Anda di halaman 1dari 5

PENGALAMAN REMAJA DALAM MENERIMA PENDIDIKAN SEKS

Juliana S.R. Marpaung*, Setiawan**


**

Mahasiswa Fakultas Keperawatan Dosen Departemen Keperawatan Dasar dan Medikal Bedah Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara Phone: 085270728029 E-mail: julianamarpaung62@yahoo.com Abstrak

Pendidikan seks penting bagi remaja untuk dapat mengerti akan dirinya dan seksualitasnya. Banyak hal yang menyebabkan anak-anak di masa remaja melakukan penyimpangan seksualitas atau seks bebas sebagai cara pelarian dari berbagai persoalan serta kurangnya kemampuan anak untuk mengendalikan diri dari emosinya. Penelitian ini dilakukan di wilayah jalan Tangkul Kelurahan Sidorejo Hilir Kecamatan Medan Tembung pada November sampai Desember 2011. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk menggali lebih dalam pengalaman remaja dalam menerima pendidikan seks. Jumlah partisipan sebanyak lima orang yang dipilih secara purposive sampling dan menggunakan wawancara mendalam. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode Collaizi dengan pendekatan interpretative (menafsirkan) dan hasil analisa data ditampilkan dalam bentuk tertulis. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa pandangan remaja terhadap pendidikan seks diartikan remaja sebagai reproduksi dan berbicara tentang masalah kesehatan seks yang terjadi pada remaja, sumber pendidikan seks diperoleh remaja berasal dari sumber yang bersifat formal dan informal dimana sumber yang bersifat formal seperti sekolah dan sumber yang bersifat informal seperti teman sebaya, orangtua dan media masa. Pengalaman remaja dalam pendidikan seks bermanfaat untuk menambah pengetahuan remaja dalam mengalami perubahan-perubahan yang perilaku yang menyimpang yang terjadi pada remaja saat sekarang ini dan hambatan remaja dalam menerima pendidikan seks dikarenakan pendidikan seks tabu untuk dibicarakan.

Kata kunci : Remaja, Pendidikan seks PENDAHULUAN Masa remaja adalah tahap antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Istilah ini memperlihatkan awal dari masa pubertas menuju masa kematangan seksual. Hal ini terjadi biasanya pada usia 14 tahun pada pria dan 12 tahun pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari suatu budaya kebudayaan lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai bertindak terlepas dari orangtua mereka (Kozier, 2005). Masa ini merupakan masa ujian, masa penuh tantangan, sukar dimengerti dan masa yang penuh dengan gelora (Agus, 2003). Biasanya masa remaja terjadi sekitar dua tahun setelah masa pubertas, menggambarkan dampak perubahan fisik, dan pengalaman emosional mendalam. Perempuan dan laki-laki menjadi matang, tanggung jawab mereka meningkat, dan harapan tentang dirinya berkembang lebih besar, baik itu di ukur dari dirinya sendiri maupun dari diri orang lain. Pada saat yang sama perubahan sosial memainkan peran utama dalam masa remaja, sebagaimana aktivitas laki-laki dan perempuan menjadi lebih bervariasi dan individual (Nugraha, 2004). Diantara perubahan-perubahan pada remaja, yang dapat mempengaruhi hubungan orangtua dan remaja adalah pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran yang idealis dan meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan disekolah, dengan teman sebaya. Beberapa peneliti telah menunjukan bahwa konflik antara 35

orangtua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki, adalah yang membuat paling tertekan, selama masa puncak pubertas (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja putra dan putri saling mempengaruhi secara sosial melalui teman sebaya yang dimilikinya baik dalam kelompok formal maupun informal, namun melalui kontak serius antara dua orang yang berlainan jenis kelamin muncul (Christina, 2007). Peningkatan masalah-masalah remaja seperti kehamilan remaja, pemerkosaan yang terjadi pada saat berkencan, dan penyakit seksual yang menular membuat hubungan romantik pada masa awal kehidupan ini menjadi dimensi yang penting dalam perkembangan individu (Adrienzens, 2008). Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya, mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (Hurlock, 2004). Keengganan para orangtua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Nugraha, 2002). Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Nugraha, 2002).

