Anda di halaman 1dari 7

Mengetahui Pembimbing,

dr. B. P. Putra Suryana, SpPd-KR

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KLINIS DENGAN TINGKAT NYERI PENDERITA OSTEOARTRITIS Amalia Dwi Susanti

ABSTRAK Osteoartritis merupakan penyakit sendi kronik progresif yang memiliki dampak langsung pada kualitas hidup penderitanya akibat rasa nyeri yang menimbulkan disabilitas. Sampai saat ini faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi timbulnya nyeri pada osteoartritis masih belum jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik klinis dengan tingkat nyeri penderita osteoartritis. Studi cross-sectional dilakukan pada 30 pasien osteoarthritis lutut. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium darah. Derajat nyeri dinilai dengan VAS. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara usia dengan tingkat nyeri ( p = 0,001, r = 0,75 ), hubungan yang lemah antara durasi penyakit dengan tingkat nyeri ( p = 0,038, r = 0,438 ), tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, IMT, inflamasi, CRP, dan LED dengan tingkat nyeri ( p > 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah usia dan durasi penyakit berhubungan dengan derajat nyeri penderita osteoartritis. Namun demikian, jenis kelamin, IMT, inflamasi, CRP, dan LED tidak berhubungan dengan derajat nyeri penderita osteoartritis. Kata kunci: osteoartritis, VAS, derajat nyeri, jenis kelamin, usia, durasi penyakit, IMT, inflamasi, CRP, LED

ABSTRACT Osteoarthritis is a chronic progressive disease of joint that diarily impact on quality of life individuals with osteoarthritis pain-related disability. Until now the factors that can influence pain in osteoarthritis are not clearly identified. This research is conducted in order to seek relationship between clinical characteristic and pain degree on individuals with osteoarthritis. A cross-sectional study with purposive sampling conducted in 30 patients with knee osteoarthritis. Subject underwent some assessment including anamnesis, physical assessment, and bloodlaboratory test. The pain degree was assesed by using VAS. The result of this research show that there was a strong significant relation between age and pain degree ( p = 0,001, r = 0,75 ), weak significant relation between disease duration and pain degree ( p = 0,038, r = 0, 438 ), and no significant relations between gender, BMI, inflammation, CRP, ESR, and pain degree ( p > 0,05). The conclusions of this research there were relation between age, disease duration and pain degree individuals with osteoarthritis. In other side, there was no relation between gender, BMI, inflammation, CRP, ESR, and pain degree. Keywords: osteoarthritis, VAS, pain degree, gender, age, disease duration, BMI, inflammation, CRP, ESR

PENDAHULUAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi dan bersifat kronik progesif. OA merupakan penyakit yang mudah ditemukan dalam masyarakat, dan biasanya menyerang mereka yang berusia pertengahan dan lanjut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan OA sebagai salah satu dari empat kondisi muskuloskeletal yang menjadi beban utama bagi individu, sistem kesehatan, maupun sistem perawatan sosial dengan biaya tak langsung cukup besar (Djana, 2005 ; Soeroso dkk., 2006 ). Prevalensi OA cukup tinggi. Di seluruh dunia, diperkirakan 9,6% pria dan 18% wanita berumur 60 tahun atau lebih menderita OA. Di Indonesia, prevalensi OA lutut radiologis mencapai 15,5% pada pria, dan 12,7% pada wanita. Presentasi ini dapat terus meningkat akibat bertambahnya usia harapan hidup, obesitas, dan kebiasaan merokok (Djana, 2005 ; Soeroso dkk., 2006). OA memang bukan penyakit berbahaya, tetapi berdampak langsung pada kualitas hidup penderitanya, akibat memburuknya rasa nyeri sehingga menimbulkan disabilitas. OA memiliki efek negatif yang besar pada aktivitas serta kesehatan mental dan fisik. Bahkan pada 2020, OA ditaksir menjadi penyebab utama keempat disabilitas dunia. Juga diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA (Djana, 2005 ; Soeroso dkk., 2006). Pada masa yang akan datang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyak populasi lansia. Menurut data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), jumlah lansia mencapai sekitar 15 juta orang (7,28% dari total populasi), dan meningkat menjadi hampir 18 juta orang (7,97%) pada tahun 2005. Pada tahun 2000 lalu, Indonesia merupakan negara urutan ke-4 dengan jumlah lansia paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat ( Djana, 2005). Nyeri merupakan keluhan utama yang menyebabkan penderita OA datang kepada pelayanan medis. Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri pada penyakit OA bersifat multifaktorial, diantaranya karakteristik klinis penyakit OA seperti inflamasi yang timbul saat flare up dapat menurunkan nilai ambang nyeri. Kelebihan berat badan yang mungkin dapat meningkatkan tekanan dalam celah sendi sehingga meningkatkan nyeri. Lamanya penyakit, usia, perbedaan jenis kelamin yang secara psikologis dapat mempengaruhi kemampuan koping terhadap nyeri. Oleh karena itu penting difahami, bahwa walaupun saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan OA, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya, memperbaiki mobilitas, dan meningkatkan kwalitas hidup. Itulah sebabnya, diperlukan informasi selengkaplengkapnya tentang apa saja yang mempengaruhi timbulnya nyeri dan progesifitasnya, sehingga terapi untuk mengurangi nyeri lebih optimal, dengan sesedikit mungkin efek samping yang merugikan (Wolf, et all, 1999; Bartlett, 2007; Nasution dan Sumariyono, 2006). Penelitian kali ini akan mempelajari tentang hubungan antara karakteristik klinis dengan tingkat nyeri penderita OA. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik yaitu penelitian yang menganalisa data deskriptif dengan menggunakan metode statistik. Menggunakan pendekatan cross-sectional . Penelitian ini melibatkan 30 pasien dengan osteoartritis lutut. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium darah, kemudian derajat nyeri dinilai dengan VAS. Analisa data menggunakan SPSS 12.00 for Windows dengan teknik korelasi koefisien kontingensi lambda dan Spearman rho.

