Anda di halaman 1dari 6

PULO GAYO DI PULO PUEP

Satu lagi bekas purba kala di Kabupaten Pidie Jaya menurut


catatan H M Zainuddin ada di Gampong Pulo Puep, sekitar dua
sampai tiga kilomter arah utara pasar Luengputu.

Di gampong itu juga ditemukan kuburan dengan batu nisan yang sama
seperti ditemukan di makam raja raja Pasai dan makan di Keulibeut.
Kuburan itu ditemukan di sebuah tempat yang dinamai Pulo Gayo. Pada
tahun 1939 H M Zainuddin pernah melakukan penelitian lansung ke
tempat itu. Ia mengaku penasaran mengapa tempat itu dinamai Pulo
Gayo sementara umumnya orang mengetahuyi Gayo itu berada di Aceh
bagian tengah.

Dari pedududuk di Pulo Puep H M Zainuddin memperoleh informasi
bahwa dahulu kala di daerah itu hanya ada beberapa gampong
diantaranya: Pulo Piuep, Pulo Pisang dan Pulo Angkoi di dekat Kuala Putu
(Luengputu) yang menyatu dengan Kuala Ndjong. Suatu waktu seorang
raja dari Gayo datang ke daerah itu untuk menghadap raja Ndjong. Tapi
sampai di kuala itu ia sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Ia
dikuburkan di sana.

Beberapa tahun kemudian ahli waris Raja Gayo itu datang berziarah.
Kuburan itu diperbaiki dan dipasang batu nisan yang berukir dengan
huruf arab yang artinya Di sini ada kuburan Raja Gayo. Setelah itulah
daerah di kuburan itu dinamai Pulo Gayo.

Ketika meneliti keberadaan kuburan tersebut, H M Zainuddin menemukan
potongan-potongan batu nisan yang sudah runtuh dan jatuh ke dalam
sebuah sungai kecil (alue). Dua potongan nisan itu diambil oleh H M
Zainuddin. Ia merekam tulisan di potongan nisan tersebut dengan
menggunakan karbon.

Dari penduduk Pulo Pueb H M Zainuddin juga memperoleh kabar bahwa
tidak jauh dari Pulo Gayo itu nelayan di sana sering menemukan rantai
suah kapal dan papan bekas perahu zaman dahulu. H M Zainuddin pun
kemudian melanjutkan penelitiannya ke sana. Kesimpulannya, daerah itu
merupakan salah satu daerah pelabuhan penting zaman dahulu di
Kerajaan Pedir, malah jauh sebelum kerajaan itu terbentuk, yakni pada
masa Pedir masih bernama Kerajaan Sama Indra.

Meski demikian, H M Zainuddin tidak bisa memastikan bagaimana bentuk
dan susunan pemerintahan di kerajaan tersebut. Hanya saja ketika
Kerjaan Aceh Darussalam telah terbentuk dan Pedir menjadi bagian
federasi di dalamnya, diketahui bahwa Pedir yang saat itu sudah
dipanggil dengan sebutan Pidie diperintahkan oleh banyak uleebalang di
berbagai wilayahnya.

Para uleebalang itu bergelar meuntroe, panglima, imum, keujruen dan
bentara, seperti: Meuntroe Banggalang, Meuntroe Garot, Bentara Rubee,
Imum Peutawoe Andeue, Meuntroe Gampong Are, bentara Po Puteh
Mukim VIII, Imum Lhokkadju, Meuntroe Metarem (Metareuem),
Meuntroe Krueng Seumideum, Bentara Pinueng, Bentara Gigieng,
Bentara Blang Ratnawangsa, panglima Meugeu, Bentara Keumangan,
Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Bentara Blang
Gapu (Ie Lubeu), Bentara Gampong Asan, Bentara Ndjong, Bentara Putu,
Bentara Alue, Keujruen Aron, Keujruen Pencalang Rimba Truseb, Bentara
Djumbo, Bentara Titue, Bentara Keumala, Kejrueng Panteraja, Kejrueng
Peurambat Pangwa, dan Keujrueng Chik Meureudu.

