Memberi predikat persentase pemahaman siswa dari setiap konsep pada
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional
Memberi predikat persentase pemahaman rata-rata yang diperoleh siswa pada
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensional.
Bagan Prosedur Pelaksanaan Penelitian
KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL
Pembentukan Kelompok Belajar Tanpa Pembentukan Kelompok Belajar
Pemberian Modul Pemberian Modul
Proses Pembelajaran Kooperatif Proses Pembelajaran Konvensional
Tes Tes
Data Data
Analisis Data Analisis Data
Pembahasan Pembahasan
Kesimpulan Kesimpulan
Prosentase Pemahaman Siswa .... (Dwi Yulianti) 15
Kriteria yang digunakan untuk mengetahui persentase pemahaman siswa merujuk
kepada Arikunto (1996) yaitu:
1. Persentase antara 0-30 termasuk kategori persentase pemahaman kurang sekali.
2. Persentase antara 31-55 termasuk kategori persentase pemahaman kurang.
3. Persentase antara 56-65 termasuk kategori persentase pemahaman cukup.
4. Persentase antara 66-79 termasuk kategori persentase pemahaman baik.
5. Persentase antara 80-100 termasuk kategori persentase pemahaman baik sekali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase pemahaman dan kriteria persentese pemahaman siswa yang mengalami
pembelajaran kooperatif terhadap konsep unsur, senyawa, campuran, molekul, angka
indeks dan koefisien sebagaimana di muat pada tabel 1.
Tabel.1 Persentese Pemahaman Siswa pada Pembelajaran Kooperatif dan Pada
Pembelajaran Konvensional Sub Pokok Bahasan Unsur dan Senyawa
Pembelajaran
Konsep
Eksperimen Kontrol
% Kriteria % Kriteria
Unsur 66,0% Baik 60,1% Cukup
Senyawa 57,0% Cukup 43,0 Kurang
Campuran 76,0% Baik 61,6% Cukup
Molekul 71,0% Baik 59,6% Cukup
Angka Indek & Koefisien 65,0% Cukup 55,6% Cukup
Ada beberapa faktor yang menyebabkan persentase pemahaman siswa yang
mengalami penbelajaran kooperatif terhadap konsep-konsep yang dipelajari lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran
konvensional. Faktor pertama adalah penilaian pada pembelajaran kooperatif me-
nerapkan penilaian dimana setiap nilai yang dicapai atau diperoleh individu akan
berpengaruh terhadap nilai kelompok, sistim penilaian seperti ini disebut sistim penilaian
kooperatif (Hamalik.1996). Penilaian kooperatif berbeda dengan penilaian pada
pembelajaran konvensional, pada pembelajaran konvensional sistim penilaian yang
dipakai adalah sistim penilaian kompetitif atau individual. Pada sistim penilaian kompetitif
siswa akan dianggap berhasil jika siswa lain tidak berhasil sedangkan pada sistim
penilaian individual keberhasilan siswa tidak ditentukan dari keberhasilan siswa lain
dengan demikian siswa akan kompetisi untuk mencapai hasil sebaik-baiknya tanpa
memperdulikan siswa yang lain, sehingga pada akhirnya penguasaan siswa yang tinggi
akan memenangkan kompetisi dan penguasaan siswa yang rendah tidak akan me-
menangkan kompetisi. Sistim penilaian seperti ini akan mematahkan motivasi siswa
kelompok bawah dalam berusaha untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari lebih
lanjut (Hamalik.1996). Mencermati pendapat Ibrahim (2000) mengatakan sistim penilaian
kooperatif akan membuat siswa kelompok bawah merasa tidak tertekan, timbul motivasi
dan terbantu oleh siswa kelompok atas untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari,
sedangkan bagi siswa kelompok atas dengan seringnya memberi penjelasan pada
anggotanya yang membutuhkan retensi terhadap konsep-konsep yang dikuasai akan
melekat lebih lama.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan penerapan sistim penilaian
kooperatif akan meningkatkan motivasi belajar siswa, rasa tidak tertekan siswa kelompok
bawah, retensi penguasaan konsep siswa kelompok atas akan lebih lama yang
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
16
berpengaruh terhadap peningkatan penguasaan siswa yang mengalami pembelajaran
kooperatif terhadap konsep-konsep yang dipelajari dibanding-kan penguasaan siswa
yang mengalami pembelajaran konvensional. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini,
dimana persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif secara
umum sebesar 67,0% dengan kriteria persentase pe-mahaman baik, sedangkan
persentase pemahaman secara umum siswa yag mengalami pembelajaran konvensional
sebesar 55,7% dengan kriteria persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran
kooperatif lebih tinggi dibanding dengan persentase siswa yang mengalami pembelajaran
konvensional.
Kedua selama proses pembelajaran kooperatif berlangsung siswa-siswa yang terlibat
proses pembelajaran menggunakan bahasa yang biasa mereka pakai sehari-hari dalam
menjelaskan, bertanya atau berkomunikasi. Dengan menggunakan bahasa keseharian
ini, membuat penjelasan-penjelasan dan komunikasi dapat berjalan baik dan mudah
diterima atau dimengerti oleh sesama siswa yang terlibat dalam pembelajaran kooperatif,
hal ini akan menyebabkan pemahaman pada konsep-konsep yang dipelajari akan lebih
mudah dan lebih baik seperti diungkapkan oleh Ibrahim (2000) bahwa pembelajaran
kooperatif mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai konsep-konsep
yang diberikan karena siswa yang terlibat selama pembelajaran berlangsung akan meng-
gunakan bahasa mereka sehari-hari, penggunaan bahasa keseharian mereka dalam
berinteraksi akan memudahkan siswa untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari.
Dampak positif yang diharapkan dapat ditimbulkan adalah adanya peningkatan ke-
mampuan siswa yang terlibat pembelajaran untuk memahami konsep-konsep yang
dipelajari. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana persentase pemahaman
siswa yang pengalami pembelajaran kooperatif secara umum sebesar 67,0% dengan
kriteria persentase pemahaman baik, sedangkan persentase memahaman secara umum
siswa yang mengalami pembelajaran konvensional sebesar 55,7% dengan kriteria
persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa persentase
pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan
dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran konvensional.
Ketiga, pada pembelajaran kooperatif siswa-siswa yang terlibat pembelajaran di-
kelompok-kelompokkan dengan kemampuan anggota kelompok yang heterogen.
Diharapkan dengan kemampuan yang heterogen secara tidak langsung akan terjadi
transfer akademik antara siswa yang terlibat pembelajaran dalam kelompok terutama dari
siswa berkemampuan tinggi kepada siswa berkemampuan rendah atau sedang.
Mencermati pendapat Rahayu (1996) yang mengatakan perkembangan konseptual
terjadi melalui aktivitas kolaboratif melalui pertukaran pendapat dengan orang lain.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa saling tukar pendapat antara siswa yang
terlibat pembelajaran kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan
anggota kelompok yang beragam, menunjukkan saling tukar pendapat antara siswa telah
terjalin dengan baik. Dengan terjalinnya saling tukar pendapat yang baik antara siswa
yang terlibat pembelajaran, menyebabkan terjadinya transfer pengetahuan antara siswa
yang terlibat pembelajaran. Dampak positip yang diharapkan dapat terjadi adalah adanya
peningkatan pemahamn siswa yang terlibat pembelajaran terutama siswa yang ber-
kemampuan rendah. Seperti ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana persentase
pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih tingggi dibandingkan
dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran konvensional.
Persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif secara umum
sebesar 67,0% dengan kriteria persentase pemahaman baik, sedangkan persentase
Prosentase Pemahaman Siswa .... (Dwi Yulianti) 17
pemahaman secara umum siswa yang mengalami pembelajaran konvensional sebesar
55,7% dengan kriteria persentase pemahaman cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif lebih
tinggi dibandingkan dengan persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajar-
an konvensional.
Keempat, siswa yang terlibat pembelajaran kooperatif akan terlibat dalam pembelajaran
secara aktif dan memiliki usaha yang lebih besar untuk mencapai tujuan pembelajaran
seperti diungkapkan oleh Rahayu (1996) dan Ibrahim (2000) bahwa dalam pembelajaran
kooperatif siswa dalam kelompok akan terlibat secara aktif dan memiliki usaha yang lebih
besar dalam mencapai tujuan. Dengan terlibatnya siswa secara aktif, menurut Noornia
(2000) siswa akan memiliki konsentrasi yang lebih baik dibandingkan dengan keterlibatan
siswa pada pembelajaran dimana kedudukan siswa lebih banyak hanya sebagai pen-
dengar. Konsentrasi ini tumbuh karena selama proses pembelajaran, waktu pembelajar-
an lebih banyak digunakan untuk mensistensis dan menginterprestasikan berbagai
konsep yang terdapat pada meteri pembelajaran. Mencermati pendapat Rahayu, Ibrahim
dan Noornia ini menunjukkan bahwa kemampuan pembelajaran kooperatif dalam pe-
ningkatan penguasaan siswa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa disebabkan
karena pada pembelajaran kooperatif dirancang agar siswa yang terlibat pembelajaran
dapat berperan secara aktif untuk menyelesaikan tugas secara kooperatif, dalam hal ini
tugas telah ditetapkan guru dan tercantum dalam modul. Hasil pengamatan dan
penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum siswa terlibat dalam pembelajaran,
aktifnya siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa yang antusias mengikuti
pembelajaran, siswa aktif mengemukan pendapat-pendapat dalam diskusi, bertanya,
memberi penjelasan kepada anggota kelompok yang membutuhkan. Hal-hal ini me-
nyebabkan setiap siswa yang terlibat pembelajaran akan memiliki konsentrasi yang lebih
baik dan usaha yang lebih besar untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa persentase pemahaman siswa yang mengalami
pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan persentase pemahaman siswa yang
mengalami pembelajaran konvensional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah
Persentase pemahaman siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif terhadap
konsep-konsep yang dipelajari lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pemahaman
siswa yang mengalami pembelajaran konvensional
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian ini maka diajukan saran-saran yaitu:
a. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang mampu
meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari, hal ini
telah dibuktikan pada penelitian ini khususnya pada pembelajaran sub pokok
bahasan unsur dan senyawa. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti
menyarankan kepada guru-guru bidang studi fisika di SLTP untuk mencoba
menggunakan pembelajaran kooperatif pada pokok-pokok bahasan yang lain.
b. Sub pokok bahasan unsur dan senyawa merupakan sub pokok bahasan yang
mempelajari konsep-konsep dasar untuk memahami konsep-konsep kimia lebih
lanjut. Selain mempelajari sub pokok bahasan unsur dan senyawa, siswa SLTP
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
18
mempelajari pula konsep-konsep tentang atom. Konsep atom merupakan pula
konsep dasar untuk memahami konsep-konsep kimia lebih lanjut. Oleh karena itu
disarankan untuk dilakukan penelitian tentang persentase pemahaman siswa yang
mengalami pembelajaran kooperatif pada konsep-konsep atom, dan persentase
pemahaman siswa pada konsep-konsep atom dan konsep yang terkait dengan
konsep atom.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
Press
Kurniawan. 2000. Studi Kasus Pembelajaran Kooperatif di SLTP. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Lonning, Robert A. 1993. Effect Of Cooperative Learning Stretegies On Student Verbal
Interaction and Achievement During Conceptual Change Instruction In 10 th Grade
General Science. Journal Of Research In Science Teaching: A Wiley Interscience
Publication, 9 (30): 31-39.
Lundgren, Linda. 1994. Cooperative Learning In The Scince Classroom. New York :
Glencoe.
Noornia, Anton. 2000. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Model STAD di kelas
VI SD Almaarif 02 Singosari. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM.
Purwati. 2001. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Berbasis Aktivitas Terhadap
Ketrampilan Kooperatif IPA Siswa Kelas II SLTPN yang Berkemampuan Rendah di
Malang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Rahayu, Sri. 1996. Pembelajaran Kooperatif Pada Mata Pelajaran IPA. Jurnal Chimera, 2
(4): 117-122
Tim Action Research Probolinggo. 2000. Pembelajaran Kooperatif Dengan Kelompok
Heterogen Pada Matapelajaran Bahasa Inggris Siswa SLTP Kelas 1 Cawu 1 Di
Probolinggo. Jurnal Genteng Kali, 3 (3): 9-14.
Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 19
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DAN PEMAHAMAN KONSEP
TENTANG LARUTAN MELALUI METODE DEMONSTRASI DI SMU YP UNILA
BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2000-2001
Oleh
Ila Rosilawati *)
ABSTRACT
The action research was conducted to finf out (1) students activity during teaching
process using demontration method, on topic solution (2) students comprehension on the
given topic. The data was obtained by observing the subject and giving tests . The data
was analyzed in procentage (%). The research concluded that (1) The teaching process
on topic solution using demontration method could enhance students learning activity.
The increasing activity were showed from the first cycle to the second and getting better
thereafter (2) Teaching process on concept of solution using demonstration method
could enhance students comprehension of the concept, the method, however, was
unproper to be used for teaching on calculating chemistry problem .
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.
PENDAHULUAN
Dalam proses pendidikan ada tiga komponen yang saling berinteraksi dan harus diper-
hatikan, yaitu guru, siswa dan materi pelajaran. Interaksi ketiga komponen ini melibatkan
sarana prasarana seperti metoda mengajar dan media, sehingga tercipta belajar me-
ngajar yang memungkinkan terciptanya cara belajar siswa aktif (CBSA). Keberhasilan
suatu pengajaran dapat ditinjau dari sudut proses (by procces) dan hasil yang dicapai-
nya (by product).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru-guru bidang kimia di SMU YP
Unila tahun 2000 ditemukan data sebagai berikut :
1. Umumnya siswa yang masuk ke SMU YP Unila mempunyai NEM rendah dengan
nilai (hasil belajar) pembelajaran kimia rata-rata masih di bawah 6,0.
2. Pembelajaran kimia di kelas oleh guru bidang kimia umumnya dimulai dengan me-
nerangkan konsep, memberi contoh-contoh soal hitungan dan dilanjutkan dengan
siswa mengerjakan soal-soal terutama soal-soal dalam LKS yang berkaitan dengan
perhitungan. Selama guru menerangkan, siswa cenderung dengan kegiatan masing-
masing dan mengobrol dengan teman sehingga tidak memperhatikan pelajaran yang
diberikan dan suasana kelas menjadi ribut dan ramai. Siswa tidak memiliki motivasi
belajar, siswa tidak mencoba mengerjakan soal-soal hitungan yang diberikan guru.
Jumlah siswa perkelas rata-rata 50 orang (kelas besar).
3. SMU YP Unila hanya mempunyai satu ruangan laboratorium yang digunakan ber-
sama untuk kimia, fisika dan biologi. Laboratorium ini belum maksimal digunakan
oleh guru bidang kimia dalam proses pembelajaran kimia, karena tidak ada laboran
yang membantu dan jumlah jam mengajar yang banyak sehingga tidak ada waktu
untuk mempersiapkan bahan praktikum .
Atas dasar fakta di atas dan keinginan mengimplementasikan kurikulum1994 yang meng-
hendaki pelajaran IPA khususnya mata pelajaran kimia diajarkan melalui keterampilan
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
20
proses, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimanakah keaktivan siswa selama pembelajaran larutan dengan metode
demonstrasi?
