Anda di halaman 1dari 7

TUGAS DPKP Analisis Studi Kasus Kampung Ngata Toro dan Kampung Naga

Oleh Ahmad Tafrizi 11/318054/PN/12376 Teknologi Hasil Perikanan

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

KASUS NGATA TORO Di Indonesia banyak sekali sebuah desa yang berada didalam sebuah kawasan Taman Nasional. Tidak sedikit keberadaan mereka dianggap sebagai sebuah permasalahan yang akan mengancam keberadaan sebuah kawasan konservasi. Pernyataan seperti itu tidak semuanya benar. Masih ada masyarakat-masyarakat adat yang masih memegang teguh aturan-aturan adatnya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kampung mereka. Masyarakat adat Toro adalah salah satu masyarakat yang memiliki aturan adat seperti yang saya sebutkan diatas. Pada tanggal 19-24 September 2010 saya berkesempatan mengunjungi kampung ini. Perjalanan ke kampung ini memerlukan waktu sekitar 3 jam dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Toro adalah nama sebuah desa (Ngata) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu. Secara administratif, desa ini berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Luas wilayah desa ini sekitar 22.950 ha. Desa ini dikelilingi oleh pegunungan yang sebagian besar adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Selama saya tinggal disana saya bisa merasakan betapa damainya tinggal di kampung ini. Hamparan padi yang menguning terbentang luas dibelakang rumah-rumah mereka. Disaat pagi, kabut masih menyelimuti kampung sehingga gunung-gunung yang ada disekeliling kampung tidak terlihat. Masyarakat Adat Toro percaya bahwa mereka dari generasi ke generasi sudah melindungi alam dan sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah mereka bikin melalui aturan adat. Mereka masih yakin dan percaya dengan aturan-aturan adat peninggalan nenek moyang mereka. Aturan-aturan adat ini sampai dengan sekarang masih menjadi acuan hidup seluruh masyarakat adat disana. Seluruh aktivitas kemasyarakatan dan pranata sosial budaya, termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, berporos pada pandangan budaya mengenai dua nilai utama, yaitu hintuwu dan katuwua. Hintuwu adalah nilai ideal dalam relasi antar sesama manusia yang dilandaskan atas prinsip prinsip penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan katuwua adalah nilai ideal dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya yang dilandasi oleh sikap kearifan dan keselarasan dengan alam. Dalam kepemilikan lahan, masyarakat adat Toro mengenal enam tata guna lahan secara tradisional. Pertama, Wana Ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Meskipun zona ini tidak dijamah aktivitas manusia, kawasan ini dianggap sebagai sumber udara segar, sehingga kedudukannya sangat penting. Hak kepemilikan individu tidak diakui di zona ini. Kedua, Wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan serta rotan. Seluruh sumberdaya alam di zona ini dikuasai secara kolektif sebagai bagian dari ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat. Kepemilikan pribadi di