Fenomena yang sering terjadi di kalangan masyarakat adalah adanya penyimpangan-penyimpangan seksual di kalangan remaja, misalnya hamil diluar nikah dan pemerkosaan, dimana remaja masih mencari jati diri mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengalaman remaja dalam menerima pendidikan seks. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali lebih dalam pengalaman remaja dalam menerima pendidikan seks. METODE Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (Moleong, 2005). Metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, pengambilan sampel yang menjadi partisipan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, partisipan berjumlah 5 orang dan telah memiliki pengalaman dalam menerima pendidikan seks. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode Collaizi dengan pendekatan interpretative (menafsirkan) dan hasil analisa data ditampilkan dalam bebtuk tertulis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian ini dikelompokkan dalam empat kategori: makna pendidikan seks bagi remaja, sumber pendidikan seks yang diperoleh remaja, manfaat pendidikan seks bagi remaja dan hambatan remaja dalam menerima pendidikan seks. Pembahasan Desain penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Kelima partisipan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah partisipan yang memenuhi kriteria dan bersedia untuk diwawancarai serta mau menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan sebelum wawancara dimulai. Para partisipan adalah para 36

remaja yang telah mendapat pendidikan seks. Jenis kelamin partisipan terdiri dari 3 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Umur kelima partisipan berkisar antara 11-18 tahun. Satu orang partisipan berusia 11 tahun, dua orang berusia 14 tahun, satu orang berusia 15 tahun dan satu orang berusia 18 tahun. Kelima partisipan terdiri dari tiga orang partisipan beragama Kristen Protestan dan dua orang beragama Islam. Pendidikan terakhir partisipan terdiri dari 1 orang berpendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), 3 orang berpendidikan terakhir Sekolah Mengah Pertama (SMP) dan 1 orang berpendidikan terakhir Sekolah Mengah Pertama (SMA). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa pengalaman remaja dalam menerima pendidikan seks meliputi makna pendidikan seks bagi remaja, sumber pendidikan seks, manfaat pendidikan seks dan hambatan bagi remaja dalam menerima pendidikan seks. Berdasarkan hasil wawancara pada penelitian ini ditemukan bahwa partisipan mengidentifikasikan pendidikan seks berhubungan dengan reproduksi dan berbicara tentang perilaku seksual. Pengertian seksualitas adalah integrasi dan perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengukapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Sedangkan seks biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita), atas kegiatan atau aktivitas dari hubungan fisik seks itu sendiri (Ratna, 2002). Pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi dan tujuan seks sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar dan legal. Pendidikan seks dapat dibedakan antara instruksi seks dan pendidikan seks. Intruksi seks ialah menerangkan tentang perubahan seperti pertumbuhan rambut pada ketiak dan mengenai biologi dari reproduksi yaitu proses berkembang biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk di dalamnya pembinaan keluarga dan metode

kontrasepsi dalam mencegah terjadinya kehamilan. Pendidikan seks meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan lainnya yang di butuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individual seksual serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik (Gunarsa, 2004). Sumber pendidikan seks bagi remaja banyak cara remaja memperoleh pendidikan seks baik itu bersifat formal maupun informal. Formal misalnya saja dari sekolah dan sumber informal seperti dari teman sebaya remaja yang merasa nyaman jika mereka berbicara tentang seks atau dari media masa yang diperjualbelikan dan siapa saja dapat membelinya mulai usia anak-anak, remaja dan dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Resminawaty dan Triratnawati (2006), yang mengungkapkan bahwa sumber informasi tentang pendidikan seks dari media elektronik maupun media cetak seperti internet, majalah, televisi, surat kabar, radio, buku dan film akan mempengaruhi remaja dalam tingkah lakunya. Beberapa partisipan memperoleh pendidikan seks dari orangtua akan tetapi orangtua tidak memberikan penjelasan yang terlalu jauh tentang pendidikan seks karena bagi orangtua, itu merupakan hal yang tabu untuk diperbincangkan. Persepsi orang tua terhadap pendidikan seks bagi remaja sangat berpengaruh terhadap perkembangan seksual anak, dimana orang tua atau lingkungan keluarga merupakan landasan dasar dalam membentuk kepribadian anak (Gunarsa, 2004). Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri (Resminawaty dan Triratnawati, 2006). Pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah, peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap pengetahuan dari rumah dan institusi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak tentang seksualitas (Christina, 2007).

