe, 1993; Krisnan dan Howe, 1994; Huddle dan Pillay, 1996). Hasil pe-
nelitian ini didukung oleh pendapat Irawan (1993) yang menyatakan bahwa salah satu
kelemahan pendidikan yang amat mencolok, tetapi kurang disoroti, adalah tingkat pe-
mahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang masih sangat buruk.

Ilmu kimia --secara berdiri sendiri-- baru diajarkan di SMU. Berdasarkan GBPP kimia ta-
hun 1994, rumus kimia merupakan topik yang diajarkan pada awal program pengajaran,
catur wulan 1 di kelas 1. Selanjutnya, pengetahuan tentang rumus ini dipelajari lagi se-
cara khusus di perguruan tinggi pada mata kuliah Kimia Dasar 1 pada semester 1.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

46
Rumus kimia merupakan lambang (simbol) zat yang menyatakan jenis atom unsur dan
jumlah relatif atom-atom yang menyusun zat tersebut, sehingga rumus kimia dapat
berupa rumus empiris atau rumus molekul. Jumlah relatif atom-atom yang menyusun zat
tersebut dikenal sebagai bilangan indeks. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa bilangan
indeks juga menginformasikan perbandingan jumlah mol atom yang menyusun suatu
senyawa. Oleh karena itu, bilangan indeks merupakan aspek yang penting untuk
menyelesaikan perhitungan-perhitungan kimia.

Penempatan topik bilangan indeks pada awal tahun pengajaran menunjukkan bahwa
pemahaman tentang bilangan indeks merupakan landasan untuk mempelajari konsep
kimia lebih lanjut, khususnya topik-topik mengenai perhitungan seperti: persamaan
reaksi, konsep mol, stoikiometri, dan sebagainya. Oleh karena itu, kiranya perlu di-
lakukan penelitian untuk mengetahui kesulitan yang dialami mahasiswa dalam menerap-
kan bilangan indeks dalam perhitungan-perhitungan kimia agar dapat dirumuskan suatu
cara penyembuhan yang tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) strategi yang dilakukan mahasiswa dalam
menerapkan bilangan indeks pada perhitungan-perhitungan kimia, yaitu dalam menentu-
kan jumlah atom dan besar massa zat dari suatu senyawa dan (b) konsistensi strategi
penerapan bilangan indeks yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan per-
hitungan-perhitungan kimia ditinjau dari bentuk dan soal yang berbeda (pilihan ganda
dan isian).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangka-
raya. Pada Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangkaraya, topik
bilangan indeks diberikan pada mata kuliah Kimia Dasar I. Oleh karena itu, penelitian ini
melibatkan seluruh mahasiswa program studi pendidikan kimia FKIP Universitas yang
memprogram mata kuliah Kimia Dasar I. Jumlah mahasiswa yang memprogram mata
kuliah ini sebanyak 24 orang. Data dijaring menggunakan dua bentuk tes terlulis, yaitu
tes pilihan ganda dan isian. Setiap bentuk tes terdiri dari dua butir soal, butir soal: 1 dan
2 bentuk pilihan ganda; 3 dan 4 isian.

Butir soal 1 dan 3 digunakan untuk mengungkap strategi yang digunakan siswa dalam
menyelesaikan perhitungan jumlah atom. Pada kedua butir soal ini diinformasikan rumus
kimia, massa dan massa molarnya, serta tetapan bilangan Avogadro. Berdasarkan
informasi ini, mahasiswa disuruh untuk: a) menentukan jumlah atom dengan cara
memilih salah satu jawaban yang benar untuk soal pilihan ganda; b) mengurutkan 4 buah
tabung (berisi zat) berdasarkan jumlah atom yang paling banyak untuk soal isian.

Pola strategi mahasiswa dalam menentukan massa zat ditelusuri melalui 2 butir soal,
yaitu 1 butir soal bentuk pilihan ganda (butir soal 2) dan 1 butir soal isian (butir soal 4).
Pada kedua butir soal ini diinformasikan rumus kimia, jumlah atom dari suatu molekul
unsur dan massa molarnya, serta tetapan bilangan Avogadro. Berdasarkan informasi ini,
mahasiswa disuruh untuk: a) menentukan massa zat dengan cara memilih salah satu
jawaban yang benar untuk soal pilihan ganda; b) mengurutkan 4 buah tabung (berisi zat)
berdasarkan massa zat yang paling berat untuk soal isian.

Berikut ini diberikan contoh soal untuk menentukan jumlah atom, yaitu butir soal 1 dan 3.

Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 47
Butir soal 1: Diketahui Mr S
8
=256; bilangan Avogadro=6 x 10
23
. Jumlah atom yang
terdapat pada 512 gram S
8
adalah
A. 16 B. 64 C. 12 x 10
23
D. 96 x 10
23

Butir soal 3: Perhatikan data berikut:
Tabung A Tabung B Tabung C Tabung D

120 g D
5
150 g L
4
100 g M
5
135 g Q
6
Mr D
5
=30 Mr L
4
=25 Mr M
5
=20 Mr Q
6
=45

Urutan tabung yang berisi jumlah atom paling banyak ke paling sedikit adalah ...
1. 2. 3. . 4.
Alasan (tuliskan langkah penyelesaian):
.
.
.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Strategi Menentukan Jumlah Atom (MJA)
Untuk soal pilihan ganda (butir soal 1), strategi yang benar untuk menentukan jumlah
atom adalah dengan cara membagi massa dengan Mr, dan kemudian mengalikannya
dengan bilangan indeks dan bilangan Avogadro. Jumlah mahasiswa yang menjawab
benar butir soal ini sebanyak 45,8%. Selanjutnya, terdapat dua macam pola strategi yang
salah dilakukan mahasiswa, yaitu: (a) membagi massa dengan Mr dan kemudian
mengalikannya dengan bilangan Avogadro, tanpa mengalikan dengan bilangan indeks;
Massa/Mr x N (pilihan C). Strategi penyelesaian seperti ini dilakukan oleh 37,5%
mahasiswa; (b) membagi bilangan indeks dengan mol dan kemudian mengalikannya
dengan bilangan Avogadro; Bilangan Indeks/Mol x N. Strategi penyelesaian seperti ini
dilakukan oleh 16,7% mahasiswa.

Untuk soal isian (butir soal 3), jumlah mahasiswa yang menjawab benar soal ini
sebanyak 37,5%. Pola strategi yang salah dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan
soal ini sebanyak tiga macam. Pola strategi salah yang dominan dilakukan mahasiswa
adalah mengurutkan banyaknya jumlah atom berdasarkan banyaknya jumlah massa.
Jumlah mahasiswa yang memilih pola strategi ini sebanyak 54,2%. Dari 45,8%
mahasiswa yang menjawab benar butir soal 1, hanya 63,6% dari jumlah tersebut yang
menjawab benar butir soal 3. Artinya, terdapat 36,6% mahasiswa yang menggunakan
strategi yang berbeda untuk menjawab butir soal 3, walaupun menjawab benar butir soal
1. Selanjutnya, dari 37,5% mahasiswa yang menggunakan strategi salah memilih C pada
butir soal, 77,8% dari jumlah ini menggunakan strategi yang sama dalam menjawab butir
soal 4, yaitu mengurutkan jumlah atom berdasarkan jumlah massa.

Terdapat lima macam alasan yang diberikan mahasiswa dalam mengurutkan tabung
berdasarkan banyaknya jumlah atom. Sebagian besar alasan tersebut tidak menyatakan
peranan bilangan indeks dalam menentukan banyaknya jumlah atom yang terkandung
dalam suatu molekul unsur.

Berdasarkan pola strategi mahasiswa dalam merespon butir soal 1 dan butir soal 3 dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagian besar mahasiswa belum memahami cara
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

48
menentukan jumlah atom dari suatu molekul unsur bila diketahui massa dan Mr-nya.
Selanjutnya, data di atas menjelaskan bahwa pola strategi yang digunakan mahasiswa
dalam menentukan jumlah atom kurang konsisten. Hal ini dapat dilihat berkurangnya
jumlah mahasiswa yang menjawab benar butir soal 1 dibandingkan dengan jumlah
mahasiswa yang menjawab benar butir soal 3.

Bila ditinjau berdasarkan alasan yang diberikan mahasiswa yang menjawab benar butir
soal 1 dan butir soal 3, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya strategi yang
digunakan mahasiswa dalam menentukan jumlah atom belum benar walaupun hasil
akhirya benar. Di samping itu, dapat juga diinformasikan bahwa soal bentuk isian lebih
sukar dijawab oleh mahasiswa dibandingkan dengan soal bentuk pilihan ganda dalam
menentukan jumlah atom.

Pola Strategi Menentukan Massa Zat (MMZ)
Untuk soal pilihan ganda (butir soal 2), strategi yang benar untuk menentukan massa zat
atom adalah dengan cara: (1) membagi jumlah atom dengan bilangan indeks dan
kemudian membagi hasilnya dengan bilangan Avogadro lalu dikalikan dengan Mr, atau
(2) membagi jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian dikalikan dengan
bilangan indeks dan Mr. Jumlah mahasiswa yang menjawab benar butir soal ini
sebanyak 41,7%.

Terdapat dua macam pola strategi yang salah dilakukan mahasiswa, yaitu: (a) membagi
jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian dikali dengan Mr, tanpa mengali-
kan dengan bilangan indeks; Jumlah atom/N x Mr (pilihan B). Strategi penyelesaian
seperti ini dilakukan oleh 50,0% mahasiswa; (b) mengalikan bilangan indeks dengan MR
(pilihan B); Bilangan Indeks x Mr. Bilangan Indeks/Mol x N. Strategi penyelesaian seperti
ini dilakukan oleh 8,3% mahasiswa.

Untuk soal isian (butir soal 4), jumlah mahasiswa yang menjawab benar soal ini se-
banyak 29,2%. Pola strategi salah yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal
ini sebanyak empat macam. Pola strategi salah yang dominan dilakukan mahasiswa
adalah dengan mengurutkan banyaknya massa zat berdasarkan banyaknya jumlah atom
(mol). Jumlah mahasiswa yang memilih pola strategi ini sebanyak 50,0%.

Dari 41,7% mahasiswa yang menjawab benar butir soal 2, terdapat 70,0% dari jumlah
tersebut yang menjawab benar butir soal 4. Artinya, terdapat 30,0% mahasiswa yang
menggunakan strategi yang berbeda untuk menjawab butir soal 4, walaupun menjawab
benar butir soal 2. Selanjutnya, dari 50,0% mahasiswa yang menggunakan strategi salah
dengan memilih B pada butir soal 2, terdapat 58,3% dari jumlah ini menggunakan strategi
yang sama dalam menjawab butir soal 4, yaitu mengurutkan jumlah massa zat ber-
dasarkan jumlah atom.

Terdapat enam macam alasan yang diberikan mahasiswa dalam mengurutkan tabung
berdasarkan banyaknya massa zat. Sebagian besar alasan tersebut tidak menyatakan
peranan bilangan indeks dalam menentukan banyaknya massa zat suatu molekul unsur.
Berdasarkan pola strategi mahasiswa dalam merespon butir soal 2 dan butir soal 4 dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagian besar mahasiswa belum memahami cara
menentukan banyaknya massa zat dari suatu molekul unsur bila diketahui jumlah atom
dan Mr-nya. Selanjutnya, data di atas menjelaskan bahwa pola strategi yang digunakan
mahasiswa dalam menghitung massa zat cukup konsisten dalam menerapkan strategi
yang salah maupun yang benar.

Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 49
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan,
yaitu: Pertama: Menentukan Jumlah Atom; pola strategi salah yang dominan dilakukan
mahasiswa (37,5%) dalam menentukan jumlah atom adalah membagi massa dengan Mr
dan kemudian mengalikannya dengan bilangan Avogadro, tanpa mengalikannya dengan
bilangan indeks; Massa/Mr x N. Artinya, penentuan banyaknya jumlah atom dari be-
berapa molekul unsur yang berbeda hanya berdasarkan jumlah mol tanpa memper-
hitungkan bilangan indeks dari molekul unsur tersebut; Menentukan Massa Zat; pola
strategi salah yang dominan dilakukan mahasiwa (50,0%) dalam menentukan massa zat
adalah membagi jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian mengalikannya
dengan Mr, tanpa mengalikannya dengan bilangan indeks; Jumlah atom/N x Mr. Kedua,
berdasarkan pola strategi yang diberikan pada penentuan jumlah atom dan massa zat,
maka dapat disimpulkan bahwa sebagian mahasiswa belum memahami peranan
bilangan indeks dalam perhitungan kimia. Ketiga, terdapat pola strategi yang kurang
konsisten dilakukan mahasiswa dalam menentukan jumlah atom berdasarkan bentuk
soal yang berbeda, tetapi dalam menentukan massa zat, pola strategi mahasiswa cukup
konsisten untuk jawaban benar maupun salah untuk bentuk soal yang berbeda.
Keempat, bila ditinjau berdasarkan alasan yang diberikan, sebagian besar mahasiswa
kurang memahami strategi perhitungan yang digunakan walaupun hasil akhirnya benar.