HASIL DAN ANALISA Tabel 1 Karakteristik Responden


Karakteristik Jenis Pendidikan * Tidak sekolah * SD dan yang sederajat * SLTP dan yang sederajat * SLTA dan yang sederajat * Perguruan Tinggi Jenis pekerjaan * Petani * Pedagang * Karyawan/PNS * TNI * Ibu Rumah Tangga Riwayat trauma pada sendi lutut * Tidak ada * Ada Riwayat keluarga dengan penyakit serupa * Tidak ada * Ada Sendi Lutut yang Terkena * Unilateral * Bilateral Pola Terapi * NSAID * NSAID + Paracetamol * NSAID + Tramadaol * NSAID + Glukosamin oral 30 5 3 21 100 17 10 70 7 23 23 77 25 5 83 17 23 7 77 23 0 2 11 1 16 0 7 37 3 53 1 9 7 6 7 3 30 23 20 23 Frekuensi (N) Prosentase(%)

Jenis kelamin * Pria * Wanita Usia * 45-53 tahun * 54-63 tahun * 64-73 tahun 74 tahun

8 22

27 73

4 12 9 5

13 40 30 17

Durasi Penyakit * 1 tahun * > 1 tahun IMT * Normal * Lebih berat badan tingkat ringan * Lebih berat badan tingkat berat

13 17 10 7 13

43 57 33 23 43

Adanya Inflamasi * Tidak ada * Ada Kadar CRP * <0,3 mg/dl * 0,3-0,99 mg/dl * 1-10 mg/dl LED * Pria <10 mm/jam 10 mm/jam * Wanita <15 mm/jam 15 mm/jam VAS * <4 * 4,00 - 7,00 *>7

11 19 16 11 3 1 7 2 20 3 13 14

37 63 53 37 10 3 23 7 67 10 43 47

Hampir setengah responden berpendidikan SD dan sederajat (30 %). Sebagian besar memiliki profesi sebagai ibu rumah tangga (53 %). Hampir seluruhnya tidak memiliki riwayat trauma pada sendi lutut (77), riwayat keluarga dengan penyakit serupa (83 %), dan menderita osteoarthritis pada sendi lutut bilateral ( 77 %). Sebagian besar pasien osteoartritis wanita (73%), berusia antara 54-73 tahun (70 %), mengalami kelebihan berat badan baik berat (44%) maupun ringan (23 %), menderita osteoartritis lebih dari satu tahun (57 %), ditemukan adanya tanda inflamasi (63 %), dan memiliki kadar CRP-kuantitatif dalam batas normal (53 %). Mayoritas responden baik pria ( 23 %) maupun wanita (67 %) mengalami peningkatan pada hasil pengukuran LED. Hampir separuh responden dengan nyeri berderajat berat (skala >7, 47 %). Tabel 2 Karakteristik Hasil Pemeriksaan Laboratorium Responden
Mean SD HB Pria Wanita Kolesterol HDL LDL TG Asam Urat Calsium Serum Fosfor Serum CRP LED Pria Wanita 12,69 0,63 g/dl 12 0 g/dl 219 7 mg/dl 57 5 mg/dl 150 6 mg/dl 143 12 mg/dl 5,7 0,4 mg/dl 8,94 0,3 mg/dl 3,63 0,2 mg/dl 0,44 0,11 mg/dl 29 8 mm/h 41 4,5 mm/h Nilai Normal 13 18 g/dl 12-16 g/dl 130 220 mg/dl > 50 mg/dl < 150 mg/dl 34 -143 mg/dl 2 6 mg/dl 7,6 11,0 mg/dl 2,5 7,0 mg/dl < 0,3 mg/dl < 10 mm/h < 15 mm/h