2. Apakah pembelajaran larutan dengan metode demonstrasi dapat meningkatkan pe-
mahaman siswa tentang konsep-konsep larutan?
Belajar dan mengajar adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Belajar menunjukkan pada apa yang dilakukan seseorang sebagai subjek yang meneri-
ma pelajaran (siswa) dan mengajar menunjuk pada apa yang dilakukan oleh guru seba-
gai pengajar.
Sujarwo (1989:47) menyatakan Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku
pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkung-
annya. Sudjana (1989:29) menyatakan bahwa Mengajar adalah proses memberikan
bimbingan/bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai suatu pengetahuan yang memegang peranan
penting dalam kemajuan teknologi sekarang ini di dalam proses belajar mengajarnya
sangat membutuhkan perhatian baik dari pihak guru sebagai penyampai pengetahuan
IPA maupun anak didik sebagai penerima pengetahuan IPA. Kurikulum 1994 menghen-
daki pengajaran IPA khususnya mata pelajaran kimia diajarkan melalui keterampilan
proses.
Menurut Karso (1993), pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan
proses sangat penting dilakukan karena (a) anak didik akan berperan aktif dalam kegiat-
an belajarnya, (b) anak didik mengalami sendiri proses untuk mendapatkan konsep dan
rumus-rumusnya, (c) memungkinkan anak didik mengembangkan sikap ilmiahnya dan
merangsang rasa ingin tahu pada anak didik, (d) anak didik akan mampu menghayati
secara benar, karena anak didik sendiri yang menemukan konsep dari hasil pekerjaan-
nya, (e) anak didik akan merasa puas dengan penemuannya sebagai salah satu factor
menumbuhkan motivasi pada diri anak didik.
Penggunaan metode mengajar yang tepat sangatlah penting dalam proses belajar me-
ngajar. Menurut Sudjana (1989:83), metode demonstrasi merupakan metode mengajar
yang sangat efektif, sebab membantu siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sen-
diri berdasarkan fakta (data) yang benar,
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan terhadap siswa kelas II
2
SMU YP Unila Bandar Lampung ta-
hun ajaran 2000/ 2001 dengan jumlah siswa 50 orang.
Data penelitian ini berupa: (1) data kuantitatif, yaitu data pemahaman siswa tentang
konsep larutan dan (2) data kualitatif, yaitu data aktivitas siswa dan kemampuan guru
mengajar selama proses belajar mengajar. Data kemampuan guru mengajar adalah
variabel kontrol.
Teknik pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut:
1) Data pemahaman siswa tentang konsep larutan diambil dengan menggunakan tes
formatif pada setiap akhir siklus I, II dan III.
2) Data aktivitas siswa diambil dengan menggunakan format observasi yang berisikan
Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 21
a) Kesiapan siswa menerima pelajaran yang terdiri dari tiga aspek yaitu : membawa
buku referensi, membawa buku catatan dan membawa alat tulis.
b) Proses kegiatan belajar mengajar yang terdiri dari lima aspek yaitu : aktif
mengikuti demonstrasi, aktif mengajukan pertanyaan, aktif menjawab pertanyaan
guru, aktif mencatat keterangan guru dan aktif mengerjakan soal latihan.
Kriteria aspek aktif menjawab pertanyaan guru yaitu pertanyaan guru yang
mengarahkan siswa untuk mengembangkan keterampilan proses, yaitu
menafsirkan data, menarik kesimpulan, meramalkan, menerapkan konsep.
3) Data kemampuan guru mengajar diambil dengan format abservasi. Aspek yang
diamati yaitu memotivasi siswa, penguasaan materi, teknik bertanya, pengelolaan
waktu pengajaran, membimbing siswa membuat rangkuman, menguasai penggunaan
perangkat demonstrasi.
Data pemahaman siswa tentang konsep larutan setiap siklus dihitung dengan rumus
( Sudjana, 1989 )
X
n
Keterangan : X
n
= nilai rata-rata siklus ke n
X
n
= X
n
= jumlah nilai siklus ke n
N N = jumlah siswa
n = 1, 2, dan 3
Data aktivitas siswa setiap siklus dihitung dengan rumus ( Sudjana, 1989 )
Skor aktivitas
Persentasi aktivitas = X 100 %
Skor total aktivitas
Indikator pada penelitian ini adalah berhasil jika memenuhi
a) 85 % siswa mencapai nilai tes formatif 6,5.
b) Aktivitas siswa terkategorikan baik
Pengembangan siklus tindakan ini akan dilaksanakan dalam 3 siklus
1. Siklus I, terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a) Tahap Perencanaan
1) Membuat satuan pelajaran (SP), rencana pembelajaran , LKS demontrasi dan
alat evaluasi, lembar observasi.
2) Merencanakan skenario pembelajaran
b) Tahap Pelaksanaan Skenario
c) Tahap Observasi
Tahap ini dilaksanakan pada saat pelaksanaan tindakan kelas. Sebagai observer
adalah dosen mitra.
d) Tahap Refleksi
Data yang diperoleh dari siklus I baik data kualitatif maupun kuantitatif dianalisis
bersama guna memperoleh gambaran keberhasilan serta kekurangan dan
kelebihannya. Kemudian dicari strategi proses pembelajaran pada siklus ke II.
2. Siklus II, merupakan pengembangan siklus I.
3. Siklus II, merupakan pengembangan siklus II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
22
Data hasil observasi aktivitas siswa dan data pemahaman siswa tentang konsep larutan
ditunjukkan pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Pemahaman siswa tentang konsep larutan
No. S u b j e k S i k l u s
I II III
1. Rerata nilai tes formatif siswa 6,52 6,86 6,72
2. Jumlah siswa yang mendapat nilai 6,5 (orang) 29 42 33
3. Persentase siswa yang mendapat nilai 6,5 (orang) 58,00 84,00 66,00
Data tabel 1 menunjukkan pemahaman siswa tentang konsep larutan meningkat dari
siklus I ke siklus II dan dari siklus II ke siklus III menurun.
Tabel 2. Frekuensi aktivitas siswa pada siklus I, II dan III
I II III
No. Aspek yang diamati Pertemuan
1 2
I. Kesiapan menerima pelajaran
1. membawa referensi 42 43 45 49
2. membawa buku catatan 45 50 50 50
3. membawa alat tulis 50 50 50 50
J u m l a h 137 143 145 149
Persentase 91,33 95.33 96,66 99,33
II. Proses pembelajaran
1. aktif mengikuti demonstrasi 35 41 43 46
2. aktif mengajukan pertanyaan 9 11 13 15
3. aktif menjawab pertanyaan guru 12 15 15 20
4. aktif mencatat keterangan guru 45 50 50 50
5. aktif mengerjakan latihan soal 45 50 50 50
J U M L A H 146 167 171 181
PERSENTASE 58,40 66,80 68,40 72,40
Data tabel 2 menunjukkan aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II dan dari siklus II ke
siklus III meningkat. Aktivitas siswa dari siklus I sampai siklus III semakin baik. Dari tabel
2 dapat dilihat bahwa kesiapan siswa menerima pelajaran pada siklus I ter-kategori baik,
walaupun masih ada siswa yang tidak membawa buku referensi (16 %) dan buku catatan
(10 %). Rerata % keaktifan siswa waktu proses pembelajaran berlangsung pada siklus I
adalah 58,40 %, terkategorikan cukup. Keaktifan siswa mengajukan per-tanyaan (18 %)
dan keaktifan siswa menjawab pertanyaan (24 %) masih sangat kurang, sehingga perlu
ada perbaikan dalam proses belajar mengajarnya. Secara keseluruan aktivitas siswa
pada siklus I terkategorikan baik (rerata % aktivitas siswa = 74,87 %), se-hingga perlu
dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi.Data nilai rata-rata tes formatif pada siklus I
(6,52), tingkat pemahaman siswa pada siklus I dikategorikan baik. Tetapi jika dilihat dari
persentase siswa yang mendapat nilai 6,5 (58,00 %), maka proses belajar mengajar
siklus I belum mencapai target. Hal ini, kemungkinan diakibatkan oleh (a) siswa kurang
aktif bertanya kepada guru apa yang dia tidak pahami. Siswa pasif hanya menerima apa
yang diberikan guru (b) siswa kurang diberi soal-soal latihan yang bervariasi
Upaya Meningkatkan Keaktifan .... (Ila Rosilawati) 23
Memperhatikan hasil pelaksanaan siklus I, maka pada siklus II akan ditingkatkan upaya
kesiapan siswa dalam menerima pelajaran dengan tugas membaca di rumah; me-
motivasi siswa untuk lebih berminat dalam belajar, sehingga aktif dalam menjawab
pertanyaan guru dan aktif bertanya kepada guru apa yang siswa belum pahami.
Dari table 2 terlihat bahwa kesiapan menerima pelajaran selama siklus II semakin baik,
meningkat 4,67 %. Rerata persentase kesiapan siswa menerima pelajaran pada siklus II
adalah 96,00 %, terkategorikan sangat baik. Proses pembelajaran siklus II menunjukkan
adanya peningkatan aktivitas siswa sebesar 9,24 %. Rerata proses pembelajaran pada
siklus II adalah 67,60 %, terkategorikan baik. Secara keseluruan aktivitas siswa pada
siklus II terkategorikan baik (rerata % aktivitas siswa = 81,80 %). Jika dibandingkan de-
ngan aktivitas siswa pada siklus I, maka terjadi peningkatan aktivitas siswa sebesar 6,93
%. Nilai rata-rata tes formatif sub pokok bahasan asam-basa pada siklus II adalah 6,86;
terkategorikan baik. Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata tes formatif pada siklus I,
maka pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rata-rata formatif sebesar 0,34.
Pada siklus II ini terjadi peningkatan baik aktivitas siswa maupun hasil pemahaman
siswa (hasil belajar). Kesiapan siswa untuk menerima pelajaran semakin baik. Begitu
pula dalam proses pembelajarannya. Minat siswa untuk belajar semakin baik. Ini dapat
dilihat dari peningkatan aktifitas siswa dalam mengikuti demostrasi, menjawab pertanya-
an guru dan aktif bertanya apa yang siswa tidak pahami. Pada siklus III akan lebih di-
tingkatkan upaya kesiapan siswa dalam menerima pelajaran dengan tugas membaca di
rumah; memotivasi siswa untuk lebih berminat dalam belajar, dan memberi latihan soal
yang lebih bervariasi.
Kesiapan siswa untuk menerima pelajaran pada siklus III semakin baik, yaitu sebesar
99,33 % (terkategorikan sangat baik). Jika dibandingkan dengan siklus II, maka terjadi
peningkatan kesiapan siswa untuk menerima pelajaran sebesar 3,33 %. Proses kegiatan
pembelajaran pada siklus III semakin baik, yaitu sebesar 72,40 % (terkategorikan baik).
Jika dibandingkan dengan siklus II, maka aktivitas pada proses pembelajaran terjadi
peningkatan sebesar 4,80 %.
Secara keseluruan aktivitas siswa pada siklus II terkategorikan baik (rerata % aktivitas
siswa = 81,80 %). Jika dibandingkan dengan aktivitas siswa pada siklus II, maka terjadi
peningkatan aktivitas siswa sebesar 4,06 %. Nilai rata-rata tes formatif sub pokok
bahasan asam-basa pada siklus III adalah 6,72 (terkategorikan baik). Jika dibandingkan
dengan nilai rata-rata tes formatif pada siklus II, maka pada siklus III ini terjadi penurunan
nilai rata-rata formatif sebesar 0,34. Pada siklus II ini terjadi peningkatan aktivitas siswa,
semakin baik daripada siklus I dan II. Jika dilihat dari rerata nilai formatif siklus III, yaitu
6,72 (skala 0-10), maka tingkat pemahaman siswa tergolong baik. Tetapi jika dilihat per-
sentase siswa yang mendapat siswa yang mendapat nilai 6,5 (66,00 %), maka ber-
dasarkan indikator kerja penelitian ini proses belajar mengajar tidak memenuhi target.
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh lemahnya siswa dalam penerapan konsep ter-
hadap soal-soal hitungan pH asam-basa. Kendala waktu yang terbatas pada proses
belajar mengajar siklus III ini menyebabkan kurang terbimbingnya siswa secara ke-
seluruhan dalam latihan menyelesaikan perhitungan kimia.
Metode demostrasi sangat membantu untuk peningkatan pemahaman konsep pada
siswa. Tetapi untuk penerapan konsep terutama pada perhitungan, metode demonstrasi
kurang cocok dalam proses belajar mengajarnya. Kemungkian penerapan konsep pada
perhitungan akan lebih baik jika diajarkan dengan metode drill (latihan).
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data pada hasil observasi dan tes formatif, maka dari peneliti-
an ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode demostrasi dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu konsep kimia, khusus
konsep larutan .
2. Metode demontrasi tidak tepat digunakan dalam proses belajar mengajar yang lebih
menekankan pada penerapan konsep, terutama pada perhitungan-perhitungan kimia.
Peneliti yang tertarik untuk melanjutkan penelitian ini disarankan untuk memaksimalkan
aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran materi larutan, baik
pada pokok bahasan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit maupun pokok bahasan
larutan asam basa, sebaiknya menggunakan variasi metode mengajar, diantaranya
variasi metode demonstrasi dengan metode driil (latihan).
DAFTAR PUSTAKA
Karso. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan Kimia. Dep. Dik. Bud. Jakarta
Semiawan. 1988. Pendekatan Keterampilan Proses. Gramedia. Jakarta
Sudjana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru. Bandung
Sudjarwo,S. 1989. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar . Mediatama Sarana
Perkasa. Jakarta.
Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 25
PENERAPAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS UNTUK MENGETAHUI
STRUKTUR GEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH DI PERUMAHAN BATARANILA,
LAMPUNG SELATAN
Oleh
I Wayan Distrik *)
ABSTRACT
Geoelectrical method utilizes resistivity variation to characterize geological structure of
the subsurface, therefore it can be applied to locate water reservoir, ground water
pollution and geothermal exploration. The research was carried out in Bataranila east
Lampung with cofiguration Schlumberger. The research aim to know geological structure
of the subsurface and ground water aquefer in area Bataranila. The result show that
geological structure of the subsurface consist four layer, i.e. soil, Limestone, tuff and
sandstone. Ground water aquefer be structure of the subsurface 10 19 metre, the
resistivity between 11 52 ohm.metre.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.
PENDAHULUAN
Keberadaan air tanah bagi warga Perumahan Bataranila , merupakan masalah yang
sangat penting untuk menentukan letak sumur baik sumur galian maupun sumur bor.
Kebanyakan sumursumur yang dibuat airnya pasang surut, yaitu sumur tersebut penuh
dimusim hujan dan kering dimusim kamarau. Hal ini karena posisi sumus tidak tepat di
bawah akifer air tanah. Sehubungan hal tersebut di atas, maka penelitian ini berupaya
menentukan letak akifer air tanah dengan mengenali struktur geologi daerah setempat
dengan menggunakan alat geolistrik tahan jenis.