Salah satu yang perlu dicermati dari hasil penelitian ini adalah terdapat kekurang-
pahaman mahasiswa mengenai peranan bilangan indeks dalam perhitungan kimia. Hal
ini dapat dipahami karena topik bilangan indeks dalam buku-buku kimia kurang men-
dapat penekanan demikian juga dalam penyampaian oleh guru. Umumnya, para pe-
ngajar berpendapat bahwa topik ini mudah dipahami oleh (maha)siswa. Oleh karena itu,
berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan para pengajar bidang studi ilmu kimia --di
SMU atau PT-- perlu menekankan peranan bilangan indeks dalam perhitungan-per-
hitungan kimia dalam kegiatan proses belajar mengajar.


DAFTAR PUSTAKA.

Abraham, Michael R & Williamson Vickie M 1994. A Cross-Age Study of the
Understanding of Five Chemistry Conceps. Journal of Research in Science
Education, 31(2); 147-165.

Bodner, George M 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical
Education, 63(10)

Dierks Werner & Weninger Johann & Herron, J. Dudley 1985. Mathematics in Chemistry
Classroom; Part 1. The Special Nature of Quantity Equations. Journal of Chemical
Education, 62(10); 839.

Garnett, P.J., Treagust, D.F. 1992. Conceptual Difficulties Experienced by Senior High
School Students of Elektrochemistry; Electrochemical (Galvanic) and Electrolytic
Cells. Journal of Research in Science Teaching. (29); 1079 - 99.

Huddle, P.A & Pillay. 1996. An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and
Chemical Equilibrium at A South Africa University. Journal of Research in Science
Teaching. 33(1); 65-77.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

50
Irawan, Prasetya. 1993. Peran guru dan buruknya pemahaman konseptual mahasiswa.
Artikel Harian Suara Karya (15 Mei).

Kesidou, S & Duit, R. 1993. Students' Conceptions of the Second Law of
Thermodynamics - An Interpretive Study. Journal of Research in Science
Teaching. (30); 85 - 106.

Krishnan, Shanti R & Howe, Ann C. 1994. The Mole Concept; Developing an Instrumen
To Assess Conceptual Understanding. Journal of Chemical Education, 71(8); 653-
655.

Poole, Richard L. 1989. Teaching Stoichiometry: A Two Cycle Approach. Journal of
Chemical Education, 66(1); 57.

Sinaga, Udurma. 1998. Analisis Butir Soal Kimia Bentuk Pilihan Ganda Buatan Guru
yang digunakan untuk Tes Sumatif Kelas 1 Cawu 2 SMUN-3 Palangkaraya Tahun
Ajaran 1997/1998 (Skripsi). Universitas Palangkaraya.

Sihombing, Sarmarita NS. 1997. Analisis Butir Soal Kimia Bentuk Pilihan Ganda Buatan
Guru Kelas 1 SMUN-2 Palangkaraya Catur Wulan Ketiga Tahun Ajaran 1996/1997
(Skripsi). Universitas Palangkaraya.

Staver, John R dan Lumpe, Andrew T. 1993. A Content Analysis of the Presentation of
the Mole Concept in Chemistry Texbooks. Journal of Research in Science
Education. 30(4); 321-337.


























Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 51
KARAKTERISTIK KOROSI PADA PERMUKAAN BAJA (STEEL) OLEH KARBON
DIOKSIDA (CO
2
)

Oleh
Simon Sembiring dan Pulung Karo-Karo *)


ABSTRACT

A consequence of steel corrosion in the presence of carbon dioxide (CO
2
) and a water
phase is the formation of corrosion product. The corrosion products identified by x-ray
diffraction analysis are iron carbonate (FeCO
3
) as the primary corrosion product and Fe
3
C
(cementite) as secondary corrosion product. FeCO
3
compound is found to form a tight,
adherent film on the metal surface.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung

PENDAHULUAN

Korosi karbon dioksida (CO
2
) biasanya terdapat pada industri pengeboran minyak lepas
pantai dan alat alat produksi gas. CO
2
banyak ditemukan pada aliran pipa minyak, yang
larut dalam air membentuk asam karbonat lemah yang mudah terionisasi. Dengan meng-
hasilkan larutan asam, pada hakikatnya merusak pipa pipa sumur minyak. Hal ini meng-
akibatkan beberapa kerusakan pada sistem produksi dan transportasi minyak. Salah satu
yang menarik dari korosi oleh karbon dioksida adalah terbentuknya produk korosi yang
pada kondisi jenuh dapat berguna sebagai pelindung terhadap korosi. Dengan adanya
produk korosi ini akan mempengaruhi laju korosi. Laju korosi pada umumnya lebih ren-
dah dengan adanya pelindung. Heuer dan Stubbin (1999) mengamati mekanisme ter-
bentuknya produk korosi akibat karbon dioksida dengan reaksi:

Anoda : CO
2
+ H
2
O H
2
CO
3

(1)
Katoda : 2H
2
CO
3
-
+2e H
2
+2HCO
3
-

(2)
2HCO
3
-
+ 2e H
2
+ 2CO
3
-
(3)

Reaksi reaksi di atas signifikan dengan reaksi korosi karbon dioksida yaitu oksidasi dari
besi (Fe) membentuk ion Fe
+
.
Fe Fe
+2
+ 2e (4)
Endapan i besi karbonat (FeCO
3
) dapat terjadi melalui 2 tahap:

(a) Fe
+2
+ CO
3
-
FeCO
3
(5)
Fe
+2
+ 2HCO3
-
Fe(HCO
3
)
2
(6)
Fe(HCO
3
)
2
FeCO
3
+ CO
2
+ H
2
O (7)

Pengendapan FeCO
3
(Siderite) pada permukaan baja mempunyai kemampuan untuk
mengurangi laju korosi(Palacios and Shaddley, 1991). Akibat adanya endapan FeCO
3

yang terbentuk dari kondisi tanpa oksigen (anaerob), satu kemungkinan yang kuat bahwa
endapan FeCO
3
dapat mengalami perubahan kimia ketika bereaksi dengan oksigen di
udara. Kenyataannya FeCO
3
diketahui sangat kuat teroksidasi di udara. Jasinki (1987)
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

52
menyelidiki endapan korosi oleh karbon dioksida dengan metode diffraksi sinar-x me-
nunjukkan bahwa endapan korosi terjadi pada permukaan baja adalah FeCO
3
melalui
proses kimia (Persamaan 5 dan 7). Xia, dkk, (1989) memperoleh endapan korosi FeCO
3

melalui reaksi kimia yang pada awalnya membentuk Fe(HCO
3
)
2
(Persamaan 7). Palacios
dan shadley (1991) mengamati mikrostruktur endapan korosi dengan menggunakan
scanning elektron microscopy (SEM). Mereka menemukan bahwa pada permukaan baja
terdiri dari 2 bentuk fase endapan FeCO
3
yaitu:
Fase utama (primary scale), fase endapan ini terbentuk secara langsung pada
permukaan baja. Adapun sifat sifat dari fase utama adalah tidak merata,
menyerap, bentuk kristalnya besar, melekat dengan kuat dan berwarna hitam
keabu-abun.
Fase kedua (secondary scale), fase endapan ini terdapat di bagian atas fase
utama yang memiliki sifat sifat, merata, tidak menyerap, berikatan dengan
mudah, kristalnya kecil dan berwarna coklat.
Secara umum fase utama tidak mudah terlepas dari permukaan baja, sementara fase
kedua sangat mudah terlepas. Xia, dkk, (1989) menyimpulkan bahwa endapan produk
korosi oleh karbon dioksida yang bersifat menyerap tidak terjadi pada seluruh permuka-
an baja.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik korosi pada baja yang terbentuk
dengan adanya karbon dioksida dalam larutan. Karbon dioksida bereaksi dengan larutan
berinteraksi dengan baja dapat mengakibatkan korosi. Karakteristik produk korosi yang
terbentuk dianalisis secara visual dan pola diffraksi.

METODE PENELITIAN

Bahan steel yang digunakan pada penelitian ini adalah pipa baja dengan kandungan
carbon rendah (low carbon) dari NIPPON SUPPLIER dengan spesifikasi API-5L-B
(American Petroleum Institute). Komposisi kimia terdiri dari: 0.17% C, 0.18% Si, 0,018%
P, 0.55% Mn, 0.01% Cr and 99,048% Fe. Pipa baja dipotong dengan mesin pemotong
electric discharge wire (EDW) dengan ukuran dimensi 20 mm panjang, 10 mm lebar dan
1 mm tebal. Permukaan specimen digosok dengan kertas pasir ukuran 500 grit, dicuci
dengan ethanol dan dikeringkan. Proses korosi dilaksanakan di dalam sebuah reaktor
yang berisi larutan garam perpaduan 3% Nacl dan 100mg/L H
2
CO
3
dengan total volume
1000 ml. Sebelum proses korosi dilakukan, larutan disemprot dengan gas karbon di-
oksida dan nitrogen selama 30 menit untuk mengeluarkan oksigen yang ada di dalam
reaktor dengan tekanan 50 Pascal (Pa)dan temperatur 50

. Kemudian reaktor ditutup


dengan mengunci skrup serapat mungkin. Sampel baja berputar di dalam reaktor dengan
kecepatan putar 700 rpm selama 1 jam, 1 hari, 3 hari dan 7 hari. Proses korosi dapat
dilihat pada gambar 1.

Specimen baja yang telah mengalami proses korosi dikeluarkan dari reaktor dan siap
untuk dikarakterisasi. Karakterisasi korosi dilakukan a Siemens D500 diffraktometer
dengan mengunakan Cu tube, 40kv -30mA, panjang gelombang K = 1.542, parallel
beam optics, divergence = 1

, 2 step size = 0.02 dan 2 scan 20

- 80

. Data karakteri-
sasi mikrostruktur produk korosi menggunakan Scanning electron microscopy (SEM),
Philips XL-30 dengan detektor Si(Li).

Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 53

Gambar 1. Skematik Proses Korosi (Mishra, dkk, 1992)


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Scanning Electron Microscope
Analisis mikrostruktur (Gambar 2a) dari hasil Scanning Electron Microscopy (SEM)
adalah permukaan baja sebelum proses korosi. Berdasarkan pola diffraksi sinar-x
(Gambar 3a) menunjukkan bahwa struktur baja dinominasi oleh besi (Fe). Gambar 2b
menunjukkan mikrostruktur permukaan baja setelah proses korosi selama 1-Jam.
Permukaan yang terkorosi terdiri dari lapisan Fe yang terkikis (halus) dan retak (tanda 1)
dan lapisan tertutup oleh endapan produk korosi (tanda 2).Keretakan terjadi akibat
konsentrasi klorida (Cl) yang tinggi (Fu dan Bluth, 1994).

Gambar 2c menunjukkan mikrostruktur permukaan baja setelah korosi selama 1-Hari.
Permukaan baja terkorosi memperlihatkan endapan produk korosi tidak merata. Lapisan
Fe berwarna putih (tanda 1) dan berwarna kehitam-hitaman bentuk ukuran yang berbeda
(tanda 2). Adanya endapan dan variasi warna telah diselidi oleh beberapa peneliti se-
belumnya (Taylor, dkk,1978; Veawab, dkk, 1999; Videm dan kvarekval, 1994) menunjuk-
kan bahwa variasi warna disebabkan oleh perbedaan struktur penyusun yang terdapat
permukaan baja.

Pengamatan proses korosi 3-Hari dab 7-Hari dengan SEM (Gambar 2d dan 2e) memper-
lihatkan bahwa permukaan baja didominasi oleh endapan produk korosi. Produk korosi
ini sebagian menutupi permukaan baja, dan bagian lain meninggalkan beberapa daerah
dasar baja. Berdasarkan peneliti sebelumnya (Schmitt dan Engels, 1988; Johnson, dkk,
1991; Misra, dkk, 1992; Palacios dan shadley, 1991). Mereka menyimpulkan bahwa Fe
3
C
(cementite) dan FeCO
3
(siderite) adalah 2 produk korosi utama. FeCO
3
dibentuk ketika
konsentrasi ion besi (Fe
++
) di dalam larutan melewati titik jenuh. FeCO
3
membentuk lapis-
an yang tebal dan kuat. Sementara Fe
3
C (cementite) terbentuk dari keadaan setimbang
antara Fe dan C (karbon).