Hasil laboratorium menunjukkan bahwa rata-rata nilai HB, asam urat, calsium serum, fosfor serum pada responden dalam batas normal. Rata-rata profil lipid responden yang meliputi kolesterol , LDL dan TG normal sampai peningkatan ringan, HDL normal. Pada pemeriksaan CRP didapati rata-rata responden mengalami peningkatan ringan, sedangkan pada pemeriksaan LED baik pada responden pria maupun wanita menunjukkan peningkatan signifikan.

Tabel 3 Hasil Analisa Korelasi Karakteristik Klinis dengan Tingkat Nyeri VAS p Jenis kelamin Usia Durasi penyakit IMT Inflamasi CRP LED 0,246 0,001 0,038 0,341 0,309 0,159 0,194 r 0,188 0,750 0,438 0,180 0,188 0,264 0,250

Karakteristik Klinis

Dari hasil analisa korelasi didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan korelasi yang kuat antara usia dengan tingkat nyeri ( p=0,001, r=0,75). Terdapat hubungan yang signifikan dengan korelasi yang lemah antara durasi penyakit dengan tingkat nyeri ( p=0,038, r=0,438). PEMBAHASAN Hasil analisa korelasi variabel jenis kelamin dan tingkat nyeri penderita menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,246) dan korelasi yang lemah (r = 0,188). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Paradowski, dkk (2006) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perubahan derajat nyeri dan fungsi. Namun dalam studi yang dilakukan Filippis, et all (2004) pada pasien OA di Itali Selatan mendapatkan hasil bahwa wanita berhubungan dengan nyeri badan, fungsi fisik, dan sosial yang lebih parah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Paradowski, et all (2006) hormon seks memiliki peranan dalam meningkatkan persepsi nyeri pada wanita dibandingkan dengan pria. Hasil studinya menunjukkan bahwa gejala nyeri yang memburuk secara dramatis terlihat pada wanita dengan rentang usia yang lebih tua hal ini mungkin berhubungan dengan kejadian menopouse. Hilangnya estrogen pada wanita menopouse seringkali menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis yang bermakna pada fungsi tubuh termasuk gelisah, letih, dan ansietas ( Guyton,1997). Pada studi yang dilakukan Keefe (1998) dilaporkan bahwa 40 % wanita menderita nyeri OA yang lebih parah. Tetapi wanita memiliki mekanisme koping yang lebih baik. Mereka lebih banyak membicarakan tentang penyakitnya pada orang lain, mencari pengalihan perhatian, dan dukungan spiritual. Dengan upaya koping ini dia menyebutnya membayar lunas hari-hari setelah mengalami nyeri OA yang parah. Sehingga wanita memiliki lebih sedikit suasana hati yang buruk daripada pria. Halhal yang diuraikan sebelumnya yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian. Mungkin ada responden yang berhasil dengan mekanisme koping mereka ada yang tidak. Ada juga pasien yang sudah menopouse atau belum. Dengan berbagai variasi di atas dapat menimbulkan variasi pula pada persepsi nyeri sehingga saat dihubungkan menjadi tidak signifikan. Ditambah pada penelitian ini jumlah responden pria jauh lebih sedikit (27 %) sehingga kurang mewakili persepsi nyeri dari pria.