Geolistrik tahanan jenis adalah salah satu cabang geofisika yang dapat digunakan untuk
mengetahui struktur geologi dan potensi air tanah, dengan menganggap bumi sebagai
resistor. Geologi menurut Katili (1959), bahwa pengetahuan bumi yang menjelaskan
tentang lapisan-lapisan batuan yang ada dalam kerak bumi atau geologi adalah penge-
tahuan tentang susunan zat serta bentuk bumi. Struktur geologi adalah keadaan lapisan-
lapisan batuan yang ada di bawah permukaan.
Kebutuhan akan ilmu geologi menurut Verhoef (1994) diperlukan dalam mempertimbang-
kan , melaksanakan dan mengontrol kegiatan yang langsung dilakukan diatas atau di
dalam kerak bumi. Kebutuhan akan ilmu geologi dalam bidang air tanah tidak hanya
pada lapisan-lapisan teratas tetapi juga hingga kedalaman antara 40-300 meter dibawah
permukaan tanah.
Air menempati rongga atau porositas dan ruang dalam tanah. Air tanah ditemukan pada
formasi geologi tembus air (permeable) yang dikenal sebagai aquifer yang memungkinkan
jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada kondisi lapangan biasa.
Lapisan pasir dan campuran batu yang relatif berbutir pada umumnya bertindak sebagai
aquifer (Foth, 1998).
Aliran listrik di dalam batuan dapat terjadi melalui konduksi secara elektronik, elektrolitik
dan dielektrik. Konduksi secara elektronik terjadi jika batuan mempunyai elektron bebas
yang jumlahnya banyak. Terjadinya konduksi secara elektrolitik jika batuan bersifat porus
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
26
dan pori-pori tersebut terisi cairan elektrolitik, sehingga arus listrik dibawa oleh ion-ion
elektrolitik. Sedangkan konduksi secara dielektrik dapat terjadi jika batuan bersifat di-
elektrik terhadap aliran arus listrik yaitu terjadi polarisasi pada saat batuan dialiri arus
listrik. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan perbedaan nilai tahanan jenis setiap batuan.
Telford dkk (1990).
Menurut Foth (1998) Tahanan jenis batuan pada umumnya bergantung pada fluida
pengisi pori, besar struktur dan distribusi pori serta konektivitas antara pori batuan
kecuali pada formasi dimana mineral penyusun batuan bersifat konduktivitas seperti
lempung.
Metode geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metode yang dimanfaatkan untuk
mengetahui struktur geologi di bawah permukaan bumi. Metode ini digunakan untuk me-
ngukur respon terhadap arus listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi. Respon berupa
potensial yang dapat mencerminkan sifat fisis (tahanan jenis) bawah permukaan. Pada
metode geolistrik tahanan jenis besaran yang diukur adalah potensial dan kuat arus,
sedang yang dihitung adalah tahanan jenisnya.
Metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger metode sounding biasa di-
kenal sebagai tahanan jenis drilling, probing dan sebagainya. Hal ini karena pada metode
ini bertujuan untuk mempelajari variasi tahanan jenis batuan bawah permukaan bumi
secara vertikal (Hendrajaya. 1990).
Karena dalam kasus ini terdapat dua buah elektroda arus yang dipakai untuk mengalir-
kan arus listrik kedalam lapisan bumi , maka harus diketahui dahulu bentuk permukaan
ekipotensialnya. Misalnya lapisan bumi merupakan medium homogen isotropis, jika ke
dalam bumi itu diinjeksikan arus listrik melalui satu buah elektroda , maka berdasarkan
perhitungan potensial dititik sejauh r dari elektroda tersebut adalah
( )
r 2
I
V
r
=
dengan I = arus listrik (Ampere)
= tahanan jenis medium (Ohm meter)
V
(r)
= potensial di titik sejauh r dari sumber arus (Volt)
Kemudian jika pada permukaan bumi tersebut ada dua sumber arus yang polaritasnya
saling berlawanan (melalui dua buah elektroda arus), maka besarnya potensial disuatu
titik P adalah
( )
2 1
p
2
I
2
I
V
r r
+ =
|
|
.
|
\
|
=
2 1
p
r
1
r
1
2
I
V
Dengan V
(r)
= potensial dititik sejauh r dari sumber arus (V)
= tahanan jenis medium (m)
r
1
= jarak dari titik P ke sumber arus positif
r
2
= jarak dari titik P ke sumber arus negatif
I = arus listrik (A)
Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 27
Gambar 1. Permukaan ekipotensial dan arah aliran arus listrik akibat dua sumber arus
(I dan -I) di permukaan bumi homogen
Di titik P arus bernilai positif ( +I ) artinya arus masuk kepermukaan bumi sedangkan di
titik Q arus bernilai negatif ( -I ) yaitu arus keluar dari permukaan bumi. Dari gambar 2.2
dapat dilihat bahwa arah aliran arus listrik selalu tegak lurus terhadap permukaan eki-
potensial. Permukaan ekipotensial yang terletak ditengah-tengah kedua sumber arus
berupa bidang setengah lingkaran. Pengukuran potensial dilakukan di permukaan bumi
dengan menggunakan dua buah elektroda potensial seperti pada gambar 2.3.
Gambar 2. Letak elektroda arus dan potensial di permukaan bumi
Dari gambar tersebut, besarnya beda potensial antara titik M dan N adalah
(
+ =
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2
I
V
sehingga
I
V
K
I
V
X
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2
=
(
+
=
(Hendrajaya. 1990)
I
- I
P Q
I
V
A M N
A
B
A
V
I
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
28
( ) ( ) ( ) ( )
)
`
)
`
=
|
.
|
\
|
+
=
X L
1
X L
1
X L
1
X L
1
2
BN
1
AN
1
BM
1
AM
1
2
K
s
( )
2X
X L
K
2 2
s
=
dengan
= Resistivitas / tahanan jenis semu (Om)
AV = Beda potensial (V)
I = Kuat arus yang terukur (A)
K = Faktor geometri elektroda (m)
L = Jarak antara titik sounding dengan titik tancap elektroda arus (m)
X = Jarak antara titik sounding dengan titik tancap elektroda potensial (m)
Pada konfigurasi ini, jarak elektroda potensial relatif jarang diubah-ubah. Hanya harus
diingat bahwa jarak elektroda arus harus jauh lebih besar dibanding jarak antar elektroda
potensial selama melakukan perubahan jarak spasi elektroda. Misalnya untuk kasus
aturan elektroda Schlumberger simetri, jarak L harus jauh lebih besar daripada X, adalah
L > 5X (Telford dkk, 1990). Dalam hal ini, selama pembesaran jarak elektroda arus jarak
elektroda potensial tidak perlu diubah, hanya jika jarak elektroda arus cukup besar ,
maka jarak elektroda potensial perlu diubah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan n di daerah Tempat pembuangan sampah pasir impun.
Pengukuran dilakukan dengan konfigurasi Wenner. Daerah yang diukur meliputi 4 line
disekitar daerah tempat pembuangan sampah. Alat-alat yang diperlukan yaitu
- Seperangkat alat resistivity meter.
- Kabel secukupnya
- Akki
- Elektroda
- Martil
Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data resistivitas listrik,
diperoleh melalui pengukuran arus dan potensial.
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. menetukan batas-batas pengukuran
2. Menyusun rangkaian alat resistivity meter
3. Memasang elektrode sesuai dengan konfigurasi Wenner
4. Mengaktifkan resistivity meter, kemudian mengalirkan arus listik ke dalam tanah
5. Mencatat arus listrik yang mengalir (I), potensial diri (V
sp
), dan beda potensial
antara dua titik elektroda.
Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data Resty di lintasan satu
Hasil pengolahan data Resty di lintasan dua
Hasil pengolahan data Resty di lintasan tiga
Berdasarkan hasil pemodelan resty, perlapisan struktur geologi di titik sounding dapat
ditafsirkan seperti pada tabel berikut
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
30
Tabel 4. Data tahanan jenis dan ketebalan lapisan dari 3 lintasan di Perumahan
Bataranila
No Lintasan dan lokasi
Tahanan Jenis
lapisan (Ohm-m)
Ketebalan
Lapisan (m)
Perkiraan Medium
1 1. Perumahan
Bataranila
1). 240
2). 70
3). 40
4). 12
5). 30
1). 1
2). 3
3). 8
4). 17.5
5). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Tufa Pasiran
Batu Pasir
Batu Pasir
2 2. Perumahan
Bataranila
1). 300
2). 63
3). 35
4). 11
5). 52
1). 1
2). 2.5
3). 4
4). 10
5). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Tufa Pasiran
Batu Pasir
Batu Pasir
3 3. Perumahan
Bataranila
1). 220
2). 50
3). 11
4). 33
1). 2.4
2). 5.5
3). 19
4). ~
Tanah Penutup
Batu Gamping
Batu Pasir
Batu Pasir
Pembahasan
Data hasil pengukuran tahanan jenis di lintasan 1(satu) Perumahan Bataranila (tabel 1)
menunjukkan harga tahanan jenis yang ada berkisar antara 18.9 238.64 ohm meter.
Nilai tahanan jenis terendah 18.9 ohm-meter terletak pada kedalaman 25 meter dan nilai
tahanan jenis tertinggi 238.64 ohm meter terletak pada kedalaman 1 m. Sedangkan
untuk hasil pengukuran di lintasan ke 2 (tabel 2) nilai tahanan jenis berkisar antara 18.21
- 302 ohm meter, nilai tahanan jenis terendah 18.21ohm meter terletak di kedalaman 15
meter dan nilai tahanan jenis tertinggi 302 ohm meter terletak di kedalaman 1 m. Dan
untuk hasil pengukuran di lintasan ketiga (tabel 3) nilai tahanan jenis berkisar antara
15.4 221.89 ohm meter, nilai tahanan jenis terendah 15.4 ohm meter terletak pada ke-
dalaman 25 meter dan nilai harga tahanan jenis tertinggi 221.89 juga ada di kedalaman 1
meter. Nilai tahanan jenis pada kedalaman 1 meter rata-rata merupakan nilai tahanan
jenis yang tertinggi disebabkan pada umumnya di kedalaman 1 meter ini lapisan tanah
masih memiliki sifat resistivitas yang relatif tinggi, karena semakin rendah kandungan air
dalam medium , maka tahanan jenis yang dihasilkan akan semakin besar.
Resistivity dan Depth pada hasil pemodelan Resty diinterpretasikan menjadi perkiraan
medium yang didasarkan pada tabel data tahanan jenis batuan dan sedimen (Telford
dkk, 1990) yang ada pada lampiran, serta informasi pola perlapisan yang teramati dari
sumur gali warga. Pada lintasan 1 terdiri dari 5 lapisan berupa tanah penutup (soil) di
lapisan pertama dengan tahanan jenis 240 ohm meter, kemudian di lapisan kedua berupa
batu gamping dengan tahanan jenis 70 ohm meter, tufa pasiran dengan tahanan jenis 40
ohm meter di lapisan ketiga dan batu pasir dengan tahanan jenis 12 ohm meter untuk
lapisan keempat dan lapisan kelima juga merupakan batu pasir dengan tahanan jenis
yang naik dari 12 ohm meter menjadi 30 ohm meter. Nilai Relative R.M.S Error untuk
lintasan satu adalah 0.0809.
Perbedaan jumlah lapisan untuk masing-masing lintasan dipengaruhi oleh perbedaan
nilai tahanan jenis hasil pengukuran lapangan dari masing-masing lintasan dan nilai
Penerapan Metode Geolistrik .... (I Wayan Distrik) 31
Relative R.M.S Error yang dihasilkan harus lebih kecil dari 0.1000. Perubahan naik
turunnya nilai tahanan jenis lapisan dipengaruhi oleh nilai tahanan jenis hasil pengukuran
dan bentuk grafik yang dihasilkan oleh pemodelan dari tinggi ke rendah dan pada
akhirnya tahanan jenis akan tinggi kembali. Tanda tak hingga (~) yang ada pada
ketebalan lapisan di tiap-tiap lapisan terakhir untuk masing-masing lintasan merupakan
nilai tak tentu yang akan memiliki nilai pasti jika pengukuran dilanjutkan menjadi lebih
panjang dari 150 meter.
Data pada tabel 4 merupakan data hasil penentuan lapisan pada pemodelan resty
masing-masing lapisan. Hasil penafsiran dari ketiga lintasan tersebut dapat kita simpul-
kan, nilai tahanan jenis lapisan bervariasi antara 11 300 ohm meter. Lapisan atas
adalah tanah penutup (soil) di tunjukkan oleh nilai tahanan jenis tinggi berkisar 220 300
ohm meter dengan ketebalan lapisan dari 1 2.4 meter. Dibawah tanah penutup diper-
kirakan merupakan batu gamping yang mempunyai tahanan jenis yang bervariasi antara
50 - 70 meter dengan ketebalan lapisan 2.5 5.5 meter. Pada lapisan ketiga merupakan
tufa pasiran dengan ketebalan 4 8 meter dengan nilai tahanan jenis 35 - 40 ohm meter.
Lapisan selanjutnya adalah lapisan batu pasir , lapisan ini bersifat permeabel dan mem-
punyai porositas yang tinggi sehingga mampu meloloskan dan menampung air dalam
jumlah yang besar. Untuk mendapatkan suplai air tanah yang tidak di pengaruhi musim
maka harus membuat sumur hingga lapisan dengan tahanan jenis antara 11 52 ohm
meter dengan kedalaman antara 10 - 19 meter dari permukaan. Lapisan ini diperkirakan
tersusun oleh partikel-partikel pasir atau batu pasir yang mengandung volume air cukup
besar.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis
konfigurasi Schlumberger sounding dan pengolahan data dengan menggunakan program
Resty, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
1. Struktur geologi di Perumahan Bataranila pada umumnya terdiri atas 4 (empat) lapis-
an yaitu lapisan pertama adalah tanah penutup(soil), lapisan kedua merupakan batu
gamping, lapisan ketiga berupa tufa pasiran dan lapisan keempat adalah batu pasir.
2. Lapisan yang berpotensi mengandung air tanah atau lapisan yang bisa bertindak se-
bagai akuifer adalah lapisan batu pasir dengan kedalaman berkisar antara 10 meter
hingga 19 meter dengan tahanan jenis berkisar antar 11 ohm meter hingga 52 ohm
meter. Kedalaman ini termasuk kategori rendah karena pengambilan data dilakukan
saat musim hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Foth, Henry. D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hendrajaya,Lilik; Idham Arif. 1990. Geolistrik Tahanan Jenis. Laboratorium Fisika Bumi
Jurusan Fisika FMIPA ITB. Bandung.
Katili,1959. Pengantar Geologi Umum. Balai Pendidikan guru. Bandung.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
32
Rustadi. 2002. Penerapan Geolistrik Tahanan Jenis untuk Menafsirkan Struktur Geologi
dan Akuifer Air Tanah di Gunung Terang Kodya Bandar Lampung. Dalam: Jurnal
Pendidikan MIPA Vol 2 No 2 Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Lampung..
Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Diterjemahkan oleh Sentot Subagyo.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Telford.W.M., L.P. Geldart., R.E.Sherif. Key. D.A. 1990. Applied Geophysics. Cambridge
University Press.
Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 33
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA
MELALUI CERITA PARA MATEMATIKAWAN
(Studi Pada Siswa Kelas III SDN se Tanjungkarang Barat Bandar lampung)
Oleh
Maksum *)
ABSTRACT
This research was conducted on students of State Elementary School (SDN) of the third
year in west Tanjungkarang District. The sampel of the research consisted of 9 schools,
which was devided into three quality categories, that is good, fair, and low, therefore the
technique used was stratified sample. The population was 262 pupils, 102 taken from
good quality school, 81 pupils from fair quality and low quality 79 pupils. From each
quality group was taken one class (as sample unit) to be given treatment. The treatment
were giving history of mathematician one times per week, one times per two weeks, and
none giving history as control class. Data was analyzed using variance analysis and
LSD test. The analyzing data showed that the mean of the highest students score was
6,9706 which is the treatment of giving history once in a week. This research concludes
that (1) there is influence of giving history of mathematicians on the pupils learning
echievement, (2) giving history once a week is more effective compared with giving
history one time every two weeks.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.
PENDAHULUAN
Matematika tersusun menurut hierarki yang kuat, dengan demikian, matematika men-
janjikan harapan secara umum bahwa apabila penguasaan matematika SD baik, maka
dengan berpegang pada banyak asumsi sampai ke jenjang pendidikan berikutnya akan
baik pula, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, perbaikan penguasaan mate-
matika yang lebih mendasar adalah perlunya diupayakan perbaikan matematika di
tingkat SD. Motivasi belajar adalah persoalan psikis yang memegang peranan penting
dalam mewujudkan gairah belajar. Siswa yang termotivasi dengan baik akan mampu
menggunakan banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. (Pujiati, 1996) me-
nyatakan: motivasi belajar mempunyai pengaruh kuat terhadap prestasi belajarnya.
Meskipun tidak dikenal secara langsung, namun para ilmuan matematika oleh pecinta
matematika terasa menimbulkan kekaguman dan rasa hormat yang dalam atas kerja dan
usahanya yang tidak mengenal lelah. Kekaguman dan rasa hormat sedapat mungkin di-
tularkan kepada anak didik, dengan harapan dapat menggugah semangat belajar yang
optimal. S. Wirawan S (1984; 118) menyatakan : Dalam teori belajar sosial dan tiruan,
pihak lain akan menyesuaikan tigkah lakunya dan akan tergantung pada pihak yang lebih
mampu dan lebih pintar. Dengan demikian, mengenalkan siswa pada sejarah para
matematikawan memberi harapan bahwa anak termotivasi tingkah lakunya sehingga
mau berupaya secara tekun dan ulet di dalam mengkaji ilmu matematika. Ditambahkan
oleh Gazalba (1981; 60) bahwa : Secara nyata atau tersirat sejarah itu mengandung
pelajaran dan pendidikan. Selanjutnya, dikatakan pula (- ; 24 ) bahwa : Pribadi-pribadi
besar di masa silam merupakan pribadi-pribadi sejarah yaitu menggerakkan peristiwa
penting di masa lalu atau sekarang. Dengan demikian, menampilkan tokoh sejarah
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
34
matematika kepada siswa diharapkan dapat menggerakkaan hati dan minatnya untuk
merenungi dan membayangkan upaya dan usaha mereka dibidang matematika minimal
tergerak untuk menekuninya.
Selanjunya Gottscalk (1985; 5) menyatakan bahwa : Sejarah itu berdimensi tiga, karena
mempunyai sifat ilmu, seni, dan filsafat. Sebagai suatu metode, sejarah berpegangan
pada aturan-aturan yang keras untuk menetapkan fakta yang dapat diverifikasi; sebagai
penyajian dan cerita sejarah menuntut adanya imajinasi, selera sastra dan ukuran-ukuran
kritis; sebagai interpretasi mengenai hidup, menuntut adanya wawasan dan pertimbangan.
Pada penelitian ini sejarah didudukkan sebagai cerita sehingga diharapkan akan timbul
imajinasi siswa tentang tokoh idola yang pantas diteladani. Perilaku dan karya yang di-
hasilkan oleh para tokoh matematikawan diharapkan akan dapat membangkitkan kemauan
yang keras dari siswa dalam upaya mempelajari matematika. Padmopoespito dalam
buku Gazalba ( 1981; 206) menyatakan: Sejarah mewariskan kebudayaan. Pewarisan
itu dilakukan dengan penanaman kebiasan. Kebiasan berkembang menjadi adat. Adat
membentuk sifat, dan sifat merupakan pola cara berpikir. Dengan demikian, guru yang
mengajarkan sejarah para matematikawan mempunyai harapan kepada siswanya agar
supaya siswa bangkit pola berpikir kritisnya, dan memiliki sifat tekun dalam berupaya,
serta berprilaku yang mendukung terciptanya pengajaran matematika yang konduksif.
Selanjutnya, pada sistem pengajaran dewasa ini sangat dianjurkan pemakaian media se-
bagai alat bantu pengajaran. Hamidjoyo dalam bukunya Mulyana (1986.h.119) menyata-
kan : Media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang sebagai penyebar ide,
sehingga gagasannya sampai pada penerima. Selanjutnya, ditambahkan pula pendapat
lain yang senada yang dikemukan oleh Blake dan Horalsen dalam bukunya Mulyana
(1986; 119) bahwa : Media adalah saluran komunikasi atau perantara yang digunakan
untuk membawa atau menyampaikan sesuatu pesan dimana perantara ini merupakan
jalan atau alat untuk lalu lintas suatu pesan antara komunikator dengan komunikan.
Pendapat di atas memberi kejelasan bahwa media pendidikan dapat berupa software
atau hardware. Dengan demikian cerita sejarah para matematikawan dapat dikategorikan
sebagai media pada penyampaian matematika kepada siswa, karena diharapkan siswa
termotivasi dengan adanya cerita tersebut. Dari uraian di atas memberi penjelasan
bahwa guru sebagai pengajar dan pendidik dapat memanfaatkan peristiwa sejarah dalam
melaksanakan tugasnya.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III SDN yang ada di wilayah
kecamatan Tanjungkarang Barat yang berjumlah 39 sekolahan tersebar di sembilan
kelurahan. Teknik sampling yang digunakan adalah startifaid random sampling yaitu
dengan mengambil sampel dari masing-masing kelompok SD yang bermutu baik, ber-
mutu sedang dan bermutu kurang sebanyak 3 SD dan masing-masing satu kelas, se-
hingga secara keseluruhan SDN yang terpilih menjadi sampel berjumlah 9 sekolahan.
Data tentang penguasaan matematika siswa diperoleh melalui tes matematika yang
dirancang sesuai kurikulum yang berlaku. Adapun tes dilaksanakan sesudah selesai per-
lakuan. Selanjutnya, dibuat daftar analisis ragam untuk keperluan pengujian hipotesis
dengan uji F. Jika ada perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dilanjutkan
dengan uji BNT untuk menentukan perlakuan yang paling efektif.
Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data dari masing-masing kelompok mutu setelah dilakukan prosedure penentuan per-
lakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Tabel Frekuensi Perlakuan Pada SDN Terpilih
No Nama SDN Mutu Banyaknya
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
SDN 2 Gedong Air
SDN 7 Gedong Air
SDN 8 Gedong Air
SDN 4 Gedong Air
SDN 2 Gunung Terang
SDN 1 Segala Mider
SDN 3 Gunung Terang
SDN 2 Rajabasa
SDN 3 Surabaya
Bik
Baik
Baik
Sedang
Sedang
Sedang
Kurang
Kurang
Kurang
8 x
4 x
0 x
8 x
4 x
0 x
8 x
4 x
0 x
Setelah selesai dilakukan perlakuan, maka dilakukan tes matematika dan dilaksanakan
serentak untuk semua SD. Data perolehan nilai hasil tes dikelompokkan berdasarkan
frekuensi perlakuan sehingga setiap kelompok mewakili SD yang bermutu baik, sedang,
dan kurang. Sebelum dilakukan uji pengaruh maka perlu diuji terlebih dahulu apakah
sampel tersebut berasal dari populasi yang memiliki varian antar kelompok yang sama
dengan rumus Bartlett Dengan derajat kepercayaan 95 % maka diperoleh
hit
= 1,92879
dan lebih kecil dari
tab
= 9,21 dengan demikian varian ketiga kelompok adalah sama.
Selanjutnya, dengan analisis varian dilakukan uji pengaruh dan digunakan uji F untuk
melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan yaitu pemberian cerita sejarah terhadap
prestasi belajar matematika siswa ). Dari hasil uji tersebut terlihat bahwa dengan derajat
kepercayaan 99% didapat F
hit
= 5,75137 yang ternyata lebih besar dari F
tab
= 4,71 de-
ngan demikian ada pengaruh yang berarti dari perlakuan terhadap prestasi belajarnya.
Untuk melihat perlakuan yang manakah lebih efektif diantara pemberian cerita sejarah
dengan frekuensi 8 kali atau tiap minggu sekali, 4 kali atau tiap dua minggu sekali, dan
frekuensi 0 kali yaitu tidak dilakukan perlakuan maka dilakukan uji BNT. Hasil rerata
hitung dari nilai masing-masing kelompok atau nilai tengah berturut-turut 6,9706, 6,6025
dan 6,4181. Selanjutnya, hasil uji beda nyata terkeci antar dua kelompok dari tiga ke-
lompok tersebut adalah sebagai berikut. Perbandingan nilai tengah antar kelompok 1
dan 2 menunjukkan bedanya 0,3681 lebih besar dari beda terkecil tabel dengan ke-
percayaan 99% yaitu 0, 038516. Jadi perbedaan nilai antara kelompok yang diberi
cerita sejarah setiap minggu sekali dengan setiap dua minggu sekali sangat berarti atau
pemberian cerita sejarah dengan frekuensi setiap minggu sekali lebih baik dibandingkan
dengan frekuensi setiap dua minggu sekali.
Perbandingan nilai tengah antar kelompok 1 dan 3 menunjukkan bedanya 0,5525 lebih
besar dari beda terkeci tabel dengan kepercayaan 99% yaitu 0,038787. Jadi perbedaaan
nilai antara kelompok yang diberi cerita sejarah setiap minggu sekali dengan kelompok
yang tidak diberi cerita sangat berarti sekali. Ini berarti pemberian cerita sejarah dengan
frekuensi setiap minggu sekali lebih baik dibandingkan dengan tidak diberi cerita sejarah.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
36
Selanjutnya, perbandingan nilai tengah antar kelompok 2 dan 3 menunjukkan bedanya
0,1844 lebih besar dari beda terkecil tabel dengan kepercayaan 99% yaitu 0, 040923.
Jadi perbedaan nilai antara kelompok yang diberi cerita sejarah setiap dua minggu sekali
dengan kelompok yang tidak diberi cerita sangat berarti. Ini berarti pemberian cerita se-
jarah dengan frekuensi setiap dua minggu sekali jauh lebih baik dibandingkan dengan
tidak diberi cerita sejarah. Dari hasil analisis tersebut di atas memberikan kejelasan ke-
pada kita bahwa pemberian cerita sejarah dengan frekuensi setiap minggu sekali pada
saat apersepsi akan dapat memotivasi siswa untuk belajar sehingga terlihat bahwa
prestasi belajarnya menjadi lebih baik.
Pada bab terdahulu telah disebutkan bahwa tokoh matematikawan meskipun tidak di-
kenal secara langsung, namun para ilmuan matematika tersebut oleh pecinta matematika
terasa menimmmbulkan kekaguman dan rasa hormat yang dalam atas kerja dan usaha-
nya yang tidak mengenal lelah. Kekaguman dan rasa hormat tersebut berkemungkinan
akan mempengaruhi pola tingkah laku ataupun pemikiran para pengagumnya. Dengan
demikian, mengenalkan siswa pasda sejarah para matematikawan memberi harapan bahwa
anak akan termotivasi tingkah lakunya sehingga mau berupaya secara tekun dan ulet
mengkaji ilmu matematika. Pendapat ini sesuai dengan hasil analisis pada bab 4 yaitu
pada uji pengaruh terlihat bahwa dengan derajat kepercayaan 99% didapat F
hit
= 5,75137
yang ternyata lebih besar dari F
tab
= 4,71 dengan demikian ada pengaruh yang berarti
dari perlakuan yaitu pemberian cerita sejarah
terhadap prestasi belajarnya. Sesuai dengan keharusan pelaksanaan proses belajar me-
ngajar, bahwa sebelum guru memulai pelajaran supaya memberikan apersepsi yang ber-
tujuan supaya pelaksanaan pengajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Hal ini
dimungkinkan karena dengan pemberian apersepsi yang baik akan menyebabkan siswa ter-
motivasi sehingga apabila motivasi siswa tinggi maka mereka mau berpikir, berbuat dan
mendengarkan penjelasan dari guru dengan penuh perhatian. Bentuk apersepsi tersebut
di antaranya dapat diisi dengan cerita guru tentang ketekunan, keuletan dan hasil yang
diperoleh dari para matematikawan terdahulu. Pemberian cerita tersebut paling efektif diberi-
kan pada setiap minggu sekali dibandingkan dengan setiap dua minggu sekali. Tidak me-
nutup kemungkinan bahwa semakin seringnya diberikan cerita semacam itu akan meng-
hasilkan prstasi yang maksimal, untuk itu perlu diadakan penelitian yang lain. Sejalan
dengan itu, hasil analisis pada bab 4 tentang uji beda nyata terkecil dari nilai tengah ke-
lompok yang diberi perlakuan berbeda yaitu antara kelompok siswa yang diberi cerita
dengan frekuensi tiap minggu sekali, kelompok siswa yang diberi cerita dengan frekuensi
tiap minggu dua kali, dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa perbedaannya sangat
berarti. Ini memberikan arti bahwa perbedaan rata-rata prestasi dari kelompok yaitu
6,9706; 6,6025; dan 6,4181 disebabkan oleh perbedaan perlakuan yaitu pemberian cerita
sejarah tersebut. Dengan demikian, pemberian cerita sejarah pada saat apersepsi paling
efektif apabila disampaikan pada setiap minggu sekali.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut. (1) Pemberian cerita sejarah para
matematikawan kepada siswa kelas III SDN dapat berpengaruh pada peningkatan
prestasi belajar matematika siswa. (2) Pemberian cerita sejarah para matematikawan
kepada siswa kelas III SDN dengan frekuensi setiap minggu sekali adalah lebih efektif
dibandingkan dengan frekuensi setiap dua minggu sekali.
Upaya Meningkatkan Motivasi .... (Maksum) 37
Saran-saran
Penelitian ini memberikan saran-saran sebagai berikut. (1) Kepada guru kelas III SDN
diharapkan sebelum memulai pelajaran matematika supaya mengisi waktu apersepsi
dengan cerita tentang sejarah para matematika-wan, dengan frekuensi setiap minggu
sekali. Hal ini diharapkan akan memotivasi siswa sehingga mereka mau berfikir, berbuat,
dan mendengarkan penjelasan dari guru dengan penuh perhatian. (2) Kepada pemegang
kebijakan agar mempertimbangkan perlunya guru kelas III SDN diwajibkan untuk mengisi
apersepsi dengan cerita sejarah para matematikawan sebelum pelajaran matematika
dimulai minimal setiap minggu sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis. Notosusanto,N. (Penterjemah. 1985. Mengerti Sejarah. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Mulyana, Tatang. 1987. Alat-alat Kalkulasi dan Media Pendidikan Matematika. Proyek
PG Depdikbud. Bandung.
Pujiati. 1986. Pengaruh Motivasi Belajar dan Cara Belajar Terhadap Prestasinya.