Pipa saluran
Furnace
Pemutar(Stirrer)
Sampel Steel
Pengontrol Suhu
Motor
Tabung Gas
Tekanan Gas
CO
2
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

54
Pengamatan Diffraksi Sinar-X
Analisis komposisi dari diffraksi ditunjukkan (Gambar 3a dan 3b). Gambar 3a memper-
lihatkan permukaan baja sebelum proses korosi, hanya didominasi oleh besi (symbol
Fe100). Gambar 3b adalah pola diffraksi setelah proses korosi 1-Jam, 1-Hari, 3-Hari dan
7-Hari.

(a)
(b) (c)
(d) (e)
Gambar 2. Mikrostruktur pada permukaan baja. (a ) Sebelum Proses Korosi; (b) Setelah
Korosi Selama 1-Jam; (c) 1-Hari; (d) 3-Hari dan (e) 7-Hari.

1
2

Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 55
Pada proses korosi 1-Hari FeCO
3
belum terjadi, namun terbentuk kalsium karbonat
(CaCO
3
). CaCO
3
(symbol X) merupakan kontaminasi terbentuk dari reaksi CO
3
-
dengan
ion Ca yang berasal dari komponen larutan yang digunakan. Pada proses korosi mulai
terjadi endapan FeCO
3
(symbol s) dan diikuti terbentuknya Fe
3
C (symbol c) untuk proses
korosi 3 dan 7-Hari. Videm dan Dugstad, (1987) menyelidiki perubahan warna keabu-
abuan menjadi hitam pada suhu 50

(sama dengan pada penelitian ini) menyimpulkan


produk korosi terdiri dari fase utama FeCO
3
dan fese kedua Fe
3
C.

(a)

(b)

Gambar 3. Pola Diffraksi (a) Sebelum Korosi dan (b) Setelah Proses Korosi. Simbol F:
besi; S: FeCO
3
; C: Fe
3
C dan X: CaCO
3
.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

56
KESIMPULAN

Produk (endapan) korosi yang terjadi pada permukaan steel yang terkarakterisasi
terutama terdiri dari mineral siderite (FeCO
3
) dan Fe
3
C (cementite).
Endapan (FeCO
3
) dan Fe
3
C (cementite) semakin banyak seiring dengan waktu
proses korosi.
Pengamatan mikroskopik menunjukan 3 sifat korosi pada permukaan baja yaitu
korosi secara merata, keretakan dan endapan yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA

American Petroleum Institute (1995), API Specification 5L, 41
st
ed.
Fu, S.L., and Bluth, M.J., 1994, Study of Sweet Corrosion Under Flowing Brine and/or
Hydrocarbon Conditions, National Association of Corrosion Engineers, p1-22.
Heuer, J.K. and Stubbins, J.F. (1999), An XPS characterisation of FeCO
3
films from CO
2

corrosion. Corrosion Science, 41, 1232-1243.
Jasinki, R., (1987), Corrosion of N80-Type Steel by CO
2
/Water Mixtures, Corrosion,
National Association of Corrosion Engineers, 43, no, 4, 214-218.
Johnson, B.V, Choi, H.J, and Green, A.S 1991, Effect of liquid Wall Shear Stress on CO
2

Corrosion of X-52 C-Steel in Simulated Oilfield Production Environments,
National Association of Corrosion Engineers, 573, pp24-28.
Mishra, B., Olson, D.L., Al-Hassan, S., and Salama, M.M., (1992), Physical
Characteristics of Iron Carbonate Scale Formation in Pipeline Steels, Corrosion,
National Association of Corrosion Engineers Annual Conference, 13, pp. 1-10.
Palacios, C.A. and Shadley, J.R., 1991, Characteristics of Corrosion Scales on Steels in
a CO
2
-Saturated NaCl Brine, Corrosion, 47, p122-127.
Schmitt, G and Engels, D 1988, SEM/EDX Analysis of Corrosion Products for
Investigation on Metallurgy and solution Effects in CO
2
Corrosion, National
Association of Corrosion Engineers, 149, pp 11-16
Taylor, M.F. Hampson, K.F and Nehru, A.Y, (1978), Preliminary results of the oxidation
behaviour of contaminated crevices between mild steel compound exposed to
CO
2
-based atmospheres, British Corrosion journal, 13, pp79-81.
Veawab, A. Tontiwachwuthikul, P and Chakama, A, Corrosion Behavior of Carbon Steel
in the CO
2
Absorption Process Using Aqueous Amine Solutions, American
Chemical Society, 38 (1999), pp3917-3924
Videm, K and Dugstad, A, Effect of Flow Rate, pH, Fe
2+
Concentration and Steel Quality
on the CO
2
Corrosion of Carbon Steels, Corrosion, 42 (1987), pp1-12.
Videm, K. and Kvarekval, J., (1994), Corrosion steel of Carbon Steel in CO
2
Saturated
Aqueous Solutions Containing Small Amounts of H
2
S, Corrosion, National
Association of Corrosion Engineers, no, 12, 2-16.
Xia Z, Chou, K.C and Szklarska-Smialowska, Z, Pitting Corrosion of Carbon Steel in CO
2
-
Containing NaCl Brine, Corrosion, 48 (1989), pp636-642.


Tutorial Sebagai Upaya .... (Sri Hastuti Noer) 57
TUTORIAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN EFEKTIVITAS
PENGAJARAN KALKULUS I
(Studi pada Mahasiswa Pendidikan Kimia PMIPA Tahun Pelajaran 2001/2002)

Oleh
Sri Hastuti Noer *)

ABSTRACT

The action research was condukted based on low score acievement of Calkulus I. More
than 50% students got score less than 6,5 ( score B). The aim of this study was to know
efficiency of using tutorial teaching outside formal lesson to enhance students activity
and their acievement. The sample was 34 students who participated on calculus I.
The teaching materials were The Real Number System, Limit and Function, and
Differentials subject. The tutorial teaching process was done within 3 cycles. The data
was obtained by giving tests by the end of the lectures. Based on data observed , 85%
students got score more than 6.5 ( score B), and 75 % students active during studying.
These improvements was reached at third cycles. It can be concluded that giving tutorial
teaching outside formal lesson could increase student-achievement and activity of
learning Calculus I
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu ilmu dasar, matematika dewasa ini telah berkembang dengan pesat
dan hampir semua cabang ilmu menggunakan konsep-konsep matematika. Pesatnya
perkembangan ini membuat pengajaran matematika di setiap jenjang pendidikan harus
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itulah pengajaran
matematika ditujukan agar peserta didik dapat menggunakan konsep matematika baik
dalam pembelajaran matematika lebih lanjut, mata pelajaran lain, maupun dalam
kehidupan sehari-hari.

Salah satu cabang matematika yang banyak digunakan atau diperlukan baik dalam
pelajaran matematika itu sendiri maupun dalam mata pelajaran lainnya adalah kalkulus.
Dalam kurikulum pengajara jurusan pendidikan MIPA mata kuliah ini ditawarkan pada
mahasiswa tahun pertama bersama (TPB), dalam dua tahap yakni Kalkulus I pada se-
mester ganjil dan Kalkulus II pada semester genap. Mata kuliah Kalkulus ini diberikan
dengan tujuan agar mahasiswa memahami fungsi dan grafiknya, limit fungsi , prinsip-
prinsip differensial dan integral, teknik-teknik pendifferensialan dan pengintegralan, serta
penggunaan prinsip-prinsip tersebut sebagai bekal bagi pembelajarn matematika lebih
lanjut ataupun bagi pelajaran lain yang membutuhkannya.

Suatu kenyataan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menyerap materi pelajaran
kalkulus berbeda-beda. Sebagian mahasiswa ada yang dapat mengikuti pelajaran se-
suai waktu yang telah diprogramkan, tetapi tidak sedikit siswa yang tidak memenuhi hal
tersebut. Oleh karena itu dalam pembelajaran selalu ada mahasiswa yang memerlukan
bantuan baik dalam mencerna pelajaran maupun dalam mengatasi kesulitan belajar
mereka. Perbedaan kemampuan ini tentunya memerlukan perbedaan perlakuan pula
terhadap mereka.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

58
Berdasarkan observasi yang dilakukan di jurusan PMIPA khususnya pada mahasiswa
program studi kimia dalam dua tahun terakhir,diketahui bahwa sebagian besar maha-
siswa mengalami kesulitan belajar dalam mata kuliah kalkulus I. Sebagai gambaran,
pada semester genap tahun ajaran 2000/2001 terdapat 35 orang mahasiswa dari 50
orang mahasiswa kimia yang menempuh mata kuliah ini atau sekitar 70 % mahasiswa
memperoleh nilai kurang dari C. Ini menunjukkan bahwa ketuntasan belajar belum
tercapai.

Didasarkan atas pentingnya bimbingan kepada mahasiswa untuk menghindari kegagalan
dalam belajar, salah satu hal yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan tutorial ke-
pada mahasiswa yang belum menguasai bahan pelajaran sebagai upaya untuk me-
ningkatkan hasil belajar mahasiswa.

Hasil belajar kadangkala menjadi prioritas utama bagi seorang dosen. Padahal dalam
belajar masih ada hal lain yang juga harus menjadi perhatian seorang dosenr. Karena
belajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan tingkah laku
pada seseorang baik dalam bentuk sikap dan nilai pengetahuan serta keterampilan
sebagai hasil pengalaman yang bersifat konstan.

Peristiwa belajar dapat dipandang dalam 3 segi yaitu :
Belajar sebagai hasil yaitu berupa penampakan sifat dan tanda-tanda tingkah laku yang
dipelajari. Belajar sebagai proses yaitu berupa pola-pola perubahan tingkah laku selama
pengalaman belajar, dan belajar sebagai fungsi yaitu yang ditujukan pada aspek-aspek
yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku didalam pengalaman edukatif.
(Surakhman, 1980 : 58)

Selain itu Hudoyo (1988: 317) menyatakan bahwa di dalam belajar terdapat tiga
masalah pokok yakni faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, bagaimana
proses belajar itu berlangsung; prinsip mana yang dilaksanakan; dan hasil belajar pe-
serta didik. Dari ketiga hal ini yang banyak mendapat perhatian kita adalah hasil belajar
peserta didik Hal ini dikarenakan dari hasil belajar yang diperoleh mahasiswa, kita akan
mempertanyakan bagaimana proses belajarnya?, serta faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya?

Kembali pada masalah proses belajar, seperti dikemukan oleh Mustaqim (1990: 63)
dalam pelaksanaannya kemampuan pembawaan seseorang akan mempengaruhi hasil
belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan yang lebih akan lebih mudah dan
lebih cepat belajar daripada anak-anak yang kemampuannya kurang.

Keanekaragaman latar belakang mahasiswa, bakat, tingkat kecerdasan, kecepatan
belajar, perhatian, dan minat akan mempengaruhi proses pembelajaran. Disini dosen
memegang peranan, dimana dosen harus peka terhadap semua mahasiswanya, karena
seluruh mahasiswa (baik yang pandai atau tidak) harus dapat ditangani dengan sebaik-
baiknya. Dengan adanya keanekaragaman faktor tersebut di atas, maka waktu dan
pelayanan belajar harus tepat diberikan pada siswa yang lambat belajar, seperti yang
dikatakan berikut. Setiap siswa dapat menguasai materi pelajaran tetapi waktu yang
diperlukan tidak sama. (Ischak, 1982: 13)

Namun demikian kekurangan dalam kemampuan pembawaan ini masih dapat diatasi
dengan banyak cara.Suatu cara yang dapat dilakukan seorang dosen untuk mengatasi
kesulitan belajar mahasiswa dikemukakan oleh Arikunto (1991: 3), bahwasanya dalam

Tutorial Sebagai Upaya .... (Sri Hastuti Noer) 59
proses pembelajaran menurut prinsip belajar tuntas terdapat dua kegiatan yang sama
pentingnya yakni kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan. Kegiatan pengayaan di-
tujukan bagi siswa yang tidak mengalami kesulitan atau kegagalan belajar, sedang ke-
giatan perbaikan ditujukan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar.

Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dapat dilkakukan di dalam
jam tatap muka ataupun diluar jam tatap muka. Seperti pendapat berikut ini. program
perbaikan dan program pengayaan dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar jam
pelajaran. (Winkel, 1996 : 420) Selain itu Arifin (1985: 84-85) juga mengemukakan
bahwa. Layanan pengajaran remedial dapat dilakukan: a. pada jam pertemuan biasa, b.
jam pertemuan berikutnya, c. jam pertemuan yang telah ditentukan .

Dalam hubungan ini Muntasir (1985: 84-85) menyatakan bahwa pembelajaran dengan
tutor dapat menjadi alat bantu untuk menimbulkan motivasi dan pengajaran yang ber-
mutu. Tutor ini akan mendapatkan keuntungan berupa pemahaman pelajaran yang
bertambah baik, demikian dengan mereka yang ditutori, terutama kalau fokusnya pada
kemampuan kognitif.