37

Manfaat pendidikan seks bagi remaja berdasarkan hasil wawancara pada penelitian ini peneliti menemukan bahwa partisipan memperoleh manfaat dari pendidikan seks yang diberikan. Manfaat pendidikan seks bagi partisipan adalah untuk menambah pengetahuan dan menghindari kecenderungan berperilaku menyimpang. Pendidikan seks merupakan upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis dan psikososial sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan menanamkan nilai moral, etika dan komitmen agama (Thera, 2005). Pendidikan seks berusaha menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks dari pendidikan seks kita dapat memberitahu remaja bahwa seks itu sesuatu yang alamiah dan wajar terjadi pada setiap orang selain itu remaja juga dapat diberitahu mengenai berbagai perilaku seksual berisiko sehingga mereka dapat menghindarinya (Widyastuti, Rahmawati & Purnamaningrum, 2006). Hasil wawancara dari penelitian ini menemukan bahwa hambatan partisipan dalam menerima pendidikan seks adalah beranggapan pendidikan seks itu tabu untuk dibicarakan dan disampaikan pada remaja. Tabu menurut kamus bahasa Indonesia adalah sesuatu yang dilarang yang melanggar peraturan norma. Tabu disebut juga dengan pantangan adalah sesuatu pelanggaran sosial yang kuat terhadap informasi yang kuat terhadap informasi yang akan disampaikan dan sesuai dengan waktu dan tempat penyampainya (Monks, 2004). SIMPULAN DAN SARAN Pengalaman remaja dalam menerima pendidikan seks, meliputi makna pendidikan seks menurut remaja, sumber remaja memperoleh pendidikan seks, manfaat pendidikan seks dan hambatan remaja dalam menerima pendidikan seks. Sebaiknya remaja tidak hanya mendapat pendidikan seks dari orangtua, formal dan informal yang bertanggung jawab dalam pemberian pendidikan seks. Peneliti

merekomendasikan penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang perilaku remaja terhadap pendidikan seks dalam tingkah laku sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Adriezens. (2008). Upaya penanggulangan seks dikalangan remaja. Diakses dari web.http://wwwmahkotas.com. Agus, W. D. (2003). Pertumbuhan dan perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga. Christina, A., (2007). Peran sekolah dalam memberikan penngetahuan kesehatan reproduksi remaja pada siswa. Surabaya: Universitas Airlangga. Gunarsa, H.S. (2004). Sumber pendidikan seks remaja. Jakarta: Bintang Permata. Hurlock, B. E. (2004). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Kozier. (2005). Masa perkembangan remaja. Jakarta: Rineka Cipta. Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Jakarta: Remaja Rosdakarya Monks, J.F., dkk. (2004). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nugraha, D. B. (2002). Apa yang ingin diketahui remaja tentang seks. Jakarta: Bumi Aksara. Nugraha. (2004). Perubahan sosial remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Ratna. (2002). Pendidikan seks dan kegiatan. Jakarta: Bintang Permata. Resminawaty dan Triratnawati. (2006). Pendidikan seks dari orangtua. Jakarta: Rineka Cipta. Thera S. Y. (2005). Pendidikan seks dan perilaku. Jakarta: Erlangga.

38

, (2008b). Tanya jawab kesehatan reproduksi remaja. Diakses http: //v3. Bhawikarsu.net/article shawall. Pada 3 desember 2008. Widyastuti, Rahmawati, Purnamaningrum (2006). Manfaat pendidikan seks bagi remaja. Diakses dari web.http://idshvoong.com.

39

Anda mungkin juga menyukai