Unila. Bandar Lampung.
Wirawan, S. 1984. Teori-teori Psikologi Sosial. Penerbit Rajawali. Jakarta.
Winkel, WS. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Gramedia. Jakarta.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
38
Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 39
AMOBILISASI ELEKTRODA ENZIM GLUKOSA OKSIDASE (GOD)
Oleh
Ratu Betta Rudibyani *)
ABSTRACT
The GOD enzyme electrode has been successfully prepared from platinum wire coated
with membranes which composed of glutaraldehyde, cellulose acetate and GOD enzyme.
It is used for determinating glucose concentration by considering several factors such as
cellulose acetate concentration, thickness of membrane layer, and immerse time in
glutaraldehyde solution. Godjevargova method is used to prepare GOD enzyme layer on
platinum wire, and Lowry method,on the other hand, is used to determine the amount of
GOD enzyme immobilized in cellulose acetate layer. In principle, the potentiometric
method requires two electrodes, such as working electrode and reference electrode
immersed in analytical solution. GOD enzyme electrode is used as working electrode and
AgCl electrode used as compared electrode. The presence of glutaraldehyde on GOD
enzyme electrode layer causes higher sensitivity and longer life time of electrode. The
sensitivity of resulted GOD enzyme electrodes shows that the amount of electrons
involved in glucose oxydation are two. The stability of enzyme electrodes is shown by
short response time.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung.
PENDAHULUAN
Pemikiran untuk menggunakan metode potensiometri dalam penelitian ini, dengan per-
timbangan bahwa metode ini lebih menguntungkan, antara lain prosedur analisisnya
sederhana, memerlukan waktu yang singkat, alat-alat relatif sederhana dan mudah di-
kerjakan. Di samping itu untuk pengukuran pada analisis rutin, dapat dilakukan secara
otomatis. Untuk
menentukan
konsentrasi glukosa dalam suatu sampel, elektroda selektif
(ion
atau
molekul) ini tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu. Pada konsentrasi
yang cukup rendah, elektroda ini dapat memberikan hasil yang kuantitatif. Di samping
itu gangguan terhadap kinerja elektroda umumnya tidak banyak dan dapat diatasi. Atas
dasar tersebut penelitian ini akan mempelajari kinerja elektroda enzim yang dibuat dari
kawat platina dilapisi enzim GOD amobil, yang diharapkan dapat menghasilkan potensial
sebanding dengan konsentrasi H
2
O
2
dalam sistem larutan glukosa.
Bila elektroda enzim GOD direndam dalam sistem larutan glukosa, diharapkan terjadi
perbedaan laju reaksi oksidasi glukosa di dalam larutan dengan di dalam membran.
Transport materi larutan ke dalam membran dan sebaliknya atau dari dalam membran ke
permukaan logam platina diharapkan akan menimbulkan potensial elektroda. Mengingat
enzim yang digunakan hanya enzim GOD, maka spesi yang diduga paling dominan
mampu menimbulkan potensial adalah H
2
O
2
. Harga potensial elektroda tersebut relatif
terhadap potensial elektroda pembanding dan diharapkan sebanding hanya terhadap
konsentrasi glukosa di dalam larutan. Dengan demikian konsentrasi glukosa diharapkan
dapat ditentukan secara tidak langsung melalui deteksi H
2
O
2
secara potensiometri.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
40
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membuat elektroda yang baik adalah ke-
tebalan lapisan membran dan komposisi elektroda, meliputi konsentrasi selulosa asetat,
glutaraldehid dan enzim GOD. Faktor-faktor yang biasa dapat mempengaruhi kinerja
elektroda enzim GOD, antara lain:
- Ketebalan lapisan membran selulosa asetat yang digunakan sebagai matriks tempat
amobilisasi enzim GOD (Riklin, 1995)
- Metode amobilisasi enzim GOD dalam matriks selulosa asetat (Chibata, 1978)
- Kadar protein enzim yang tertahan dalam matriks selulosa asetat (Sakamoto, 1992).
- Selama tidak digunakan, elektroda enzim GOD direndam dalam larutan bufer pH 5,5
pada suhu 4C (Cammann, 1979).
Faktor-faktor tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan peralatan gelas yang biasa digunakan di laboratorium kimia,
juga alat-alat ukur yang relevan bagi pelaksanaan penelitian ini, yaitu kawat platina,
pengaduk magnet tipe Nuova II, Mikrometer skrup, pH meter/ potensiometer tipe 692
dan elektroda Ag/AgCl.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas pro analisis. Bahan-
bahannya adalah aseton, glutaraldehid, tepung selulosa asetat (BM 30.000). Sebagai
larutan analit diperlukan tepung - D-glukosa (Merck) dan bufer pH 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, dan 11. Enzim GOD yang diperoleh dari Sigma, Inggris. Kinerja elektroda dipelajari
berdasarkan pengamatan harga potensial elektroda relatif terhadap elektroda pemban-
ding Ag/AgCl. Kinerja tersebut adalah penentuan sensitivitas, intersep kurva, koefisien
korelasi, batas deteksi dan waktu tanggap (Christian, and Reilly, 1986).
Amobilasi enzim GOD dengan membran selulosa asetat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: enzim GOD langsung teradsorpsi secara fisik dalam pendukung selu-
losa asetat, dan penambahan glutaraldehid. Amobilisasi enzim GOD dengan mengguna-
kan glutaraldehid dapat dilakukan karena sifat glutaraldehid sebagai (a) ikatan pembawa,
yaitu glutaraldehid berfungsi sebagai pereaksi bifungsional antara enzim dengan bahan
pendukung selulosa asetat, (b) ikatan silang, yaitu glutaraldehid berfungsi mengikat
enzim dengan enzim yang lain (4). Reaksi antara glutaraldehid dengan molekul enzim
belum jelas, tetapi diduga bahwa glutaraldehid akan teradsorpsi secara fisik pada per-
mukaan dan pori membran selulosa asetat. Pada keadaan menempel, glutaraldehid
akan mengalami reaksi adisi nukleofilik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai material penghantar elektron pada elektroda enzim GOD dibuat dari kawat
platina diameter 0,04 mm dengan panjang kawat seluruhnya 11 cm. Secara singkat
proses pembuatan elektroda tersebut, adalah: Kawat platina yang telah bersih dibilas
dengan akuades dan akhirnya dikeringkan.
Selanjutnya kawat dimasukkan secara perlahan ke dalam kabel koaksial sehingga bagi-
an kawat platina yang tidak tertutup diusahakan 1 cm. Pada bagian ujung kawat yang
lain disolder dengan penghubung arus. Bagian kawat yang tidak tertutup sepanjang 1
cm, dicelupkan dalam larutan homogen selulosa asetat 20% dalam aseton. Segera
Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 41
setelah lapisan selulosa asetat terbentuk, elektroda dicelupkan dalam bak air dingin
berulang-ulang. Selanjutnya, pada bagian kawat yang telah dilapisi membran selulosa
asetat, direndam dalam larutan homogen glutaraldehid 25%, selama 6 jam. Setelah
lapisan selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid terbentuk, elektroda dicuci
dalam larutan bufer pH 7. Akhirnya bagian kawat platina tersebut, direndam dalam
larutan bufer pH 5,6 yang mengandung enzim GOD, selama 16 jam, setelah itu dicuci
dengan larutan bufer pH 7.
Selama tidak digunakan, bagian elektroda tersebut (selanjutnya disebut bagian aktif)
direndam dalam larutan bufer pH 5,6 dan suhu 4C. Profil hasil pembuatan elektroda
enzim GOD diperlihatkan pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Profil elektroda platina dilapisi selulosa asetat yang mengandung
glutaraldehid dan enzim GOD,
Keterangan: 1. kawat platina diameter 0,04 mm, 2. lapisan kabel koaksial,
3. lapisan selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid dan enzim GOD
(1) Penentuan sensitivitas, intersep kurva, koefisien korelasi dan batas deteksi
elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa
Untuk mengamati reprodusibilitas, elektroda enzim GOD dibuat 3 buah. Pengukuran
potensial dilakukan untuk elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa dengan kon-
sentrasi 10
1
M, 10
2
M, 10
3
M, 10
4
M, 10
5
M, 10
6
M, pada suhu 24C 1C. Hasil
pengukuran potensial, kemudian dirata-ratakan. Data hasil pengukuran potensial elek-
troda enzim GOD, dalam larutan glukosa selengkapnya terdapat pada lampiran A.
Tabel 1 memperlihatkan data pengukuran potensial elektroda enzim GOD dalam larutan
glukosa, untuk penentuan sensitivitas, intersep kurva dan koefisien korelasi. Pada tabel
tersebut, E merupakan selisih pengukuran potensial elektroda yang tercelup dalam dua
larutan dengan perbedaan satu dekade konsentrasi terdekat dan E adalah harga rata-
rata E pada selang pengukuran 10
6
M sampai dengan 10
1
M. Harga E dapat di-
jadikan sebagai perkiraan harga sensitivitas elektroda pada satu dekade konsentrasi
glukosa terdekat, sedangkan E merupakan perkiraan sensitivitas elektroda pada
rentang konsentrasi glukosa antara 10
6
M s.d. 10
1
M. Alur E = f(-log [glukosa] elektroda
tersebut, diperlihatkan pada gambar 2. Alur ini digunakan untuk mengamati secara cepat
linieritas respon elektroda pada konsentrasi glukosa 10
6
M s.d.10
1
M.
3
2
1
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
42
Tabel 1. Potensial elektroda enzim GOD, relatif terhadap elektroda Ag AgCl, dalam
larutan glukosa
Konsentrasi
glukosa (M)
elektroda enzim GOD
E, mV E, mV
10
6
10
5
10
4
10
3
10
2
10
1
301,5 1,4
316,1 1,0
320,2 1,0
340,9 0,1
398,9 0,9
399,7 1,0
-
14,6
4,1
20,7
58,0
0,8
__
E =19,6
y = 21.717x + 270.21
R
2
= 0.8925
275
300
325
350
375
400
425
1 2 3 4 5 6
-log [glukosa]
E
,
m
V
Gambar 2. Kurva E = f (-log [glukosa] elektroda pada konsentrasi glukosa 10
-6
s.d. 10
-1
M
Secara umum terlihat bahwa potensial elektroda relatif dari kedua elektroda yang di-
pelajari tergantung pada konsentrasi larutan glukosa. Terlihat bahwa pada rentang
konsentrasi glukosa 10
6
M sampai dengan 10
1
M, elektroda enzim GOD menghasil-
kan sensitivitas yang cukup besar.
Batas deteksi ditentukan dengan cara membandingkan nilai potensial yang timbul dari
larutan blanko dengan potensial dari berbagai konsentrasi larutan glukosa. Nilai potensial
yang mendekati, menunjukkan konsentrasi batas deteksi elektroda. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan batas deteksi elektroda enzim GOD yaitu 10
-4
M.
Amobilisasi Elektroda Enzim .... (Ratu Betta Rudibyani) 43
(2) Penentuan waktu tanggap elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa
Waktu tanggap elektroda enzim GOD ditentukan dengan cara membandingkan data
potensial yang berjauhan dengan rata-rata potensial yang berdekatan dan memperlihat-
kan penyimpangannya. Waktu tanggap elektroda diperlukan untuk mengetahui kestabil-
an elektroda dalam larutan glukosa. Waktu tanggap yang singkat menunjukkan bahwa
elektroda tersebut memiliki karakter yang baik dan stabil. Pengukuran potensial elektroda
enzim dilakukan tiap selang waktu 30 detik untuk tiap konsentrasi glukosa. Pencatatan
diakhiri bila angka potensial yang ditunjukkan relatif tetap. Kurva antara potensial (E,
dalam mV) dengan waktu (menit) yang diperlihatkan pada Gambar 3 Waktu tanggap
elektroda enzim GOD antara 10 hingga 15 menit.
Gambar 3. Kurva waktu tanggap elektroda enzim GOD dalam larutan glukosa
Elektroda enzim GOD dengan komposisi paling lengkap, yaitu elektroda kawat platina di-
lapisi selulosa asetat yang mengandung glutaraldehid-enzim GOD yang tercelup dalam
larutan glukosa, memiliki sistem sel, sebagai berikut:
M
1
M
2
Ag|AgCl
(s)
|KCl
(aq)
(a
KCL
)|| glukosa (a
g
) || (SA, Glt., enzim GOD) | Pt
Keterangan:
M
1
:membran padat berbentuk serbuk gelas dari elektroda pembanding Ag AgCl, yang
berinteraksi dengan larutan glukosa, M
2
: membran luar yang melapisi kawat platina.
Membran ini terdiri dari lapisan tipis selulosa asetat (SA) yang di dalamnya terdapat
glutaraldehid (Glt.) dan enzim GOD, Pt: kawat platina.
Interaksi antara enzim GOD dengan substrat glukosa diawali dari enzim GOD memindah-
kan dua buah elektron dan dua atom hidrogen gugus alkohol ( CH
2
-OH) dari glukosa
menjadi gugus aldehid (-HC=O). Sementara itu, dua atom hidrogen diterima oleh kofaktor
FAD membentuk FADH
2
. Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen yang terikat pada
FAD menghasilkan H
2
O
2
. Mekanisme reaksi katalitik enzim GOD sebagai berikut:
-D-glukosa + FAD D-glukono--lakton + FADH
2
D-glukono--lakton + H
2
O asam D-glukonat
FADH
2
+ O
2
H
2
O
2
+ FAD
_________________________________________________________ +
-D-glukosa + H
2
O + O
2
asam D- glukonat + H
2
O
2
180
220
260
300
340
380
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
Waktu, detik
E
,
m
V
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
44
Hasil eksperimen membuktikan bahwa waktu tanggap elektroda enzim GOD sangat
singkat. Dengan demikian enzim GOD yang diamobilkan dalam suatu bahan pendukung
diharapkan dapat selektif terhadap substrat glukosa.
Untuk mengetahui apakah enzim GOD amobil yang terdapat pada elektroda dapat ber-
fungsi sebagai zat aktif (katalis), maka diperlukan analisis hasil pengukuran potensial
elektroda yang diperlihatkan dari respon potensial elektroda enzim GOD yang lebih
besar disebabkan glutaraldehid pada lapisan elektroda GOD dapat berfungsi sebagai
gugus bifungsi yang dapat mengikat enzim GOD dengan bahan pendukung selulosa
asetat (Chibata, 1978, Sternberg, 1988).
Hal ini sesuai dengan teori bahwa glutaraldehid dalam elektroda enzim GOD berfungsi
sebagai gugus bifungsi yang memungkinkan enzim dapat berperan dalam meningkatkan
laju reaksi. Enzim GOD dapat membentuk senyawa antara kovalen basa Schiff melalui
kondensasi senyawa amin (enzim) dan gugus karbonil (substrat) (Loudon, 1995).
Elektroda enzim GOD yang dibuat dari kawat platina dilapisi enzim GOD amobil dalam
polimer pendukung selulosa asetat, memiliki kelebihan antara lain; mudah dibuat, me-
miliki bentuk yang kecil dan ringan serta dalam penggunaannya tidak memerlukan
larutan pembanding dalam.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan, sebagai berikut:
(1) Elektroda enzim GOD dapat dibuat dari kawat platina yang dilapisi dengan selulosa
asetat, dan glutaraldehid. Respon potensial relatif tinggi, sensitivitas yang mendekati
Nerst dan waktu tanggap yang singkat.