dalam zona ini hanya berlaku pada pohon damar yang biasanya diberikan kepada orang yang pertama mengambil atau mengolah getah damar itu. Ketiga, Pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Zona ini biasanya dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan. Zona pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bagunan dan keperluan tumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Keempat, Pahawa Pongko, yaitu campuran hutan semi-primer dan sekunder, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas sehingga kondisinya sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona ini biasanya besar-besar. Seperti halnya pangale, zona ini tidak mengenal hak kepemilikan pribadi kecuali pohon damar yang ada didalamnya. Kelima, Oma, yaitu hutan belukar yang berbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Di zona inilah hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui. Keenam, Balingkea, yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasanya masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe dan sayuran. Lahan ini sudah termasuk hak kepemilikan pribadi. Di zona inilah biasanya masyarakat adat Toro bertani sawah. Selain adanya pembagian-pembagian wilayah hutan dan lahan. Masyarakat adat Toro juga memiliki aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-aturan adat ini mencakupi aturan dalam kehidupan sehari-hari, aturan pembukaan lahan dan hutan, pengambilan kayu dan kasuskasus pencurian. Jika ada yang melakukan penebangan kayu tanpa izin lembaga adat maka akan dikenakan denda adat yaitu Hampole hangu , yaitu berupa 1 ekor kerbau, 10 dulang dan 1 lembar mbesa. Saat ini juga sedang berlaku aturan adat untuk tidak mengambil rotan (untuk dijual) selama satu tahun, atau istilah adatnya di Ombo. Aturan ini dikeluarkan oleh lembaga adat karena melihat ketersediaan rotan di dalam hutan sudah semakin berkurang. Melihat dari sejarah dan perilaku masyarakat adat Toro dalam menjalani kehidupan di kampungnya, tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Taman Nasional untuk tidak mengakui kearifan mereka dan juga peranan mereka dalam sebuah upaya konservasi. Pola pikir yang sederhana dari mereka janganlah dibuat rumit dengan aturan-aturan yang berlaku diskala nasional ataupun internasional. Membenturkan kearifan lokal mereka dengan kemodernan yang ada terkadang akan membuat adat istiadat yang mereka pegang selama ini akan pudar. Kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan bergantinya Kepala Balai Taman Nasioanl Lore Lindu menunjukkan tidak konsistennya para pejabat dan tidak ada koordinasi yang baik antara pejabat yang lama dengan pejabat yang baru. Kebijakan dibuat semau-maunya dan seperti ingin menunjukkan eksistensi si pejabat tersebut yang justru bisa berdampak negatif bagi masyarakat adat

KASUS KAMPUNG NAGA Kampung Naga secara administratif berada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Wilayah sebelah barat dibatasi hutan keramat, sebelah selatan dibatasi oleh sawah penduduk, serta sebelah timur dan utara dibatasi oleh sungai ciwulun yang berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga. Masyarakat kampung naga terbuka dan menerima inovasi teknologi baru sepanjang tidak mengubah tatanan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dan teknologi baru tersebut memberikan nilai positif serta menguntungkan. Bidang Pertanian Inovasi dibidang pertanian yang dapat diterima oleh masyarakat kampung naga antara lain: (1) masyarakat kampung naga telah mengetahui bahwa penggunaan pupuk (anorganik dan organic) dapat meningkatkan hasil/produksi tanaman. Tetapi tidak semua masyarakat menggunakan pupuk anorganik dengan alasan sulit untuk membawa pupuk anorganik ke lokasi pertanaman serta sebagian besar masyarakat menganggap penggunaan pupuk anorganik dapat merusak lingkungan. (2) Masyarakat mengetahui bahwa penggunaan mesin perontok dan penggiling padi (RMU) akan lebih cepat jika dibandingkan dengan cara tradisional. Namun alat tersebut tidak mereka gunakan karena dengan menggunakan lesung, penyusutan hasil lebih sedikit dan rasa nasi lebih enak jika dibandingkan dengan mengunakan RMU. Pada perayaan-perayaan yang dilakukan di kampung naga yang membutuhkan beras dalam jumlah banyak, mereka menggunakan mesin penggiling yang dilakukan di luar kampung. (3) Sistem pemeliharaan kambing secara intensif telah dilakukan oleh masyarakat kampung naga. Dengan pemeliharaan intensif (dikandang), kotoran ternak akan terkumpul pada akhirnya digunakan sebagai sumber pupuk organik. Bidang Informasi Inovasi dibidang informasi yang dapat diterima oleh masyarakat kampung naga adalah pemanfaatan media elektronik seperti TV dan radio sebagai sumber informasi, walaupun penggunaan TV terbatas pada TV hitam putih. Untuk mempermudah mereka berkomunikasi maka oleh sebagian orang juga menggunakan telepon seluler (HP) sebagai satu-satunya alat komunikasi yang bisa dimanfaatkan didaerah setempat.