Para uleebalang tersebut memerintah sendiri negerinya yang langsung
berhubungan dengan Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan
beberapa uleebalang diangkat oleh raja Kerajaan Aceh Darussalam pada
masa diperintah oleh Sulthan Iskandar Muda. Mereka yang diangkat
langsung oleh Sulthan Iskandar Muda merupakan para uleebalang baru
untuk memimpin daerah yang baru dibuka waktu itu, seperti: Bentara
Pineung, Bentara Gigieng, Panglima Meugeu, Imuem Peutawoe Andeue
dan Ilot, Bentara Cumbo, Bentara Titue dan Bentara Keumala.

Daerah itu dibuka oleh Sulthan Iskandar Muda untuk memperluas
persawahan dan mengatur irigasi. Air dari Keulama dialirkan hingga ke
persawahan melalui sungai kecil (lueng) ke setiap wilayah pertanian
seperti Rubee, Iboh (Lueng Bintang), Ie Lubeu (Lueng Djaman), Mangki
(Lueng Busu/Lueng Rambayan). Air dari Keumala itu juag ditersukan ke
Lueng Alue Batee, Glumoang Payong, Unoe (Lueng Glumpang
Minyeuk/Lueng Trueng Campli), Ndjong dan Lancok (Lueng Putu).

Semua jalur irigasi (lueng) itu digali secara bersama-sama oleh rakyat
atas perintah Sulthan Iskandar Muda. Karena itulah negeri-negeri di Pidie
dan Meureudu waktu itu kaya dengan berbagai hasil pertanian dan
perkebunan. Malah pada zaman Sulthan Iskandar Mudan, negeri
Meureudu dijadikan sebagai daerah lumbung pangan bagi Kerajaan Aceh
Darussalam.

Pembangunan irigasi ke sawah-sawah di semua daerah itu juga
melibatkan ulama-ulama setempat, seperti Tgk Di Waido (Lueng Bintang)
atau sering disebut Tgk Di Pasi, kemduian Tgk Treung Campi di
Glumpang Minyek yang membuka irigasi ke blang raya Glumpang
Payong. Tgk Rubiah (Rubieh) di Meureudu dan beberapa tempat lainnya.
Sampai sekarang para petani sebelum turun ke sawah melakukan
khanduri blang di makam ulama-ulama tersebut.

Bentara Luengputu Diserang
Pada masa kerajaan Aceh Darusalam diperintah oleh Sulthan Alauddin
Mahmud Syah (1767 1787) terjadi kekacaun di berbagai dearah akibat
perang saudara. Uleebalang yang satu menyerang wilayah uleebalang
lainnya untuk memperluas daerah kekuasaan dan menguasai
perkebunan. Untuk menghadapi hal tersebut, dibentuklah dua federasi
uleebang di Pidie, yakni federasi uleebalang duablah (12) dan federasi
uleebang nam (6).

Federasi uleebalang duablah meliputi Teuku Raja Pakeh, Teuku Bentara
Ribee, Meuntroe Banggalang, Teuku Bentara Blang, Bentara Tjumbo,
Bentara Titue di bagian barat yang dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh.
Kemudian di bagian timur Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang
Payong, Keujrueun Aron, Keujruen Truseb, Bentara Ndjong, Bentara
Putu, Bentara Gampong Asan yang dipimpin oleh Meuntroe Adan yang
bergelar Meuntroe Polem kemudian menjadi Lakasama Polem.

Sementara federasi uleebalang nam terdiri dari: Bentara Keumangan
(Panghulee Peunareu), Bentara Sama Indra (Mukim VIII), Bentara
Pineung, Bentara Keumala, Panglima Meugeu, dan Bentara Gigieng.
Federasi ini dipimpin oleh Bantara Keumangan.

Laksamana Polem kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Teuku
Muhammad Hussain dengan anak Teuku Bentara Ndjong. Ketika Teuku
Bentara Ndjong meninggal ia tidak memiliki anak laki-laki, maka
diangkatlah menantunya itu sebagai penggantinya oleh masyarakat
setempat.