Hasil analisa korelasi variabel usia dan tingkat nyeri penderita menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,001) dan korelasi yang kuat (r = 0,75). Hal ini sesuai dengan Thumboo, et all (2002) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri dan fungsional pada pasien orang Asia menunjukkan bahwa nyeri yang lebih ringan berhubungan dengan usia yang lebih muda. Menurut Paradowski, dkk (2006) adanya hubungan ini mungkin merefleksikan perkembangan fase dari OA dan berhubungan dengan peningkatan laporan tentang diasbilitas lutut pada populasi pada usia pertengahan. Selain itu, kemungkinan pada responden pada usia yang lebih tua memiliki durasi penyakit yang lebih lama. Hasil analisa korelasi variabel durasi penyakit dan tingkat nyeri penderita menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,038) . Hal ini berarti semakin lama seseorang menderita OA maka ada kemungkinan derajat nyeri yang dirasakan juga semakin berat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Thumboo, et all (2002) bahwa nyeri yang lebih sedikit berhubungan dengan durasi penyakit yang lebih singkat. Walaupun demikian antara durasi penyakit dengan tingkat nyeri memiliki korelasi yang lemah (r = 0,438) hal ini menunjukkan bahwa ada sekitar 56, 2 % faktor lain yang mungkin turut mempengaruhi. Hal ini memungkinkan karena faktor psikologi akan sangat mempengaruhi nyeri, dan hal ini berbeda antara tiap orang. Setiap orang memiliki toleransi nyeri yang berbeda-beda (Setiyohadi, dkk., 2006). Hasil analisa korelasi variabel IMT dan tingkat nyeri penderita menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,341) dan korelasi yang lemah (r = 0,180). Menurut hasil penelitian Paradowski, et all (2006) sebelum data diatur berdasarkan usia, jenis kelamin dan IMT, obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan perubahan klinis yang relevan pada nyeri dan fungsi lutut setelah dua tahun, namun setelah diatur dengan kategori tersebut didapatkan bahwa korelasi antara keduanya tidak signifikan. Paradowski, et all (2005) juga menyatakan bahwa menurut The Bristol OA 500 study IMT tidak mempengaruhi variasi perubahan nyeri, indeks sendi, dan kondisi klinis secara global setelah 8 tahun. Dari sini dapat kita ketahui bahwa korelasi antara IMT dengan tingkat nyeri masih belum jelas. Hasil analisa korelasi variabel adanya inflamasi dan tingkat nyeri penderita menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,309) dan korelasi yang lemah (r = 0,188). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wolf, et all (1999) yang menyatakan bahwa setelah terjadi inflamasi nilai ambang nyeri dari nosiseptor menurun sehingga stimulus dengan intensitas yang lebih kecil dapat mengaktivasi reseptor. Sensitisasi perifer ini adalah hasil dari perubahan molekul kanal transduksi dan kanal natrium pada ujung syaraf. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bonnet and Walsh (2004) proses inflamasi pada OA bisa akut, kronik, atau muncul sebagai acute-flares selama inflamasi kronik yang berderajat rendah. Pada kondisi seperti ini terjadi proses angiogenesis yang memediasi perubahan dari kartilago sendi yang tidak memilki syaraf menjadi adanya pertumbuhan syaraf baru pada kartilago yang diekspose oleh kerusakan dan inflamasi. Syaraf-syaraf baru ini kemudian diaktivasi oleh adanya tekanan yang besar, hipoksia, atau asidosis antara kartilago sendi. Hal ini diduga dapat mendukung adanya nyeri yang persisten, walaupun setelah inflamasi berkurang. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa inflamasi bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan timbulnya nyeri pada penderita OA. Hasil analisa korelasi antara kadar CRP dan tingkat nyeri penderita menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan ( p = 0,159) dan korelasi yang lemah (r = 0,264). Hal ini sesuai dengan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Duke University Medical Center researcher (2004) bahwa CRP protein yang dilepaskan ke dalam darah sebagai hasil dari inflamasi tidak dapat menjadi alat prediksi yang akurat untuk penyakit kronis seperti OA. Petanda inflamasi lain yaitu LED pada analisa korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat nyeri ( p = 0,194) dan korelasi yang lemah (r = 0,250). Hal ini dapat

dijelaskan dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi peningkatan laju endap darah selain adanya inflamasi seperti ada kerusakan jaringan lain, hiperkolesterolemia, kegemukan, usia, suhu ruangan yang tinggi (Sutton, 2003). Selain itu inflamasi bukanlan satu-satunya faktor yang menimbulkan nyeri seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. KESIMPULAN Karakteristik klinis penderita OA adalah sebagian besar wanita, yang berusia antara 54 -73 tahun dengan durasi penyakit lebih dari satu tahun. Berdasarkan indeks masa tubuh didapatkan sebagian besar penderita OA mengalami kelebihan berat badan tingkat ringan sampai berat. Tanda-tanda inflamasi ditemukan pada sebagian besar penderita OA, dengan kadar CRP normal dan LED yang meningkat. Karakteristik klinis yang memiliki hubungan signifikan dengan tingkat nyeri adalah usia dengan korelasi kuat ( p = 0,001 ; r = 0,75 ) dan durasi penyakit dengan korelasi lemah ( p = 0,038 ; r = 0,438 ). Sementara itu, karakteristik yang lain yaitu jenis kelamin, indeks masa tubuh (IMT), adanya tanda-tanda inflamasi, kadar Creactive protein (CRP), dan laju endap darah (LED) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat nyeri ( p > 0,05).

Anda mungkin juga menyukai