Mekanisme Penyerapan/penolakan Inovasi Letak Kampung Naga yang tidak jauh dari kampung lain di Tasikmalaya menyebabkan masyarakat kampung naga dengan mudah keluar kampung untuk mencari sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan pengetahuan tentang teknologi baru dapat dengan mudah diperoleh. Selain itu, pengetahuan khususnya dibidang pertanian juga mereka peroleh dari penyuluh pertanian yang melakukan kunjungan ke lokasi. Untuk penyuluhan dengan mengumpulkan orang banyak dilakukan diluar kampung naga. Masyarakat Kampung Naga sangat taat menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka. Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya, masyarakat kampung naga tidak menolak inovasi yang ada dengan syarat bahwa inovasi tersebut tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Serta tidak ada pemaksaan dalam penerapan inovasi itu sendiri. Dalam hal ini, walaupun masyarakat menerima media elektronik sebagai sumber informasi tetapi jenis dan tipe media sangat ditentukan. Sebagai contoh TV yang diperolehkan hanya TV hitam putih dengan alasan: 1. Harga TV hitam putih terjangkau oleh semua masyarakat kampung naga. 2. Harga TV hitam putih relative sama tidak seperti TV berwarna yang bervariasi baik tipe dan harganya. Hal tersebut dapat menimbulkan kecemburuan social yang pada akhirnya merusak kehidupan masyarakat. Masyarakat kampung naga sangat tergantung pada lingkungannya sehingga mereka percaya bahwa dengan menjaga kelestarian lingkungan akan menjaga kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan hal tersebut, inovasi yang diterima oleh masyarakat harus dapat menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini menyebabkan beberapa inovasi ditolak, sebagai contoh: (1) Penggunaan traktor, RMU atau penggiling padi, menurut masyarakat dapat menimbulkan polusi udara dan kebisingan. (2) Listrik di Kampung Naga tidak ada untuk penerangan mereka menggunakan lampu teplok yang digantung di dinding. Penggunaan alat seperti televisi yang dihidupkan dengan aki dan radio menggunakan batterai. Alasan mereka tidak menggunakan Listrik karena dikhawatirkan apabila terjadi kebakaran disalah satu rumah maka dapat merembet ke tempat lain dengan cepat karena bahan bangunan yang terbuat dari bambu dan atap ijuk. Disamping itu dengan adanya listrik, warga yang mampu cenderung untuk memiliki perlengkapan rumah tangga yang lebih sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat. (3) Irigasi sebagai sarana pengairan untuk tanaman padi diterima karena mereka mengetahui bahwa padi sangat bergantung pada air, dengan air yang cukup hasil yang diperoleh juga akan lebih baik. Disamping itu dibangun tembok penahan air sepanjang aliran sungai. (4) Teknik pembuatan kerajinan tangan tersebut sudah ada dari dulu secara turun temurun,