Mengenai tutorial yang diisi dengan latihan menyelesaikan soal-soal matematika
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika, dan
pada akhirnya nanti akan meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Seperti yang
dikemukakan oleh Ruseffendi bahwa :Kecerdasan manusia dapat ditingkatkan sehingga
mencapai batas optimal yaitu dengan pengayaan melalui pengalaman. (Ruseffendi,
1980 : 52)

Kegiatan tutorial pada hakekatnya merupakan penambahan pengalaman belajar maha-
siswa. Dengan bertambahnya pengalaman mahasiswa dalam memecahkan soal-soal
matematika diharapkan mahasiswa menjadi semakin terampil dalam menghadapi
persoalan matematika.. Kegiatan ini harus terprogram dan disusun secara sistematis.
Bukan sekedar kegiatan yang timbul pada suatu saat tertentu dan secara kebetulan
menemukan kesulitan belajar siswa. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ischak (1982: 1).

Salah satu bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh dosen melalui tutorial, yang mana
dalam kegiatan tutorial ini mahasiswa yang belum tuntas belajar diharapkan dapat me-
ningkatkan kemampuannya sedang yang sudah tuntas belajar lebih memantapkan
pemahamannya mengenai materi perkuliahan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa pendidikan Kimia Jurusan PMIPA Unila yang
menempuh mata kuliah Kalkulus I pada semester pendek tahun pelajaran 2001/2002
sebanyak 34 orang mahasiswa yang terdiri atas 28 orang mahasiswa perempuan dan
6 orang mahasiswa laki-laki. Tutorial yang diberikan kepada mahasiswa, dimaksudkan
sebagai kegiatan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi per-
kuliahan bagi mahasiswa yang mendapat nilai kuis < 65 dan sebagai kegiatan pengaya-
an bagi mahasiswa yang mendapat nilai kuis 65. Yang dilakukan pada kegiatan tutorial
ini adalah mengulang kembali materi yang dirasakan oleh mahasiswa belum jelas dan
mahasiswa mengerjakan latihan soal-soal untuk meningkatkan pemahamannya. Untuk
mahasiswa yang sudah mendapat nilai 6.5 langsung mengerjakan lartihan soal-soal,
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

60
sedangkan yang belum memenuhi criteria terlebih dahulu harus mendengarkan penjelas-
an ulang tentang materi perkuliahan

Penelitian ini dilakukan dalam 3 siklus. Dalam siklus 1 dilakukan hal-hal berikut.
a. Dalam tahap pendahuluan disusun perencanaan perangkat pembelajaran dan
skenario tindakan
b. Pelaksanaan pengajaran untuk pokok bahasan Sistem bilangan real selama 4
kali pertemuan yang diakhiri dengan kuis 1
c. Setelah kuis diperiksa kemudian untuk mahasiswa yang memperoleh nilai kuis <
6.5 diberi tutorial yang diawali dengan pengajaran ulang tentang materi
perkuliahan sedang untuk yang sudah memenuhi criteria dapat langsung me-
ngerjakan soal-soal latihan. Selanjutnya dilakukan observasi terhadap pe-
laksanaan tindakan, baik aktivitas belajarnya maupun hasil belajarnya.
d. Refleksi terhadap hasil pelaksanaan tindakan sebagai acuan bagi pelaksaanan
tindakan pada siklus berikutnya.
e. Pelaksanaan siklus berikutnya

Untuk melihat adanya peningkatan efektivitas pengajaran kalkulus I mahasiswa melalui
kegiatan tutorial, maka indikator dalam penelitian ini adalah 85 persen mahasiswa men-
dapat nilai 6,5 ke atas dan 75% siswa aktif belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus I mulai dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 25 Juni 2002 yang diikuti oleh 30
orang mahasiswa, dilanjutkan pada hari Kamis tanggal 27 Juni 2002 diikuti oleh 34 orang
mahasiswa, dilanjutkan hari Selasa tanggal 2 Juli 2002 diikuti oleh 33 orang mahasiswa,
dilanjutkan hari Kamis tanggal 4 Juli 2002 diikuti 34 orang mahasiswa. Pembelajaran ber-
langsung 4 kali pertemuan untuk pokok bahasan Sistem Bilangan real.

Setelah dilakukan tes tentang Sistem Bilangan Real diperoleh nilai rata-rata hasil belajar
mahasiswa adalah 5,99 dan mahasiswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas sebanyak 18
orang atau 52,9 %. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa ternyata ter-
dapat 33 % mahasiswa yang aktif bertanya pada dosen/teman pada saat mengerjakan
latihan soal, terdapat 48% mahasiswa yang mengerjakan soal pada buku latihan.

Hasil penelitian siklus I tersebut menunjukkan bahwa indikator kinerja belum terpenuhi.
Hal ini dapat terjadi karena motivasi belajar mahasiswa yang kurang atau dosen kurang
memberikan perhatian secara menyeluruh.

Berdasarkan hasil di atas maka pada siklus ke dua perlu dilakukan hal sebagai berikut:
1) memotivasi mahasiswa untuk aktif belajar dengan cara memberikan tugas untuk
membaca materi yang akan dipelajari dan mengerjakan soal-soal latihan di rumah.
2) memberikan perhatian yang menyeluruh kepada siswa.
3) Memberikan tutorial kepada mahasiswa.

Siklus II mulai dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 11 Juli 2002 yang diikuti oleh 33
orang mahasiswa, dilanjutkan pada hari Selasa tanggal 15 Juli 2002 diikuti oleh 34 orang
mahasiswa, dilanjutkan hari Kamis tanggal 18 Juli 2002 diikuti oleh 31 orang mahasiswa,
dilanjutkan hari Selasa tanggal 22 Juli 2002 diikuti oleh 34 orang mahasiswa, pembe-
lajaran berlangsung 4 kali pertemuan untuk pokok bahasan Limit dan Fungsi.

Tutorial Sebagai Upaya .... (Sri Hastuti Noer) 61
Setelah dilakukan tes tentang Limit dan Fungsi diperoleh nilai rata-rata hasil belajar
mahasiswa adalah 7,16 dan mahasiswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas sebanyak 25
orang atau 73,5 %. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa ternyata ter-
dapat 49% aktif bertanya pada dosen/teman pada saat mengerjakan latihan soal, ter-
dapat 68%mahasiswa yang mengerjakan soal pada buku latihan.

Hasil penelitian siklus II tersebut menunjukkan bahwa indikator kinerja belum terpenuhi.
Hal ini dapat terjadi karena mahasiswa masih belum termotivasi untuk belajar dan usaha
dosen untuk memberikan perhatian kepada siswa belum optimal.

Berdasarkan hasil di atas maka pada siklus ke tiga perlu dilakukan hal sebagai berikut:
1) memotivasi mahasiswa untuk aktif belajar, denag cara memberi tugas membaca
materi yang akan disampaian dalam perkuliahan dan mengerjakan PR untuk
dikerjakan dirumah dengan diberi umpan balik.
2) memberikan perhatian yang menyeluruh kepada mahasiswa dengan cara sering
menghampiri mahasiswa untuk melihat hasil pekerjaannya maupun untuk membantu
mahasiswa yang mengalami kesulitan.
3) Memberikan tutorial kepada mahasiswa.

Siklus III mulai dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 29 Juli 2002 yang diikuti oleh 31
orang mahasiswa, dilanjutkan pada hari Kamis tanggal 1 Agustus 2002 diikuti oleh 34
orang mahasiswa, dilanjutkan hari Selasa tanggal 6 Agustus 2002 diikuti oleh 32 orang
mahasiswa, dilanjutkan hari Kamis tanggal 8 Agustus 2002 diikuti oleh 34 orang maha-
siswa, dan pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2002 diikuti oleh 34 orang mahasiswa.
Pembelajaran berlangsung 5 kali pertemuan untuk pokok Differensial dan pengguna-
annya.

Setelah dilakukan tes tentang differensial dan penggunaannya diperoleh nilai rata-rata
hasil belajar mahasiswa adalah 7,71 dan mahasiswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas
sebanyak 30 orang . Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa ternyata ter-
dapat 73% aktif bertanya pada dosen/teman pada saat mengerjakan latihan soal, ter-
dapat 78%mahasiswa yang mengerjakan soal pada buku latihan.

Hasil penelitian siklus III tersebut menunjukkan bahwa indikator kinerja sudah terpenuhi.
Yakni 88% mahasiswa memperoleh nilai 6,5 ke atas dan 75.5% mahasiswa aktif belajar.
Ini berarti bahwa kegiatan tutorial akan meningkatkan efektivitas pengajaran kalkulus I.


KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan observasi langsung serta tes hasil pembelajaran
maka pada penelitian ini disimpulkan bahwa kegiatan tutorial dapat meningkatkan
aktivitas belajar dan hasil belajar kalkulus I mahasiswa, khususnya mahasiswa program
studi Pendidikan kimia yang menempuh mata kuliah tersebut pada semester pendek
tahun pelajaran 2001/2002

Dalam upaya meningkatkan hasil belajar kalkulus I mahasiswa, selain diperlukan kinerja
dosen yang baik juga mahasiswa dapat diberikan tutorial diluar jam tatap muka dengan
tujuan agar mahasiswa yang belum tuntas belajar dapat meningkatkan pemahaman
pada materi pelajaran dan mahasiswa yang sudah tuntas belajar dapat memantapkan
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

62
pemahamannya terhadap materi pelajaran. Sehingga seluruh mahasiswa dapat mem-
peroleh hasil belajar yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Mulyati. 1985. Pengembangan Program Pengajaran Bidang studi Kimia. Airlangga
University Press. Surabaya
Arikunto, Suharsimi. 1991. Dasar dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.
Hudoyo, Herman. 1988. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di
depan kelas. Usaha Nasional. Surabaya.
Ischak, Warji R. 1982. Program Remedial Dalam Proses Belajar Mengajar. Liberty.
Yogyakarta.
Muntasir, Saleh. 1985. Pengajaran Terprogram Teknologi Pendidikan dengan
Pengendalian Tutor. CV Rajawali. Jakarta
Mustaqim, Wahid Abdul. 1990. Psikologi Pendidikan. Semarang.
Purcell, Edwin. J. 1992. Kalkulus dan Geometri Analitis Jilid 1. Erlangga. Jakarta
Ruseffendi, E.T. 1980. Pengajaran Matematika Modern Seri 5. Tarsito. Bandung
Surachmad, Winarno. 1980. Metodologi Pengajaran Nasional. Jemmars. Bandung
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pendidikan. Gramedia. Jakarta

























Kesulitan Siswa SMU .... (Suandi Sidauruk) 63
KESULITAN SISWA SMU MEMAHAMI KONSEP REAKSI REDOKS

Oleh
Suandi Sidauruk *)

ABSTRACT

The purposes of this study were to know students difficulties in understanding reduction-
oxidation concepts. There were 158 students of senior high school in Palangkaraya
participated in this study. Data were obtained by administration of paper-pencil tes. Most
students had some difficulties in indentifying oxidation reaction (73,4%), reduction
reaction (70,3%), and reduction-oxidation reaction (76,6%). There were 13,3% and 42,4%
students who had some difficulties in calculating the oxidation number of elements of
neutral and ion polyatomic substances, respectvely. Futhermore, most students failed to
indentify an substance as reductor or oxidator if reaction equations were given.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangka Raya

PENDAHULUAN

Mata pelajaran ilmu kimia di SMU merupakan mata pelajaran yang sulit, hal ini tercermin
dari nilai ilmu kimia yang diperoleh siswa pada penilaian sumatif atau EBTA (evaluasi
belajar tahap akhir) yang masih rendah. Djoyonegoro (1995) mengutip hasil pengujian
Tim Inspektorat Jenderal bersama Balitbang Depdikbud menyatakan bahwa mata
pelajaran IPA, termasuk ilmukimia, adalah mata pelajaran yang paling sukar dipelajari
oleh siswa SMU. Zamroni (2001) melaporkan bahwa rerata NEM kimia tahun pelajaran
1999/2000 di Propinsi Kalimantan Tengah sebesar 3,41 dari paling tinggi 5,95 (Propinsi
Bali) dan terendah 3,32 (Propinsi Bengkulu). Kesukaran ini dapat disebabkan oleh ber-
bagai faktor, antara lain penyampaian materi ilmu kimia oleh guru bersifat abstrak.
Sumber kesulitan yang dialami siswa dalam mempelajari kimia, antara lain: membaca
kalimat dan istilah, operasi matematika, memahami konsep (Arifin, 1995; Middlecamp
dan Kean, 1985).