(2) Elektroda enzim GOD terbukti dapat digunakan untuk menentukan glukosa melalui
deteksi hidrogen peroksida secara potensiometri.
(3) Kelayakan analisis elektroda enzim GOD dapat dicapai secara optimal pada pH
optimum selulosa asetat (pH = 5 6).
DAFTAR PUSTAKA
Chibata, I., (1978), Immobilized enzymes, Kodansha LTD., John Wiley & Sons Pub.,
New York, 89 - 97.
Christian, G.D. And J. E. OReilly, (1986), Instrumental analysis, Second Edition, Allyn
and Bacon, Inc. Pub., London., 5 39.
Evans, A., (1991), Potentiometry and ion selective electrode, John Wiley & Sons,
Chichester Pub., New York, 198 206.
Ho, M.H., (1986), Immobilized enzyme probes based on fluoride ion detection, Proc. 2
nd
Inc. meeting on chemical sensors, Bordeaux, 630 633.
Mulder, M., (1996), Basic principles of membrane technology, 2
nd
edition, Kluwer
academy publishers, Deedrecht.
Philiph, R., (1994), Electrochemistry, Second edition, Champman & Hall, Inc., Pub.,
London, 72 95.
Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 45
KESULITAN MAHASISWA DALAM MENERAPKAN BILANGAN INDEKS
PADA PERHITUNGAN KIMIA
Oleh
Ruli Meiliawati *)
ABSTRACT
This study eximined students difficulties in understanding subscripts to solve chemical
problems. There were 24 students of chemistry departement of education Palangka Raya
University participated in this study. Data were obtained by giving test to students. The
students faced difficulty in calculating the number of atoms which is (mass/molar mass)
x N and of calculating the number of mass were (the number of atoms/N)x massa molar
without multiplying by subscript.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangka Raya
PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang penting pada penelitian pendidikan IPA adalah untuk berhadapan
langsung dan memahami dengan baik kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyebab kesulitan mahasiswa dalam mem-
elajari konsep IPA adalah kurangnya pengetahuan konseptual mahasiswa terhadap
konsep tersebut.
Beberapa penelitian pendidikan dalam bidang kimia membuktikan bahwa sebagian besar
konsep-konsep ilmu kimia sukar dipahami oleh (maha)siswa, seperti pada topik: termo-
dinamika II (Kesidou dan Duit, 1993); elektrokimia (Garnett dan Treagust, 1992); stoikio-
metri (Poole, 1989; Abraham & Williamson, 1994). Selanjutnya, Dierks, Weninger, dan
Herron (1985) menyatakan bahwa konsep mol merupakan materi yang paling sukar di-
pelajari (maha)siswa pada awal pelajaran.
Pendapat ini didukung oleh penelitian Sihombing (1997) yang melaporkan bahwa konsep
mol merupakan konsep yang paling sukar dipahami siswa SMU kelas 1 pada cawu 3
dibandingkan dengan konsep-konsep lainnya. Selanjutnya, Sinaga (1998) melalui ana-
lisis tes kimia buatan gurumelaporkan bahwa hanya 18,7% (dari 267) siswa yang mampu
menentukan jumlah molekul H
2
O bila diketahui massa molekul relatif dan molnya.
Faktor utama kesulitan (maha)siswa dalam menyelesaikan perhitungan-perhitungan
kimia adalah mahasiswa kurang memiliki pengetahuan konseptual yang mendasari per-
hitungan-perhitungan tersebut (Kaput & Clement dalam Bodner, 1986; Staver dalam
Staver dan Lumpe, 1993; Krisnan dan Howe, 1994; Huddle dan Pillay, 1996). Hasil pe-
nelitian ini didukung oleh pendapat Irawan (1993) yang menyatakan bahwa salah satu
kelemahan pendidikan yang amat mencolok, tetapi kurang disoroti, adalah tingkat pe-
mahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang masih sangat buruk.
Ilmu kimia --secara berdiri sendiri-- baru diajarkan di SMU. Berdasarkan GBPP kimia ta-
hun 1994, rumus kimia merupakan topik yang diajarkan pada awal program pengajaran,
catur wulan 1 di kelas 1. Selanjutnya, pengetahuan tentang rumus ini dipelajari lagi se-
cara khusus di perguruan tinggi pada mata kuliah Kimia Dasar 1 pada semester 1.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
46
Rumus kimia merupakan lambang (simbol) zat yang menyatakan jenis atom unsur dan
jumlah relatif atom-atom yang menyusun zat tersebut, sehingga rumus kimia dapat
berupa rumus empiris atau rumus molekul. Jumlah relatif atom-atom yang menyusun zat
tersebut dikenal sebagai bilangan indeks. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa bilangan
indeks juga menginformasikan perbandingan jumlah mol atom yang menyusun suatu
senyawa. Oleh karena itu, bilangan indeks merupakan aspek yang penting untuk
menyelesaikan perhitungan-perhitungan kimia.
Penempatan topik bilangan indeks pada awal tahun pengajaran menunjukkan bahwa
pemahaman tentang bilangan indeks merupakan landasan untuk mempelajari konsep
kimia lebih lanjut, khususnya topik-topik mengenai perhitungan seperti: persamaan
reaksi, konsep mol, stoikiometri, dan sebagainya. Oleh karena itu, kiranya perlu di-
lakukan penelitian untuk mengetahui kesulitan yang dialami mahasiswa dalam menerap-
kan bilangan indeks dalam perhitungan-perhitungan kimia agar dapat dirumuskan suatu
cara penyembuhan yang tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) strategi yang dilakukan mahasiswa dalam
menerapkan bilangan indeks pada perhitungan-perhitungan kimia, yaitu dalam menentu-
kan jumlah atom dan besar massa zat dari suatu senyawa dan (b) konsistensi strategi
penerapan bilangan indeks yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan per-
hitungan-perhitungan kimia ditinjau dari bentuk dan soal yang berbeda (pilihan ganda
dan isian).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangka-
raya. Pada Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Palangkaraya, topik
bilangan indeks diberikan pada mata kuliah Kimia Dasar I. Oleh karena itu, penelitian ini
melibatkan seluruh mahasiswa program studi pendidikan kimia FKIP Universitas yang
memprogram mata kuliah Kimia Dasar I. Jumlah mahasiswa yang memprogram mata
kuliah ini sebanyak 24 orang. Data dijaring menggunakan dua bentuk tes terlulis, yaitu
tes pilihan ganda dan isian. Setiap bentuk tes terdiri dari dua butir soal, butir soal: 1 dan
2 bentuk pilihan ganda; 3 dan 4 isian.
Butir soal 1 dan 3 digunakan untuk mengungkap strategi yang digunakan siswa dalam
menyelesaikan perhitungan jumlah atom. Pada kedua butir soal ini diinformasikan rumus
kimia, massa dan massa molarnya, serta tetapan bilangan Avogadro. Berdasarkan
informasi ini, mahasiswa disuruh untuk: a) menentukan jumlah atom dengan cara
memilih salah satu jawaban yang benar untuk soal pilihan ganda; b) mengurutkan 4 buah
tabung (berisi zat) berdasarkan jumlah atom yang paling banyak untuk soal isian.
Pola strategi mahasiswa dalam menentukan massa zat ditelusuri melalui 2 butir soal,
yaitu 1 butir soal bentuk pilihan ganda (butir soal 2) dan 1 butir soal isian (butir soal 4).
Pada kedua butir soal ini diinformasikan rumus kimia, jumlah atom dari suatu molekul
unsur dan massa molarnya, serta tetapan bilangan Avogadro. Berdasarkan informasi ini,
mahasiswa disuruh untuk: a) menentukan massa zat dengan cara memilih salah satu
jawaban yang benar untuk soal pilihan ganda; b) mengurutkan 4 buah tabung (berisi zat)
berdasarkan massa zat yang paling berat untuk soal isian.
Berikut ini diberikan contoh soal untuk menentukan jumlah atom, yaitu butir soal 1 dan 3.
Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 47
Butir soal 1: Diketahui Mr S
8
=256; bilangan Avogadro=6 x 10
23
. Jumlah atom yang
terdapat pada 512 gram S
8
adalah
A. 16 B. 64 C. 12 x 10
23
D. 96 x 10
23
Butir soal 3: Perhatikan data berikut:
Tabung A Tabung B Tabung C Tabung D
120 g D
5
150 g L
4
100 g M
5
135 g Q
6
Mr D
5
=30 Mr L
4
=25 Mr M
5
=20 Mr Q
6
=45
Urutan tabung yang berisi jumlah atom paling banyak ke paling sedikit adalah ...
1. 2. 3. . 4.
Alasan (tuliskan langkah penyelesaian):
.
.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Strategi Menentukan Jumlah Atom (MJA)
Untuk soal pilihan ganda (butir soal 1), strategi yang benar untuk menentukan jumlah
atom adalah dengan cara membagi massa dengan Mr, dan kemudian mengalikannya
dengan bilangan indeks dan bilangan Avogadro. Jumlah mahasiswa yang menjawab
benar butir soal ini sebanyak 45,8%. Selanjutnya, terdapat dua macam pola strategi yang
salah dilakukan mahasiswa, yaitu: (a) membagi massa dengan Mr dan kemudian
mengalikannya dengan bilangan Avogadro, tanpa mengalikan dengan bilangan indeks;
Massa/Mr x N (pilihan C). Strategi penyelesaian seperti ini dilakukan oleh 37,5%
mahasiswa; (b) membagi bilangan indeks dengan mol dan kemudian mengalikannya
dengan bilangan Avogadro; Bilangan Indeks/Mol x N. Strategi penyelesaian seperti ini
dilakukan oleh 16,7% mahasiswa.
Untuk soal isian (butir soal 3), jumlah mahasiswa yang menjawab benar soal ini
sebanyak 37,5%. Pola strategi yang salah dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan
soal ini sebanyak tiga macam. Pola strategi salah yang dominan dilakukan mahasiswa
adalah mengurutkan banyaknya jumlah atom berdasarkan banyaknya jumlah massa.
Jumlah mahasiswa yang memilih pola strategi ini sebanyak 54,2%. Dari 45,8%
mahasiswa yang menjawab benar butir soal 1, hanya 63,6% dari jumlah tersebut yang
menjawab benar butir soal 3. Artinya, terdapat 36,6% mahasiswa yang menggunakan
strategi yang berbeda untuk menjawab butir soal 3, walaupun menjawab benar butir soal
1. Selanjutnya, dari 37,5% mahasiswa yang menggunakan strategi salah memilih C pada
butir soal, 77,8% dari jumlah ini menggunakan strategi yang sama dalam menjawab butir
soal 4, yaitu mengurutkan jumlah atom berdasarkan jumlah massa.
Terdapat lima macam alasan yang diberikan mahasiswa dalam mengurutkan tabung
berdasarkan banyaknya jumlah atom. Sebagian besar alasan tersebut tidak menyatakan
peranan bilangan indeks dalam menentukan banyaknya jumlah atom yang terkandung
dalam suatu molekul unsur.
Berdasarkan pola strategi mahasiswa dalam merespon butir soal 1 dan butir soal 3 dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagian besar mahasiswa belum memahami cara
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
48
menentukan jumlah atom dari suatu molekul unsur bila diketahui massa dan Mr-nya.
Selanjutnya, data di atas menjelaskan bahwa pola strategi yang digunakan mahasiswa
dalam menentukan jumlah atom kurang konsisten. Hal ini dapat dilihat berkurangnya
jumlah mahasiswa yang menjawab benar butir soal 1 dibandingkan dengan jumlah
mahasiswa yang menjawab benar butir soal 3.
Bila ditinjau berdasarkan alasan yang diberikan mahasiswa yang menjawab benar butir
soal 1 dan butir soal 3, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya strategi yang
digunakan mahasiswa dalam menentukan jumlah atom belum benar walaupun hasil
akhirya benar. Di samping itu, dapat juga diinformasikan bahwa soal bentuk isian lebih
sukar dijawab oleh mahasiswa dibandingkan dengan soal bentuk pilihan ganda dalam
menentukan jumlah atom.
Pola Strategi Menentukan Massa Zat (MMZ)
Untuk soal pilihan ganda (butir soal 2), strategi yang benar untuk menentukan massa zat
atom adalah dengan cara: (1) membagi jumlah atom dengan bilangan indeks dan
kemudian membagi hasilnya dengan bilangan Avogadro lalu dikalikan dengan Mr, atau
(2) membagi jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian dikalikan dengan
bilangan indeks dan Mr. Jumlah mahasiswa yang menjawab benar butir soal ini
sebanyak 41,7%.
Terdapat dua macam pola strategi yang salah dilakukan mahasiswa, yaitu: (a) membagi
jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian dikali dengan Mr, tanpa mengali-
kan dengan bilangan indeks; Jumlah atom/N x Mr (pilihan B). Strategi penyelesaian
seperti ini dilakukan oleh 50,0% mahasiswa; (b) mengalikan bilangan indeks dengan MR
(pilihan B); Bilangan Indeks x Mr. Bilangan Indeks/Mol x N. Strategi penyelesaian seperti
ini dilakukan oleh 8,3% mahasiswa.
Untuk soal isian (butir soal 4), jumlah mahasiswa yang menjawab benar soal ini se-
banyak 29,2%. Pola strategi salah yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal
ini sebanyak empat macam. Pola strategi salah yang dominan dilakukan mahasiswa
adalah dengan mengurutkan banyaknya massa zat berdasarkan banyaknya jumlah atom
(mol). Jumlah mahasiswa yang memilih pola strategi ini sebanyak 50,0%.
Dari 41,7% mahasiswa yang menjawab benar butir soal 2, terdapat 70,0% dari jumlah
tersebut yang menjawab benar butir soal 4. Artinya, terdapat 30,0% mahasiswa yang
menggunakan strategi yang berbeda untuk menjawab butir soal 4, walaupun menjawab
benar butir soal 2. Selanjutnya, dari 50,0% mahasiswa yang menggunakan strategi salah
dengan memilih B pada butir soal 2, terdapat 58,3% dari jumlah ini menggunakan strategi
yang sama dalam menjawab butir soal 4, yaitu mengurutkan jumlah massa zat ber-
dasarkan jumlah atom.
Terdapat enam macam alasan yang diberikan mahasiswa dalam mengurutkan tabung
berdasarkan banyaknya massa zat. Sebagian besar alasan tersebut tidak menyatakan
peranan bilangan indeks dalam menentukan banyaknya massa zat suatu molekul unsur.
Berdasarkan pola strategi mahasiswa dalam merespon butir soal 2 dan butir soal 4 dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagian besar mahasiswa belum memahami cara
menentukan banyaknya massa zat dari suatu molekul unsur bila diketahui jumlah atom
dan Mr-nya. Selanjutnya, data di atas menjelaskan bahwa pola strategi yang digunakan
mahasiswa dalam menghitung massa zat cukup konsisten dalam menerapkan strategi
yang salah maupun yang benar.