akan tetapi perlu diberikan pelatihan dalam rangka perbaikan mutu hasil produk sehingga dapat bersaing dipasaran. Dalam pelatihan diberikan pengetahuan baru berupa cara/teknik pembuatan kerajinan tangan dan pembuatan kripik kulit ubi. Masyarakat Kampung Naga sudah terbiasa mengkonsumsi ubi sebagai makanan selingan, namun sebelum adanya teknologi tersebut, kulit ubi tergolong limbah dan tidak termanfaatkan. Setelah diketahui teknologinya, kulit ubi sudah menjadi salah satu bahan penganeka-ragaman pangan lokal. Proses pengadopsian teknologi tersebut oleh masyarakat dinilai sesuai dan tidak dikhawatirkan akan merubah nilai-nilai posistif dalam sistem sosial. Mekanisme Pelestarian Pengetahuan Lokal Untuk melestarikan pengetahuan atau norma nilai yang ada mereka mengacu pada prinsip amanah, wasiat dan akibat. Amanah yang berati bahwa apa yang diwariskan/diamanahkan turunan terdahulu harus ditaati sebagai suatu wasiat karena apabila tidak maka yang melanggar akan mendapat akibat dari perbuatannya dalam bentuk hukuman adat maupun hal-hal lain yang dapat terjadi tanpa diduga sebelumnya. Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah. Dalam mengatur kehidupan masyarakat terdapat dua lembaga yaitu lembaga formal dan non formal. Lembaga formal yaitu Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) memiliki fungsi pengaturan yang berhubungan dengan pengaturan kehidupan berwarga Negara Indonesia, ketua RT yaitu Bapak Risman dan ketua RW yaitu Bapak Okin. Sedangkan lembaga non formal yaitu kuncen yang merupakan pemangku adat yaitu Bapak Ade Suherlin, punduh yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku dan pekerjaan (bangunan, masjid, saluran air) yaitu Bapak Maun, serta Lebe yang mengurus jenazah dari awal sampai akhir yaitu Bapak Ateng. Dengan adanya kedua lembaga tersebut, kehidupan dan norma yang ada dalam masyarakat kampung naga dapat terjaga. Good Practices Meskipun inovasi dari luar sistem sosial relatif terbatas yang diadopsi, namun dalam memenuhi kebutuhannya masyarakat juga melakukan inovasi dalam bentuk prakter-praktek yang dinilai baik (good practices) sebagai hasil belajar sesama petani, dan alam lingkungannya diantaranya : (1)Model kandang kambing yang berbentuk panggung dan terdapat tempat pakan, mempermudah petani dalam mengumpulkan kotoran kambing yang kemudian dicampur dengan bahan organik lainnya (daun-daunan, sampah, batang pisang, gabah, abu tungku dll) selama 6 bulan, selanjutnya dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman padi atau kebun; (2) Pelestarian benih padi dengan cara melakukan seleksi mulai padi yang baik untuk dijadikan

benih (pengetahuan turun-temurun) berdasarkan kriteria tertentu. Jenis varietas yang diseleksi adalah lokal putih (locan, sari kuning dan jaulang) dan lokal merah (gantan dan cerai); (3) Tempat penumbuk padi yang terletak di atas kolam, menunjukkan bahwa kehilangan hasil akibat proses penumbukan padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan. (4) Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik dilakukan dengan cara meletakkan batang padi setelah panen dilahan agar terjadi pembusukan (dekomposisi); (5) Pemanfaatan daun albasia (sengon), daun bambu atau singkong kupas bakar, sebagai obat pada ternak kambing yang menceret (diare). Daun pinang sebagai obat pada ternak kambing yang menderita penyakit kudis. Sari buah pinang sebagai obat pada ternak kambing dan ayam yang menderita penyakit cacingan. (6) Penggunaan anyaman sasah (tembus pandang) dibelakang tungkuh dapur yang bertujuan mengontrol terjadinya bahaya kebakaran, dan sebagai ventilasi. (7) Pemanfaatan daun bambu sebagai pakan ternak kambing. Selain batangnya sebagai bahan baku kerajinan, daunnya juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak. (8) Sampah terlebih dahulu dibakar untuk mengurangi pencemaran air. Dari uraian diatas terlihat bahwa, masyarakat kampung naga sangat memegang teguh adat istiadat. Setiap larangan harus ditaati dan jika dilanggar maka adat yang akan mengambil tindakan. Manfaat dari setiap aturan tidak lain adalah untuk kepentingan masyarakat. Larangan adanya tempat-tempat tertentu yang tidak boleh dijamah oleh manusia yang dikatakan Pamali tersebut adalah hutan yang letaknya dibelakang pemukiman dan diseberang sungai serta daerah sekitar air terjun yang ada didekat perkampungan. Nilai/norma tersebut ternyata sangat bermanfaat karena dengan adanya larangan tersebut maka kelestarian hutan pada tempattempat yang dilarang tetap terjaga. Adanya larangan untuk memasuki hutan tersebut baik pendatang maupun penduduk kampung naga (kecuali pemangku adat), bila ditinjau dari aspek pelestarian hutan kemungkinan dimaksudkan agar tanaman yang ada tidak ditebang yang dapat menyebabkan hutan gundul dan mempermudah terjadi erosi dan banjir besar yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan terutama perkampungan mereka.

Anda mungkin juga menyukai