Salah satu pokok bahasan ilmu kimia di SMU adalah reaksi redoks. Materi ini diberikan
pada siswa SMU kelas 1. Tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari pokok
bahasan ini adalah siswa mampu memahami perkembangan konsep reaksi redoks dan
hubungannya dengan tata nama senyawa. Kemampuan yang dituntut dari siswa dalam
mempelajari onsep reaksi redoks di kelas 1 SMU meliputi: kemampuan mengidentifikasi
jenis suatu reaksi (oksidasi, reduksi, atau oksidasi-reduksi) bila diketahui persamaan
reaksinya; kemampuan menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dalam suatu senyawa
netral dan senyawa ion poliatom; kemampuan menentukan zat yang bertindak sebagai
oksidator atau reduktor.

Berdasarkan cakupan konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami
konsep reaksi redoks diperlukan pengetahuan proposisi reaksi redoks dan kemampuan
operasi matematika sederhana. Kemampuan matematika sedernana digunakan untuk
menentukan bilangan oksidasi suatu unsur. Banyak penelitian melaporkan bahwa se-
bagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep kimia terutama yang
tekait dengan operasi matematika. Beberapa diantarnya pada topik: termodinamika
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

64
(Kesidou & Duit, 1993); energi kimia (Menis dan Fraser, 1992); mol (Staver dan Lumpe,
1995); stoikiometri (Herron & Greenbowe, 1986; Huddle & Pillay, 1996).

Garnett dan Treagust (1992) melaporkan bahwa siswa grade 12 di Perth memiliki
beberapa kesulitan dalam memahami konsep oxidation-reduction equations, siswa me-
mahami peristiwa oksidasi dapat terjadi tanpa diikuti peristiwa reduksi dan sebaliknya
(oxidation and reduction processes can occur indepently). Kesulitan yang dapat diduga
terjadi pada siswa SMU di Kota Palangkaraya.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesulitan
siswa SMU dalam memahami konsep reaksi redoks, yang meliputi kesulitan dalam:
1) menentukan jenis reaksi (oksidasi, reduksi, atau oksidasi-reduksi) jika diketahui
persamaan reaksinya; 2) menghitung bilangan oksidasi suatu unsur bila diketahui rumus
senyawanya (netral atau ion); 3) menentukan zat yang bertindak sebagai oksidator atau
reduktor bila diketahui persamaan reaksinya.

METODE PENELITIAN

Konsep reaksi redoks termasuk salah satu topik yang diajarkan pada akhir tahun ajaran
di kelas 1 SMU, sehingga penelitian dilakukan di SMU kelas 2. Penelitian ini melibatkan
158 siswa SMU di Kota Palangkaraya.

Data penelitian dijaring menggunakan tes tertulis bentuk isian dengan jawaban singkat
yang berjumlah 5 butir soal. Butir soal 1, 2, dan 3 masing-masing digunakan untuk
mengungkap kesulitan siswa dalam menentukan jenis reaksi jika persamaan reaksinya
diberikan. Jenis persamaan reaksi tersebut adalah:
1.
Zn
2+
+ 3e > Zn

2.
Ba > Ba
2+
+ 2e

3.
KCl > K
+
+ Cl
-

4.
2Cu
2
O > 4Cu + O
2
5.
2Fe + 6 HCl > 2FeCl
3
+ 3H
2
6.
2CO + O
2
> 2CO
2
7.
2Cu + 3Zn
2+
> 2Cu
2+
+ 3Zn

8.
KOH + HCl > KCl + H
2
O

9.
2MgO + C > 2Mg + CO
2
10.
NaOH + H
2
S > Na
2
S + 2H
2
O


Pertanyaannya adalah: kelompokkanlah persamaan reaksi tersebut menjadi reaksi:
1) oksidasi, 2) reduksi, dan 3) reduksi-oksidasi.Butir soal 4 digunakan untuk mengungkap
kesulitan siswa dalam menghitung bilangan oksidasi bila bilangan oksidasi beberapa
unsur diberikan, yaitu: nama unsur (bilangan oksidasi); A(+1), B(-1), C(+2), D(-2).
Pertanyaannya adalah: hitunglah bilangan oksidasi unsur W, X, Y, dan Z pada senyawa:
A
2
WD4; C(XB)
2
; YD
3
-
; AZO
4
2-
.

Butir soal 5 digunakan untuk mengungkap kesulitan siswa dalam menentukan zat yang
bertindak sebagai oksidator atau reduktor, jika persamaan reaksinya biberikan.
Persamaan reaksi tersebut adalah:
1. A
2
+ 2B
-
> B
2
+ 2A
-
dan
2. 14HCl + K
2
Cr
2
O
7
> 2KCl + 2CrCl
3
+ 3Cl
2
+ 7H
2
O

Kesulitan Siswa SMU .... (Suandi Sidauruk) 65
Pertanyaannya adalah: Tentukanlah partikel (molekul, atom, atau ion) yang bertindak
sebagai oksidator atau reduktor. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan
memaparkan persentasi. Selanjutnya, pola kesalahan yang dominan dilakukan siswa
direkan dan dilaporkan.

HASIL PEMBAHASAN

Menentukan Jenis Reaksi (Oksidasi, Reduksi, atau Oksidasi-Reduksi)
Oksidasi terjadi bila suatu unsur mengalami peningkatan bilangan oksidasi. Berdasarkan
definisi ini, maka persamaan reaksi di atas yang merupakan reaksi oksidasi adalah
persamaan reaksi nomor 2. Unsur Ba mengalami kenaikan bilangan oksidasi dari 0
menjadi +2. Sebagian besar (73,4%) siswa mengalami kesulitan dalam menentukan jenis
reaksi oksidasi. Kesalahan yang dominan dilakukan siswa adalah mengelompokkan
persamaan reaksi nomor 2, 5, 6, dan 7 ke dalam reaksi oksidasi dengan alasan yang
dominan: 1) bilangan oksidasi naik dan 2) mengikat oksigen.

Reduksi terjadi bila suatu unsur mengalami penurunan bilangan oksidasi, jawaban yang
benar adalah persamaan reaksi nomor 1. Ion Zn dengan bilangan oksidasi +2 turun
menjadi 0. Sebagian besar (70,3%) siswa mengalami kesulitan dalam menentukan jenis
reaksi ini. Kesalahan yang dominan dilakukan siswa adalah mengelompokkan
persamaan reaksi 1, 4, 7, dan 9 ke dalam reaksi reduksi dengan alasan yang dominan:
1) bilangan oksidasi turun dan 2) melepas oksigen.

Reaksi reduksi-oksidasi (redoks) adalah reaksi yang mencakup oksidasi dan reduksi
yang terjadi secara simultan. Berdasarkan definisi ini, maka reaksi redoks ditunjukkan
oleh persamaan reaksi nomor 4, 5, 6, 7, dan 9. Sebagian besar (76,6%) siswa memiliki
kesulitan dalam mengidentifikasi reaksi redoks dari beberapa persamaan reaksi.
Kesalahan yang dominan dilakukan siswa adalah mengelompokkan persamaan reaksi
nomor 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 sebagai reaksi redoks dengan alasan yang dominan: 1)
bilangan oksidasi naik dan turun; 2) mengikat dan melepas oksigen.

Menghitung Bilangan Oksidasi
Bilangan oksidasi W, X, Y, dan Z masing-masing adalah: +6, -2; +5; +5. Terdapat 13,3%
siswa yang memiliki kesulitan dalam menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dalam
senyawa netral. Kesulitan yang dominan dilakukan siswa adalah melakukan operasi
matematika, yaitu: 2(+1) + W + 4(-2) = 0; 2 + W 8 = 0; W = -6. Berbeda dengan
senyawa netral, jumlah siswa yang mengalami kesulitan dalam menghitung bilangan
oksidasi suatu unsur dalam ion poliatom sebanyak 42,4%. Kesalahan yang dominan
dilakukan siswa menuliskan rumus perhitungan yang digunakan: 1 (+1)+ Z + 4(-2) = 0.

Menentukan Zat Oksidator atau Reduktor
Oksidator adalah partikel (molekul, atom, atau ion) yang dapat mengoksidasi (menaikkan
bilangan oksidasi) partikel lain. Untuk dapat mengoksidasi partikel lain, maka partikel zat
oksidator memberikan elektron kepada partikel zat lain tersebut. Artinya, zat oksidator
mengalami reduksi. Reduktor adalah partikel yang dapat mereduksi (menurunkan
bilangan oksidasi) partikel lain. Untuk dapat mereduksi partikel lain, maka partikel zat
reduktor memberikan elektron kepada partikel zat lain tersebut. Artinya, zat reduktor
mengalami oksidasi.
Berdasarkan defenisi ini, partikel yang bertindak sebagai oksidator dan reduktor pada
persamaan reaksi 1 masing-masing adalah molekul A
2
dan ion B
-
. Pada persamaan
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

66
reaksi 2, HCl berindak sebagai zat reduktor dan K
2
Cr
2
O
7
bertindak sebagai zat oksidator.
Jumlah siswa yang mengalami kesulitan untuk menentukan zat oksidator/reduktor pada
persamaan reaksi 1 dan 2 masing-masing adalah 48,7% dan 51,3%. Kesalahan yang
dominan dilakukan siswa adalah memilih ion B
-
/ molekul HCl

sebagai oksidator dan
molekul A
2
/molekul K
2
Cr
2
O
7
sebagai reduktor, dengan alasan yang dominan: 1) reduktor
karena bilangan oksidasi turun dan 2) oksidator karena bilangan oksidasi naik.

Pembahasan
Sebagian besar siswa mengalami kesulitan mengidentifikasi jenis reaksi dari beberapa
persamaan reaksi. Untuk jenis reaksi oksidasi, kesalahan yang dominan dilakukan siswa
adalah mengelompokkan reaksi: 2Fe + 6 HCl > 2FeCl
3
+ 3H
2
;
2CO + O
2
> 2CO
2
;

2Cu + 3Zn
2+
> 2Cu
2+
+ 3Zn sebagai reaksi oksidasi.
Reaksi: 2Fe + 6 HCl > 2FeCl
3
+ 3H
2
dan 2Cu + 3Zn
2+
> 2Cu
2+
+ 3Zn
merupakan reaksi reduksi-oksidasi, sebab terdapat unsur yang mengalami kenaikan
bilangan oksidasi (Fe dan Cu) dan ada yang unsur/ion ( H/Zn) yang mengalami pe-
nurunan bilangan oksidasi. Kesalahan pilihan ini menunjukkan siswa hanya memper-
timbangkan kenaikan bilangan oksidasi. Hal ini diperkuat dengan alasan terhadap
jawaban yang diberikan siswa. Artinya, siswa memahami pengertian reaksi oksidasi
tetapi gagal mengidentifikasi reaksi oksidasi berdasarkan persamaan reaksi.

Pilihan siswa terhadap jawaban: 2CO + O
2
> 2CO
2
sebagai reaksi oksidasi
dipengaruhi oleh konsep awal reaksi oksidasi, yaitu: reaksi oksidasi terjadi bila suatu
unsur mengikat oksigen. Hal ini didukung oleh alasan dominan yang diberikan siswa,
yaitu mengikat oksigen.

Untuk jenis reaksi reduksi, kesalahan yang dominan dilakukan siswa mengelompokkan
persamaan reaksi: 2Cu
2
O > 4Cu + O
2
; 2Cu + 3Zn
2+
> 2Cu
2+
+ 3Zn; dan
2MgO + C > 2Mg + CO
2
sebagai reaksi reduksi. Kesalahan yang sama muncul
ketika menetukan reaksi oksidasi, yaitu memilih persamaan reaksi 2Cu + 3Zn
2+

> 2Cu
2+
+ 3Zn sebagai reaksi reduksi. Hal ini dapat terjadi karena siswa sangat jelas
melihat ada partikel (ion Zn
+2
) yang mengalami penurunan bilangan oksidasi, tetapi tidak
memahami bahwa ada partikel lain (Cu) yang mengalami kenaikan bilangan oksidasi.
Kesimpulan ini diperkuat dengan alasan dominan yang diberikan siswa, yaitu pada
persamaan reaksi yang dipilih tersebut terjadi kenaikan bilangan oksidasi.

Pilihan terhadap dua persamaan lainnya, menunjukkan siswa menggunakan pengertian
reaksi reduksi terjadi suatu partikel melepaskan oksigen. Kesimpulan ini didukung oleh
alasan yang dominan diberikan siswa, yaitu terjadi pelepasan oksigen.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Garnett dan Treagust
(1992). Penelitian tersebut melaporkan in all chemical equations, the definitions of
oxidation as the addition of oxygen, and reduction as the removal of oxygen, can be used
to identify oxidation and reduction

Reaksi ionisasi KCl menjadi K
+
dan Cl
-
dikelompokkan siswa ke dalam jenis reaksi
reduksi-oksidasi (redoks). Kesalahan ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
masih mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi jenis persamaan reaksi dari suatu
reaksi ionisasi. Hal ini dapat disebabkan pada persamaan reaksi ionisasi, bilangan
oksidasi unsur yang berbentuk ion dituliskan besarnya (positip atau negatip), sementara
dalam bentuk molekul bilangan oksidasi unsur-unsurnya tidak dituliskan. Fenomena

Kesulitan Siswa SMU .... (Suandi Sidauruk) 67
bentuk ion ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Garnett dan Treagust
(1992) yang melaporkan in an equatin, changes in the charges of polyatomic species
can be used to identify redox equations.