Kesulitan Mahasiswa Dalam .... (Rali Meiliawati) 49
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan,
yaitu: Pertama: Menentukan Jumlah Atom; pola strategi salah yang dominan dilakukan
mahasiswa (37,5%) dalam menentukan jumlah atom adalah membagi massa dengan Mr
dan kemudian mengalikannya dengan bilangan Avogadro, tanpa mengalikannya dengan
bilangan indeks; Massa/Mr x N. Artinya, penentuan banyaknya jumlah atom dari be-
berapa molekul unsur yang berbeda hanya berdasarkan jumlah mol tanpa memper-
hitungkan bilangan indeks dari molekul unsur tersebut; Menentukan Massa Zat; pola
strategi salah yang dominan dilakukan mahasiwa (50,0%) dalam menentukan massa zat
adalah membagi jumlah atom dengan bilangan Avogadro dan kemudian mengalikannya
dengan Mr, tanpa mengalikannya dengan bilangan indeks; Jumlah atom/N x Mr. Kedua,
berdasarkan pola strategi yang diberikan pada penentuan jumlah atom dan massa zat,
maka dapat disimpulkan bahwa sebagian mahasiswa belum memahami peranan
bilangan indeks dalam perhitungan kimia. Ketiga, terdapat pola strategi yang kurang
konsisten dilakukan mahasiswa dalam menentukan jumlah atom berdasarkan bentuk
soal yang berbeda, tetapi dalam menentukan massa zat, pola strategi mahasiswa cukup
konsisten untuk jawaban benar maupun salah untuk bentuk soal yang berbeda.
Keempat, bila ditinjau berdasarkan alasan yang diberikan, sebagian besar mahasiswa
kurang memahami strategi perhitungan yang digunakan walaupun hasil akhirnya benar.
Salah satu yang perlu dicermati dari hasil penelitian ini adalah terdapat kekurang-
pahaman mahasiswa mengenai peranan bilangan indeks dalam perhitungan kimia. Hal
ini dapat dipahami karena topik bilangan indeks dalam buku-buku kimia kurang men-
dapat penekanan demikian juga dalam penyampaian oleh guru. Umumnya, para pe-
ngajar berpendapat bahwa topik ini mudah dipahami oleh (maha)siswa. Oleh karena itu,
berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan para pengajar bidang studi ilmu kimia --di
SMU atau PT-- perlu menekankan peranan bilangan indeks dalam perhitungan-per-
hitungan kimia dalam kegiatan proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA.
Abraham, Michael R & Williamson Vickie M 1994. A Cross-Age Study of the
Understanding of Five Chemistry Conceps. Journal of Research in Science
Education, 31(2); 147-165.
Bodner, George M 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical
Education, 63(10)
Dierks Werner & Weninger Johann & Herron, J. Dudley 1985. Mathematics in Chemistry
Classroom; Part 1. The Special Nature of Quantity Equations. Journal of Chemical
Education, 62(10); 839.
Garnett, P.J., Treagust, D.F. 1992. Conceptual Difficulties Experienced by Senior High
School Students of Elektrochemistry; Electrochemical (Galvanic) and Electrolytic
Cells. Journal of Research in Science Teaching. (29); 1079 - 99.
Huddle, P.A & Pillay. 1996. An In-Depth Study of Misconceptions in Stoichiometry and
Chemical Equilibrium at A South Africa University. Journal of Research in Science
Teaching. 33(1); 65-77.
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
50
Irawan, Prasetya. 1993. Peran guru dan buruknya pemahaman konseptual mahasiswa.
Artikel Harian Suara Karya (15 Mei).
Kesidou, S & Duit, R. 1993. Students' Conceptions of the Second Law of
Thermodynamics - An Interpretive Study. Journal of Research in Science
Teaching. (30); 85 - 106.
Krishnan, Shanti R & Howe, Ann C. 1994. The Mole Concept; Developing an Instrumen
To Assess Conceptual Understanding. Journal of Chemical Education, 71(8); 653-
655.
Poole, Richard L. 1989. Teaching Stoichiometry: A Two Cycle Approach. Journal of
Chemical Education, 66(1); 57.
Sinaga, Udurma. 1998. Analisis Butir Soal Kimia Bentuk Pilihan Ganda Buatan Guru
yang digunakan untuk Tes Sumatif Kelas 1 Cawu 2 SMUN-3 Palangkaraya Tahun
Ajaran 1997/1998 (Skripsi). Universitas Palangkaraya.
Sihombing, Sarmarita NS. 1997. Analisis Butir Soal Kimia Bentuk Pilihan Ganda Buatan
Guru Kelas 1 SMUN-2 Palangkaraya Catur Wulan Ketiga Tahun Ajaran 1996/1997
(Skripsi). Universitas Palangkaraya.
Staver, John R dan Lumpe, Andrew T. 1993. A Content Analysis of the Presentation of
the Mole Concept in Chemistry Texbooks. Journal of Research in Science
Education. 30(4); 321-337.
Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 51
KARAKTERISTIK KOROSI PADA PERMUKAAN BAJA (STEEL) OLEH KARBON
DIOKSIDA (CO
2
)
Oleh
Simon Sembiring dan Pulung Karo-Karo *)
ABSTRACT
A consequence of steel corrosion in the presence of carbon dioxide (CO
2
) and a water
phase is the formation of corrosion product. The corrosion products identified by x-ray
diffraction analysis are iron carbonate (FeCO
3
) as the primary corrosion product and Fe
3
C
(cementite) as secondary corrosion product. FeCO
3
compound is found to form a tight,
adherent film on the metal surface.
___________________________________________________________________________________________________
*) Staf Pengajar pada Jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung
PENDAHULUAN
Korosi karbon dioksida (CO
2
) biasanya terdapat pada industri pengeboran minyak lepas
pantai dan alat alat produksi gas. CO
2
banyak ditemukan pada aliran pipa minyak, yang
larut dalam air membentuk asam karbonat lemah yang mudah terionisasi. Dengan meng-
hasilkan larutan asam, pada hakikatnya merusak pipa pipa sumur minyak. Hal ini meng-
akibatkan beberapa kerusakan pada sistem produksi dan transportasi minyak. Salah satu
yang menarik dari korosi oleh karbon dioksida adalah terbentuknya produk korosi yang
pada kondisi jenuh dapat berguna sebagai pelindung terhadap korosi. Dengan adanya
produk korosi ini akan mempengaruhi laju korosi. Laju korosi pada umumnya lebih ren-
dah dengan adanya pelindung. Heuer dan Stubbin (1999) mengamati mekanisme ter-
bentuknya produk korosi akibat karbon dioksida dengan reaksi:
Anoda : CO
2
+ H
2
O H
2
CO
3
(1)
Katoda : 2H
2
CO
3
-
+2e H
2
+2HCO
3
-
(2)
2HCO
3
-
+ 2e H
2
+ 2CO
3
-
(3)
Reaksi reaksi di atas signifikan dengan reaksi korosi karbon dioksida yaitu oksidasi dari
besi (Fe) membentuk ion Fe
+
.
Fe Fe
+2
+ 2e (4)
Endapan i besi karbonat (FeCO
3
) dapat terjadi melalui 2 tahap:
(a) Fe
+2
+ CO
3
-
FeCO
3
(5)
Fe
+2
+ 2HCO3
-
Fe(HCO
3
)
2
(6)
Fe(HCO
3
)
2
FeCO
3
+ CO
2
+ H
2
O (7)
Pengendapan FeCO
3
(Siderite) pada permukaan baja mempunyai kemampuan untuk
mengurangi laju korosi(Palacios and Shaddley, 1991). Akibat adanya endapan FeCO
3
yang terbentuk dari kondisi tanpa oksigen (anaerob), satu kemungkinan yang kuat bahwa
endapan FeCO
3
dapat mengalami perubahan kimia ketika bereaksi dengan oksigen di
udara. Kenyataannya FeCO
3
diketahui sangat kuat teroksidasi di udara. Jasinki (1987)
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
52
menyelidiki endapan korosi oleh karbon dioksida dengan metode diffraksi sinar-x me-
nunjukkan bahwa endapan korosi terjadi pada permukaan baja adalah FeCO
3
melalui
proses kimia (Persamaan 5 dan 7). Xia, dkk, (1989) memperoleh endapan korosi FeCO
3
melalui reaksi kimia yang pada awalnya membentuk Fe(HCO
3
)
2
(Persamaan 7). Palacios
dan shadley (1991) mengamati mikrostruktur endapan korosi dengan menggunakan
scanning elektron microscopy (SEM). Mereka menemukan bahwa pada permukaan baja
terdiri dari 2 bentuk fase endapan FeCO
3
yaitu:
Fase utama (primary scale), fase endapan ini terbentuk secara langsung pada
permukaan baja. Adapun sifat sifat dari fase utama adalah tidak merata,
menyerap, bentuk kristalnya besar, melekat dengan kuat dan berwarna hitam
keabu-abun.
Fase kedua (secondary scale), fase endapan ini terdapat di bagian atas fase
utama yang memiliki sifat sifat, merata, tidak menyerap, berikatan dengan
mudah, kristalnya kecil dan berwarna coklat.
Secara umum fase utama tidak mudah terlepas dari permukaan baja, sementara fase
kedua sangat mudah terlepas. Xia, dkk, (1989) menyimpulkan bahwa endapan produk
korosi oleh karbon dioksida yang bersifat menyerap tidak terjadi pada seluruh permuka-
an baja.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik korosi pada baja yang terbentuk
dengan adanya karbon dioksida dalam larutan. Karbon dioksida bereaksi dengan larutan
berinteraksi dengan baja dapat mengakibatkan korosi. Karakteristik produk korosi yang
terbentuk dianalisis secara visual dan pola diffraksi.
METODE PENELITIAN
Bahan steel yang digunakan pada penelitian ini adalah pipa baja dengan kandungan
carbon rendah (low carbon) dari NIPPON SUPPLIER dengan spesifikasi API-5L-B
(American Petroleum Institute). Komposisi kimia terdiri dari: 0.17% C, 0.18% Si, 0,018%
P, 0.55% Mn, 0.01% Cr and 99,048% Fe. Pipa baja dipotong dengan mesin pemotong
electric discharge wire (EDW) dengan ukuran dimensi 20 mm panjang, 10 mm lebar dan
1 mm tebal. Permukaan specimen digosok dengan kertas pasir ukuran 500 grit, dicuci
dengan ethanol dan dikeringkan. Proses korosi dilaksanakan di dalam sebuah reaktor
yang berisi larutan garam perpaduan 3% Nacl dan 100mg/L H
2
CO
3
dengan total volume
1000 ml. Sebelum proses korosi dilakukan, larutan disemprot dengan gas karbon di-
oksida dan nitrogen selama 30 menit untuk mengeluarkan oksigen yang ada di dalam
reaktor dengan tekanan 50 Pascal (Pa)dan temperatur 50
- 80
. Data karakteri-
sasi mikrostruktur produk korosi menggunakan Scanning electron microscopy (SEM),
Philips XL-30 dengan detektor Si(Li).
Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 53
Gambar 1. Skematik Proses Korosi (Mishra, dkk, 1992)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Scanning Electron Microscope
Analisis mikrostruktur (Gambar 2a) dari hasil Scanning Electron Microscopy (SEM)
adalah permukaan baja sebelum proses korosi. Berdasarkan pola diffraksi sinar-x
(Gambar 3a) menunjukkan bahwa struktur baja dinominasi oleh besi (Fe). Gambar 2b
menunjukkan mikrostruktur permukaan baja setelah proses korosi selama 1-Jam.
Permukaan yang terkorosi terdiri dari lapisan Fe yang terkikis (halus) dan retak (tanda 1)
dan lapisan tertutup oleh endapan produk korosi (tanda 2).Keretakan terjadi akibat
konsentrasi klorida (Cl) yang tinggi (Fu dan Bluth, 1994).
Gambar 2c menunjukkan mikrostruktur permukaan baja setelah korosi selama 1-Hari.
Permukaan baja terkorosi memperlihatkan endapan produk korosi tidak merata. Lapisan
Fe berwarna putih (tanda 1) dan berwarna kehitam-hitaman bentuk ukuran yang berbeda
(tanda 2). Adanya endapan dan variasi warna telah diselidi oleh beberapa peneliti se-
belumnya (Taylor, dkk,1978; Veawab, dkk, 1999; Videm dan kvarekval, 1994) menunjuk-
kan bahwa variasi warna disebabkan oleh perbedaan struktur penyusun yang terdapat
permukaan baja.
Pengamatan proses korosi 3-Hari dab 7-Hari dengan SEM (Gambar 2d dan 2e) memper-
lihatkan bahwa permukaan baja didominasi oleh endapan produk korosi. Produk korosi
ini sebagian menutupi permukaan baja, dan bagian lain meninggalkan beberapa daerah
dasar baja. Berdasarkan peneliti sebelumnya (Schmitt dan Engels, 1988; Johnson, dkk,
1991; Misra, dkk, 1992; Palacios dan shadley, 1991). Mereka menyimpulkan bahwa Fe
3
C
(cementite) dan FeCO
3
(siderite) adalah 2 produk korosi utama. FeCO
3
dibentuk ketika
konsentrasi ion besi (Fe
++
) di dalam larutan melewati titik jenuh. FeCO
3
membentuk lapis-
an yang tebal dan kuat. Sementara Fe
3
C (cementite) terbentuk dari keadaan setimbang
antara Fe dan C (karbon).
Pipa saluran
Furnace
Pemutar(Stirrer)
Sampel Steel
Pengontrol Suhu
Motor
Tabung Gas
Tekanan Gas
CO
2
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
54
Pengamatan Diffraksi Sinar-X
Analisis komposisi dari diffraksi ditunjukkan (Gambar 3a dan 3b). Gambar 3a memper-
lihatkan permukaan baja sebelum proses korosi, hanya didominasi oleh besi (symbol
Fe100). Gambar 3b adalah pola diffraksi setelah proses korosi 1-Jam, 1-Hari, 3-Hari dan
7-Hari.
(a)
(b) (c)
(d) (e)
Gambar 2. Mikrostruktur pada permukaan baja. (a ) Sebelum Proses Korosi; (b) Setelah
Korosi Selama 1-Jam; (c) 1-Hari; (d) 3-Hari dan (e) 7-Hari.
1
2
Karakteristik Korosi Pada .... (Simon Sembiring dan Pulung Karo Karo) 55
Pada proses korosi 1-Hari FeCO
3
belum terjadi, namun terbentuk kalsium karbonat
(CaCO
3
). CaCO
3
(symbol X) merupakan kontaminasi terbentuk dari reaksi CO
3
-
dengan
ion Ca yang berasal dari komponen larutan yang digunakan. Pada proses korosi mulai
terjadi endapan FeCO
3
(symbol s) dan diikuti terbentuknya Fe
3
C (symbol c) untuk proses
korosi 3 dan 7-Hari. Videm dan Dugstad, (1987) menyelidiki perubahan warna keabu-
abuan menjadi hitam pada suhu 50
L(m
2
/gr)x10
3
1 : 1 K1.1 16,44 66,65 61,01 272 829,60
2 : 3 K2.3 18,14 89,00 63,19 304 927,20
3 : 2 K3.2 11,29 75,50 55,94 76 231,80
Karbon Aktif KO 13,39 0 0 52 158,60
Berdasarkan Tabel 1. tersebut terlihat bahwa katalis yang dihasilkan mempunyai ke-
asaman yang bervariasi. Bila dibandingkan dengan keasaman karbon aktif sebelum
diimpregnasi dengan oksida logam ganda TiO
2
dan MoO
3
, maka keasaman katalis hasil
impregnasi lebih tinggi, kecuali pada katalis K3.2 (katalis dengan perbandingan Ti : Mo =
3 : 2). Katalis K3.2 memiliki keasaman yang lebih kecil dibanding karbon aktif, hal ini
dapat diperkirakan akibat proses yang bertahap dalam impregnasi. Pada tahap awal
impregnasi dengan TiO
2
selama 2 jam memungkinkan jumlah Ti yang masuk ke pori-pori
karbon aktif cukup banyak, sehingga pada impregnasi berikutnya untuk oksida MoO
3
diperkirakan permukaan katalis telah jenuh dan pori-pori karbon aktif menjadi tertutupi
oleh deposit kedua oksida logam tersebut. Meskipun demikian, secara umum dapat
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
74
dinyatakan bahwa keasaman katalis meningkat. Hal ini membuktikan bahwa adanya
oksida logam TiO
2
dan MoO
3
dalam katalis mampu mengikat molekul-molekul ammonia.