Kemudian Teuku Muhammad Hussain menikah lagi dengan anaknya
Teuku Bentara Gampong Asan, karena perkawinan itu pula Gampong
Asan berhasil dipengaruhinya. Dari sana ia menunaikan haji ke Mekkah.
Sepulangnya dari Mekkah ternyata Laksamana Polem ayahnya sudah
meninggal, maka diangkatlah dia menjadi laksamana dengan gelar
Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain.

Laksamana Hussain sangat giat membangun perkebunan lada. Pada
masa itu Bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka sudah dibuka oleh
Raffles, maka Laksamana Hussain berangkat ke sana bersama
rombongannya untuk misi dagang.

Pulang dari sana, ia memperluas perkebunan, uyntuk tujuan itu maka
Bentara Putu diserang. Ia ingin mengambil dan menguasai perkebunan di
perbukitan Paru, Musa dan Panteraja yang saat itu juga sudah
mengembangkan perkebunan lada. Setelah menaklukkan daerah
tersebut, Laksamana Hussain mendatangkan orang-orang Cetti dari Pulau
Pinang untuk bekerja di perkebunan tersebut. Perkebunan itu di atas
perbukitan Musa itu diatur oleh Haji Lam Ara, kawannya Laksamana
Hussain ketika sama-sama naik haji ke Mekkah.

Laksama Hussain memmiliki 17 anak, anak-anaknya itu diminta untuk
mengatur dan membuka wilayah perkebunan baru. Teuku Rajeu Main
disuruhnya menjaga pantai sepanjang Blang Gapu, Ie Luebeu sampai ke
Kuala Ndjong. Ia memerintah di sana dengan membuka peternakan sapi
dan pertambakan, serta memperbanyak pukat (jaring) bagi para nelayan.

Anak Laksamana Hussain lainnya, Teuku Sjahbuddin disuruh untuk
menetap di Panteraja. Di sana ia membuka perkebunan lada dan
menikah dengan anak Kejrueng Beuracan. Anak Laksamana Hussain ada
juga yang dinikahkan dengan Keujruen Chik Samalanga. Sementara
anaknya yang tua, Teuku Mahmud membantunya memerintah di Kuala
dan Keude Ndjong. Karena perkawinan anak-anaknya itulah pengaruh
kekuasaannya Laksamana Hussain semakin melebar.

Kemudian anaknya yang peempuan bernama Pocut Atikah dikawinkan
denan Teuku Raja Pakeh Dalam. Karena giatnya Laksamana Tuan Haji
Muhammad Hussain membangun perkebunan dan memperluas kekuasan,
ia menjadi uleebalang terkaya di Pidie melalui politik perkawinan anak-
anaknya, hingga ia mendapat dukungan yang kuat.

Setelah Laksamana Tuanku Muhamamd Hussain mangkay, maka
diangkatlah Tueku Mahmud, anaknya sebagai pengganti degan gelar
Laksamana Mahmud. dDalam pemerintahannya terjadi perang dengan
negeri Meureudu, karena Meureudu menyerang untuk merebut wilayah
Pangwa dan Trienggadeng. Panglima Siblok yang diangkat oleh
Laksamana Mahmud untuk memerintah di Kejreuen Pangwa tak mampu
melawan. Ia ditangkap dan dikirim ke Bentara Keumangan oleh panglima
Meureudu karena negeri Meureudu waktu itu telah mengkat hubungan
dengan federasi uleebalang nam.

Sampai di Keumangan, Panglima Siblok dibunuh. Karena itu Laksamana
Mahmud marah besar. Ia menghimpun pasukannya untuk menuntut
balas dan menyerang Negeri Meureudu. Dalam perang itu penglima
perang negeri Meureudu Teuku Muda Cut Latif ditawan dan dikirim ke
Bandar Aceh Darussalam untuk disidangkan oleh Sulthan.

Sulthan kemudian mendamaikan dua negeri tersebut dan panglima
Meureudu dibebaskan, sementara wilayah Pangwa dan Trienggadeng
diserahkan dalam pengawasan federasi uleebalang duablah yang
dipimpin oleh Laksamana Mahmud. Dari perdamaian itu kemudian anak
Laksamana Mahmud dinikahkan dengan anak panglima besar negeri
Meureudu, Teuku Muda Cut Latif.

Anda mungkin juga menyukai