Kesalahan lain adalah siswa mengelompokkan reaksi: KOH + HCl > KCl + H
2
O


dan NaOH + H
2
S > Na
2
S + 2H
2
O sebagai jenis reaksi redoks. Argumentasi yang
dapat diberikan penyebab kesalahan ini adalah siswa: 1) tidak mampu menghitung
bilangan oksidasi dan 2) bilangan indeks suatu unsur mempengaruhi bilangan oksidasi
unsur tersebut.

Argumentasi siswa tidak mampu menghitung bilangan oksidasi gugur, sebab jumlah
siswa yang megnalami kesulitan dalam menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dalam
senyawa netral hanya 13,3%. Oleh karena itu, argumentasi bilangan indeks suatu unsur
mempengaruhi bilangan oksidasi unsur tersebut lebih dapat diterima.

Sebagian besar siswa mampu menuliskan rumus yang digunakan untuk menghitung
bilangan oksidasi suatu unsur dari senyawa netral. Kesalahan yang dominan dilakukan
siswa dalam menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dari suatu senyawa netral adalah
melakukan operasi matematika dalam suatu persamaan. Siswa tidak mengubah tanda
bilangan ketika bilangan tersebut berpindah ruas.

Jumlah siswa yang mengalami kesulitan menghitung bilangan oksidasi suatu unusr dari
senyawa ion polioatom lebih banyak dibandingkan dengan jumlah siswa dalam
menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dari senyawa netral. Kesalahan yang dominan
dilakukan siswa adalah menerapkan rumus menghitung bilangan oksidasi unsur dari
senyawa netral, yaitu jumlah persamaan bilangan = 0. Rumus yang sebenarnya adalah
jumlah persamaan bilangan = besar muatan ion poliatom.

Jumlah siswa yang mengalami kesulitan dalam menentukan suatu partikel bertindak
sebagai oksidator atau reduktor masing-masing adalah 48,7% (reaksi 1) dan 51,3%
(reaksi 2). Sebagian besar siswa ini memberikan alasan terhadap jawabannya adalah
oksidator karena bilangan oksidasi naik dan reduktor karena bilangan reduksi turun.
Data ini menjelaskan siswa memahami oksidator sebagai reduktor dan sebaliknya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di muka, maka dapat disimpulkan: Pertama,
sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menentukan jenis reaksi (oksidasi,
reduksi, atau reduksi-oksidasi) berdasarkan persamaan reaksi. Kesalahan yang dominan
dilakukan siswa adalah: menggunakan definisi pelepasan dan pengikatan oksigen untuk
mengidentifikasi reaksi reduksi dan reaksi oksidasi; menggunakan perubahan muatan ion
suatu unsur untuk mengidentifikasi reaksi redoks; bilangan indeks suatu unsur
mempengaruhi bilangan oksidasi unsur tersebut. Kedua, Sebagian besar siswa mampu
menghitung bilangan oksidasi suatu unsur dari senyawa netral maupun senyawa ion
poliatom. Kesalahan yang dominan dilakukan siswa menghitung bilangan oksidasi
adalah: menyelesaikan persamaan bilangan untuk senyawa netral dan menggunakan
rumus: jumlah persamaan bilangan = 0 untuk senyawa ion poliatom. Ketiga, siswa
memahami pengertian reduktor sebagai oksidator dan sebaliknya.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

68
Salah satu kelemahan penelitian ini adalah jumlah soal yang digunakan relatif sedikit,
sehingga bentuk-bentuk persamaan reaksi dan bentuk-bentuk senyawa netral dan ion
poliatom yang digunakan sedikit. Hal ini menyebabkan informasi tentang kesulitan siswa
dalam mengidentifikasi jenis reaksi, menghitung bilangan oksidasi, dan menentukan
oksidator dan reduktor menjadi terbatas. Kelemahan ini muncul karena soal yang
digunakan bentuk isian. Bila jumlah soal bentuk ini banyak diberikan, biasanya soal
nomor akhir tidak dikerjakan siswa, khususnya dalam membuat alasan. Untuk mengatasi
hal ini sebaiknya dikembangkan tes bentuk pilihan ganda dengan menyertakan alternatif
alasan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Mulyati (1995). Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia.
Surabaya: Airlangga Univ. Press.
Djoyonegoro, W. (1995). Jadi Momok Karena Abstrak; Mendikbud tentang Pelajaran
Kimia. Jawa Pos; 12 Januari.
Garnett, P.J. & Treagust, D.F. (1992). Conceptual Difficulties Experienced by Senior High
School Students of Electrochemistry: Elektric Circuits and Oxidation-Reduction
Equations. Journal of Research in Science Teaching. 29(2); 121 - 141.
Garnett, P.J. & Treagust, D.F. (1992). Conceptual Difficulties Experienced by Senior High
School Students of Electrochemistry; Electrochemical (Galvanic) and Electrolytic
Cells. Journal of Research in Science Teaching. 29(6); 1079 - 1099.
Herron, J. Dudley & Greenbowe, Thomas J. (1986). What Can We Do About Sue: A Case
Study of Competence. Journal of Chemical Education. 63(6); 528-531.
Huddle, P.A & Pillay. (1996). An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and
Chemical Equilibrium at A South Africa University. Journal of Research in
Science Teaching. 33(1); 65-77.
Kesidou, Sofia & Duit, Reinders. (1993). Students Conception of the Second Law of
Thermodynamics; An Interpretive Study. Journal of Research in Science
Teaching. 30(1); 85-106.
Menis, Joseph dan Frase, Barry J. (1992). Chemistry Achievement among Grade 12
Students in Australia and the United States. Research in Science and
Technological Education. 10(2). 131-70.
Middlecamp, Chaterine dan Kean, Elizabeth (1984). Panduan Belajar Kimia Dasar.
Jakarta: Gramedia.
Staver, John R & Lumpe, Andrew T (1995). Two Investigations of Students'
Understanding of the Mole Concept and Its Use in Problem Solving. Journal of
Research in Science Teaching. 32(2); 177-193.
Zamroni (2001). School and University Collaboration for Improving Science and
Mathematics Instruction in School (makalah disampaikan pada National Seminar
on Science and Mathematics Education). Bandung.




Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 69
PEMBUATAN KATALIS OKSIDA LOGAM GANDA TiO
2
MoO
3
DALAM PENGEMBAN
KARBON AKTIF MELALUI METODA BERTAHAP

Oleh
Sunyono *)

ABSTRACT

The research about preparation of carbon supported TiO
2
MoO
3
bimetals oxide catalysts
through in stages impregnation method has been done. The impregnation of TiO
2
bimetal
oxide was carried out through titanium chloride as a substance precursor and for MoO
3

metal oxide through ammonium heptamolybdate as a substance precursor. Impregnation
of bimetals oxide on the activated carbon were prepared in variation of ratio Ti and Mo as
1:1, 2:3, and 3:2. The calcinations was carried out at temperature of 400
o
C.
Characterization of catalysts were carried out to content of metals of Ti and Mo in
catalysts, acidity of catalysts, and surface area, and the test of catalysts activity were
carried out in the reaction for conversion of methanol to formaldehyde. The result of the
research showed that TiO
2
MoO
3
/active carbon catalyst can be made through in stages
method and the best of catalyst was found in variation of ratio of Ti and Mo as 2 : 3.
Kinetics of reaction for conversion of methanol to formaldehyde is the first order reaction,
and the rising temperature of reaction will speeds up the rate of reaction. The Activation
Energy (Ea) of the reaction in this research was 1,519 kJ. mol
1

___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.

PENDAHULUAN

Proses katalitik dalam suatu industri, seperti hidrotreting,hidrocracking dan hidrodesulfuri-
sasi dalam pengolahan minyak bumi biasanya digunakan katalis logam murni. Demikian
pula dalam proses-proses industri lain, seperti sintesa metanol dari karbondioksida, pem-
buatan sikloheksanol dari fenol, konversi metanol menjadi formaldehida dan lain-lain.
Katalis yang umumnya digunakan dalam proses reaksi konversi tersebut adalah katalis
logam murni, seperti Pt, Cu, Ni, Pd, Fe, Ti, Mo dan lain-lain. Namun, katalis logam murni
tersebut memiliki beberapa kelemahan dalam hal efisiensi katalis (aktivitas perkomponen
aktif), biaya serta kemudahan memperoleh. Di samping itu, katalis logam murni me-
nunjukkan stabilitas termal yang rendah yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya
luas permukaan karena terbentuk paduan logam yang sangat kompak (Foger, 1984).

Kelemahan tersebut di atas, dapat diatasi dengan cara mengimpregnasikan logam aktif
atau oksida logam pada pengemban yang memiliki luas permukaan besar, seperti karbon
aktif. Dengan cara ini diharapkan akan menghasilkan katalis yang sangat efisien dengan
luas permukaan spesifik besar dan menunjukkan stabilitas termal yang baik serta meng-
hasilkan katalis yang lebih selektif dan masa pakai yang relatif lama. Di samping itu, me-
nurut para ahli katalis oksida logam ganda mempunyai aktivitas yang lebih baik daripada
katalis oksida logam tunggalnya. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai pe-
ngemban seperti karbon aktif. Beberapa keuntungan dapat diperoleh dalam pemakaian
karbon aktif sebagai pengemban katalis, diantaranya adalah luas permukaan yang besar
memungkinkan dispersi logam maksimal, sifatnya yang inert mengeliminir terjadinya
reaksi samping. Demikian pula, komponen-komponen mahal yang terdapat dalam katalis
sisa dengan mudah dapat diperoleh kembali dengan jalan membakar karbon tersebut.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

70
Berdasarkan uraian di atas, maka karbon aktif akan dimanfaatkan sebagai pengemban
katalis oksida logam ganda TiO
2
MoO
3
. Sebagai sumber oksida logam TiO
2
digunakan
larutan TiCl
4
(Titanium klorida) dan sebagai sumber oksida logam MoO
3
adalah
(NH
4
)
6
Mo
7
O
4
(Amonium Heptamolybdate). Oleh sebab itu dalam penelitian ini masalah
yang ingin dipelajari adalah bagaimana metoda pembuatan katalis oksida logam ganda
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif, sehingga diperoleh katalis yang memiliki aktivitas dan
selektivitas cukup besar terhadap reaksi konversi metanol menjadi formaldehid, dan
bagaimana kinetika reaksi konversi metanol menjadi formaldehid yang dikatalisis dengan
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif, yang ditunjukkan melalui harga konstanta laju reaksi dan energi
aktivasi.

Pembuatan katalis (khususnya yang heterogen) telah banyak dilakukan oleh para
peneliti, yaitu dengan cara menempelkan/menyisipkan suatu atom lain ke dalam kisi
padatan. Banyak cara yang dilakukan oleh peneliti untuk menyisipkan atau menempelkan
suatu atom lain ke dalam kisi padatan, di antaranya yang paling terkenal dan mudah
dilakukan di laboratorium adalah impregnasi. Impregnasi dilakukan dengan cara
mengkontakkan padatan penyangga katalis dengan larutan fasa aktif yang berupa
senyawaan terlarut dengan air atau pelarut bebas air. Jenis katalis yang dibuat dengan
cara ini biasa disebut Katalis Sistem Logam-Pengemban (Sachtler, 1980). Menurut
Sachtler (1980) keuntungan penggunaan katalis sistem logam-pengemban antara lain,
(1). Hasil reaksi mudah dipisahkan, bila digunkan media cair, mungkin dapat dipisahkan
dengan penyaringan; (2). Perbandingan luas permukaan terhadap volume sangat besar
dan (3). Partikel-partikel logam tidak mudah mengalami sintering. Sebagai bahan
pengemban biasanya digunakan: pengemban inert (SiO
2
), pengemban aktif (alumina,
silika-alumina, zeolit dan karbon aktif), dan pengemban lain seperti; TiO
2
, Nb
2
O
3
, V
2
O
5

dan sebagainya.

Pembuatan katalis untuk industri kimia juga banyak dilakukan orang, di antaranya; Kato,
A. (1983) membuat katalis Fe
2
O
3
/TiO
2
untuk reaksi reduksi NO dengan NH
3
. Vannice,
M.A. (1986) membuat katalis Pt yang didispersikan pada SiO
2
, Al
2
O
3
, SiO
2
-Al
2
O
3
dan
TiO
2
. Katalis Pt-Ro/-alumina yang digunakan untuk beberapa reaksi hidrokarbon dibuat
oleh Garland (1991). Sedangkan Beltramini (1991) membuat katalis Pt/-alumina untuk
proses reforming dari metil siklopentana. Demikian pula Guerrero-Ruiz (1992) membuat
katalis Fe-Co/karbon dan Fe-Ru/karbon untuk reaksi hodrogenasi benzena.