Berdasarkan kenyataan tersebut diharapkan katalis yang dihasilkan akan mampu meng-
ikat molekul-molekul reaktan dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga mampu mem-
percepat reaksi.
Keasaman katalis ini juga berkaitan dengan jumlah oksida logam yang terimpregnasi ke
dalam pori-pori karbon aktif. Jika dibandingkan dengan jumlah logam Ti dan Mo yang
terkandung dalam karbon aktif, terlihat juga bahwa keasaman katalis yang tinggi dapat
disebabkan oleh kandungan logam yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa partikel-
partikel logam pada permukaan katalis terdispersi dengan baik dan mampu mengikat
molekul-molekul reaktan (adsorbat ammonia) dengan baik pula.
Bila dilihat dari Tabel 1 di atas, katalis yang terbaik adalah katalis dengan perbandingan
Ti : Mo = 2 : 3. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada impregnasi meskipun per-
badingan Ti dan Mo yang diimpregnasikan lebih banyak mengandung logam Mo, namun,
karena logam Mo (demikian juga partikel MoO
3
) memiliki ukuran partikel yang lebih besar
dibanding Ti, sehingga pada proses perendaman yang bertahap maka Ti lebih mudah
masuk, sedangkan Mo sukar masuk ke dalam pori-pori karbon aktif karena hampir se-
luruh permukaan karbon aktif telah diisi oleh TiO
2
. Setelah dilakukan impregnasi kedua
dengan oksida logam MoO
3
dari larutan AHM, maka partikel-partikel oksida logam MoO
3
akan menempel pada permukaan sisa dan sebagian menempel pada deposit TiO
2
.
Dengan demikian, partikel-partikel MoO
3
lebih banyak berada di luar (tidak di dalam pori-
pori karbon aktif). Karena ukuran partikel MoO
3
lebih besar dari pada ukuran partikel TiO
2
(dilihat dari berat molekulnya), maka daya serap MoO
3
lebih kecil dibanding daya serap
partikel TiO
2
.
Sedangkan penentuan luas permukaan katalis dilakukan dengan menggunakan larutan
metilen biru klorida (MBK), yang analisisnya menggunakan spektrofotometer sinar tam-
pak pada panjang gelombang 663,0 nm.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa luas permukaan terbesar adalah pada katalis
dengan perbandingan Ti : Mo = 2 : 3. Bila dibandingkan dengan luas permukaan karbon
aktif yang tidak diimpreg terlihat bahwa luas permukaan katalis meningkat dengan ada-
nya logam Ti dan Mo yang menempel pada permukaan karbon aktif.
Aktivitas Katalis TiO
2
MoO
3
/Karbon Aktif
Aktivitas katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif yang diperoleh diujikan pada reaksi konversi
metanol menjadi formaldehid pada fasa uap. Untuk mengetahui kuantitas formaldehid
yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas (GC). Berdasarkan
hasil uji dan analisis pendahuluan terhadap reaksi konversi metanol menjadi formaldehid
dengan menggunakan katalis karbon aktif yang tidak diimpregnasi diperoleh bahwa
karbon aktif asli yang dipergunakan tidak menunjukkan sifat-sifat katalisis terhadap reaksi
konversi metanol menjadi formaldehid. Dengan demikian dapat diyakini bahwa untuk
reaksi konversi metanol menjadi formaldehid sangat diperlukan katalis logam atau oksida
logam. Namun demikian dari Tabel 1, terlihat bahwa karbon aktif juga mempunyai ke-
asaman dan luas permukaan yang cukup besar, namun dari hasil uji pendahuluan ter-
nyata karbon aktif tidak menunjukkan sifat katalis. Hal ini dapat dijelaskan sebagai ber-
ikut: Nilai keasaman dari karbon aktif pada penelitian ini diduga hanya berasal dari
proses fisisorpsi semata dan tidak disertai adanya proses kemisorpsi, sehingga meskipun
Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 75
karbon aktif memiliki keasaman dan luas permukaan yang cukup besar, tetapi tidak dapat
berfungsi sebagai katalis dan hanya berfungsi sebagai adsorben.
Uji aktivitas katalis dilakukan terhadap katalis K2.3. Kondisi percobaan yang dilakukan
adalah jumlah katalis 1 gram, waktu reaksi 20 menit, konsentrasi metanol 30%, volume
larutan yang digunakan dalam setiap percobaan 2 mL, dan laju alir gas pembawa 5
mL/detik. Variasi suhu reaksi yang dipakai adalah 300, 350, 400 dan 450
o
C. Hasil uji
aktivitas katalis dengan variasi suhu dapat dilihat pada Tabel 2, dan fraksi metanol yang
terkonversi (f) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2), dimana harga
densitas formaldehid = 0,8767 gr/mL, Pg = 4/5 atm, Vg = 5 mL/detik, dan t = 20 menit.
Tabel 2. Hasil Selektivitas Katalis (S) dan Formaldehid (Vm) dan Fraksi Terkonversi
(f) pada Berbagai Variasi Suhu.
Suhu (
o
C) S (%) Vm (mL) f (%)
300
350
400
450
62,03
65,20
68,42
70,11
0,0651
0,0702
0,0746
0,0788
3,006
3,084
3,123
3,219
Kinetika reaksi konversi metanol menjadi formaldehid dipelajari melalui harga konstanta
laju reaksi (k) melalui persamaan (1), yaitu:
k = 1/t ln (1 f)
Tabel 3. Konstanta Laju Reaksi Awal (k) pada Berbagai Suhu pada Reaksi Konversi
Metanol menjadi Formaldehid
Suhu Konstanta k
(detik
1
) / x 10
5
O
C
o
K
300
350
400
450
573
623
673
723
2,543
2,610
2,644
2,727
Dari harga k ini selanjutnya dibuat grafik ln k versus 1/T untuk mencari harga energi
aktivasi (Ea). Dari grafik ln k versus 1/T (Gambar 2) akan diperoleh harga energi aktivasi
reaksi konversi metanol menjadi formaldehid melalui slope sesuai persamaan (4):
Ea = Slope x R
Berdasarkan gambar 2 tersebut, diperoleh r = 0,984, dan slope = 182,768 K, sehingga
energi aktivasi (Ea) reaksi konversi metanol menjadi formaldehid adalah
Ea = (slope) x R
Ea = ( 182,768 K) x 8,314 J.K
1
.mol
1
Ea = 1519,533 J.mol
1
= 1,519 kJ. mol
1
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
76
Gambar 2. Grafik ln k versus 1/T
Berdasarkan Tabel 2 dan 3, terlihat bahwa pada interval suhu yang diberikan pada
penelitian ini, suhu sangat berpengaruh pada aktivitas dan selektivitas katalis. Dimana
jika suhu reaksi dinaikkan, maka aktivitas dan selektivitas katalis juga akan naik. Dengan
demikian semakin tinggi suhu reaksi, maka reaksi makin cepat berlangsung, berarti
penelitian ini sesuai dengan teori Arrhenius. Di samping itu, dengan melihat harga k yang
relatif konstan menunjukkan bahwa reaksi konversi metanol menjadi formaldehid yang
dikatalisis oleh katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif merupakan reaksi order satu. Dari harga
energi aktivasi (Ea) sebesar 1,519 kJ. mol
1
menunjukkan bahwa reaksi katalitik dari
konversi metanol menjadi formaldehid dapat berlangsung pada suhu antara 300 hingga
450
o
C, dan pada tekanan atmosferik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa katalis
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif yang telah dibuat dalam penelitian ini mempunyai sifat-sifat
katalis yang cukup baik dan fungsinya sebagai katalis cukup efisien, karena waktu reaksi
yang berlangsung singkat (20 menit).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
1. Katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif dapat dibuat melalui metoda bertahap dan katalis
terbaik diperoleh pada variasi perbandingan Ti dan Mo adalah 2 : 3.
2. Keasaman dan luas permukaan katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif makin tinggi jika
oksida logam yang terimpregnasi makin besar, dan luas permukaan yang besar
dapat menyebabkan keasaman katalis makin besar pula.
3. Kinetika reaksi konversi metanol menjadi formaldehid yang dikatalisis dengan katalis
TiO
2
MoO
3
/karbon aktif merupakan reaksi order satu dengan harga konstanta laju
(k): 2,543 x 10
5
detik
1
pada suhu 300
o
C; 2,610 x 10
5
detik
1
pada suhu 350
o
C;
2,644 x 10
5
detik
1
pada suhu 400
o
C; dan 2,727 x 10
5
detik
1
pada suhu 450
o
C.
Makin tinggi suhu makin cepat reaksi berlangsung yang ditunjukkan dengan makin
besarnya harga k.
4. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,519 kJ. mol
1
dan
katalis TiO
2
MoO
3
/karbon aktif mempunyai sifat-sifat katalis yang cukup baik.
Pembuatan Katalis Oksida .... (Sunyono) 77
DAFTAR PUSTAKA
Bayer, G., at al., (1983). Clay Mineral., Institute of Chrystallography and Petrography.
Swiss, Vol. 17.
Beltramini, J.N., et al., (1991). Kinetics of Deaktivation of Bifunctional Pt/Al
2
O
3
-Cl
Catalysts by Coking., AICHE Journal., 37, No. 6 (1991).
Castellan, G.W., (1983). Physical Chemistry., 3
rd
Ed. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc. Singapore.
Foger, K. (1984), Dispersed Metal Catalysts, in Anderson, J.R., and M. Boudart.
Catalysts; Science and Technology, Sperling-Verlag, New York, 6 (1984).
Garland, M., et al., (1991). Alumina Supported Platinum-Rhenium Dehydrogenation
Catalysts: Influence of Metal Ratio and Precursor on Catalytic Behavior. Ind. Eng.
Chem. Res., 30 (1991)
Guerrero-Ruiz, et. all (1992), Carbon Supported Bimetallic Catalysts Containing Iron, I.
Preparation and Characterization., Appl. Catal. 81 (1992).
Kato, A., et. all (1983), Activity and Durability of Iron Oxide-Titanium Oxide Catalysts for
NO Reduction with NH
3
. Journal of Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev., 22 (1983)
Klein, S., et. all (1996), Amorphous Microporous Titania-Silica Mixed Oxides: Preparation,
Characterization and Catalytic Redox Properties. Journal of Catalysis, 163 (1996).
Okamoto, Y., et al., (1995). Preparation and Catalytic Properties of Highly Dispersed
Molybdenum and Cobalt-Molybdenum Sulfide Catalysts Supported on Alumina.,
Ind. Eng. Chem. Res., 34 (1995).
Rafael, A., et al., (1993). Hydrotreatment of Athabasca Bitumen Derived Gas Oil Over Ni-
Mo, Ni-W, and Co-Mo Catalysts., Ind. Eng. Chem. Res., 32 (1993)
Sachtler, W.M.H., (1980), Chemistry and Chemical Engineering of Catalytic Processes.,
(R. Prins and G.C.A. Schult, eds), Sijthof and Noordhoff, The Netherland.
Supriyanto, R., dan Sunyono., (1999). Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan
Menggunakan Zeolit Berpendukung Katalis TiO
2
., Laporan Penelitian Project
HEDS., Universitas Lampung.
Vannice, M.A., et al., (1986). Direct Measurement of Heats of Adsorption on Platinum
Catalysts., II. CO on Pt Dispersed on SiO
2
, Al
2
O
3
, SiO
2
Al
2
O
3
, and TiO
2
., Journal of
Catalysts., 97 (1986).
JPMIPA. Volume 3, nomor 1, April 2003.
78
Volume 3, nomor 1, April 2003. ISSN 1411-2531
Jurnal Pendidikan MIPA
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL (JPMIPA)
1. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia baku, dicetak menggunakan huruf Arial 12.
Istilah asing yang belum diserap dalam Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring.
2. Abstrak ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Abstrak
ditulis secara naratif, tidak perlu memakai alinea baru. Panjang abstrak tidak boleh
Iebih dan 250 kata, yang meliputi; masalah, tujuan, metode, hasil, dan bila mungkin
simpulan.
3. Panjang naskah 15 halaman sudah termasuk tabel dan gambar bila ada, naskah
diketik dua spasi pada disket dengan menggunakan program paket pengolah kata MS
Word. Sembir kiri dan kanan tidak perlu diatur. Awal alinea dimulai pada ketukan
pertama dan antara alinea dipisahkan dengan spasi yang berbeda. Naskah yang
sudah diketik ke dalam disket diprint out dan dikirimkan ke dewan redaksi JPMIPA.
4. Naskah disusun dengan sistematika sebagai berikut
a. Judul, diketik dengan huruf kapital dan diletakkan secara simetris.
b. Nama penulis tanpa gelar.
c. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
d. Pendahuluan (implisit teori/tinjauan pustaka, tanpa sub judul).
e. Metode Penelitian.
f. Hasil dan Pembahasan.
g. Simpulan dan Saran
h. DaftarPustaka
5. Pembuatan tabel tidak menggunakan garis tegak (vertikal), tabel dibuat dalam bentuk
terbuka dan diberi judul singkat tentang isi tabel.
6. Pustaka dalam naskah dirujuk dengan menuliskan nama keluarga atau nama akhir
penulis dan tahun penerbitannya (bukan nomor urut rujukan daftar pustaka): Taryadi
(1990) atau (Taryadi 1990); (Steel & Tone, 1978; SAS Institute Inc., 1988). Perujukan
pertama kali atas pustaka dengan tiga penulis dilakukan dengan mencantumkan
nama ketiga penulis: Alexander, Leidy, dan Redman (1949) atau (Alexander, Leidy,
dan Redman, 1949). Perujukan setelahnya ditulis dkk.: (Alexander, dkk, 1949).
Pustaka yang ditulis oleh Iebih dan tiga orang dirujuk dengan menggunakan dkk.,
mulai perujukan pertama kali: Nyapka dkk (1982) atau (Nyapka, 1982). Pengutipan
skunder ditulis dengan mencantumkan nama penulis serta tahun penerbitan pustaka
primer dan skunder. Utomo (1991 dalam Sudarsono, 1993) atau (Utomo, 1991 dalam
Sudarsono, 1993). Meskipun diperbolehkan pengutipan skunder sebaiknya
dihindarikan. Daftar Pustaka disusun menurut abjad berdasarkan nama akhir
penulisnya.