Kemampuan titanium oksida sebagai katalis yang baik telah banyak diteliti dan dipub-
likasikan. Kato A. (1983) dalam penelitiannya tentang katalis Fe
2
O
3
-TiO
2
untuk reaksi
reduksi NO dengan NH
3
menyatakan bahwa penambahan TiO
2
ke dalam kisi Fe
2
O
3

menaikkan aktivitas dan daya tahan katalis terhadap peracunan SO
x
. Sedangkan Klein,
S. (1996) membuktikan kemampuan TiO2 yang diimpregnasikan pada silika dalam
mengoksidasi propena dengan etil benzena hidroperoksida menjadi propilena oksida.
Demikian pula Supriyanto dan Sunyono (1999) telah membuat katalis TiO
2
/Zeolit yang
dipakai untuk pengolahan limbah industri tahu, dan hasilnya katalis TiO
2
/Zeolit mampu
menurunkan harga COD 93,21%, BOD 73,22% dan menaikkan pH limbah dari 5,01 men-
jadi 7,59. Penggunaan senyawa TiO
2
juga memberikan berbagai keuntungan antara lain
tidak beracun, sehingga penggunaannya aman bagi mahluk hidup maupun lingkungan.
Sifat lainnya adalah katalis ini dapat berfungsi dengan baik pada kondisi ruang, sehingga
penggunaannya menjadi sangat sederhana. Senyawa ini juga relatif murah dan mudah
ditangani.


Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 71
Demikian pula kemampuan katalis molibdenum (Mo) yang diimpregnasikan ke bahan
pengemban telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Okamoto Y.(1995)
membuat katalis Mo/Al
2
O
3
dan katalis logam ganda Co-Mo/Al
2
O
3
, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa katalis ini mampu memecah ikatan rangkap dalam senyawa organik
seperti thiophen dan butadiena. Sedangkan Rafael A. (1993) membuat katalis logam
ganda Ni-Mo, Ni-W, dan Co-Mo yang diembankan pada zeolit-alumina-silika, hasil pe-
nelitiannya menunjukkan bahwa katalis Ni-Mo yang diembankan pada zeolit-alumina-
silika memiliki aktivitas yang lebih besar dari pada katalis Ni-W dan Co-Mo pada reaksi
hidrodenitrogenasidan reaksi hidrodesulfurisasi, dan katalis Ni-Mo/Zeolit-alumina-silika
dapat menghilangkan unsur N 89% dan S 99% melalui reaksi hidrodenitrogenasi dan
hidrodesulfurisasi minyak gas alam.

METODE PENELITIAN

a. Pembuatan katalis
Pembuatan katalis dalam penelitian ini meliputi dua tahap, yaitu impregnasi dan aktivasi.
Tahap impregnasi yang dilakukan adalah impregnasi dengan metoda bertahap, yaitu
sebanyak 10 gram karbon aktif direndam dalam 150 mL larutan TiCl
4
dalam metanol
yang mengandung 0,25 gram Ti dan diaduk selama 2 jam dengan kecepatan 300 rpm.
Kemudian karbon aktif terimpregnasi diambil dan dikeringkan pada suhu 100 110
o
C
dan dialiri dengan uap ammonia. Hasil yang diperoleh kemudian direndam lagi dalam
150 mL larutan amonium heptamolybdate (AHM) yang mengandung 0,25 gram Mo dan
diaduk selama 2 jam dengan kecepatan 300 rpm, kemudian dipanaskan pada suhu 100
110
o
C. Hasil impregnasi cara pertama ini siap untuk diaktivasi dan diberi kode K1.1,
artinya katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif dibuat dengan mengimpregnasikan oksida logam
ganda dengan perbandingan Ti : Mo sebesar 1 : 1. Dengan cara yang sama dibuat
katalis K2.3 dan K3.2 yang masing-masing impregnan mempunyai perbandingan Ti : Mo
sebesar 2 : 3, dan 3 : 2.

Tahap selanjutnya adalah aktivasi, yaitu kalsinasi sekaligus oksidasi dalam vakum.
Kalsinasi dan oksidasi dilakukan pada suhu 400
o
C dalam vakum selama 4 jam terhadap
semua sampel katalis yang dibuat. Proses kalsinasi ini dilakukan di dalam furnace suhu
tinggi.

b. Karakterisasi katalis
Karakterisasi katalis dilakukan terhadap:
1. Kandungan logam Ti dan Mo yang terimpregnasi pada karbon aktif, diukur dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
2. Luas permukaan katalis, yang ditentukan berdasarkan BET isoterm, yaitu melalui
pengukuran daya adsorpsi katalis terhadap larutan metilen blue klorida (MBK).
3. Keasaman katalis; ditentukan melalui metoda gravimetri, yaitu dengan mengukur
kemampuan katalis dalam mengadsorpsi ammonia.

Katalis terbaik dari hasil karakterisasi, adalah katalis yang memiliki luas permukaan dan
keasaman katalis terbesar untuk dilanjutkan ke uji aktivitas katalis.

c. Uji aktivitas katalis
Uji aktivitas katalis dilakukan terhadap reaksi konversi langsung metanol menjadi
formaldehid dalam fasa uap, pada suatu reaktor sebagaimana rangkaian berikut.

JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

72











Gambar 1. Rangkaian Alat Uji Aktivitas Katalis
Katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif dengan berat 1 (satu) gram di masukkan ke dalam kolom
katalis E dan metanol dimasukkan ke dalam labu C. Tanur H dipanaskan hingga suhu
yang divariasi 300, 350, 400, dan 450
o
C, dan dengan waktu reaksi 20 menit. Sedangkan
metanol dalam labu C diuapkan serta preheater D dihidupkan. Jika kondisi telah dicapai,
maka pendorong udara A beserta kran 1 dibuka. Kecepatan udara pembawa diatur dan
diukur dengan flow meter B. Setelah melewati kolom katalis E, destilat ditampung pada
botol G, dan selanjutnya hasil reaksi ini dianalisis dengan menggunakan alat kromato-
grafi gas (GC). Katalis yang digunakan dalam reaksi konversi metanol menjadi formal-
dehid adalah katalis terbaik yang diperoleh berdasarkan hasil karakterisasi. Sebagai
perbandingan hasil dilakukan pula terhadap reaksi konversi metanol menjadi formaldehid
tanpa katalis.

Dari analisis dengan kromatografi gas akan diperoleh persen berat metanol yang ter-
konversi dan persen berat formaldehid yang terbentuk. Aktivitas katalis dinyatakan me-
lalui harga tetapan laju reaksi (k) yang dihitung dengan rumus (Bayer, 1983):
k = 1/t ln (1 f) (1)
Harga f dicari dari data selektivitas dan hasil formaldehid, dengan persamaan:
100% x
x t 30 x S x Pg x Vg
10 x T x R x dm x Vm
f
5
..(2)
dimana:
dm = densitas formaldehid = 0,8767 gr/mL
Vm = Volume hasil formaldehid
R = tetapan gas ideal = 0,0821 L.atm.mol
1
.K
1

T = Suhu percobaan (K)
S = Selektivitas hasil formaldehid (%)
Pg = Tekanan gas metanol (atm) sesuai dengan gas pembawa.
Vg = Laju alir gas pembawa (mL/detik).
t = Waktu reaksi (detik).
G
B
TANUR
LISTRIK
UDARA

Kolom
Pemanas
Penampung
metanol
Es

A
C
D
E
F
H

Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 73
Sebagai pendekatan dalam reaksi konversi metanol menjadi formaldehid adalah bahwa
reaksi tersebut merupakan reaksi order satu. Untuk menentukan besarnya energi aktivasi
(Ea) dari reaksi tersebut digunakan rumus Arhenius (Castellan, 1983):
Ln k = ln A (Ea/RT) ..(3)
Selanjutnya dibuat grafik ln k versus 1/T, dan harga Ea diperoleh dari slope:
Ea = (Slope) . R. (4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif dibuat dengan cara mengimpregnasi-
kan oksida logam TiO
2
dan MoO
3
ke dalam pori-pori karbon aktif. Karbon aktif yang di-
gunakan sebagai pengemban adalah karbon aktif yang tersedia di Lampung (Lab. Kimia
Fisik Universitas Lampung) yang memnuhi syarat standar industri Indonesia (SII), yaitu
daya serap terhadap iodine 870 mg/gr. Sedangkan sebagai sumber TiO
2
digunakan
larutan TiCl
4
20 ppm dalam metanol, dan sebagai sumber MoO
3
adalah larutan amonium
heptamolybdate (AHM) 10 ppm. Proses impregnasi dilakukan melalui metoda bertahap
dengan cara perendaman. Waktu kontak antara larutan prekursor dengan karbon aktif
dibuat tetap, yaitu 2 jam. Aktivasi katalis dilakukan dalam furnace vakum dengan suhu
400
o
C. Hasil dari karakterisasi katalis yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 1.

Dalam penelitian ini keasaman katalis ditentukan berdasarkan sifat keasaman permuka-
an katalis, yaitu keasaman total, dan dilakukan dengan metoda gravimetri berdasarkan
proses adsorpsi gas ammonia oleh permukaan katalis. Perhitungan keasaman katalis
dilakukan melalui rumus:
mmol/gr
x W1 Mb
1000 x W2
Ka (5)
dimana: Ka = Keasaman katalis (mmol/gr)
W2 = Berat ammonia yang terserat (gram)
W1 = Berat sampel katalis (gram)
Mb = Berat molekul ammonia (17,03)

Tabel 1. Hasil Karakterisasi Katalis TiO
2
MoO
3
/Karbon Aktif
Variasi rasio
Ti : Mo
Kode
Keasaman
(mmol/gr)
Kandungan Logam (%)
Luas Permukaan
Ti Mo X/m(gr/gr)x10

L(m
2
/gr)x10
3

1 : 1 K1.1 16,44 66,65 61,01 272 829,60
2 : 3 K2.3 18,14 89,00 63,19 304 927,20
3 : 2 K3.2 11,29 75,50 55,94 76 231,80
Karbon Aktif KO 13,39 0 0 52 158,60

Berdasarkan Tabel 1. tersebut terlihat bahwa katalis yang dihasilkan mempunyai ke-
asaman yang bervariasi. Bila dibandingkan dengan keasaman karbon aktif sebelum
diimpregnasi dengan oksida logam ganda TiO
2
dan MoO
3
, maka keasaman katalis hasil
impregnasi lebih tinggi, kecuali pada katalis K3.2 (katalis dengan perbandingan Ti : Mo =
3 : 2). Katalis K3.2 memiliki keasaman yang lebih kecil dibanding karbon aktif, hal ini
dapat diperkirakan akibat proses yang bertahap dalam impregnasi. Pada tahap awal
impregnasi dengan TiO
2
selama 2 jam memungkinkan jumlah Ti yang masuk ke pori-pori
karbon aktif cukup banyak, sehingga pada impregnasi berikutnya untuk oksida MoO
3

diperkirakan permukaan katalis telah jenuh dan pori-pori karbon aktif menjadi tertutupi
oleh deposit kedua oksida logam tersebut. Meskipun demikian, secara umum dapat
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

74
dinyatakan bahwa keasaman katalis meningkat. Hal ini membuktikan bahwa adanya
oksida logam TiO
2
dan MoO
3
dalam katalis mampu mengikat molekul-molekul ammonia.
Berdasarkan kenyataan tersebut diharapkan katalis yang dihasilkan akan mampu meng-
ikat molekul-molekul reaktan dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga mampu mem-
percepat reaksi.

Keasaman katalis ini juga berkaitan dengan jumlah oksida logam yang terimpregnasi ke
dalam pori-pori karbon aktif. Jika dibandingkan dengan jumlah logam Ti dan Mo yang
terkandung dalam karbon aktif, terlihat juga bahwa keasaman katalis yang tinggi dapat
disebabkan oleh kandungan logam yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa partikel-
partikel logam pada permukaan katalis terdispersi dengan baik dan mampu mengikat
molekul-molekul reaktan (adsorbat ammonia) dengan baik pula.

Bila dilihat dari Tabel 1 di atas, katalis yang terbaik adalah katalis dengan perbandingan
Ti : Mo = 2 : 3. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada impregnasi meskipun per-
badingan Ti dan Mo yang diimpregnasikan lebih banyak mengandung logam Mo, namun,
karena logam Mo (demikian juga partikel MoO
3
) memiliki ukuran partikel yang lebih besar
dibanding Ti, sehingga pada proses perendaman yang bertahap maka Ti lebih mudah
masuk, sedangkan Mo sukar masuk ke dalam pori-pori karbon aktif karena hampir se-
luruh permukaan karbon aktif telah diisi oleh TiO
2
. Setelah dilakukan impregnasi kedua
dengan oksida logam MoO
3
dari larutan AHM, maka partikel-partikel oksida logam MoO
3

akan menempel pada permukaan sisa dan sebagian menempel pada deposit TiO
2
.
Dengan demikian, partikel-partikel MoO
3
lebih banyak berada di luar (tidak di dalam pori-
pori karbon aktif). Karena ukuran partikel MoO
3
lebih besar dari pada ukuran partikel TiO
2

(dilihat dari berat molekulnya), maka daya serap MoO
3
lebih kecil dibanding daya serap
partikel TiO
2
.

Sedangkan penentuan luas permukaan katalis dilakukan dengan menggunakan larutan
metilen biru klorida (MBK), yang analisisnya menggunakan spektrofotometer sinar tam-
pak pada panjang gelombang 663,0 nm.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa luas permukaan terbesar adalah pada katalis
dengan perbandingan Ti : Mo = 2 : 3. Bila dibandingkan dengan luas permukaan karbon
aktif yang tidak diimpreg terlihat bahwa luas permukaan katalis meningkat dengan ada-
nya logam Ti dan Mo yang menempel pada permukaan karbon aktif.

Aktivitas Katalis TiO
2
MoO
3
/Karbon Aktif
Aktivitas katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif yang diperoleh diujikan pada reaksi konversi
metanol menjadi formaldehid pada fasa uap. Untuk mengetahui kuantitas formaldehid
yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas (GC). Berdasarkan
hasil uji dan analisis pendahuluan terhadap reaksi konversi metanol menjadi formaldehid
dengan menggunakan katalis karbon aktif yang tidak diimpregnasi diperoleh bahwa
karbon aktif asli yang dipergunakan tidak menunjukkan sifat-sifat katalisis terhadap reaksi
konversi metanol menjadi formaldehid. Dengan demikian dapat diyakini bahwa untuk
reaksi konversi metanol menjadi formaldehid sangat diperlukan katalis logam atau oksida
logam. Namun demikian dari Tabel 1, terlihat bahwa karbon aktif juga mempunyai ke-
asaman dan luas permukaan yang cukup besar, namun dari hasil uji pendahuluan ter-
nyata karbon aktif tidak menunjukkan sifat katalis. Hal ini dapat dijelaskan sebagai ber-
ikut: Nilai keasaman dari karbon aktif pada penelitian ini diduga hanya berasal dari
proses fisisorpsi semata dan tidak disertai adanya proses kemisorpsi, sehingga meskipun

Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 75
karbon aktif memiliki keasaman dan luas permukaan yang cukup besar, tetapi tidak dapat
berfungsi sebagai katalis dan hanya berfungsi sebagai adsorben.

Uji aktivitas katalis dilakukan terhadap katalis K2.3. Kondisi percobaan yang dilakukan
adalah jumlah katalis 1 gram, waktu reaksi 20 menit, konsentrasi metanol 30%, volume
larutan yang digunakan dalam setiap percobaan 2 mL, dan laju alir gas pembawa 5
mL/detik. Variasi suhu reaksi yang dipakai adalah 300, 350, 400 dan 450
o
C. Hasil uji
aktivitas katalis dengan variasi suhu dapat dilihat pada Tabel 2, dan fraksi metanol yang
terkonversi (f) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2), dimana harga
densitas formaldehid = 0,8767 gr/mL, Pg = 4/5 atm, Vg = 5 mL/detik, dan t = 20 menit.

Tabel 2. Hasil Selektivitas Katalis (S) dan Formaldehid (Vm) dan Fraksi Terkonversi
(f) pada Berbagai Variasi Suhu.

Suhu (
o
C) S (%) Vm (mL) f (%)
300
350
400
450
62,03
65,20
68,42
70,11
0,0651
0,0702
0,0746
0,0788
3,006
3,084
3,123
3,219

Kinetika reaksi konversi metanol menjadi formaldehid dipelajari melalui harga konstanta
laju reaksi (k) melalui persamaan (1), yaitu:
k = 1/t ln (1 f)

Tabel 3. Konstanta Laju Reaksi Awal (k) pada Berbagai Suhu pada Reaksi Konversi
Metanol menjadi Formaldehid

Suhu Konstanta k
(detik
1
) / x 10
5

O
C
o
K
300
350
400
450
573
623
673
723
2,543
2,610
2,644
2,727

Dari harga k ini selanjutnya dibuat grafik ln k versus 1/T untuk mencari harga energi
aktivasi (Ea). Dari grafik ln k versus 1/T (Gambar 2) akan diperoleh harga energi aktivasi
reaksi konversi metanol menjadi formaldehid melalui slope sesuai persamaan (4):

Ea = Slope x R

Berdasarkan gambar 2 tersebut, diperoleh r = 0,984, dan slope = 182,768 K, sehingga
energi aktivasi (Ea) reaksi konversi metanol menjadi formaldehid adalah
Ea = (slope) x R
Ea = ( 182,768 K) x 8,314 J.K
1
.mol
1

Ea = 1519,533 J.mol
1
= 1,519 kJ. mol
1


JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

76

Gambar 2. Grafik ln k versus 1/T

Berdasarkan Tabel 2 dan 3, terlihat bahwa pada interval suhu yang diberikan pada
penelitian ini, suhu sangat berpengaruh pada aktivitas dan selektivitas katalis. Dimana
jika suhu reaksi dinaikkan, maka aktivitas dan selektivitas katalis juga akan naik. Dengan
demikian semakin tinggi suhu reaksi, maka reaksi makin cepat berlangsung, berarti
penelitian ini sesuai dengan teori Arrhenius. Di samping itu, dengan melihat harga k yang
relatif konstan menunjukkan bahwa reaksi konversi metanol menjadi formaldehid yang
dikatalisis oleh katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif merupakan reaksi order satu. Dari harga
energi aktivasi (Ea) sebesar 1,519 kJ. mol
1
menunjukkan bahwa reaksi katalitik dari
konversi metanol menjadi formaldehid dapat berlangsung pada suhu antara 300 hingga
450
o
C, dan pada tekanan atmosferik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa katalis
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif yang telah dibuat dalam penelitian ini mempunyai sifat-sifat
katalis yang cukup baik dan fungsinya sebagai katalis cukup efisien, karena waktu reaksi
yang berlangsung singkat (20 menit).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
1. Katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif dapat dibuat melalui metoda bertahap dan katalis
terbaik diperoleh pada variasi perbandingan Ti dan Mo adalah 2 : 3.
2. Keasaman dan luas permukaan katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif makin tinggi jika
oksida logam yang terimpregnasi makin besar, dan luas permukaan yang besar
dapat menyebabkan keasaman katalis makin besar pula.
3. Kinetika reaksi konversi metanol menjadi formaldehid yang dikatalisis dengan katalis
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif merupakan reaksi order satu dengan harga konstanta laju
(k): 2,543 x 10
5
detik
1
pada suhu 300
o
C; 2,610 x 10
5
detik
1
pada suhu 350
o
C;
2,644 x 10
5
detik
1
pada suhu 400
o
C; dan 2,727 x 10
5
detik
1
pada suhu 450
o
C.
Makin tinggi suhu makin cepat reaksi berlangsung yang ditunjukkan dengan makin
besarnya harga k.
4. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,519 kJ. mol
1
dan
katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif mempunyai sifat-sifat katalis yang cukup baik.

Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 77
DAFTAR PUSTAKA

Bayer, G., at al., (1983). Clay Mineral., Institute of Chrystallography and Petrography.
Swiss, Vol. 17.
Beltramini, J.N., et al., (1991). Kinetics of Deaktivation of Bifunctional Pt/Al
2
O
3
-Cl
Catalysts by Coking., AICHE Journal., 37, No. 6 (1991).
Castellan, G.W., (1983). Physical Chemistry., 3
rd
Ed. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc. Singapore.
Foger, K. (1984), Dispersed Metal Catalysts, in Anderson, J.R., and M. Boudart.
Catalysts; Science and Technology, Sperling-Verlag, New York, 6 (1984).
Garland, M., et al., (1991). Alumina Supported Platinum-Rhenium Dehydrogenation
Catalysts: Influence of Metal Ratio and Precursor on Catalytic Behavior. Ind. Eng.
Chem. Res., 30 (1991)
Guerrero-Ruiz, et. all (1992), Carbon Supported Bimetallic Catalysts Containing Iron, I.
Preparation and Characterization., Appl. Catal. 81 (1992).
Kato, A., et. all (1983), Activity and Durability of Iron Oxide-Titanium Oxide Catalysts for
NO Reduction with NH
3
. Journal of Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev., 22 (1983)
Klein, S., et. all (1996), Amorphous Microporous Titania-Silica Mixed Oxides: Preparation,
Characterization and Catalytic Redox Properties. Journal of Catalysis, 163 (1996).
Okamoto, Y., et al., (1995). Preparation and Catalytic Properties of Highly Dispersed
Molybdenum and Cobalt-Molybdenum Sulfide Catalysts Supported on Alumina.,
Ind. Eng. Chem. Res., 34 (1995).
Rafael, A., et al., (1993). Hydrotreatment of Athabasca Bitumen Derived Gas Oil Over Ni-
Mo, Ni-W, and Co-Mo Catalysts., Ind. Eng. Chem. Res., 32 (1993)
Sachtler, W.M.H., (1980), Chemistry and Chemical Engineering of Catalytic Processes.,
(R. Prins and G.C.A. Schult, eds), Sijthof and Noordhoff, The Netherland.
Supriyanto, R., dan Sunyono., (1999). Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan
Menggunakan Zeolit Berpendukung Katalis TiO
2
., Laporan Penelitian Project
HEDS., Universitas Lampung.
Vannice, M.A., et al., (1986). Direct Measurement of Heats of Adsorption on Platinum
Catalysts., II. CO on Pt Dispersed on SiO
2
, Al
2
O
3
, SiO
2
Al
2
O
3
, and TiO
2
., Journal of
Catalysts., 97 (1986).








JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.

78



















































Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531

Jurnal Pendidikan MIPA


PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL (JPMIPA)

1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia baku, dicetak menggunakan huruf Arial 12.
Istilah asing yang belum diserap dalam Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring.
2. Abstrak ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Abstrak
ditulis secara naratif, tidak perlu memakai alinea baru. Panjang abstrak tidak boleh
Iebih dan 250 kata, yang meliputi; masalah, tujuan, metode, hasil, dan bila mungkin
simpulan.
3. Panjang naskah 15 halaman sudah termasuk tabel dan gambar bila ada, naskah
diketik dua spasi pada disket dengan menggunakan program paket pengolah kata MS
Word. Sembir kiri dan kanan tidak perlu diatur. Awal alinea dimulai pada ketukan
pertama dan antara alinea dipisahkan dengan spasi yang berbeda. Naskah yang
sudah diketik ke dalam disket diprint out dan dikirimkan ke dewan redaksi JPMIPA.
4. Naskah disusun dengan sistematika sebagai berikut
a. Judul, diketik dengan huruf kapital dan diletakkan secara simetris.
b. Nama penulis tanpa gelar.
c. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
d. Pendahuluan (implisit teori/tinjauan pustaka, tanpa sub judul).
e. Metode Penelitian.
f. Hasil dan Pembahasan.
g. Simpulan dan Saran
h. DaftarPustaka
5. Pembuatan tabel tidak menggunakan garis tegak (vertikal), tabel dibuat dalam bentuk
terbuka dan diberi judul singkat tentang isi tabel.
6. Pustaka dalam naskah dirujuk dengan menuliskan nama keluarga atau nama akhir
penulis dan tahun penerbitannya (bukan nomor urut rujukan daftar pustaka): Taryadi
(1990) atau (Taryadi 1990); (Steel & Tone, 1978; SAS Institute Inc., 1988). Perujukan
pertama kali atas pustaka dengan tiga penulis dilakukan dengan mencantumkan
nama ketiga penulis: Alexander, Leidy, dan Redman (1949) atau (Alexander, Leidy,
dan Redman, 1949). Perujukan setelahnya ditulis dkk.: (Alexander, dkk, 1949).
Pustaka yang ditulis oleh Iebih dan tiga orang dirujuk dengan menggunakan dkk.,
mulai perujukan pertama kali: Nyapka dkk (1982) atau (Nyapka, 1982). Pengutipan
skunder ditulis dengan mencantumkan nama penulis serta tahun penerbitan pustaka
primer dan skunder. Utomo (1991 dalam Sudarsono, 1993) atau (Utomo, 1991 dalam
Sudarsono, 1993). Meskipun diperbolehkan pengutipan skunder sebaiknya
dihindarikan. Daftar Pustaka disusun menurut abjad berdasarkan nama akhir
penulisnya.

Anda mungkin juga menyukai